Penyampaian Dan Penerimaan Hadits
Penyampaian Dan Penerimaan Hadits
DAN
PENYAMPAIAN HADITS
KELOMPOK 10
Oleh
MARDIANTO (2131118)
KHOIRUN NISA (2131117)
PERIWAYATAN DAN KESAKSIAN
1. islam
Pada waktu meriwayatkan suatu hadits, maka seorang perawi harus
muslim, tidak dapat di terima riwayat orang kafir, walaupun dia bukan
orang yang berdusta. Allah menyuruh kita berhati-hati menerima riwayat
orang fasik, sebagaimana yang di terangkan dalam ayat 6 surat Al
Hujurat:
Tidak dapat di terima riwayat anak-anak yang belum sampai umur, mengingat hadits yang
diriwayatkan oleh Ahmad Abu Daud dan Al Hakim dari Umar dan ‘Ali yaitu:
)ي َحتَّى يَ ْحتَلِ ُم (رواه ابوداود والنسإ ِ ِ ِِ ِِ ِ الم ْغلُ ْو
ِّ ب عَلَى عَقْلو َحتَّى يَ ْب َرأُ َوعَ ِن النَا ئم َحتَّى يَ ْستَ ْيقظَ َوعَ ِن الصَّب
ِ
َ عَ ِن ا ْل َم ْجنُ ْو ِن:ُرف َع القَلَ ُم عَ ْن ثَالَثَة
Artinya:
“Diangkat kalam dari tiga orang: dari orang gila, yang di gagahi akalnya sehingga dia sembuh,
dari orang tidur sehingga ia bangun dan dari anak-anak sampai dia mimpi )baligh(.” )HR. Abu
Daud dan Nasa’i(
Sampai umur adalah dasar untuk menetapkan seseorang itu mempunyai paham dengan
pengertian.
Para ulama’tidak menerima riwayat anak kecil adalah karena anak kecil belum menyadari
akibat berdusta dan syara’ tidak membenarkan anak kecil menjadi wali terhadap dirinya
sendiri dalam urusan keduniaan.
3. Keadilan
Yaitu sifat yang tetap terhunjam pada seseorang yang bersifat dengan keadilan itu
berlaku taqwa dan memelihara muru’ah, karenanya timbullah kepercayaan
masyarakat kepadanya.
Disamping itu ia memelihara diri dari dosa dosa besar dan sebagian dosa kecil,
seperti mencuri sesuatu makanan orang, serta keharusan menjauhi perbutan-
perbuatan yang mubah yang merusakkan muru’ah, seperti makan sambil
berjalan, berkemih dijalan besar, menggauli orang-orang yang rendah pekerti
atau terlalu suka bergurau.
4. Kedlabitan
Dlabith adalah perhatian perawi kepada yang didengar ketika dia menerimanya
serta memahami apa yang didengarnya itu, sehingga ia menyampaikannya kepada
orang lain.
1. As-Sama’ ()اع
ُ السََّم
Maksud periwayatan hadits dengan cara al-ijazah adalah izin meriwayatkan sesuatu tertentu kepada orang
tertentu. Biasanya izin ini di berikan oleh seorang guru kepada muridnya untuk meriwayatkan suatu hadits
dalam bentuk ucapan atau tulisan. Lafal ijazah yang digunakan oleh sang guru kepada muridnya adalah
”aku izinkan kepadamu untuk meriwayatkan dariku demikian.”
Adapun macam-macam ijazah,yaitu:
Ø Ijazah fi mu’ayyanin li mu’ayyanin, yaitu ijazah yang berarti pemberian izin untuk meriwayatkan suatu
hadits tertentu kepada orang tertentu. Misalnya, seorang guru berkata, ”Aku ijazah-kan kepadamu Shahih
Muslim.” Menurut pandangan ulama’, derajat ijazah ini memiliki tingkatan paling tinggi dibandingkan
dengan ijazah lainnya.
Ø Ijazah fi gairi mu’ayyanin li mu’ayyanin, yaitu ijazah yang berarti pemberian izin seorang guru kepada
seseorang dengan tanpa menentukan apa yang di-ijazah-kannya. Misalnya, guru meng-ijazah-kan dengan
lafal “Aku ijazah-kan kepadamu untuk meriwayatkan semua riwayatku”.
Ø Ijazah gairi mu’ayyanin bi gairi mu’ayyanin, yaitu ijazah yang berarti pemberian izin seorang guru
kepada siapa saja (tanpa ditentukan orangnya),dan tidak ditentukan pula apa yang di-ijazah-kannya.
Misalnya, meng-ijazah-kan dengan lafal “Aku ijazah-kan semua riwayatku kepada semua orang pada
zamanku.”
Ø Syaih meng-ijazah-kan sesuatu yang ia terima dengan jalan ijazah kepada orang yang tertentu. Misalnya,
”Aku ijazahkan kepadamu apa-apa yang di-ijazahkan kepadaku”.
4. Al-Munawalah ()ُاولَة
َ َالمن
ُ
Dalam redaksi hadits yang diterima dengan jalan al-munawalah terdapat kata-kata seperti: ازِني َ أج ِ َن
َ ي َو
ْ اولَن
َ
‘ia telah memberikan munawalah dan ijazah kepadaku’, ‘ ًازة َ إجوة
ً ل
َاو
ََ َ ُ َ ن
َ ام ن
ََثد
َّ ح ia telah menceritakan kepada
kami dengan munawalah dan ijazah’, atau ‘ ًاولَة ن ام نرب
َ َ ُ َََ ْ أخ ia telah mengabarkan kepada kami dengan
munawalah’.
5. Al-Mukatabah ()ُألمكَاتَبَة
ُ
Periwayatan hadits dengan cara al-mukatabah adalah model periwayatan hadits dengan cara
seorang guru menulis sendiri atau menyuruh orang lain menuliskan riwayatnya untuk diberikan
kepada orang yang ada dihadapannya ataupun yang tidak hadir.
Al-mukatabah ada dua macam:
a. Mukatabah al-maqrunah bi al-ijazah, yakni mukatabah yang disertai dengan ijazah. Misalnya,
perkataan guru dengan lafal “Aku ijazahkan kepadamu apa yang aku tulis untukmu”, atau yang
semisal dengannya.
Riwayat dengan cara ini adalah sahih, karena kedudukannya sama kuat dengan munawalah yang
disertai ijazah.
b. Mukatabah ghairu al-maqrunah bi al-ijazah, yakni mukatabah yang tidak disertai dengan
ijazah. Misalnya, seorang guru menulis sebagian hadits untuk muridnya dan tulisan itu dikirimkan
kepadanya, tetapi sang murid tidak diperbolehkan untuk meriwayatkannya.
Kata-kata yang sering digunakan dalam riwayat dengan mukatabah misalnya, ي فُالَن
َّ َب إل
َ َكَت
‘seseorang telah menulis untukku’.
6. Al-I’lam ))اإلِ ْعالَُم