Anda di halaman 1dari 17

METODE PENERIMAAN

DAN
PENYAMPAIAN HADITS

DOSEN: MISBAHUL MUNIR M.HUM

KELOMPOK 10

Oleh

MARDIANTO (2131118)
KHOIRUN NISA (2131117)
PERIWAYATAN DAN KESAKSIAN

Periwayatan secara etimologi diambil dari


kata Al-Riwayat dalam bahasa Arab yang
merupakan bentuk masdar dari kata kerja
“rawa yarwi riwayatan” yang dapat berarti
al-naql (penukilan), Al-zikr (penyebutan),
al-fatl (pintalan) dan al-istiqa (pemberian
minum sampai puas), atau dalam istilah ini
terkait dengan kegiatan menghimpun kitab-
kitab hadis yang dikenal riwayat hadis.
Dalam bahasa Indonesia periwayatan yang diserap
dari bahasa Arab mempunyai arti cerita atau
sejarah.
Adapun orang yang meriwayatkannya disebut
dengan rawi,
yang diriwayatkan disebut marwiy,
rangkaian para periwayatanya yaitu sanad dan
substansi yang setelah sanad dinamai matan.
Dalam ilmu hadits kita mengenal istilah
tahammul dan ada'.
Tahammul adalah proses penerimaan hadits
yang dilakukan oleh seorang rawi, sedangkan
ada' adalah proses penyampaian hadits yang
biasa dilakukan oleh seorang guru kepada
muridnya, atau seorang rawi.
Adapula syahadah atau kesaksian, secara
etimologi mempunyai tiga arti, yaitu
menghadiri atau mendapati, mengkhabarkan
dan mengetahui.

Format atau simbol (shighat) tahammul dan ada' menjadi


tanda apakah hadits itu bersambung atau tidak. Ulama'
merumuskan detail-detail kecil shighat tahammul dan
ada' karena ingin memastikan sumber sebuah periwayatan
Syarat-syarat dalam periwayatan Hadits

1. islam
Pada waktu meriwayatkan suatu hadits, maka seorang perawi harus
muslim, tidak dapat di terima riwayat orang kafir, walaupun dia bukan
orang yang berdusta. Allah menyuruh kita berhati-hati menerima riwayat
orang fasik, sebagaimana yang di terangkan dalam ayat 6 surat Al
Hujurat:

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik


membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak
menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui
keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
2.Sudah sampai umur (baligh)

Tidak dapat di terima riwayat anak-anak yang belum sampai umur, mengingat hadits yang
diriwayatkan oleh Ahmad Abu Daud dan Al Hakim dari Umar dan ‘Ali yaitu:
)‫ي َحتَّى يَ ْحتَلِ ُم (رواه ابوداود والنسإ‬ ِ ِ ِِ ِِ ِ ‫الم ْغلُ ْو‬
ِّ ‫ب عَلَى عَقْلو َحتَّى يَ ْب َرأُ َوعَ ِن النَا ئم َحتَّى يَ ْستَ ْيقظَ َوعَ ِن الصَّب‬
ِ
َ ‫ عَ ِن ا ْل َم ْجنُ ْو ِن‬:‫ُرف َع القَلَ ُم عَ ْن ثَالَثَة‬
Artinya:
“Diangkat kalam dari tiga orang: dari orang gila, yang di gagahi akalnya sehingga dia sembuh,
dari orang tidur sehingga ia bangun dan dari anak-anak sampai dia mimpi )baligh(.” )HR. Abu
Daud dan Nasa’i(

Sampai umur adalah dasar untuk menetapkan seseorang itu mempunyai paham dengan
pengertian.
Para ulama’tidak menerima riwayat anak kecil adalah karena anak kecil belum menyadari
akibat berdusta dan syara’ tidak membenarkan anak kecil menjadi wali terhadap dirinya
sendiri dalam urusan keduniaan.
3. Keadilan

Yaitu sifat yang tetap terhunjam pada seseorang yang bersifat dengan keadilan itu
berlaku taqwa dan memelihara muru’ah, karenanya timbullah kepercayaan
masyarakat kepadanya.

Disamping itu ia memelihara diri dari dosa dosa besar dan sebagian dosa kecil,
seperti mencuri sesuatu makanan orang, serta keharusan menjauhi perbutan-
perbuatan yang mubah yang merusakkan muru’ah, seperti makan sambil
berjalan, berkemih dijalan besar, menggauli orang-orang yang rendah pekerti
atau terlalu suka bergurau.
4. Kedlabitan

Dlabith adalah perhatian perawi kepada yang didengar ketika dia menerimanya
serta memahami apa yang didengarnya itu, sehingga ia menyampaikannya kepada
orang lain.

Dlabith terbagi menjadi 2:


- Dlabith shadar adalah perawi yang menghafalkan dengan baik
- Dlabith kitab adalah perawi memelihara kitabnya dengan baik dari kemasukan
sisipan ataupun sebagainya.
TATA CARA PERIWAYATAN HADIS

1. As-Sama’ ()‫اع‬
ُ ‫السََّم‬

Maksud periwayatan hadits dengan cara as-sama’ adalah seorang rawi


menerima langsung periwayatan gurunya dengan cara mendengarkan
bacaan dari hafalan atau tulisan sang guru. Dalam periwayatan bentuk as-
sama’, biasanya seorang guru membacakan haditsnya, sedangkan murid
mendengarkan dengan seksama untuk kemudian menulis apa yang telah ia
dengar, atau hanya mendengar saja untuk kemudian menghafalnya.

Di dalam periwayatan yang berbentuk as-sama’, disyaratkan antara guru


dan murid terjadi pertemuan. Namun, pertemuan tersebut tidak harus
bertemu muka. Menurut pandangan jumhur ulama’, periwayatan hadits
dengan adanya tabir (penghalang) yang memisahkan antara sang guru dan
murid sudah dianggap sah dan tergolong periwayatn bentuk as-sama’.
Syaratnya, yang di dengar sang murid benar-benar suara gurunya
Istilah-istilah yang dipakai dalam metode ini adalah:
‫َحدَّثَنَا‬ (seseorang telah menceritakan kepada kami)
‫أَخبَ َرنَا‬
ْ (seseorang telah mengabarkan kepada kami)
‫أَنبَأَنَا‬
ْ (seseorang telah memberitahukan kepada kami)
ِ
‫ت فَُالنًا‬ ُ ‫( َسم ْع‬saya telah mendengar dari seseorang)
‫( قَالَ لَنَا فُالن‬seseorang telah berkata kepada kami)
‫ك َر لَنَا فَالن‬ َ َ‫ذ‬seseorang telah menuturkan kepada kamI
3. َ َ‫اإلِج‬
Al-ijazah()ُ‫ازة‬

Maksud periwayatan hadits dengan cara al-ijazah adalah izin meriwayatkan sesuatu tertentu kepada orang
tertentu. Biasanya izin ini di berikan oleh seorang guru kepada muridnya untuk meriwayatkan suatu hadits
dalam bentuk ucapan atau tulisan. Lafal ijazah yang digunakan oleh sang guru kepada muridnya adalah
”aku izinkan kepadamu untuk meriwayatkan dariku demikian.”
Adapun macam-macam ijazah,yaitu:
Ø Ijazah fi mu’ayyanin li mu’ayyanin, yaitu ijazah yang berarti pemberian izin untuk meriwayatkan suatu
hadits tertentu kepada orang tertentu. Misalnya, seorang guru berkata, ”Aku ijazah-kan kepadamu Shahih
Muslim.” Menurut pandangan ulama’, derajat ijazah ini memiliki tingkatan paling tinggi dibandingkan
dengan ijazah lainnya.
Ø Ijazah fi gairi mu’ayyanin li mu’ayyanin, yaitu ijazah yang berarti pemberian izin seorang guru kepada
seseorang dengan tanpa menentukan apa yang di-ijazah-kannya. Misalnya, guru meng-ijazah-kan dengan
lafal “Aku ijazah-kan kepadamu untuk meriwayatkan semua riwayatku”.
Ø Ijazah gairi mu’ayyanin bi gairi mu’ayyanin, yaitu ijazah yang berarti pemberian izin seorang guru
kepada siapa saja (tanpa ditentukan orangnya),dan tidak ditentukan pula apa yang di-ijazah-kannya.
Misalnya, meng-ijazah-kan dengan lafal “Aku ijazah-kan semua riwayatku kepada semua orang pada
zamanku.”
Ø Syaih meng-ijazah-kan sesuatu yang ia terima dengan jalan ijazah kepada orang yang tertentu. Misalnya,
”Aku ijazahkan kepadamu apa-apa yang di-ijazahkan kepadaku”.
4. Al-Munawalah ()ُ‫اولَة‬
َ َ‫المن‬
ُ

Munawalah artinya:memberikan, menyerahkan.


Yakni: ”Guru memberikan kitabnya kepada murid”,atau “ia menyuruh murid menyalin kitab itu”, atau “ia
pinjamkan kitabnya itu”, atau “seorang rawi menyerahkan satu kitab kepada gurunya; sesudah guru
memperhatikannya benar benar lalu ia kembalikannya kepada rawi tadi”.
Al-Munawalah ada dua macam, yaitu:
a. Al-munawalah yang disertai dengan ijazah. Misalnya, seorang guru memberikan kitabnya kepada
sang murid, lalu mengatakan kepadanya, “Riwayatkanlah kitab ini dari saya,” Kemudian kitab tersebut
dibiarkan untuk dimilikinya atau dipinjamkan agar disalin.
b. Al-munawalah yang tidak dibarengi dengan ijazah. Misalnya, seorang guru memberikan kitabnya
kepada sang murid dengan hanya mengatakan, “Ini adalah riwayatku,” tanpa diikuti dengan perintah
meriwayatkannya.
Menurut Ibnu Salah dan An-Nawawi, periwayatan dengan cara ini dianggap tidak sah. Para ahli hadits
mencela orang-orang yang membolehkan riwayat dengan al-munawalah tanpa dibarengi ijazah.

Dalam redaksi hadits yang diterima dengan jalan al-munawalah terdapat kata-kata seperti: ‫ازِني‬ َ ‫أج‬ ِ َ‫ن‬
َ ‫ي َو‬
ْ ‫اولَن‬
َ
‘ia telah memberikan munawalah dan ijazah kepadaku’, ‘ ً‫ازة‬ َ ‫إج‬‫و‬‫ة‬
ً ‫ل‬
َ‫او‬
ََ َ ُ َ ‫ن‬
َ ‫ام‬ ‫ن‬
ََ‫ث‬‫د‬
َّ ‫ح‬ ia telah menceritakan kepada
kami dengan munawalah dan ijazah’, atau ‘ ً‫اولَة‬ ‫ن‬ ‫ام‬ ‫ن‬‫ر‬‫ب‬
َ َ ُ َََ ْ ‫أخ‬ ia telah mengabarkan kepada kami dengan
munawalah’.
5. Al-Mukatabah ()ُ‫ألمكَاتَبَة‬
ُ

Periwayatan hadits dengan cara al-mukatabah adalah model periwayatan hadits dengan cara
seorang guru menulis sendiri atau menyuruh orang lain menuliskan riwayatnya untuk diberikan
kepada orang yang ada dihadapannya ataupun yang tidak hadir.
Al-mukatabah ada dua macam:
a. Mukatabah al-maqrunah bi al-ijazah, yakni mukatabah yang disertai dengan ijazah. Misalnya,
perkataan guru dengan lafal “Aku ijazahkan kepadamu apa yang aku tulis untukmu”, atau yang
semisal dengannya.
Riwayat dengan cara ini adalah sahih, karena kedudukannya sama kuat dengan munawalah yang
disertai ijazah.
b. Mukatabah ghairu al-maqrunah bi al-ijazah, yakni mukatabah yang tidak disertai dengan
ijazah. Misalnya, seorang guru menulis sebagian hadits untuk muridnya dan tulisan itu dikirimkan
kepadanya, tetapi sang murid tidak diperbolehkan untuk meriwayatkannya.

Kata-kata yang sering digunakan dalam riwayat dengan mukatabah misalnya, ‫ي فُالَن‬
َّ َ‫ب إل‬
َ َ‫كَت‬
‘seseorang telah menulis untukku’.
6. Al-I’lam ))‫اإلِ ْعالَُم‬

Periwayatan hadits dengan cara al-i’lam adalah pemberitahuan sang guru


kepada seorang muridnya bahwa hadits tertentu atau kitab tertentu adalah
riwayatnya sendiri dari si fulan (guru seseorang), namun tidak disertakan izin
untuk meriwayatkannya.
Para ulama’ berbeda pendapat tentang hukum meriwayatkan hadits dengan
cara ini. Sebagian ulama’ membolehkan dan sebagian yang lain melarangnya.
Sebagian ulama’ yang melarang beralasan bahwa kemungkinan sang guru
mengetahui dalam hadits tersebut ada kecacatan, karenanya sang guru tidak
member izin untuk meriwayatkannya.
Kata-kata yang digunakan untuk menyampaikan riwayat dengan cara ini
misalnya ‘ ‫أعلََمنِي شَ ْيِخي‬
ْ guruku telah member tahu kepadaku’
ِ ‫الو‬
7. Al-Washiyyah ()ُ‫صيَّة‬ َ

Washiyyah artinya: memesan atau mewashiyati


Periwayatan hadits dengan cara al-washiyyah adalah model periwayatan hadits
dengan cara seorang guru memberikan wasiat pada saat mendekati ajalnya
atau pada saat mau mengadakan perjalanan kepada seorang rawi untuk
meriwayatkan haditsnya, atau dengan memberikan sebuah kitab yang ia miliki.
Biasanya kata-kata yang digunakan dalam meriwayatkan hadits dengan cara
wasiat adalah ‘ ‫ي فُالَن بِ ِكتَاب‬ َّ َ‫صى إل‬
َ ‫أو‬
ْ si fulan telah mewasiatkan kepadaku sebuah
kitab’, atau ‘ ً‫ َحدَّثَنِي فُالَن َوصيَّة‬si fulan telah bercerita kepadaku dengan sebuah
wasiat’.
8. Al-Wijadah ()ُ‫الوِجَادَة‬

Wijadah artinya: mendapat.


Periwayatan hadits dengan cara al-wijadah yaitu: seorang rawi
mendapat hadits atau kitab dengan tulisan orang yang
meriwayatkannya, sedang hadits-hadits ini tidak pernah si rawi
mendengar atau menerima dari yang menulisnya.
Para ulama’ berbeda pendapat mengenai hadits yang diriwayatkan
lewat jalur wijadah. Kalangan ulama’ Malikiyyah tidak
memperbolehkan hadits diriwayatkan dengan cara wijadah,
sedangkan Imam Syafi’i memperbolehkannya.
Dalam menyampaikan hadits dengan cara wijadah, biasanya rawi
menggunakan kalimat ‘Aku mendapatkan buku ini dari tulisan si
fulan’, atau ‘Aku telah membaca tulisan si fulan’.
Ada yang berpandangan bahwa hadits yang diriwayatkan dengan
cara wijadah tergolong hadits munqati’, karena rawi tidak menerima
sendiri dari orang yang menulisnya.
ALHAMDULILAH

Anda mungkin juga menyukai