Anda di halaman 1dari 13

Proses Periwayatan Hadits, Sanad, Rawi Dan Matan Hadits.

Makalah Disusun Guna Melengkapi Tugas Mata kuliah AIK 1 Al-Qur'an Hadist

Dosen Pengampu : DR. Nurul Jeumpa. MA

Disusun Oleh

Siti Hajarul Nadia (2105180006)


Sarah Anjani (2205180003)

FAKULTAS AGAMA ISLAM


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH ACEH
2023/2024
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji syukur
kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat, Hidayah, dan Inayah-
Nya kepada kita semua sehingga kami dapat merampungkan proses penyusunan makalah ini
dengan judul “Proses periwayatan hadits, sanad, rawi dan matan hadits”.
Penyusunan makalah semaksimal mungkin kami upayakan dan didukung bantuan dari
berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar dalam proses pengerjaanya. Untuk itu, kami tidak
lupa untuk mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
menyelesaikan makalah kelompok 4.
Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat
kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya. Oleh karena itu, dengan lapang
dada kami membuka selebar-lebarnya pintu bagi para pembaca yang ingin memberi saran dan
kritik demi memperbaiki makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk kita semua.
Aamiin.

Penyusun

i
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup manusia bagi orang-orang yang bertaqwa sifatnya mujmal (global) atau
masih ‘am(umum), maka untuk menerapkannya secara praktis sangatlah membutuhkan penjelasan-penjelasan
yang lebih jelas terutama dari nabi Muhammad SAW yang menerima wahyu. Penjelasan-penjelasan dari nabi
tersebut bisa berupa ucapan atau perbuatan maupun pernyataan atau pengakuan, yang dalam tradisi keilmuan
islam disebut hadits. Dengan demikian, hadits nabi merupakan sumber ajaran islam setelah AL-Qur’an. Dari
sisi periwayatannya hadits memang berbeda dengan Al-Qur’an. Semua periwayatan ayat-ayat Al-Qur’an
dipastikan berlangsung secara mutawatir, sedang hadits ada yang mutawatir dan ada juga yang ahad. Oleh
karena itu. Al-Quran bila dilihat dari segi periwayatannya mempunyai kedudukan sebagai qot’I al-wurud,
sedang hadits nabi dalam hal ini yang berkategori ahad, berkedudukan sebagai dzoni al-wurud.

Untuk mengetahui otentisitas dan orisinalitas hadits semacam ini diperlukan penelitian matan maupun sanad.
Dari sini dapat dilihat bahwa selain rowi, matan dan sanad merupakan tiga unsur terpenting dalam hadits nabi.

B. Rumusan Masalah
a. Apa pengertian dari sanad, matan, dan rawi hadist?
b. Bagaimana penelitian sanad dan matan hadist?
c. Bagaimana periwayatan hadist berdasarkan lafal dan makna?
C. Tujuan
a. Menjelaskan pengertian sanad, matan, dan rawi hadist.
b. Menjelaskan tentang penelitian sanad dan matan hadist.
c. Menjelaskan tentang periwayatan hadist berdasarkan lafal dan makna.Keragaman
D. Tujuan
1. Menjelaskan pengertian sanad, matan, dan rawi hadist.
2. Menjelaskan hubungan sanad dengan dokumentasi hadist.
3. Menjelaskan tentang penelitian sanad dan matan hadist.
4. Menjelaskan tentang periwayatan hadist berdasarkan lafal dan makna.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Periwayatan Hadits


Sebelum terhimpun dalam kitab-kitab hadis, hadis Nabi terlebih dahulu telah melalui proses kegiatan yang
dinamai dengan riwayatul hadis atau al- riwayah, yang dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan dengan
periwayatan. Kata al- riwayah adalah masdar dari kata kerja rawa dan dapat berarti al-naql (penukilan), al- zikr
(penyebutan), al-fat/ (pemintalan) dan al- istoqa’ (pemberian minum sampai puas). Sementara sesuatu yang
diriwayatkan, secara umum juga biasa disebut dengan riwayat.
Sementara secara istilah ilmu hadis, menurut M. Syuhudi Ismail yang dimaksud dengan al-riwayah adalah
kegiatan penerimaan dan penyampaian hadis, serta penyandaran hadis itu kepada rangkaian para periwayatnya
dengan bentuk-bentuk tertentu. Orang yang telah menerima hadis dari seorang periwayat, tetapi dia tidak
menyampaiakan hadis itu kepada orang lain, maka dia tidak dapat disebut sebagai orang yang telah melakukan
periwayatan hadis. Orang yang telah menerima hadis dari seorang periwayat, tetapi dia tidak menyampaiakan
hadis itu kepada orang lain, maka dia tidak dapat disebut sebagai orang yang telah melakukan periwayatan
hadis. Sekiranya orang tersebut menyampaiakan hadis yang diterimanya kepada orang lain, tetapi ketika
menyampaikan hadis itu tidak menyebutkan rangkaian para periwayatnya, maka orang tersebut juga tidak dapat
dinyatakan sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadis.
Dari definisi di atas, dapat ditarik beberapa point penting yang harus ada dalam periwayatan hadis
Nabi, yaitu:
1. Orang yang melakukan periwayatan hadis yang kemudian dikenal dengan ar-rawiy (periwayat).
2. Apa yang diriwayatkan (al-marwiy)
3. Susunan rangkaian pera periwayat (sanad/isnad)
4. Kalimat yang disebutkan sesudah sanad yang kemudian dikenal dengan matan.
5. Kegiatan yang berkenaan dengan proses penerimaan dan penyampaian hadis (at- tahamul wa ada
al-Hadis).

B. Sanad, Matan dan Rawi Hadist

• Sanad
Sanad Hadis Sanad secara bahasa berarti al-mu’tamad, yaitu yang diperpegangi (yang
kuat/yang bisa dijadikan pegangan. Secara teminologis, definisi sanad ialah silsilah para
perawi yang meriwayatkan matan dari sumber yang pertama. Sanad hanya berlaku pada
rangkaian orang-orang, bukan dilihat dari sudut pribadi secara perorangan. Sebutan untuk

2
pribadi, yang menyampaikan hadis dilihat dari sudut pandang orang-perorangannya,
disebut dengan rawi. Al-Badru Ibn Jama’ah dan ath- Thibi, sebagaimana disebutkan oleh
as-Suyuthi, mengemukakan definisi yang hampir sama, yaitu:

“Berita-berita tentang jalan matan” (Al-Suyuthi) Yang dimaksud dengan jalannya matan
pada definisi di atas yakni serangkaian orang- orang yang menyampaikan atau
meriwayatkan matan hadis, mulai dari rawi pertama sampai terakhir.
Contoh sanad:
ُ‫سأ َ َل‬ ًُ ‫ع ْن ُه َما أَنَُّ َرج‬
َ ‫ُل‬ َ ‫ّللا‬
َُُّ ‫ي‬
َُ ‫ْن ع َْمرو َر ِض‬
ُِ ‫ّللا ب‬ َ ُْ‫ْث عَنُْ ي َِزي َُد عَنُْ أَبِي ا ْل َخي ُِْر عَن‬
َُِّ ‫ع ْب ُِد‬ ُُ ‫ن َخالِدُ قَا َُل َح َّدثَنَا اللَّي‬
ُُ ‫َح َّدثَنَا ع َْم ُرو ْب‬
ْ ‫علَى َمنُْ ع ََر ْفتَُ َو َمنُْ لَ ُْم تَع ِْر‬
ُ‫ف‬ َّ ‫طعَا َُم َوتَ ْق َرُأ ُ ال‬
َ ‫س َل َُم‬ ِ ْ ُ‫سلَّ َُم أَي‬
َّ ‫اْلس َْل ُِم َخيْرُ قَا َُل ت ُ ْط ِع ُُم ال‬ َ ‫علَ ْي ُِه َو‬ َُُّ ‫صلَّى‬
َ ‫ّللا‬ َُّ ِ‫النَّب‬
َ ‫ي‬

Umar bin Khalid telah menceritakan hadits padaku (imam Bukhari), ia berkata: Al-Laits
menceritakan hadits padaku (Umar bin Khalid), dari Yazid, dari Abu Al-Khair. Dari
Abdullahُ binُ ‘Amrُ radhiyallaahu ‘anhuma, bahwa seorang lelaki bertanya pada Nabi
shallallaahu ‘alaihi wasallam: “Manakah islam yang paling baik?” Beliau menjawab:
“Memberikan makanan, dan membaca salam pada orang yang Engkau kenal dan yang tidak
engkau kenal.” (HR. Bukhari)
Dari contoh di atas yang disebut sanad adalah: Abul Khair, Umar bin Khalid, Al- Laits,
Yazid,ُAbulُKhair,ُdanُAbdullahُbinُ‘Amr.
Artinya Abdullah bin Amr mendapatkan hadits dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Lalu hadits itu disampaikan kepada Abul Khair lalu kepada Yazid lalu kepada Al-Laits lalu
kepada Umar bin Khalid lalu kepada penulis hadits yakni imam Al-Bukhari.
Sanad berfungsi untuk mengetahui derajat kesahihan suatu hadits. Apabila ada cacat dalam
sanadnya baik itu karena kefasikannya, lemahnya hafalan, tertuduh dusta atau selainnya
maka hadits tersebut tidak dapat mencapai derajat sahih. Selain sanad, ada beberapa istilah
yang berkaitan dengan sanad. Istilah-istilah itu adalah isnad, musnid, dan musnad. Isnad
adalah keterangan rangkaian urutan sanad. Musnid adalah orang yang menerangkan sanad.
Sedangkan musnad adalah hadis yang berisi tentang sanad sehingga sampai pada
Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam.

• Matan
Matan Hadis Kata matan atau al-matan, menurut bahasa berarti ma shaluba wa irtafa’a min
al-ardhi (tanah yang meninggi). Secara terminologis, istilah matan memiliki beberapa
definisi, yang pada dasarnya maknanya sama, yaitu materi atau lafal hadis itu sendiri. Atau
bisa disebut juga sebagai redaksi hadis, penulisan matan ditempatkan setelah sanad dan
sebelum rawi. Menurut Ath- Thibi, mendefinisikan dengan: “Lafal-lafal hadis yang di
dalamnya mengandung makna-makna tertentu” (Ajjaj al-Khathib)
Contoh matan hadis:

3
ُْ‫ْن أَبِي عَامِ رُ أَبُو سُ َهيْلُ عَنُْ أَبِي ُِه عَن‬ ُُ ‫ن َج ْعفَرُ قَا َُل َح َّدثَنَا نَافِ ُُع ْب‬
ُِ ‫ن َمالِكُِ ب‬ ُُ ‫س َماعِي ُُل ْب‬ ْ ِ‫يع قَا َُل َح َّدثَنَا إ‬ َّ ‫ن أَبُو‬
ُِ ِ‫الرب‬ ُُ ‫َح َّدثَنَا سُلَ ْي َما‬
َُ‫ف َوإِذَا اؤْ تُمِ نَُ َخان‬َُ َ‫ع َُد أَ ْخل‬
َ ‫ب َوإِذَا َو‬
َُ َ‫َّث َكذ‬
َُ ‫ِق ثَ َلثُ إِذَا َحد‬ ُِ ‫سلَّ َُم قَا َُل آي َُةُ ا ْل ُمنَاف‬
َ ‫علَ ْي ُِه َو‬ َُُّ ‫صلَّى‬
َ ‫ّللا‬ َ ِ‫ي‬ ُ ِ‫أَبِي ه َُري َْر ُةَ عَنُْ النَّب‬

Telah menceritakan kepada kami Sulaiman Abu ar Rabi' berkata, telah menceritakan
kepada kami Isma'il bin Ja'far berkata, telah menceritakan kepada kami Nafi' bin Malik bin
Abu 'Amir Abu Suhail dari bapaknya dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam, beliau bersabda: "Tanda-tanda munafik ada tiga; jika berbicara dusta, jika
berjanji mengingkari dan jika diberi amanat dia khianat."(HR. Bukhari)

• Rawi
Rawi Hadis Kata rawi atau ar-rawi, berarti orang yang meriwayatkan atau memberikan
hadis (naqli al-hadis). Sebenarnya, antara sanad dan rawi itu merupakan dua istilah yang
hampir sama. Sanad-sanad hadis pada tiap-tiap thabaqah atau tingkatannya juga disebut
para rawi jika yang dimaksud rawi adalah orang yang meriwayatkan dan memindahkan
hadis. Begitu juga perawi, pada tiap-tiap thabaqah- nya merupakan sanad bagi thabaqah
selanjutnya. Akan tetapi yang membedakan antara kedua istilah di atas, jika dilihat lebih
lanjut adalah dalam 2 hal, yaitu dalam hal pembukuan hadis, orang yang menerima hadis-
hadis, kemudian menghimpunnya dalam suatu kitab tadwin, disebut dengan rawi. Dengan
demikian maka perawi dapat disebut mudawwin (orang yang membukukan dan
menghimpun hadis), sedangkan orang-orang lain tanpa membukukannya yang demikian
disebut sanad hadis. Kitab-kitab hadis:
1. Mushannaf Said bin Manshur (227 H)
2. Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (235 H)
3.Musnad Imam Ahmad bi Hanbal (241 H)
4. Shahih Al Bukhari (251 H)
5. Shahih Muslim (261 H)

6. Sunan Abu Daud (273 H)


7. Sunan Ibnu Majah (273 H)
8. Sunan At-Tirmidzi (279 H)
9. Sunan An-Nasa’I (303 H)
10. Al-Muntaqa fil Ahkam Ibnu Jarud (307 H)
11. Tahdzibul Atsar Ibnu Jarir Ayh-Thobari (310 H)

Adapun yang menjadi penelitian pada hadist adalah sanad dan matan.
1. Sanad hadits

4
Keadaan dan kualitas sanad merupakan hal yang pertama sekali diperhatikan dan dikaji
oleh para ulama hadits, terutama yang menyangkut nama-nama perawi yang terlibat. Oleh
karena itu apabila ada sanad suatu hadits yang tidak memiliki kriteria yang telah ditentukan
sseperti tidak adil maka riwayat tersebut langsung ditolak dan selanjutnya penelitian
terhadap matan tidak diperlukan lagi, karena salah satu prinsip yang dipedomani oleh para
ulama hadits adalah bahwa suatu hadits tidak akan diterima meskipun matannya kelihatan
shahih kecuali disampaikan oleh orang-orang yang adil akan tetapi bila sanadnya telah
memenuhi persyaratan keshahihan maka penelitian terhadap matan akan dilanjutkan.

Untuk mempelajari sanad hadits berarti menuntut adanya lima syarat, agar dapat dinilai
derajat suatu hadits, yaitu:
•ُSanadnya bersambung
yang dimaksud dengan sanad bersambung adalah bahwa masing-masing perawi yang
terdapat dalam rangkaian sanad tersebut menerima hadits secara langsung dari perawi
sebelumnya, dan selanjutnya dia menyampaikan kepada perawi yang datang sesudahnya.
Hal tersebut harus berlangsung dan dapat dibuktikan dari sejak perawi pertama yaitu
generasi sahabat yang menerima hadits tersebut dari Rasulullah sampai kepada perawi
terakhir yang mencatat dan membukukan hadits itu, seperti Bukhari dan lain-lain.
Menurut Bukhari, ada syarat yang harus dipenuhi yaitu para perawi harus bertemu dan
berkumpul pada satu tempat dengan waktu yang lama. Sedangkan Imam Muslim hanya
mensyaratkan pertemuan disatu tempat saja. Adapula versi lain yang mengatakan tidak
masalah bila tidak bertemu yang penting para perawi hidup pada zaman yang sama dan
tempat yang berdekatan.
•ُRawinya adil
Yang dimaksud dengan sifat adil disini adalah suatu sifat yang tertanam di dalam diri
seseorang yang mendorongnya untuk senantiasa memelihara ketakwaan, muru’ah
(moralitas), sehingga menghasilkan jiwa yang percaya dengan kebenarannya ditandai
Dengan sikap menjauhi dosa-dosa besar dan dari sejumlah dosa kecil. Adapun untuk
mengetahui keadilan seorang perawi hadits, dapat dilakukan dengan cara:
a. Melihat biografi para perawi hadits

b. Melalui popularitas yang dimiliki seorang perawi bahwa dia adalah


seorang yang adil seperti Malik ibn Abbas atau Sufyan al T’suri
c. Apabilal terdapat berbagai pendapat para ulama mengenai status keadilan
seorang perawi, seperti ada yang mengatakan adil dan ada juga yang
mengatakan jarh. Maka permasalahan ini harus diselesaikan dengan
mempedomani kaidah dalam “ilm al jarh wa al Ta’dil schigga dapat
ditarik kesimpulan mengenai keadilannya.
•ُRawinya dhabit

5
Al dhabit atau kedhabitan seorang perawi dalam terminologi ulama hadits adalah ingatan
(kesadaran) seorag perawi hadits semenjak dia menerima hadits, melekat ( setia)nya apa
yang dihafalnya di dalam ingatannya dan pemeliharaan tulisan (kitab) nya dari segala
macam perubahan sampai dia meyampaikan (meriwayatkan) hadits tersebut. Ada dua
macam orang yang dhabit. Pertama yaitu orang yang sudah hapal diluar kepala, yang kedua
yaitu orang yang hapal, tetapi masih harus melihat tulisannya. Hal ini dikarenakan adanya
perbedaan pemahaman dan daya ingat masing-masing perawi.
d. Tidak syadz (aneh) dan Tidak Illat (cacat)

Mengetahui ada tidaknya kesesuaian antara beberapa sanad hadits dan


menjelaskan ada tidaknya syadz dan illar hadits hanya dapat dilakukan
oleh orang yang menguasai (menghapal) banyak sanad dan matan hadits.
Syadz dan illat dapat dijelaskan dengan cara menghimpun semua sanad
dan memperhatikan perbedaan perawi hadits.

2. Matan Hadits
Secara umum ada tiga langkah metologis kegiatan penelitian matan hadits, yaitu:
a. Meneliti matan dengan melihat kualitas sanadnya
Dalam penelitina hadits, para ulama mendahulukan penelitian sanad atas
matan. Hal ini bukan berarti bahwa sanad lebih penting daripada matan. Dua
bagian ini sama penntingnya, hanya saja penelitian matan barulah mempunyai
arti apabila sanad bagi matan hadits yang bersangkutan telah jelas dan
memenuhi syarat. Tanpa adanya sanad, suatu hadits tidak dapat dikatakan
berasal dari Rasulullah Saw. Ulama hadits menganggap penelitian matan
penting dilakukan setelah sanad matan itu telah diketahui kualitasnya, dalam
hal ini kualitas shahih, atau minimal tidak termasuk berat ke-dhaifannya. Matan
dan sanad yang sangat dhaif tidak perlu diteliti. Sebab hasilnya tidak akan
memberi manfaat bagi kehujaan hadits yang bersangkutan.
b. Meneliti susunan matan semata
Terjadi perbedaan lafaz.Menurut ulama hadits, perbedaan lafaz yang tidak
mengakibatkan perbedaan makna, asalkan sanadnya sama-sama shahih, maka
hal itu dapat ditoleransi. Cukup banyak matan hadits yang semakna dengan
sanad yang sama-sama. Shahihnya tersusun dengan lafadz yang berbeda.
c. Akibat terjadinya perbedaan lafaz yaitu: menggunakan metode mugaranah
(perbandingan)
Dalam hal ini metode mugaranah tidak hanya ditujukan pada lafadz-lafadz
matan saja, tetapi juga pada masing-masing sanadnya, dengan menempuh
metode muqaranah, maka akan diketahui apakah perbedaan lafadz pada matan
yang masih dapat ditoleransi atau tidak. Metode ini sebagai upaya lebih
mencermati susunan matan yang lebih dapat dipertanggungjawabkan
keasliannya.

6
d. Meneliti kandungan matan, yaitu
1) Kandungan matan yang sejalan
Untuk mengetahui ada atau tidak adanya matan lain yang memiliki topik masalah
yang sama. Perlu dilakukan takhrijul hadits bi al-maudhu’. Apabila ternyata ada
matan lain yang bertopik sama, maka matan itu perlu diteliti sanadnya. Jika
sanadnya memenuhi syarat, maka kegiatan mugaranah perlu dilakukan.
2) Membandingkan kandungan matan yang tidak sejalan Dalam hal ini jika hadits
Nabi yang tidak tampak sejalan atau tampak bertentangan dengan hadits lain atau
ayat al-Quran, maka pasti ada yang melatarbelakanginya. Dalam hal ini digunakan
pendekatan-pendekatan yang sah dan tepat sesuai dengan tuntutan kandungan
matan yang bersangkutan.
3) Menyimpulkan hasil penelitian Setelah langkah-langkah di ata ditempuh, maka
langkah terakhir dalam penelitian matan ialah menyimpulkan hasil penelitian
matan. Karena kualitas matan hanya dikenal dua macam saja, yakni shahih dan
dhaif, maka kesimpulan penelitian matan akan berkisar pada dua macam
kemungkinan tersebut.
3. Periwayatan hadist dengan lafal dan maknanya
Kata al-Riwayat adalah masdar dari kata kerja rawa yang berarti al-naql (penukilan), al-
istisqa (pemberian minum sampai puas), ad-dizkr (penyebutan). Dalam bahasa Indonesia
kata riwayat yang berasal dari bahasa Arab ini mempunyai arti antara lain: cerita, sejarah,
dan tambo. Al-Riwayat menurut istilah ilmu hadits berarti kegiatan penerimaan dan
penyampaian hadits, serta penyandaran hadits itu kepada rangkaian para perawinya dengan
bentuk-bentuk tertentu.
Ada tiga unsur yang harus dipenuhi dalam periwayatan hadits, yaitu:
1. Kegiatan menerima hadits
2. Kegiatan menyampaikan hadits pada orang lain
3. Ketika hadis itu disampaikan susunan, rangkaian periwayatnya disebutkan.
Dengan kata lain, seseorang tidak dapat dikatakan telah melakukan periwayatan, apabila
ia menerima hadis tetapi tidak menyampaikan hadits itu kepada orang lain atau ia
menyampaikannya kepada orang lain tetapi tidak menyebutkan rangkaian para
periwayatnya.
Dilihat dari sudut redaksional hadis, pada umumnya periwayatan hadis dilakukan dengan
dua cara, yaitu periwayatan hadis dengan lafaz dan periwayatan hadis dengan makna.
1. Periwayatan hadits dengan lafaz

Periwayatan hadis dengan lafaz, artinya bahwa hadits diriwayatkan oleh perawinya sesuai
dengan lafaz (redaksi) yang diterima dari orang yang menyampaikan hadis tersebut

7
kepadanya, tanpa ada perubahan sedikitpun. Para ulama sepakat bahwa periwayatan
dengan cara ini adalah paling baik dan paling tinggi nilainya, sebab lebih menjamin
kemurnian dan keutuhan makna hadits.

Hadits nabi yang periwayatannya dimungkinkan dengan lafaz, pada periode sahabat
sebagai saksi pertama, hanyalah hadis dalam bentuk qauliyah, sedangkan hadits- hadits
fi'liyah dan taqririyah hanya dimungkinkan dapat diriwayatkan dengan makna. aritinya
redaksinya dibuat oleh sahabat yang meriwayatkannya. Hadis yang dalam bentuk qauliyah
pun tidak seluruhnya dapat diriwayatkan dengan lafadz. Kesulitan periwayatan secara
lafadz bukan hanya disebabkan karena tidak mungkin seluruh sabda itu dihafal secara
harfiah, melainkan juga karena kemampuan hafalan dan kecerdasan sahabat nabi tidak
sama.
2.Periwayatan hadits dengan makna
Periwayatan hadits dengan makna adalah suatu cara dimana hadits diriwayatkan dengan
menggunakan redaksi periwayat sendiri atau berbeda dari reaksi yang diterima dari perawi,
namun kandungan dan maksud atau makna dari hadits tersebut tetap sama. Periwayatan
hadits dengan makna menimbulkan perbedaan pendapat dikalangan ulama. Ada ulama
yang tidak membolehkan sama sekali berdasarkan kepada hadits Nabi sendiri. dan ada pula
yang membolehkannya dengan syarat-syarat tertentu, dan ada lagi yang membolehkannya
hanya untuk periode tertentu saja. Tetapi yang jelas bahwa periwayatan hadits dengan
makna telah berlangsung sejak masa sahabat. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan
kemampuan manusia dalam menghafal atau bila terjadi rentang waktu yang cukup panjang
antara waktu penerimaan hadits dan waktu penyampaiannya.

C. Proses Periwayatan Hadist

Dalam proses periwayatan Hadis terdapat beberapa bentuk atau model, bentuk periwayatan
disini mencakup pada al-tahammul (pengambilan riwayat) dan al- ada (penyampaian
riwayat). Adapun bentuk-bentuk tersebut adalah sebagai berikut:

1. Al-Sima’, yaitu seorang guru membaca hadits yang dihafalnya atau yang
ada di kitab tertentu di hadapan murid, orang mendengarkan kata-katanya.
Metode ini dipandang paling bagus di antara metode yang ada menurut para
ulama hadits. Tetapi ada juga yang berpendapat, alangkah baiknya kalau
disamping mendengar juga mencatat, ketimbang mendengar saja. Kedua
metode yang menyatu ini mempersempit peluang tercecernya hadits.
2. Al-Qira’ah ‘ala al-Syaikh. Yaitu seorang murid membaca hadits (yang
boleh jadi diperoleh dari guru yang lain) di depan guru. Agaknya metode
ini diilhami oleh sebuah peristiwa ketika Dhammam ibn Tsa’labah
memperoleh informasi dari orang lain, kemudian bertanya kepada
Rasulullah, “apakah Allah memerintahkan agar engkau sholat beberapa
kali?” Rasulullah menjawab “ya”.

8
3. Al-Ijazah. Metode ini adalah sebuah metode dengan pemberian izin
seorang guru kepada murid untuk meriwayatkan buku hadits tanpa
membaca hadits tersebut sata demi satu.
4. Al-Munawalah. Yaitu seorang guru memberi sebuah atau beberapa hadits
atau kitab utuk diriwayatkan. Metode ini mirip ijazah ada ungkapan
eksplisit dari guru bahwa murid diberi ijazah boleh meriwayatkan hadits
yang diberikan.
5. Al-Mukatabah yaitu sorang guru menulis hadits untuk seseorang.misalnya
tulisan seorang ulama tentang hadits yang dikirimkan kepada ulama lain.
Kelihatannya, metode ini secara implisit mengandung ijazah. Itu sebabnya,
ada yang berpendapat bahwa metode ini dengan ijazah ini lebih baik.
Menurut Prof, A’zami dalam terminologi modern, cara ini dapat disebut
korespodensi.
6. I’lam al-Syaikh yaitu pemberian informasi guru kepada murid bahwa
hadits-hadits yang ada dalam kitab tertentu itu hasil periwayatan yang
diperoleh guru dari si fulan, tanpa menyebut izin / ijazah periwayatan si
murid kepada orang lain.
7. Al-Wasyiyah yaitu seorang guru mewasiatkan buku-buku hadits kepada
muridnya sebelum pergi atau meninggal.
8. Al-Wijada yaitu ada orang yang menemukan catatan atau buku hadits yang
ditulis oleh orang lain tanpa ada rekomendasi untuk meriwayatkan hadits
di bawah bimbingan dan kewenangan seseorang. Metode ini disamping
dilakukan orang pada masa lalu banyak juga dilakukan pada masa
sekarang di mana banyak orang memperoleh hadits dari buku tanpa melalui
proses seperti di atas.

9
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari seluruh uraian pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Sanad adalah silsilah para perawi yang meriwayatkan matan dari sumber yang pertama.
Musnad adalah hadis yang berisi tentang sanad sehingga sampai pada Rasulullah
Shalallahu Alaihi Wassalam. Isnad adalah keterangan rangkaian urutan sanad. Musnid
adalah orang yang menerangkan sanad.
2. Matan adalah redaksi hadis.
3. Rawi adalah orang yang meriwayatkan atau memberikan hadis.
4. Peranan sanad yaitu untuk pengamanan atau pemeliharaan matan hadis dan untuk
penelitian kualitas hadis satu-persatu secara terperinci.
5. Perlunya penelitian sanad dan matan hadis untuk menjaga kemurnian hadis dari hadis
palsu dan hadis yang tidak ditulis secara resmi pada masa Rasulullah SAW.
6. Periwayatan hadis dibagi menjadi dua, yakni periwayatan lafzhi dan periwayatan

Dalam proses periwayatan Hadis terdapat beberapa bentuk atau model, bentuk periwayatan
disini mencakup pada al-tahammul (pengambilan riwayat) dan al- ada (penyampaian
riwayat). Adapun bentuk-bentuk tersebut adalah: Mendengar (al- sima), Membaca (al-
qirā’ah), Ijazah (al-Ijazah), Memberi (al-Munawalah), Menulis (al-Kitabah),
Memberitahukan (al-Tlam), Wasiat (al-Wasiyah), Penemuan (al- Wijadah).

10
DAFTAR PUSTAKA

Gufron, Mohamad. 2013. Ulumul Hadis. Yogyakarta: Teras.

Sahrani, Sohari, 2010. Ulumul Hadis. Bogor: Ghalia Indonesia

https://mantanislamjamaah.com/2020/01/13/pengertian-sanad-matan-dan-rawi-beserta-
contohnya/

Rahman,S. 2010. Kajian Matan dan Sanad hadits dalam metode historis.

Sayuthi.M. 1996. Periwayatan Hadis dengan lafaz dan makna.

11

Anda mungkin juga menyukai