Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH HADITS TARBAWI

Syarh Hadits Ketujuh, Kedelapan dan Kesembilan dari kitab

Arba’in Nawawi

DOSEN PENGAMPU : Bpk. Rahmatullah, S.Kom.I, M.Pd

Disusun Oleh Kelompok 5 (2A):

Maulidatun Nabila
Migfaris Salamah
Ghina Sopiya
Ainul Azhar
Eko Priyanto

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM CIREBON


JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
2019 / 2020

i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga dapat menyelesaikan makalah Hadits Tarbawi ini dengan
tepat waktu. Tak lupa shalawat serta salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada junjungan
kita Nabi Muhammad SAW.

Penyusunan makalah ini ditujukan untuk memenuhi salah satu tugas Kelompok mata
kuliah Hadits Tarbawi. Kami menyadari bahwa di dalam pembuatan Makalah Hadits Tarbawi ini
masih memiliki banyak kekurangan sehingga kami berharap saran dan kritik dari pembaca
sekalian khususnya dari dosen mata kuliah Hadits Tarbawi agar dapat meningkatkan mutu dalam
penyajian berikutnya.

Cirebon, April 2020

Penyusun

ii
Daftar Pustaka
KATA PENGANTAR.......................................................................................................................................ii
Daftar Pustaka............................................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................................................1
A. Latar Belakang.................................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................................1
C. Tujuan..............................................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................................................3
D. Hadits Ketujuh.................................................................................................................................3
E. Hadits Kedelapan.............................................................................................................................7
F. Hadits Kesembilan...........................................................................................................................8
BAB III PENUTUP........................................................................................................................................13
G. Kesimpulan....................................................................................................................................13
H. Saran..............................................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................................................iv

iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Hadits  merupakan sumber hukum kedua setelah Al Qur’an dalam melakukan


aktivitas bagi umat Islam. Keberadaan hadits merupakan realitas nyata dari ajaran Islam yang
terkandung dalam Al Qur’an, karena hadits merupakan penjelasan dari apa yang belum jelas
dan praktek dari ajaran dalam Al Qur’an. Hadits juga berisi risalah yang dibawa Rosulullah.
Seperti halnya Al Qur’an yang memiliki komponen seperti ayat, juz, surat dll, hadits
pun memiliki komponen dan unsur berupa sanad, matan dan rawi. Sanad adalah jalan yang
dapat menyambungkan matan hadits kepada Nabi Muhammad SAW. Matan sendiri berarti
kalam atau materi atau isi dari hadits dan rawi berarti orang yang menyampaikan, menulis
atau meriwayatkan sebuah hadits.
Sedangkan macam-macam hadits terdiri dari sedikitnya tiga macam yaitu hadits
shohih yang merupakan hadits dengan sanad bersambung, diriwayatkan oleh orang-orang
adil dan dhabit, serta tidak syadz dan tidak cacat. Hadits hasan yaitu hadits yang sanadnya
bersambung dari awal hingga akhir, para perawinya bersifat adil namun kedhabitannya
belum mencapai deraja shohih dan hadits dha’if yakni hadits yang tidak memenuhi sebagian
atau seluruh syarat hadits shohih.
Ada banyak kitab yang berisi kumpulan hadits-hadits shohih seperti Riyadus Sholihin,
Shohih Bukhari dan Muslim dan Hadits Arba’in. Syarah Arbain An Nawawiyah oleh Asy
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin adalah salah satu yang paling banyak dipakai
sebagai rujukan dalam mencari hadits tak terkecuali dalam bidang pendidikan.
Di dalam hadits arbain, ada banyak materi ringan dan berat yang dibahas seperti
hadits tentang niat, hadits tentang Islam, Iman dan Ihsan, halah dan haram, hadits tentang
malu, hadits tentang mengambil yang mudah dan meninggalkan yang susah, hingga hadits
mengenai batasan-batasan Allah dll.
Hal inilah yang melatar belakangi kami untuk memaparkan penjelasan dan
kandungan hadits yang ketujuh, kedelapan dan kesembilan dari kitab Arba’in Nawawi yang
sangat penting untuk diketahui dan dikaji oleh masyarakat muslim.

B. Rumusan Masalah

1) Bagaimana penjelasan kandungan dan maksud hadits ketujuh dari kitab Arba’in Nawawi?
2) Bagaimana penjelasan kandungan dan maksud hadits kedelapan dari kitab Arba’in
Nawawi?
3) Bagaimana penjelasan kandungan dan maksud hadits kesembilan dari kitab Arba’in
Nawawi?

1
C. Tujuan

1) Memahami maksud dan kandungan hadits ketujuh dari kitab Arba’in Nawawi.
2) Memahami maksud dan kandungan hadits kedelapan dari kitab Arba’in Nawawi.
3) Memahami maksud dan kandungan hadits kesembilan dari kitab Arba’in Nawawi.

2
BAB II PEMBAHASAN
D. Hadits Ketujuh

: ‫ص ْي َحةُ قُ ْلنَا‬ َ َ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َوآلِ ِه َو َسلَّ َم ق‬


ِ َّ‫ال ال ِّديْنُ الن‬ َ ‫ي‬ َّ ِ‫ض َي هللاُ تَ َعالَى َع ْنهُ أَ َّن النَّب‬
ِ ‫اري َر‬ ِ ‫س ال َّد‬ ٍ ْ‫ع َْن أَبِي ُرقَيَّةَ تَ ِمي ٍْم ب ِْن أَو‬
‫لِ َم ْن ؟ قَا َل هللِ َولِ ِكتَابِ ِه َولِ َرسُوْ لِ ِه وَأِل َئِ َّم ِة ال ُم ْسلِ ِم ْينَ َوعَا َّمتِ ِه ْم – َر َواهُ ُم ْسلِ ٌم‬
Artinya :
Dari Abu Ruqayyah Tamim bin Aus Ad-Daari radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Agama adalah nasihat.” Kami bertanya,
“Untuk siapa?” Beliau menjawab, “Bagi Allah, bagi kitab-Nya, bagi rasul-Nya, bagi
pemimpin-pemimpin kaum muslimin, serta bagi umat Islam umumnya.” (HR. Muslim)

 Penjelasan Hadits
Sebagaimana kata Al-Khatthabi rahimahullah,

ِ ْ‫الخَير لِ ْل َم ْنصُو‬
ُ‫ح لَه‬ ِْ ُ‫صي َْحةُ َكلِ َمةٌ يُ َعبَّ ُر بِهَا ع َْن ُج ْملَ ٍة ِه َي إِ َرا َدة‬
ِ َّ‫الن‬

“Nasihat adalah kalimat ungkapan yang bermakna mewujudkan kebaikan kepada yang
ditujukan nasihat.” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:219)

Nasihat bagi Allah adalah nasihat bagi agama-Nya, demikian pula dengan
melaksanakan perintah-perintah-Nya, dan menjauhi larangan-larangan-Nya,
membenarkan berita-berita-Nya, beribadah dan bertawakal kepada-Nya, melaksanakan
syiar-syiar dan syari’at-syari’at Islam lainnya.
Nasihat bagi kitab-Nya adalah beriman bahwa ia adalah firman Allah, beriman
pula bahwa kitab itu memuat berita-berita yang benar, hukum-hukum yang adil, kisah-
kisah yang bermanfaat, dan wajib hukumnya untuk berhukum kepadanya dalam segenap
urusan kita.
Nasihat bagi rasul-Nya yaitu dengan beriman kepadanya, dan beriman pula bahwa
beliau adalah rasul yang Allah utus kepada segenap makhluk, mencintai dan meneladani
beliau, mempercayai berita yang belaiu sampaikan, melaksanakan perintah-perintahnya,
menjauhi larangannya, dan membela agamanya.
Nasihat bagi para pemimpin kaum muslimin adalah menasihati mereka, yakni:
menjelaskan kebenaran, tidak meresahkan mereka, sabar terhadap apa-apa yang telah
diperbuat oleh mereka, baik berupa hal-hal yang menyakitkan atau yang lainnya, yaitu
berupa hak-hak mereka yang dikenal, membantu dan menolong mereka dalam perkara-
perkara yang hukumnya wajib untuk dibantu, seperti: mengusir musuh dan semisalnya.

3
Nasihat bagi kaum muslimin pada umumnya, yaitu bagi seluruh kaum muslimin,
yaitu menyampaikan nasihat kepada mereka dengan berdakwah kepada Allah, melakukan
amar ma’ruf dan nahi munkar, mengajarkan kebaikan kepada mereka, dan lain-lainnya.
Dengan hal-hal itu, maka jadilah agama ini nasihat, dan yang pertama kali masuk dalam
komunitas muslimin adalah diri orang itu sendiri, maksudnya seseorang hendaknya
menasihati dirinya sendiri.

 Faedah Hadits

Pertama: Ad-diin dalam hadits maksudnya adalah diin dengan artian agama.


Sedangkan ad-diin lainnya bermakna al-jazaa’ (pembalasan) seperti pada ayat ‘maaliki
yaumiddiin’ (Yang Menguasai Hari Pembalasan).

Kedua: Nasihat itu begitu penting karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa


sallam menjadikannya bagian dari agama.

Ketiga: Bagusnya pengajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau


menyampaikan sesuatu secara umum (global) terlebih dahulu, lalu menyebutkan
rinciannya.

Keempat: Para sahabat haus akan ilmu, apa yang butuh dipahami dengan baik,
mereka selalu menanyakannya agar jelas.

Kelima: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai penyebutan dengan hal


terpenting lalu yang penting lainnya karena beliau menyebutkan nasihat bagi Allah, lalu
kitab-Nya, lalu rasul-Nya, lalu kepada imam kaum muslimin, lalu kepada kaum muslimin
secara umum. Sedangkan kitab Allah didahulukan daripada Rasul, karena kitab itu
langgeng, sedangkan Rasul telah tiada. Namun nasihat kepada keduanya saling terkait.

Keenam: Nasihat bagi Allah mencakup dua hal yaitu:


 Mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah.
 Bersaksi bahwa Allah itu Esa dalam rububiyah, uluhiyyah, juga dalam
nama dan sifat-Nya.

Ketujuh: Nasihat bagi kitab Allah mencakup:


 Membela Al-Qur’an dari yang menyelewengkan dan mengubah
maknanya.
 Membenarkan setiap yang dikabarkan tanpa ada keraguan.
 Menjalankan setiap perintah dalam Al-Qur’an.
 Menjauhi setiap larangan dalam Al-Qur’an.

4
 Mengimani bahwa hukum yang ada adalah sebaik-baik hukum, tidak ada
hukum yang sebaik Al-Qur’an.
 Mengimani bahwa Al-Qur’an itu kalamullah (firman Allah) secara huruf
dan makna, bukan makhluk.

Kedelapan: Nasihat bagi rasul-Nya mencakup:


 Ittiba’ kepada beliau, mengikuti setiap tuntunan-Nya.
 Mengimani bahwa beliau adalah utusan Allah, tidak mendustakannya,
beliau adalah utusan yang jujur dan dibenarkan.
 Menjalankan setiap perintah beliau.
 Menjauhi setiap larangan beliau.
 Membela syari’atnya.
 Mengimani bahwa segala sesuatu yang datang dari beliau sama seperti
yang datang dari Allah dalam hal mengamalkannya.
 Membela Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika hidup dan ketika
beliau telah tiada, termasuk pula membela ajaran beliau.

Kesembilan: Imam kaum muslimin itu ada dua macam. Yang pertama adalah
ulama rabbaniyyun yang mewarisi ilmu, amal, akhlak, dan dakwah dari nabi. Yang
pertama inilah ulil amri hakiki. Yang kedua adalah penguasa yang melaksanakan syari’at
Allah, mereka terapkan pada diri mereka dan pada para hamba Allah.

Kesepuluh: Nasihat kepada ulama kaum muslimin mencakup: 


 Mencintai mereka.
 Menolong mereka dalam menjelaskan kebenaran seperti dengan
menyebarkan tulisan dan karya para ulama.
 Membela kehormatan mereka.
 Meluruskan kesalahan mereka dengan cara yang baik.
 Mengingatkan mereka dalam kebaikan dengan mengarahkan cara yang pas
ketika menyampaikan dakwah kepada yang lain.

Kesebelas: Nasihat kepada penguasa mencakup:


 Meyakini mereka adalah pemimpin.
 Menyebarkan kebaikan-kebaikan mereka kepada rakyat sehingga
membuat rakyat mencintainya dan ia bisa menjalankan kepemimpinan
dengan baik. Hal ini jauh berbeda jika yang disebar adalah aib-aib
penguasa.
 Menjalankan perintah dan menjauhi setiap hal yang dilarang dari penguasa
selama bukan dalam rangka bermaksiat kepada Allah karena tidak boleh

5
ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah. Sedangkan
kalau maksiat itu dilakukan oleh diri penguasa itu sendiri (mereka zalim),
tetaplah mereka ditaati dalam perintahnya, bukan dalam mengikuti
maksiat yang mereka lakukan.
 Menutup aib mereka sebisa mungkin, bukan mudah-mudahan
menyebarnya. Namun tetap ada nasihat langsung kepada mereka atau
lewat orang-orang yang dekat dengan mereka, tanpa mesti diketahui orang
banyak.
 Tidak boleh memberontak kepada mereka kecuali melihat ada kekufuran
yang nyata dengan dalil pasti dan ada kemaslahatan yang besar.

Keduabelas: Dalam masyarakat Islam, pemimpin atau penguasa mesti ada, baik
yang memimpin masyarakat banyak maupun masyarakat yang lebih khusus.

Ketigabelas: Nasihat kepada orang awam berbeda kepada penguasa.


Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Menasihati sesama muslim (selain ulil amri)
berarti adalah menunjuki berbagai maslahat untuk mereka yaitu dalam urusan dunia dan
akhirat mereka, tidak menyakiti mereka, mengajarkan perkara yang mereka tidak tahu,
menolong mereka dengan perkataan dan perbuatan, menutupi aib mereka, menghilangkan
mereka dari bahaya dan memberikan mereka manfaat serta melakukan amar ma’ruf nahi
mungkar.” (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 2:35).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata bagaimanakah


cara menasihati sesama muslim, maka beliau katakan hal itu sudah dijelaskan dalam
hadits Anas, “Tidaklah sempurna iman seseorang di antara kalian sampai ia mencintai
saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.”  Kata Syaikh Ibnu ‘Utsaimin,
“Nasihat adalah engkau suka jika saudaramu memiliki apa yang kau miliki. Engkau
bahagia sebagaimana engkau ingin yang lain pun bahagia. Engkau juga merasa sakit
ketika mereka disakiti. Engkau bermuamalah (bersikap baik) dengan mereka
sebagaimana engkau pun suka diperlakukan seperti itu.” (Syarh Riyadh Ash-Shalihin,
2:400)

Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah mengatakan,


َ ‫المؤمن يَ ْستُ ُر ويَ ْن‬
‫ والفاج ُر يهتك ويُعيِّ ُر‬، ‫ص ُح‬
“Seorang mukmin itu biasa menutupi aib saudaranya dan menasihatinya. Sedangkan
orang fajir (pelaku dosa) biasa membuka aib dan menjelek-jelekkan saudaranya.”
(Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1:225)

6
E. Hadits Kedelapan

َ‫اس َحتَّى يَ ْشهَدُوا أَ ْن الَ ِإلَه‬ َ َّ‫ت أَ ْن أُقَاتِ َل الن‬


ُ ْ‫ أُ ِمر‬: ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل‬
َ ِ‫ض َي هللاُ َع ْنهُ َما أَ َّن َرسُوْ َل هللا‬ ِ ‫ع َْن اب ِْن ُع َم َر َر‬
‫ق‬ َ
ِّ ‫َص ُموا ِمنِّي ِد َما َءهُ ْم َوأ ْم َوالَـهُ ْم إِالَّ بِ َح‬َ ‫كع‬ ُ َّ ‫ َويُقِ ْي ُموا ال‬،ِ‫إِالَّ هللاُ َوأَ َّن ُم َح َّمداً َرسُوْ ُل هللا‬
َ ِ‫ فَإ ِ َذا فَ َعلوا َذل‬،َ‫صالَةَ َوي ُْؤتُوا ال َّزكاَة‬
‫اإل ْسالَ ِم َو ِح َسابُهُ ْم َعلَى هللاِ تَ َعال َى‬
ِ

‫َاريُّ َو ُم ْسلِ ٌم‬


ِ ‫ر َواهُ البُخ‬.
َ

Artinya :
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa
tidak ada sesembahan yang berkah untuk diibadahi kecuali Allah, dan Muhammad adalah
Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat. Jika mereka telah melakukan hal itu,
akan terjagalah darah-darah dan harta-harta mereka dariku, kecuali dengan hak Islam,
sedangkan perhitungan mereka diserahkan kepada Allah.”

(HR. Bukhari dan Muslim) [HR. Bukhari, no. 25 dan Muslim, no. 21]

 Penjelasan Hadits
“Aku diperintahkan”, maksudnya adalah, bahwa Allahlah yang telah
memerintah beliau, beliau tidak menyebutkan subyeknya, karena hal itu telah
dimaklumi, karena yang memerintahkan dan yang melarang beliau hanyalah
Allah.
“Memerangi manusia hingga mereka bersaksi”, ini berlaku umum, akan
tetapi hadits ini telah dikhususkan oleh firman Allah subhanahu wata’ala,

َ‫وا الَّ ِذينَ الَ ي ُْؤ ِمنُونَ بِاهّلل ِ َوالَ بِ ْاليَوْ ِم اآل ِخ ِر َوالَ ي َُح ِّر ُمونَ َما َح َّر َم هّللا ُ َو َرسُولُهُ َوالَ يَ ِدينُونَ ِدين‬
ْ ُ‫قَاتِل‬
َ‫صا ِغرُون‬ َ ‫وا ْال ِج ْزيَةَ عَن يَ ٍد َوهُ ْم‬
ْ ُ‫َاب َحتَّى يُ ْعط‬ َ ‫وا ْال ِكت‬ ْ ُ‫ق ِمنَ الَّ ِذينَ أُوت‬ ِّ ‫ْال َح‬

“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah, tidak kepada


hari akhir, tidak mengharamkan perkara yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-
Nya, dan tidak memeluk agama yang haq, yaitu orang-orang yang diberi Al Kitab
hingga mereka membayar jizyah dengan patuh sedangkan mereka dalam
keadaan tunduk.”(At Taubah: 29).
Demikian pula hadits lainnya telah menyebutkan bahwa manusia
diperangi hingga mereka masuk Islam atau membayar jizyah / upeti.

7
Di antara faedah hadits ini adalah:

1) Wajib memerangi manusia hingga mereka mau masuk ke dalam agama Islam atau
membayar upeti (jika mereka tidak mau masuk ke dalam Islam, berdasarkan
hadits ini dan dalil-dalil lainnya yang telah kami sebutkan
2) Orang yang tidak mau membayar zakat boleh untuk diperangi. Oleh karena itu,
Abu Bakar telah memerangi orang-rang yang tidak mau membayar zakat.
3) Orang-orang yang secara zhahirnya (lahiriyahnya) beragama Islam, maka
bathinnya (apa yang ada di dalam hatinya) diserahkan kepada Allah. Oleh karena
itu, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika mereka telah melakukan
hal itu, akan terjaga darah dan harta mereka dariku, kecuali dengan hak Islam,
sedangkan perhitungan mereka diserahkan kepada Allah.”

Penetapan adanya hisab (perhitungan amalan), yakni bahwa amalan


manusia akan dihisab. Jika amalannya baik, maka balasannya akan baik pula, jika
amalan itu buruk maka balasannya akan buruk pula. Allah subhanahu wata’ala
berfirman :

ُ‫فَ َمن يَ ْع َملْ ِم ْثقَا َل َذ َّر ٍة َخ ْيرًا يَ َرهُ * َو َمن يَ ْع َملْ ِم ْثقَا َل َذ َّر ٍة َش ًّرا يَ َره‬

“Barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan


melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah
pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (Al Zalzalah: 7-8)

F. Hadits Kesembilan

‫ َما نَهَ ْيتُ ُك ْم‬: ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَقُوْ ُل‬ َ ِ‫ْت َرسُوْ َل هللا‬ ُ ‫ َس ِمع‬: ‫ض َي هللاُ َع ْنهُ قَا َل‬ ِ ‫ص ْخ ٍر َر‬ َ ‫ع َْن أَبِي هُ َر ْي َرةَ َع ْب ِد الرَّحْ َم ِن ْب ِن‬
. ‫اختِالَفُهُ ْم َعلَى أَ ْنبِيَائِ ِه ْم‬ َ َ‫ فَإِنَّ َما أَ ْهل‬،‫ َو َما أَ َمرْ تُ ُك ْم بِ ِه فَأْتُوا ِم ْنهُ َما ا ْستَطَ ْعتُ ْم‬،ُ‫َع ْنهُ فَاجْ تَنِبُوْ ه‬
ْ ‫ك الَّ ِذ ْينَ َم ْن قَ ْبلَ ُك ْم َك ْث َرةُ َم َسائِلِ ِه ْم َو‬
‫َاريُّ َو ُم ْسلِ ٌم‬
ِ ‫َر َواهُ البُخ‬
Dari Abu Hurairah ‘Abdurrahman bin Shakr radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku telah
mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Apa saja yang aku
larang, maka jauhilah. Dan apa saja yang aku perintahkan, maka kerjakanlah semampu
kalian. Sesungguhnya yang telah membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah
banyak bertanya dan menyelisihi perintah nabi-nabi mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
[HR. Bukhari, no. 7288 dan Muslim, no. 1337]

 Penjelasan Hadits:

Haditsnya secara lengkap dalam Shahih Muslim sebagai berikut.


Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam  berkhutbah di hadapan kami, lantas beliau mengatakan,

8
‫ض هَّللا ُ َعلَ ْي ُك ُم ْال َح َّج فَحُجُّ وا‬
َ ‫أَيُّهَا النَّاسُ قَ ْد فَ َر‬
“Wahai sekalian manusia, Allah telah mewajibkan haji kepada kalian, maka berhajilah.”

Ada seseorang yang berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, apakah haji
tersebut setiap tahun?” Beliau pun terdiam, sampai orang tadi bertanya sebanyak tiga
kali. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  pun berkata,

ْ ‫ك َم ْن َكانَ قَ ْبلَ ُك ْم بِ َك ْث َر ِة سُؤَالِ ِه ْم َو‬


‫اختِالَفِ ِه ْم َعلَى‬ َ َ‫ت َولَ َما ا ْستَطَ ْعتُ ْم – ثُ َّم قَا َل – َذرُونِى َما تَ َر ْكتُ ُك ْم فَإِنَّ َما هَل‬ ْ َ‫ت نَ َع ْم لَ َو َجب‬ ُ ‫لَوْ قُ ْل‬
ُ‫أَ ْنبِيَائِ ِه ْم فَإ ِ َذا أَ َمرْ تُ ُك ْم بِ َش ْى ٍء فَأْتُوا ِم ْنهُ َما ا ْستَطَ ْعتُ ْم َوإِ َذا نَهَ ْيتُ ُك ْم ع َْن َش ْى ٍء فَ َدعُوه‬

“Seandainya aku mengatakan iya (tiap tahun), tentu jadi wajiblah (tiap tahun
untuk berangkat haji) dan sungguh seperti itu kalian tentu tidak sanggup. Tinggalkanlah
aku pada apa yang aku tinggalkan bagi kalian. Ingatlah, sungguh binasanya orang-
orang sebelum kalian. Mereka binasa karena banyak bertanya dan karena menyelisihi
perintah para nabi mereka. Jika aku memerintahkan sesuatu, maka kerjakanlah
semampu kalian dan jika aku melarang pada sesuatu, maka tinggalkanlah.” (HR.
Muslim, no. 1337)
Imam Nawawi rahimahullah menyampaikan judul Bab untuk hadits di atas
“Kewajiban berhaji sekali seumur hidup”.
Laki-laki yang bertanya dalam hadits ini adalah Al-Aqra’ bin Habis sebagaimana
dijelaskan dalam riwayat lainnya.
Yang dimaksud dengan orang sebelum kalian dalam hadits sebenarnya bermakna
umum, yaitu umat-umat sebelum kita. Namun paling dekat kita katakan bahwa yang
dimaksud adalah Yahudi dan Nashrani.

Faedah Hadits:
Pertama: Kaedah dari ulama ushul, jika ada suatu perintah tidaklah menunjukkan bahwa
perintah tersebut mesti diulang. Hukum asalnya, suatu perintah dalam dalil tidak
menunjukkan adanya pengulangan kecuali ada dalil yang menunjukkan harus dirutinkan
atau diulang.
Kedua: Sebagian ulama berpandangan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam boleh
berijtihad dalam hal hukum dan tidak disyaratkan semua hukum mesti dengan wahyu. Ini
diambil dari hadits “Seandainya aku mengatakan iya (tiap tahun), tentu jadi wajiblah.”
Inilah yang jadi pendapat madzhab Syafi’iyah sebagaimana disebutkan oleh Imam
Nawawi rahimahullah.
Ketiga: Secara hukum asal, kita tidak diberi beban kewajiban. Artinya, tidak ada hukum
sampai datang dalil. Pendukung dari hukum asal ini adalah firman Allah Ta’ala,

َ ‫َو َما ُكنَّا ُم َع ِّذبِينَ َحتَّ ٰى نَ ْب َع‬


‫ث َرسُو ًل‬

9
“Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (QS. Al-Isra’:
15)

Keempat: Ada kaedah ushul fikih dari hadits ini yang dipakai oleh para ulama “tidak
ada kewajiban ketika tidak mampu”.

Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata dalam bait syair kaedah fikih yang beliau susun,

ٍ ‫ْس َوا ِجبٌ بِالَ ا ْقتِد‬


‫َار‬ َ ‫َو لَي‬
“Tidak ada kewajiban ketika tidak mampu.”
Artinya, kewajiban bisa gugur jika tidak punya kemampuan saat sebelum dan ketika
kewajiban tersebut berlangsung. Sedangkan yang dimaksud kewajiban adalah yang
dituntut oleh syari’at dengan perintah yang wajib. Perkara sunnah tidak termasuk dalam
hal ini.
Beberapa dalil yang mendukung hal ini, di antaranya adalah firman Allah Ta’ala,

‫فَاتَّقُوا هَّللا َ َما ا ْستَطَ ْعتُ ْم‬


“Bertakwalah pada Allah semampu kalian.” (QS. At-Taghabun: 16)

Ayat diatas sebagai tafsiran dari ayat,


َّ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا اتَّقُوا هَّللا َ َح‬
‫ق تُقَاتِ ِه‬

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa


kepada-Nya.” (QS. Ali Imran: 102).

Inilah pendapat Imam Nawawi rahimahullah. Beliau menyatakan bahwa perintah


bertakwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa ditafsirkan dengan ayat
“Bertakwalah pada Allah semampu kalian”. Artinya kita diperintahkan mengerjakan
suatu perintah dan menjauhi suatu larangan, Allah tidaklah memerintahkan kecuali sesuai
kemampuan kita.
Begitu juga ayat yang mendukung kaedah di atas,
‫اَل يُ َكلِّفُ هَّللا ُ نَ ْفسًا إِاَّل ُو ْس َعهَا‬
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-
Baqarah: 286)
ٍ ‫َو َما َج َع َل َعلَ ْي ُك ْم فِي الدِّي ِن ِم ْن َح َر‬
‫ج‬
“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.”
(QS. Al-Hajj: 78)

Kelima: Wajib menahan diri dari setiap apa yang dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam.
10
Keenam: Menahan diri dari yang terlarang ini mencakup larangan yang sedikit maupun
yang banyak. Contoh, riba yang sedikit dan banyak sama-sama dijauhi.
Allah Ta’ala berfirman,
َ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آَ َمنُوا اَل تَأْ ُكلُوا ال ِّربَا أَضْ َعافًا ُم‬
َ‫ضا َعفَةً َواتَّقُوا هَّللا َ لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِحُون‬
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda
dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Ali
Imran: 130)
Imam Asy-Syaukani rahimahullah menjelaskan bahwa adapun kalimat memakan
riba yang berlipat ganda, yang dimaksudkan adalah larangan memakan riba setiap saat.
Di sini penyebutan banyak (berlipat), bukanlah maksud larangan. Namun riba tetap
dilarang baik dalam keadaan banyak maupun sedikit.
Adapun diibaratkan dengan ungkapan berlipat ganda untuk menunjukkan bahwa
riba yang terjadi itu karena adanya penundaan pembayaran hingga waktu tertentu. Kalau
ada penundaan, maka ada tambahan pembayaran utang, tambahan tersebut sesuai
kesepakatan. Adanya tambahan pembayaran tersebutlah yang membuat penundaan
pembayaran itu ada. Sehingga akhirnya rentenir mengambil keuntungan berlipat-lipat
dibanding dengan utang yang pertama.

Adapun sampai disebutkan memakan riba yang berlipat ganda untuk maksud
semakin menjelekkan perbuatan riba.

Ketujuh: Menahan diri dari sesuatu lebih mudah dilakukan daripada mengerjakan
sesuatu.

Kedelapan: Mengerjakan suatu perintah itu sesuai kemampuan.

Kesembilan: Manusia itu memiliki kemampuan. Berbeda hal ini dengan keyakinan
Jabariyyah yang menyatakan manusia itu dipaksa oleh takdir untuk berbuat dan tidak
punya pilihan.

Kesepuluh: Jika seseorang tidak mampu melakukan kewajiban secara utuh, maka
diperintahkan untuk melakukan semampunya.

Kesebelas: Setiap mendengar perintah Rasul hendaklah langsung melaksanakannya tanpa


menanyakan terlebih dahulu, apakah yang diperintahkan itu dihukumi wajib atau sunnah.

Keduabelas: Segala yang diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau


yang beliau larang, maka tetaplah jadi syariat baik hal tersebut terdapat dalam Al-Qur’an
ataukah tidak. Dan bisa jadi hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi hukum
tambahan dan tidak ditemukan dalam Al-Qur’an.

11
Ketigabelas: Banyak bertanya adalah sebab kebinasaan. Contohnya adalah banyak
bertanya dalam perkara yang tidak mungkin kemampuan berpikir kita sampai ke situ
seperti permasalahan ghaib tentang nama dan sifat Allah atau tentang keadaan hari
kiamat.

Di antara makna banyak bertanya pula adalah bertanya suatu masalah yang belum
terjadi. Dulu para ulama tidak menyukai hal ini dan mereka menganggap hal itu termasuk
menyusah-nyusahkan diri. (Dinukil dari Kunuz Riyadh Ash-Shalihin, 21:132)
Sebagian salaf berkata,
‫َد ْعنَا ع َْن هَ َذا َحتَّى يَقَ َع َو َسلْ َع َّما َوقَ َع‬
“Tak usah bertanya pada kami sampai hal itu terjadi. Bertanya lagi nantinya kalau sudah
terjadi.” (Ma’alim fi Thariq Thalab Al-‘Ilmi, hlm. 63)
Umar bin Khattab pernah keluar di tengah-tengah manusia kemudian berkata,

ً‫ فَإ ِ َّن لَنَا فِ ْي َما َكانَ ُش ْغال‬، ‫أُ َح ِّر ُج َعلَ ْي ُك ْم أَ ْن تَسْأَلُوْ نَا ع َْن َما لَ ْم يَ ُك ْن‬
“Aku melarang kalian dari bertanya pada sesuatu yang belum terjadi karena sebenarnya
kita punya kesibukan yang begitu banyak.” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:245)

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

ُ ‫ فَإِنِّي َس ِمع‬، ‫الَ تَسْأَلُوْ ا َع َّما لَ ْم يَ ُك ْن‬


‫ْت ُع َم َر لَ َعنَ السَّائِ َل َع َّما لَ ْم يَ ُك ْن‬
“Janganlah bertanya tentang apa yang belum terjadi. Sungguh dahulu aku pernah
mendengar Umar melaknat yang bertanya tentang sesuatu yang belum terjadi.” (Jami’
Al-‘Ulum wa Al-Hikam,  1:245)

Zaid bin Tsabit pernah ditanya tentang suatu masalah, ia balik bertanya, “Apa yang
ditanyakan itu sudah pernah terjadi?” Jawab yang bertanya, “Tidak.” Zaid menjawab,

‫َد ُعوْ هُ َحتَّى يَ ُكوْ ن‬


“Tinggalkan bertanya seperti itu sampai hal itu terjadi.” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam,
1:245)

Keempatbelas: Umat sebelum kita binasa karena banyak bertanya dan karena
menyelisihi nabi mereka.

Kelimabelas: Setiap muslim wajib mencocoki nabinya. Ajaran yang wajib diikuti
hanyalah ajaran beliau, itulah dinul Islam sebagaimana disebutkan dalam ayat,

‫إِ َّن ال ِّدينَ ِع ْن َد هَّللا ِ اإْل ِ ْساَل ُم‬


“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.”(QS. Ali Imran: 19).

12
BAB III PENUTUP

G. Kesimpulan

Dari makalah yang diuraikan dapat kita simpulkan bahwa dalam hadits ketujuh
dari kitab Arba’in Nawawi menjelaskan tentang kewajiban sesama Muslim untuk saling
menasihati. Ada beberapa pengertian nasihat yang berbeda bergantuk konteks kepada
siapa nasihat itu diberikan diantaranya : 1) Nasihat untuk Allah diartikan beriman kepada
Allah dan tidak menyekutukan-Nya, mematuhi segala perintah dan menjauhi segala
larangan-Nya. 2) Nasihat bagi kitab Allah, maknanya beriman keagungan kalam Allah al-
Qur’an, membaca, memahami dan mengamalkannya. 3) Nasihat kepada Rasul-Nya,
maknanya mengimani kebenarannya, patuh segala yang datang dari padanya dan
menghidupkan Sunah-sunahnya, 4) Nasihat terhadap para pimpinan umat Islam, artinya
membantu mereka dalam melaksanakan kebenaran, taat segala perintahnya dan
memberikan masukan saran secara sopan jika mereka menyimpang. 5) Nasihat kepada
kaum muslimin semuanya, artinya memberikan petunjuk dan bimbingan kepada mereka
untuk kemaslahatan dunia dan akhirat serta mencegah gangguan mereka.

Hadits kedelapan dari kitab Arba’in Nawawi menjelaskan tentang siapa saja yang
berhak diperangi. Bila dalam suatu peperangan pihak yang diperangi bersyahadat:
mengakui Allah sebagai Tuhan dan Nabi sebagai utusan-Nya, mendirikan shalat,
menunaikan zakat, maka mereka tidak boleh diperangi. Harta dan darah mereka menjadi
haram untuk direnggut. Harus diperlakukan secara benar sesuai koridor Islam. Adapun
masalah perhitungan mereka, mutlak urusan Allah. Tugas Nabi dan umatnya hanyalah
berdakwah dan menjalankan perintah Allah.

Hadits yang kesembilan dari kitab Arba’in Nawawi menjelaskan tentang


Menjauhi perselisihan karena perselisihan adalah perbuatan tercela yang akan
menghancurkan umat muslim.

H. Saran

Demi kesempurnaan makalah ini, kami mengharapkan masukan yang


membangun. Semoga bermanfaat dan senantiasa menjadi manusia yang selalu menjaga
atau memelihara Al-Qur’an dengan baik. Sebagai bahan kajian yang baik maka perlu
untuk mengkaji setiap apa yang disajikan di dalamnya.

13
14
DAFTAR PUSTAKA
Al-Nawawi,Imam. Al-Hadits al-Arba’in al-Nawawiyah, Jakarta: Darul Haq

https://rumaysho.com/18210-hadits-arbain-09-jalankan-semampunya.html

https://scholar.google.co.id/scholar?
q=makalah+tentang+menjauhi+perselisihan&hl=en&as_sdt=0&as_vis=1&oi=scholart

iv

Anda mungkin juga menyukai