Arba’in Nawawi
Maulidatun Nabila
Migfaris Salamah
Ghina Sopiya
Ainul Azhar
Eko Priyanto
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga dapat menyelesaikan makalah Hadits Tarbawi ini dengan
tepat waktu. Tak lupa shalawat serta salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada junjungan
kita Nabi Muhammad SAW.
Penyusunan makalah ini ditujukan untuk memenuhi salah satu tugas Kelompok mata
kuliah Hadits Tarbawi. Kami menyadari bahwa di dalam pembuatan Makalah Hadits Tarbawi ini
masih memiliki banyak kekurangan sehingga kami berharap saran dan kritik dari pembaca
sekalian khususnya dari dosen mata kuliah Hadits Tarbawi agar dapat meningkatkan mutu dalam
penyajian berikutnya.
Penyusun
ii
Daftar Pustaka
KATA PENGANTAR.......................................................................................................................................ii
Daftar Pustaka............................................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................................................1
A. Latar Belakang.................................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................................1
C. Tujuan..............................................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................................................3
D. Hadits Ketujuh.................................................................................................................................3
E. Hadits Kedelapan.............................................................................................................................7
F. Hadits Kesembilan...........................................................................................................................8
BAB III PENUTUP........................................................................................................................................13
G. Kesimpulan....................................................................................................................................13
H. Saran..............................................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................................................iv
iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1) Bagaimana penjelasan kandungan dan maksud hadits ketujuh dari kitab Arba’in Nawawi?
2) Bagaimana penjelasan kandungan dan maksud hadits kedelapan dari kitab Arba’in
Nawawi?
3) Bagaimana penjelasan kandungan dan maksud hadits kesembilan dari kitab Arba’in
Nawawi?
1
C. Tujuan
1) Memahami maksud dan kandungan hadits ketujuh dari kitab Arba’in Nawawi.
2) Memahami maksud dan kandungan hadits kedelapan dari kitab Arba’in Nawawi.
3) Memahami maksud dan kandungan hadits kesembilan dari kitab Arba’in Nawawi.
2
BAB II PEMBAHASAN
D. Hadits Ketujuh
Penjelasan Hadits
Sebagaimana kata Al-Khatthabi rahimahullah,
ِ ْالخَير لِ ْل َم ْنصُو
ُح لَه ِْ ُصي َْحةُ َكلِ َمةٌ يُ َعبَّ ُر بِهَا ع َْن ُج ْملَ ٍة ِه َي إِ َرا َدة
ِ َّالن
“Nasihat adalah kalimat ungkapan yang bermakna mewujudkan kebaikan kepada yang
ditujukan nasihat.” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:219)
Nasihat bagi Allah adalah nasihat bagi agama-Nya, demikian pula dengan
melaksanakan perintah-perintah-Nya, dan menjauhi larangan-larangan-Nya,
membenarkan berita-berita-Nya, beribadah dan bertawakal kepada-Nya, melaksanakan
syiar-syiar dan syari’at-syari’at Islam lainnya.
Nasihat bagi kitab-Nya adalah beriman bahwa ia adalah firman Allah, beriman
pula bahwa kitab itu memuat berita-berita yang benar, hukum-hukum yang adil, kisah-
kisah yang bermanfaat, dan wajib hukumnya untuk berhukum kepadanya dalam segenap
urusan kita.
Nasihat bagi rasul-Nya yaitu dengan beriman kepadanya, dan beriman pula bahwa
beliau adalah rasul yang Allah utus kepada segenap makhluk, mencintai dan meneladani
beliau, mempercayai berita yang belaiu sampaikan, melaksanakan perintah-perintahnya,
menjauhi larangannya, dan membela agamanya.
Nasihat bagi para pemimpin kaum muslimin adalah menasihati mereka, yakni:
menjelaskan kebenaran, tidak meresahkan mereka, sabar terhadap apa-apa yang telah
diperbuat oleh mereka, baik berupa hal-hal yang menyakitkan atau yang lainnya, yaitu
berupa hak-hak mereka yang dikenal, membantu dan menolong mereka dalam perkara-
perkara yang hukumnya wajib untuk dibantu, seperti: mengusir musuh dan semisalnya.
3
Nasihat bagi kaum muslimin pada umumnya, yaitu bagi seluruh kaum muslimin,
yaitu menyampaikan nasihat kepada mereka dengan berdakwah kepada Allah, melakukan
amar ma’ruf dan nahi munkar, mengajarkan kebaikan kepada mereka, dan lain-lainnya.
Dengan hal-hal itu, maka jadilah agama ini nasihat, dan yang pertama kali masuk dalam
komunitas muslimin adalah diri orang itu sendiri, maksudnya seseorang hendaknya
menasihati dirinya sendiri.
Faedah Hadits
Keempat: Para sahabat haus akan ilmu, apa yang butuh dipahami dengan baik,
mereka selalu menanyakannya agar jelas.
4
Mengimani bahwa hukum yang ada adalah sebaik-baik hukum, tidak ada
hukum yang sebaik Al-Qur’an.
Mengimani bahwa Al-Qur’an itu kalamullah (firman Allah) secara huruf
dan makna, bukan makhluk.
Kesembilan: Imam kaum muslimin itu ada dua macam. Yang pertama adalah
ulama rabbaniyyun yang mewarisi ilmu, amal, akhlak, dan dakwah dari nabi. Yang
pertama inilah ulil amri hakiki. Yang kedua adalah penguasa yang melaksanakan syari’at
Allah, mereka terapkan pada diri mereka dan pada para hamba Allah.
5
ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah. Sedangkan
kalau maksiat itu dilakukan oleh diri penguasa itu sendiri (mereka zalim),
tetaplah mereka ditaati dalam perintahnya, bukan dalam mengikuti
maksiat yang mereka lakukan.
Menutup aib mereka sebisa mungkin, bukan mudah-mudahan
menyebarnya. Namun tetap ada nasihat langsung kepada mereka atau
lewat orang-orang yang dekat dengan mereka, tanpa mesti diketahui orang
banyak.
Tidak boleh memberontak kepada mereka kecuali melihat ada kekufuran
yang nyata dengan dalil pasti dan ada kemaslahatan yang besar.
Keduabelas: Dalam masyarakat Islam, pemimpin atau penguasa mesti ada, baik
yang memimpin masyarakat banyak maupun masyarakat yang lebih khusus.
6
E. Hadits Kedelapan
Artinya :
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa
tidak ada sesembahan yang berkah untuk diibadahi kecuali Allah, dan Muhammad adalah
Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat. Jika mereka telah melakukan hal itu,
akan terjagalah darah-darah dan harta-harta mereka dariku, kecuali dengan hak Islam,
sedangkan perhitungan mereka diserahkan kepada Allah.”
(HR. Bukhari dan Muslim) [HR. Bukhari, no. 25 dan Muslim, no. 21]
Penjelasan Hadits
“Aku diperintahkan”, maksudnya adalah, bahwa Allahlah yang telah
memerintah beliau, beliau tidak menyebutkan subyeknya, karena hal itu telah
dimaklumi, karena yang memerintahkan dan yang melarang beliau hanyalah
Allah.
“Memerangi manusia hingga mereka bersaksi”, ini berlaku umum, akan
tetapi hadits ini telah dikhususkan oleh firman Allah subhanahu wata’ala,
َوا الَّ ِذينَ الَ ي ُْؤ ِمنُونَ بِاهّلل ِ َوالَ بِ ْاليَوْ ِم اآل ِخ ِر َوالَ ي َُح ِّر ُمونَ َما َح َّر َم هّللا ُ َو َرسُولُهُ َوالَ يَ ِدينُونَ ِدين
ْ ُقَاتِل
َصا ِغرُون َ وا ْال ِج ْزيَةَ عَن يَ ٍد َوهُ ْم
ْ َُاب َحتَّى يُ ْعط َ وا ْال ِكت ْ ُق ِمنَ الَّ ِذينَ أُوت ِّ ْال َح
7
Di antara faedah hadits ini adalah:
1) Wajib memerangi manusia hingga mereka mau masuk ke dalam agama Islam atau
membayar upeti (jika mereka tidak mau masuk ke dalam Islam, berdasarkan
hadits ini dan dalil-dalil lainnya yang telah kami sebutkan
2) Orang yang tidak mau membayar zakat boleh untuk diperangi. Oleh karena itu,
Abu Bakar telah memerangi orang-rang yang tidak mau membayar zakat.
3) Orang-orang yang secara zhahirnya (lahiriyahnya) beragama Islam, maka
bathinnya (apa yang ada di dalam hatinya) diserahkan kepada Allah. Oleh karena
itu, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika mereka telah melakukan
hal itu, akan terjaga darah dan harta mereka dariku, kecuali dengan hak Islam,
sedangkan perhitungan mereka diserahkan kepada Allah.”
ُفَ َمن يَ ْع َملْ ِم ْثقَا َل َذ َّر ٍة َخ ْيرًا يَ َرهُ * َو َمن يَ ْع َملْ ِم ْثقَا َل َذ َّر ٍة َش ًّرا يَ َره
F. Hadits Kesembilan
َما نَهَ ْيتُ ُك ْم: صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَقُوْ ُل َ ِْت َرسُوْ َل هللا ُ َس ِمع: ض َي هللاُ َع ْنهُ قَا َل ِ ص ْخ ٍر َر َ ع َْن أَبِي هُ َر ْي َرةَ َع ْب ِد الرَّحْ َم ِن ْب ِن
. اختِالَفُهُ ْم َعلَى أَ ْنبِيَائِ ِه ْم َ َ فَإِنَّ َما أَ ْهل، َو َما أَ َمرْ تُ ُك ْم بِ ِه فَأْتُوا ِم ْنهُ َما ا ْستَطَ ْعتُ ْم،َُع ْنهُ فَاجْ تَنِبُوْ ه
ْ ك الَّ ِذ ْينَ َم ْن قَ ْبلَ ُك ْم َك ْث َرةُ َم َسائِلِ ِه ْم َو
َاريُّ َو ُم ْسلِ ٌم
ِ َر َواهُ البُخ
Dari Abu Hurairah ‘Abdurrahman bin Shakr radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku telah
mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Apa saja yang aku
larang, maka jauhilah. Dan apa saja yang aku perintahkan, maka kerjakanlah semampu
kalian. Sesungguhnya yang telah membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah
banyak bertanya dan menyelisihi perintah nabi-nabi mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
[HR. Bukhari, no. 7288 dan Muslim, no. 1337]
Penjelasan Hadits:
8
ض هَّللا ُ َعلَ ْي ُك ُم ْال َح َّج فَحُجُّ وا
َ أَيُّهَا النَّاسُ قَ ْد فَ َر
“Wahai sekalian manusia, Allah telah mewajibkan haji kepada kalian, maka berhajilah.”
Ada seseorang yang berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, apakah haji
tersebut setiap tahun?” Beliau pun terdiam, sampai orang tadi bertanya sebanyak tiga
kali. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata,
“Seandainya aku mengatakan iya (tiap tahun), tentu jadi wajiblah (tiap tahun
untuk berangkat haji) dan sungguh seperti itu kalian tentu tidak sanggup. Tinggalkanlah
aku pada apa yang aku tinggalkan bagi kalian. Ingatlah, sungguh binasanya orang-
orang sebelum kalian. Mereka binasa karena banyak bertanya dan karena menyelisihi
perintah para nabi mereka. Jika aku memerintahkan sesuatu, maka kerjakanlah
semampu kalian dan jika aku melarang pada sesuatu, maka tinggalkanlah.” (HR.
Muslim, no. 1337)
Imam Nawawi rahimahullah menyampaikan judul Bab untuk hadits di atas
“Kewajiban berhaji sekali seumur hidup”.
Laki-laki yang bertanya dalam hadits ini adalah Al-Aqra’ bin Habis sebagaimana
dijelaskan dalam riwayat lainnya.
Yang dimaksud dengan orang sebelum kalian dalam hadits sebenarnya bermakna
umum, yaitu umat-umat sebelum kita. Namun paling dekat kita katakan bahwa yang
dimaksud adalah Yahudi dan Nashrani.
Faedah Hadits:
Pertama: Kaedah dari ulama ushul, jika ada suatu perintah tidaklah menunjukkan bahwa
perintah tersebut mesti diulang. Hukum asalnya, suatu perintah dalam dalil tidak
menunjukkan adanya pengulangan kecuali ada dalil yang menunjukkan harus dirutinkan
atau diulang.
Kedua: Sebagian ulama berpandangan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam boleh
berijtihad dalam hal hukum dan tidak disyaratkan semua hukum mesti dengan wahyu. Ini
diambil dari hadits “Seandainya aku mengatakan iya (tiap tahun), tentu jadi wajiblah.”
Inilah yang jadi pendapat madzhab Syafi’iyah sebagaimana disebutkan oleh Imam
Nawawi rahimahullah.
Ketiga: Secara hukum asal, kita tidak diberi beban kewajiban. Artinya, tidak ada hukum
sampai datang dalil. Pendukung dari hukum asal ini adalah firman Allah Ta’ala,
9
“Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (QS. Al-Isra’:
15)
Keempat: Ada kaedah ushul fikih dari hadits ini yang dipakai oleh para ulama “tidak
ada kewajiban ketika tidak mampu”.
Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata dalam bait syair kaedah fikih yang beliau susun,
Kelima: Wajib menahan diri dari setiap apa yang dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam.
10
Keenam: Menahan diri dari yang terlarang ini mencakup larangan yang sedikit maupun
yang banyak. Contoh, riba yang sedikit dan banyak sama-sama dijauhi.
Allah Ta’ala berfirman,
َ يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آَ َمنُوا اَل تَأْ ُكلُوا ال ِّربَا أَضْ َعافًا ُم
َضا َعفَةً َواتَّقُوا هَّللا َ لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِحُون
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda
dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Ali
Imran: 130)
Imam Asy-Syaukani rahimahullah menjelaskan bahwa adapun kalimat memakan
riba yang berlipat ganda, yang dimaksudkan adalah larangan memakan riba setiap saat.
Di sini penyebutan banyak (berlipat), bukanlah maksud larangan. Namun riba tetap
dilarang baik dalam keadaan banyak maupun sedikit.
Adapun diibaratkan dengan ungkapan berlipat ganda untuk menunjukkan bahwa
riba yang terjadi itu karena adanya penundaan pembayaran hingga waktu tertentu. Kalau
ada penundaan, maka ada tambahan pembayaran utang, tambahan tersebut sesuai
kesepakatan. Adanya tambahan pembayaran tersebutlah yang membuat penundaan
pembayaran itu ada. Sehingga akhirnya rentenir mengambil keuntungan berlipat-lipat
dibanding dengan utang yang pertama.
Adapun sampai disebutkan memakan riba yang berlipat ganda untuk maksud
semakin menjelekkan perbuatan riba.
Ketujuh: Menahan diri dari sesuatu lebih mudah dilakukan daripada mengerjakan
sesuatu.
Kesembilan: Manusia itu memiliki kemampuan. Berbeda hal ini dengan keyakinan
Jabariyyah yang menyatakan manusia itu dipaksa oleh takdir untuk berbuat dan tidak
punya pilihan.
Kesepuluh: Jika seseorang tidak mampu melakukan kewajiban secara utuh, maka
diperintahkan untuk melakukan semampunya.
11
Ketigabelas: Banyak bertanya adalah sebab kebinasaan. Contohnya adalah banyak
bertanya dalam perkara yang tidak mungkin kemampuan berpikir kita sampai ke situ
seperti permasalahan ghaib tentang nama dan sifat Allah atau tentang keadaan hari
kiamat.
Di antara makna banyak bertanya pula adalah bertanya suatu masalah yang belum
terjadi. Dulu para ulama tidak menyukai hal ini dan mereka menganggap hal itu termasuk
menyusah-nyusahkan diri. (Dinukil dari Kunuz Riyadh Ash-Shalihin, 21:132)
Sebagian salaf berkata,
َد ْعنَا ع َْن هَ َذا َحتَّى يَقَ َع َو َسلْ َع َّما َوقَ َع
“Tak usah bertanya pada kami sampai hal itu terjadi. Bertanya lagi nantinya kalau sudah
terjadi.” (Ma’alim fi Thariq Thalab Al-‘Ilmi, hlm. 63)
Umar bin Khattab pernah keluar di tengah-tengah manusia kemudian berkata,
ً فَإ ِ َّن لَنَا فِ ْي َما َكانَ ُش ْغال، أُ َح ِّر ُج َعلَ ْي ُك ْم أَ ْن تَسْأَلُوْ نَا ع َْن َما لَ ْم يَ ُك ْن
“Aku melarang kalian dari bertanya pada sesuatu yang belum terjadi karena sebenarnya
kita punya kesibukan yang begitu banyak.” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:245)
Zaid bin Tsabit pernah ditanya tentang suatu masalah, ia balik bertanya, “Apa yang
ditanyakan itu sudah pernah terjadi?” Jawab yang bertanya, “Tidak.” Zaid menjawab,
Keempatbelas: Umat sebelum kita binasa karena banyak bertanya dan karena
menyelisihi nabi mereka.
Kelimabelas: Setiap muslim wajib mencocoki nabinya. Ajaran yang wajib diikuti
hanyalah ajaran beliau, itulah dinul Islam sebagaimana disebutkan dalam ayat,
12
BAB III PENUTUP
G. Kesimpulan
Dari makalah yang diuraikan dapat kita simpulkan bahwa dalam hadits ketujuh
dari kitab Arba’in Nawawi menjelaskan tentang kewajiban sesama Muslim untuk saling
menasihati. Ada beberapa pengertian nasihat yang berbeda bergantuk konteks kepada
siapa nasihat itu diberikan diantaranya : 1) Nasihat untuk Allah diartikan beriman kepada
Allah dan tidak menyekutukan-Nya, mematuhi segala perintah dan menjauhi segala
larangan-Nya. 2) Nasihat bagi kitab Allah, maknanya beriman keagungan kalam Allah al-
Qur’an, membaca, memahami dan mengamalkannya. 3) Nasihat kepada Rasul-Nya,
maknanya mengimani kebenarannya, patuh segala yang datang dari padanya dan
menghidupkan Sunah-sunahnya, 4) Nasihat terhadap para pimpinan umat Islam, artinya
membantu mereka dalam melaksanakan kebenaran, taat segala perintahnya dan
memberikan masukan saran secara sopan jika mereka menyimpang. 5) Nasihat kepada
kaum muslimin semuanya, artinya memberikan petunjuk dan bimbingan kepada mereka
untuk kemaslahatan dunia dan akhirat serta mencegah gangguan mereka.
Hadits kedelapan dari kitab Arba’in Nawawi menjelaskan tentang siapa saja yang
berhak diperangi. Bila dalam suatu peperangan pihak yang diperangi bersyahadat:
mengakui Allah sebagai Tuhan dan Nabi sebagai utusan-Nya, mendirikan shalat,
menunaikan zakat, maka mereka tidak boleh diperangi. Harta dan darah mereka menjadi
haram untuk direnggut. Harus diperlakukan secara benar sesuai koridor Islam. Adapun
masalah perhitungan mereka, mutlak urusan Allah. Tugas Nabi dan umatnya hanyalah
berdakwah dan menjalankan perintah Allah.
H. Saran
13
14
DAFTAR PUSTAKA
Al-Nawawi,Imam. Al-Hadits al-Arba’in al-Nawawiyah, Jakarta: Darul Haq
https://rumaysho.com/18210-hadits-arbain-09-jalankan-semampunya.html
https://scholar.google.co.id/scholar?
q=makalah+tentang+menjauhi+perselisihan&hl=en&as_sdt=0&as_vis=1&oi=scholart
iv