Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

BATASAN KETAATAN KEPADA PEMIMPIN

OLEH:

KELOMPOK 1 KELAS HTN D

FIFIN ALFIAN

HERU AFRILIAN

MUH ALI IMRAN

MUH TANRI SONI

(tdk ikut presentase/tdk hadir)


KATA PENGANTAR

Alhamdulillah. Puji syukur kehadirat Allah SWT senantiasa kita ucapkan. Atas karunia-Nya berupa
nikmat iman dan kesehatan ini akhirnya penulis bisa menyelesaikan makalah bertema Pancasila. Tidak
lupa sholawat serta salam tercurahkan bagi Baginda Agung Rasulullah SAW yang syafaatnya akan kita
nantikan kelak.

Makalah berjudul “Batasan ketaatan pada pemimpin” merupakan sedikit contoh implementasi.

Adapun penulisan makalah ini dibuat untuk memenuhitugas mata kuliah Hadis Hukum penulis
mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah membaca serta membantu penyelesaian makalah.
Harapannya, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca sekaligus menumbuhkan rasa
cinta akan islam.

Dengan kerendahan hati, penulis memohon maaf apabila ada ketidak sesuaian kalimat dan kesalahan.
Meskipun demikian, penulis terbuka pada kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan makalah.
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ajaran Islam secara tegas menyatakan bahwa kepemimipinan merupakan variabel yang tidak boleh
diabaikan dalam pembangunan masyarakat, bangsa, dan bernegara Al-Qurán dan Hadist telah banyak
memberikan gambaran tentang adanya hubungan positif antara pemimpin yang baik dengan tingkat
kesejahteraan masyarakat

Dalam pandangan Islam , seorang pemipin yang diberi amanat oleh Allah SWT untuk memimpin rakyat,
yang di akhirat kelak akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah SWT. Dengan demikian, meskipun
seorang pemimpin dapat meloloskan dari tuntutan rakyatnya selama di dunia, ia tidak akan mampu
meloloskan diri dari tuntutan Allah di akhirat kelak. Oleh karena itu, seorang pemimpin hendaknya tidak
memposisikan diri sebagai orang yang paling berkuasa diantara rakyat yang dipimpinnya sehingga
bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Namun sebaliknya , ia harus mampu menempatkan diri
sebagai pelayan masyarakat atau komunitas yang dipimpinnya, dalam hadist lain disampaikan hal yang
sama “Pemimpin adalah Pengabdi (pelayan) mereka”. (HR.Abu Naím)

Allah SWT berfirman dalam Surat An-nisa Ayat 58

ِ َ‫اس أَ ْن تَحْ ُك ُموا بِ ْال َع ْد ِل إِ َّن هَّللا َ نِ ِع َّما يَ ِعظُ ُك ْم بِ ِه إِ َّن هَّللا َ َكانَ َس ِميعًا ب‬
‫صيرًا‬ ِ ‫إِ َّن هَّللا َ يَأْ ُم ُر ُك ْم أَ ْن تُؤَ ُّدوا األ َمانَا‬
ِ َّ‫ت إِلَى أَ ْهلِهَا َوإِ َذا َح َك ْمتُ ْم بَ ْينَ الن‬

Terjemah :

“sesungguhnya Allah SWT menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya,
dan menyuruh (menyuruh kamu kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya allah adalah maha mendengar lagi maha melihat” ( QS. An-nisa : 58)
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan hasil pemaparan diatas maka kami mengangkat beberapa rumusan masalah, yang
akan kita bahas dalam makalah ini, yaitu:
1. Apa pengertian pemimpin ?
2. Apakah hadist batasan ketaatan kepada pemimpin itu sahih?
3. Apakah hadits batasan ketaatan kepada pemimpin adalah hujjah?
4. Bagaimana seorang pemimpin menjadi pelayan bagi masyarakatnya?
5. Bagaimana batasan ketaatan kepada pemimpin

C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian pemimpin
2. Mengetahui kesahih-an hadist
3. Mengetahui kehujjahan hadist
4. Mengetahui cara pemimpin menjadi pelayan masyarakatnya
5. Mengetahui batasan ketaatan pada pemimpin
BAB II

PEMBAHASAN
A. Hadist dan terjemahannya

Batasan Ketataan kepada pemimpin

pُ‫ال ال َّس ْم ُع َوالطَّا َعة‬ َ َ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم أَنَّهُ ق‬


َ ِ ‫ُول هَّللا‬
ِ ‫َع ْن َع ْب ِد هَّللا ِ َع ْن َرس‬
‫ْصيَ ٍة‬ ِ ‫ْصيَ ٍة فَإِ َذا أُ ِم َر بِ َمع‬
ِ ‫َعلَى ْال َمرْ ِء ْال ُم ْسلِ ِم فِي َما أَ َحبَّ َو َك ِرهَ َما لَ ْم ي ُْؤ َمرْ بِ َمع‬
)‫فَاَل َس ْم َع َواَل طَا َعةَ (البخاري‬
Artinya : dari Abdullah bin Umar dari Rasulullah SAW, bahwa beliau bersabda: "Kewajiban
seorang muslim adalah mendengar dan mentaati dalam perkara yang ia senangi maupun ia benci,
selama ia tidak diperintahkan untuk bermaksiat. Apabila ia diperintakan untuk bermaksiat, maka
tidak boleh mendengar dan mentaati."
HR. Bukhari

B. Kedudukan hadist

Kedudukan hadist adalah shahih,Apabila diriwayatkan oleh para perawi yang dapat dipercaya
pengamalan agamanya, dikenal sebagai orang yang jujur mermahami hadits yang diriwayatkan dengan
baik, mengetahui perubahan arti hadits bila terjadi perubahan lafadnya; mampu meriwayatkan hadits
secara lafad, terpelihara hafalannya bila meriwayatkan hadits secara lafad, bunyi hadits yang Dia
riwayatkan sama dengan hadits yang diriwayatkan orang lain dan terlepas dari tadlis (penyembuyian
cacat),

 Bisa di jadikan hujjah karena bersumber dari Rasulullah SAW


Jika ditinjau baik dari hal-hal yang bersifat teoritis ataupun secara praktis, hadis merupakan penafsir al-
Quran. Hal ini mengingat bahwa pribadi Nabi merupakan perwujudan dari al-Quran yang ditafsirkan
untuk manusia, serta ajaran Islam yang dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, siapa
saja yang ingin mengetahui tentang manhaj (metodologi) praktis Islam dengan segala karakteristik dan
pokok-pokok ajarannya, maka hal itu dapat dipelajari secara rinci dan teraktualisasi dalam sunnah
nabawiyah.15 Meskipun demikian, realitas menggambarkan bahwa memahami sebuah teks tidak
selamanya serta merta diperoleh begitu saja. Oleh karena itu para muhadditsin berupaya merumuskan
beberapa macam metode kajian hadis dalam upaya membumikan pesan Tuhan lewat pernyataan verbal,
aktivitas, dan taqrir Nabi. Di samping itu, para ulama hadis juga memperkenalkan berbagai teknik
interpretasi dan model pendekatan dalam memahami hadis Nabi Sesuai dengan fungsinya, hadis berfungsi
sebagai penjelas (bayan) dari al-Quran. Fungsi ini berguna untuk menjadi titik pijak untuk menjalankan
hukum dan ajaran Islam. Selain itu, hadis juga banyak mengandung hukum-hukum yang tidak diatur
dalam al-Quran.Oleh karenanya, dilihat dari segi periwayatan al-Quran memiliki kedudukan sebagai
qath’iyul wurud, sedangkan hadis kadangkalanya qath’iyul wurud dan sebagian yang lainnya
berkedudukan sebagai zhanniyul wurud.Sehingga, otoritas hadis menempati posisi kedua sesudah al-
Quran dalam tataran validitas kehujjahan isi yang dikandungnya.

C. Biografi perawi hadist (Imam al-bukhari)

Kelahiran Imam Bukhari

Imam Bukhari (semoga Allah merahmatinya) lahir di Bukhara, Uzbekistan, Asia Tengah. Nama
lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Badrdizbah
Al-Ju’fiy Al Bukhari, namun beliau lebih dikenal dengan nama Bukhari. Beliau lahir pada hari Jumat,
tepatnya pada tanggal 13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M). Kakeknya bernama Bardizbeh, turunan Persi
yang masih beragama Zoroaster. Tapi orangtuanya, Mughoerah, telah memeluk Islam di bawah asuhan
Al-Yaman el-Ja’fiy. Sebenarnya masa kecil Imam Bukhari penuh dengan keprihatinan. Di samping
menjadi anak yatim, juga tidak dapat melihat karena buta (tidak lama setelah lahir, beliau kehilangan
penglihatannya tersebut). Ibunya senantiasa berusaha dan berdo’a untuk kesembuhan beliau.
Alhamdulillah, dengan izin dan karunia Allah, menjelang usia 10 tahun matanya sembuh secara total.

Imam Bukhari adalah ahli hadits yang termasyhur diantara para ahli hadits sejak dulu hingga kini
bersama dengan Imam Ahmad, Imam Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasai, dan Ibnu Majah. Bahkan
dalam kitab-kitab fiqih dan hadits, hadits-hadits beliau memiliki derajat yang tinggi. Sebagian
menyebutnya dengan julukan Amirul Mukminin fil Hadits (Pemimpin kaum mukmin dalam hal Ilmu
Hadits). Dalam bidang ini, hampir semua ulama di dunia merujuk kepadanya. Tempat beliau lahir kini
termasuk wilayah Rusia, yang waktu itu memang menjadi pusat kebudayaan ilmu pengetahuan Islam
sesudah Madinah, Damaskus dan Bagdad. Daerah itu pula yang telah melahirkan filosof-filosof besar
seperti al-Farabi dan Ibnu Sina. Bahkan ulama-ulama besar seperti Zamachsari, al-Durdjani, al-Bairuni
dan lain-lain, juga dilahirkan di Asia Tengah. Sekalipun daerah tersebut telah jatuh di bawah kekuasaan
Uni Sovyet (Rusia), namun menurut Alexandre Benningsen dan Chantal Lemercier Quelquejay dalam
bukunya “Islam in the Sivyet Union” (New York, 1967), pemeluk Islamnya masih berjumlah 30 milliun.
Jadi merupakan daerah yang pemeluk Islam-nya nomor lima besarnya di dunia setelah Indonesia,
Pakistan, India dan Cina.

Keluarga Serta Guru–guru Imam Bukhari

Bukhari dididik dalam keluarga ulama yang taat beragama. Dalam kitab As-Siqat, Ibnu Hibban menulis
bahwa ayahnya dikenal sebagai orang yang wara’ dalam arti berhati-hati terhadap hal-hal yang hukumnya
bersifat syubhat (ragu-ragu), terlebih lebih terhadap hal-hal yang sifatnya haram. Ayahnya adalah seorang
ulama bermadzhab Maliki dan merupakan mudir dari Imam Malik, seorang ulama besar dan ahli fikih.
Ayahnya wafat ketika Bukhari masih kecil. Bukhari berguru kepada Syekh Ad-Dakhili, ulama ahli hadits
yang masyhur di Bukhara. Pada usia 16 tahun bersama keluarganya, ia mengunjungi kota suci Mekkah
dan Madinah, dimana di kedua kota suci itu beliau mengikuti kuliah para guru-guru besar ahli hadits.
Pada usia 18 tahun beliau menerbitkan kitab pertamanya “Qudhaya as Shahabah wat Tabi’ien”
(Peristiwa-peristiwa Hukum di zaman Sahabat dan Tabi’ien).

Bersama gurunya Syekh Ishaq, beliau menghimpun hadits-hadits shahih dalam satu kitab, dimana
dari satu juta hadits yang diriwayatkan oleh 80.000 perawi disaring lagi menjadi 7275 hadits. Diantara
guru-guru beliau dalam memperoleh hadits dan ilmu hadits antara lain adalah Ali bin Al Madini, Ahmad
bin Hanbali, Yahya bin Ma’in, Muhammad bin Yusuf Al Faryabi, Maki bin Ibrahim Al Bakhi,
Muhammad bin Yusuf al Baykandi dan Ibnu Rahwahih. Selain itu ada 289 ahli hadits yang haditsnya
dikutip dalam kitab Shahih-nya.

Karya-karya Imam Bukhari

Karyanya yang pertama berjudul “Qudhaya as Shahabah wat Tabi’ien” (Peristiwa-peristiwa Hukum di
zaman Sahabat dan Tabi’ien). Kitab ini ditulisnya ketika masih berusia 18 tahun. Ketika menginjak usia
22 tahun, Imam Bukhari menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci bersama-sama dengan ibu dan kakaknya
yang bernama Ahmad. Di sanalah beliau menulis kitab “At-Tarikh” (sejarah) yang terkenal itu. Beliau
pernah berkata, “Saya menulis buku “At-Tarikh” di atas makam Nabi Muhammad SAW di waktu malam
bulan purnama”.

Karya Imam Bukhari lainnya antara lain adalah kitab Al-Jami’ ash Shahih, Al-Adab al Mufrad,
At Tharikh as Shaghir, At Tarikh Al Awsat, At Tarikh al Kabir, At Tafsir Al Kabir, Al Musnad al Kabir,
Kitab al ‘Ilal, Raf’ul Yadain fis Salah, Birrul Walidain, Kitab Ad Du’afa, Asami As Sahabah dan Al
Hibah. Diantara semua karyanya tersebut, yang paling monumental adalah kitab Al-Jami’ as-Shahih yang
lebih dikenal dengan nama Shahih Bukhari.

Wafatnya Imam Bukhari

Suatu ketika penduduk Samarkand mengirim surat kepada Imam Bukhari. Isinya, meminta dirinya agar
menetap di negeri itu (Samarkand). Ia pun pergi memenuhi permohonan mereka. Ketika perjalanannya
sampai di Khartand, sebuah desa kecil terletak dua farsakh (sekitar 10 Km) sebelum Samarkand, ia
singgah terlebih dahulu untuk mengunjungi beberapa familinya. Namun disana beliau jatuh sakit selama
beberapa hari. Dan Akhirnya meninggal pada tanggal 31 Agustus 870 M (256 H) pada malam Idul Fitri
dalam usia 62 tahun kurang 13 hari. Beliau dimakamkan selepas Shalat Dzuhur pada Hari Raya Idul Fitri.
Sebelum meninggal dunia, ia berpesan bahwa jika meninggal nanti jenazahnya agar dikafani tiga helai
kain, tanpa baju dalam dan tidak memakai sorban. Pesan itu dilaksanakan dengan baik oleh masyarakat
setempat. Beliau meninggal tanpa meninggalkan seorang anakpun.

D. Pengertian Pemimpin

a. Secara istilah Pemimpin berasal dari kata “pimpin” yang berarti bimbing dan tuntun. Dengan
demikian di dalamnya ada dua pihak yang terlibat yaitu yang “dipimpin” dan yang “memimpin”. Setelah
ditambah awalan “pe” menjadi “pemimpin” yang berarti orang yang menuntun atau yang membimbing.

b. Secara etimologi pemimpin adalah orang yang mampu mempengaruhi serta membujuk pihak lain agar
melakukan tindakan pencapaian tujuan bersama, sehingga dengan demikian yang bersangkutan menjadi
awal struktur dan pusat proses kelompok. Kemudian secara terminologis banyak ditemukan definisi
tentang pemimpin. Para pakar manajemen biasanya mendefinisikan pemimpin menurut pandangan
pribadi mereka, dan aspek-aspek fenomena dari kepentingan yang paling baik bagi pakar yang
bersangkutan. Sehingga Stogdil membuat menyatakan bahwa Definisi kepemimpinan sebanyak dengan
pandangan masing-masing yang mendefinisikannya. Kemudian pemimpin yang dikemukakan oleh Edwin
A. Locke, adalah orang yang berproses membujuk (inducing) orang lain untuk mengambil langkah-
langkah menuju suatu sasaran bersama. Pengertian ini mengandung tiga elemen penting yaitu Pemimpin
adalah orang yang membuat suatu konsep relasi (relation concept). Disebut sebagai pemimpin apabila ada
relasi dengan orang lain. Jika tidak ada relasi atau pengikut, maka hal itu tidak dapat disebut pemimpin.
Tersirat dalam pengertian tersebut, bahwa para pemimpin efektif harus mengetahui bagaimana
membangkitkan inspirasi dan berelasi dengan para pengikut mereka.

 Pemimpin Sebagai Pelayan Masyarakat


Pemimpin adalah imam yang patut diteladani. Seorang pemimpin atau imam harus mampu
menjalankan amanah yang diembannya. Ia harus mampu dan mau menjadi pelayan masyarakat, karena
pemimpin itu adalah pelayan masyarakat, bukan masyarakat melayani pemimpin . Di dalam sebuah
hadist menjelaskan dalam kitab Al-lu’lu wa al Marjan yang berbunyi :

‫ك‬َ ُ‫ ِّدث‬p‫ إِنِّ ْي ُم َح‬:ٌ‫ل‬pَ‫هُ َم ْعق‬pَ‫ا َل ل‬pَ‫ فَق‬،‫ ِه‬pْ‫ض ِه الَّ ِذيْ َماتَ فِي‬ ٍ ‫ار ع َِن ْال َح َس ِن أَ َّن ُعبَ ْي َد هللاِ ْب ِن ِزيَا ٍد عَا َد َم ْعقَ َل ْبنَ يَ َس‬
ِ ‫ار فِى َم َر‬ ُ ‫َح ِدي‬
ٍ ‫ْث َم ْعقَ ِل ب ِْن يَ َس‬
‫ ْي َح ٍة‬pp‫َص‬ ْ َ َ ً ْ ْ ُ َّ َ
ِ ‫ َمن ِمن َع ْب ٍد اِ ْستَرْ عَاهُ هللاُ َر ِعيَّة فل ْم يَحُطهَا بِن‬:ُ‫صلى هللاُ َعل ْي ِه َو َسل َم يَقوْ ل‬ َّ َ ‫ي‬ َّ ُ َّ َ
َّ ِ‫صلى هللاُ َعل ْي ِه َو َسل َم َس ِمعْت النب‬ َّ َ ِ‫َح ِد ْيثًا َس ِم ْعتهُ ِمن َرسُوْ ِل هللا‬
ْ ُ
)‫ باب من استرعى رعية فلم ينصح‬:‫كتاب األحكام‬-92 ‫ (أخرجه البخاري فى‬.‫إِالَّ لَ ْم يَ ِج ْد َرائِ َحةَ ْال َجنَّ ِة‬.

Artinya:

“Al-Hasan berkata, Ubaidillah bin Ziyad menjenguk Ma’qal bin Yasar ra., ketika ia sakit yang
menyebabkan kematiannya, maka Ma’qal berkata kepada Ubaidillah bin Ziyad, “Aku akan
menyampaikan kepadamu sebuah hadits yang telah dengar dari Rasulullah saw., aku telah mendengar
Nabi saw. Bersabda, “Tiada seorang hamba yang diberi amanat rakyat oleh Allah lalu ia tidak
memeliharanya dengan baik, melainkan Allah tidak akan merasakan padanya harumnya surga (melainkan
tidak mendapat bau surga)”.

Dikeluarkan oleh Imam Bukhari dalam kitab “Hukum-hukum” bab “Orang yang diberi amanat
kepemimpinan). Hadist yang disampaikan Ma’qil bin Yasir ini menginformasikan pada kita bahwa Nabi
SAW telah menegaskan orang yang memegang suatu jabatan, berarti jadi pelayan masyarakat. Bila dalam
tugas melayani masyarakat yang berhubungan dengan jabatan tersebut tidak dilaksanakan sebagaimana
mestinya (tidak profesional), sehingga masyarakat merasa dirugikan, atau dizhalimi, berarti zalim/khianat
sesama manusia. Oleh karena itu, hukuman bagi orang tersebut menurut Rasulullah adalah penghuni
neraka. Bahwa setiap seorang pemimpin yang sehat akalnya, otomatis pemimpin/pengembala/pemelihara.
Justru itu wajib menyelamatkan diri sendiri, keluarga, dan masyarakat. Melaksanakan pelayanan baik
terhadap apa yang telah dipimpinnya merupakan tuntunan ajaran Islam, sebab jika tidak dilaksanakan
akan mendapatkan ancaman dan siksaan Allah SWT.

Dalam pandangan Islam , seorang pemimpin yang diberi amanat oleh Allah SWT untuk
memimpin rakyat, yang diakhirat kelak akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah SWT. Dengan
demikian, meskipun seorang pemimpin dapat meloloskan dari tuntutan rakyatnya selama di dunia, ia
tidak akan mampu meloloskan diri dari tuntutan Allah di akhirat kelak. Oleh karena itu, seorang
pemimpin hendaknya tidak memposisikan diri sebagai orang yang paling berkuasa diantara rakyat yang
dipimpinnya sehingga bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Namun sebaliknya , ia harus
mampu menempatkan diri sebagai pelayan masyarakat atau komunitas yang dipimpinnya, dalam hadist
lain disampaikan hal yang sama “Pemimpin adalah Pengabdi (pelayan) mereka”. (HR.Abu Naím). Agar
kaum muslim memiliki pemimpin yang adil, yang mampu memelihara dan menjaga mereka yang betul-
betul didasarkan pada kualitas, integrasi, loyalitas dan yang paling penting adalah perilaku dan ketaatan
dalam keagamaannya. Jangan memilih pemimpin karena didasarkan rasa emosional, baik dari ras, suku,
bangsa , atau keturunan.

Hadis nabi dijelaskan Abu maryam al’ azdy r.a berkata kepada muawiyah: saya telah mendengar
rasulullah saw bersabda: siapa yang diserahi oleh allah mengatur kepentingan kaum muslimin, yang
kemdian ia sembunyi dari hajat kepentingan mereka, maka Allah akan menolak hajat kepentingan dan
kebutuhannya pada hari qiyamat. Maka kemudian muawiyah mengangkat seorang untuk melayani segala
hajat kebutuhan orang-orang (rakyat). (abu dawud, attirmidzy).

Pemimpin sebagai pelayan dan rakyat sebagai tuan. Itulah kira-kira yang hendak disampaikan
oleh hadis di atas. Meski tidak secara terang-terangan hadis di atas menyebutkan rakyat sebagai tuan dan
pemimpin sebagai pelayan, namun setidaknya hadis ini hendak menegaskan bahwa islam memandang
seorang pemimpin tidak lebih tinggi statusnya dari rakyat, karena hakekat pemimpin ialah melayani
kepentingan rakyat. Sebagai seorang pelayan, ia tentu tidak beda dengan pelayan-pelayan lainnya yang
bertugas melayani kebutuhan-kebutuhan majikannya. Seorang pelayan rumah tangga, misalkan, harus
bertanggung jawab untuk melayani kebutuhan majikannya. Demikian juga seorang pelayan kepentingan
rakyat harus bertanggung jawab untuk melayani seluruh kepentingan rakyatnya.

Dalam konteks indonesia, sosok “pelayan” yang bertugas untuk memenuhi kepentingan “tuan”
rakyat ini adalah Presiden, Menteri, DPR, MPR, MA, Bupati, Walikota, Gubernur, Kepala Desa, dan
semua birokrasi yang mendukungnya. Mereka ini adalah orang-orang yang kita beri kepercayaan
(tentunya melalui pemilu) untuk mengurus segala kepentingan dan kebutuhan kita sebagai rakyat. Karena
itu, bila mereka tidak melaksanakan tugasnya sebagai pelayan rakyat, maka kita sebagai “tuan” berhak
untuk “memecat” mereka dari jabatannya.

 Batas Ketaatan kepada Pemimpin


Kedudukan seorang pemimpin sangat tinggi dalam agama islam, sehingga ketaatan kepada
mereka pun disejajarkan dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, sebagaiman firman-Nya:

“ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan Ulil Amri diantara
kalian.”(Q.S.An-Nisa:59)

Ayat diatas menjelaskan bahwa, Allah tidak memerintahkan taat kepada ulil amri atau pemimpin
secara independen, tetapi dibuanglah kata perintah”taatilah”, dan menjadikan ketaatan kepada mereka
dalam ketaatan kepada Rasul. Sebagai pengumuman bahwa mereka itu ditaati karena mengikut ketaatan
kepada Rasul. Maka barang siapa diantara mereka memerintahkan ketaatan kepada Rasul maka wajib
menaatinya, dan barang siapa diantara mereka memerintahkan sesuatu yang menyalahi apa yang dibawa
oleh Rasul maka tidak ada kewajiban mendengar dan menaatinya. Sebagaimana hadits dari Rasulullah

‫ﻻﻂﺎﻋﺔﻓﻲﻣﻌﺻﻳﺔﷲﺍﻧﻣﺎﺍﻟﻂﺎﻋﺔﻓﻲﺍﻟﻣﻌﺭﻭﻑ‬

“tidak ada ketaatan dalam maksiat kepada Allah, sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam hal
yang baik (taat kepada Allah).[8]”(HR.Muslim)

Dari Ibnu Umar r.a. Nabi SAW. Bersabda: “Mendengar dan taat kepada seorang pemimpin
muslim berlaku dalam hal yang disukai dan tidak disukai, selama pemimpin itu tidak menyuruh
melakukan kemaksiatan (kejahatan). Apabila ia menyuruh melakukan kemaksiatan maka tidak boleh
ditaati dan didengar.”(HR.Bukhari)

Hadis di atas menjelaskan kewajiban mendengar dan taat kepada pemimpin selama tidak
diperintahkan untuk melakukan kemaksiatan. Ini membatasi pernyataan global dalam 2 hadits tentang
perintah untuk mendengar dan taat serta perintah bersabar atas kebijakan yang tidak disukai dari
pemimpin, sekaligus berpisah dengan jama’ah. (apabila diperintahkan melakukan maksiat maka tidak
boleh didengar dan ditaati). Maksudnya adalah tidak wajib mengikuti dan menaati bahkan haram bagi
siapa saja yang mampu menghindar daripadanya.[9] Hadits Mu’adz yang diriwayatkan Imam Ahmad
“(tidak ada ketaatan bagi orang yang tidak taat kepada Allah).

Rasulullah SAW. Bersabda:

“Abu Hurairah r.a. berkata, Rasulullah SAW. Bersabda, “ barang siapa yang taat kepadaku,
berarti taat kepada Allah, dan barang siapa yang melanggar kepadaku, berarti melanggar kepada Allah.
Dan siapa yang taat kepada pimpinan berarti taat kepadaku, dan siapa yang maksiat kepada pimpinan
berarti maksiat kepadaku.” (H.R.Bukhari dan Muslim)

Hal itu menunjukkan bahwa seorang pemimpin harus ditaati walaupun seorang budak hitam
umpamanya. Segala perintah dan perkataannya harus ditaati oleh semua bawahannya, sebagaimana
dinyatakan dalam hadits Rasulullah yang berarti sebagai berikut:

“Anas r.a. berkata, “Rasulullah SAW. Telah bersabda, “ dengarlah dan taatilah meskipun yang
terangkat dalam pemerintahanmu adalah seorang budak Habasyiah yang kepalanya bagaikan kismis.”
(H.R.Bukhari)

Namun demikian, bukan berarti ketaatan yang tanpa batas, karena kewajiban taat kepada seorang
pemimpin hanyalah dalam hal-hal yang tidak berhubungan dengan kemaksiatan. Dalam kehidupan nyata,
tidak jarang terdapat seorang pemimpin yang menyalahgunakan kekuasaanguna mencapai keinginan dan
kepuasan hawa nafsunya. Tidak jarang pula, untuk mencapai keinginannya tersebut, ia memerintahkan
kepada bawahannyauntuk melakukan perbuatan-perbuatan yang sebenarnya dilarang oleh agama.
Terhadap perintah demikian, islam melarang untuk menaatinya.

Rasullullah semasa hidupnya telah bersabda kepada para sahabat, bahwa akan ada khalifah-
khalifah dan pemimpin setelah Nabi Muhammad SAW (at-Tuhfah 63). Dan sesuai dengan sabda
Rasullullah, umat Islam tidak dibiarkan hancur pasca meninggalnya Rasullullah (umat-umat sebelumnya
ketika ditinggal Nabi mereka) walaupun tidak ada lagi Nabi setelah Nabi Muhammad yang mendukung
syariatnya, tergantikan oleh para khalifah dan pemimpin yang menegakkan Islam dengan perintah pada
yang ma’ruf dan larangan terhadap munkar.

Sesama, diantara para pemimpin itu ada yang tidak adil, sesama sesama muslim dan merampas
hak rakyatnya. Hal ini menimbulkan berbagai keresahan diantara masyarakat lantaran kewajiban untuk
mengikuti dan patuh terhadap pemimpinnya setelah bai’at , dengan ancaman bagi siapa pun yang
memberontak oleh rezim yang berkuasa saat itu. Seperti gantung yang terjadi pada Sayyid Qutb dan
sebagian Ikhwanul Mu’minin karena melawan rezim Gamal Abdul Nasir yang berada di pemerintahan
sekuler-nasionalis di Mesir.
Dalam hadits pun mengatakan bahwa barangsiapa yang memberontak pada pemimpinnya,
walaupun hanya sejengkal, maka kematiannya sama seperti orang Jahiliyyah.

‫ فإنه من خرج من السلطان شبرا مات ميتة‬,‫ «من كره من أميره شيئا فليصبر‬:‫ قال‬,‫ عن النبي صلى هللا عليه وسلم‬,‫عن ابن عباس‬
‫جاهلية» رواه البخاري‬

Hadits inilah yang kadang-kadang dipakai pemimpin untuk mendapatkan ketaatan dari
masyarakatnya. Sejatinya, apa yang dilakukan Sayyid Qutb adalah sebagai gerakan untuk gerakan politik
dan hukum-hukum yang tidak berlandaskan syari’at Islam. Terlebih zaman modern ini, dimana sebagian
pemimpin telah mencampurkan adukkan beberapa hukum Negara dengan paham sekularisme,
liberalisme, dan paham lainnya dengan tujuan untuk menjauhkan masyarakat dari Islam. Lalu, haruskah
umat muslim menaati mereka.

Tidak hanya terjadi pada zaman modern ini, tetapi hal ini pernah terjadi pada masa daulah
Umayyah dan setelahnya, terdapat perintah untuk membunuh sesama muslim bagi yang tidak mau
berbai’at kepada pemimpinnya, para golongan saling membunuh demi memperebutkan posisi khilafah
Akan tetapi, hadits di atas kesalahan mutlak berdiri sendiri. Sejatinya, Rasullulah SAW juga menekankan
dalam sabdanya akan hal-hal yang harus diikuti dan ditolak terhadap seorang pemimpin melalui konteks
dan peristiwa yang berbeda.

:‫ال‬pp‫ ق‬,‫لم‬pp‫ه وس‬pp‫لى هللا علي‬pp‫بي ص‬pp‫ عن الن‬,‫ عن عبد هللا رضي هللا عنه‬,‫ حدثني نافع‬,‫ عن عبيد هللا‬,‫ حدثنا يحيى بن سعيد‬,‫حدثنا مسدد‬
‫ فإذا أمر بمعصية فال َس ْم َع َوالَ طَا َعةَ »رواه البخاري‬,‫ ما لم يؤمر بمعصية‬,‫«السمع والطاعة على المرء المسلم فيما أحب وكره‬

Dari Abdillah RA menyatakan bahwa Nabi SAW bersabda, “Wajib untuk mendengar dan
mentaati (pemimpinnya) atas seorang muslim, baik suka atau sudah udah. Kecuali jika dia diperintah
untuk kemaksiatan. Jika dia diperintah untuk kemaksiatan, tidak ada kewajiban kewajiban untuk tunduk
dan patuh kepada pemimpinnya. ” HR.Bukahri

Hadits Ibnu Umar yang satu ini berkaitan dengan hadits pertama yang mengajak umat untuk taat
dan patuh terhadap pemimpinnya dan sabar terhadap hal-hal yang tidak dapat membantu dari
pemimpinnya dengan ancaman akan keadaan kematiannya sebanding dengan orang jahiliyyah jika ia
mendukung diri dari jama’ah. Hal inilah yang membuat Ibnu Umar tetap berbaiat terhadap kepemimpinan
Yazid walau sebagian umat telah melepaskan baiatnya melihat lemahnya kepemimpinan Yazid bin
Mua’wiyyah, padahal di waktu yang sama, sebagian sahabat mengajukan diri mereka untuk membaiat
Ibnu Umar yang langsung ditolak tegas dengan dalil di atas.

Tapi hal ini tidak mengharuskan umat untuk taat terhadap hal-hal yang keluar dari agama atau
maksiat, karena pada hadits kedua (hadits Ibnu Umar) memeberikan batasan terhadap hal-hal yang harus
dan tidak boleh ditaati. Di dalam dikatakan dikatakan, bahwa jika kita diperintahkan kepada kemaksiatan,
kemunkaran, maka tidak ada kewajiban untuk taat dan patuh terhadap perintahnya, dan barang siapa yang
mampu untuk menghalangi perintah itu, maka tidak ada larangan untuk restunya.
Sejak dulu, telah banyak ulama yang mengkrtitik penguasa yang lalim demi kebenaran yang
berujung pada kriminalisasi ulama dan penyiksaan. Sayyid Qutb salah satu contoh kontemporer. Sebagian
masyarakat yang takut memilih untuk patuh. Contoh pada masa klasik adalah Imam Nawawi yang berani
berwawasan dengan penguasa untuk menyampaikan kritiknya.

Tidak semua orang berani untuk melawan dan mengkritik secara langsung perintah pemimpin
yang tergolong maksiat, dengan bayangan akan siksaan atau penggalan. Dalam hadits lain, diizinkan
untuk hijrah dan pergi ke tempat yang lebih aman jika tidak mampu menolak dan melawan perintah
pemimpin yang salah. Salah satunya adalah Sa’id bin Jubair, seorang tabiin yang mengaku mengaku kafir
oleh panglima Umayyah –Hajaj bin Yusuf- memutuskan meninggalkan Irak dan pergi ke dekat Mekah.

Dalam hadits ‘Ubadah disampaikan bahwa “taat dan patuh” pemimpin terhadap tidah jika itu
berkaitan dengan kekafiran. Baik masyarakat sosial maupun individu wajib menolaknya, dan merasa ia
lemah atau tidak kuasa atas pemimpinnya, maka disarankan untuk hijrah ke tanah lain, guna menghindari
kekafiran dan kemaksiatan yang dilakukan pemimpinnya.

Dalam hadits Mu’adz yang diriwayatkan Ahmad; bahwa tidak ada kewajiban untuk taat kepada
siapa pun yang tidak menaati perintah Allah, dalam kasus ini, khususnya terkait hal kepemimpinan.
Begitu pula dalam hadits ‘Imron bin Husoin dengan sanad yang kuat (qowi’) membahasakan hal yang
serupa.

Batasan taat pada pemimpin juga telah ditegaskan dalam Al-qur’an surat an-Nisa ayat 59;

‫يا أيها الذين آمنوا أطيعوا هللا وأطيعوا الرسول وأولي األمر منكم فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى هللا والرسول‬

Surat An-Nisa ayat 59 turun sebagai batasan taat kepada perintah pimpinan. Dari hadits Ibnu
Juraij mengatakan bahwa ayat ini berkenaan dengan diutuskan Abdullah bin Hudzafah bin Qais sebagai
pemimpin suatu pasukan. Cerita lebih lanjut disampaikan dalam hadits Ali yang mengatakan bahwa
pasukan Abdullah bin Hudzafah pernah membuatnya marah, hingga ia memerintahkan psaukannya untuk
masuk kedalam api unggun. Menolak perintah tersebut dan mengadukannya pada Rasullullah yang
menjawab, “tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan, sebab ketaatan hanya dalam,”. Dan ayat ini turun
sebagai petunjuk, ramah lingkungan, pendapat akan apa yang harus ditaati, agarnya kembali kepada Allah
dan Rasulnya

‫ أن‬:‫ه‬pp‫ي هللا عن‬pp‫ عن علي رض‬,‫رحمن‬pp‫د ال‬pp‫ عن أبي عب‬,‫دة‬pp‫عد بن عبي‬pp‫ عن س‬,‫ عن زبيد‬,‫ حدثنا شعبة‬,‫ حدثنا غندر‬,‫محمد بن بشار‬
,‫ا‬pp‫ا منه‬pp‫ا فررن‬pp‫ إنم‬:‫رون‬p‫ال آخ‬pp‫ وق‬,‫دخلوها‬pp‫أرادوا أن ي‬pp‫ ف‬,‫ا‬pp‫ ادخلوه‬:‫ وأمر عليهم رجال فأوقد نارا وقال‬,‫النبي صلى هللا عليه وسلم بعث جيشا‬
‫ «ال طاعة في‬:‫ وقال لآلخرين‬,»‫ «لو دخلوها لم يزالوا فيها إلى يوم القيامة‬:‫ فقال للذين أرادوا أن يدخلوها‬,‫فذكروا للنبي صلى هللا عليه وسلم‬
‫ إنما الطاعة في المعروف‬,‫»معصية‬

Sayyid Qutb menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan ‘Ulul Amri dalam surat an-Nisa ayat 59
yaitu pemimpin dan ulama. Karena pemimpin kewajiban untuk memerintah dan menentukan hukum.

Dalam buku Fii Dzilalil Qur’an. Sayyid menafsirkan bahwa urutan “taat” kepada pemimpin
berada di urutan ketiga, setelah taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Hal ini menandakan bahwa pemimpin
yang harus kita taati dan patuhi terlingkup pada mereka yang taat pada aturan dan syari’at Allah serta apa
yang disampaikan Rasullullah. Karena, perintah “‫ ”أطيعوا‬atau taatilah tidak diulangi pada lafadz Ulul
Amri. Sekali lagi, Sayyid tekankan bahwa kata “taat” hanya berlaku pada hal-hal yang baik, bukan
terhadap kemaksiatan. ( Fii Dzilali-l-Qur’an 2/691 )

Jadi, dalam melakukan sesuatu, selalu ada batasannya. Begitu pula dalam hal ini terdapat batasan
taat pada pemimpin. Setiap individu wajib untuk menunaikan bai’at kita terhadap kita terhadap akhir
pemerintahannya, dalam hal pemimpin yang akan maupun tidak, selama perintah itu bukan untuk
kekafiran, atau kemaksiatan. Jika hal itu terjadi, kita boleh menolak, menolak, demo, walau bukan
anggota secara total dalam kepemimpinannya, mengingat pada hadits pertama mengharuskan kita untuk
taat pada pemimpin pada [Nindhya Ayomi Delahara]

1. Taat kepada pemimpin hukumnya wajib karena pemimpin adalah orang yang di percayakan
rakyat mengatur atau mengayomi rakyat
2. Mentaati pemimpin tetap di lakukan meskipun pemimpin tersebut melakukan kemaksiatan,
namun tidak mengikuti perbuatan maksiatnya
3. Tidak wajib mentaati pemimpin yang memerintahkan kita melakukan maksiat
4. Wajib menasihati pemimpin yang melakukan kesalahan dan kemaksiatan

E. Kandungan Hadist

Didalam hadist mengatakan bahwa kewajiban seorang muslim adalah mendengar dan mentaati
dalam perkara yang ia senangi maupun ia benci selama tidak diperintahkan bermaksiat dan dalam akidah
Ahlu Sunnah melarang keluar dari ketaatan kepada pemimpin jikalau pemimpin tersebut hanya sebatas
dzalim dan fasik saja serta masih menjalankan syari’at Allah. Karena sebatas dzalim dan fasik tidak akan
menghilangkan atau merusak agama. Sehingga jika pemimpin berbuat dzalim namun masih menjalankan
perintah Allah SWT masih bisa ditaati.

Ulama salaf juga hanya mengetahui sebuah kepemimpinan yang menjalankan syari’at Islam.
Mereka tidak mengetahui sebuah kepemimpinan melainkan kepemimpinan tersebut pasti menjalankan
syari’at Allah. Karena yang namanya kepemimpinan harus menegakakan agama, walaupun nanti ada
yang adil dan ada pula yang fajir.

Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Sudah semestinya bagi setiap manusia ada kepemimpinan,
entah itu kepemimpinan yang adil maupun yang fajir. Kemudian beliau ditanya, ‘Kalau pemimpin yang
adil kami tahu, tapi kalu yang fajir?’ Beliau menjawab, ‘Dia menjaga keamanan masyarakat (dari qoth’u
thariq menegakan hudud dan berjihad di jalan Allah serta membagikan fa’i.” Ukuran pemimpin fajir yang
kita masih diharuskan taat kepadanya adalah sebagaimana penjelasan Ali bin Abu Thalib. Tentu hampir
kita tidak mendapati sosok tersebut pada penguasa-penguasa negeri kaum muslimin zaman ini. Sehingga
akan terkesan sangat dipaksakan apabila mewajibkan umat taat dan patuh kepada penguasa yang jauh dari
idealisme seorang pemimpin kaum muslimin.
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

Ajaran Islam secara tegas menyatakan bahwa kepemimipinan merupakan variabel yang tidak
boleh diabaikan dalam pembangunan masyarakat, bangsa, dan bernegara di dalam Al-Qurán dan Hadist
telah banyak memberikan gambaran tentang adanya hubungan positif antara pemimpin yang baik dengan
tingkat kesejahteraan masyarakat.

Pemimpin adalah pelaku atau seseorang yang melakukan kegiatan kepemimpinan, yaitu
seseorang yang melakukan suatu proses yang berisi rangkaian kegiatan saling pengaruh-mempengaruhi,
berkesinambungan dan terarah pada suatu tujuan., dan Pemimpin adalah imam yang patut diteladani.
Seorang pemimpin atau imam harus mampu menjalankan amanah yang diembannya. Ia harus mampu
dan mau menjadi pelayan masyarakat, karena pemimpin itu adalah pelayan masyarakat, bukan
masyarakat melayani pemimpin, dan pemimpin itu bukan berada di singasana tertentu yang sulit ditemui
kecuali yang dialami rakyatnya. Pemimpin adalah imam yang patut diteladani. Seorang pemimpin atau
imam harus mampu menjalankan amanah yang diembannya. Ia harus mampu dan mau menjadi pelayan
masyarakat, karena pemimpin itu adalah pelayan masyarakat, bukan masyarakat melayani pemimpin.

Didalam hadist mengatakan bahwa kewajiban seorang muslim adalah mendengar dan mentaati
dalam perkara yang ia senangi maupun ia benci selama tidak diperintahkan bermaksiat dan dalam akidah
Ahlu Sunnah melarang keluar dari ketaatan kepada pemimpin jikalau pemimpin tersebut hanya sebatas
dzalim dan fasik saja serta masih menjalankan syari’at Allah. Karena sebatas dzalim dan fasik tidak akan
menghilangkan atau merusak agama. Sehingga jika pemimpin berbuat dzalim namun masih menjalankan
perintah Allah SWT masih bisa ditaati.

DAFTAR PUSTAKA
1. https://dedikayunk.wordpress.com/2014/11/20/biografi-singkat-imam-bukhari/
2. https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://www.annursolo.com/batasan-
taat-pada-penguasa-kajian-hadits-dan-siyasah-syariyah-bag-
ii/&ved=2ahUKEwi0otL21rHvAhVDxTgGHZRVD9cQFjAFegQIGBAC&usg=AOvVaw3o57O
X0g3K77XW-Rx5cUrK&cshid=1615790347641
3. https://www.google.com/url?
sa=t&source=web&rct=j&url=http://nasihuddinn.blogspot.com/2015/01/makalah-
kepemimpinan.html%3Fm
%3D1&ved=2ahUKEwihhZD2_rHvAhXVbCsKHatYDVoQFjAAegQIARAC&usg=AOvVaw1j
QHC5E_LQKUc26pw35yd8

Anda mungkin juga menyukai