AL-QUR’AN HADIST
SUNNAH
DISUSUN OLEH :
FISKA ANDROFANI
REYANI SAHLAM
GURU PEMBIMBING
MAN 1 PASAMAN
LUBUK SIKAPING
TP 2023/2024
KATA PENGANTAR
Puji beserta syukur mari kita ucapkan ke hadirat Allah SWT, atas segala limpahan
rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua,sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan makalah “SUNNAH”.
Penulis sadar bahwa penulisan makalah ini tak lepas dari bantuan dari Allah SWT dan
tak lepas pula bantuan dari bebagai pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini,penulis
menghanturkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar besarnya kepada semua
pihak yang membantu dalam penyelesaian makalah ini.
Penulis merasakan bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna baik dalam
penyampaian materi maupun cara penulisanya.Namun demikian,penulis telah berupaya
dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat selesai
dengan baik.Oleh karnanya,penulis dengan rendah hati dan dengan tangan terbuka
menerima masukan,saran, dan kritikan dan usul guna penyempurna makalah ini.
Penulis
DAFTAR ISI
Kata pengantar
BAB I PNDAHULUAN
A.Latar belakang
B.Rumusan masalah
C.Tujuan penulisan
BAB II PEMBAHASAN
A.Penyampaian materi
A.Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Imam Ibnu Hanifah menyatakan bahwa tanpa sunnah tidak ada seorangpun yang
mampu memahami AL-Qur’an . Pernyataan ini mengindikasikan bahwa sunnah tidak
apat ditinggalkan dalam mempelejari agama islam.
B. Rumusaan Masalah
C. Tujuan penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini ialah untuk menjelaskan tentang sunnah dan
memenuhi tugas mata pelajaran Al-Qur’an Hadist X IPA I MAN 1 PASAMAN.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian sunnah
1. Secara etimologi
sunnah ( سنةsunnah, plural سننsunan) adalah kata Arab yang berarti "kebiasaan" atau "biasa
dilakukan".Makna kata sunnah adalah perbuatan yang semula belum pernah dilakukan
kemudian diikuti oleh orang lain, baik perbuatan yang terpuji maupun yang tercela.
السْ الَ ِم ُس َّن ًة َح َس َن ًة َفلَ ُه َأجْ َرهُ َو اَجْ ُر َمنْ َع ِم َل ِب َها مِنْ َبعْ ِد ِه
ِ َمنْ سَنَّ فِى ا.
Artinya: “Barang siapa yang membiasakan sesuatu yang baik didalam Islam, maka ia
menerima pahalannya dan pahala orang-orang sesudahnya yang mengamalkannya”. (H.R.
Muslim )
"Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak
mengingat Allah."
Ibnu Katsir menjelaskan, ayat dalam surat Al-Ahzab di atas adalah dasar yang paling utama
dalam perintah meneladani Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam baik dalam perkataan,
perbuatan dan keadaannya, oleh karena itu Allah Ta'ala menyuruh manusia untuk
meneladani Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam baik dalam kesabaran, keteguhan, ribath
dan kesungguh-sungguhannya.
2. Secara terminologi
a. Ilmu hadits
Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik perkataan, perbuatan,
maupun ketetapannya yang berupa fisik.
b. Ilmu ushul fiqhi
Segala yang diriwayatkan dari Nabi SAW berupa perbuatan, perkataan, dan ketetapan yang
berkaitan dengan hukum.
c. Ilmu fiqhi
Salah satu hukum takhlifi, yang berarti suatu perbuatan yang akan mendapatkan pahala bila
dikerjakan dan tidak berdosa apabila ditinggalkan.
Para ulama islam mengutip kata Sunnah dari al-Qur’an dan bahasa Arab yang mereka
gunakan dalam artian khusu yaitu: ”cara yang biasa dilakukan dalam pengamalan agama”.
Kata Sunnah sering disebut dengan kata ”kitab”. Di kala kata sunnah dirangkaikan dengan
kata “kitab”, maka Sunnah berarti: “cara-cara beramal dalam agama berdasarkan apa yang
disarankan dari Nabi Muhammad SAW”; atau “suatu amaliah agama yang telah dikenal oleh
semua orang”. Kata Sunnah dalam artian ini adalah “bid’ah” yaitu amaliah yang diadakan
dalam urusan agama yang belum pernah dilakukan oleh Nabi.
Sunnah dalam istilah ulama ushul adalah: “apa-apa yang diriwayatkan dari Nabi
Muhammad SAW, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun pengakuan dan sifat
Nabi”. Sedangkan sunnah dalam istilah ulama fiqh adalah: “sifat hukum bagi suatu
perbuatan yang dituntut melakukannya dalam bentuk tuntutan yang tidak pasti” dengan
pengertian diberi pahala orang yang melakukannya dan tidak berdosa orang yang tidak
melakukannya.
Perbedaan ahli ushul dengan ahli fiqh dalam memberikan arti arti pada Sunnah
sebagaimana disebutkan diatas adalah karena mereka berbeda dalam segi peninjauannya.
Ulama ushul menempatkan Sunnah sebagai salah satu sumber atau dalil hukum fiqh.
Maksutnya adalah “Hukum ini ditetapkan berdasarkan Sunnah”. Sedangkan ulama fiqh
menempatkan Sunnah itu sebagai salah satu dari hukum syara’.
Kata “Sunnah” sering diidentikkan dengan kata “Hadits”. Kata “Hadits” ini sering digunakan
oleh ahli Hadits dengan maksud yang sama dengan kata “Sunnah” menurut pengertian yang
digunakan kalangan ulama ushul.
Dikalangan ulama ada yang membedakan Sunnah dan Hadits, terutama karena dari segi
etimologi kedua kata itu memang berbeda. Kata Hadits lebih banyak mengarah kepada
ucapan-ucapan Nabi; sedangkan Sunnah lebih banyak mengarah kepada perbuatan dan
tindakan Nabi yang sudah menjadi tradisi yang hidup dalam pengamalan agama.
B. Macam-macam sunnah
Adalah ucapan lisan dari Nabi Muhammad SAW yang didengar oleh sahabat beliau dan
disampaikannya kepada orang lain.
الَ يُْؤ مِنُ َأ َح ُد ُك ْم َح َّتى ُيحِبَّ َأِل ِخ ْي ِه َما ُيحِبُّ لِ َن ْفسِ ِه:صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َقا َل ٍ َعنْ َأ َن
َ ِّس َعنْ ال َّن ِبي
Artinya: Dari Annas ra, dari Nabi SAW, beliau bersabda:”Belum beriman salah seorang dari
kamu, sebelum ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya”.
b. Sunnah Fi’liyah
Adalah semua perbuatan dan tingkah laku Nabi Muhammad SAW yang dilihat atau diketahui
atau diperhatikan oleh sahabat, kemudian disampaikan kepada orang lain dengan
ucapannya.
اس َظه َْرهُ َواسْ َت ْق َب َل ِ َف َح َّو َل ِإلَى ال َّن:صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َي ْو َم َخ َر َج َيسْ َتسْ قِيي َقا َل ُ ْن َت ِمي ٍْم َعنْ َع ِّم ِه َقا َل َرَأي
َ َّْت ال َّن ِبي ِ َعنْ َعبَّا ِد ب
ْن َج َه َر ِفي ِْه َما ِب ْالق َِرا َء ِة َ ْال ِق ْبلَ َة َي ْدعُو ُث َّم َح َّو َل ِردَا َءهُ ُت َّم
ِ صلَّى لَ َنا َر ْك َع َتي
Artinya: Dari ubbad bin tamim, dari pamannya, ia berkata: “Saya melihat Rasullah SAW pada
hari beliau keluar untuk melaksanakan shalat gerhana matahari, katanya: “Maka beliau
membalikkan tubuhnya membelakangi jama’ah menghadap kiblat dan berdoa, kemudian
beliau membalikkan selendangnya, kemudian beliau shalat bersama kami dua rekaat
dengan menjaharkan bacaannya pada kedua rekaat itu”.
1) Gerak gerik, perbuatan, dan tingkah laku Rasulullah SAW yang berkaitan dengan hukum.
Misalnya; tata cara shalat, puasa, haji, transaksi dagang,tata cara makan dll.
Perbuatan ini dapat diketahui dengan adanya petunjuk dari beliau sendiri, atau karena
adanya petunjuk (qarinah) lain, baik dari Al-Qur’an maupun dari sifat perbuatan Rasulullah
SAW.
Misalnya; beristri lebih dari 4 orang, wajib melaksanakan shalat tahajjud, berkurban, shalat
witir, dll. Semua perbuatan itu bagi umatnya tidak wajib.
3) Perbuatan dan tingkah laku Nabi berhubungan dengan penjelasan hukum, seperti:
shalat, puasa, jual beli, utang piutang, dll.
c. Sunnah Taqririyah
Adalah perbuatan seorang sahabat atau ucapannya yang dilakukan di hadapan atau
sepengetahuan Nabi Muhammad SAW, tetapi tidak ditanggapi atau dicegah oleh Nabi,
namun Nabi diam, maka hal ini merupakan pengakuan dari Nabi. Keadaan diamnya Nabi itu
dapat dibedakan pada dua bentuk:
1) Nabi mengetahui bahwa perbuatan itu pernah dibenci dan dilarang oleh Nabi. Dalam
hal ini kadang-kadang Nabi mengetahui bahwa si pelaku berketerusan melakukan perbuatan
yang pernah dibenci dan dilarang itu. Diamnya Nabi dalam bentuk ini tidaklah menunjukkan
bahwa perbuatan tersebut boleh dilakukannya. Diamnyan Nabi dalam bentuk ini
menunjukkan pencabutan larangan sebelumnya.
2) Nabi belum pernah melarang perbuatan itu sebelumnya dan tidak diketahui pula
haramnya. Diamya Nabi dalam hal ini menunjukkan hukumnya adalah ibahah atau
meniadakan keberatan untuk diperbuat. Karena seandainya perbuatan itu dilarang, tetapi
Nabi mendiamkannya padahal ia mampu untuk mencegahnya, berarti Nabi berbuat
kesalahan; sedangkan Nabi bersifat ma’shum (terhindar dari kesalahan).
ك َيدَ ُهَ ضبٌّ َفَأمْ َس َ صلَّى هللاُ َع َل ْي ِه َو َسلَّ َم ِبضَبٍّ َم ْش ِويٍّ َفَأهْ َوى ِإ َل ْي ِه لِ َيْأ ُك َل َفقِ ْي َل َل ُه ِإ َّن ُه
َ ُّْن ْال َولِ ْي ِد َقا َل ُأت َِي ال َّن ِبي
ِ َعنْ َخالِ ِد ب
ُ صلَى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َي ْن
ظ ُر َ هللا ِ ض َق ْومِي َفَأ ِج ُدنِي َأ َعافُ ُه َفَأ َك َل َخالِ ٌد َو َرسُو ُل ِ َْف َقا َل َخالِ ٌد َأ َح َرا ٌم ه َُو َقا َل الَ َولَ ِك َّن ُه الَ َي ُكنونُ ِبَأر
Artinya: Dari Khalid bin Walid ra katanya: “Kepada Nabi SAW dihidangkan makanan dhabb
(sejenis biawak) yang dipanggang untuk dimakan beliau. Kemudian ada yang berkata kepada
beliau: “Itu adalah dhabb”, maka beliau menahan tangannya, maka Khalid berkata: “Apakah
haram memakannya?” Beliau menjawab: “Tidak,tetapi binatang jenis itu tidak biasa
ditemukan didaerah saya, maka saya tidak suka dan menghindarinya”. Maka Khalid
memakannya, sedang Rasulullah memandanginya.
C. Periwayatan Sunnah
Ketiga macam Sunnah tersebut (qauliyah, fi’liyah dan taqririyah) disampaikan dan
disebarluaskan oleh yang melihat, mendengar, menerima dan yang mengalaminya dari Nabi
secara beranting melalui pemberitaan atau khabar, hingga sampai kepada orang yang
mengumpulkan, menuliskan dan yang membukukannya sekitar abad ketiga Hijriah.
Dari segi jumlah pembawa khabar, ulama membawa khabar itu kepada tiga tingkatan:
1. Khabar mutawatir, yaitu khabar yang disampaikan secara berkesinambungan oleh
orang banyak kepada orang banyak yang kuantitasnya untuk setiap sambungan mencapai
jumlah tertentu yang tidak memungkinkan mereka bersepakat untuk berbohong.
2. Khabar masyhur, yaitu khabar yang diterima dari Nabi oleh beberapa orang sahabat
kemudian disampaikan kepada orang banyak yang untuk selanjutnya disampaikan pula
kepada orang banyak yang jumlahnya mencapai ukuran batas khabar mutawatir.
3. Khabar ahad, yaitu khabar yang disampaikan dan diterima dari nabi secara perorangan
dan dilanjutkan periwayatannya samapai kepada perawi akhir secara perorangan pula.
1. Khabar mutawatir diterima dan disampaiakan dari pangkal sampai keujung secara
mutawatir.
2. Khabar masyhur yaitu khabar yang diterima dan disampaikan pada tingkat awal secara
perseorangan, kemudian dilanjutkan sampai ke ujungnya secara mutawatir.
3. Khabar ahad diterima dan disampaikan kemudian secara beranting sampai ke ujungnya
secara perorangan.
Tingkat kebenarannya yang paling tinggi adalah khabar mutawatir, khabar masyhur, lalu
barulah khabar ahad.
D. Kebenaran khabar dari segi Ibarat yang Digunakan Pembawa berita dalam
menyampaikan berita
Sebagaimana telah diuraikan bahwa kebenaran suatu Sunnah Nabi tergantung pada
kebenaran berita yang disampaikan pembawa berita tentang Sunnah itu. Tingkat kebenaran
berita dapat diketahui dari kuantitas pembawa berita, juga dari ibarat yang digunakan
pembawa berita itu.
1. Tingkat yang terkuat, bila pembawa berita mengatakan, “Saya mendengar bahwa Nabi
bersabda” atau “Nabi memeberitakan kepada saya” atau, “Nabi berbicara dengan saya”.
Bentuk penyampaian seperti ini menunjukkan suatu seperti tentang adanya ucapan nabi
dan tidak ada kemungkinan lain.
2. Penyampaian berita berkata, “Rasul Allah berkata.” Bentuk seperti ini, dan yang biasa
ditemui dalam periwayatan, menurut zhahirnya memang berbentuk penukilan berita, tetapi
tidak menunjukkan secara jelas dan pasti bahwa ia menerima sendiri secara langsung
ucapan Nabi itu.
3. Bila pembawa berita mengatakan, “Nabi menyuruh kami berbuat ini”, atau “Nabi
melaran kami mengerjakan itu”. Kelemahan periwayatan seperti ini karena ditemukan ada
dua kemungkinan dalam ucapannya itu. Pertama dalam hal pendengarnya terhadap ucapan
Nabi. Kedua tentang adanya “suruhan”, karena seorang pendengar kadang menganggap
sesuatu seperti suruhan tetapi sebenernya bukan suruhan.
4. Pembawa berita berkata, “Adalah nabi Muhammad SAW menyuruh begini atau
melarang begitu”. Pemberitaan dalam bentuk ini lebih lemah dibandingkan dengan tiga
bentuk sebelumnya karena adanya kemungkinan-kemungkinan sebagaimana terdapat pada
tingkat sebelumnya, juga ada kemungkinan yang menyuruh atau melarang bukan Nabi
secara langsung.
E. Fungsi Sunnah
Dalam uraian tentang al-Qur’an telah dijelaskan bahwa sebagian besar ayat-ayat hukum
dalam al-Qur’an adalah dalam bentuk garis besar yang secara amaliyah belum dapat
dilaksanakan tanpa penjelasan dari Sunnah. Dengan demikian fungsi Sunnah yang utama
adalah untuk menjelaskan al-Qur’an.
Dengan demikian bila al-Qur’an disebut sebagai sumber asli bagi hukum fiqh, maka Sunnah
disebut sebagai bayani. Dalam kedudukannya sebagai bayani dalam hubungannya dengan
al-Qur’an, ia menjalankan fungsi sebagai berikut:
2. Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam al-Qur’an dalam hal:
3. Menetapkan sesuatu hukum dalam Sunnah yang secara jelas tidak terdapat dalam al-
Qur’an. Dengan demikian kelihatan bahwa Sunnah menetapkan sendiri hukum yang tidak
ditetapkan dalam al-Qur’an. Fungsi Sunnah dalam bentuk ini disebut “itsbat” atau “insya”.
Sebenarnya bila diperhatikan dengan teliti akan jelas bahwa apa yang ditetapkan Sunnah itu
pada hakikatnya adalah penjelasan terhadap apa yang disinggung al-Qur’an atau
memperluas apa yang disebutkan al-Qur’an secara terbatas.
Pada dasarnya Sunnah Nabi berfungsi menjelaskan hukum-hukum dalam al-Qur’an dalam
segala bentuknya. Allah SWT menetapkan hukum dalam al-Qur’an adalah untuk diamalkan,
karena dalam pengamalan itulah terletak tujuan yang digariskan. Tetapi pengamalan hukum
Allah itu dalam bentuk tertentu tidak akan terlaksana menurut apa adanya sebelum diberi
penjelasan oleh Nabi. Dengan demikian penjelasan Nabi itu bertujuan supaya hukum-hukum
yang ditetapkan Allah dalam al-Qur’an secara sempurna dapat dilaksanakan oleh umat.
1. Nabi memberi penjelasan dengan cara dan bahasa yang mudah ditangkap oleh umat
sesuai dengan kemampuan akal mereka pada waktu itu. Cara seperti ini sesuai dengan
pesan Allah. Karena umat Islam yang menerima penjelasan waktu itu masih sederhana cara
berfikirnya, maka penjelasan Nabi terlihat begitu sederhana sehingga mudah dipahami dan
cepat dilaksanakan oleh umat.
2. Nabi memberikan penjelasan dengan cara-cara dan contoh-contoh yang secara nyata
terdapat disekitar lingkungan kehidupan waktu itu.
Dengan demikian hukum yang ditetapkan dalam al-Qur’an mudah diterima dan dijalankan
oleh umat. Penjelasan yang melampaui dari hal itu atau yang tidak ada pada waktu itu tentu
tidak akan dapat dipahami oleh umat.
Dari satu segi Sunnah adalah segala apa yang dikatakan Nabi, diperbuat Nabi atau yang
diakui Nabi. Di sisi lain umat dituntut untuk mengikuti semua Sunnah Nabi itu. Di antara
Sunnah itu ada yang tidak mesti diikuti oleh umat, bahkan ada yang dilarang umat
melakukannya. Dalam hal ini ulama mengelompokkan Sunnah menjadi dua kelompok:
1. Sunnah bukan tasyri atau Sunnah yang tidak berdaya hukum, yaitu Sunnah yang tidak
harus diikuti dan oleh karenanya tidak mengikat.
a. Ucapan dan perbuatan Nabi yang timbul dari hajat insani dalam kehidupan keseharian
Nabi dalam pergaulan, seperti: makan, tidur, kunjungan, sopan dalam bertamu , cara
berpakaian dan lain ucapan serta perbuatan Nabi sebagai seorang manusia biasa.
b. Ucapan dan perbuatan Nabi yang timbul dari pengalaman pribadi, kebiasaan dalam
pergaulan, seperti: urusan pertanian dan kesehatan badan, cara berjual beli dan
memelihara ternak.
c. Ucapan dan perbuatan Nabi yang timbul dari tindakan pribadi dalam keadaan dan
lingkungan tertentu, seperti penempatan pasukan, pengaturan barisaan dan penentuan
tempat dalam peperangan.
Semua yang dinukil dari Nabi dalam tiga bentuk tersebut tidak mempunyai daya hukum
mengikat yang mengandung tuntutan atau larangan. Umat dapat saja mengikuti apa yang
dilakukan Nabi itu kerena ia adalah Sunnah, namun sifatnya tidak mengikat.
2. Sunnah tasyri atau Sunnah yang berdaya hukum yang mengikat untuk diikuti. Sunnah
dalam bentuk ni ada tiga macam:
a. Ucapan dan perbuatan yang muncul dari Nabi dalam bentuk penyampaian risalah dan
penjelasan terhadap Al-Qur’an; seperti menjelaskan apa-apa yang dalam Al-Qur’an masih
bersifat belum jelas, membatasi yang umum, memberi qayid yang masih bersifat mutlak,
menjelaskan bentuk ibadat, halal dan haram, ‘aqidah dan akhlak. Ucapan dan perbuatan
Nabi dalam kapasitasnya sebagai seorang Rasul termasuk Sunnah berdaya hukum.
Tasyri’ dalam bentuk ini berlaku secara umum sampai hari kiamat dan dalam
pelaksanaannya tidak tergantung kepada sesuatu selain pengetahuan akan adanya sunnah
itu.
b. Ucapan dan perbuatan yang timbul dari Nabi dalam kedudukannya sebagai imam dan
pemimpin umat Islam, seperti mengirim pasukan untuk jihad, membagi harta rampasan,
menggunakan bait al-maal, mengikat perjanjian dan tindakan lain dalam sifatnya sebagai
pemimpin.
Sunnah tasyri’ dalam bentuk ini tidak berlaku secara umum untuk semua orang dan dalam
pelaksanaannya tergantung kepada izin atau persetujuan imam atau pemimpin.
c. Ucapan dan perbuatan Nabi dalam kedudukannya sebagai hakim atau qadhi yang
menyelesaikan persengketaan di antara umat Islam. Daya hukum dalam bentuk ini, seperti
halnya dalam bentuk yang sebelumnya, tidak bersifat umum dan dapat dilakukan oleh
perorangan dengan penunjukan dari imam atau penguasa.
Sunnah berdaya hukum sebagaimana disebutkan di atas secara garis besarnya mengandung
beberapa bidang sebagai berikut:
a) Aqidah
Sunnah tidak dapat menetapkan dasar aqidah karena aqidah itu menimbulkan kepercayaan,
sedangkan kepercayaan itu berarti keyakinan yang pasti. Tidak ada yang mungkin
menghasilkan keyakinan yangpasti itu kecuali yang pasti pula.
Sunnah atau qath’i ialah sunnah yang baik dari segi lafadznya, atau wurudnya maupun dari
segi dilalahnya adalah qath’i atau pasti.
b) Akhlaq
Dalam sunnah atau hadits banyak sekali disampaikan Nabi hikmah-hikmah, adab sopan
santun dalam pergaulan, nasihat-nasihat, baik secara langsung maupun dalam bentuk pujian
terhadap keadilan, kebenaran, menepati janji; atau celaan terhadap perbuatan-perbuatan
buruk yang dilakukan umat. Sunnah tersebut menuntut munculnya manusia sempurna yang
juga dikehendaki oleh rasa yang dan pandangan yang wajar.
c) Hukum-hukum Amaliyah
Hal ini berhubungan dengan penetapan bentuk-bentuk ibadat, pengaturan mu’amalat antar
manusia; memisahkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban; menyelesaikan persengketaan
diantara umat secara adil. Hukum-hukum yang diperoleh dari sunnah (dalam bentuk ini)
disebut Fiqh Sunnah;sedangkan haditsnya sendiri disebut Hadits Ahkam.hadits-hadits
dalam bentuk inilah yang dijadikan sumber hukum oleh para ahli fiqh sesudah Al-Qur’an.
Sunnah berfungsi sebagai penjelas terhadap hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an.
Dalam kedudukannya sebagai penjelas, Sunnah kadang-kadang memperluas hukum dalam
Al-Qur’an atau menetapkan sendiri hukum di luar apa yang ditentukan Allah dalam Al-
Qur’an.
Hukum Islam disandarkan kepada dua sumber, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Tidak heran
kalau banyak sekali sunnah yang menerangkan tentang kewajiban shalat, zakat, puasa,
larangan musyrik, dan lain-lain.
اس َما ُن ِّز َل ِإلَي ِْه ْم َولَ َعلَّ ُه ْم َي َت َف َّكر ُْو َن ِّ ك
ِ الذ ْك َر لِ ُت َبي َِّن لل َّن َ َو َأ ْن َز َل ِإلَ ْي.
Artinya:
“Telah Kami turunkan kitab kepadamu untuk memberikan penjelasan tentang apa-apa yang
diturunkan kepada mereka, supaya mereka berfikir.(Q.S. An-Nahl:44)
Seperti diperintahkannya shalat dalam Al-Qur’an tidak diiringi penjelasan mengenai rukun,
syarat dan ketentuan-ketentuan shalat lainnya. Maka hal itu dijelaskan oleh sunah
sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
Artinya:
b. Penguat secara mutlaq. Sunnah merupakan penguat terhadap dalil-dalil umum yang
ada dalam Al-Qur’an.
Sunnah tidak diragukan lagi merupakan pembuat syari’at dari yang tidak ada dalam Al-
Qur’an, misalnya diwajibkannya zakat fitrah, disunahkan aqiqah, dan lain-lain. Dalam hal ini,
para ulama berbeda pendapat:
a. Sunnah itu memuat hal-hal baru yang belum ada dalam Al-Qur’an.
b. Sunnah tidak memuat hal-hal baru yang tidak dalam Al-Qur’an, tetapi hanya memuat
hal-hal yang ada landasannya dalam Al-Qur’an.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
1. Sunnah Qauliyah
2. Sunnah Fi’liyyah
3. Sunnah Taqririyyah
Ketiga macam Sunnah tersebut (qauliyah, fi’liyah dan taqririyah) disampaikan dan
disebarluaskan oleh yang melihat, mendengar, menerima dan yang mengalaminya dari Nabi
secara beranting melalui pemberitaan atau khabar, hingga sampai kepada orang yang
mengumpulkan, menuliskan dan yang membukukannya sekitar abad ketiga Hijriah.
Fungsi sunnah adalah Menguatkan dan menegaskan hukum-hukum yang tersebut dalam al-
Qur’an atau disebut fungsi ta’kid dan taqrir. Memberikan penjelasan terhadap apa yang
dimaksud dalam al-Qur’an.
Kedudukan Sunnah terhadap Al-Qur’an adalah sebagai penguat Al-Qur’an, sebagai penjelas
Al-Qur’an, dan sebagai musyar’i.
DAFTAR PUSTAKA
Beni Ahmad Saebani, Ilmu Ushul Fiqh, 2008, Bandung: Pustaka Setia.