Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahwasannya ilmu Ushul Fiqih merupakan ilmu yang sangat dibutuhkan seorang
mujtahid didalam menjelaskan nash-nash dan mengelompokan sebuah hukum yang tidak
terdapat nashnya, juga merupakan ilmu yang sangat diperlukan oleh qadh’I didalam memahami
isi undang-undang secara lengkap, disamping pelaksanaan perundang-undangan secara adil
sesuai dengan maksud syar’i.
Dalam hal ini kami akan membahas sumber hukum islam yang ke-2 yaitu As-Sunnah,
ulama Fiqh memandang As-sunnah secara etimologi berarti jalan, tetapi kalau kata ini dikaitkan
dengan Rasulullah SAW, baik dalam kata ataupun pengertiannya, maka maksudnya adalah suatu
sabda atau perbuatan atau taqrir beliau.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian dan kedudukan As-Sunnah dalam hukum islam?
2. Macam-macam As-sunnah?
3. Bagaimana sejarah penulisan al-hadist?
4. Apa pentingnya mempelajari hadits dan Bagaimana kaidah pengalamannya?
5. Apa itu asbabul wurud?
1.3 Tujuan Makalah
1. Memahami al-sunnah dan kedudukannya dala islam
2. Memahami macam-macam as-sunnah
3. Memahami sejarah penulisan al-hadist
4. Memahami pentingnya mempelajari hadits dan kaidah pengalamannya
5. Mengenal asbabul wurud

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1   Pengertian dan kedudukan Al-sunnah


1.      Pengertian al-sunnah
Sunnah berasal dari bahasa arab yang secara etimologis berarti “jalan yang biasa
dilalui” atau “cara yang senantiasa dilakukan” atau “kebiasaan yang selalu dilaksanakan”.
Secara terminologis (dalam istilah sari’ah),sunnah bisa dilihat dari tiga bidang ilmu, yaitu dari
Ilmu hadist, ilmu fiqh dan ushul fiqih.
Sunnah menurut para ahli hadist identik dengan hadist, yaitu seluruh yang disandarkan kepada
Nabi Muhammad SAW, baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapan ataupun yang
sejenisnya (sifat keadaan atau himmah).
Sunnah menurut ahli ushul fiqh adalah “ segala yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW,
berupa perbuatan, perkataan , dan ketetapan yang berkaitan dengan hukum”.
Sedangkan sunnah menurut para ahli fiqh , di samping pengertian yang dikemukakan para
ulama’ ushul fiqh di atas, juga dimaksudkan sebagai salah satu hokum taqlifih, yang
mengandung pengertian”perbuataan yang apabila dikerjakan mendapat pahaladan apabila
ditinggalkan tidak medapat siksa (tidak berdosa)”
Atau terkadang dengan perbuatan, beliau menerangkan maksudnya, seperti pelajaran shalat
yang beliau ajarkan kepada mereka (para sahabat) secara praktek dan juga cara-cara ibadah haji.
Dan kadang para sahabatnya brbuat sesuatu di hadiratnya atau sampai berita-berita berupa
ucapan atau tindakan mereka kepada beliau, tetapi hal ini tidak di ingkarinya, bahkan
didiamkannya saja, padahal beliau sanggup untuk menolaknya(kalau tidak dibenarkan) atau
nampak padanya setuju dan senang, sebagai mana diriwayatkan bahwa beliau tidak mengingkari
orang yang makan daging biawak di tempat makan beliau.

2
2. Kedudukan al-sunnah
Sebagian besar ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an masih bersifat global yang masih
memerlukan penjelasan dalam implementasinya. Fungsi sunnah yang utama adalah untuk
menjelaskan Al-qur’an
Al-Qur’an disebut sebagai sumber hukum dan dalil hukum yang pertama, dan sunnah disebut
sumber hukum dan dalil hukum kedua(bayan) setelah Al-Qur’an. Dalam kedudukan sebagai
sumber dan dalil hukum kedua, sunnah menjalankan fungsinya sebagai berikut:

a.   Bayan ta’kid
Bayan Ta’kid yaitu menetapkan dan menegaskan hukum-hukum yang tersebut dalam Al-Qur’an.
Dalam ini sunnah hanya seperti mengulangi apa yang dikatakan Allah dalam Al-qur’an.
Contohnya Allah berirman:
Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. (QS.al-Baqarah:110)
b.   Bayan tafsir
Bayan Tafsir yaitu memberikan penjelasan arti yang masih samar dalam Al-Qur’an, atau
terperinci apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secara garis besar, memberi batasan
terhadap apa yang disampaikan Allah secara mutlak.
Perintah shalat disampaikan Al-qur’an dalam arti yang ijmal, yang masih samar, artinya karena
dapat saja dipahami dari padanya semata doa sebagai yang dikenal secara umum pada waktu itu.
Kemudian Nabi melakukan perbuatan shalat secara jlas dan terperincidan menjelaskan kepada
umatnya : “inilah shalat dan kerjakanlah shalat itu sebagai mana kamu lihat aku
mengerjakannya.”
Dalam Al-Qur’an secara umum dijelaskan bahwa anak laki-laki dan anak perempuan adalah ahli
waris bagi oang tuanya yang meninggal(QS.an Nisa’:7) sunnah Nabi membatasi hak warisan itu
hanya kepada anak-anak yang bukan penyebab kematian orng tuanya itu, dengan ucapan:
pembunuh tidak dapat mewarisi orang yang dibunuhnya”.
c.   Bayan Tasyri
Bayan Tasyri yaitu menetapakn suatu hukum dalam sunnah yang secara jelas tidak di sebutkan
dalam Al-Qur’an. Dengan demikian kelihatan bahwa sunnah menetapkan sendiri hukum yang
tidak ditetapakn Al-Qur’an.

3
Seperti al-Qur’an menjelaskan tidak bolehnya mengawini dua perempuan yang bersaudara dalam
waktu yang sama. (QS: an-Nisa:23). Sunnah Nabi memperluas hal itu dengan ucapan: “Tidak
boleh memadu seseorang dengan bibinya atau dengan anak saudaranya”. Al-qur’an melarang
mengawini perempuan yang mempunyai hubungan nasab. Sunnah Nabi memperluas laranngan
mengawini saudara sepersusuan. Larangan karena sebab susuan , disamakan dengan larangan
karena sebab hubungan nasab.
Sebenarnya bila diperhatikan dengan teliti akan jelas apa yang ditetapkan tersendiri oleh sunnah
itu, pada hakikatnya adalah penjelasan terhadap apa yang disinggung Allah dalam Alqur’an atau
memperluas apa yang disebutkan Allah secara terbatas.
Umpama Allah SWT menyebutkan dalam al-Qur’an tentang haramnya memakan bangkai, darah,
daging babi dan sesuatu yang disembelih tidak dengan menyebut nama Allah(QS. Al-Maidah:3).
Kemudian mengatakan “haramnya setiap binatang buas yang bertaring dan kukunya mencekam’.
Larangan ini secara lahir dapat dikatakan sebagai hukum baru yang ditetapkan oleh Nabi.
Sebenarnya larangan Nabi itu hanyalah penjelasan terhadap larangan Allah memakan sesuatu
yang kotor(QS. Al-a’raf:33) 1[4]
2.2   Macam-macam Assunnah
1.      Macam-macam Assunah
a. Sunnah fiqliyah yaitu perbuatan yang dilakukan Nabi SAW. Yang dilihat atau
diketahui dan disampaikan para sahabat pada orang lain. Misalnya, tata cara yang
ditunjukan Rosullah SAW. Kemudian disampaikan sahabat yang melihat atau
mengetahuinya kepada orang lain.
b. Sunnah Qoulyyah yaitu ucapan Nabi SAW. Yang didengar oleh dan disampaikan
seorang atau beberapa sahabat kepada orang lain. Misalnya, sabda Rosullah yang
diriwayatkan Abu Hurairah:
c. “tidak sah shalat seseorng yang tidak membaca surat Al-Fatihah” (HR al-Bukhari dan
Muslim}
d. Sunnah taqqririyyah yaitu perbuatan atau ucapan sahabat yang dilakukan dihadapan
Nabi SAW, tetapi Nabi hanya diam dan tidak menceganya. Sikap diam dan tdak
mencegah dari Nabi SAW ini, menunjukan persetujuan Nabi SAW (taqqrir), terhadap
perbuatan sahabat tersebut.

4
2.3 Sejarah penulisan al-hadits
Hadist merupakan salah satu pilar utama dalam agama islam setelah Al Quran. Pentingnya
hadist dalam islam membuat Rasulullah serta para sahabat dan orang orang yang mengikuti
jalannya menaruh perhatian besar atasnya. Penulisan hadist adalah satu bukti perhatian besar
Rasulullah dan para sahabat akan hadist.

Sejarah penulisan dimulai pada awal masa kenabian, awalnya Rasulullah melarang para
sahabatnya menulis hadist, seperti riwayat dari Abu Said Al Khudry,

‫ال تكتبوا عني ومن كتب عني غير القرآن فليمحه‬

“Janganlah kalian menulis dari ku, dan barangsiapa yang telah menulis dari ku selain al Quran
maka hapuslah”. (HR. Muslim).

Namun di akhir hayatnya Rasulullah mengizinkan penulisan hadits seperti yang diriwayatkan,
dari Abdulllah bin Amr bin Ash, beliau mengatakan,

ُ‫ أَتَ ْكتُبُ ُك َّل َش ْي ٍء تَ ْس َم ُعه‬: ‫ فَنَهَ ْتنِي قُ َريْشٌ َوقَالُوا‬، ُ‫ُول هللاِ صلى هللا عليه وسلم أُ ِري ُد ِح ْفظَه‬
ِ ‫ت أَ ْكتُبُ ُك َّل َش ْي ٍء أَ ْس َم ُعهُ ِم ْن َرس‬
ُ ‫ُك ْن‬
ِ ‫ت َذلِكَ لِ َرس‬
‫ُول هللاِ صلى هللا‬ ُ ْ‫ فَ َذكَر‬، ‫ب‬ِ ‫ت ع َِن ْال ِكتَا‬ ُ ‫ فَأ َ ْم َس ْك‬، ‫ضا‬ َ ‫ َوال ِّر‬، ‫ب‬ ِ ‫ض‬ َ ‫َو َرسُو ُل هللاِ صلى هللا عليه وسلم بَ َش ٌر يَتَ َكلَّ ُم فِي ْال َغ‬
َ َ‫ فَق‬، ‫ فَأَوْ َمأ َ بِأُصْ بُ ِع ِه إِلَى فِي ِه‬، ‫عليه وسلم‬.
ٌّ ‫ ا ْكتُبْ فَ َوالَّ ِذي نَ ْف ِسي بِيَ ِد ِه َما يَ ْخ ُر ُج ِم ْنهُ إِالَّ َح‬: ‫ال‬
‫ق‬

“Dahulu aku menulis semua yang aku dengar dari Rasulullah karena aku ingin menghafalnya.
Kemudian orang orang Quraisy melarangku, mereka berkata, “Engkau menulis semua yang kau
dengar dari Rasulullah? Dan Rasulullah adalah seorang manusia, kadang berbicara karena
marah, kadang berbicara dalam keadaan lapang”. Mulai dari sejak itu akupun tidak menulis lagi,
sampai aku bertemu dengan Rasulullah dan mengadukan masalah ini, kemudian beliau bersabda
sambil menunjukkan jarinya ke mulutnya, “tulislah! Demi yang jiwaku ada di tanganNya, tidak
lah keluar dari mulutku ini kecuali kebenaran”. (HR. Adu Dawud, Ahmad, Al Hakim).

5
Dua hadits di atas menjelaskan bahwa Rasulullah pernah melarang penulisan hadits, dan
membolehkan penulisan hadist. Para ulama Rabbani mereka mempunyai pendapat akan dua
hadits tersebut:

Pendapat pertama, mereka menjamak semua hadits pelarangan dan pembolehan, dan
berpendapat bahwa Rasulullah melarang penulisan hadits karena beberapa sebab diantaranya,

1. Pelarangan penulisan hadits terjadi jika hadits di tulis dalam lembaran yang sama
bersama Al Quran.1
2. Pelarangan penulisan hadits terjadi saat wahyu Al Quran masih turun, karena Nabi takut
tercampurnya Al Quran dengan hadist.2
3. Pelarang penulisan hadits terjadi karena Nabi takut kaum muslimin akan sibuk terhadap
hadist melebihi kesibukkannya terhadap Al Quran.3
4. Pelarangan penulisan hadits dikhususkan untuk yang mempunyai hafalan yang kuat, dan
di bolehkan jika tidak memiliki hafalan yang kuat.4

Pendapat kedua, Ulama berpendapat bahwa hadits-hadits tentang pelarangan penulisan hadits
tidak ada yang shohih, karena menurut sebagian para Ulama hadist dari Abu Sa’id di atas adalah
mauquf seperti yang di nukilkan oleh Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Bari.

Pendapat ketiga, dari para ulama seperti Imam Al Baghowi, Ibnu Qutaibah, Imam Nawawi, dan
Syaikhul Islam Ibnu Taimyah mengatakan bahwa hadits -hadits pelarangan itu terhapus dengan
hadits -hadits pembolehan penulisan hadits , bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menukil
bahwa ini adalah pendapat jumhur ulama.

Kesimpulan dari semua pendapat Ulama, bahwasanya penulisan hadits itu di bolehkan, bahkan di
sunnahkan menulisnya dan sudah terjadi di zaman Rasulullah.

Bahkan terdapat Ijma dari para ulama akan bolehnya penulisan Hadist Nabi seperti yang di
cantumkan oleh Al Qodi Iyadh dalam kitab Ikmal AlMu’lim, Ibnu Solah dalam kitab Ulumu Al
Hadist, Ibnu Atsir dalam kitab Jami’ Al Usul, dan Imam Dzahabi dalam kitab Siyar, Juga Al
Iraqi dalam Alfiyah.

6
Pada zaman Sahabat radhiallahu’anhum terdapat beberapa kemajuan pengumpulan dan
penulisan hadist, itu di tandai dengan adanya Suhuf atau lembaran lembaran yang di milki oleh
sebagian sahabat, seperti,

Sohifah Abdullah bin Amr bin Ash atau di kenal dengan Sohifah Sodiqoh (Lembaran
Kebenaran)

Di riwayatkan dari Mujahid, “Aku pernah mendatangi Abdullah bin Amr, kemudian aku
membaca lembaran yang berada di bawah tempat tidurnya, lalu ia melarangku, akupun bertanya
kepadanya mengapa melarangku membacanya, beliau menjawab,

‫هذه الصادقة هذه ما سمعت من رسول هللا صلى هللا عليه ليس بيني وبينه أحد‬

Ini adalah lembaran (yang berisi) kebenaran, ini adalah yang aku dengar langsung dari
Rasulullah”. 8

Para sahabat saling menulis hadits

Setelah Rasulullah wafat, para sahabat Nabi berpencar mendakwah agama yang mulia ini, maka
jauhnya jarak mereka membuat sebagian mereka tidak mengetahui hadist yang ada pada
suadaranya,hal ini membuat mereka saling menulis hadist yang mereka punya, kemudian
memberikan kepada sahabat yang lain yang tidak mengetahui hadist tersebut,

Penulisan di zaman tabi’in sangat berkembang pesat, ini di dasari oleh beberapa hal,

1. Tersebarnya kaum muslimin hampir ke seluruh penjuru dunia.


2. Panjangnya isnad1 mempersulit dalam hafalan hadist.
3. Bergugurannya para penghafal Sunnah dari kalangan sahabat, dan para tabi’in kibar,
maka ditakutkan dari perginya mereka, hilangnya sunnah.
4. Lemahnya kekuatan para penghafal sunnah.
5. Tersebarnya tulisan di tengah tengah manusia.
6. Tersebarnya bidah-bidah, dan kedustaan atas nama Nabi.2

7
Dari sebab sebab inilah para Ulama mulai menulis hadist sebagai upaya menjaga sunnah Nabi
Shallahu’alaihi wa sallam.

Di zaman ini juga terdapat banyak suhuf atau lembaran lembaran yang berisikan hadist Nabi
Shallahu’alaihi wa sallam, seperti Shohifah Said bin Jubair, Shohifah Mujahid, Shohifah
Hisyam bin Urwah dan yang lainnya.

Pada penghujung masa tabiin, Khalifah pada saat itu Umar bin Abdul Aziz memerintahkan para
ulama untuk menuliskan hadist serta mengumpulkannya di dalam satu kitab. Di riwayatkan dari
Abdullah bin Dinar, ia berkata,

‫ت‬ ُ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فَا ْكتُ ْبهُ فَإِنِّي ِخ ْف‬
َ ِ ‫ث َرسُو ِل هَّللا‬ ِ ‫يز إِلَى أَبِي بَ ْك ِر ْب ِن َح ْز ٍم ا ْنظُرْ َما َكانَ ِم ْن َح ِدي‬ ِ ‫َب ُع َم ُر بْنُ َع ْب ِد ْال َع ِز‬
َ ‫َو َكت‬
‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َو ْلتُ ْف ُشوا ْال ِع ْل َم َو ْلتَجْ لِسُوا َحتَّى يُ َعلَّ َم َم ْن اَل يَ ْعلَ ُم فَإ ِ َّن ْال ِع ْل َم‬ َ ‫َاب ْال ُعلَ َما ِء َواَل تَ ْقبَلْ إِاَّل َح ِد‬
َ ‫يث النَّبِ ِّي‬ َ ‫ُوس ْال ِع ْل ِم َو َذه‬
َ ‫ُدر‬
‫ك َحتَّى يَ ُكونَ ِس ًّرا‬
ُ ِ‫اَل يَ ْهل‬

Umar bin Abdul Aziz menuliskan surat kepada Abu Bakr bin Hazm, “lihatlah jika ada hadist dari
Nabi Shallahu Alaihi wa Sallam maka tulislah, karena aku takut akan hilangnya pengajaran
agama dan perginya para ulama, dan janganlah kau terima kecuali hadist dari Nabi Shallahu
alaihi wa Sallam, dan periksalah ilmu-ilmu itu, serta duduklah di majelis ilmu dan ajarkan ilmu
kepada yang tidak tahu, karena sesungguhnya ilmu tidaklah hilang kecuali karena ia tersembunyi
(tidak didakwahkan)”3

Berkata Imam Zuhri Rahimahullah,

‫ فبعث إلى كل أرض له عليها سلطان دفترًا‬,‫أمرنا عمر بن عبد العزيز بجمع السنن فكتبناها دفترًا دفت ًرا‬

“Umar bin Abdul Aziz pernah memerintahkan kami untuk mengumpulkan sunnah sunnah Nabi
(hadist-hadist), maka kamipun menulisnya satu buku satu buku, kemudian buku buku itupun
dikirimkan ke seluruh negeri, setiap raja yang masuk dalam wilayahnya mempunyai satu buku
tersebut”4

Maka apa yang dikumpulkan para ulama di zaman Zuhri inilah dikenal sebagai awal
pengumpulan hadist dalam satu kitab secara resmi. Sebagian orang berpendapat bahwa hadist
pertama kali di tulis di zaman Imam Zuhri, maka pendapat tersebut keliru, karena Imam Zuhri

8
bukan yang pertama menulis, namun ia adalah orang pertama yang mengumpulkan hadist di
dalam satu kitab secara resmi.

Pada abad kedua sampai ke empat hijriah setelah pengumpulan hadist di zaman Zuhri rampung,
tibalah masa keemasan dalam upaya pengumpulan sunnah, di abad ini kitab hadist hadist tersebar
dengan banyak jenisnya sesuai dengan cara dan tujuan penulisnya, seperti,

1. Muwatho’, yang mengumpulkan hadist Nabi, perkataan sahabat, dan fatwa para tabiin di
dalam satu kitab dan meletakkan nya sesuai dengan tema hadist tersebut, ditambah
dengan sedikit penjelasan dari sang penulis seperti kitab Muwatho Imam Malik.
2. Mushonafat, yang juga mengumpulkan hadist dan banyak dari mauqufat5 lalu di
masukkan ke dalam bab tertentu, mislanya hadist hadist yang bertemakan tentang wudhu,
mandi, air dan yang semisalnya maka hadist bertemakan seperti ini di masukkan ke
dalam bab Thaharah. Kitab mushonaf Abdrurazzaq dan Mushonaf Ibn Abi Syaibah
merupakan contoh dalam jenis ini.
3. Musnad, jenis kitab ini berisikan hadist hadist yang di susun sesuai dengan nama para
sahabat yang meriwayatkan nya. Kitab jenis ini memudahkan seseorang untuk
menemukan hadist dari salah seorang sahabat. Misalnya, jika seseorang ingin mencari
hadist hadist yang di riwayatkan Ali bin Abi Tholib maka ia akan dapatkan di bab Ali Bin
Abi tholib, hadist yang di riwaytkan dari jalur Ali Bin Abi tholib. Dan Musnad Imam
Ahmad, adalah kitab yang terbaik di jenis ini.
4. Jami’, yang berarti mengumpulkan,sesuai namanya kitab jenis ini mengumpulkan semua
hadist dari semua cabang ilmu agama, tidak terbatas oleh hadist fikih saja. Mulai dari
hadist yang berkaitan dengan akidah, fikih, fitnah akhir zaman, tanda-tanda kiamat,
sejarah, peperangan, adab, zuhud, raqaiq. Kitab jenis ini yang paling terkenal adalah kitab
Shohih Al Bukhari, dan Shohih Muslim.
5. Mustadrak, kitab jenis memuat hadist hadsit yang tidak terdapat di kitab kitab lain, atau
terlewat, atau tidak di masukkan karena kelemahan sanadnya. Seperti kitab Mustadrok
ala Sohihain karya Imam Hakim. Kitab itu memuat hadist hadist yang sesuai syarat dan
kriteria di Kitab Shohih Bukhari dan Shohih Muslim yang tidak di dimasukkan ke dalam
dua kitab tersebut.

9
6. Sunan, kitab ini mengumpulkan hadist hadist yang kemudian di susun sesuai dengan bab
fikih. Kitab jenis ini memudahkan seseorang untuk mencari hadist dalam masalah fikih
tertentu. Misalnya jika seseorang ingin mengetahui hadist yang berkaitan dengan sholat
maka ia cukup mencari bab sholat, kemudian akan mendapatkan hadist hadist yang
berkaitan dengan sholat. Contoh buku dalam jenis ini adalah Sunnan Tirmizi, Sunan Abu
Dawud, Sunan An Nasai dan lain lain.
7. Mustakhrajat, kitab jenis memuat hadist hadist yang telah ada di kitab lain, namun sang
penulis memasukkan hadist tersebut ke dalam bukunya dengan jalur sanad yang ia
dapatkan. Seperti Kitab Mustakhrajat Ala Shahih Al Bukhari karya Al Ismaily, kitab ini
memuat hadist yang ada di kitab Shahih Al Bukhari namun ia riwayatkan dengan jalur
isnad yang ia punya.

Sangatlah banyak buku buku hadist ditulis di zaman tersebut yang membawa orang setelahnya
mendapatkan manfaat keilmuan mereka.

Para ulama yang datang setelah abad itu, mereka membuat syarah6 untuk kitab kitab hadist di
atas, ada pula yang membuat ringkasan dari kitab kitab tersebut dan lain lain. Ilmu agamapun
semakin meluas setelah abad itu.

Berkata Sufyan As Tsauri,

‫ وأصحاب الحديث حراس األرض‬، ‫المالئكة حراس السماء‬

“Malaikat adalah para penjaga langit, sedangkan Ahli Hadist adalah para penjaga bumi.”8

10
2.4 Pentingnya mempelajari hadits dan kaidah pengalamannya
a. Pentingnya Mempelajari Hadits
Inti ajaran Islam dibangun di atas dua pondasi: Al-Qur’an dan Sunnah. Keduanya memiliki
kaitan yang sangat erat Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang tidak bisa diartikan dengan benar dan
tepat tanpa bantuan keterangan dari Sunnah Nabi Saw. Salah satu contoh adalah tentang tata cara
shalat yang tidak mungkin diraktekan tanpa bantuan dari Sunnah Nabi. Karena Al-Qur’an sendiri
tidak menyebutkan tata cara shalat itu dan Al-Qur’an hanya menegaskan hanya wajibnya shalat
lima waktu itu saja.
Karena pentingnya pengetahuan tentang hadist ini, Imam Abu Hanifah pernah berujar: ” Tanpa
Sunnah tak seorangpun dari kita yang dapat memahami Al-Qur’an.”
Mempelajari hadits Nabi SAW mempunyai keistimewaan tersendiri sebagaimana dijanjikan oleh
Rasulullah SAW dalam haditsnya bahwa orang yang mempelajari dan menghafal hadits-
haditsnya akan dianugerahi oleh Allah Swt wajah yang bercahaya, penuh dengan pancaran nur
keimanan yang menandakan ketenangan hati dan keteduhan batin. Sabda beliau Saw:
Allah membuat bercahaya wajah seseorang yang mendengar dari kami sebuah hadits, kemudian
menghafalnya dan menyampaikannya …” (Abu Daud dalam Sunannya dan At-Tirmidzi dalam
Sunannya).
Pahala Apa Yang Diproleh Bagi Pelajar Hadist?
a. Wajahnya Berseri-Seri
Rasulullah Saw bersabda:
“Semoga Allah menjadikan berseri-seri wajah orang yang mendengarkan sabdaku lalu
memahaminya dan menghafalkannya kemudian dia menyampaikannya, karena boleh jadi orang
yang memikul (mendengarkan) fiqh akan menyampaikan kepada yang lebih paham darinya”
(HR. Ashabus Sunan)

Sufyan bin ‘Uyainah (pemuka hadist di awal Islam) pernah berkata : “Tidak seorang pun yang
menuntut/mempelajari hadits kecuali wajahnya cerah / berseri-seri disebabkan doa dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam (di hadits tersebut).”

b. Paling banyak bershalawat kepada Nabi


Penuntut Ilmu hadist adalah orang yang paling banyak bershalawat kepada Nabi Saw

11
Rasulullah Saw bersabda :

‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َع ْشرًا‬


َ ً‫اح َدة‬ َّ َ‫صلَّى َعل‬
ِ ‫ي َو‬ َ ‫َم ْن‬
“Barang siapa yang bershalawat kepadaku satu kali maka Allah bershalawat kepadanya sepuluh
kali.”
Bershalawat setelah mendengar atau membaca tulisan Muhammad merupakan salah satu bentuk
kesunnahan. Dan para penuntut ilmu hadist pastinya akan banyak membaca shalawat ketika
mendengar atau membaca sebuah hadist dan ini dilakukan setiap waktu dan lidahnya senantiasa
basah dengan shalawat. Shidiq Hasan Khan (salah seorang pemuka hadist kontemporer) pernah
mengatakan: “….. Para penuntut ilmu hadist ini adalah orang yang paling pantas bersama
Rasulullah Saw di hari kiamat, dan merekalah yang paling berbahagia mendapatkan syafa’at
Rasulullah Saw…. maka hendaknya anda wahai pencari kebaikan dan penuntut keselamatan
menjadi Ahli Hadits atau yang berusaha untuk itu.”

c. Mendapatkan Berkah Dunia Akhirat


Sufyan Ats Tsaury berkata : “Saya tidak mengetahui amalan yang lebih utama di muka bumi ini
dari mempelajari hadits bagi yang menginginkan dengannya wajah Allah Ta’ala.“ Ia
menambahkan pula: “Mendengarkan atau mempelajari hadits merupakan kebanggaan gi yang
menginginkan dengannya dunia dan merupakan petunjuk bagi yang menginginkan dengannya
akhirat”

b. Kaidah Dalam Mengamalkan Hadits

Dalam mengamalkan hadits, kita harus mengetahui hadis-hadis yang dalam


periwatannya yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu untuk diterimanya sebagai sebuah
hadis atau yang dikenal dengan hadis maqbul (diterima); Shahih dan hasan. Namun disisi lain
terdapat hadis-hadis yang dalam periwayatannya tidak memenuhi kriteria-kriteria tertentu atau
lebih dikenal dengan istilah hadis mardud (ditolak); dhaif atau bahkan ada yang palsu (maudhu’),
hal ini dihasilkan setelah adanya upaya penelitian kritik Sanad maupun Matan oleh para ulama
untuk yang memiliki komitmen tinggi terhadap sunnah.
Hal ini terjadi disebabkan keragaman orang yang menerima maupun meriwayatkan
hadis Rasulullah.  Berbagai macam hadis yang menimbulkan kontraversi dari berbagai kalangan.

12
berbagai analisis atas kesahihan sebuah hadis baik dari segi putusnya Sanad dan tumpah
tindihnya makna dari Matan pun bermunculan untuk menentukan kualitas sebuah hadis.
Tentu saja hadist yang paling utama diamalakn dalah hadist yang shahih. Namun kita
harus mengerti macam-macam hadist yang lain

Macam-macam hadits

A. Hadis Shahih
      Ibnu shalah mengemukakan definisi hadis shahih, yaitu:

      “Hadis shahih ialah hadis yang sanadnya bersambungan melalui periwayatan orang yang
adil lagi dhabit dari orang yang adil lagi dhabit pula, sampai ujungnya, tidak syaz dan tidak
mu’allal (terkena illat)[1]

      Ajjaj al-Khatib memberikan definisi hadis shahih, yaitu:

“Hadis yang bersambungan sanadnya melalui periwayatan perawi tsiqah dari perawi lain
yang tsiqah pula sejak awal sampai ujungnya (rasulullah saw) tanpa syuzuz tanpa illat”[2]

      Dengan demikian Ajjaj al-Khatib mengemukakan syarat-syarat terhadap sebuah hadis
untuk dapat disebut sebagai hadis shahih, yaitu: a. muttashil sanadnya,  b. Perawi-perawinya
adil[3] c. Perawi-perawinya dhabit[4] d. Yang diriwayatkan tidak syaz, d. Yang diriwayatkan
terhindar dari illat qadihah (illat yang mencacatkannya)

            Shubhi Shalih juga memberikan rambu-rambu yang harus diperhatikan dalam melihat
keshahihan sebuah hadis, yaitu:

a.       Hadis tersebut shahih musnad, yakni sanadnya bersambung sampai yang teratas.

b.      Hadis shahih bukanlah hadis yang syaz yaitu rawi yang meriwayatkan memang terpercaya ,
akan

tetapi ia menyalahi rawi-rawi yang lain yang lebih tinggi.

c.       Hadis shahih bukan hadis yang terkena ‘illat. Illat ialah: sifat tersembunyi yang
mengakibatkan

hadis tersebut cacat dalam penerimaannya, kendati secara zahirnya terhindar dari illat.

13
d.      Seluruh tokoh sanad hadis shahih itu adil dan cermat[5]

B. Hadis Hasan
      Hadis  hasan  ialah hadis yang sanadnya bersambung, oleh penukil yang ‘adil namun
kurang ke-dhabit-annya (tidak terlalu kuat ingatannya)  serta terhindar dari Syaz dan illat.[12]
      Perbedaan antara hadis Hasan dengan Shahih terletak pada dhabit yang sempurna untuk
hadis shahih dan dhabit yang kurang untuk hadis hasan[13]
      Ibn Hajar sebagaimana dinukil Mahmud Thahhan dalam Musthalah Hadis
mengemukakan bahwa khabar ahad yang diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi sempurna ke-
dhabithan-nya, mutthashil tanpa syaz dan illat. Itulah yang disebut shahih li dzatihi. Bila
kedhabithannya kurang maka itulah hadis hasan li dzatihi[14]
      Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hadis hasan adalah hadis yang memenuhi
syarat-syarat hadis shahih seluruhnya, hanya saja semua perawi atau sebagiannya,  kurang  ke-
dhabitan-nya dibanding dengan perawi hadis shahih. [15]
      Berdasarkan pada pengertian-pengertian yang telah dikemukakan diatas, para ulama
hadis merumuskan kriteria hadis hasan, kriterianya sama dengan hadis shahih, Hanya saja pada
hadis hasan terdapat perawi yang tingkat kedhabitannya kurang atau lebih rendah dari perawi hadis
shahih.
      Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hadis hasan mempunyai kriteria sebagai
berikut:
a.       Sanad hadis harus bersambung.
b.       Perawinya adil
c.       Perawinya mempunyai sifat dhabit, namun kualitasnya lebih rendah (kurang) dari yang
dimiliki oleh perawi hadis shahih
d.      Hadis yang diriwayatkan tersebut tidak syaz
e.       Hadis yang diriwayatkan terhindar dari illat yang merusak (qadihah)[16]
C. Hadis Dhaif
            Dha’if menurut bahasa adalah lawan dari kuat. Dha’if ada dua macam, yaitu lahiriyah
dan maknawiyah. Sedangkan yang dimaksud disini adalah dha’if maknawiyah.
            Hadis dhaif menurut istilah adalah “hadis yang didalamnya tidak didapati syarat hadis
shahih dan tidak pula didapati syarat hadis hasan.”[24]

14
            Diantara para ulama terdapat perbedaan rumusan dalam mendefinisikan hadis dhaif ini,
akan tetapi pada dasarnya isi dan maksudnya sama.
            An-Nawawi mendefinisikannya dengan:
“hadis yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadis shahih dan syarat-syarat hadis
hasan”[25]
            As-Suyuthi mendefinisikan hadis dhaif adalah:
“Hadis yang hilang salah satu syarat atau keseluruhan dari syarat-syarat hadis maqbul, atau
dengan kata lain hadis yang tidak terpenuhi didalamnya syarat-syarat hadis maqbul”
            Hadis dhaif apabila ditinjau dari segi sebab-sebab kedhaifannya, maka dapat dibagi
kepada dua bahagian, pertama: Dhaif disebabkan karena tidak memenuhi syarat bersambungnya
sanad. Kedua: Dhaif karena terdapat cacat pada perawinya.

a.  Dhaif disebabkan karena tidak memenuhi syarat bersambungnya Sanad. Dhaif jenis ini
di bagi lagi menjadi :

      1) Hadis Mu’allaq


                       Hadis mu’allaq yaitu hadis yang pada sanadnya telah dibuang satu atau lebih rawi
baik secara berurutan maupun tidak. Contohnya pada hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari:
‫قال مالك عن الزهرى عن أبى سلمة عن أبى هريرة عن النبى "ال تفا ضلوا بين األنبيأ‬
        Dikatakan Muallaq karena Imam bukhari langsung menyebut Imam Malik padahal ia
dengan Imam Malik tidak pernah bertemu. Contoh lain adalah,
‫قال ألبخارى قالت العائشة كان النبى يذكر هللا على كل أحواله‬
Disini Bukhari tidak menyebutkan rawi sebelum Aisyah
2) Hadis Mursal
        Hadis mursal menurut istilah adalah hadis yang gugur perawi dari sanadnya setelah tabi’in,
seperti bila seorang tabi’in mengatakan,”Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda begini
atau berbuat seperti ini”[26]. Contoh hadits ini adalah:
‫قال مالك عن جعفر بن محمد عن أبيه أن رسول هللا قضى باليمن والشاهد‬
Disini Muhammad bin Ali Zainul Abidin tidak menyebutkan sahabat yang menjadi perantara
antara nabi dan bapaknya.
3) Hadis Munqathi'

15
Hadis munqathi’ menurut istilah para ulama hadis mutaqaddimin sebagai “hadis yang sanadnya 
tidak bersambung dari semua sisi”. Sedangkan menurut para ulama hadis mutaakhkhirin adalah
”suatu hadis yang ditengah sanadnya gugur seorang perawi atau beberapa perawi tetapi tidak
berturut-turut” [27]
Contoh hadits ini adalah;
‫ما رواه عبد الرزاق عن الثورى عن أبى إسحاق عن زيد بن يثيع عن حذيفه مرفوعا إن وليتموها أبا بكر فقوى أمين‬

Riwayat yang sebenarnya adalah Abdul Razak meriwayatkan hadis dari Nukman bin Abi Saybah
al-Jundi bukan dari Syauri. Sedangkan Syauri tidak meriwayatkan hadis dari Abi Ishak, akan
tetapi ia meriwayatkan hadits dari Zaid. Dari riwayat yang sesungguhnya kita dapat mengetahui
bahwa hadits di atas adalah termasuk hadis yang munqthi’.
4) Hadis Mu'dhal
Hadis mu’dhal menurut istilah adalah “ hadis yang gugur pada sanadnya dua atau lebih secara
berurutan.”[28].
Contohnya :
Diriwayatkan oleh al-Hakim dengan sanadnya kepada al-Qa’naby dari Malik bahwasanya dia
menyampaikan, bahwa Abu Hurairah berkata, “rasulullah bersabda,
‫ ال يُكلّف من العمل إال ما يُطيق‬، ‫" للمملوك طعامه وكسوته بالمعروف‬
Al-Hakim berkata,” hadis ini mu’dhal dari Malik dalam kitab al-Muwaththa’., Letak ke-
mu’adalahan-nya karena gugurnya dua perawi dari sanadnya yaitu Muhammad bin ‘Aljan, dari
bapaknya. Kedua perawi tersebut gugur secara berurutan[29]
5) Hadis Mudallas
Yaitu hadits yang diriwayatkan dengan menghilangkan rawi diatasnya. Tadlis sendiri dibagi
menjadi beberapa macam;
a. Tadlis Isnad, adalah hadis yang disampaikan oleh seorang perawi dari orang yang semasa
dengannya dan ia betemu sendiri dengan orang itu namun ia tidak mendengar hadis tersebut
langsung darinya. Apabila perawi memberikan penjelasan bahwa ia mendengar langsung hadis
tersebut padahal kenyataannya tidak, maka tidak tidak termasuk mudallas melainkan suatu
kebohongan/ kefasikan.
b. Tadlis qath’i : Apabila perawi menggugurkan beberapa perawi di atasnya dengan meringkas
menggunakan nama gurunya atau misalnya perawi mengatakan “ telah berkata kepadaku”,

16
kemudian diam beberapa saat dan melanjutkan “al-Amasi . . .” umpamanya. Hal seperti itu
mengesankan seolah-olah ia mendengar dari al-Amasi secara langsung padahal sebenarnya tidak.
Hadist seperti itu disebut juga dengan tadlis Hadf (dibuang) atau tadlis sukut (diam dengan
tujuan untuk memotong).
c. Tadlis ‘Athaf (merangkai dengan kata sambung semisal “Dan”). Yaitu bila perawi menjelaskan
bahwa ia memperoleh hadis dari gurunya dan menyambungnya dengan guru lain padahal ia tidak
mendengar hadis tersebut dari guru kedua yang disebutnya.
d. Tadlis Taswiyah : apabila perawi menggugurkan perawi di atasnya yang bukan gurunya karena
dianggap lemah sehingga hadis tersebut hanya diriwayatkan oleh orang-orang yang terpercaya
saja, agar dapat diterima sebagai hadis shahih. Tadlis taswiyah merupakan jenis tadlis yang
paling buruk karena mengandung penipuan yang keterlaluan.
e. Tadlis Syuyukh: Yaitu tadlis yang memberikan sifat kepada perawi dengan sifat-sifat yang lebih
dari kenyataan, atau memberinya nama dengan kunyah (julukan) yang berbeda dengan yang
telah masyhur dengan maksud menyamarkan masalahnya. Contoh: Seseorang mengatakan:
“Orang yang sangat alim dan teguh pendirian bercerita kepadaku, atau penghafal yang sangat
kuat hafaleannya brkata kepadaku”.
f. Termasuk dalam golongan tadlis suyukh adalah tadlis bilad (penyamaran nama tampat).
Contoh: Haddatsana fulan fi andalus (padahal yang dimaksud adalah suatu tempat di
pekuburan). Ada beberapa hal yang mendasari seorang perawi melakukan tadlis suyukh,
adakalanya dikarenakan gurunya lemah hingga perlu diberikan sifat yang belum dikenal, karena
perawi ingin menunjukkan bahwa ia mempunyai banyak guru atau karena gurunya lebih muda
usianya hingga ia merasa malu meriwayatkan hadis darinya dan lain sebagainya.

b. Dhaif karena terdapat cacat pada perawinya

            Sebab-sebab cela pada perawi yang berkaitan dengan ke’adalahan perawi ada lima, dan
yang berkaitan dengan kedhabithannya juga ada lima.

1. Adapun yang berkaitan dengan ke’adalahannya, yaitu: a) Dusta, b) Tuduhan,

      c)  berdusta, d) Fasik, e) bid’ah, f) al-Jahalah (ketidakjelasan

17
2. Adapun yang berkaitan dengan ke’adalahannya, yaitu: a) kesalahan yang, sangat buruk,
b) Buruk hafalan, c) Kelalaian, d) Banyaknya waham, e) menyelisihi para perawi
yang tsiqah

Dan berikut ini macam-macam hadis yang dikarenakan sebab-sebab diatas:


1) Hadis Maudhu'
Hadis maudhu’ adalah hadis kontroversial yang di buat seseorang dengan tidak
mempunyai dasar sama sekali. Menurut Subhi Shalih adalah khabar yang di buat oleh
pembohong kemudian dinisbatkan kepada Nabi.karena disebabkan oleh faktor kepentingan.
[30] Contohnya adalah hadis tentang keutamaan bulan rajab yang diriwayatkan Ziyad ibn
Maimun dari shabat Anas r.a:
‫قيل يارسول هللا لم سمي رجب قال ألنه يترجب فيه خير كثبر‬
Menurut Abu Dawud dan Yazid ibn Burhan, Ziyad ibn Maimun adalah seorang
pembohong dan pembuat hadis palsu.
2) Hadis Matruk
              Hadis matruk adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang disangka suka berdusta.
[31] Contoh hadis ini adalah hadis tentang qadha' al hajat yang diriwayatkan oleh Ibn Abi
Dunya dari Juwaibir ibn Sa'id al Asdi dari dhahak dari Ibn 'Abbas.
‫ الخ‬... ‫قال النبي عليكم باصطناع المعروف فانه يمنع مصارع السوء‬
Menurut an Nasa'i dan Daruqutni, Juwaibir adalah orang yang tidak dianggap hadisnya.
3) Hadis Munkar
Hadis munkar adalah hadits yang diriwatkan oleh perawi yang dhaif, yang menyalahi
orang kepercayaan.[32] perawi itu tidak memenuhi syarat biasa dikatakan seorang dhabit. Atau
dengan pengetian hadis yang rawinya lemah dan bertentangan dengan riwayat rawi tsiqah.
Munkar sendiri tidak hanya sebatas pada sanad namun juga bisa terdapat pada matan.
4) Hadis Majhul
a. Majhul 'aini : hanya diketahui seorang saja tanpa tahu jarh dan ta'dilnya.Contohnya hadis yang
diriwayatkan oleh Qutaibah ibn Sa'ad dari Ibn Luhai'ah dari Hafs ibn Hasyim ibn 'utbah ibn Abi
Waqas dari Saib ibn Yazid dari ayahnya Yazid ibn Sa'id al Kindi
‫ اخرجه ابي داود‬.‫ان النبي كان اذا دعا فرفع يديه مسح وجهه بيده‬

18
Hanyalah Ibn Luhai'ah yang meriwayatkan hadis dari Hafs ibn Hasyim ibn 'utbah ibn Abi Waqas
tanpa diketahui jarh dan ta'dilnya.
b.   Majhul hali : diketahui lebih adari satu orang namun tidak diketahui jarh dan ta'dilnya.contoh
hadis ini adalah hadisnya Qasim ibn Walid dari Yazid ibn Madkur.
‫ اخرجه البيهقى‬.‫ان عليا رضي هللا عنه رجم لوطيا‬
Yazid ibn Madkur dianggap majhul hali.
5) Hadis Mubham
            Hadis mubham yaitu hadis yang tidak menyebutkan nama orang dalam rangkaian sanad-
nya, baik lelaki maupun perempuan.[33] Contohnya adalah hadis Hujaj ibn Furadhah dari
seseorang (rajul), dari Abi Salamah dari Abi Hurairah.
‫قال رسو ل هللا المؤمن غر كريم والفاجر خب لئيمز اخرجه ابو داود‬
6) Hadis Syadz
Hadis syadz yaitu hadis yang beretentangan dengan hadis lain yang riwayatnya
lebih kuat[34].
7) Hadis maqlub
Yang dimaksud dengan hadis maqlub ialah yang memutar balikkan (mendahulukan) kata,
kalimat, atau nama yang seharusnya ditulis di belakang, dan mengakhirkan kata, kalimat atau
nama yang seharusnya didahulukan.
8) Hadis mudraj
                Secara terminologis hadits mudraj ialah yang didalamnya terdapat sisipan atau tambahan,
baik pada matan atau pada sanad. Pada matan bisa berupa penafsiran perawi terhadap hadits
yang diriwayatkannya, atau bisa semata-mata tambahan, baik pada awal matan, di tengah-tengah,
atau pada akhirnya.

9) Hadis mushahaf
                Hadits mushahaf ialah yang terdapat perbedaan dengan hadis yang diriwayatkan oleh
orang kepercayaan, karena di dalamnya terdapat beberapa huruf yang di ubah. Perubahan ini
juga bisa terjadi pada lafadz atau pada makna, sehingga maksud hadis menjadi jauh berbeda dari
makna dan maksud semula.
            Selain hadis diatas masih terdapat beberapa hadits lagi yang termasuk dha'if antara lain,
mudhtharab, mudha'af , mudarraj, mu'allal, musalsal, mukhtalith untuk lebih jelasnya dapat

19
dilihat dalam buku Hasby as-Shiddieqy; Pokok-pokok dirayah ilmu hadis dan juga ‘Ajjaj al-
Khotib; Ushul al-hadits

20
2.5 asbabul wurud

Dalam kajian ilmu hadis telah dikenal adanya ilmu asbab al-wurud. asbab al-wurud secara
sederhana dapat diartikan dengan segala sesuatu yang menyebabkan datangnya sesuatu. Karena
istilah ini biasa dipakai dalam diskursus ilmu hadis, maka asbab al-wurud biasa diartikan dengan
segala sesuatu (sebab-sebab) yang melatar belakangi munculnya suatu hadis atau konteks
historisitas, baik berupa peristiwa-peristiwa atau pertanyaan-pertanyaan atau lainnya yang terjadi
pada saat hadis itu disampaikan oleh Nabi Saw.

Asbab al-wurud dapat berfungsi sebagai pisau analisis untuk menentukan apakah hadis itu
bersifat umum atau khusus, mutlaq atau muqayyad, nasakh atau mansukh, dan sebagainya.
Dalam kajian fiqh al-hadis, asbab al-wurud mempunyai peranan yang sangat penting, karena
dapat menghindarkan dari kesalahpahaman (missunderstanding) dalam menangkap maksud suatu
hadis.

Maka Sebelum seseorang memahami hadis nabi, ia harus mengetahui Asbab al-wurud hadis
(latar belakang hadis) terlebih dahulu. Jika dalam al-Quran terdapat asbab al-Nuzul (latar
belakang turunnya ayat) maka di dalam hadis terdapat asbab al-wurud, dan perlu diketahui tidak
semua hadis nabi memiliki asbab al-wurud-nya. Berikut ini salah satu contoh asbab al-wurud di
mana hadis ini tidak dapat dipahami secara komprehensif tanpa memahami asbab al-wurud-nya.

Selain Asbabul wurud bersumber dari Al-Qur’an, juga bisa bersumber dari hadits, baik dari
hadits yang masih satu redaksi atau satu riwayat atau hadits lain yang masih setema. Misalnya
dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Ḥākim dalam Al-Mustadrak-nya bahwa malaikat
yang ada di bumi akan berbicara dengan bahasa manusia.
‫إن هلل مالئكة تنطق على ألسنة بني آدم بما في المرء من الخير والشر‬.
Artinya, “Sungguh Allah SWT memiliki malaikat yang berbicara dengan bahasa manusia atas
hal yang baik dan buruk.” Hadits ini bagi para ulama tentu musykil, bagaimana bisa seorang
malaikat berbicara dengan bahasa manusia? Ternyata dalam riwayat yang lebih lengkap, Rasul
SAW mendoakan dua jenazah dengan doa yang berbeda. Jenazah yang pertama didoakan agar
selamat sedangkan jenazah yang kedua sebaliknya. Namun Rasul SAW hanya menggunakan
kata “wajabat” saja, (Lihat Al-Ḥākim, Al-Mustadrak, [Beirut, Dārul Marifah: tanpa tahun], juz

21
II, halaman 118). Maka dari itu, yang dimaksud berbicara dengan bahasa manusia adalah bahasa
“wajabat” yang diucapkan Rasul untuk mendoakan dua jenazah yang berbeda tersebut dapat
ditangkap oleh malaikat walau hanya diucapkan sepotong.

Untuk memahami konteks yang tersimpan dalam sebuah hadits, seseorang membutuhkan
pengetahuan akan kehidupan Nabi SAW secara mendetail, khususnya kejadian-kejadian yang
berkaitan dengan munculnya sebuah hadits. Hal ini oleh para ulama disebut sebagai asbabul
wurud hadits. Ilmu asbabul wurud memiliki beberapa fungsi. Secara umum, fungsi-fungsi dari
asbabul wurud ini telah tergambar dalam definisi asbabul wurud menurut As-Suyuthi, yaitu:

Pertama, Takhshīsul ʽAmm Salah satu contoh dari faedah ini adalah hadits yang menjelaskan
bahwa pahala orang yang shalat dengan duduk adalah setengah dari pahala orang yang shalat
dengan berdiri.
‫صالة القاعد على النصف من صالة القائم‬
Artinya, “(Pahala) shalat orang yang duduk adalah setengah dari pahala shalat dengan berdiri.”
Hadits di atas sebenarnya bukan untuk semua orang yang shalat dengan duduk, melainkan hanya
untuk orang yang shalat dengan duduk dalam keadaan tertentu. Hadits di atas mungkin secara
sekilas kelihatan masih umum. Tapi jika kita runut asbabul wurudnya, hadits tersebut ditujukan
kepada orang-orang di Madinah saat itu yang shalat dengan duduk. Pada saat itu nabi
mengetahui, Nabi pun bertanya kepada Abdullāh bin Umar terkait alasan mereka shalat duduk.
Mereka menjawab bahwa mereka shalat duduk karena mereka terkena wabah penyakit panas.
Kemudian Rasul bersabda hadits di atas. Para sahabat yang masih mampu berdiri pun lebih
memilih berdiri daripada duduk, (Lihat At-Ṭhabrānī, Musnadus Syamīyyīn, [Beirut, Muassasatur
Risālah: 1984 M], juz I, halaman 370).

Kedua, Taqyīdul Muṭhlāq Yang dimaksud dengan taqyīd al-muṭlāq adalah pembatasan kata yang
masih terlalu umum. Salah satu contohnya adalah hadits tentang balasan bagi orang yang berbuat
baik kemudian banyak orang yang menirunya. Orang yang berbuat baik tersebut akan

22
mendapatkan pahala orang-orang yang telah meniru perbuatannya tanpa mengurangi sedikit pun
pahala orang-orang tersebut.
‫من سن سنة حسنة عمل بها بعده كان له مثل أجر من عمل بها من غير ان ينقص من أجره شيء ومن سن سنة سيئة كان عليه‬
‫مثل وزر من عمل بها من غير ان ينقص من أوزارهم شيء‬
Artinya, “Siapa pun orang yang mencontohkan suatu sunnah (perbuatan) yang baik yang
diamalkan oleh orang lain setelahnya maka ia mendapat pahala sebanyak pahala orang lain yang
telah melakukan perbuatan baik tersebut tanpa mengurangi pahala orang-orang yang telah
melakukannya. Siapun orang yang mencontohkan suatu perbuatan yang jelek maka maka ia
mendapat dosa sebanyak dosa orang lain yang telah melakukan perbuatan jelek tersebut tanpa
mengurangi dosa orang-orang yang telah melakukannya,” (Lihat Abdullāh Abū Muḥammad Ad-
Dārimī, Sunan Ad-Dārimī, [Beirut, Dārul Kutub: 1407 H], juz I, halaman 60).

Ketiga, Tafṣīlul Mujmal Yang dimaksud dengan tafṣīlul mujmal adalah memperinci sesuatu yang
masih global. Contoh dari faedah ini adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin
Mālik tentang Rasulullah SAW yang memerintahkan Biāl untuk menggenapkan kalimat azan
dan mengganjilkan kalimat iqamah. ‫أمر بالل أن يشفع األذان ويوتر اإلقامة‬
Artinya, “Bilāl diperintahkan untuk menggenapkan kalimat adzan (dua-dua) dan mengganjilkan
kalimat iqamah (satu-satu).” Namun hadits ini seolah bertentangan dengan pendapat jumhūr
ulama yang menyebutkan bahwa kalimat takbir dalam adzan itu tidak hanya dua kali, tapi empat
kali (tarbīʽ). Sedangkan kalimat takbir dalam iqamah adalah dua kali. Yang dimaksud
mengganjilkan dalam hadits di atas adalah empat kali. Hal ini bisa dilihat dari asbabul wurud
hadits tersebut yang menjelaskan sejarah kalimat adzan, yaitu melalui proses mimpi Abdullāh
bin Zaid. Kemudian Abdullāh datang kepada Rasulullah SAW dan menceritakan mimpinya,
yaitu menyebutkan kalimat takbīr empat kali saat adzan dan dua kali saat iqamah. Baru
kemudian Rasul SAW meminta Abdullāh mengajarkan kalimat itu kepada Bilāl, (Lihat Ibnu
Ḥibbān, Ṣaḥīḥ Ibnu Ḥibbān, [Beirut, Muassasatur Risālah: 1993 M], juz IV, halaman 572

Keempat, Membatasi hadits yang menjadi nāsikh (penghapus) dan menjelaskan nāsikh dan
mansūkh. Seperti contoh dalam sebuah hadits yang menjelaskan bahwa orang yang berbekam
dan orang yang membekam puasanya batal.

23
‫ أفطر الحاجم والمحجوم‬Artinya, “Batal puasanya orang yang membekam dan dibekam,” (HR
Ahmad). Namun dalam hadits lain disebutkan bahwa orang yang berbekam tidak batal, karena
Rasulullah SAW juga pernah berbekam dalam keadaan sedang puasa dan sedang berihram. ‫إحتجم‬
‫ النبي ﷺ وهو صائم محرم‬Artinya, “Rasulullah Saw berbekam dan beliau dalam keadaan
sedang puasa dan berihram (menggunakan pakaian ihram),” (HR Ibnu Mājjah). Juga dalam
hadits lain riwayat Abu Dawud disebutkan bahwa orang yang mimpi basah, muntah, dan
berbekam tidak membatalkan puasa. ‫ال يفطر من قاء وال من احتلم وال من احتجم‬ Artinya, “Tidak batal
puasa orang yang mutah (tidak disengaja), mimpi basah, dan berbekam,” (HR Abu Dawud).
Secara sekilas kelihatan bahwa hadits yang pertama dinasakh. As-Suyuṭī menjelaskan bahwa
para ulama berbeda pendapat terkait hadits mana yang menasakh dan dinasakh. Imam Alī bin Al-
Madīnī dan Ibnu Mundzīr berpendapat bahwa yang menasakh adalah hadits yang pertama.
Sedangkan Imam As-Syafi’i berpendapat bahwa yang menasakh adalah hadits yang kedua,
(Lihat Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Lummāʽ fi Asbābil Ḥadīts, [Beirut, Dārul Kutub: 1984 M],
halaman 15).

Kelima, Menjelaskan illat suatu hukum Dalam sebuah hadits dijelaskan bahwa Rasul SAW
pernah melarang seorang untuk minum langsung dari mulut sebuah wadah air (kendi). Dalam
hadits yang lain dijelaskan bahwa ada seseorang yang minum dari mulut sebuah kendi kemudian
perutnya sakit. Inilah yang dimaksud oleh As-Suyūṭī, bahwa asbabul wurud bisa digunakan
untuk melihat illat suatu hukum. Dalam kasus minum air ini, illatnya adalah dapat membuat sakit
perut, tersedak, dan lain sebagainya, (Lihat Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Lummāʽ fi Asbābil Ḥadīts,
[Beirut, Dārul Kutub: 1984 M], halaman 17).

Keenam, Menjelaskan hal yang masih musykil (sulit dipahami) Contohnya ketika Rasul SAW
bersabda bahwa orang yang diperdebatkan hisabnya, dia akan diazab. Lalu Aisyah bertanya
bukankah hisab akan dipermudah. Kemudian Rasul menjawab, yang dimaksud hisab itu adalah
hanya diperlihatkan (‫)عرض‬. Sedangkan orang yang diperdebatkan hisabnya dia akan hancur. Hal
ini dijelaskan dalam sebuah hadits riwayat Imam Al-Bukhari. ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ َ ‫أَ َّن عَائِ َشةَ زَ وْ َج النَّبِ ِّي‬
ُ ‫ت عَائِ َشةُ فَقُ ْل‬
‫ت‬ ْ َ‫ب قَال‬ َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل َم ْن حُو ِس‬
َ ‫ب ُع ِّذ‬ َّ ِ‫ْرفَهُ َوأَ َّن النَّب‬
َ ‫ي‬ ْ ‫ْرفُهُ إِاَّل َرا َج َع‬
ِ ‫ت فِي ِه َحتَّى تَع‬ ْ ‫َكان‬
ِ ‫َت اَل تَ ْس َم ُع َش ْيئًا اَل تَع‬
َ ‫ش ْال ِح َس‬
‫اب يَ ْهلِ ْك‬ َ ِ‫ك ْال َعرْ ضُ َولَ ِك ْن َم ْن نُوق‬ َ ‫ أَ َولَي‬Artinya,
ْ َ‫ْس يَقُو ُل هَّللا ُ تَ َعالَى ( فَ َسوْ فَ ي َُحا َسبُ ِح َسابًا يَ ِسيرًا ) قَال‬
ِ ِ‫ت فَقَا َل إِنَّ َما َذل‬
“Sungguh Aisyah istri Nabi SAW tidaklah mendengar sesuatu yang tidak dia mengerti kecuali

24
menanyakannya kepada Nabi SAW sampai dia mengerti, dan Nabi SAW pernah bersabda,
‘Siapa yang dihisab berarti dia disiksa’ Aisyah berkata, maka aku bertanya kepada Nabi,
‘Bukankah Allah SWT berfirman, ‘Kelak dia akan dihisab dengan hisab yang ringan.’’ Aisyah
berkata, maka Nabi SAW bersabda, ‘Sungguh yang dimaksud itu adalah pemaparan (amalan).
Akan tetapi barang siapa yang didebat hisabnya pasti celaka,’" (Lihat Al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ Al-
Bukhārī, [Beirut, Dāru Ṭūqin Najāt: 1422 H], juz I, halaman 32). Hadits di atas menunjukkan
bahwa sababu wurūdil hadits bisa digunakan sebagai penjelas atas hal yang masih musykil.

25
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Dari materi diatas setidaknya ada beberapa poin yang dapat disarikan dalam tema singkat
tentang “As-Sunnah” ini:
1.      As-Sunnah adalah segala sesuatu yang diriwayatkan oleh Nabi SAW, baik secara perkataan,
perbuatan, dan penetapannya.
2.      Macam-macam assunnah ada tiga, yaitu sunnah qaulyyah, sunnah fi’lyyah, dan sunnah
taqqriryah.
3.      Hubungan assunnah dengan Al-Qur’an yaitu Menguatkan hukum suatu peristiwa yang letah di
tetapkan hukumnya di dalam alqur’an,dan Memberikn keterangan (bayan) ayat-ayat alqur’an,
3.2 PENUTUP
Demikian makalah ini kami susun. Punulis menyadari dalam makalah ini masih banyak sekali
kekurangan dan jauh dari kesan “sempurna”. Oleh karena itu, kritik dan saran yang kontruktif
sangat penulis harapkan demi kesempurnaan makalah saya selanjutnya. Akhirnya semoga
makalah ini bisa bermanfaat bagi siapa saja yang membcanya. Amien.

26
DAFTAR PUSTAKA
Mukhtar yahya, dasar-dasar pembinaan hukum fiqih-islami
Khallaf , Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fikih,jakarta:,pustaka Amani
Usman, Suparman. hukum islam, jakarta: gaya media pratama,2001
Thalib, Muhammad, ilmu ushul Fiqh, jakarta:bina ilmu, 1977
https://muslim.or.id/25321-sejarah-penulisan-hadits-1.html
https://islam.nu.or.id/post/read/107044/ini-sumber-sumber-asbab-wurud-hadits:
https://islam.nu.or.id/post/read/106965/ini-enam-fungsi-asbabul-wurud-hadits

27

Anda mungkin juga menyukai