3. Kenapa Alquran tidak disusun sesuai dengan urutan turunnya surah, seperti surah
pertama al-Alaq?
Jawab:
Sistematika penyusunan Alquran ditetapkan langsung oleh Allah, bukan berdasar waktu
turunnya. Penyusunan urut-urutan ayat dan surat-suratnya sedemikian rupa, sehingga —
walaupun berbeda-beda waktu turunnya— masing-masing memiliki hubungan keterkaitan
yang sangat erat, bagaikan rantai yang sulit ditetapkan mana ujung dan mana pula
pangkalnya. Demikian penjelasan singkat, wallahu a'lam.
(M Quraish Shihab. Dewan Pakar Pusat Studi Alquran)
4. Bagaimana sebaiknya sikap kita saat ada orang membaca Alquran? Lalu apa yang kita
lakukan ketika sedang menyimak orang yang membaca Alquran tapi banyak ayat yang
dibaca tidak sesuai ilmu tajwid?
Jawab:
Sebaiknya kita diam (tidak berisik) dan mendengarkan dengan baik. Dalam Alquran
surah al-A’raf (7(: 204 Allah berfirman: "Dan apabila dibacakan Alquran, maka
dengarkanlah dan diamlah agar kamu mendapat rahmat."
Kalau memang kita tahu bacaannya salah atau keliru, kita harus mengingatkan. Tentu
dengan cara yang santun, tidak menggurui, apalagi sampai menimbulkan ketersinggungan.
(Yunan Yusuf, Dewan Pakar Pusat Studi Alquran)
2. Sebutkan dan jelaskan fungsi sunnah dalam kedudukan sebagai sumber dan dalil
hukum kedua?
Jawab:
Dalam kedudukan sebagai sumber dan dalil hukum kedua, sunnah menjalankan fungsinya
sebagai berikut:
a. Bayan ta’kid
Bayan Ta’kid yaitu menetapkan dan menegaskan hukum-hukum yang tersebut dalam
Al-Qur’an. Dalam ini sunnah hanya seperti mengulangi apa yang dikatakan Allah dalam
Al-qur’an. Contohnya Allah berfirman:
Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. (QS.al-Baqarah:110)
b. Bayan tafsir
Bayan Tafsir yaitu memberikan penjelasan arti yang masih samar dalam Al-Qur’an, atau
terperinci apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secara garis besar, memberi
batasan terhadap apa yang disampaikan Allah secara mutlak.
Perintah shalat disampaikan Al-qur’an dalam arti yang ijmal, yang masih samar, artinya
karena dapat saja dipahami dari padanya semata doa sebagai yang dikenal secara umum
pada waktu itu. Kemudian Nabi melakukan perbuatan shalat secara jlas dan
terperincidan menjelaskan kepada umatnya:
“inilah shalat dan kerjakanlah shalat itu sebagai mana kamu lihat aku mengerjakannya.”
Dalam Al-Qur’an secara umum dijelaskan bahwa anak laki-laki dan anak perempuan
adalah ahli waris bagi oang tuanya yang meninggal(QS.an Nisa’:7( sunnah Nabi
membatasi hak warisan itu hanya kepada anak-anak yang bukan penyebab kematian
orng tuanya itu, dengan ucapan: pembunuh tidak dapat mewarisi orang yang
dibunuhnya”.
c. Bayan Tasyri
Bayan Tasyri yaitu menetapakn suatu hukum dalam sunnah yang secara jelas tidak di
sebutkan dalam Al-Qur’an. Dengan demikian kelihatan bahwa sunnah menetapkan
sendiri hukum yang tidak ditetapakn Al-Qur’an.
Seperti al-Qur’an menjelaskan tidak bolehnya mengawini dua perempuan yang
bersaudara dalam waktu yang sama. (QS: an-Nisa:23). Sunnah Nabi memperluas hal itu
dengan ucapan: “Tidak boleh memadu seseorang dengan bibinya atau dengan anak
saudaranya”. Al-qur’an melarang mengawini perempuan yang mempunyai hubungan
nasab. Sunnah Nabi memperluas laranngan mengawini saudara sepersusuan. Larangan
karena sebab susuan , disamakan dengan larangan karena sebab hubungan nasab.
Sebenarnya bila diperhatikan dengan teliti akan jelas apa yang ditetapkan tersendiri oleh
sunnah itu, pada hakikatnya adalah penjelasan terhadap apa yang disinggung Allah
dalam Alqur’an atau memperluas apa yang disebutkan Allah secara terbatas.
Umpama Allah SWT menyebutkan dalam al-Qur’an tentang haramny memakan
bangkai, darah, daging babi dan sesuatu yang disembelih tidak dengan menyebut nama
Allah(QS. Al-Maidah:3). Kemudian mengatakan “haramnya setiap binatang buas yang
bertaring dan kukunya mencekam’. Larangan ini secara lahir dapat dikatakan sebagai
hukum baru yang ditetapkan oleh Nabi. Sebenarnya larangan Nabi itu hanyalah
penjelasan terhadap larangan Allah memakan sesuatu yang kotor (QS. Al-a’raf:33(.
3. Jelaskan hubungan assunah dengan alqur’an ditinjau dari segi penggunaan hujjah
dan pengambilan hukum-hukum syri’at
Jawab:
Hubungan assunah dengan alqur’an ditinjau dari segi penggunaan hujjah dan
pengambilan hukum-hukum syri’at adalah bahwa assunnah itu sebagai sumber hukum yang
sederajat lebi rendah dari pada alqur’an, artinya ialah bahwa seorang mujtahit dalam
menetapkan hukum suatu peristiwa tidak akan mencari dalam assunnah lebih dahulu,
kecuali bila ia tidak mendapatkan ketentuan hukumnya didalam alqur’an hal itu di sebabkan
karena alqur’an menjadi dasar perundang-undangan dan sumber hukum yang pertama.
Apabila ia memperoleh ketentuan hukum yang dicarinya didalam alqur’an harus diikutinya
dan apabila tidak mendapatkannya, maka ia harus mencari dalam assunnah dan bila ia
mendapatkannya dari assunnah hendaklah di ikutinya.
IJTIHAD
1. Apa yang dimaksud dengan ijtihad?
Jawab:
Secara bahasa, pengertian Ijtihad adalah mencurahkan pikiran dengan bersungguh-
sungguh. Sedangkan menurut istilah, arti Ijtihad adalah proses penetapan hukum syariat
dengan mencurahkan seluruh pikiran dan tenaga secara bersungguh-sungguh.
Kata “Ijtihad” berasal dari bahasa Arab, yaitu “Ijtihada Yajtahidu Ijtihadan” yang
artinya mengerahkan segala kemampuan dalam menanggung beban. Dengan kata lain,
Ijtihad dilakukan ketika ada pekerjaan yang sulit untuk dilakukan.
Di dalam agama Islam, Ijtihad adalah sumber hukum ketiga setelah Al-quran dan hadits.
Fungsi utama dari Ijtihad ini adalah untuk menetapkan suatu hukum dimana hal tersebut
tidak dibahas dalam Al-quran dan hadits.Orang yang melaksanakan Ijtihad disebut dengan
Mujtahid dimana orang tersebut adalah orang yang ahli tentang Al-quran dan hadits.
NAMA : RAHMIA
NIM : G011191190
KELAS : AGROTEKNOLOGI C