Anda di halaman 1dari 12

I.

Pendahuluan

Dalam perjalanan sejarah manusia, pemikiran filosofis senantiasa berkembang. Hal itu
dikarenakan pemikiran merupakan hal yang paling mendasar dalam kehidupan manusia,
bahkan merupakan ciri khas manusia. Hal tersebut tentunya tidak terlepas dari anugerah akal
yang dimiliki oleh manusia. Pemikiran filosofis meniscayakan kelahiran filsafat sebagai
induk dari semua ilmu. Di antara corak pemikiran manusia adalah pengetahuan tentang
wujud, awal bermulanya hingga akhirnya. Oleh karena itu, buah pemikiran dari manusia
melahirkan berbagai macam aliran dalam filsafat yakni, aliran empirisme, rasionalisme,
idealisme, pragmatisme, eksistensialisme, positivisme, vitalisme, strukturalisme, post-
strukturalisme dan lain-lain.

Selain itu, permasalahan yang menjadi objek kajian (pembahasan) dalam filsafat
mengalami perkembangan yang signifikan. Filsafat tidak hanya berhenti pada permasalahan
wujud, tetapi juga merambah pada pembahasan berkenaan dengan ilmu. Selain itu, filsafat
juga menyentuh tataran praktis, terutama berkaitan dengan moral. Perkembangan tersebut
merupakan implikasi logis dari perkembangan pola pikir manusia itu sendiri. Hal tersebut
tidak lain merupakan upaya untuk menemukan “kebenaran”.

Pencarian terhadap kebenaran seiring dengan tujuan dari filsafat itu sendiri, yakni
untuk mencari kebenaran yang hakiki. Dengan kata lain, mengetahui segala sesuatu yang ada
sebagaimana adanya (problem ontologis). Kemudian, timbul pertanyaan setelah mencari
“Apa itu kebenaran?” yaitu “Bagaimana kita bisa mendapatkan pengetahuan yang hakiki itu
atau sesuatu yang ada sebagaimana adanya (kebenaran)? Persoalan ini merupakan problem
epistemologis. Selanjutnya, setelah kita mengetahui kebenran dan cara untuk
mendapatkannya, muncul pertanyaan untuk apa pengetahuan tersebut. Dengan kata lain,
pemikiran selanjutnya berkaitan dengan pengaplikasian ilmu yang telah didapatkan pada
tataran praktis. Ini disebut dengan problem aksiologis, artinya apakah ilmu pengetahuan yang
didapat itu bisa diterapkan untuk kemaslahatan umat atau justru sebaliknya, terutama
kaitannya dengan moralitas. Singkatnya, wilayah ontologi bertanya tentang “apa” wilayah
epistemologi bertanya tentang “bagaimana” sedangkan, wilayah aksiologi bertanya tentang
“untuk apa”.

Tiga problem filosofis inilah —ontologi, epistemologi dan aksiologi— yang hingga
kini masih menimbulkan perdebatan. Hal itu dikarenakan masing-masing aliran filsafat
memiliki sudut pandang tersendiri berkaitan dengan ketiga hal tersebut. Oleh karena itu,
pembahasan mengenai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi topic penting pembahasan
penting dalam dunia Filsafat. Hal inilah yang menjadi alasan bagi penulis untuk
mengetengahkan pembahasan tersebut dalam makalah ini.

B. RUMUSAN MASALAH
Apa Pengertian Ontologi?
Apa Pengertian Epistemologi ?
Apa Pengertian Aksiologi ?
C. TUJUAN
Mengetahui Ontologi
Mengetahui Epistemologi
Mengetahui Aksiologi

A. Pembahasan
Untuk memahami Sub bahasan Filsafat ilmu pendidikan Islam ini dapat didekati dari
permasalahan pokok tentang apa itu filsafat, filsafat ilmu, dan pendidikan Islam. Telah
diketahui bahwa filsafat merupakan disiplin dan sistem pemikiran tentang enam jenis
persoalan berhubungan dengan “(1) hal ada, (2) pengetahuan, (3)metode, (4) penyimpulan,
(5) moralitas, dan (6) keindahan. Keenam jenis persoalan ini merupakan materi yang
dipelajari, dan kemudian menjadi bagian utama studi filsafat yang terkenal sebagai
metafisika, epistemologi, metodologi, logika, etika dan estetika”.1
Sebagai suatu sistem pemikiran menurut M. Dimyathi maka kegiatan penalaran
filosofis dapat dikatagorikan sebagai kegiatan analisis, pemahaman, diskripsi, penilaian,
penafsiran, dan perekaan. Kegiatan penalaran tersebut bertujuan untuk mencapai kejelasan,
kecerahan, keterangan, pembenaran, pengertian dan penyatupaduan. Secara keseluruhan
filsafat mempelajari keenam jenis persoalan tersebut berdasarkan kegiatan penalaran reflektif
dan hasil refleksinya terwujud dalam pengetahuan filsafati.2
Pengetahuan filsafati merupakan induk dari Ilmu (science) dan pengetahuan
(knowledge) yang mana keduanya merupakan potensi esensial pada manusia dihasilakan dari
proses berpikir. Berpikir (natiq) adalah sebagai karakter khusus yang memisahkan manusia
dari hewan dan makhluk lainya. Oleh karena itu keunggulan manusia dari spesies-spesies
lainnya karena ilmu dan pengetahuannya.
Dalam teologi Islam diyakini bahwa manusia dengan potensi natiq memiliki
kemampuan filosofis dan ilmiah. Potensi inilah yang secara spesifik melahirkan daya Filsafat
Ilmu. Filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan

1 The Liang Gie, Suatu Konsepsi Kearah Penertiban Bidang Filsafat (Yogyakarta: Karya Kencana, 1977), 11.
2 M. Dimyati, Dilema Pendidikan Ilmu Pengetahuan (Malang : IPTI, 2001), 1.
mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala
segi dari kehidupan manusia. Filsafat Ilmu merupakan suatu bidang pengetahuan campuran
yang eksistensinya bergantung pada hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi antara
filsafat dan ilmu.
Dengan demikian, Filsafat Ilmu merupakan satu-satunya medium resmi untuk
memperbincangkan ilmu. Dalam kaitannya dengan ilmu, filsafat tidak lebih dari model
pandang atau perspektif filosofis terhadap ilmu. Karena itu, tidak menawarkan materi-materi
ilmiyah, tetapi sekedar tinjauan filsofis mengenai pengetahuan yang dicapai oleh suatu ilmu.
Bidang Filsafat Ilmu meliputi epistimologi, aksiologi, dan ontologi. Dalam ranah pendidikan
Islam, ketiga bidang filsafat ilmu ini perlu dijadikan landasan filosofis, terutama untuk
kepentingan pengokohan dan pengembangan pendidikan Islam itu sendiri.
Manusia dengan potensi natiqnya mendudukkan sebagai subyek pemikir keilmuan
sekaligus menggambarkan sebagai individu yang secara epistemologi memiliki kerangka
berfikir keilmuan, dan memiliki dunia kemanusiaan obyektif yang berlapis. Lapisan
pemikiran obyektif tersebut menurut Dimyati terwujud dalam dunia human, sebagai salah
satu wujud ontologis manusia. Secara ontologis dunia manusia meliputi keberadaan secara
fisik, biotis, psikis, dan human. Pada taraf human ini dengan tingkatan-tingakatan (1)
keimanan, yang mengitegrasikan bakat kemanusiaan, (b) pribadi, sebagai pengintegrasi
segala aspek jiwa manusia yang internasional, (c) keakuan, suatu lapis luar kejiwaan yang
dinamis, (d) dunia religius, (e) dunia kebudayaan sebagai ekpresi etis, estetis dan epistemis.3
Obyek filsafat tersebut dalam filsafat pendidikan Islam sebagaimana filsafat pada
umumnya- menerapkan metode kefilsafatan yang lazim dan terbuka. Hanya obyek masing-
masing yang membedakan antara berbagai cabang dan jenis filsafat. Demikian pula hubungan
antara filsafat pendidikan dengan filsafat pendidikan Islam. Jenis pertama menempatkan
segala yang ada sebagai obyek, sementara yang kedua mengkhususkan pendidikan dan yang
terakhir lebih khusus lagi pendidikan Islam. Sedangkan filsafat ilmu pendidikan Islam berarti
penerapan metode filsafat ilmu meliputi ontologi, epistemologi dan aksiologi terhadap
keilmuan pendidikan Islam.
Ahmad Tafsir memberi penjelasan tentang perbedaan antara filsafat dan ilmu (sains),
dan filsafat pendidikan Islam. Menurutnya filsafat ialah jenis pengetahuan manusia yang
logis saja, tentang obyek-obyek yang abstrak. Ilmu ialah jenis pengetahuan manusia yang
diperoleh dengan riset terhadap obyek-obyek empiris; benar tidaknya suatu teori ilmu

3 M. Dimyati, Keilmuan Pendidikan Sekolah Dasar: Problem Paradigma Teoritis dan Orientasi Praktis Dilematis (Malang:
IPTPI, 2002), 5.
ditentukan oleh logis-tidaknya dan ada-tidaknya bukti empiris. Adapun filsafat pendidikan
Islam adalah kumpulan teori pendidikan Islam yang hanya dapat dipertanggung jawabkan
secara logis dan tidak akan dapat dibuktikan secara empiris.4
Mengaitkan Islam dengan katagori keilmuan, seperti dalam konsep pendidikan,
menurut Mastuhu umumnya berhadapan dengan pengertian Islam sebagai sesuatu yang final.
Dalam katagori ini, Islam dapat dilihat sebagai kekuatan iman dan taqwa, sesuatu yang sudah
final. Sedangkan katagori ilmu memiliki ciri khas berupa perubahan, perkembangan dan tidak
mengenal kebenaran absolut. Semua kebenarannya bersifat relatif.5
Baik Filsafat ilmu, filsafat pendidikan dan khususnya lagi filsafat pendidikan Islam
sangat penting untuk dikaji, karena menurut Al-Shaybani setidaknya filsafat pendidikan
memiliki beberapa kegunaan. Diantara manfaat itu ialah (1) dapat menolong perangcang-
perangcang pendidikan dan orang-orang yang melaksanakannya dalam suatu negara untuk
membentuk pemikiran sehat terhadap proses pendidikan, (2) dapat membentuk asas yang
dapat ditentukan pandangan pengkajian yang umum dan yang khusus, (3) sebagai asas
terbaik untuk penilaian pendidikan dalam arti yang menyeluruh, (4) sandaran intelektual yang
digunakan untuk membela tindakan pendidikan, (5) memberi corak dan pribadi khas dan
istemewa sesuai dengan prinsip dan nilai agama Islam.6
B. Perspektif Ontologi Pendidikan Islam.
“Secara terminologi, ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu on atau ontos yang
berarti “ada” dan logos yang berarti “ilmu”. Sedangkan secara terminologi ontologi adalah
ilmu tentang hakekat yang ada sebagai yang ada (The theory of being qua being). Sementara
itu, Mulyadi Kartanegara menyatakan bahwa ontology diartikan sebagai ilmu tentang wujud
sebagai wujud, terkadang disebut sebagai ilmu metafisiska. Metafisika disebut sebagai “induk
semua ilmu” karena ia merupakan kunci untuk menelaah pertanyaan paling penting yang
dihadapi oleh manusia dalam kehidupan, yakni berkenaan dengan hakikat wujud.
Masalah-masalah pendidikan Islam yang menjadi perhatian ontologi -menurut
Muhaimin7- adalah bahwa dalam penyelenggaraan pendidikan Islam diperlukan pendirian
mengenai pandangan manusia, masyarakat dan dunia. Pertanyaan-pertanyaan ontologis ini
berkisar pada: apa saja potensi yang dimiliki manusia? Dalam Al-Qur’an dan Al-Hadith

4 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam dalam Perspektif Islam (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000), 14.
5 Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 18.
6 Umar Muhammad Al-T{aumi Al-Shaybani, Falsafah Pendidikan Islam, ter. Hasan Langgulung (Jakarta: Bulan Bintang,
1979), 30.
7 Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam: di Sekolah, Madarasah dan Perguruan Tinggi ( Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2005), 65.
terdapat istilah fitrah, samakah potensi dengan fitrah tersebut? Potensi dan atau fitrah apa dan
dimana yang perlu mendapat prioritas pengembangan dalam pendidikan Islam? Apakah
potensi dan atau fitrah itu merupakan pembawaan (faktor dasar) yang tidak akan mengalami
perubahan, ataukah ia dapat berkembang melalui lingkungan atau faktor ajar ?
Lebih luas lagi apa hakekat budaya yang perlu diwariskan dari satu generasi ke
generasi berikutnya? Ataukah hanya ajaran dan nilai Islam sebagaimana terwujut dalam
realitas sejarah umat Islam yang perlu diwariskan kepada generasi berikutnya? Inilah aspek
ontologis yang perlu mendapat penegasan.
C. Perspektif Epistemologi Pendidikan Islam
Analisis epistemologis tentang pendidikan Islam terkait dengan landasan dan metode
pendidikan Islam. Kegiatan pendidikan tertuju pada manusia, dan oleh karenaya menyentuh
filsafat tentang manusia. Kegiatan pendidikan adalah kegiatan mengubah manusia sehingga
mengembangkan hakikat kemanusiaan. Kegiatan pendidikan dilakukan terhadap manusia dan
oleh manusia, yang bertujuan mengembangkan potensi kemanusiaan, dan hal ini dapat terjadi
jika manusia memang “animal educandum, educabile, dan educans”.
Epistemologis bahwa manusia adalah animal educandum, educabile dan
educans tersebut merupakan hasil analisis Langeveld, seorang Paedagog Belanda. Analisis
fenomenologis tentang manusia sebagai sasaran tindak mendidik ini menegakkan paedagogik
(ilmu pendidikan) sebagai disiplin ilmu pengetahuan yang patut dipertimbangkan.
Paedagogik sebagai ilmu pengetahuan melukiskan bahan pengetahuan pendidikan yang
bermanfaat untuk melakukan pengajaran ilmu pengetahuan di sekolah.
Analisis epistemologis dan metode fenomenologi tentang kegiatan pendidikan –
menurut Dimyati- telah melahirkan paedagogik sebagai ilmu yang otonom. Sedangkan
analisis epistemologi dengan pragmatismenya melahirkan philosophy of education sebagai
cabang filsafat khusus. Secara analisis pragmatis, kegiatan pendidikan dipandang sebagai
bagian integral kebudayaan; dalam hal ini kegiatan pendidikan dipandang sebagai penerapan
pandangan filsafat manusia terhadap anak manusia.8 Implikasinya, dapat diilustrasikan jika
manusia dipandang sebagai makhluk rasional, maka kegiatan pendidikan terhadap manusia
adalah membuat manusia menjadi makhluk yang mampu menggunakan dan mengembangkan
akalnya untuk memecahkan masalah-masalah kebudayaan manusia.
Jelaslah bahwa telaah lengkap atas tindakan manusia dalam fenomena pendidikan
melampaui kawasan ilmiah dan memerlukan analisis yang mandiri atas data pedagogi

8 M. Dimyati, Dilema Pendidikan, 16.


(pendidikan anak) dan data andragogi (pendidikan orang dewasa). Adapun data itu mencakup
fakta (das sein) dan nilai (das sollen) serta jalinan antara keduanya. Data faktual tidak berasal
dari ilmu lain tetapi dari objek yang dihadapi (fenomena) yang ditelaah Ilmuwan itu
(pedagogi dan andragogi) secara empiris. Begitu pula data nilai yang normatif tidak berasal
dari filsafat tertentu melainkan dari pengalaman atas manusia secara hakiki. Itu sebabnya
pedagogi dan andragogi memerlukan jalinan antara telaah ilmiah dan telaah filsafat.
Sebaliknya ilmu pendidikan khususnya pedagogik adalah ilmu yang menyusun teori
dan konsep pendidikan. Oleh sebab itu setiap pendidik tidak boleh ragu-ragu atau menyerah
kepada keragu-raguan prinsipil. Hal ini serupa dengan ilmu praktis lainnya yang mikro dan
makro. Seperti kedokteran, ekonomi, politik dan hukum. Oleh karena itu pedagogik (dan
telaah pendidikan mikro) serta pedagogik praktis dan andragogi (dan telaah pendidikan
makro) bukanlah filsafat pendidikan yang terbatas menggunakan atau menerapkan telaah
aliran filsafat normative yang bersumber dari filsafat tertentu. Yang lebih diperlukan ialah
penerapan metode filsafat yang radikal dalam menelaah hakikat peserta didik sebagai
manusia seutuhnya dan sebagainya.
Dalam hal epistemologi -menurut Muhaimin- pertanyaan-pertanyaan yang
dikembangkan adalah menyangkut hal-hal berikut: untuk mengembangkan potensi dasar
manusia serta mewariskan budaya dan interaksi antara potensi dan budaya tersebut, apa saja
isi kurikulum pendidikan Islam yang perlu didikkan? Dengan menggunakan metode apa
pendidikan Islam itu dapat dijalankan? Siapa yang berhak mendidik dan didik dalam
pendidikan Islam? Apakah semua yang ada di alam semesta ini, ataukah hanya manusia saja,
atau hanya Muslim saja yang dapat mendidik dalam pendidikan Islam?.9
Pertanyaan-pertanyaan diatas mengarah pada upaya pengembangan pendidikan Islam
yang secara mendasar berkaitan dengan persoalan dasar dan sekaligus metodologis. Oleh
karena itu jika subtansi pendidikan Islam merupakan paradigma ilmu, menurut Abdul Munir
Mulkhan maka problem epistemologis dan metodologis pemikiran Islam adalah juga
merupakan problem pendidikan Islam.10
Untuk menjawab permasalahan-permasalahan epistemologis seperti dikemukakan
Muhaimin diatas, maka sangat berhubungan dengan landasan/ dasar dan metode pendidikan
dalam islam. Oleh karenanya, pembahasan berikut menjelaskan landasan dan metode
tersebut.

9 Muhaimin, Pengembangan Kurikulum, 66.


10Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah (Yogyakarta:
SIPRES, 1993), 213.
Untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan Islam yang telah ditetapkan, maka
diperlukan landasan pendidikan. Pendidikan Islam dengan karakteristiknya agama juga
menjadikan dasar-dasar agama sebagai landasan pendidikannya. Menurut Darajat bahwa
pendidikan Islam berlandaskan pada tiga hal berikut: Al-Qur’an, , Al-Sunnah dan Ijtihat Al-
Nahlawi sependapat bahwa Al-Qur’an, dan al-Sunnah sebagai asas pokok pendidikan
Islam.11 Karena nyata sekali bahwa dimasa rasul dan sahabat pendidikan sangat tergantung
dengan ajaran Al-Qur’an, . Terlebih ketika ‘Aishah menegaskan, sesungguhnya akhlak rasul
itu adalah Al-Qur’an. Hal ini seperti penjelasan ayat berikut:

Artinya: Dan tiadalah yang diucapkan itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa
nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)
Demikian pula, al-Sunnah juga sebagai asas pendidikan Islam, karena ia menjelaskan
Al-Qur’an. Penjelasan ini diantaranya terdapat pada ayat berikut:
Artinya: Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka] dan supaya mereka memikirkan.
Yaljan dalam nukilan Djumransyah menyatakan bahwa asas pendidikan Islam terdiri
dari Al-Qur’an, dan sunnah yang diperluas dengan ijma’, qiyas, masalih al-Mursalah, shadh
al-Dhari’ah, ‘urf dan istihsan. 12 Hal ini sejalan dengan pendapat Sa’id Isma’il bahwa asas
pendidikan Islam meliputi Al-Qur’an, sunnah, qaul sahabat, masalih al-Mursalah, urf, dan
pemikiran Islam.13
Adapun pembahasan tentang metode pendidikan islam, secara umum perhatian para
ulama klasik telah tertuju pada upaya tersebut. Hal ini terbukti dengan munculnya pemikir-
pemikir pendidikan. Menurut Abd al-Ghani ‘Abud mereka ini secara preodik dimulai dari
Shahnun (Wafat 240 H), Muhammad Ibn Shahnun (wafat 256 H), Al-Ajari ( 360 H), Al-
Khawarizmi (377 H), Al-Qabisi (403 H), Ibn Jazzar Al-Qairawani (395 H), Ibn Afif (420 H),
Ibn Abd Al-Barr (423 H), Al-Ghazali (505 H), Al-Zanuji (591 H), Ibn Jama’ah (733 H), Ibn
Al-Hajj Al-Abdari (737 H), Al-Maghrawi (902 H), Ibn Hajar Al-Haithami (947 H), ditambah
para pemikir kontemporer lainya seperti Burhan Al-Ddin Al-Aqsharani, Al-Qathmuni, Al-
‘Amuli, Abi Yahya Zakariya Al-Ansari, dll.14

11 Zakiyah Darajat, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), 17


12 Djumbransyah Indar, Filsafat Pendidikan Islam, (Surabaya: Usaha Nasional, 1992), 40.
13 Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1980), 189
14 Abd al-Ghani ‘Abud, Alfikr al-Tarbawi Ind Al-Ghaza>li, (Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1982), 35.
Mereka ini menurut Abud tergolong pemikir pendidikan murni dari islam, termasuk
Ibn Khaldun (732-808 H). Disisi lain Abud menggolongkan pemikir (pendidikan) islam yang
terpengaruh dengan model filsafat Yunani, diantaranya Ibn Sina (370-428 H) dan Ibn
Maskawaih (325-421 H)
Para pemikir pendidikan muslim tersebut mewariskan khzanah pemikirannya dalam
kitab-kitab pendidikan. Diantaranya yang relevan dengan pendidikan anak; Ta’lim al-Sibyan
wa ahkam al-Mu’alimin (Al-Qabisi), ayyuha al-Walad (Al-Ghazali), adab al-
Mua’alimin (Ibn Sahnun),Ta’lim al-Muta’alim (Al-Zanuji), Tahrir Al-Maqal fi adab wa
ahkam wa fawaid yahtaj ilaiha muaddib al-Athfal (Ibn Hajar Al-Haithami), Jami’ Bayan Al-
‘Ilm (Ibn abd Al-Bar), Siyasat al-Shibyan wa tadbirihim(Ibn Jazzar al-Qairawani), Jami’
Jawami’ Al-Ihtishar (Al-Maghrawi),Tadhkirat al-Sami’ wa al-Mutakallim fi adab al-Alim wa
al-Muta’allim(Ibn Jama’ah).15
Kitab-kitab tersebut secara umum menjelaskan bagaimana pendidikan islam
dilakukan. Sayangnya kitab-kitab tersebut banyak yang tidak ditemukan. Adapun dalam hal
metode (Tariqah) pendidikan, menurut Ibn Taimiyah yang dinukil oleh Majid Arsan
Kailani ada dua yaitu pertama; tariqah ‘ilmiah yakni berhubungan dengan bangunan
penyampaian ilmu mencakup media pengajaran, kurikulum dan keseimbangan antara teoritis
dan praktis. Cara (Uslub) yang digunakan dengan uslub hikmah, al-Mauidah Hasanah dan
jadal al-Hasan. Kedua:tariqah iradah yakni metode untuk mendorong beramal yaitu dengan
cara memahami Al-Qur’an, bersedekah, meninggalkan perbuatan keji, dan ibadah.16
Al-Nahlawi menjelaskan tuju model (uslub) pendidikan. Pertama: model pendidikan
dengan materi percakapan dari qur’an dan hadith (Al-Tarbiyah bi al-hiwar al-Qur’ani wa al-
Nabawi). Kedua: model cerita dari Qur’an dan Hadith. Ketiga: model perumpamaan (Al-
Amthal). Keempat: model memberi contoh (Qudwah). Kelima: model latihan dan
pembiasaan(al-Mumarathah). Keenam: model nasehat. Ketuju: model memotivasi dan
menakuti (Targhib wa Tarhib).
Al-Abrashi menawarkan sepuluh metode pengajaran (Tariqat Al-
Tadris) ialah istiqra’iyah (inductive), qiyasiyah (deductive),
muhadarah(ceramah), hiwariyah (percakapan), tanqibiyah (penugasan), I’jab (appreciation),
ibtikar (creation), tadrib (drill), dirasat al-irshadiyah (supervised study) dan ikhtibar
(testing).

15 Ahmad Fuad Al-Ahwani, Al-Tarbiyah Fi Al-Islam ( tp. Dar Al-Ma’arif: tt), 55-56.
16 Majid ‘Arsan Kailani, Alfikr Al-Tarbawi Ind Ibn Taimiyah (Madinah: Maktabat Dar Al-Turath, 1986), 145-156.
D. Perspektif Aksiologi Pendidikan Islam.
Dalam bidang aksiologi, masalah etika yang mempelajari tentang kebaikan
ditinjau dari kesusilaan, sangat prinsip dalam pendidikan Islam. Hal ini terjadi karena
kebaikan budi pekerti manusia menjadi sasaran utama pendidikan Islam dan karenanya selalu
dipertimbangkan dalam perumusan tujuan pendidikan Islam. Nabi Muhammad sendiri diutus
untuk misi utama memperbaiki dan menyempurnakan kemuliaan dan kebaikan akhlak umat
manusia.
Disamping itu pendidikan sebagai fenomena kehidupan sosial, kultural dan
keagamaan, tidak dapat lepas dari sistem nilai tersebut. Dalam masalah etika yang
mempelajari tentang hakekat keindahan, juga menjadi sasaran pendidikan Islam, karena
keindahan merupakan kebutuhan manusia dan melekat pada setiap ciptaan Allah. Tuhan
sendiri Maha Indah dan menyukai keindahan.17
Disamping itu pendidikan Islam sebagai fenomena kehidupan sosial, kulturan dan
seni tidak dapat lepas dari sistem nilai keindahan tersebut. Dalam mendidik ada unsur seni,
terlihat dalam pengungkapan bahasa, tutur kata dan prilaku yang baik dan indah.
Unsur seni mendidik ini dibangun atas asumsi bahwa dalam diri manusia ada aspek-
aspek lahiriah, psikologis dan rohaniah. Hal ini mengisyaratkan bahwa manusia dalam
fenomena pendidikan adalah paduan antara manusia sebagai fakta dan manusia sebagai nilai.
Tiap manusia memiliki nilai tertentu sehingga situasi pendidikan memiliki bobot nilai
individual, sosial dan bobot moral.
Itu sebabnya pendidikan dalam prakteknya adalah fakta empiris yang syarat nilai dan
interaksi manusia dalam pendidikan tidak hanya timbal balik dalam arti komunikasi dua arah
melainkan harus lebih tinggi mencapai tingkat manusiawi. Untuk mencapai tingkat
manusiawi itulah pada intinya pendidikan bergerak menjadi agen pembebasan dari
kebodohan untuk mewujutkan nilai peradaban manusiawi.

17 Al-Abrash i>, Ruh Al-Tarbiyah wa Al-Ta’lim (Aleppo: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, tt), 271-314.
III. Penutup

Dari uraian di atas kita bisa mengetahui betapa luasnya objek kajian filsafat mulai dari
masalah ontologis, epistemologis hingga aksiologis. Tiga cabang utama filsafat tersebut
merupakan masalah yang paling fundamental dalam kehidupan. Ia memberikan sebuah
kerangkan berpikir yang sangat sistematis. Hal itu dikarenakan ketiganya merupakan proses
berpikir yang diawali dengan pembahasan “Apa itu kebenaran?”, “Bagaimana mendapatkan
kebenaran?”, dan “Untuk apa kebenaran tersebut (aplikasinya) dalam kehidupan sehari-hari?”

Hal tersebut mengindikasikan bahwa filsafat layak dikatakan sebagai induk dari
semua ilmu pengetahuan. Perkembangan ilmu-ilmu lain akan mengalami hambatan tanpa
peranan filsafat. Hal itu dikarenakan semua permasalah mendasar dari seluruh ilmu adalah
problem filosofis. Hal tersebut harus segera dipecahkan sebagai langkah awal untuk
menyelesaikan permasalahan-permasalahan sekunder. Dengan kata lain, pada dasarnya
semua ilmu pengetahun tidak terlepas dari tiga problem filosofis tersebut (ontologis,
epistemologis dan aksiologis). Artinya semua ilmu pengetahuan pasti berbicara tentang apa
yang menjadi objek kajiannya, bagaimana cara mengetahuinya dan apa manfaatnya buat
kehidupan manusia.

Demikianlah makalah singkat, yang mengangkat tema fundamental dalam dunia


filsafat, ini. Kami mengharapkan tulisan ini bisa menjadi bahan pertimbangan demi
perkembangan pemikiran manusia. Sehingga, buah pemikiran tersebut dapat melahirkan
peradaban besar. Perbedaan pendapat berkaitan dengan Ontologi, Epistemologi, dan
Aksiologi di kalangan filosof semata karena berdasaekan pada aliran filsafat yang mereka
anut. Tetapi, semua itu harus kita apresiasi karena merupakan tahapan pencarian “kebenaran
yang hakiki”. Hal itu dikarenakan ilmu pengetahun berbicara tentang peluang dan prediksi.
Walaupun, sesungguhnya terdapat kebenaran absolut, tetapi hanya Realitas Absolut yang
mengetahui hal itu. Kita sebagai manusia yang memiliki akal dan hati nurani hanya berupaya
mencapai kebenaran tersebut sampai akhir hayat dan mengaplikasikannya untuk
kemaslahatan umat manusia.
The Liang Gie, Suatu Konsepsi Kearah Penertiban Bidang Filsafat (Yogyakarta: Karya
Kencana, 1977), 11.
M. Dimyati, Dilema Pendidikan Ilmu Pengetahuan (Malang : IPTI, 2001), 1.
M. Dimyati, Keilmuan Pendidikan Sekolah Dasar: Problem Paradigma Teoritis dan
Orientasi Praktis Dilematis (Malang: IPTPI, 2002), 5.
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam dalam Perspektif Islam (Bandung: Remaja Rosda
Karya, 2000), 14.
Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 18.
‘Umar Muhammad Al-Taumi Al-Shaybani, Falsafah Pendidikan Islam, ter. Hasan
Langgulung (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 30.
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam: di Sekolah, Madarasah dan
Perguruan Tinggi ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), 65.
M. Dimyati, Dilema Pendidikan, 16.
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum, 66.
Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan Islam
dan Dakwah (Yogyakarta: SIPRES, 1993), 213.
Zakiyah Darajat, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), 17
Abd al-Rahman al-Nahlawi, Usul al-Tarbiyah a-Islamiyah wa asalibiha fi-Albait wa al-
Mujtama’ (Mesir:Dar al-Fikr, 1988), 28.
Djumbransyah Indar, Filsafat Pendidikan Islam, (Surabaya: Usaha Nasional, 1992), 40.
Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Al-
Husna, 1980), 189.
Abd al-Ghani ‘Abud, Alfikr al-Tarbawi Ind Al-Ghazali, (Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1982), 35.
Ahmad Fuad Al-Ahwani, Al-Tarbiyah Fi Al-Islam ( tp. Dar Al-Ma’arif: tt), 55-56.
Abud, Alfikr al-Tarbawi, 45..
Majid ‘Arsan Kailani, Alfikr Al-Tarbawi Ind Ibn Taimiyah (Madinah: Maktabat Dar Al-
Turath, 1986), 145-156.
Al-Abrash i, Ruh Al-Tarbiyah wa Al-Ta’lim (Aleppo: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, tt),
271-314.

Anda mungkin juga menyukai