Anda di halaman 1dari 21

LEMBAGA FATWA DI INDONESIA

Oleh Prof. Dr. Rifyal Ka`bah


Pendahuluan
Syariat Islam sebagai hukum mempunyai dua implikasi dalam kehidupan
ummat manusia. Pertama adalah sebagai hukum negara melalui praktek peradilan
atau quasi peradilan. Kedua adalah sebagai ketentuan halal-haram yang tercermin
dalam lima kaedah hukum Islam (wajib, sunnat, haram, makruh dan mubah) yang
berbentuk ifta’ atau fatwa untuk pedoman masyarakat umum. Segi pertama syariat
Islam sudah mendapat tempat secara terbatas dalam kewenangan Peradilan
Agama/Mahkamah Syariyah di Indonesia sampai ke tingkat banding di Pengadilan
Tinggi Agama/Mahkamah Syariyah Propinsi, dan tingkat kasasi di Mahkamah
Agung. Sementara itu segi kedua menyangkut kewenangan fatwa belum mendapat
tempat yang semestinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita.
Tulisan ini berusaha melihat kedudukan fatwa dalam perjalanan syariat Islam
dan pengembangan fatwa di Indonesia dalam rangka pembangunan hukum
nasional. Pertanyaannya adalah: Apakah lembaga seperti Majelis Ulama Indonesia
(MUI) dapat ditingkatkan kedudukannya sebagai lembaga resmi yang menjadi
rujukan akhir bagi semua pihak tentang hukum Islam?
Kedudukan Fatwa
Fatua dan lembaga fatwa merupakan kebutuhan masyarakat muslim.
Masyarakat selalu menanyakan hukum agama kepada para ahli untuk tuntunan
hidup sehari-hari. Keadaan ini ditemukan di semua negara yang berpenduduk
muslim, baik minoritas, apalagi mayoritas. Lembaga fatwa ditemukan di negara-
negara yang berkonstitusi Islam, atau tidak berkonstitusi Islam, dan bahkan di
negara-negara sekular. Lembaga ini tidak hanya dibutuhkan oleh masyarakat,
tetapi juga oleh lembaga eksekutif dalam pembuatan kebijakan, oleh lembaga
legislatif untuk pembentukan undang-undang, dan oleh lembaga yudikatif untuk
memutus perkara, baik perdata maupun pidana.
Lembaga fatwa sering juga diketuai oleh seorang mufti (pemberi fatwa) yang
berkedudukan di tingkat pusat, atau di tingkat daerah, atau bahkan di tingkat
regional. Mufti di beberapa negara merupakan jabatan resmi. Misalnya adalah di
Mesir, Libanon, Suria, Malaysia, Brunei dan lain-lain. Bahkan negara sekular seperti
Rusia, Perancis, Siprus-Turki dan Singapura juga mempunyai jabatan mufti.
Sebagai contoh, di Negara Singapura, Mufti sebagai ex-officio adalah anggota
MUIS (Majlis Ugama Islam Singapura) yang dibentuk berdasarkan undang-undang.
Ia mengetuai Lembaga Fatwa (Legal Committee) yang beranggotakan beberapa
orang. Baik Mufti maupun anggota Dewan Fatwa, begitu juga Ketua MUIS dan
anggotanya, diangkat oleh Presiden. Fatwa diterbitkan berdasarkan mazhab
Syafi’ie, tetapi bila kepentingan umum menghendaki juga dapat menggunakan
mazhab yang lain. Lembaga fatwa juga dapat dimintakan pendapatnya sesuai
mazhab tertentu. Di antara tugas MUIS dan Mufti adalah memberikan nasehat
kepada Presiden Singapura dalam hal yang berhubungan dengan agama Islam di
negara pulau itu.1[1]
Di tingkat regional Eropah dan Amerika Utara juga berdiri lembaga fatwa.
European Council for Fatwas dan Research adalah sebuah lembaga fatwa untuk

1 [1]http://statutes.age.gov.sg/non_version/egi-bin/egi_getdata.pl?actno=1999-REVED-
3&doctile=ADMINISTRATION%200f%20muslim%law20ACT
%A&date&method=part&sl&=1&segid=934446900-000127.
regional Eropah yang berkedudukan di Dublin. Lembaga ini didirikan di London 30
Maret 1997, beranggotakan ulama-ulama terkenal dari negara-negara Eropah dan
dunia Islam. Ketuanya adalah Syaikh Yusuf al-Qaradhawi. 2[2] Sementara itu, the
Fiqh Council of North America adalah sebuah lembaga fatwa yang berdiri pada
tahun 1980. Cikal bakal lembaga ini berasal dari Religious Committee dari The
Muslim Students’ Association of US and Canada pada tahun 1986. Kemudian
setelah berdirinya, ISNA, The Religious Committee menjadi the Fiqh Council of
North Amerika. Lembaga ini beranggotakan ulama-ulama terkenal di Amerika Utara
dan beberapa negara muslim. 3[3] Australia juga mengenal jabatan mufti dan
lembaga fatwa. The Grand Mufti of Australia sekarang dijabat oleh Fahmi Naji al-
Imam. Beliau lahir di Beirut pada tahun 1928 dan pindah ke Australia pada tahun
1951, menggantikan Mufti Taj El-Din El-Hilaly yang mengundurkan diri bulan Juni
2007. Beliau juga menjabat sebagai sekretaris Ketua Imam Masjid Preston di
Melbourne.4[4]
Organisasi Konperensi Islam (Organization of Islamic Conference) sebagai
organisasi negara-negara muslim yang berkedudukan di Jeddah juga mempunyai
lembaga fatwa. Liga Dunia Islam (Rabithah al-‘Alam al-Islami), sebuah organisasi
internasional atas prakarsa Saudi Arabia, juga mempunyai lembaga fatwa. Pernah
ada upaya dari Mesir untuk mempersatukan lembaga fatwa dan jabatan mufti dari
seluruh dunia dalam sebuah organisasi dunia, tetapi belum membuahkan hasil
sampai sekarang.5[5]
Di beberapa negara muslim, seperti di Mesir dan beberapa negara Arab,
mufti dan kantor mufti diminta pendapatnya untuk kasus-kasus besar, misalnya
dalam pengesahan sebuah undang-undang, ratifikasi sebuah perjanjian, atau
keputusan presiden menolak grasi seorang terpidana berat, dan lain-lain. Hal itu
antara lain untuk memberikan legitimasi kepada kebijakan negara agar tidak
bertentangan dengan hukum Islam yang dihormati oleh masyarakat.

Fatwâ
Fatwa adalah “pendapat dalam bidang hukum” atau “official legal opinion”. 6
[6] Hukum di sini tidak hanya berarti sebagai hukum negara, tetapi juga hukum
dengan kata jamak ahkam menyangkut hukum taklifi tentang wajib, sunnat,
haram, makruh dan mubah. Di zaman Nabi Muhammad, pendapat dalam bidang
hukum selalu ditanyakan kepada beliau. Dalam Qur’an banyak ungkapan: “Mereka
bertanya kepadamu tentang. . .” dan untuk menjawabnya digunakan ungkapan
“Katakanlah (wahai Muhammad) bahwa . . .” atau “Ketahuilah bahwa . . .” Beliau
sendiri juga sering memulai pembicaraan dengan ungkapan “Tahukah kalian
tentang . . .” Pertanyaan ini biasanya dijawab oleh pendengar beliau dengan
ungkapan “Allah dan Rasul-Nyalah yang lebih tahu tentang hal itu!” Setelah itu Nabi
baru menyebutkan masalah yang hendak beliau terangkan.

2[2] http://en.wikipedia.org/wiki/European_Council_for_Fatwa_and_Research
3[3] http://www.fiqhcouncil.org/AboutUs/tabid/72/Default.aspx
4[4] http://en.wikipedia.org/wiki/Taj_El-Din_Hilaly..
5[5] Wawancara Mohammad Khalid dari surat kabar asy-Syarq al-Awasth dengan Mufti Mesir ‘Ali
Jum’ah tanggal 14 Juli 2007. http://www.nationmaster.com/encyclopedia/Grand Mufti.
6[6] Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic (London: MacDonald & Evans Ltd., 1980),
hal. 696.
Setelah Nabi wafat, pertanyaan tentang hukum dan agama secara umum
ditanyakan kepada para khalifah dan sahabat Nabi.7[7] Persoalan hukum
masyarakat kemudian ditanyakan kepada hakim pengadilan dan di daerah-daerah
yang jauh dari pengadilan, maka pertanyaan hukum dijawab oleh orang alim yang
berfungsi sebagai mufti.
Mufti terkenal dari kalangan tâbiîn adalah Ibrahim an-Nakh’î (wafat 96 H),
Atha’ bin Abi Rabah (w. 115 H) dan Abdullah bin Abi Nujaih. Kemudian jabatan
mufti menjadi jabatan resmi. Misalnya, Mufti `Utsmani, Mufti Mesir, Mufti Suria,
Mufti Palestina, Mufti Malaysia, Mufti Brunei, Mufti Singapura dan lain-lain.
Menurut asy-Syathibi, mufti di tengah-tengah ummat berperan seperti Nabi
Muhammad s.a.w. Pertama, mufti adalah penerus Nabi sesuai sabda beliau bahwa
ulama adalah pewaris para nabi. Kedua, mufti adalah wakil Nabi dalam
menyampaikan ketentuan hukum agama. Mufti dari satu sisi sebenarnya pembuat
hukum (syari’) yang mengutip langsung hukum dari syariah dan di sisi lain
pembuat hukum dari hasil ijtihadnya sendiri yang berlandaskan kepada prinsip-
prinsip syariah.8[8]
Al-Qirafi melihat mufti sebagai penerjemah Allah Ta`ala dan Ibnu al-Qayyim
mengumpamakan mufti sebagai penandatangan (muwaqqi’) mewakili Allah
terhadap apa yang ia farwakan. Karena itu, Ibnu al-Qayyim menamakan kitabnya
sebagai A’lam al-Muwaqqi’in ‘An Rabbi al-‘Alamin (Notifikasi atau Nasehat Mewakili
Tuhan Seluruh Alam).9[9]
Karena itu, fatwa adalah “pemberitaan tentang hukum syar’i (sah secara
syariah) tanpa mengikat” (al-ikhbar ‘an al-hukm asy-syar’i min ghair al-ilzam).10
[10] Hukum Islam dalam hal ini berciri qadha’i dan diyani.
Disebut qadha’i, yudisial, karena ia bersifat duniawi, bagaimana tampaknya
di dunia (di depan pengadilan) berdasarkan perbuatan atau tindakan lahir, yang
tidak ada hubungannya dengan hal-hal tidak tampak yang bersifat batin. Seorang
hakim memutus berdasarkan fakta yang ia lihat, dan ia tidak tahu secara batin
apakah peristiwa itu sebenarnya seperti yang ia lihat. Karena itu, ada ungkapan di
kalangan hakim muslim: Nahnu nahkum bidz-zdawahir wallahu yatawalla bis-sara’ir
(Kami memutus dengan apa yang tampak, sedangkan Allah mengendalikan yang
tidak tampak). Hakim memutus sebatas kemampuannya dan putusannya tidak
menjadikan yang batil menjadi hak atau hak menjadi batil. Ia tidak menghalalkan
yang haram dan tidak pula mengharamkan yang halal dalam kenyataan yang ia
lihat, tetapi bila hakikatnya tidak seperti yang ia putuskan, maka itu termasuk ilmu
Allah. Karena itu, seperti disabdakan dalam sebuah Hadits riwayat Muslim, bila
hakim telah berusaha dengan sungguh-sungguh (berijtihad), tetapi ternyata salah
di sisi Allah, maka ia masih mendapatkan sebuah pahala sebagai balasan atas
kesungguhannya. Bila putusannya benar di sisi Allah, maka ia mendapat pahala dua
kali, yaitu balasan atas kesungguhannya dan balasan atas kebenarannya. Berbeda
dengan fatwa mufti, maka putusan peradilan bersifat mengikat.

7[7] Muhammad al-Khudhari Bek, Tarikh at-Tasyri’ al-Islami (Bairut: Dar al-Fikr, 1080), hal. 69.
8[8] Muhammad Ahmad Makki, Fatawa Musthafa az-Zarqa’ (Damaskus: Dar al-Qalam,
1435/2994), hal. 37.
9[9] Ibid., hal. 38.
10[10] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Jilid I (Damaskud: Dar al-Fikr al-
Mu’ashir, 1984), hal. 35.
Disebut diyani, keagamaan, karena ia bersifat ukhrawi, bagaimana nantinya
di akhirat, berdasarkan hakikat sesuatu dan kenyataan yang sebenarnya, sekalipun
orang tidak melihatnya. Segi ini menyangkut hubungan seseorang dengan
Tuhannya. Hukum jenis kedua inilah yang menjadi dasar fatwa mufti.
Dengan demikian, putusan pengadilan dan fatwa mufti sebenarnya
mempunyai kesimpulan yang sama, sebagai produk hukum Islam, tetapi berbeda
dalam pelaksanaannya. Putusan pengadilan dijalankan sesuai dengan amar
putusan, sedangkan fatwa mufti terserah kepada penerima fatwa (mustafta) sesuai
dengan hati nuraninya apakah ia akan menjalankannya atau tidak. Dahulu, di
Peradilan Agama, ada yang disebut fatwa waris (sekarang disebut penetapan ahli
waris) dan putusan tentang masalah waris. Fatwa atau penetapan waris diputuskan
berdasarkan data yang diberikan oleh pemohon dan pengadilan tidak memeriksa
apakah data tersebut akurat atau tidak, tetapi hanya berdasarkan taking for
granted bahwa seandainya data itu benar, maka fatwa atau penetapannya adalah
seperti yang difatwakan. Ini berbeda dengan putusan peradilan tentang masalah
waris di mana datanya diperiksa oleh hakim pengadilan apakah sesuai dengan fakta
sebenarnya atau tidak. Bila sesuai dengan bukti-bukti, maka diputuskanlah berapa
jumlah harta warisan dan siapa-siapa saja yang berhak menerimanya sesuai
dengan posita penggugat. Secara hukum, putusan tersebut harus dilaksanakan,
apakah para pihak setuju atau tidak.
Indonesia juga mengenal fatwa Mahkamah Agung, yang berbeda dengan
putusan Mahkamah Agung, baik kasasi ataupun peninjauan kembali. Misalnya
adalah fatwa yang pernah dimintakan oleh Abdurrahman Wahid sewaktu beliau
menjadi Presiden kepada Mahkamah Agung tentang dekrit pembubaran DPR karena
keadaan darurat. Dalam hal ini, Mahkamah Agung tidak memeriksa tentang data
keadaan darurat negara sesuai posita, tetapi hanya menjawab pertanyaan Presiden
apakah pembubaran tersebut dapat dilakukan. Lalu Mahkamah Agung menerbitkan
fatwa, tetapi karena isi fatwa tidak sesuai keinginan Presiden, maka beliau tidak
menerima fatwa tersebut. Beliau sebenarnya bebas untuk melaksanakannya atau
tidak melaksanakannya sesuai dengan hati nurani beliau. Sepatutnya beliau
menghormati fatwa tersebut. Keadaannya akan berbeda, bila misalnya Presiden
menjadi pihak dalam sebuah perkara yang diperiksa oleh Mahkamah Agung, maka
putusan Mahkamah Agung yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap menjadi
binding (mengikat). Suka atau tidak suka, Presiden harus menaatinya.
Pada dasarnya putusan peradilan mengikat, fatwa tidak mengikat, kecuali di
beberapa negara, misalnya di Negara Bagian Sabah Malaysia di mana fatwa yang
sudah diumumkan di lembaran negara bersifat mengikat. Fatwa juga mengikat
kepada seluruh warga muslim di Negara Bagian Selangor Malaysia, bila telah
diumumkan di lembaran negara. Sesuai UU Pelanggaran Pidana Syariah Tahun
1995 (Syariah Criminal Offeces) di negara bagian ini, barangsiapa yang
menantang, tidak mematuhi, atau mempersoalkan fatwa dapat dihukum denda
sampai 3000 ringgit Malaysia atau dipenjarakan maksimal sampai dua tahun.
Berdasarkan undang-undang ini, tiga orang wanita muslim pernah ditangkap oleh
Jabatan Agama Islam Selangor pada tahun 1997 dan diadili karena melanggar
fatwa yang melarang wanita muslim mengikuti kontes kecantikan.11[11]

11[11] Rajen Devaraj, “The Purpose fo a fatwa should be to offer an opinion—not to silence
alternative views”, ttp://www.aliran.com/oldsite/monthly/2005a/2h.html.
Perbedaan antara mufti dan mujtahid bahwa mufti menjawab masalah
hukum berdasarkan ketentuan-ketentuan yang sudah ada dalam hukum Islam.
Sedangkan mujtahid menjawab berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum baru
yang dirumuskan dari sumber-sumber hukum primer dan sekunder Islam.
Mohammad Hashim Kamali menyimpulkan:
“Ijtihad dan fatwa sering digunakan silih berganti. Perbedaan utama antara
keduanya adalah bahwa ijtihad mempunyai substansi yuridis yang lebih besar yang
menjelaskan dasar pembuktiannya sendiri, sementara itu fatwa sering berisikan
putusan atau opini yang diberikan dalam bentuk sebuah jawaban terhadap
pertanyaan tertentu. Tidak menjadi syarat bahwa fatwa menjelaskan dasar
pembuktiannya, bisa dalam bentuk pendek atau lebih mendalam dan rinci.” 12[12]
Di negaranegara Timur Tengah seperti Mesir, Libanon, Irak dan Saudi Arabia,
begitu di negara-negara ASEAN seperti Malaysia, Brunei dan Singapura, fatwa
selalu diberikan oleh lembaga-lembaga yang berwenang.
Dalam sistem hukum Islam, pemberi fatwa adalah mufti yang sah atau para
imam yang terkenal kedalaman pemahaman dan ilmu mereka. Orang awam tidak
dibenarkan memberikan fatwa, karena ini akan menjurus kepada kekacauan dan
memberikan fatwa tanpa ilmu. Karena itu, sebenarnya terdapat kualifikasi untuk
jabatan yang penting ini.
Di negara tetangga Malaysia, negara bagian Sabah, sesuai UU Fatwa (Fatwa
Enactmen) No. 7 Tahun 2004, seorang mufti harus seorang warga negara,
mempunyai pengetahuan yang luas tentang hukum Islam, dan mempunyai
pengetahuan tentang berbagai hukum Islam yang berlaku di negara. 13[13]
Negara-negara Arab seperti Mesir dan Saudi Arabia menetapkan kualifikasi
yang jelas untuk jabatan mufti atau lembaga ifta’. Selain kualifikasi keilmuan
hukum Islam, mereka biasanya termasuk orang yang terkenal kepribadian dan
keislaman mereka. Di beberapa negara seperti di Sudan, sebuah lembaga fatwa
tidak hanya terdiri dari anggota-anggota yang ahli dalam ilmu agama, tetapi juga
ahi dalam disiplin ilmu-ilmu yang lain sesuai kebutuhan, dan bahkan juga beberapa
orang hakim agung.
Lembaga Fatwa di Indonesia
Indonesia tidak mengenal jabatan mufti dan lembaga fatwa negara.
Ketiadaan lembaga fatwa resmi memberikan berbagai implikasi, antara lain
ketidakpastian suatu masalah dilihat dari sudut hukum Islam sehingga sering
membuat bingung masyarakat dan negara.
Tahun-tahun terakhir ini, pertanyaan tentang hukum Islam semakin ramai
ditanyakan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut sekarang telah melebar dan berskop
nasional. Penyebarannya terutama dibantu oleh berbagai media masa elektronik
dan tulis melalui acara atau rubrik tanya-jawab agama untuk umum. Variasi
pertanyaan ini menunjukkan minat masyarakat yang semakin besar terhadap

12[12]Ijtihad and fatwa are used interchangeably, the main difference between them being that
ijtihad has a greater juridical substance which explains its own evidential basis, where fatwa often
consists of a verdicts or opinion that is given in response to a particular question. It is not a requirement
of fatwa to explain its evidential basis and it may be either very brief or in greater depth and detail.
Mohammad Hashim Kamali, Shariah Law: An Introduction (Oxford: Oneworld, 2008), hal. 152.
13[13]
hukum Islam dan kesadaran masyarakat untuk menjadikan hukum Islam sebagai
norma pengatur kehidupan.
Kesan umum yang tampak dari acara tanya-jawab ini, setiap orang dapat
memberikan fatwa, padahal fatwa seharusnya hanya diberikan oleh orang yang ahli
dalam bidang hukum Islam. Mufti sebenarnya adalah kata lain dari mujtahid atau
pengungkap dan perumus hukum Islam. Mufti dan mujtahid terkenal adalah empat
atau lima imam mazhab yang berkembang di dunia Islam sampai saat ini: Imam
Maliki, Imam Syafii, Imam Hanafi, Imam Hanbali dan Imam Jafari (Syiah).
Indonesia tidak mengenal jabatan dan lembaga fatwa resmi. Pada tingkat
nasional, di negeri ini terdapat Komisi Fatwa MUI, dan pada tingkat keormasan
Islam terdapat lembaga fatwa seperti Lajnah Tarjîh Muhammadiyah, Lajnah Bahsul
Masa’il NU, Dewan Hisbah Persis, dan lain-lain. Karena tidak adanya lembaga fatwa
resmi, maka sering terjadi perbedaan pendapat dalam memutus hal-hal yang
berhubungan dengan hukum Islam. Misalnya tentang penentuan awal dan akhir
Ramadhan, tentang awal Zulhijjah, makanan halal, tentang aliran-aliran Islam
sesat dan lain-lain. Biasanya kasus-kasus seperti ini diputuskan sendiri oleh
masing-masing organisasi Islam dan tidak ada koordinasi oleh negara kecuali
dalam penentuan awal dan akhir Ramadhan. Dalam hal ini, fatwa MUI kadang-
kadang mendapat perhatian, tetapi karena lembaga ini bukan lembaga negara yang
dibentuk berdasarkan undang-undang, maka pendapatnya tidak dapat memberikan
kata putus tentang sesuatu menyangkut hukum Islam.
Salah satu yang menggelisahkan masyarakat akhir-akhir adalah tentang
kemunculan berbagai aliran sesat. Dari waktu ke waktu, media massa selalu
melaporkan kepada kita kelompok-kelompok yang menyebut diri dengan nama
tertentu atas nama Islam, tetapi mempunyai ajaran yang menyimpang dari ajaran
Islam yang benar. MUI menyatakan telah mengeluarkan daftar sembilan aliran
kepercayaan yang dianggap menyesatkan. Sembilan aliran sesat tersebut antara
lain adalah Islam Jamaah, Ahmadiyah, Inkar Sunah, Qur'an Suci, Sholat Dua
Bahasa, dan Lia Eden. Di antara aliran ini ada yang bergerak di tingkat nasional dan
ada juga yang bergerak di tingkat lokal. 14[14] Klaim sebagai nabi atau pembaharu
agama dapat kita lihat pada kasus Jamaah Ahmadiyah, Jemaah Eden Lia Alimudin,
kelompok al-Mushaddiq dan lain-lain. Mereka mengklaim sebagai nabi atau
penerima wahyu, padahal dalam Islam tidak ada lagi nabi setelah Nabi Terakhir
Muhammad s.a.w.
Fatwa MUI tidak diakui oleh sebagian kalangan antara lain karena statusnya
yang tidak jelas dari sudut kelembagaan negara. Seorang mantan Presiden bahkan
meminta supaya MUI dibubarkan karena ia bukanlah sebuah lembaga resmi negara
dan dengan demikian Presiden dan para Menteri tidak harus mendengarkan
fatwanya.15[15]
Di masa depan, lembaga fatwa MUI dapat dikembangkan menjadi lembaga
negara sehingga dapat menjadi andalan bagi eksekutif dalam menentukan
kebijkan, oleh DPR dalam membuat peraturan perundang-undangan, dan oleh
peradilan dalam memutus perkara menyangkut hukum Islam.

14http://lawnet.sabah.gov.my/viewdoc.asp?
id=sabahlaws=sabah_laws&document=statelaws/lawtaenactment.htm.
[14]http://groups.google.com/group/milis-mediacare/browse thread/thread/ 2cf38fbb0
60065a2/ b0a291d10b752ce?lnk=st&q=aliran+kepercayaan+ kejaksaan# 9b0a291d1 0b752ce.
15 [15] http://www.antara.co.id/arc/2007/12/30/gus-dur-usulkan-pembubaran-mui/.
Peran MUI semakin dibutuhkan dalam pembangunan hukum nasional.
Sampai saat ini, fatwa Dewan Syariah Nasional MUI merupakan sumber hukum
satu-satu untuk masalah ekonomi syariah di Indonesia. Memang dari DPR dan
Pemerintah telah lahir Undang-Undang Surat Berharga Syariah Indonesia dan
Undang-Undang Perbankan Syariah, tetapi substansi hukum ekonomi Syariah
masih belum tersedia dalam bentuk undang-undang. Sebagian dari fatwa ini telah
dipositifkan melalui Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia.
Dilihat dari luasnya bidang ekonomi Syariah, menurut Penjelasan UU No. 3/2006
terdiri dari dari 11 jenis, maka Fatwa DSN masih akan diandalkan untuk masa yang
cukup lama. Seharusnya MUI, terutama yang berhubungan dengan fatwa, bekerja
sepenuh waktu sebagai lembaga negara, yang diisi oleh tenaga-tenaga professional
dalam bidangnya.
Penutup
Sebuah lembaga fatwa, apa pun namanya, adalah sebuah lembaga ilmiah
yang melakukan penelitian dan membuat kesimpulan berdasarkan metodologi
ilmiah khusus yang selalu dikembangkan dari waktu ke waktu. Karena itu, sebuah
lembaga fatwa resmi tidak perlu dikhatirkan akan selalu menjadi corong
pemerintah dalam semua kebijakannya, salah atau benar. Lembaga resmi fatwa tak
berbeda dengan lembaga penelitian resmi lainnya seperti Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) atau lembaga litbang di departemen negara tertentu
yang bekerja sesuai metodologi dan disiplin ilmiah tertentu.
Lembaga fatwa resmi negara yang diusulkan akan tetapi menjadi lembaga
yang independent dari sudut politik dan ilmiah, bila diisi oleh para ilmuwan yang
berkualifikasi ilmiah tinggi dan berintegritas kepribadian yang kuat. Bila kualifikasi
tinggi dan integritas kuat ini selalu dijaga, insya Allah lembaga fatwa resmi negara
tidak akan melahirkan fatwa ulama’ as-su’ (ulama jahat) atau ulama’ al-qashr
(ulama istana) seperti disebut secara sinis di masa lalu. Insya Allah juga, susana
keterbukaan, reformasi, kebebasan ilmiah, dan demokrasi akan terus bertahan di
tanah air tercinta Indonesia.
&
Jakarta, 12 Sebtember 2008
Sejarah Kemunculan Fatwa dalam Peradilan Islam

          A. Latar Belakang Kemunculan Fatwa dalam Peradilan Islam


Jika dilihat dari sejarahnya, fatwa adalah salah satu pranata dalam
pengambilan keputusan hukum Islam memiliki kekuatan yang cukup dinamis dan
kreatif. Hal ini dapat dilihat dari eksisnya sejumlah mazhab hukum yang memiliki
corak pemikiran masing-masing sesuai dengan kondisi sosio kulturnya.
Terfragmentasinya kesimpulan hukum Islam yang tergambar dari beberapa mazhab
yang ada dapat dirunut jauh ketika pada masa sahabat nabi. Pada masa itu, terjadi
keberagaman fatwa dalam mengahadapi suatu peristiwa.
Keberagaman fatwa ini diwarisi oleh generasi berikutnya yakni para Tabi’in,
dimana pada masa ini, lahir dua aliran besar dalam sistem pengambilan sistem
hukum Islam, yaitu fiqih hijaz yang terkenal dengan aliran Ahlu Al- Hadist. Adapun
fiqih Irak dikenal dengan Ahlu Al-Ra’yu. Setelah itu berkembang lagi dan tambah
mengkristal dalam mazhab-mazhab yang lahir sesuai dengan konteks waktu,
tempat dan kondisi sosial kulturnya. Apa yang dikemukakan oleh Ibnu Al-Qayyim
yang menyatakan bahwa “kesimpulan fatwa bisa berbeda disebabkan oleh
perubahan zaman, tempat, keadaan dan konteksnya”.
Fatwa adalah “pendapat dalam bidang hukum” atau “official legal opinion”. [1]
Hukum di sini tidak hanya berarti sebagai hukum negara, tetapi juga hukum
dengan kata jamak ahkam menyangkut hukum taklifi tentang wajib, sunnat,
haram, makruh dan mubah. Di zaman Nabi Muhammad, pendapat dalam bidang
hukum selalu ditanyakan kepada beliau.

Dalam Qur’an banyak ungkapan: “Mereka bertanya kepadamu tentang. . .”


dan untuk menjawabnya digunakan ungkapan “Katakanlah (wahai Muhammad)
bahwa . . .” atau “Ketahuilah bahwa . . .” Beliau sendiri juga sering memulai
pembicaraan dengan ungkapan “Tahukah kalian tentang . . .” Pertanyaan ini
biasanya dijawab oleh pendengar beliau dengan ungkapan “Allah dan Rasul-Nyalah
yang lebih tahu tentang hal itu!” Setelah itu Nabi baru menyebutkan masalah yang
hendak beliau terangkan.
Setelah Nabi wafat, pertanyaan tentang hukum dan agama secara umum
ditanyakan kepada para khalifah dan sahabat Nabi.[2] Kemudian, persoalan hukum
masyarakat setelah masa tersebut ditanyakan kepada hakim pengadilan dan
adapun di daerah-daerah yang jauh dari pengadilan, pertanyaan hukum dijawab
oleh orang alim yang berfungsi sebagai mufti.
Mufti terkenal dari kalangan tâbiîn adalah Ibrahim an-Nakh’î (wafat 96 H),
Atha’ bin Abi Rabah (w. 115 H) dan Abdullah bin Abi Nujaih. Di berbagai negara,
jabatan mufti menjadi jabatan resmi. Misalnya, Mufti `Utsmani, Mufti Mesir, Mufti
Suria, Mufti Palestina, Mufti Malaysia, Mufti Brunei, Mufti Singapura dan lain-lain.
Menurut asy-Syathibi, mufti di tengah-tengah ummat berperan seperti Nabi
Muhammad s.a.w. Pertama, mufti adalah penerus Nabi sesuai sabda beliau bahwa
ulama adalah pewaris para nabi. Kedua, mufti adalah wakil Nabi dalam
menyampaikan ketentuan hukum agama. Mufti dari satu sisi sebenarnya pembuat
hukum (syari’) yang mengutip langsung hukum dari syariah dan di sisi lain
pembuat hukum dari hasil ijtihadnya sendiri yang berlandaskan kepada prinsip-
prinsip syariah.[3]
Al-Qirafi melihat mufti sebagai penerjemah Allah Ta`ala dan Ibnu al-Qayyim
mengumpamakan mufti sebagai penandatangan (muwaqqi’) mewakili Allah
terhadap apa yang ia fatwakan. Karena itu, Ibnu al-Qayyim menamakan kitabnya
sebagai A’lam al-Muwaqqi’in ‘An Rabbi al-‘Alamin (Notifikasi atau Nasehat Mewakili
Tuhan Seluruh Alam).[4]
Karena itu, fatwa adalah “pemberitaan tentang hukum syar’i (sah secara
syariah) tanpa mengikat” (al-ikhbar ‘an al-hukm asy-syar’i min ghair al-ilzam).[5]
Hukum Islam dalam hal ini berciri qadha’i dan diyani.
Disebut qadha’i, yudisial, karena ia bersifat duniawi, bagaimana tampaknya
di dunia (di depan pengadilan) berdasarkan perbuatan atau tindakan lahir, yang
tidak ada hubungannya dengan hal-hal tidak tampak yang bersifat batin. Seorang
hakim memutus berdasarkan fakta yang ia lihat, dan ia tidak tahu secara batin
apakah peristiwa itu sebenarnya seperti yang ia lihat. Karena itu, ada ungkapan di
kalangan hakim muslim: Nahnu nahkum bidz-zdawahir wallahu yatawalla bis-sara’ir
(Kami memutus dengan apa yang tampak, sedangkan Allah mengendalikan yang
tidak tampak). Hakim memutus sebatas kemampuannya dan putusannya tidak
menjadikan yang batil menjadi hak atau hak menjadi batil. Ia tidak menghalalkan
yang haram dan tidak pula mengharamkan yang halal dalam kenyataan yang ia
lihat, tetapi bila hakikatnya tidak seperti yang ia putuskan, maka itu termasuk ilmu
Allah. Karena itu, seperti disabdakan dalam sebuah Hadits riwayat Muslim, bila
hakim telah berusaha dengan sungguh-sungguh (berijtihad), tetapi ternyata salah
di sisi Allah, maka ia masih mendapatkan sebuah pahala sebagai balasan atas
kesungguhannya. Bila putusannya benar di sisi Allah, maka ia mendapat pahala dua
kali, yaitu balasan atas kesungguhannya dan balasan atas kebenarannya. Berbeda
dengan fatwa mufti, maka putusan peradilan bersifat mengikat.
Disebut diyani, keagamaan, karena ia bersifat ukhrawi, bagaimana nantinya
di akhirat, berdasarkan hakikat sesuatu dan kenyataan yang sebenarnya, sekalipun
orang tidak melihatnya. Segi ini menyangkut hubungan seseorang dengan
Tuhannya. Hukum jenis kedua inilah yang menjadi dasar fatwa mufti.
Dengan demikian, putusan pengadilan dan fatwa mufti sebenarnya
mempunyai kesimpulan yang sama, sebagai produk hukum Islam, tetapi berbeda
dalam pelaksanaannya. Putusan pengadilan dijalankan sesuai dengan amar
putusan, sedangkan fatwa mufti terserah kepada penerima fatwa (mustafta) sesuai
dengan hati nuraninya apakah ia akan menjalankannya atau tidak. Dahulu, di
Peradilan Agama, ada yang disebut fatwa waris (sekarang disebut penetapan ahli
waris) dan putusan tentang masalah waris. Fatwa atau penetapan waris diputuskan
berdasarkan data yang diberikan oleh pemohon dan pengadilan tidak memeriksa
apakah data tersebut akurat atau tidak, tetapi hanya berdasarkan taking for
granted bahwa seandainya data itu benar, maka fatwa atau penetapannya adalah
seperti yang difatwakan. Ini berbeda dengan putusan peradilan tentang masalah
waris di mana datanya diperiksa oleh hakim pengadilan apakah sesuai dengan fakta
sebenarnya atau tidak. Bila sesuai dengan bukti-bukti, maka diputuskanlah berapa
jumlah harta warisan dan siapa-siapa saja yang berhak menerimanya sesuai
dengan posita penggugat. Secara hukum, putusan tersebut harus dilaksanakan,
apakah para pihak setuju atau tidak.
Perbedaan antara mufti dan mujtahid bahwa mufti menjawab masalah
hukum berdasarkan ketentuan-ketentuan yang sudah ada dalam hukum Islam.
Sedangkan mujtahid menjawab berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum baru
yang dirumuskan dari sumber-sumber hukum primer dan sekunder Islam.
Mohammad Hashim Kamali menyimpulkan:
“Ijtihad dan fatwa sering digunakan silih berganti. Perbedaan utama antara
keduanya adalah bahwa ijtihad mempunyai substansi yuridis yang lebih besar yang
menjelaskan dasar pembuktiannya sendiri, sementara itu fatwa sering berisikan
putusan atau opini yang diberikan dalam bentuk sebuah jawaban terhadap
pertanyaan tertentu. Tidak menjadi syarat bahwa fatwa menjelaskan dasar
pembuktiannya, bisa dalam bentuk pendek atau lebih mendalam dan rinci.” [6]

     B. Definisi dan Syarat-syarat Mufti


Secara sederhana ifta’ (memberikan fatwa) dapat diartikan sebagai “usaha
memberikan pernjelasan tentang hukum syara’ oleh ahlinya kepada orang yang
belum mengetahuinya”. Sedangkan mufti sendiri adalah orang yang berkedudukan
sebagai pemberi penjelasan tentang hukum syara’ yang harus diketahui dan
diamalkan oleh umat.
Umat akan selamat bila ia memberikan fatwa yang benar dan akan tersesat
bila ia salah dalam memebrikan fatwa. Oleh dengan demikian ia harus memiliki
syarat-syarat tertentu. Syarat seorang mufti dapat dikelompokkan menjadi empat,
yaitu:
       1.      Syarat umum. Karena ia akan menyampaikan hal-hal yang berkenaan
dengan hukum syara’dan pelaksanaannya maka ia haruslaah seorang mukalaf yaitu
muslim, dewasa dan sempurna akalnya.
      2.      Syarat keilmuan, yaitu bahwa ia ahli dan memiliki kemampuan untuk
berijtihad. Untuk itu ia harus memiliki syarat-syarat sebagaimana syarat yang
berlaku bagi seorang mujtahid antara lain  mengetahui dalil-dalil sam’i dan dalil-
dalil aqli.
      3.      Syarat kepribadian, yaitu adil dan dipercaya. Dua persyaratan ini dituntut
dari seorang mufti karena secara langsung ia akan menjadi panutan umat dalam
beragama.
      4.      Syarat pelengkap dalam kedudukannya sebagai sebagai ulama’ panutan
yang oleh al-hamidi diuaraikan antara lain: dengan berfatwa ia bermaksud untuk
mendidik untuk mengetahui hukum syara’, bersifat tenang dan berkecukupan.
Ditambahkan sifat lain oleh imam ahmad sebagaimana dinukil oleh Al-Qoyyim
yaitu: mempunyai niat dan i’tikad yang baik, kuat pendirian dan dikenal ditengah
umat.
Selanjutnya muncul permasalahan, bolehkan seorang seseorang yang belum
mencapai tingakat mujtahid memberikan fatwa?. Dalam hal ini meringkas beberapa
pendapat, yaitu:
      1.      Orang yang memiliki kemampuan untuk tafri’ dan tarjih meskipun belum
mencapai derajat  mujtahid (maksudnya adalah mujtahid mutlak) boleh berfatwa
dengan berpedoman kepada madzhab imam mujtahid yang diikutinya dengan
ketentuan ia memahami secara baik madzhab imam yang dijadikan sebagai 
rujukan dan meyakini pendapat imamnya tersebut lebih kuat.
       2.      Tidak boleh orang dalam tingakatan seperti ini memberikan fatwa karena ia
belum memenuhi kemampuan berijtihad. Memberikan fatwa itu hanya boleh
dilakukan oleh orang-orang yang mencapai derajat mujtahid.
       3.      Orang yang belum mencapai derajat mujtahid boleh memberikan fatwa bila
di wilayah itu tidak ada orang yang mencapai derajat mujtahid yang memberikan
fatwa. Karena dalam keadaan seperti ini sudah terdesak dan jika tidak
diperbolehkan maka urusan hukum akan terlantar.           
      4.      Seorang muqallid boleh membrikan fatwa meski belum mempunyai
kemampuan untuk tafri’ dan tarjih. Karena tugasnya hanya menukilkan pendapat
imamnya waktu memberi fatwa, meski ia tidak menjelaskan sumber rujukannya.
Inilah yang sering berlaku waktu ini.[7]

[1]
Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic (London: MacDonald & Evans
Ltd., 1980), hal. 696.
[2]
Muhammad al-Khudhari Bek, Tarikh at-Tasyri’ al-Islami (Bairut: Dar al-Fikr, 1080),
hal. 69.
[3]
Muhammad Ahmad Makki, Fatawa Musthafa az-Zarqa’ (Damaskus: Dar al-Qalam,
1435/2994), hal. 37.
[4]
Ibid., hal. 38.
[5]
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Jilid I (Damaskud: Dar al-Fikr al-
Mu’ashir, 1984), hal. 35.
[6]
Ijtihad and fatwa are used interchangeably, the main difference between them
being that ijtihad has a greater juridical substance which explains its own evidential
basis, where fatwa often consists of a verdicts or opinion that is given in response
to a particular question. It is not a requirement of fatwa to explain its evidential
basis and it may be either very brief or in greater depth and detail. Mohammad
Hashim Kamali, Shariah Law: An Introduction (Oxford: Oneworld, 2008), hal. 152.
[7]
Prof. Dr. H. Amir Syarifudin. Ushul Fiqh. (Jakarta: Kencana, 2008). Hal. 457-458
Makalah Fatwa pengertian, kedudukan dan lembaga fatwa di indonesia

nana rudiana
Add Comment
makalah, makalah agama
Friday, 29 August 2014

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang


Syariat Islam sebagai hukum mempunyai dua implikasi dalam kehidupan
ummat manusia. Pertama adalah sebagai hukum negara melalui praktek peradilan
atau quasi peradilan. Kedua adalah sebagai ketentuan halal-haram yang tercermin
dalam lima kaedah hukum Islam (wajib, sunnat, haram, makruh dan mubah) yang
berbentuk ifta’ atau fatwa untuk pedoman masyarakat umum. Segi pertama syariat
Islam sudah mendapat tempat secara terbatas dalam kewenangan Peradilan
Agama/Mahkamah Syariyah di Indonesia sampai ke tingkat banding di Pengadilan
Tinggi Agama/Mahkamah Syariyah Propinsi, dan tingkat kasasi di Mahkamah
Agung. Sementara itu segi kedua menyangkut kewenangan fatwa belum mendapat
tempat yang semestinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita.

B.  Rumusan Masalah


      Apa yang dimaksud dengan Fatwa?
      Bagaimana kedudukan Fatwa dalam hukum Islam di Indonesia?
      Lembaga Fatwa apa saja yang ada di Indonesia?

C.  Tujuan Pembahasan


      Mengetahui dan memahami pengertian Fatwa.
      Mengetahui dan memahami kedudukan Fatwa dalam hukum islam di Indonesia.
      Mengetahui Lembaga-lembaga Fatwa yang ada di Indonesia.

BAB II
INSTITUSI FATWA DI INDONESIA

A.  Pengertian Fatwa


Fatwa berasal dari bahasa Arab‫فتوى‬,yang artinya nasihat, petuah, jawaban
atau pendapat. Adapun yang dimaksud adalah sebuah keputusan atau nasihat
resmi yang diambil oleh sebuah lembaga atau perorangan yang diakui otoritasnya,
disampaikan oleh seorang mufti atau ulama, sebagai tanggapan atau jawaban
terhadap pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa (mustafti) yang tidak
mempunyai keterikatan. Dengan demikian peminta fatwa tidak harus mengikuti isi
atau hukum fatwa yang diberikan kepadanya.i[1]
Tindakan memberi fatwa disebut futya atau ifta, suatu istilah yang merujuk
pada profesi pemberi nasihat. Orang yang memberi fatwa disebut mufti atau ulama,
sedangkan yang meminta fatwa disebut mustafti. Peminta fatwa bisa perseorangan,
lembaga ataupun siapa saja yang membutuhkannya. 
Hukum berfatwa adalah fardu kifayah, kalau ada orang lain yang bisa
memberi fatwa selain dirinya. Adapun kalau tidak ada orang lain yang bisa memberi
fatwa dan masalah yang difatwakan itu cukup mendesak maka ia pun secara fardu
‘ain wajib memberi fatwa atas pristiwa itu.
Oleh karena fatwa itu menyangkut masalah agama maka tidak sembarang
orang bisa menduduki sebagai mufti syarat-syarat yang harus di miliki oleh seorang
mufti antara lain adalah:
a.    Fatwanya harus didasarkan kepada kitab-kitab induk yang mutabar agar fatwa
yang diberikan itu dapat diterima oleh penerima fatwa.
b.    Apabila ia berfatwa berdasrkan qoul seseorang alim, maka ia dapat menunjukan
dasar sumber pengambilan fatwanya itu, dengan demikian ia terhindar dari berbuat
salah dan bohong.
c.    Seorang mufti harus mengerti atau mengetahui berbagai macam pendapat ulama
agar tidak terjadi kesalah fahaman antara ia dan penerima fatwanya.
d.   Seorang mufti haruslah seorang alim yang memiliki kejujuran. ii[2]

B.  Kedudukan Fatwa


Keperluan terhadap fatwa sudah terasa sejak awal perkembangan Islam.
Dengan meningkatnya jumlah pemeluk Islam, maka setiap persoalan yang muncul
memerlukan jawaban. Untuk menjawab persoalan tersebut diperlukan bantuan dari
orang-orang yang kompeten di bidang tersebut. Dalam masalah agama, yang
berkompeten untuk itu adalah para mufti atau para mujtahid.
Pada mulanya praktik fatwa yang diberikan secara lepas dan belum ada
upaya untuk membukukan isi fatwa ulama-ulama tersebut. Fatwa pertama kali
dikumpulkan dan sebuh kitab pada abad ke-12 M. Mazhab Hanafi memiliki sejumlah
kitab fatwa sepertiaz-Zakhirat al-Burhaniyah, kumpulan  fatwa Burhanuddin bin
Maza (wafat 570 H/1174). Inilah kitab kumpulan fatwa pertama.
Mazhab Maliki memiliki kitab kumpulan fatwa  bertajuk al-Mi'yar al-
Magrib yang berisi fatwa-fatwa al-Wasyarisi (wafat 914 H/1508 M). Mazhab Hanbali
juga memiliki sejumlah kitab fatwa, yang paling terkenal adalah Majmu al-Fatawa.
Di Indonesia juga ada sejumlah  buku kumpulan fatwa, seperti Tanya Jawab
Agama dan Kata Berjawab yang diterbitkan Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, selain
itu ada juga Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, serta Solusi Problematika
Aktual Hukum Islam Keputusan Muktamar Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama.  
Berkaitan dengan kedudukan fatwa dalam kehidupan umat Islam, fatwa ini

juga menegaskan bahwa fatwa memang tidak mengikat secara hukum, akan tetapi,

ia bersifat mengikat secara agama, sehingga tidak ada peluang bagi seorang

muslim untuk menentangnya bila fatwa itu didasarkan kepada dalil-dalil yang jelas

dan benar.iii[3]

C.  Lembaga-lembaga Fatwa di Indonesia


1.       MajelisTarjihMuhammadiyah
Muhammadiyah adalah organisasi social keagamaan yang memiliki misi
utama pembaharuan atau tajdid terhadap pemahaman agama.Pembaharuan dalam
muhammadiyah meliputi dua segi jika dilihat dari sasarannya yaitu pembaharuan
dalam arti mengembalikan kepada kemurniannya dengan sasaran soal-soal prinsip
perjuangan yang bersifat tetap dan pembaharuan dalam arti modernisasi dengan
sasaran mengenai masalah metode, system, tektik, setrategi, taktik perjuangan
dan lain-lain.
Dalam Muktamar Muhammadiyah ke-17/1928 di Yogyakarta dibentuk
susunan pengurus Majelis Tarjih Pusat sebagai ketuanya KH.Mas Mansur dan
sekertaris KH.Aslan Z, dibuat anggaran dasar yang menetapkan tugas dari majelis
tarjih adalah mengamati perjalanan Muhammadiyah yang berhubungan dengan
hukum-hukum agama, menerima dan mentarjih hukum masalah khilafiyah yang
diragukan hukumnya, penyelidikan dan pembahasan yang berdasarkan Al-Quran
dan Hadis. Majelis Tarjih berfungsi untuk mengeluarkan fatwa atau memastikan
hukum tentang masalah-masalah tertentu.
Manhaj al-istinbath adalah majelis tarjih dan pengembangan pemikiran islam
Muhammadiyah yang merumuskan secara dinamis aspek metodologis, yang dilakun
terakhir pada tahun 2000 di Jakarta dengan prinsip yaitu mengbah istilah al-
sunnah al-sohihah menjadi al-sunnah maqbullah sebagai sumber hukum sesudah
al-Quran, posisi ijtihad adalah metode bukan sumber hukum, ijtihad meliputi
metode bayani, ta’lili, dan ishtilahi, manhaj menentukan empat pendekatan untuk
kepentingan menetapkan hukum, dan lain-lain.
Dalam majlis tarjih, manhaj pengembangan pemikiran islam dikembangkan
atas dasar prinsip-prinsip yang menjadi orientasi utamayaitu: prinsip al-muro’ah
(konservasi), prinsip al-tahdidsi (inovasi), dan prinsip al-ibtikari (kreasi). Dalam
pengambilan keputusan MTPPI terhadap persoalan-persoalanyang memerlukan
perpestik oleh majlis ini dinahas dengan cara berupaya mencari dalil yang relevan,
menerapkan manhaj al istinbath lalu menarik natijah hukumnya, hasil keputusan
kemudian diajukan kepemimpinan muhammadiyah sesuai tingkatannya yang
mempunyai otoritas untuk mentanfidzkan atau tidak sesuai pertimbangan yang
dimiliki, namun semua yang telah ditanfidzkan masih tetap untuk diadkan tinjauan
ulang.
2.       Lajnah Bahsul Masail NU
NU sebagai jam’iyah sekaligus gerakan diniyah islamiyah dan ijtima’iyah
serta menjadikan paham sunah wal jama’ah sebagai basis teologi dan menganut
salah satu dari mazhab.Metode istinbath hukum lajnah bahsul masail dikalangan
NU tidak diartikan dengan mengambil hukum secara langsung (al-qur’an dan
sunah), namun diartikan sesuai dengan sikap dasar bermazhab terutama mazhab
Syafi’I menempati posisi yang dominan. Metode pengambilan keputusan hukum
dirumuskan pada munas Bandar lampung pada tahun 1992 dengan susunan
metodologisnya yaitu: kasus yang jawabannya ditemukan satu qoul (pendapat),
maka qou itu yang diambil, kasus yang hukumnya ada dua pendapat maka
dilakukan taqrir jama’i dalam memilih salah satunya, namun jika tidak ditemukan
pendapat sama sekali dipakai ilhaq al-masail bin nadhariha secara jam’i oleh
ahlinya, dan jika masalah yang dikemukakan jawabannya dalam ibarat kitab dan
tidak bisa dilakukan ilhaq maka dilakukan istinbath jam’i.
3.       Majelis Fatwa Indonesia
Majelis Ulama Indonesia adalah wadah atau majelis yang menghimpun para
ulama, zuama dan cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak dan
langkah-langkah umat Islam Indonesia dalam mewujudkan cita-cita bersama.
Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 H, bertepatan dengan
tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah
para ulama, cendekiawan dan zu'ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air.
Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia tengah
berada pada fase kebangkitan kembali, setelah 30 tahun merdeka, di mana energi
bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli
terhadap masalah kesejahteraan rohani umat.Dalam perjalanannya, selama dua
puluh lima tahun, Majelis Ulama Indonesia sebagai wadah musyawarah para ulama,
zu’ama dan cendekiawan muslim berusaha untuk:
1. Memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam Indonesia dalam
mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridhoi Allah SWT.
2. Memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan
kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi
terwujudnya ukhwah Islamiyah dan kerukunan antar-umat beragama dalam
memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa.
3. Menjadi penghubung antara ulama dan umaro (pemerintah).
4. Meningkatkan hubungan serta kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan
cendekiawan muslimin dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada
masyarakat khususnya umat Islam dengan mengadakan konsultasi dan informasi
secara timbal balik.iv[4]
Sampai saat ini Majelis Ulama Indonesia mengalami beberapa kali kongres
atau musyawarah nasional, dan mengalami beberapa kali pergantian Ketua Umum,
dimulai dengan Prof. Dr. Hamka, KH. Syukri Ghozali, KH. Hasan Basri, Prof. KH. Ali
Yafie dan kini KH. M. Sahal Mahfudz. Ketua Umum MUI yang pertama, kedua dan
ketiga telah meninggal dunia dan mengakhiri tugas-tugasnya.Sedangkan dua yang
terakhir masih terus berkhidmah untuk memimpin majelis para ulama ini.
Di sisi lain umat Islam Indonesia menghadapi tantangan global yang sangat
berat. Kemajuan sains dan teknologi yang dapat menggoyahkan batas etika dan
moral, serta budaya global yang didominasi Barat, serta pendewaan kebendaan dan
pendewaan hawa nafsu yang dapat melunturkan aspek religiusitas masyarakat
serta meremehkan peran agama dalam kehidupan umat manusia. Selain itu
kemajuan dan keragaman umat Islam Indonesia dalam alam pikiran keagamaan,
organisasi sosial dan kecenderungan aliran dan aspirasi politik, sering
mendatangkan kelemahan dan bahkan dapat menjadi sumber pertentangan di
kalangan umat Islam sendiri.Akibatnya umat Islam dapat terjebak dalam egoisme
kelompok (ananiyah hizbiyah) yang berlebihan.Oleh karena itu kehadiran MUI,
makin dirasakan kebutuhannya sebagai sebuah organisasi kepemimpinan umat
Islam yang bersifat kolektif dalam rangka mewujudkan silaturrahmi, demi
terciptanya persatuan dan kesatuan serta kebersamaan umat Islam.Terdapat lima
fungsi dan peran utama MUI yaitu:
1. Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya).
2. Sebagai pemberi fatwa (mufti).
3. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Ri’ayat wa khadim al ummah).
4. Sebagai penegak amar ma'ruf nahi munkar.
5. Gerakan Ishlah wa Al-tajdid.v[5]

BAB III
PENUTUP

Titik tolak dari pemikiran tentang fatwa keagamaan pada dasarnya untuk
memberikan arah yang konkret tentang prinsip-prinsip hukum syariat yang dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Namun inti dan sasarannya adalah agar umat islam mampu menciptakan
pola pikir yang sistematis dalam mengkaji ajaran islam secara utuh dan murni.
Sehingga tercipta suatu pola pikir dan hasil ijtihad para ahli/ulama untuk
menemukan dalil-dalilyang konkret dalam mengambil keputusan hukum-hukum
syariat islam.
Di sisi lain umat Islam Indonesia menghadapi tantangan global yang sangat
berat. Kemajuan sains dan teknologi yang dapat menggoyahkan batas etika dan
moral, serta budaya global yang didominasi Barat, serta pendewaan kebendaan dan
pendewaan hawa nafsu yang dapat melunturkan aspek religiusitas masyarakat
serta meremehkan peran agama dalam kehidupan umat manusia. Selain itu
kemajuan dan keragaman umat Islam Indonesia dalam alam pikiran keagamaan,
organisasi sosial dan kecenderungan aliran dan aspirasi politik, sering
mendatangkan kelemahan dan bahkan dapat menjadi sumber pertentangan di
kalangan umat Islam sendiri.Akibatnya umat Islam dapat terjebak dalam egoisme
kelompok (ananiyah hizbiyah) yang berlebihan.
Sehingga fatwa menjadi sangat urgen dalam menghadapi permasalahan
tersebut diatas. Dengan adanya lembaga fatwa resmi tentunya penjelasan hukum
yang masih gelobal menjadi mudah difahami dan juga menjawab permasalahan-
permasalahan baru yang kian hari kian kompleks.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Fatah, Rohadi, Analisis Fatwa Keagamaan, Bumi Aksara:Jakarta. 2006.


Amirudin, Zen, Ushul Fiqih, Teras ; Yogyakarta. 2009.
http://kangasyad.blogspot.com/2009/12/metode-ijtihad-ormas-islam-
indonesia-nu.html
Mubarak, Jaih, Ijtihad Kemanusiaan, Pustaka Bani Quraisy:Bandung, 2005
Taufik Hidayat,Racmat dkk.,Almanak Alam Islami, , Pustaka Jaya: Jakarta.
2000.
i[1]Racmat Taufik Hidayat dkk.,Almanak Alam Islami, , Pustaka Jaya: Jakarta. 2000. hal.

ii[2] Zen Amirudin, Ushul Fiqih, Teras ; Yogyakarta. 2009. Hal. 213

iii[3] Jaih Mubarak, Ijtihad Kemanusiaan, Pustaka Bani Quraisy:Bandung, 2005

iv[4] http://kangasyad.blogspot.com/2009/12/metode-ijtihad-ormas-islam-indonesia-nu.html

v[5] Rohadi Abdul Fatah, Analisis Fatwa Keagamaan, Bumi Aksara:Jakarta. 2006 hal.140

Anda mungkin juga menyukai