1 [1]http://statutes.age.gov.sg/non_version/egi-bin/egi_getdata.pl?actno=1999-REVED-
3&doctile=ADMINISTRATION%200f%20muslim%law20ACT
%A&date&method=part&sl&=1&segid=934446900-000127.
regional Eropah yang berkedudukan di Dublin. Lembaga ini didirikan di London 30
Maret 1997, beranggotakan ulama-ulama terkenal dari negara-negara Eropah dan
dunia Islam. Ketuanya adalah Syaikh Yusuf al-Qaradhawi. 2[2] Sementara itu, the
Fiqh Council of North America adalah sebuah lembaga fatwa yang berdiri pada
tahun 1980. Cikal bakal lembaga ini berasal dari Religious Committee dari The
Muslim Students’ Association of US and Canada pada tahun 1986. Kemudian
setelah berdirinya, ISNA, The Religious Committee menjadi the Fiqh Council of
North Amerika. Lembaga ini beranggotakan ulama-ulama terkenal di Amerika Utara
dan beberapa negara muslim. 3[3] Australia juga mengenal jabatan mufti dan
lembaga fatwa. The Grand Mufti of Australia sekarang dijabat oleh Fahmi Naji al-
Imam. Beliau lahir di Beirut pada tahun 1928 dan pindah ke Australia pada tahun
1951, menggantikan Mufti Taj El-Din El-Hilaly yang mengundurkan diri bulan Juni
2007. Beliau juga menjabat sebagai sekretaris Ketua Imam Masjid Preston di
Melbourne.4[4]
Organisasi Konperensi Islam (Organization of Islamic Conference) sebagai
organisasi negara-negara muslim yang berkedudukan di Jeddah juga mempunyai
lembaga fatwa. Liga Dunia Islam (Rabithah al-‘Alam al-Islami), sebuah organisasi
internasional atas prakarsa Saudi Arabia, juga mempunyai lembaga fatwa. Pernah
ada upaya dari Mesir untuk mempersatukan lembaga fatwa dan jabatan mufti dari
seluruh dunia dalam sebuah organisasi dunia, tetapi belum membuahkan hasil
sampai sekarang.5[5]
Di beberapa negara muslim, seperti di Mesir dan beberapa negara Arab,
mufti dan kantor mufti diminta pendapatnya untuk kasus-kasus besar, misalnya
dalam pengesahan sebuah undang-undang, ratifikasi sebuah perjanjian, atau
keputusan presiden menolak grasi seorang terpidana berat, dan lain-lain. Hal itu
antara lain untuk memberikan legitimasi kepada kebijakan negara agar tidak
bertentangan dengan hukum Islam yang dihormati oleh masyarakat.
Fatwâ
Fatwa adalah “pendapat dalam bidang hukum” atau “official legal opinion”. 6
[6] Hukum di sini tidak hanya berarti sebagai hukum negara, tetapi juga hukum
dengan kata jamak ahkam menyangkut hukum taklifi tentang wajib, sunnat,
haram, makruh dan mubah. Di zaman Nabi Muhammad, pendapat dalam bidang
hukum selalu ditanyakan kepada beliau. Dalam Qur’an banyak ungkapan: “Mereka
bertanya kepadamu tentang. . .” dan untuk menjawabnya digunakan ungkapan
“Katakanlah (wahai Muhammad) bahwa . . .” atau “Ketahuilah bahwa . . .” Beliau
sendiri juga sering memulai pembicaraan dengan ungkapan “Tahukah kalian
tentang . . .” Pertanyaan ini biasanya dijawab oleh pendengar beliau dengan
ungkapan “Allah dan Rasul-Nyalah yang lebih tahu tentang hal itu!” Setelah itu Nabi
baru menyebutkan masalah yang hendak beliau terangkan.
2[2] http://en.wikipedia.org/wiki/European_Council_for_Fatwa_and_Research
3[3] http://www.fiqhcouncil.org/AboutUs/tabid/72/Default.aspx
4[4] http://en.wikipedia.org/wiki/Taj_El-Din_Hilaly..
5[5] Wawancara Mohammad Khalid dari surat kabar asy-Syarq al-Awasth dengan Mufti Mesir ‘Ali
Jum’ah tanggal 14 Juli 2007. http://www.nationmaster.com/encyclopedia/Grand Mufti.
6[6] Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic (London: MacDonald & Evans Ltd., 1980),
hal. 696.
Setelah Nabi wafat, pertanyaan tentang hukum dan agama secara umum
ditanyakan kepada para khalifah dan sahabat Nabi.7[7] Persoalan hukum
masyarakat kemudian ditanyakan kepada hakim pengadilan dan di daerah-daerah
yang jauh dari pengadilan, maka pertanyaan hukum dijawab oleh orang alim yang
berfungsi sebagai mufti.
Mufti terkenal dari kalangan tâbiîn adalah Ibrahim an-Nakh’î (wafat 96 H),
Atha’ bin Abi Rabah (w. 115 H) dan Abdullah bin Abi Nujaih. Kemudian jabatan
mufti menjadi jabatan resmi. Misalnya, Mufti `Utsmani, Mufti Mesir, Mufti Suria,
Mufti Palestina, Mufti Malaysia, Mufti Brunei, Mufti Singapura dan lain-lain.
Menurut asy-Syathibi, mufti di tengah-tengah ummat berperan seperti Nabi
Muhammad s.a.w. Pertama, mufti adalah penerus Nabi sesuai sabda beliau bahwa
ulama adalah pewaris para nabi. Kedua, mufti adalah wakil Nabi dalam
menyampaikan ketentuan hukum agama. Mufti dari satu sisi sebenarnya pembuat
hukum (syari’) yang mengutip langsung hukum dari syariah dan di sisi lain
pembuat hukum dari hasil ijtihadnya sendiri yang berlandaskan kepada prinsip-
prinsip syariah.8[8]
Al-Qirafi melihat mufti sebagai penerjemah Allah Ta`ala dan Ibnu al-Qayyim
mengumpamakan mufti sebagai penandatangan (muwaqqi’) mewakili Allah
terhadap apa yang ia farwakan. Karena itu, Ibnu al-Qayyim menamakan kitabnya
sebagai A’lam al-Muwaqqi’in ‘An Rabbi al-‘Alamin (Notifikasi atau Nasehat Mewakili
Tuhan Seluruh Alam).9[9]
Karena itu, fatwa adalah “pemberitaan tentang hukum syar’i (sah secara
syariah) tanpa mengikat” (al-ikhbar ‘an al-hukm asy-syar’i min ghair al-ilzam).10
[10] Hukum Islam dalam hal ini berciri qadha’i dan diyani.
Disebut qadha’i, yudisial, karena ia bersifat duniawi, bagaimana tampaknya
di dunia (di depan pengadilan) berdasarkan perbuatan atau tindakan lahir, yang
tidak ada hubungannya dengan hal-hal tidak tampak yang bersifat batin. Seorang
hakim memutus berdasarkan fakta yang ia lihat, dan ia tidak tahu secara batin
apakah peristiwa itu sebenarnya seperti yang ia lihat. Karena itu, ada ungkapan di
kalangan hakim muslim: Nahnu nahkum bidz-zdawahir wallahu yatawalla bis-sara’ir
(Kami memutus dengan apa yang tampak, sedangkan Allah mengendalikan yang
tidak tampak). Hakim memutus sebatas kemampuannya dan putusannya tidak
menjadikan yang batil menjadi hak atau hak menjadi batil. Ia tidak menghalalkan
yang haram dan tidak pula mengharamkan yang halal dalam kenyataan yang ia
lihat, tetapi bila hakikatnya tidak seperti yang ia putuskan, maka itu termasuk ilmu
Allah. Karena itu, seperti disabdakan dalam sebuah Hadits riwayat Muslim, bila
hakim telah berusaha dengan sungguh-sungguh (berijtihad), tetapi ternyata salah
di sisi Allah, maka ia masih mendapatkan sebuah pahala sebagai balasan atas
kesungguhannya. Bila putusannya benar di sisi Allah, maka ia mendapat pahala dua
kali, yaitu balasan atas kesungguhannya dan balasan atas kebenarannya. Berbeda
dengan fatwa mufti, maka putusan peradilan bersifat mengikat.
7[7] Muhammad al-Khudhari Bek, Tarikh at-Tasyri’ al-Islami (Bairut: Dar al-Fikr, 1080), hal. 69.
8[8] Muhammad Ahmad Makki, Fatawa Musthafa az-Zarqa’ (Damaskus: Dar al-Qalam,
1435/2994), hal. 37.
9[9] Ibid., hal. 38.
10[10] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Jilid I (Damaskud: Dar al-Fikr al-
Mu’ashir, 1984), hal. 35.
Disebut diyani, keagamaan, karena ia bersifat ukhrawi, bagaimana nantinya
di akhirat, berdasarkan hakikat sesuatu dan kenyataan yang sebenarnya, sekalipun
orang tidak melihatnya. Segi ini menyangkut hubungan seseorang dengan
Tuhannya. Hukum jenis kedua inilah yang menjadi dasar fatwa mufti.
Dengan demikian, putusan pengadilan dan fatwa mufti sebenarnya
mempunyai kesimpulan yang sama, sebagai produk hukum Islam, tetapi berbeda
dalam pelaksanaannya. Putusan pengadilan dijalankan sesuai dengan amar
putusan, sedangkan fatwa mufti terserah kepada penerima fatwa (mustafta) sesuai
dengan hati nuraninya apakah ia akan menjalankannya atau tidak. Dahulu, di
Peradilan Agama, ada yang disebut fatwa waris (sekarang disebut penetapan ahli
waris) dan putusan tentang masalah waris. Fatwa atau penetapan waris diputuskan
berdasarkan data yang diberikan oleh pemohon dan pengadilan tidak memeriksa
apakah data tersebut akurat atau tidak, tetapi hanya berdasarkan taking for
granted bahwa seandainya data itu benar, maka fatwa atau penetapannya adalah
seperti yang difatwakan. Ini berbeda dengan putusan peradilan tentang masalah
waris di mana datanya diperiksa oleh hakim pengadilan apakah sesuai dengan fakta
sebenarnya atau tidak. Bila sesuai dengan bukti-bukti, maka diputuskanlah berapa
jumlah harta warisan dan siapa-siapa saja yang berhak menerimanya sesuai
dengan posita penggugat. Secara hukum, putusan tersebut harus dilaksanakan,
apakah para pihak setuju atau tidak.
Indonesia juga mengenal fatwa Mahkamah Agung, yang berbeda dengan
putusan Mahkamah Agung, baik kasasi ataupun peninjauan kembali. Misalnya
adalah fatwa yang pernah dimintakan oleh Abdurrahman Wahid sewaktu beliau
menjadi Presiden kepada Mahkamah Agung tentang dekrit pembubaran DPR karena
keadaan darurat. Dalam hal ini, Mahkamah Agung tidak memeriksa tentang data
keadaan darurat negara sesuai posita, tetapi hanya menjawab pertanyaan Presiden
apakah pembubaran tersebut dapat dilakukan. Lalu Mahkamah Agung menerbitkan
fatwa, tetapi karena isi fatwa tidak sesuai keinginan Presiden, maka beliau tidak
menerima fatwa tersebut. Beliau sebenarnya bebas untuk melaksanakannya atau
tidak melaksanakannya sesuai dengan hati nurani beliau. Sepatutnya beliau
menghormati fatwa tersebut. Keadaannya akan berbeda, bila misalnya Presiden
menjadi pihak dalam sebuah perkara yang diperiksa oleh Mahkamah Agung, maka
putusan Mahkamah Agung yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap menjadi
binding (mengikat). Suka atau tidak suka, Presiden harus menaatinya.
Pada dasarnya putusan peradilan mengikat, fatwa tidak mengikat, kecuali di
beberapa negara, misalnya di Negara Bagian Sabah Malaysia di mana fatwa yang
sudah diumumkan di lembaran negara bersifat mengikat. Fatwa juga mengikat
kepada seluruh warga muslim di Negara Bagian Selangor Malaysia, bila telah
diumumkan di lembaran negara. Sesuai UU Pelanggaran Pidana Syariah Tahun
1995 (Syariah Criminal Offeces) di negara bagian ini, barangsiapa yang
menantang, tidak mematuhi, atau mempersoalkan fatwa dapat dihukum denda
sampai 3000 ringgit Malaysia atau dipenjarakan maksimal sampai dua tahun.
Berdasarkan undang-undang ini, tiga orang wanita muslim pernah ditangkap oleh
Jabatan Agama Islam Selangor pada tahun 1997 dan diadili karena melanggar
fatwa yang melarang wanita muslim mengikuti kontes kecantikan.11[11]
11[11] Rajen Devaraj, “The Purpose fo a fatwa should be to offer an opinion—not to silence
alternative views”, ttp://www.aliran.com/oldsite/monthly/2005a/2h.html.
Perbedaan antara mufti dan mujtahid bahwa mufti menjawab masalah
hukum berdasarkan ketentuan-ketentuan yang sudah ada dalam hukum Islam.
Sedangkan mujtahid menjawab berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum baru
yang dirumuskan dari sumber-sumber hukum primer dan sekunder Islam.
Mohammad Hashim Kamali menyimpulkan:
“Ijtihad dan fatwa sering digunakan silih berganti. Perbedaan utama antara
keduanya adalah bahwa ijtihad mempunyai substansi yuridis yang lebih besar yang
menjelaskan dasar pembuktiannya sendiri, sementara itu fatwa sering berisikan
putusan atau opini yang diberikan dalam bentuk sebuah jawaban terhadap
pertanyaan tertentu. Tidak menjadi syarat bahwa fatwa menjelaskan dasar
pembuktiannya, bisa dalam bentuk pendek atau lebih mendalam dan rinci.” 12[12]
Di negaranegara Timur Tengah seperti Mesir, Libanon, Irak dan Saudi Arabia,
begitu di negara-negara ASEAN seperti Malaysia, Brunei dan Singapura, fatwa
selalu diberikan oleh lembaga-lembaga yang berwenang.
Dalam sistem hukum Islam, pemberi fatwa adalah mufti yang sah atau para
imam yang terkenal kedalaman pemahaman dan ilmu mereka. Orang awam tidak
dibenarkan memberikan fatwa, karena ini akan menjurus kepada kekacauan dan
memberikan fatwa tanpa ilmu. Karena itu, sebenarnya terdapat kualifikasi untuk
jabatan yang penting ini.
Di negara tetangga Malaysia, negara bagian Sabah, sesuai UU Fatwa (Fatwa
Enactmen) No. 7 Tahun 2004, seorang mufti harus seorang warga negara,
mempunyai pengetahuan yang luas tentang hukum Islam, dan mempunyai
pengetahuan tentang berbagai hukum Islam yang berlaku di negara. 13[13]
Negara-negara Arab seperti Mesir dan Saudi Arabia menetapkan kualifikasi
yang jelas untuk jabatan mufti atau lembaga ifta’. Selain kualifikasi keilmuan
hukum Islam, mereka biasanya termasuk orang yang terkenal kepribadian dan
keislaman mereka. Di beberapa negara seperti di Sudan, sebuah lembaga fatwa
tidak hanya terdiri dari anggota-anggota yang ahli dalam ilmu agama, tetapi juga
ahi dalam disiplin ilmu-ilmu yang lain sesuai kebutuhan, dan bahkan juga beberapa
orang hakim agung.
Lembaga Fatwa di Indonesia
Indonesia tidak mengenal jabatan mufti dan lembaga fatwa negara.
Ketiadaan lembaga fatwa resmi memberikan berbagai implikasi, antara lain
ketidakpastian suatu masalah dilihat dari sudut hukum Islam sehingga sering
membuat bingung masyarakat dan negara.
Tahun-tahun terakhir ini, pertanyaan tentang hukum Islam semakin ramai
ditanyakan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut sekarang telah melebar dan berskop
nasional. Penyebarannya terutama dibantu oleh berbagai media masa elektronik
dan tulis melalui acara atau rubrik tanya-jawab agama untuk umum. Variasi
pertanyaan ini menunjukkan minat masyarakat yang semakin besar terhadap
12[12]Ijtihad and fatwa are used interchangeably, the main difference between them being that
ijtihad has a greater juridical substance which explains its own evidential basis, where fatwa often
consists of a verdicts or opinion that is given in response to a particular question. It is not a requirement
of fatwa to explain its evidential basis and it may be either very brief or in greater depth and detail.
Mohammad Hashim Kamali, Shariah Law: An Introduction (Oxford: Oneworld, 2008), hal. 152.
13[13]
hukum Islam dan kesadaran masyarakat untuk menjadikan hukum Islam sebagai
norma pengatur kehidupan.
Kesan umum yang tampak dari acara tanya-jawab ini, setiap orang dapat
memberikan fatwa, padahal fatwa seharusnya hanya diberikan oleh orang yang ahli
dalam bidang hukum Islam. Mufti sebenarnya adalah kata lain dari mujtahid atau
pengungkap dan perumus hukum Islam. Mufti dan mujtahid terkenal adalah empat
atau lima imam mazhab yang berkembang di dunia Islam sampai saat ini: Imam
Maliki, Imam Syafii, Imam Hanafi, Imam Hanbali dan Imam Jafari (Syiah).
Indonesia tidak mengenal jabatan dan lembaga fatwa resmi. Pada tingkat
nasional, di negeri ini terdapat Komisi Fatwa MUI, dan pada tingkat keormasan
Islam terdapat lembaga fatwa seperti Lajnah Tarjîh Muhammadiyah, Lajnah Bahsul
Masa’il NU, Dewan Hisbah Persis, dan lain-lain. Karena tidak adanya lembaga fatwa
resmi, maka sering terjadi perbedaan pendapat dalam memutus hal-hal yang
berhubungan dengan hukum Islam. Misalnya tentang penentuan awal dan akhir
Ramadhan, tentang awal Zulhijjah, makanan halal, tentang aliran-aliran Islam
sesat dan lain-lain. Biasanya kasus-kasus seperti ini diputuskan sendiri oleh
masing-masing organisasi Islam dan tidak ada koordinasi oleh negara kecuali
dalam penentuan awal dan akhir Ramadhan. Dalam hal ini, fatwa MUI kadang-
kadang mendapat perhatian, tetapi karena lembaga ini bukan lembaga negara yang
dibentuk berdasarkan undang-undang, maka pendapatnya tidak dapat memberikan
kata putus tentang sesuatu menyangkut hukum Islam.
Salah satu yang menggelisahkan masyarakat akhir-akhir adalah tentang
kemunculan berbagai aliran sesat. Dari waktu ke waktu, media massa selalu
melaporkan kepada kita kelompok-kelompok yang menyebut diri dengan nama
tertentu atas nama Islam, tetapi mempunyai ajaran yang menyimpang dari ajaran
Islam yang benar. MUI menyatakan telah mengeluarkan daftar sembilan aliran
kepercayaan yang dianggap menyesatkan. Sembilan aliran sesat tersebut antara
lain adalah Islam Jamaah, Ahmadiyah, Inkar Sunah, Qur'an Suci, Sholat Dua
Bahasa, dan Lia Eden. Di antara aliran ini ada yang bergerak di tingkat nasional dan
ada juga yang bergerak di tingkat lokal. 14[14] Klaim sebagai nabi atau pembaharu
agama dapat kita lihat pada kasus Jamaah Ahmadiyah, Jemaah Eden Lia Alimudin,
kelompok al-Mushaddiq dan lain-lain. Mereka mengklaim sebagai nabi atau
penerima wahyu, padahal dalam Islam tidak ada lagi nabi setelah Nabi Terakhir
Muhammad s.a.w.
Fatwa MUI tidak diakui oleh sebagian kalangan antara lain karena statusnya
yang tidak jelas dari sudut kelembagaan negara. Seorang mantan Presiden bahkan
meminta supaya MUI dibubarkan karena ia bukanlah sebuah lembaga resmi negara
dan dengan demikian Presiden dan para Menteri tidak harus mendengarkan
fatwanya.15[15]
Di masa depan, lembaga fatwa MUI dapat dikembangkan menjadi lembaga
negara sehingga dapat menjadi andalan bagi eksekutif dalam menentukan
kebijkan, oleh DPR dalam membuat peraturan perundang-undangan, dan oleh
peradilan dalam memutus perkara menyangkut hukum Islam.
14http://lawnet.sabah.gov.my/viewdoc.asp?
id=sabahlaws=sabah_laws&document=statelaws/lawtaenactment.htm.
[14]http://groups.google.com/group/milis-mediacare/browse thread/thread/ 2cf38fbb0
60065a2/ b0a291d10b752ce?lnk=st&q=aliran+kepercayaan+ kejaksaan# 9b0a291d1 0b752ce.
15 [15] http://www.antara.co.id/arc/2007/12/30/gus-dur-usulkan-pembubaran-mui/.
Peran MUI semakin dibutuhkan dalam pembangunan hukum nasional.
Sampai saat ini, fatwa Dewan Syariah Nasional MUI merupakan sumber hukum
satu-satu untuk masalah ekonomi syariah di Indonesia. Memang dari DPR dan
Pemerintah telah lahir Undang-Undang Surat Berharga Syariah Indonesia dan
Undang-Undang Perbankan Syariah, tetapi substansi hukum ekonomi Syariah
masih belum tersedia dalam bentuk undang-undang. Sebagian dari fatwa ini telah
dipositifkan melalui Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia.
Dilihat dari luasnya bidang ekonomi Syariah, menurut Penjelasan UU No. 3/2006
terdiri dari dari 11 jenis, maka Fatwa DSN masih akan diandalkan untuk masa yang
cukup lama. Seharusnya MUI, terutama yang berhubungan dengan fatwa, bekerja
sepenuh waktu sebagai lembaga negara, yang diisi oleh tenaga-tenaga professional
dalam bidangnya.
Penutup
Sebuah lembaga fatwa, apa pun namanya, adalah sebuah lembaga ilmiah
yang melakukan penelitian dan membuat kesimpulan berdasarkan metodologi
ilmiah khusus yang selalu dikembangkan dari waktu ke waktu. Karena itu, sebuah
lembaga fatwa resmi tidak perlu dikhatirkan akan selalu menjadi corong
pemerintah dalam semua kebijakannya, salah atau benar. Lembaga resmi fatwa tak
berbeda dengan lembaga penelitian resmi lainnya seperti Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) atau lembaga litbang di departemen negara tertentu
yang bekerja sesuai metodologi dan disiplin ilmiah tertentu.
Lembaga fatwa resmi negara yang diusulkan akan tetapi menjadi lembaga
yang independent dari sudut politik dan ilmiah, bila diisi oleh para ilmuwan yang
berkualifikasi ilmiah tinggi dan berintegritas kepribadian yang kuat. Bila kualifikasi
tinggi dan integritas kuat ini selalu dijaga, insya Allah lembaga fatwa resmi negara
tidak akan melahirkan fatwa ulama’ as-su’ (ulama jahat) atau ulama’ al-qashr
(ulama istana) seperti disebut secara sinis di masa lalu. Insya Allah juga, susana
keterbukaan, reformasi, kebebasan ilmiah, dan demokrasi akan terus bertahan di
tanah air tercinta Indonesia.
&
Jakarta, 12 Sebtember 2008
Sejarah Kemunculan Fatwa dalam Peradilan Islam
[1]
Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic (London: MacDonald & Evans
Ltd., 1980), hal. 696.
[2]
Muhammad al-Khudhari Bek, Tarikh at-Tasyri’ al-Islami (Bairut: Dar al-Fikr, 1080),
hal. 69.
[3]
Muhammad Ahmad Makki, Fatawa Musthafa az-Zarqa’ (Damaskus: Dar al-Qalam,
1435/2994), hal. 37.
[4]
Ibid., hal. 38.
[5]
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Jilid I (Damaskud: Dar al-Fikr al-
Mu’ashir, 1984), hal. 35.
[6]
Ijtihad and fatwa are used interchangeably, the main difference between them
being that ijtihad has a greater juridical substance which explains its own evidential
basis, where fatwa often consists of a verdicts or opinion that is given in response
to a particular question. It is not a requirement of fatwa to explain its evidential
basis and it may be either very brief or in greater depth and detail. Mohammad
Hashim Kamali, Shariah Law: An Introduction (Oxford: Oneworld, 2008), hal. 152.
[7]
Prof. Dr. H. Amir Syarifudin. Ushul Fiqh. (Jakarta: Kencana, 2008). Hal. 457-458
Makalah Fatwa pengertian, kedudukan dan lembaga fatwa di indonesia
nana rudiana
Add Comment
makalah, makalah agama
Friday, 29 August 2014
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
INSTITUSI FATWA DI INDONESIA
juga menegaskan bahwa fatwa memang tidak mengikat secara hukum, akan tetapi,
ia bersifat mengikat secara agama, sehingga tidak ada peluang bagi seorang
muslim untuk menentangnya bila fatwa itu didasarkan kepada dalil-dalil yang jelas
dan benar.iii[3]
BAB III
PENUTUP
Titik tolak dari pemikiran tentang fatwa keagamaan pada dasarnya untuk
memberikan arah yang konkret tentang prinsip-prinsip hukum syariat yang dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Namun inti dan sasarannya adalah agar umat islam mampu menciptakan
pola pikir yang sistematis dalam mengkaji ajaran islam secara utuh dan murni.
Sehingga tercipta suatu pola pikir dan hasil ijtihad para ahli/ulama untuk
menemukan dalil-dalilyang konkret dalam mengambil keputusan hukum-hukum
syariat islam.
Di sisi lain umat Islam Indonesia menghadapi tantangan global yang sangat
berat. Kemajuan sains dan teknologi yang dapat menggoyahkan batas etika dan
moral, serta budaya global yang didominasi Barat, serta pendewaan kebendaan dan
pendewaan hawa nafsu yang dapat melunturkan aspek religiusitas masyarakat
serta meremehkan peran agama dalam kehidupan umat manusia. Selain itu
kemajuan dan keragaman umat Islam Indonesia dalam alam pikiran keagamaan,
organisasi sosial dan kecenderungan aliran dan aspirasi politik, sering
mendatangkan kelemahan dan bahkan dapat menjadi sumber pertentangan di
kalangan umat Islam sendiri.Akibatnya umat Islam dapat terjebak dalam egoisme
kelompok (ananiyah hizbiyah) yang berlebihan.
Sehingga fatwa menjadi sangat urgen dalam menghadapi permasalahan
tersebut diatas. Dengan adanya lembaga fatwa resmi tentunya penjelasan hukum
yang masih gelobal menjadi mudah difahami dan juga menjawab permasalahan-
permasalahan baru yang kian hari kian kompleks.
DAFTAR PUSTAKA
ii[2] Zen Amirudin, Ushul Fiqih, Teras ; Yogyakarta. 2009. Hal. 213
iv[4] http://kangasyad.blogspot.com/2009/12/metode-ijtihad-ormas-islam-indonesia-nu.html
v[5] Rohadi Abdul Fatah, Analisis Fatwa Keagamaan, Bumi Aksara:Jakarta. 2006 hal.140