Anda di halaman 1dari 24

BEBERAPA PENDEKATAN DALAM STUDI AGAMA ISLAM

Makalah diajukan sebagai tugas wajib kelompok

dalam mata kuliah

METODELOGI STUDI ISLAM

Disusun oleh :

Naryama Harahap (0702183241)

Ardiansyah Putra (0702183218)

Muhammad Zulpan Batubara (0702183230)

Dosen pengampu

Purjatain Azhar,M.Hum

SISTEM INFORMASI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wata‟ala atas segala karunia dan nikmat-
Nyalah sehingga makalah yang berjudul ” Beberapa Pendekatan Dalam Studi Agama Islam”
ini dapat diselesaikan tepat waktu. Shalawat serta salam tidak lupa kita hadiahkan kepada
Rasulullah saw beserta para keluarga dan sahabat beliau yang kita harapkan hidayahnya
diakhirat kelak. Makalah ini disusun bertujuan untuk memenuhi tugas wajib kelompok pada
mata kuliah Sejarah Peradaban Islam.

Penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen pembimbing sekaligus


dosen pengampu dari matakuliah Metodelogi Studi Islam yaitu Bapak Purjatain
Azhar,M.Hum dan kemudian dari berbagai pihak yang sudah membantu sampai makalah ini
dapat terselesaikan, terutama kepada teman-teman yang sudah berkontribusi untuk
menyampaikan ide dan masukkannya. Akhir kata, penyusun memahami makalah ini jauh
dari kata sempurna, maka dari itu saran dan kritik yang membangun akan penyusun terima
dengan senang hati demi untuk memperbaiki makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat dan ilmu pengetahuan yang baru kepada semua pihak terutama
pembaca.

Medan, 28 November 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................................... i


DAFTAR ISI ........................................................................................................................................ ii
BAB I ................................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ................................................................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................................. 1
1.3 Tujuan Penulisan ................................................................................................................... 1
1.4 Batasan Masalah ................................................................................................................... 1
BAB II .................................................................................................................................................. 2
PEMBAHASAN ................................................................................................................................... 2
2.1 Pendekatan Teologis-Normatif ............................................................................................. 2
2.2 Pendekatan Ilmu Sosial Dan Humanioran: Sosiologis, Amtropologis, Psikologis, Histori,
Fisiologi, Hermenutika, Dan Feminis. .................................................................................. 3
2.3 Pendekatan Multidisipliner Sebagai Model Interdisipliner .................................................. 17
BAB III ............................................................................................................................................... 20
PENUTUP .......................................................................................................................................... 20
3.1 Kesimpulan ......................................................................................................................... 20
3.2 Saran ................................................................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................................... 21

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah bahwa manusia adalah makhluk bertuhan,
dimana agama adalah kebutuhan yang paling esensial bagi manusia yang bersifat
universal karena agama merupakan kesadaran spiritual yang didalamnya ada suatu
kenyataan bahwa manusia selalu mengharapkan belas kasih Allah Swt, bimbingan dan
belaian tanganNya yang secara ontology tidak bisa diingkari walaupun oleh manusia yang
paling komunis sekalipun
Dewasa ini kehadiran agama semakin dituntut agar ikut terlibat secara aktif didalam
memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat manusia. Agama tidak boleh hanya
sekedar menjadi lambang kesholihan atau berhenti sekedar disampaikan dalam khotbah,
melainkan secara konsepsional menunjukkan secara yang paling efektif
Melalui pendekatan, kehadiran agama secara fungsional dapat dirasakan oleh
penganutnya. Sebaliknya tanpa mengetahui berbagai pendekatan tersebut, tidak mustahil
agama menjadi sulit dipahami oleh masyarakat, tidak fungsional, dan akhirnya
masyarakat mencari pemecahan masalah kepada selain agama, dan hal ini tak boleh
terjadi.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa dan bagaimana pendekatan teologis-normatif ?
2. Apa dan bagaimana pendekatan ilmu sosial dan humanioran ?
3. Apa dan bagaimana pendekatan multidisipliner sebagai model interdisipliner ?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Mengetahui pendekatan teologis-normatif
2 Mengetahui pendekatan ilmu sosial dan humanioran
3 Mengetahui pendekatan multidisipliner sebagai model interdisipliner

1.4 Batasan Masalah


Agar tidak terjadinya pembahasan atau diskusi diluar materi, penulis hanya akan
membahas seputar tentang “Beberapa Pendekatan Dalam Studi Agama Islam”, perincian
materi bisa dilihat dalam rumusan masalah. Segala bentuk pertanyaan atau masukkan
diluar materi penulis tidak bertanggung jawab.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pendekatan Teologis-Normatif


Teologi, ilmu yang membahas tentang keyakinan adalah sesuatu yang
fundamental (mendasar) dalam agama. Kristen abad pertengahan menganggapnya sebagai
"The Queen of The Science”, yakni suatu ilmu pengetahuan yang paling otoritatif,
dimana semua hasil penelitian dan pemikiran harus sesuai dengan alur pemikiran teologis
ini, dan jika terjadi perselisihan, maka pandangan keagamaan yang harus dimenangkan.
Hal yang sama juga terjadi dalam Islam. Menurut al-Ghazali, teologi (ilmu kalam)
adalah "kunci" keselamatan. Siapa yang ingin selamat dan diterima ibadahnya, ia harus
mendalami ilmu ini.
Sebagai suatu ilmu tentang ketuhanan, teologi memiliki peranan yang cukup
signifikan dalam upaya membentuk pola pikir yang nantinya akan berimplikasi pada
perilaku keberagamaan seseorang. Untuk membentuk suatu pola pikir, maka diperlukan
pendekatan-pendekatan teologis yang berfungsi sebagai suatu cara melahirkan suatu
pemikiran teologis yang baru, apakah pemikiran itu tradisional, liberal, atau modern.
Dari berbagai pendekatan-pendekatan teologis yang ada, pendekatan teologis
normatif merupakan salah satu pendekatan teologis dalam upaya memahami agama
secara harfiah. Pendekatan normatif ini dapat diartikan sebagai upaya memahami agama
dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan
bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar
dibandingkan dengan yang lainnya
Hal tersebut memberikan dampak dan pengaruh yang besar terhadap perilaku
para pengikut teologi normatif ini. Pemikiran teologi yang keras akan mendorong
pengikutnya menjadi agresif, sementara teologi yang "kalem" cenderung menggiring
pengikutnya bersikap deterministik dan "pasrah".
Dalam Islam, kajian teologi terutama teologi Asy'ariah yang dianut
kebanyakan masyarakat muslim masih berkutat pada masalah ketuhanan dengan segala
sifat-Nya, Qadariyah (free will) dan Jabariah (predestination), apakah al-Qur'an itu
diciptakan dalam kurun waktu tertentu atau kekal bersama Tuhan, apakah perbuatan
Tuhan terkait dengan hukum kausalitas atau tidak.Tegasnya kajian teologi Islam yang
menggunakan pendekatan normatif masih bersifat teosentris, atau menurut Amin
Abdullah, masih didominasi oleh pemikiran yang bersifat transendental-spekulatif yang

2
kurang menyinggung masalah-masalah insaniyaat (humaniora) yang meliputi kehidupan
sosial, politik dan lain sebagainya dan aspek sejarah (tarikhiyat).
Disamping itu, secara metodologis, kajian teologi yang menggunakan
pendekatan tersebut juga masih menggunkan logika Arstotelian yang bersifat deduktif,
dan setidaknya pemikiran yang digunakan masih diwarnai oleh gaya pemikiran Yunani
yang spekualtif. Kenyataan ini tidak hanya terjadi pada Asy'ariyah, tetapi juga pada
Mu'tazilah yang dianggap paling rasional, sehingga serasional apapun pemikiran
Mu'taziah, sesungguhnya ia masih bersifat deduktif bayaniyah, artinya ia masih bersifat
transmission, deskriptif dan bergantung pada teks, al-Qur'an maupun al-Hadis.
Dari pemikiran teologi di atas, dapat diketahui bahwa pendekatan teologis
semacam ini dalam pemahaman keagamaan adalah menekankan pada bentuk formal atau
simbol-simbol keagamaan yang masing-masing bentuk formal atau simbol-simbol
keagamaan teologi teologi mengklaim dirinya yang paling benar, sedangkan yang lainnya
salah. Aliran teologi yang satu begitu yakin dan fanatik bahwa pahamnyalah yang benar
sedangkan faham yang lain salah, sehingga memandang bahwa paham orang lain itu
keliru, sesat, kafir, murtad dan lain sebagainya. 1

2.2 Pendekatan Ilmu Sosial Dan Humanioran: Sosiologis, Amtropologis, Psikologis,


Histori, Fisiologi, Hermenutika, Dan Feminis.
A. Pengertian Pendekatan Ilmu Sosial Dan Humaniora dalam Studi Islam
Terminologi ilmu merupakan terjemah dari dalam bahasa inggris science.
Istilah science berasal dari bahasa latin scientia yang berarti pengetahuan.
Sebagaimana yang dikemukkakan oleh The Liang Gie ilmu dipandang sebagai
kumpulan pengetahuan sistemtis, metode penelitian, dan aktivitas penelitian.
Sedangkan, etimologi ilmu pengetahuan (science) adalah pengetahuan (know
ledge) yang tersususn sistematis dengan menggunakan kekuatan pemikiran,
pengetahuan selalu dapat diperiksa dan ditelaah (dikontrol) dengan kritis oleh setiap
orang lain yang ingin mengetahuinya. 2
Jadi, tidak semua pengetahuan itu adalah ilmu sebab ilmu hanya terbatas pada
pengetahuan yang diperoleh secara sistematis. Ilmu harus melalui penataan
pengetahuan secara sistematis. Haruslah ilmu menggunakan metode ilmiah.

1
Lukluk nur mufidah, pendekatan teologi dalam kajian islam, vol.2, h. 5
2
Supardan dadang, pengantar ilmu sosial, Jakarta h. 20-25

3
Pengertian ilmu sosial merupakan suatu konsep akademik yang memberikan
perhatian pada aspek-aspek kemasyarakatan manusia. Bentuk tunggal ilmu sosial
menunjukkan sebuah komunitas dan pendekatan yang saat ini hanya diklaim oleh
beberapa orang saja; sedangakan bentuk jamaknya, ilmu-ilmu sosial mungkin istilah
tersebut merupakan bentuk yang lebih tepat. Ilmu-ilmu sosial mencakup sosiologi,
antropologi, psikologi, ekonomi, geografi sosial, bahkan sejarah walaupun disatu sisi
ia termasuk ilmu humaniora.
Umunya, orang sependapat bahwa ilmu sosial terletak di antara ilmu alam dan
ilmu budaya. Hanya saja orang berbeda pendapat mengenai letak yang sebenarnya,
apakah ilmu sosial lebih dekat kepada ilmu alam atau ilmu budaya. Kaum strukturalis,
termasuk didalamnya sebagian antropologi, cenderung meletakkan ilmu sosial lebih
dekat kepada ilmu budaya. Mereka melihat, tingkah laku sosial pada dasarnya selalu
mengacu pada aturan-aturan tingkah laku (rule of behavior) yang berdasar atas pola
ideal yang bersumber dari nilai. Karena itu, kunci memahami masyarakat adalah
memahami nilai. Kaum strukturalis memandang begitu pentingnya nilai itu, sehingga
mereka lupa bahwa nilai itu sendiri merupakan produk interaksi sosial juga. Karena
itu muncul kaum positivis yang berpendapat bahwa memahami masyarakat haruslah
dengan mengamati apa yang dilihat, dapat diukur dan dapat dibuktikan sebagaimana
halnya dalam ilmu pengetahuan alam.3 Sebenarnya banyak pendekatan-pendekatan
untuk memahami ilmu sosial dalam mata kuliah ini untuk itu kami membahas tiga
saja:

a. Pendekatan Sosiologi
Sosiologi merupakan sebuah kajian ilmu yang kaitannya dengan aspek
hubungan sosial manusia antara satu dengan yang lain atau kelompok yang satu
dengan yang lain. Sosiologi menitikberatkan pada sistem sosial (masyarakat) yang
kompleks, sedangkan antropologi menitikberatkan masyarakat yang erat kaitannya
hubungan kekerabatan (masyarakat sederhana). Sosiologi merupakan ilmu sosial
yang obyeknya adalah masyarakat yang bersifat empiris, teoritis dan kumulatif.
Dalam kajian Islam, persoalan muamalah (hubungan dengan manusia)
merupakan dimensi agama yang menekankan urusan sosial. Masalah sosial sangat
penting didalam Islam. Hal ini menjadi menarik untuk dipelajari dan dipahami.

3
Mudzar atho, pendekatan studi islam dalam teori dan praktek h. 43-33

4
Contoh dalam pendekatan sosiologi adalah dari dua puluh kitab fathul bari, hanya
empat jilid yang berisi tentang ibadah. Sedangkan enam belas yang lainnya berisi
tentang muamalah.

b. Pendekatan Antropologi
Antropologi adalah ilmu tentang manusia dan kebudayaan. Kebudayaan
adalah keseluruhan pengetahuan manusia yang diperoleh sebagai makhluk sosial
yang digunakan untuk memahami dan menginterpretasikan pengalaman dan
lingkungan dan mendasari serta mendorong tingkah laku. Antropologi
memperhatikan terbentuknya pola-pola perilaku manusia dalam tatanan nilai yang
dianut dalam kehidupan.
Kebudayaan mencakup tiga aspek yaitu pemikiran, kelakuan dan hasil
kelakuan. Kebudayaan manusia pada dasarnya adalah serangkain aturan-aturan atau
kategorisasi-kategorisasi, serta nilai-nilai. Kebudayaan bukan hanya ilmu
pengetahuan saja, tetapi juga hal-hal yang buruk, bahasa, dan lain sebagainya.
Unsur-unsur kebudayaan meliputi: sistem sosial, bahasa, komunikasi, agama,
ekonomi dan teknologi, politik dan hukum. Yang termasuk penelitian budaya adalah
penelitian tentang naskah-naskah, alat-alat ritus keagamaan, sejarah agama, nilai-
nilai dari mitos-mitos yang dianut pemeluk agama, dan lain sebagainya.
Dalam konteks sebagai metodologi, antropologi merupakan ilmu tentang
masyarakat dengan titik tolak dari unsur-unsur tradisional, mengenai aneka warna,
bahasa dan sejarah perkembangan nya serta persebarannya , dan mengenai dasar-
dasar kebudayaan manusian dalam masyarakat. Memahami Islam secara antropologi
memiliki makna memahami Islam berdasarkan hal-hal tersebut diatas. Contohnya
adalah dalam memahami kisah atau cerita di dalam kitab Al-Quran yang dianalisis
dengan pendekatan antropologi.

c. Pendekatan Sejarah (Historis)


Secara bahasa, sejarah mempunyai arti cerita suatu rekonstraksi atau juga
kumpulan gejala empiris masa lampau. Ilmu sejarah mengamati proses terjadinya
prilaku manusia. Sistematisasi langkah-langkah pendekatan metode sejarah sebagai
berikut:
1. Pengumpulan objek yang berasal dari suatu zaman dan pengumpulan bahan-
bahan tertulis dan lisan yang relevan.
5
2. Menyingkirkan bahan-bahan yang tidak otentik (kritik atau verivikasi).
3. Menyimpulkan kesaksian yang dapat dipercaya berdasarkan bahan-bahan otentik.
4. Penyusunan kesaksian yang dapat dipercaya berdasarkan kisah atau penyajian
yang berarti.

Objek penelitan agama dalam persefektif sejarah akan lebih mudah bila
didasarkan pada periodisasi sejarah Islam sebagaimana yang telah dikembangkan oleh
para ahli seperti Ira M. Lapidus, Philip K. Hitti, dan lain sebagainya.
Jika hukum dipelajari dengan menggunakan pendekatan analisis sejarah, maka
orang menjadi terbuka terhadap perubahan dan pembeharuan hukum. Orang tidak lagi
akan memegang teguh pendirian bahwa hanya sesuatu aliran hukum sajalah yang benar
dan berlaku disemua tempat dan sepanjang waktu. Dengan menggunakan analisis sejarah,
akan terlihat universal pada hukum Islam adalah dasar dan tujuannya. Dasarnya ialah
tauhid yang tidak ada seorang muslim pun mengingkarinya dan tujuannya adalah
kemaslahatan umat dalam upaya mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Perbedaan
satu aliran dan aliran yang lain akan membawa maslahat bagi umat.4

d. Pendekatan Humaniora
Secara umum ilmu humniora dapat dikatakan sebagai pengetahuan tentang
manusia. Dalam hal ini yang menjadi titik sentral pembahasannya adalah mengenai
hak azasi manusia. Pada awalnya ide hak-hak azasi manusia timbul pada abad ke 17
dan abad ke-18 Masehi, sebagai reaksi terhadap keabsolutan para raja dan kaum
feodal terhadap rakyat yang mereka perintah dan mereka pekerjakan. Sehingga
klasifikasi masyarakat terbelah dua, lapitas atas umumnya minoritas dan memiliki
hak-hak serta lapisan bawah yang mayoritas dan mempunyai kewajiban-kewajiban.
A. Syafi‟i Ma‟arif mengemukakan dalam bukunya bahwanya tidak banyak
mendapatkan definisi tentang Humaniora, namun secara pasti Humaniora
(kebudayaan) adalah aktualisasi dari potensi manusia dalam wilayah fikiran, rasa,
dan kemauan. Dengan kata lain, kebudayaan adalah ciptaan manusia. Kalaulah
boleh dikatakan bahwa manusia merupakan pencipta kedua setelah Allah swt., bila
Allah swt. mencipta tanpa bahan baku, maka manusia mencipta berdasarkan bahan
baku yang telah tersedia.5

4
Khoiryah, metodelogi studi islam, h. 88-94
5
A. syafi’I ma’arrif, islam:kekuatan doktrin dan keagamaan umat, h.45

6
Lapisan bawah ini tidak memiliki hak-hak. Perlakuan terhadap mereka pun
lebih sering sebagai sebuah kesewenang-wenangan dari pihak yang berkuasa.
Mereka diperlakukan sebagai budak dan para pemilik mereka dapat berbuat
sekehendak hatinya. Derajat lapisan bawah ini sebagai manusia telah hilang.
Sebagai reaksi terhadap keadaan yang pincang ini, muncul ide agar lapisan
bawah itu, karena mereka adalah manusia juga, diangkat derajatnya dari lapisan
budak dan menjadi sama dengan lapisan atas. Ide ini muncul dan menonjol pada
peristiwa Revolusi Perancis di akhir abad ke-18 (14 Juli 1789) dengan misi
persamaan, persaudaraan dan kebebasan (egalite, fraternite, liberte). 6Adapun
Bagian-bagian dari pendekatan humanira antara lain yaitu:

a. Pendekatan filologi
Filologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani, yaitu kata “philos”
yang berarti „cinta‟ dan “logos” yang berarti „pembicaraan‟, „kata‟ atau „ilmu‟.
Pada kata “filologi” kedua kata itu secara harfiyah membentuk arti “cinta kata-
kata” atau “senang bertutur”. Arti ini kemudian berkembang menjadi “senang
belajar”, “senang kepada ilmu” atau “senang kebudayaan”, hingga dalam
perkembangannya sekarang filologi identik dengan „senang kepada tulisan-
tulisan yang „bernilai tinggi‟. 7
Sebagai istilah, kata „filologi‟ mulai dipakai kira-kira abad ke-3 SM
oleh sekelompok ilmuwan dari Iskandariyah. Istilah ini digunakan untuk
menyebut keahlian yang diperlukan untuk mengkaji peninggalan tulisan yang
berasal dari kurun waktu beratus-ratus tahun sebelumnya. Pada saat itu,
perpustakaan Iskandariyah mendapatkan banyak naskah berupa gulungan
papyrus dari beberapa wilayah di sekitarnya. Sebagian besar naskah tersebut
sudah mengandung sejumlah bacaan yang rusak dan korup, diantaranya adalah
naskah-naskah Alkitab yang muncul dalam beberapa versi. Keadaan ini
mendorong para ilmuwan untuk mengadakan kajian untuk mengetahui firman
Tuhan yang dianggap paling asli. Mereka menyisihkan kekeliruan-kekeliruan
yang terdapat dalam naskah-naskah kuno tersebut. Jika naskah yang mereka
hadapi dalam jumlah besar atau lebih dari satu naskah, maka kajian juga
dihadapkan pada bacaan-bacaan (varian-varian) yang berbeda.

6
Saifuddin zuhri, sejarah kebangkita dan perkembangan islam di Indonesia h. 481
7
Chamamah soeratno, studi filologi: pengertian filologi h.34

7
Dalam perkembangan terakhirnya, filologi menitikberatkan
pengkajiannya pada perbedaan yang ada dalam berbagai naskah sebagai suatu
penciptaan dan melihat perbedaan-perbedaan itu sebagai alternatif yang positif.
Dalam hubungan ini suatu naskah dipandang sebagai penciptaan kembali (baru)
karena mencerminkan perhatian yang aktif dari pembacanya. Sedangkan varian-
varian yang ada diartikan sebagai pengungkapan kegiatan yang kreatif untuk
memahami, menafsirkan, dan membetulkan teks bila ada yang dipandang tidak
tepat. Obyek kajian filologi adalah teks, sedang sasaran kerjanya berupa naskah.
Naskah merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan peninggalan
tulisan masa lampau, dan teks merupakan kandungan yang tersimpan dalam
suatu naskah. „Naskah‟ sering pula disebut dengan „manuskrip‟ atau „kodeks‟
yang berarti tulisan tangan.
Naskah yang menjadi obyek kajian filologi mempunyai karaktristik
bahwa naskah tersebut tercipta dari latar social budaya yang sudah tidak ada lagi
atau yang tidak sama dengan latar social budaya masyarakat pembaca masa kini
dan kondisinya sudah rusak. Bahan yang berupa kertas dan tinta serta bentuk
tulisan, dalam perjalanan waktu telah mengalami kerusakan atau perubahan.
Gejala yang demikian ini terlihat dari munculnya berbagai variasi bacaan dalam
karya tulisan masa lampau.
Dalam konteks keindonesiaan, manuskrip Islam terbagi ke dalam tiga
jenis. Pertama, manuskrip berbahasa dan tulisan Arab. Kedua, manuskrip Jawi,
yakni naskah yang ditulis dengan huruf Arab tapi berbahasa Melayu. Ketiga,
manuskrip Pegon, yakni naskah yang ditulis dengan huruf Arab tapi
menggunakan bahasa daerah seperti, bahasa Jawa, Sunda, Bugis, Buton, Banjar,
Aceh dan lainnya. Manuskrip keislaman di Indonesia lebih banyak berkaitan
dengan ajaran tasawuf, seperti karya Hamzah Fansuri, Syeh Nuruddin ar-Raniri,
Syeh Abdul Rauf alSingkili, dan Syeh Yusuf al-Makassari. Tidak sedikit pula
yang membahas tentang studi al-Quran, tafsir, qiraah dan hadis. Misalnya Syeh
Nawawi Banten dengan tafsir Marah Labib dan kitab Al-Adzkar. Ada pula Syeh
Mahfudz Termas dengan Ghunyah at-Thalabah fi Syarh ath-Thayyibah, al-Badr
al Munir fi Qiraah Ibn Katsir dan karya-karyanya yang lain. Sebagian karya-
karya tersebut sudah ditahqiq, dalam proses tahqiq, dan dicetak tanpa tahqiq
.Sementara sebagian besar lainnya masih berupa manuskrip. Padahal umumnya,

8
karya kedua tokoh ini juga menjadi rujukan dunia Islam, tidak hanya di
Indonesia.
Menilik dari sangat banyaknya khazanah klasik yang ada di Nusantara,
merupakan sebuah pekerjaan besar untuk mentahqiq kitab-kitab peninggalan
ulama klasik tersebut.
b. Pendekatan Hermaunetika
Secara etimologis, hermaneutika berasal dari istilah Yunani kata benda
hermeneia, yang berarti “interpretasi” dari kata kerja hermaneuin, yang berarti
8
“menafsirkan”. Istilah tersebut sering dihubungkan dengan tokoh mitologis
Yunani Hermes, yang bertugas menyampaikan pesan Yupiter kepada manusia.
Mitos ini menjelaskan tugas seorang Hermes yang begitu penting, yang bila
keliru dapat berakibat fatal. Hermes adalah simbol seorang duta yang dibebani
misi menyampaikan pesan sang Dewa. Berhasil atau tidaknya misi ini
tergantung pada cara bagaimana pesan itu disampaikan. Indikasi
keberhasilannya, manusia yang semula tidak tahu menjadi mengetahui pesan
itu.9
Pada Ensiklopedia Britanica tentang “heremeneutika‟‟ yang diungkap
oleh Fahmi Salim yang menyatakan bahwa “Hermeneutika adalah kajian tentang
kaidah–kaidah umum untuk menafsirkan Bibel, dan tujuan utama dari
hermeneutika dan metode-metode takwil Yahudi dan Nasrani sepanjang
sejarahnya adalah untuk menyingkap kebenaran dan nilai dari Bibel.10
Pada awalnya hermeneutika digunakan oleh kalangan agamawan.
Melihat hermeneutika dapat menyuguhkan makna dalam teks klasik, maka pada
abad ke-17 kalangan gereja menerapkan telaah hermeneutika untuk
membongkar makna teks Injil. Ketika menemukan kesulitan dalam memahami
bahasa dan pesan kitab suci itu mereka berkesimpulan bahwa kesulitan itu akan
terbantu pemechannya oleh hermeneutika.11
Memasuki abad ke-20, kajian hermeneutika semakin berkembang,
F.D.E. Schleirmacher, filsuf yang kelak digelari Bapak Hermeneutika modern
ini, memperluas cakupan hermeneutika tidak hanya dalam bidang sastra dan
kitab suci. Ia melihat sebagai metode interpretasi, hermeneutika sangat besar
8
Jamali sahrodi, metodelogi studi islam, h.106
9
Sibawaihi, hermenutika alquran fazlur rahman, h.7
10
Fahmi salim, kritik terhadap studi alquran kaum liberal, h.124
11
Sibawahi, hermenuitika alquran fazlur rahman, h.12

9
artinya bagi keilmuan dan bisa diadopsi oleh semua kalangan. Faktanya,
sekarang berbagai disiplin ilmu menyadari arti pentingnya, dan hermeneutika di
zaman ini telah masuk ke bidang- bidang semisal agama (kitab suci), sastra,
sejarah, hukum dan filsafat. Hingga akhir abad ke-20.
Hermeneutika tidak hanya berkembang di dunia Barat. Ia meluas dan
menembus sekat-sekat agama dan budaya. Islam yang selama ini memiliki cara
penafsiran tersendiri, yang disebut ilmu tafsir, juga ditembus hermeneutika.
Beberapa pakar Muslim modern melihat signifikansi hermeneutika, khususnya
untuk memahami al-Qur‟an. Bahkan, mereka menilai bahwa ilmu tafsir yang
selama ini dijadikan acuan dalam memahami al-Qur‟an ternyata memiliki
berbagai keterbatasan. Aktivitas dalam ilmu tafsir yang menekankan
pemahaman teks semata, tanpa mau mendialogkannya dengan realitas yang
tumbuh ketika teks itu dikeluarkan dan dipahami oleh pembacanya, misalnya
mengandaikan bahwa ilmu tafsir tidak menempatkan teks dalam dialektika
konteks dan kontekstualisasinya. Teks al-Qur‟an akan sulit dipahami oleh
berbagai pembaca lintas generasi.12
Dengan adanya keterbatasan ini, ditambahkan lagi dengan mengaitkan
fakta bahwa mereka dibatasi dengan segenap aturan normatif, aturan yang
dihubungkan dengan pelanggaran terhadap hukum Tuhan. Seorang peneliti
dibebani dengan syarat harus berakidah yang benar, berakhlak mulia, bersifat
ikhlas, berhati jujur, dan sebagainya. Bila syarat-syarat ini tidak dipenuhi maka
ide penafsirannya tidak diakui.13
Hal ini yang membuat para pemikir kontemporer melihat jika hal ini
dibiarkan terus-menerus, maka umat Islam tidak akan mampu menembus lautan
makna yang dibentangkannya dibalik ayat-ayat al-Qur‟an. Demikian halnya jika
metode tafsir selama ini menempatkan teks sebagai satu-satunya area kajian,
maka sudah saatnya segala unsur empiris-psikologis-kultural yang terlibat dalam
pembentukan teks itu dieksplorasi. Faktor inilah yang ditemukan dalam
pembahasan hermeneutika. Maka, hermeneutika menjadi alternatif baru dalam
upaya rekonstruksi keilmuan tafsir.14

12
Ibid, h.11
13
Ibid, h.14
14
Ibid, h.16

10
Hermeneutik dalam pemikiran Islam pertama-tama diperkenalkan oleh
Hassan Hanafi dalam karyanya yang berjudul Les methods d‟exeges. Essai sur
la Science des Fordements de la Comprehension, „Ilm Ushul al-Fiqh (1965),
sekalipun tradisi hermeneutik telah dikenal luas diberbagai ilmu-ilmu Islam
tradisional, terutama tradisi ushul al-fiqh dan tafsir al-Qur‟an. Oleh Hasan
Hanafi, penggunaan hermeneutik pada mulanya hanya merupakan
eksperimentasi metodologis untuk melepaskan diri dari positivisme dalam
teoritis hukum Islam dan ushul fiqh. Sampai di situ, respon terhadap tawaran
atas hermeneutiknya hampir hampir tidak ada.
Satu hal yang menunjol dari Hermeneutik Hasan Hanafi dalam
pemikirannya secara umum adalah muatan idiologisnya yang syarat-syarat dan
maksudnya sangat praksis. Tipikal pemikiran revolusioner semacam ini, justru
sangat berbeda dengan meinstream umat Islam yang masih terkungkung oleh
lembaga-lembaga tradisionalisme dan ortodoksi.15
Hermeneutik, sebagaimana disebut di atas, pada dasarnya merupakan
suatu metode penafsiran yang berangkat dari analisis bahasa dan kemudian
melangkah keanalisis konteks, untuk kemudian “menarik” makna yang didapat
ke dalam ruang dan waktu saat proses pemahaman dan penafsiran tersebut
dilakukan. Jika pendekatan hermeneutika ini dipertemukan dengan kajian al-
Qur‟an, maka persoalan dan tema pokok yang dihadapi adalah bagaiman teks al-
Qur‟an hadir di tengah masyarakat, lalu dipahami, ditafsirkan, diterjemahkan,
dan didialogkan dengan dinamika realitas historisnya. 16
Lebih jauh merumuskan metode tersebut, Fahrudin Faiz menyatakan,
ketika asumsi-asumsi hermeneutika diaplikasikan pada Ulumul al-Qur‟an, ada
tiga variabel yang harus diperhatikan, yaitu teks, konteks, dan kontekstualisasi.
Tentang teks, sudah jelas ulumul al-Qur‟an telah membahasanya secara detail,
misalnya dalam sejarah pembukuan mushaf al-Qur‟an dengan metode riwayat.
Tentang konteks, ada kajian asbabul nuzul, nasikh mansukh, makki-madani
yang katanya menunjukkan perhatian terhadap aspek “konteks” dalam
penafsiran al-Qur‟an. Tapi, faiz menyatakan bahwa kesadaran konteks hanya
membawa ke masa lalu. Maka kata dia, harus ditambah variabel
kontekstualisasi, yaitu menumbuhkan kesadaran akan kekinian dan segala logika

15
Ibid, h.12
16
Ibid, h.14

11
serta kondisi yang berkembang didalamnya. Variabel kontekstualisasi ini adalah
perangkat metodologis agar teks yang berasal dari masa lalu dapat dipahami dan
bermanfaat bagi masa sekarang.17
Dalam hal ini dapat dicontohkan tentang hukum potong tangan dalam
al-Qur‟an. Meski secara tegas dalam al-Qur‟an tertulis kewajiban hukum potong
tangan bagi pencuri, namun hal tersebut dapat dipahami secara berbeda. Dalam
kacamata hermeneutik, pesan yang tidak terkatakan adalah adanya keadilan
dalam pemenuhan hak dan kewajiban. Hak untuk memiliki suatu benda tidak
boleh dicapai dengan cara-cara yang mengesampingkan aturan-aturan yang ada.

c. Pendekatan Feminisme
Feminisme berasal dari kata latin femina yang berarti memiliki sifat
keperempuanan. Feminisme diawali oleh persepsi tentang ketimpangan posisi
perempuan dibandingan laki-laki di masyarakat. Akibat persepsi ini, timbul
berbagai upaya untuk mengkaji penyebab ketimpangan tersebut untuk
mengeliminasi dan menemukan formula penyetaraan hak perempuan dan
lakilaki dalam segala bidang, sesuai dengan potensi mereka sebagai manusia
(human being).18
Yanti Muchtar dalam jurnal perempuan memberikan tiga pandangan
yang cukup signifikan mengenai definisi feminisme. Pandangan pertama
menyatakan bahwa feminisme adalah teoriteori yang mempertanyakan pola
hubungan kekuasaan laki-laki dan perempuan. Pandangan kedua, berpendapat
bahwa seseorang dapat dicap sebagai feminis sepanjang pikiran dan tindakannya
dapat dimasukkan ke dalam aliran-aliran feminis yang dikenal selama ini,
seperti feminisme liberal, radikal, marxis, dan sosialis. Pandangan ketiga, adalah
pandangan yang berada antara pandangan pertama dan kedua, berpendapat
bahwa feminisme adalah sebuah gerakan yang didasarkan pada adanya
kesadaran tentang penindasan perempuan yang kemudian ditindaklanjuti oleh
adanya aksi untuk mengatasi penindasan tersebut. Jadi seseorang dapat
dikatagorikan feminis selama ia memiliki kesadaran akan penindasan yang
diakibatkan oleh beberapa hal dan melakukan aksi tertentu untuk mengatasi

17
Ibid, h.28
18
Dadang s. anshari, membincangkan feminis, h.19

12
masalah penindasan tersebut, terlepas dari apakah ia melakukan analisis
hubungan kekuasaan laki-laki dan perempuan atau tidak.19
Yang dimaksud dengan pendekatan feminisme dalam kajian Islam
adalah bagaimana mengkaji Islam melalui alat analisis /metodologi yaitu
feminisme. Sebagaimana penjelasan di atas, bahwa inti dari feminisme adalah
tuntutan terhadap kesetaraan antara laki-laki dan perempuan seperti yang
dilakukan oleh tokoh-tokoh feminisme Islam untuk membebaskan perempuan
dari posisi sub-ordinat laki-laki. Pendekatan ini banyak dilakukan oleh tokoh
feminis untuk mengkaji ayat-ayat ataupun hadis yang terkesan „missogini‟ yang
sering ditafsirkan sebagai bukti supremasi laki-laki. Menurut Komarudin, hal
tersebut disebabkan seringkali al-Qur‟an dipahami secara teologis, sehingga
penafsiran yang muncul cenderung dogmatis, membenarkan al-Qu‟an sesuai
teksnya. Sehingga muncullah penafsiran-penafsiran yang memposisikan
20
perempuan dalam posisi inferior dibanding laki laki. Sayangnya dokrin
tersebut sudah mendarah daging pada masyarakat Islam sehingga disinilah
perlunya kaum feminis untuk melakukan pembelaan dengan melakukan
berbagai penafsiran dengan pendekatan feminis terhadap ayat-ayat yang
missoginis tersebut.
Para mufassir feminis cenderung menggunakan analisis gender untuk
memahami ayat-ayat al-Qur‟an yang biasa memakai hermeneutika, yang
cenderung menjadikan interpretasi sebagai “latihan kecurigaan”. Dalam hal ini
dilakukan demistifikasi atas symbol-simbol keagamaan yang berkaitan dengan
persoalan gender, dicari penjelasan mengapa ayat-ayat yang bias gender bias
masuk ke dalam kitab suci. Dalam analisis tersebut, visi yang berkaitan dengan
feminisme yang ingin membangun masyarakat berdasarkan kesetaraan gender
dipakai untuk membaca, menerangi dan selanjutnya mencurigai ayat-ayat yang
“bias” gender tersebut. Tetapi kemudian visi yang datang dari luar ini digunakan
untuk menunjukkan bahwa dalam ayat-ayat al-Qur‟an termuat nilai-nilai
kesetaraan tersebut, meskipun tentu saja secara imlisit. Visi kesetaraan itu
sendiri baru terlihat setelah dilakukan pebongkaran terhadap ayat-ayat
tersebut.21

19
Husein Muhammad, islam agama ramah perempuan, h.13
20
Komaruddin hidayat, memahami bahasa agama, h.9
21
Ahmad bhaidawi, tafsir feminis, h.60

13
Dalam upaya pembongkaran tersebut, pengaru hermeneutika
postmodern sangat tampak. Bagi mufassir feminis yang menggunakan “latihan
kecurigaan” ini, semua bentuk sentralisme dianggap sebagai suatu sikap yang
totaliter. Membaca perempuan dari sudut pandang laki-laki adalah bertentangan
dengan pesan dasar keagamaan yang meletakkan laki-laki dan perempuan setara
di hadapan Allah. Pembongkaran semua bentuk sentralisme ini dilakukan
dengan cara menolak argument apapun yang menyatakan ketidak setaraan
gender demi menjunjung tinggi pandangan yang sebaliknya: kesederajatan laki-
laki dan perempuan yang sesungguhnya.
Seperti penafsiran-penafsiran ayat-ayat missoginis oleh kaum feminis
berikut ini: Sebagai contoh, ayat dalam surat alBaqarah ayat 228 , yang artinya:
“kaum laki-laki satu derajat diatas lebih tinggi dari pada wanita” Begitu juga
dalam surat an-nisa‟ ayat 34: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum
wanita” yang menurut para mufassir diartikan dengan pemimpim, pelindung,
penanggung jawab, pendidik dan lain-lain. Dan masih banyak lagi baik al-
Qur‟an maupun hadis yang sering ditafsirkan para ulama‟ (kebanyakan laki-laki)
yang cenderung menunjukkan supremasi laki-laki.
Dalam menyikapi ayat ini, kalangan feminispun melakukan pembelaan
dengan melakukan penafsiran ayat di atas melalui pendekatan feminis untuk
menafsirkannya, dimana kata Qawwam adalah laki-laki berkewajiban
menyediakan nafkah (fungsi produksi), sekaligus sebagai pendukung fungsi
produksi perempuan dan perempuan sendiri berkewajiban sebagai pengemban
fungsi produksi.
Dalam hal ini feminis melihat seorang berhak menjadi pemimpin
bukan dari fisiknya (jenis kelamin) melainkan kemampuan yang dimiliki
sebagai pemimpin, jika wanita yang memiliki kemampuan menjadi pemimpin
maka wanita juga boleh menjadi pemimpin.
Lafad bima faddalla Allah adalah kelebihan laki-laki atas perempuan.
Itu bukan berarti Allah lebih memuliakan laki-laki disbanding perempuan,
sebagaimana yang diasumsikan selama ini. Menurut al-Razi dalam tafsir al-
Kabir, kelebihan itu ada dua hal yaitu ilmu pengetahuan dan kemampuan fisik.
Sedangkan menurut zamah syari kelebihan laki-laki atas perempuan Karen akal,
ketegasan, tekatnya yang kuat atau secara umum mempunyai kemampuan dan

14
keberanian. Argumen ini menampakkan kalau wanita tidak mempunyai akses
sama dengan laki-laki.
Jadi, sebenarnya makna pemimpin disini adalah tugas lakilaki menjaga
perempuan. Oleh karena itu, seandainya kita dapat memahami mkasud ayat
tersebut, maka kita akan mengetahui maksud dari ayat yang memerintahkan
kepada laki-laki untuk memenuhi seluruh kebutuhan perempuan. Dan makna
kelebihan laki-laki adalah kepemimpinan yang telah Allah embankan kepadanya
merupakan kelebihan. Sedangkan kaum wanita juga memiliki keterampilan yang
tidak dapat dimiliki laki-laki. Allah menjadikan keterampilan tersebut sebagai
keistimewaan dan kelebihan tersendiri bagi keduanya. 22 Karena keduanya
mempunyai kodrat (kemampuan) tertentu yang berbeda yang tidak dapat ditukar
satu sama lain. Menurut Munir; 1999. Perbedaan tersebut menyangkut dua hal,
yaitu perbedaan biologis dan fungsional dalam kehidupan social.23 Dimana
perbedaan biologis ini tidak dapat diingkari karena bersifat alamiah seperti
halnya dalam dunia mahluk ada jantan ada betina. Adanya perbedaan fisik
biologis, susunan saraf, otak, darah dan lain-lain membentuk watak yang
berbeda pula, sehingga menimbuklan adanya watak keperempuanan (feminis)
dan watak kelalki-lakian (maskulin). Akibat dari perbedaan tadi sehingga timbul
perbedaan secara fungsional. Misalnya dalam kehidupan (suamiisteri), dalam
kedudukan masing-masing pihak mempunyai perbedaan fungsional. Seperti
kaitannya dengan reproduksi, fungsi laki-laki dan perempuan berbeda, tidak
mungkin sama. Laki-laki adalah pemberi bibit dan perempuan yang menampung
dan mengembangkan bibit itu dalam rahimnya. Hal itu merupakan fungsi
alamiah yang merupakan cirri khas keperempuanan, yang tidak mungkin diganti
laki-laki. Tetapi perempuan juga tidak mungkin melakukan fungsi kalau tidak
ada laki-laki yang membuahi.
Dari perbedaan fungsi di atas tidak harus menimbulkan perbedaan
mengenai hakikat kemanusiaan. Karena dengan adanya perbedaan fungsi tadi
maka muncul beberapa kewajiban yang berbeda. Misalnya ketika perempuan
mengandung dan bersalain, maka imbangannya laki-laki berkewajiban
menafkahi.

22
Syaih mutawali, fiqh perempuan (muslimah), h.3
23
Lili zakiyah munir, memposisikan kodrat (perempuan dan perubahan dalam perspektif islam) h.67

15
Dengan demikian perbedaan bukan berarti untuk mendiskriminasi
24
melainkan untuk saling melengkapi. Dengan kata lain, perbedaa-perbedaan
disini adalah untuk tujuan kemaslahatan sebagai jalan menuju keadilan sebagai
inti dari agama yang harus kita syukuri, bukan dengan melakukan gerakan
feminisme dan emansipasi yang menjurus pada pengingkaran kodrat, seperti
yang dilakukan wanita-wanita barat yang hendak menyamakan perempuan dan
laki-laki di semua sector kehidupan.
Dalam proses dekonstruksi ini terdapat dua hal yang harus
diperhatikan. Pertama adalah memahami keseluruhan proses “representasi”,
yakni segala hal yang berkaitan dengan ide, gambaran, narasi dan produk
keilmuan atau penafsiran atas perempuan dalam Islam selama ini. Realitas ke-
inferioritas-an perempuan dalam Islam adalah karena intertekstualitas dari
kitabkitab tafsir dan fiqh yang berupaya menjelaskan “teks-teks” tertentu dalam
al-Qur‟an yang dipakai untuk menunjukkan tentang posisi perempuan dalam
Islam. Artinya kalau saja “teks” yang dihadirkan adalah yang lain, tentu realitas
perempuanpun akan lain. Untuk mewujudkan realitas perempuan ynag tidak
inferior, para feminis memandang perlunya menghadirkan teks yang baru. Kritis
terhadap representasi berarti kritis terhadap teks, dan kritis terhadap teks berarti
curiga dan selanjutnya melakukan pembongkaran, sehingga teks menjadi
“terbuka.” Tentu saja ini tidak berarti mengubah al-Qur‟an, melainkan justru
untuk mengedepankan semangat dasar al-Qur‟an sesuai dengan prasangka
zamannya. Kedua, memahami keterkaitan antara pengetahuan dan kekuasaan.
Setiap pengetahuan-teks, representasi, ide, gambaran, penafsiran-adalah
kekuasaan, tidak ada pengetahuan yang terbebas dari kekuasaan, sebaliknya
kekuasaan selalu berkaitan dengan pengetahuan yang selalu bermuatan
kepentingan. Selama ini menurut kaum feminis, penafsiran ayat al-Qur‟an yang
terkait dengan perempuan cenderung membela kepentingan laki-laki. Bagi
mereka kesetaraan yang mestinya dibela dalam sebuah penafsiran.25
Dengan memahami dua hal tersebut, para mufassir feminis kemudian
berupaya memulai suatu penafsiran baru berdasarkan visi kesetaraan gender
yang adil. Penafsiran baru ini dihadirkan, sekali lagi, bukan untuk mengubah al-
Qur‟an, melainkan justru untuk menghadirkan sudut pandang tentang

24
Ibid, h.69
25
Ibid, h.63

16
perempuan sebagai subyek yang tidak inferior, melainkan yang sama-setara
dengan laki-laki.

2.3 Pendekatan Multidisipliner Sebagai Model Interdisipliner


Menurut A. E. Prentice yang dikutip Rahmat, interdisipliner merupakan
interaksi intensif antara satu disiplin atau lebih, baik yang langsung berhubungan maupun
yang tidak, melalui program-program penelitian, dengan tujuan melakukan integrasi
konsep, metode maupun analisis. Maka pendekatan interdisipliner merupakan pendekatan
dalam pemecahan suatu masalah dengan menggunakan tinjauan berbagai sudut pandang
ilmu serumpun yang relevan secara terpadu. Pendekatan interdisipliner ini memiliki ciri
utama sudut pandang ilmu serumpun yang terintegrasi. 26
Sebagaimana dikutip Ana Nadia Abdah, Melsen menyatakan bahwa
multidisipliner berarti kerjasama antara ilmu pengetahuan yang masing-masing tetap
berdiri sendiri dan dengan metode sendiri sendiri. Demikian juga Kaelan juga
menjelaskan bahwa multidispliner merupakan interkoneksi antarsatu ilmu dengan ilmu
lain, namun masing-masing bekerja berdasarkan disiplin dan metodenya sendiri. Maka
pendekatan multidisipliner merupakan pendekatan dalam pemecahan suatu masalah
dengan menggunakan tinjauan berbagai sudut pandang banyak ilmu yang relevan.
Pendekatan multidisipliner ini menekankan pada tinjauan multiperspektif ilmu yang
terkait dengan masalah yang dipecahkan.
Pendekatan multidisipliner ini memiliki nilai guna yang tinggi. Mapuranga
Barbra dan Phillipa Mutswanga menyatakan bahwa kegunaan pendekatan multidisipliner
tercermin pada harapan beberapa sumber yang mengatakan bahwa ahli-ahli yang
bervariasi akan berkolaborasi untuk memberikan masyarakat dengan dukungan disabilitas
untuk menjalani kehidupan yang penuh makna.
Lantaran kegagalan pendekatan monodisipliner dalam memecahkan masalah,
sehingga perlu dikembangkan filsafat baru, multidisipliner. Masalah sosial, termasuk
ekonomi, politik, hukum dan budaya, tidak bisa ditangani dengan menggunakan satu
pendekatan, satu bidang ilmu yang memakai „kacamata kuda‟. Semua ilmu harus
ditempuh dalam memecahkan masalah sosial. Misalnya masalah korupsi tidak bisa hanya
dipecahkan menggunakan cara ekonomi saja seperti menaikkan gaji dan pendapatan,
tetapi juga membutuhkan hukum yang tegas, politicall will yang serius, pendidikan yang

26
Mujamil Qomar, Filsafat Pendidikan Islam Multidisipliner, hlm.2.

17
intensif, dan internalisasi budaya malu. Pendekatan multidisipliner ini secara rasional
begitu meyakinkan dalam mengimplementasikan pendidikan Islam, namun faktanya di
lapangan belum tentu berbanding lurus dengan pertimbangan rasional itu. Karena terdapat
faktor tertentu yang berada di luar kawasan rasional, tetapi memiliki kekuatan untuk
menolaknya. Setidaknya pendekatan baru sangat potensial menimbulkan sikap
kontroversial. Pengalaman penerapan pendekatan interdisipliner dalam hal ini bisa
dijadikan contoh yang banyak mengandung pelajaran berharga. Lukman S. Thahir
menjabarkan bahwa di satu sisi terdapat kelompok yang menolak Islam dikaji secara
interdisipliner, karena pendekatan ini dapat merusak moral dan akidah mahasiswa, serta
mengesankan studi-studi Islam konvensional akan ditinggalkan. Sedangkan di sisi lain,
terdapat kelompok yang menerima Islam

dikaji dengan pendekatan interdisipliner, karena ilmu-ilmu bantu tersebut


mampu membantu memahami Islam secara makin komprehensif. Dalam konteks IAIN,
ada tiga kecenderungan berpikir di IAIN: (1) diskursus teologi yang bercorak
„transendental-spekulatif; (2) bercorak „legal-formalistik‟; dan (3) bercorak „deduktif-
monolitik‟. Kecenderungan pertama memposisikan Tuhan sebagai segala sesuatu yang
terlepas dari dunia realitas; kecenderungan kedua memandang ajaran Islam sebagai
sesuatu yang baku; sedangkan kecenderungan ketiga memandang Islam secara parsial, a
historis, satu arah atau monolitik.19 Oleh karena itu, untuk merespons kencedungan
berpikir tersebut, terdapat tiga pendekatan yang bisa digunakan: pertama, pendekatan
fungsional ala C. A. Van Peursen, untuk merespons kecenderungan berpikir
metafisikspekulatif; kedua, pendekatan filsafat kritis Jurgen Habermas untuk merespons
pola berpikir legal-formalistik; dan ketiga, pendekatan epistemologi neo-modernis Islam
untuk merespons pola berpikir parsial dan monolitik.

Pendidikan Islam sebagai ilmu empirik, lebih tepat didekati dengan


menggunakan pendekatan terbuka. Dan pada pendekatan ini lebih releavan dengan
perkembangan tuntunan zaman. Sedemikian pendekatan ini diaplikasikan dalam ilmu
pendidikan Islam, sehingga ilmu ini akan tetap eksis dan up-to-date.

Salah satu jenis pengembangan ilmu dengan pendekatan terbuka adalah


pendekatan multidisipliner, yakni mengembangkan suatu disiplin ilmu, dalam hal ini ilmu
pendidikan Islam. Dengan memanfaatkan bantuan ilmu-ilmu lain, seperti psikologi,
sosiologi, filsafat, tasawuf, ilmu kalam dan sejarah.

18
Dengan pendekatan multidisipliner ini, beberapa orang dengan beberapa
keahlian kerja sama mengadakan penelitian atau eksperimentasi yang hasilnya dapat
diintegrasikan sebagai suautu proyek besar.

Noeg Muhadjir membedakan pendekatan multidisipliner dengan pendekatan


indisipliner. Menurutnya, titirk tolak pendekatan yang pertama adalah disiplin ilmu
tertentu dalam hal ini pendidika Islam. Hasil studi disiplin lain dimanfaatkan oleh disiplin
tertentu tersebut. Dengan demikian, produk studi pendekatan interdisipliner adalah
produk suatu disiplin ilmu. Pendekatan interdisipliner merupakan usaha studi bersama
berbagai disiplin ilmu, sehingga produknya merupakan interdisiplin. Produk kerja
seorang guru agama Islam, misalnya, merupakan prodk multidisipliner.27

Dengan menggunakan telaah multidisipliner, kita mencoba mendialogkan


antara ilmu pendidkan Islam dengan ilmu-ilmu lainnya, sehingga pendidikan Islam
kontemporer berani tampil dalam percaturan keilmuan dalam skala yang lebih luas.
Pendekatan multidispliner, tidak saja menjadikan suatu disiplin ilmu itu eksis dan relevan
dengan konteks keilmuan pada zamannya, tetapi juga berpengaruh terhadap
berkembangnya disiplin tersebut. Dialog dan saling menyapanya ilmu pendidikan Islam
secara intens dengan disiplin-disiplin lainnya, maka terlahirlah disiplin-disiplin baru
seperti: psikologi pendidikan Islam, sosiologi pendidikan Islam, filsafat pendidikan Islam,
dan sejarah pendidikan Islam.

27
Mahfud Junaedi, Paradigma Baru Filsafat Pendidikan Islam, h.161.

19
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Teologi, ilmu yang membahas tentang keyakinan adalah sesuatu yang
fundamental (mendasar) dalam agama
Pengertian Pendekatan Ilmu Sosial Dan Humaniora dalam Studi Islam
Terminologi ilmu merupakan terjemah dari dalam bahasa inggris science.
Istilah science berasal dari bahasa latin scientia yang berarti pengetahuan.
Sebagaimana yang dikemukkakan oleh The Liang Gie ilmu dipandang sebagai
kumpulan pengetahuan sistemtis, metode penelitian, dan aktivitas penelitian.
Pengertian ilmu sosial merupakan suatu konsep akademik yang memberikan
perhatian pada aspek-aspek kemasyarakatan manusia. Bentuk tunggal ilmu sosial
menunjukkan sebuah komunitas dan pendekatan yang saat ini hanya diklaim oleh
beberapa orang saja; sedangakan bentuk jamaknya, ilmu-ilmu sosial mungkin istilah
tersebut merupakan bentuk yang lebih tepat. Ilmu-ilmu sosial mencakup sosiologi,
antropologi, psikologi, ekonomi, geografi sosial, bahkan sejarah walaupun disatu sisi
ia termasuk ilmu humaniora.
Menurut A. E. Prentice yang dikutip Rahmat, interdisipliner merupakan
interaksi intensif antara satu disiplin atau lebih, baik yang langsung berhubungan
maupun yang tidak, melalui program-program penelitian, dengan tujuan melakukan
integrasi konsep, metode maupun analisis. Maka pendekatan interdisipliner
merupakan pendekatan dalam pemecahan suatu masalah dengan menggunakan
tinjauan berbagai sudut pandang ilmu serumpun yang relevan secara terpadu.
Pendekatan interdisipliner ini memiliki ciri utama sudut pandang ilmu serumpun yang
terintegrasi.

3.2 Saran
Alhamdulillah, semoga pemaparan materi diatas bisa memperluas ilmu sejarah
tentang Beberapa Pendekatan Dalam Studi Agama Islam untuk para pembaca, jika
terdapat kekurangan dari segi penulisan hingga kecukupan materi penulis mohon maaf,
dan menyarankan untuk pembaca agar dapat menciptakan makalah lebih baik dari pada
penulis baik dari segi penulisan hingga kecukupan dalam segi materi yang disampaikan.

20
DAFTAR PUSTAKA

Supardan Dadang, Pengantar Ilmu Sosial, Jakarta: Bumi Aksara, 2013

Mudzar Atho, Pendekatan Studi Islam Dalam Teori Dan praktek, yogyakarta: PUSTAKA
PELAJAR, Cet. VII, 2011.

Khoiriyah, Metodologi Studi Islam, yogyakarta: Penerbit Teras , 2013.

A. Syafi‟i Ma‟arif , Islam: Kekuatan Doktrin dan Keagamaan Umat ( Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 1997), cet. I.

Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan dan Perkembangan Islam di Indonesia ( Bandung :al-
Maarif, 1979)

Chamamah Soeratno, Siti. 1999. “Studi Filologi: Pengertian Filologi”. Yogyakarta IAIN Sunan
Kalidjaga

Jamali Sahrodi, Metodologi Studi Islam (Bandung : CV. Pustaka Setia,2008)

Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur‟an Fazlur Rahman, (Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra


Cetakan I, 2007)

Fahmi Salim, Kritik terhadap Studi Al-Qur‟an Kaum Liberal, (Jakarta: Pe spektif, 2010)

Dadang, S. Anshari, ed. dkk. Membincangkan Feminis (refleksi muslimah atas peran social
seorang wanita), (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997)

Husein Muhammad, Islam agama ramah perempuan (pembelaan kiai pesantren)


(Yogyakarta:LKIS, 2004)

Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama (Jakarta: Yayasan Paramadina, 1996)

Ahmad Baidhawi, Tafsir Feminis (kajian perempuan dalam al-Qur‟an dan tafsir
kontempoer)

Syaih Mutawali As- Sya‟rawi, fikih perempuan (muslimah) (Jakarta: Amzan. 2005) hlm. 34,
Baca juga Nurjannah Ismail, Perempuan dalam pasungan, bias laki-laki dalam penafsiran
(Yogyakarta: LKIS, 2003)

Lili Zakiyah Munir,. Memposisikan kodrat (perempuan dan perubahan dalam perspektif
islam) (Bandung: Mizan, 1999)

Mujamil Qomar , Filsafat Pendidikan Islam Multidisipliner , Jurnal Prosiding Seminar


Nasional Prodi PAI ,2019

Mahfud Junaedi, Paradigma Baru Filsafat Pendidikan Islam, (Depok: Kencana, 2017)

Luluk nur mufidah, pendekatan teologi dalam kajian islam, vol 2. 1 Juni 2017

21

Anda mungkin juga menyukai