Anda di halaman 1dari 23

BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian hadits
a. Secara Terminologi
            Ahli hadits dan ahli ushul berbeda pendapat dalam memberikan pengertian
hadits. Di kalangan ulama hadits sendiri ada juga beberapa definisi yang antara satu
sama lain agak berbeda.
Ada yang mendefinisikan hadits, adalah :
"Segala perkataan Nabi SAW, perbuatan, dan hal ihwalnya".
Ulama hadits menerangkan bahwa yang termasuk "hal ihwal", ialah segala pemberitaan
tentang Nabi SAW, seperti yang berkaitan dengan himmah, karakteristik, sejarah
kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaanya.
Ulama ahli hadits yang lain merumuskan pengertian hadits dengan :
"Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir,
maupun sifatnya".
Ulama hadits yang lain juga mendefiniskan hadits sebagai berikut :
"Sesuatu yang didasarkan kepada Nabi SAW. baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir,
maupun sifatnya".
            Dari ketiga pengertian tersebut, ada kesamaan dan perbedaan para ahli hadits
dalam mendefinisikan hadits. Kasamaan dalam mendefinisikan hadits ialah hadits
dengan segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik perkataan maupun
perbuatan. Sedangkan perbedaan mereka terletak pada penyebutan terakhir dari
perumusan definisi hadits. Ada ahli hadits yang menyebut hal ihwal atau sifat Nabi
sebagai komponen hadits, ada yang tidak menyebut. Kemudian ada ahli hadits yang
menyebut taqrir Nabi secara eksplisit sebagai komponen dari bentuk-bentuk hadits.
Tetapi ada juga yang memasukkannya secara implisit ke dalam aqwal (perkataan nabi)
atau afal ( perbuatan nabi).

 
Sedangkan ulama Ushul, mendefinisikan hadits sebagai berikut :
"Segala perkataan Nabi SAW. yang dapat dijadikan dalil untuk penetapan hukum
syara'".
Berdasarkan rumusan definisi hadits baik dari ahli hadits maupun ahli ushul, terdapat
persamaan yaitu ;
 "memberikan definisi yang terbatas pada sesuatu yang disandarkan kepada Rasul SAW,
tanpa menyinggung-nyinggung perilaku dan ucapan sahabat atau tabi'in. Perbedaan
mereka terletak pada cakupan definisinya. Definisi dari ahli hadits mencakup segala
sesuatu yang disandarkan atau bersumber dari Nabi SAW, baik berupa perkataan,
perbuatan, dan taqrir (ketetapan nabi muhammad).
Sedangkan cakupan definisi hadits ahli ushul hanya menyangkut aspek perkataan Nabi
saja yang bisa dijadikan dalil untuk menetapkan hukum syara'.
b. Secara Etimologi
            Hadis atau al- hadits menurut bahasa adalah al- jadid yang artinya (sesuatu yang
baru) artinya yang berarti menunjukkan kepada waktu yang dekat atau waktu yang
singkat seperti
‫ْث ال َع ْه ِد فِى ْأِإل ْساَل ِم‬
ُ ‫ َح ِدي‬ (orang yang baru masuk/ memeluk islam).
Hadis juga sering disebut dengan al- khabar, yang berarti berita, yaitu sesuatu yang
dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain, sama maknanya
dengan hadis.
c. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
            Sabda, perbuatan, takrir (ketetapan) Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan
atau diceritakan oleh sahabat untuk menjelaskan dan menentukan hukum islam
2.  Beberapa pengertian (istilah) dalam ilmu hadits
 Muttafaq 'Alaih: Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam
Muslim dari sumber sahabat yang sama, atau dikenal juga dengan Hadits
Bukhari - Muslim.
 . As Sab'ah: yaitu hadits yang diriwayatkan oleh tujuh perawi. As Sab'ah berarti
tujuh perawi, yaitu:
1.      Imam Ahmad
2.      Imam Bukhari
3.      Imam Muslim
4.      Imam Abu Daud
5.      Imam Tirmidzi
6.      Imam Nasa'i
7.      Imam Ibnu Majah
 . As Sittah
                        Yaitu enam perawi yang tersebut pada As Sab'ah, kecuali Imam Ahmad
bin Hanbal.
 . Al Khamsah
    Yaitu lima perawi yang tersebut pada As Sab'ah, kecuali Imam Bukhari dan Imam
Muslim.
 . Al Arba'ah
     Yaitu empat perawi yang tersebut pada As Sab'ah, kecuali Imam Ahmad, Imam
Bukhari dan Imam Muslim.
 . Ats tsalatsah
     Yaitu tiga perawi yang tersebut pada As Sab'ah, kecuali Imam Ahmad, Imam
Bukhari, Imam Muslim dan Ibnu Majah.
 . Perawi
     Yaitu orang yang meriwayatkan hadits.

   Assunnah
1.      Pengertian sunnah 
Sunnah berasal dari bahasa arab yang secara etimologis berarti’ jalan yang
biasa dilalui” atau “cara yang senantiasa dilakukan “ , atau “kebiasaan yang selalu
dilaksanakan”, apakah kebiasaan atau cara itu sesuatu kebiasaan yang baik atau
buruk.
Secara terminologis(dalam istilah sari’ah),  sunnah bisa dilihat dari tiga bidang
ilmu, yaitu dari ilmu hadist, ilmu fiqh dan ushul fiqih.Sunnah menurut para ahli
hadist identik dengan hadist, yaitu: seluruh yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad SAW, baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapan ataupun
yang  sejenisnya (sifat keadaan atau himmah)
Sunnah menurut  ahli ushul fiqh adalah “ segala yang diriwayatkan dari Nabi
Muhammad SAW, berupa perbuatan, perkataan , dan ketetapan yang berkaitan
dengan hukum”.
Sedangkan sunnah menurut para ahli fiqh , di samping pengertian yang
dikemukakan para ulama’ ushul fiqh di atas, juga dimaksudkan sebagai salah satu
hokum taqlifih, yang mengandung pengertian”perbuataan yang apabila dikerjakan
mendapat pahaladan apabila ditinggalkan tidak medapat siksa (tidak berdosa)”
Atau terkadang dengan perbuatan, beliau menerangkan maksudnya, seperti pelajaran
shalat yang beliau ajarkan kepada mereka (para sahabat) secara praktek dan juga
cara-cara ibadah haji. Dan kadang para sahabatnya brbuat sesuatu di hadiratnya atau
sampai berita-berita berupa ucapan atau tindakan mereka kepada beliau, tetapi hal ini
tidak di ingkarinya, bahkan didiamkannya saja, padahal beliau sanggup untuk
menolaknya(kalau tidak dibenarkan) atau nampak padanya setuju dan senang,
sebagai mana diriwayatkan bahwa beliau tidak mengingkari orang yang makan
daging biawak di tempat makan beliau.

2.      Fungi Assunnah
Sebagian besar ayat-ayathukum dalam Al-Qur’an masih bersifat global, yang
masih memerlukan penjelasan dalam implementasiny. Fungsi sunnah yang utama
adalah untuk menjelaskan Al-qur’an, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah
SWT:
….dan kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menjelaskan kepada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka…(QS. An-Nahl:44)
Al-Qur’an disebut sebagai sumber hukum dan dalil hukum yang pertama, dan sunnah
disebut sumber hukum dan dalil hukum kedua(bayan) setelah Al-Qur’an. Dalam
kedudukan sebagai sumber dan dalil hukum kedua, sunnah menjalankan fungsinya
sebagai berikut:
a.       Bayan ta’kid
Bayan Ta’kid yaitu menetapkan dan menegaskan hukum-hukum yang tersebut
dalam Al-Qur’an. Dalam ini sunnah hanya seperti mengulangi apa yang dikatakan
Allah dalam Al-qur’an. Contohnya Allah berirman: َ‫صلَ ٰوةَ َو َءاتُو ٱل َّز َك ٰوة‬ ۟ ‫َوَأقِي ُم‬
َّ ‫وا ٱل‬
“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat”. (QS.al-Baqarah:110)
b.      Bayan tafsir
Bayan Tafsir yaitu memberikan penjelasan arti yang masih samar dalam
Al-Qur’an, atau terperinci apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secara garis
besar, memberi batasan terhadap apa yang disampaikan Allah secara mutlak.
Perintah shalat disampaikan Al-qur’an dalam arti yang ijmal, yang masih samar,
artinya karena dapat saja dipahami dari padanya semata doa sebagai yang dikenal
secara umum pada waktu itu. Kemudian Nabi melakukan perbuatan shalat secara jlas
dan terperincidan menjelaskan kepada umatnya : “inilah shalat dan kerjakanlah shalat
itu sebagai mana kamu lihat aku mengerjakannya.”
Dalam Al-Qur’an secara umum dijelaskan bahwa anak laki-laki dan anak perempuan
adalah ahli waris bagi oang tuanya yang meninggal(QS.an Nisa’:7) sunnah Nabi
membatasi hak warisan itu hanya kepada anak-anak yang bukan penyebab kematian
orng tuanya itu, dengan ucapan: pembunuh tidak dapat mewarisi orang yang
dibunuhnya”.
c.       Bayan Tasyri
Bayan Tasyri yaitu menetapakn suatu hukum dalam sunnah yang
secara jelas tidak di sebutkan dalam Al-Qur’an. Dengan demikian kelihatan bahwa
sunnah menetapkan sendiri hukum yang tidak ditetapakn Al-Qur’an.
Seperti al-Qur’an menjelaskan tidak bolehnya mengawini dua perempuan yang
ِ ‫ص يب مِم َّ ا َت ر َك الْ و الِ َد‬
‫ان‬ ِ ِ ِ
bersaudara dalam waktu yang sama.
َ َ ٌ َ‫ل ِّلر َج ال ن‬
‫ون مِم َّ ا قَ َّل ِم ْن هُ َْأو‬ ِ ‫ص يب مِم َّ ا َت ر َك الْ و الِ َد‬
َ ُ‫ان َو اَأْل ْق َر ب‬ َ َ
ِ ِ ِ َ ‫و اَأْل ْق ر ب‬
ٌ َ‫ون َو ل لنِّ َس اء ن‬ َُ َ
‫وض ا‬ ِ َ‫ ن‬eۚ ‫َك ُث ر‬
ً ‫ص يبً ا َم ْف ُر‬ َ (QS: an-Nisa:23) “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari
harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian
(pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut
bahagian yang telah ditetapkan.” . Sunnah Nabi memperluas hal itu dengan ucapan:
“Tidak boleh memadu seseorang dengan bibinya atau dengan anak saudaranya”. Al-
qur’an melarang mengawini perempuan yang mempunyai hubungan nasab. Sunnah
Nabi memperluas laranngan mengawini saudara sepersusuan. Larangan karena sebab
susuan , disamakan dengan larangan karena sebab hubungan nasab.
Sebenarnya bila diperhatikan dengan teliti akan jelas apa yang ditetapkan tersendiri
oleh sunnah itu, pada hakikatnya adalah penjelasan terhadap apa yang disinggung
Allah dalam Alqur’an atau memperluas apa  yang disebutkan Allah secara terbatas.
Umpama Allah SWT menyebutkan dalam al-Qur’an tentang haramny memakan
bangkai, darah, daging babi dan sesuatu yang disembelih tidak dengan menyebut
nama Allah(QS. Al-Maidah:3). Kemudian mengatakan “haramnya setiap binatang
buas yang bertaring dan kukunya mencekam’. Larangan ini secara lahir dapat
dikatakan sebagai hukum baru yang ditetapkan oleh Nabi. Sebenarnya larangan Nabi
itu hanyalah penjelasan terhadap larangan Allah memakan sesuatu yang kotor(QS.
Al-a’raf:33)

Khabar
Secara etimologis khabar  berasal dari kata :khabar, yang berarti
‘berita’.Adapun secara terminologis, para ulama Hadits tidak sepakat dalam
menyikapi lafadz tersebut.sebagaimana mereka berpendapat adalah sinonim dari
kata hadits dan sebagian lagi tidak demikian. Karena Khabar adalah berita, baik
berita dari Nabi SAW, maupun dari sahabat atau berita dari tabi’in. 1
al-khabar (ُ‫)اَ ْلخَ بَر‬ dalam bahasa artinya warta atau berita, maksudnya sesuatu
yang diberitakandan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain atau sesuatu
yang disandarkan kepada nabi dan para sahabat, dilihat dari sudut pendekatan
bahasa ini kata khabar sama artinya dengan hadits. Jadi setiap hadits termasuk
khabar, tetapi tidak setiap khabar adalah hadits.
1
Menurut pengertian istilah, para ahli berbeda-beda dalam memberikan definisi
sesuai dengan latar belakang dan disiplin keilmuan masing-masing, diantaranya
adalah:
a) sebagian ulama mengatakan bahwa khabar ialah sesuatu yang datangnya
selain dari nabi SAW, sedangkan yang dari nabi SAW disebut hadits.
b) ulama lain mengatakan bahwa hadits lebih luas dari pada khabar, sebab setiap
hadits dikatakan khabar dan tidak dikatakan bahwa setiap khabar adalah
hadits.
c) ahli hadits memberikan definisi sama antara hadits dengan khabar, yaitu
segala sesuatu yang datangnya dari nabi SAW, sahabat, dan tabi’in, baik
perkataan, perbuatan maupun ketetapanya.
Ulama lain berpendapat bahwa khabar hanya dimaksudkan sebagai berita
yang diterima dari selain Nabi Muhammad SAW. Orang yang meriwayatkan
sejarahdisebut khabary atau disebut muhaddisy.
Disamping itu pula yang berpendapat bahwa khabary itu sama dengan hadits,
keduanya dari Nabi SAW. Sedangkan atsar dari sahabat. Karenanya, maka
timbul hadits marfu’, mauquf atau maqtu’. 
‫ما اضيف الى النبي صلى هللا عليه و سلم او غيره‬
“Segala sesuatu yang disandarkan atau berasal dari Nabi atau yang selain dari
Nabi”.

Contoh Ali  bin Abi Thalib ra. Berkata:


‫من السنة وضع الكف تحت السرة في الصلغاة‬
“Sunnah ialah meletakkan tangan di bawah pusar”.

Atsar
َّ ُ‫ة‬e ّ‫)بَقِي‬, sedangkan menurut
Al-atsar dalam bahasa artinya adalah sisa (‫ئ‬e ‫الش‬
pengertian istilah, para ahli berbeda-beda sesuai dengan latar belakang disiplin
ilmu mereka masing-masing, diantaranya adalah:
a) Jumhur berpendapat bahwa atsar sama dengan khabar, yaitu sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi SAW, sahabat, dan tabi’in.
b) menurut ulama lain, seperti ulama Kharasan atsar untuk hadits mauquf dan
khabar untuk hadits marfu.
c) ahli hadits lain mengatakan tidak sama, yaitu khabar, berasal dari nabi,
sedangkan atsar sesuatu yang di sandarkan hanya kepada sahabat dan
tabi’in, baik perbuatan maupun perkataan.
Empat pengertian tentang hadits, sunnah, khabar, dan atsar sebagaimana
diuraikan di atas, menurut Jumhur ulama hadits juga dapat dipergunakan
untuk maksud yng sama, yaitu bahwa hadits disebut juga dengan sunnah,
khabar atau atsar. Begitu juga sunnah bisa disebut dengan hadits, khabar,
atsar. Maka hadits mutawatir disebut juga sunnah mutawatir, begitu juga
hadits shahih dapat juga disebut dengan sunnah shahih, khabar shahih dan
atsar shahih.

 Perbedaan Hadits dengan Sunnah, Khabar dan Atsar

Dari keempat tema tersebut dapat ditarik bahwa tema tersebut sangat berguna
sebagai ilmu tambahan bagi masyarakat Islam untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan dan menentukan kulitas dan kuwantitas Hadits, sunnah, Khabar dan
Atsar. Para ulama juga membedakan antara hadits, sunnah, khabar dan atsar
sebagai berikut:

a) Hadits dan sunnah:


Hadits terbatas pada perkataan, perbuatan, takrir yang bersumber pada
Nabi SAW, sedangkan sunnah segala yang bersumber dari Nabi SAW baik
berupa perkataan, perbuatan, takrir, tabiat, budi pekerti atau perjalanan
hidupnya, baik sebelum di angkat menjadi rasulmaupun sesudahnya.

b) Hadits dan khabar:


Sebagian ulama hadits berpendapat bahwa khabar sebagai suatu yang
berasal atau disandarkan kepada selain nabi SAW., hadits sebagai sesuatu
yang berasal atau disandarkan pada Nabi SAW.

c) Hadits dan atsar:


Jumhur ulama berpendapat bahwa atsar sama artinya dengan khabar dan
hadits. Ada juga ulama yang berpendapat bahwa atsar sama dengan khabar,
yaitu sesuatu yang disandarkan pada Nabi SAW, sahabat dan tabiin.

STRUKTUR HADIS

Secara struktur hadits terdiri atas dua komponen utama yakni sanad atau isnad
(rantai penutur) dan matan (redaksi).

1. SANAD

Sanad dari segi bahasa berarti ‫ ماارتفع من األ رض‬, yaitu bagian bumi yang menonjol,
sesuatu yang berbeda di hadapan anda dan yang jauh dari kaki bukit ketika anda
memandangnya.2 Sanad diartikan juga dengan sandaran atau sesuatu yang dijadikan
sandaran.3 Bentuk jamaknya adalah ‫أ‬.‫ سنا د‬Segala sesuatu yang Anda sandarkan
kepada yang lain disebut ‫مسند‬. Dikatakan ‫أ سند فى ا لخبل‬, maknanya `Sesorang mendaki
gunung`. Dikatakan pula ‫ فالن سند‬, maknanya `Seseorang menjadi tumpuan.
Menurut istilah ahli hadis, sanad itu :

‫لى ال َم ْت ِن‬ ِ ْ‫ الطَّ ِريقَةُ ال ُمو‬, yaitu jalan yang menyampaikan kepada matan hadis, yakni
َ ِ‫ص ُل ا‬
rangkaian para perawi yang memindahkan matan dari sumber primernya. Jalur ini
adakalanya disebut sanad. Sedangkan ulama lain memberikan pengertian yaitu silsilah
atau rentetan para periwayat yang menukilkan hadis dari sumbernya yang pertama.
Dengan demikian, Sanad adalah rantai penutur atau perawi (periwayat) hadis.
2
3
 Contoh Sanad (artinya) : "Dikhabarkan kepada kami oleh malik yang menerimanya
dari Nafi, yang menerimanya dari Abdullah ibnu umar bahwa Rasullullah SAW.
Besabdah,"Janganlah sebagian dari antara kamu membeli barang yang sedang
dibeli oleh sebagian yang lainya." (Al-Hadis)
Sebuah hadis dapat memiliki beberapa sanad dengan jumlah penutur atau perawi
bervariasi dalam lapisan sanad-nya, lapisan dalam sanad disebut dengan thabaqoh.
Signifikansi jumlah sanad dan penutur dalam tiap thobaqoh sanad akan menentukan
derajat hadist tersebut.

Jadi, yang perlu dicermati dalam memahami hadis terkait dengan sanad-nya adalah
keutuhan sanad-nya, jumlahnya, dan perawi akhirnya. Adapun sebutan sanad hanya
berlaku pada serangkaian orang, bukan dilihat dari sudut pribadi seseorang. Sebutan
untuk pribadi yang menyampaikan hadist dilihat dari sudut orang per-orangan disebut
rawi.

a. Isnad, Musnad, Musnid


Selain istilah sanad, terdapat juga istilah lainya yang mempunyai kaitan erat
dengan istilah Senad, seperti, al-isnad, ai-musnad, al-musnid. Istilah al-isnad, berarti
menyandarkan, menegaskan (mengembalikan ke asal), dan mengangkat. Yang
dimaksud disini adalah Menyandarkan hadis kepada orang yang mengatakannya
atau Mengasalkan hadis kepada orang yang mengatakannya. Isnad ini menurut Ath-
Thibi mempunyai arti yang hampir sama atau berdekataan dengan Sanad.

Istilah al-musnad mempunyai arti yang berbeda dengan istilah al-isnad, yaitu
pertama, bearti hadis yang diriwayatkan dan disandarkan atau di-isnad-kan kepada
seseorang yang membawanya, seperti ibn Syihab Az-Zuhri. Kedua, berarti nama
suatu kitab yang menghimpun hadis-hadis dengan sistem penyusunan berdasarkan
nama-nama para sahabat rawi hadis, seperti kitab Musnad Ahmad . Ketiga, bearti
nama bagi hadis yang memenuhi kriteria marfu' (disandarkan kepada Nabi
Muhammad SAW.) dan Muttashil (sanad-nya bersambung kepada akhirnya). Istilah
Al-Musnid menurut Jamaluddin Al-Qosimi adalah seseorang yang meriwayatkan
hadits dengan sanadnya, baik dia mengerti apa yang diriwayatkannya atau tidak.
2. MATAN
Secara etimologi,matan berarti segala sesuatu yang keras bagian atasnya, punggung
jalan (muka jalan), tanah keras yang tinggi. Matan dari segi bahasa artinya membelah,
mengeluarkan, mengikat, sedangakan menurut istilah ahli hadis, matan itu ialah
Perkataan yang disebut pada akhir sanad, yakni sabda Nabi SAW. Secara trimonologi,
matan adalah akhir dari rentetan perowi dalam sebuah sanad. Tapi dilihat dari kata
Matan, kata "matan" diambil dari kata "mumatanah" berarti "tujuan akhir". Dan
memang matan merupakan tujuan akhir sanad. Atau, diambil dari kata "matantu Al-
Kabsya" yang berarti "membuka kulit kambing sehingga jelas apa yang ada
didalamnya".

Matan (text) merupakan informasi yang datang dari rasulullah saw terhadap sesuatu.
Jadi inti dari hadis adalah matan. Karena dari mantan inilah ajaran islam didapatkan.
Matan haruslah memiliki kriteria akan sabda kenabian, tidak bertentangan dengan al-
qur'an atau hadis mutawatir. Perbedaan periwayatan yang dilakukan oleh satu periwayat
lainya memerlukan adanya penelitian matan. Penelitian matan dilakukan dengan cara
membandingakan (Muqaranah) antara beberapa sanad hadis. Matan hadis yang
dibandingkan tentunya adalah yang sejalan dan yang bertentangan. Setelah itu diadakan
upaya penyimpulan baik dilakukan dengan mengkompromi , mentarjih dan
memawqufkan. Dari adanya kegiatan tersebut diharapkan hadis sebagai sumber ajaran
Islam terhindar dari adanya pemalsuan.

a. Macam-macam Matan
Setelah mengetahui pengertian matan dan apaa yang dimaksud dengan matan,
disini ada terdapat beberapa macam matan yang bersumber dari wahyu, antara lain:

1. Al-Qur'an adalah kalam Allah SWT, yang diturunkan secara bertahap


melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw dengan periwayatan yang
muttawatir, terhadap dalam mushhaf dan dimulai dari surat al-fatihah dan berakhir
pada surat an-Nas.
2. Hadis Qudsi adalah kalam yang maknanya dari Allah dan lafadnya dari Nabi
saw.
3. Hadis Nabawi adalah segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi saw baik
berupa ucapan, perbuatan, persetujuan atau sifat moral dan fisik.4
 Terkait dengan matan, yang perlu dicermati memahami hadis adalah :
1. Ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi
Muhammad atau bukan.
Matan hadis itu sendiri dalam hubungannya dengan hadis lain yang lebih kuat sanadnya
(apakah ada yang melemahkan atau menguatkan) dan selanjutnya dengan ayat dalam
Al-Qur'an (apakah ada yang bertolak belakang atau tidak).                     
   Macam-macam Assunnah dan perbedaanya dengan al-hadist dan al-Atsar
1.      Macam-macam Assunah
a.       Sunnah fiqliyah
yaitu perbuatan yang dilakukan Nabi SAW. Yang dilihat, atau
diketahui dan disampaikan para sahabat pada orang lain. Misalnya, tata cara yang
ditunjukan Rosullah SAW. Kemudian disampaikan sahabat yang melihat atau
mengetahuinya kepada orang lain.
b.      Sunnah Qoulyyah
yaitu ucapan Nabi SAW. Yang didengar oleh dan disampaikan
seorang atau beberapa sahabat kepada orang lain. Misalnya, sabda Rosullah yang
diriwayatkan Abu Hurairah:
“tidak sah shalat seseorng yang tidak membaca surat Al-Fatihah” (HR al-
Bukhari dan Muslim}
c.       Sunnah taqqririyyah
yaitu perbuatan atau ucapan sahabat yang dilakukan dihadapan
Nabi SAW, tetapi Nabi hanya diam dan tidak menceganya. Sikap diam dan tdak
mencega dari Nabi SAW ini, menunjukan persetujuan Nabi SAW (taqqrir),
terhadap perbuatan sahabat tersebut.

2.      Perbedaan Assunnah dengan hadits dan atsar

4
H. Zeid B. Semeer . Ulumul Hadis (pengantar studi hadis praktis). Malang:UIN malang Press.2008, hlm 60-63
Ada beberapa istilah yang mengandung perbedaan makna dalam
pembicaraan sunnah, istilah itu adalah Sunnah, Hadist dan Atsar. Istilah sunnah
bisa disandarkan kepada Nabi, sahabat, dan umat manusia pada umumnya. Istilah
Hadist biasanya digunakan hanya terbatas kepada terhadap apa yang datang dari
Nabi Muhamad SAW. Istilah Atsar digunakan terhadap apa yang datang dari
sahabat, tabi’in dan orang-orang sesudahnya.
.    Hubunga antara Al-Qur’an dan Assunnah
Hubungan assunah dengan alqur’an ditinjau dari segi penggunaan hujjah dan
pengambilan hukum-hukum syri’at adalah bahwa assunnah itu sebagai sumber hukum
yang sederajat lebi rendah dari pada alqur’an, artinya ialah bahwa seorang mujtahit
dalam menetapkan hukum suatu peristiwa tidak akan mencari dalam assunnah lebih
dahulu, kecuali bila ia tidak mendapatkan ketentuan hukumnya didalam alqur’an hal itu
di sebabkan karena alqur’an menjadi dasar perundang-undangan dan sumber hukum
yang pertama. Apabila ia memperoleh ketentuan hukum yang dicarinya didalam
alqur’an harus diikutinya dan apabila tidak mendapatkannya, maka ia harus mencari
dalam assunnah dan bila ia mendapatkannya dari assunnah hendaklah di ikutinya.
Adapun hubungan assunnah dengan alqu’an dari  segi materi hukum yang
terkandung didalamnya ada tiga macam:
a.       Menguatkan hukum suatu peristiwa yang letah di tetapkan hukumnya di dalam
alqur’an. Dengan demikian hukum peristiwa terseut di tetapkan oleh dua buah sumber.
Yakni alqur’an sebagai sumber penetap hukm dan assunnah sebgai sumber yang
menguatkannya.
b.      Memberikn keterangan (bayan) ayat-ayat alqur’an.
Dalam memberikan penjelasan ini ada tiga macam. Yakni:
1.      Memberikan perincian ayat-ayat yang masih mujmal
2.      Membatasi kemutlakannya.  misalnya al qur,an membolhkan kepada orang yang akan
meninggal berwasiat atas harta peninggalanya berapa saja dengan tidak dibatasi
maksimalnya.
Kemudian rosulullah memberikan batasan maksimal wasiat yang di perkenankan dalam
salah satu wawancaranya dengan Sa’ad bin Abi Waqqash yang memintah agar di
perkenankan berwasiat  2/3 harta peninggalannya. Setelah permintaan wasiat sebesar itu
di tolak oleh beliau, mnta di perkenankan wasiat ½ harta peninggalannya dan setelah
permintaan yang akhir ini di tolak pula, lalu minta di perkenankan 1/3 hartanya.
Rosulullah mengizinkan 1/3 ini. Katanya:
“...sepertiga itu adalah banyak dan besar. Sebab jika kamu meninggalkan ahli warismu
dalam keadaan kecukupan adalah lebih baik dari pada jika kamu meninggalkan dalm
keadaan miskin yang meminta-minta pada orang banyak.”
3.      Mentakhshihkan keumumannya. Misalnya Allah berfirman secara umum keharam
makan bangkai ( binatang yang tiada di sembelih dengan nama Allah) dan darah. Dalam
firman-Nya:
“ diharamkan bagi kamu makan bangkai , darah dan daging babi” (al-Maidah :3)
Kemudian Rosulullah SAW. Mengkhususkannya dengan memberikan pengecualian
kepada bangkai ikan laut, belalang, hati dan limpa.
4.      Menciptakan hukum baru yang tiada terdapat di dalam Al-qur’an. Misalnya beliau
menetapkan hukum haramnya binatang buas yang bertaring kuat dan burung yang
berkuku kuat. 

b. Macam-macam pembagaian hadis

Macam-macam pambagian hadis ditinjau dari sanadnya ada beberapa macam,


antara lain:

1. Hadis dengan Sanad Bersambung (Ittishal)


 Muttashil yaitu hadis yang diriwayatkan dengan sanad yang bersambung
dari awal hingga akhir sanad. Dalam definisi ini yang perlu diperhatikan
iyalah 'hingga akhir sanad', ungkapan ini menunjukan bahwa hadis
muttashil bisa marfu', bisa juga mauquf', bahakan juga maqthu'.
 Musnad adalah hadis yang diiriwayatkan sanad yang bersambung hingga
sampai pada Nabi SAW. Ungkapan terakhir ini 'sampai pada Nabi' menjadi
syarat dalam hadis musnad. Dengan kata lain, hadis musnad adalah hadis
yang bersambung dan marfu', dan tidak dikatakan musnad jika tidak
marfu'. Inilah yang membedakan musnad dengan muttashil, namun tidak
semua muttashil itu musnad.
2. Hadis dengan Sanad Terputus (Inqitho')
Maksud dari sanad terputus adalah bila dalam periwayatan terdapat perowi
yang gugur dari rentetan sanad. Ada pembagian-pembagian Inqitho' antara
lain :

 Muallaq yaitu hadis yang terputus diawal sanad-nya dari jajaran perowi,
baik terputusnya lebih dari satu tempat atau gugur lebih dari satu perowi
asalkan terputusnya terdapat diawali sanad masih dapat dikatakan muallaq.
 Mu'dhol bearti hadis yang terputus sanadnya pada dua tempat secara
berurutan, bisa mulai dari awal sanad, tengah atau akhir.
 Mursal, menurut jumhur muhadditsin adalah hadis yang gugur perowinya
pada tingkat sahabat. Pada proses periwayatanya tabi'in menisbatkan
langsung pada Nabi tanpa menyebut sahabat, artinya pada sanad tersebut
sahabat yang meriwayatkan hadis tersebut gugur dari jajaran sanad, hal itu
diketahui karena tabi'in tidak berjumpa dengan Nabi. Hadis yang didengar
oleh tabi'in dapat dipastikan bersumber dari sahabat, sedangkan pada sanad
itu sahabat tidak tampak.
 Muddalas berati remang, diistilahkan demikian karena perowi berusaha
mengkaburkan hakikat yang sebenarnya terjadi, dengan maksud dan tujuan
yang berbeda-beda.5
c. Tinggi-Rendahnya Rangkaian Sanad (Silsilatu Adz-Dzahab)

Rangkaiaan sanad dapat dilihat berdasarkan perbedaan tingkat kedhabit-an dan


keadilan rawi yang dijadikan sanad-nya, ada yang berderajat tinggi, sedang, dan
lemah. Rangkaian sanad yang berderajat tinggi menjadikan suatu hadis lebih tinggi
derajaatnya daripada hadis yang rangkaian sanad-nya sedang atau lemah. Para
muhaditsin membagi tingkatan sanad-nya menjadi sebagai berikut :

 Ashahhu Al-Asanid (Sanad-sanad yang lebih sahih)


5
H. Zeid B. Smeer. Ulumul Hadis(pengantar studi hadis praktis). Malang :UIN malang Press.2008, hlm 50-56
Para ulama Imam an-Nawawi dan Ibnu Ash-Shalah tidak
membenarkan menilai suatu (sanad) hadis dengan ashahhu al-asanid, atau
menilai suatu (matan) hadis dengan ashahhu al-asanid, secara mutlak,
yakin tanpa menyandarkan pada hal yang mutlak.

Penilaian ashahhu al-asanid ini hendaklah secara muqayyad. Artinya


dikhususkan kepada sahabat tertentu , misalnya ashahhu al-asanid dari Abu
Hurairaah r.a atau dikhususkan kepada penduduk daerah tertentu, misalnya
ashahhu al-asanid dari penduduk madinah.

 Ahsanu Al-Asanid
Hadis yang bersanad Ahsanu al-asanid lebih rendah
derajatnyadaripada yang bersanad ashahhu al-asanid. Ahsanu Al-Asanid itu
antara lain bila hadis tersebut bersanad : Bahaz bin Hakim dari ayahnya
(Hakim bin Mu'awiyah) dari kakeknya (Mu'awiyah bin Haidah).

 Adh'afu Al-Asanid
Rangkaian sanad yang paling rendah derajatnya disebut Adh'afu Al-
Asanid atau Auha al-asanid.6

d. Jenis-jenis Sanad hadis

 Sanad 'Aliy
Sanad 'aliy adalah sebuah sanad yang jumlah rawinya lebih sedikit jika
dibandingkan dengan sanad lain. Hadis dengan sanad yang jumlah rawinya
sedikit akan bertolak dengan sanad yang sama jika jumlah rawinya lebih
banyak. Sanad 'aliy ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu:

1. Sanad 'aliy yang bersifat mutlak adalah swbuah sanad yang jumlah rawinya hingga
sampai kepada rasulllah lebih sedikit jika dibandingkan dengan sanad yang lain.
2. Sanad 'aliy yamg bersifat nisbi adalah sebuah sanad yang jumlah rawi didalamnya
lebih sedikit jika dibandingkan dengan para imam ahli hadis, seperti Syubah, Al-
A'masy, dll.
6
M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia. 2008, hlm 94-95
 Sanad Nazil
Sanad nazil adalah sebuah sanad jumlah rawinya lebih banyak jika
dibandingkan dengan sanad yang lain. Hadis dengan sanad yang lebih
banyak akan bertolak dengan sanad yang sama jika jumlah rawinya lebih
sedikit.

RAWI

Pengertian :

Kata rawi atau ar-rawi berarti orang yang meriwayatkan atau memberikan hadis
(Naqil Al-Hadis). Sebenarnya antara sanad dan rawi itu merupakan dua istilah yang
hampir sama. Sanad-sanad hadis pada tiap-tiap Thabaqah atau tingkatanya juga
disebut rawi, jika yang dimaksud dengan rawi adalah orang yang meriwayatkan dan
memindahkan hadis, begitu juga, setiap rawi pada tiap-tiap thabaqoh-nya
merupakan sanad bagi thabaqoh berikutnya.

Tetapi ada yang membedakan antara kedua istilah ini, antara lain :

1. Dalam hal pembukuan hadis


2. Dalam penyebutan silsilah hadis.7
B. KEDUDUKAN SANAD DAN MATAN HADIS

Pada masa Abu bakar r.a. dan Umar r.a. periwayatan hadis diawasi secara hati-hati
dan tidak akan diterima jika tidak disaksikan kebenarannya oleh seorang lain. Ali bin
Abu Thalib tidak menerima hadis sebelum yang meriwayatkannya disumpah. Meminta
seorang saksi kepada perawi, bukanlah merupakan keharusan dan hanya merupakan
jalan untuk menguatkan hati dalam menerima yang berisikan itu. Jika dirasa tak perlu
meminta saksi atau sumpah para perawi, mereka pun menerima periwayatannya.
Adapun meminta seseorang saksi atau menyeluruh perawi untuk bersumpah
untuk membenarkan riwayatnya, tidak dipandang sebagai suatu undang-undang umum
diterima atau tidaknya periwayatan hadis. Yang diperlukan dalam menerima hadis

7
Ibid, hlm 99
adalah adanya kepercayaan penuh kepada perawi. Jika sewaktu-waktu ragu tentang
riwayatnya, maka perlu didatangkan saksi/keterangan.8

Kedudukan sanad dalam hadis sangatlah penting karena hadis yang


diperoleh/diriwayatkan akan mengikuti siapa yang meriwayatkannya. Dengan sanad
suatu periwayatan hadis, dapat diketahui hadis yang dapat diterima atau ditolak dan
hadis yang sahih atau tidak sahih, untuk diamalkan. Sanad merupakan jalan yang mulia
untuk menetapkan hukum-hukum islam. Ada beberapa hadis yang menerangkan
keutamaan sanad diantaranya adalah hadis yang diriwayatkan oleh muslim dari ibnu
Sirin, yang artinya : ilmu ini (hadis ini) adalah agama karena itu telitila orang-orang
yang kamu mengambil agamu dari mereka.9

1. KEDUDUKAN HADIST SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM

Sunnah adalah sumber hukum Islam (pedoman hidup kaum Muslimin) yang
kedua setelah Al-Qur’an. Bagi mereka yang telah beriman terhadap Al-Qur’an sebagai
sumber hukum Islam, maka secara otomatis harus percaya bahwa Sunnah juga
merupakan sumber hukum Islam. Bagi mereka yang menolak kebenaran Sunnah sebagai
sumber hukum Islam, bukan saja memperoleh dosa, tetapi juga murtad hukumnya. Ayat-
ayat Al-Qur’an sendiri telah cukup menjadi alasan yang pasti tentang kebenaran Al-
Hadits, ini sebagai sumber hukum Islam.10

Untuk mengetahui sejauh mana kedudukan hadist sebagai sumber hukum Islam, dapat
dilihat dalam beberapa dalil seperti dibawah ini :

 AL – QUR’AN

Banyak ayat Al – Qur’an yang menerangkan mempercayai dan menerima segala


sesuatu yang disampaikan oleh Rasulullah SAW kepada umatnya untuk dijadikan
pedoman hidup.11 Diantaranya adalah : Ali Imran yang artinya “Allah sekali-kali tidak
akan membiarkan orang-orang mukmin seperti keadaan kamu sekarang ini, sehingga
Dia memisahkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mukmin). Dan Allah sekali-kali
tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang gaib, akan tetapi, Allah akan
8
http://www.sarjanaku.com/2010/10/kedudukan-sanad-dan-matan-hadits.html . 10-12-13
9
M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi,Ulumul Hadis.Bandung: Pustaka Setia. 2008, hlm 101-102
10
Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu Hadis, (Semarang: Rasail Media Group, 2007), hal. 30

11
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT  RajaGrafindo Persada, 2008), hal.65
memilih siapa yang dikehendaki-Nya diantara Rasul-Rasulnya. Karena itu, berimanlah
kepada Allah dan Rasul-Rasul-Nya dan jika kamu beriman dan bertaqwa, maka bagimu
pahala yang besar.”

Dalam surat An-Nisa ayat 136 Allah SWT Berfirman, yang artinya sebagai
berikut “Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-
Nya dan kepada kitab yang allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta Kitab yang Allah
turunkan sebelumnya. Bagi siapa yang kafir kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya,
Rasul-Rasulnya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-
jauhnya”.

Dalam surat Ali Imran diatas, Allah memisahkan antara orang-orang mukmin
dengan orang-orang yang munafik. Dia juga akan memperbaiki keadaan orang-orang
mukmin dan memperkuat iman mereka. Oleh karena itu, orang mukmin dituntut agar
tetap beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.

Pada surat An-Nisa ayat 136, sebagaimana halnya pada surat Ali Imran ayat 179,
Allah menyeru kaum muslimin agar beriman kepada Allah, Rasul-Nya (Muhammad
SAW), Alqur’an, dan kitab yang diturunkan sebelumnya. Kemudian pada akhir ayat,
Allah SWT Mengancam orang-orang yang mengingkari seruan-Nya.12

Selain memerintahkan umat Islam agar percaya kepada Rasulullah SAW, Allah
juga menyerukan agar umat-Nya menaati segala bentuk perundang-undangan dan
peraturan yang dibawanya, baik berupa perintah maupun larangan, Tuntutan taat dan
patuh kepada Rasulullah SAW.

2. DALIL-DALIL KEHUJJAHAN HADITS

Sunnah atau Hadis Nabi Saw merupakan salah satu sumber ajaran agama Islam
sekaligus merupakan wahyu dari Allah seperti Al-Qur’an, hanya saja perbedaan antara
keduanya terletak pada sisi lafaz dan makna. dimana lafaz dan makna al-Qur’an berasal
dari Allah Swt semetara Hadis maknanya dari Allah Swt dan lafaznya dari Rasulullah
Saw, kedudukannya dalam ajaran agama sebagai sumber kedua setelah Al-Qur’an,
keduanya saling melengkapi antara satu dengan yang lain, dan mentaatinya wajib bagi
kaum muslimin sebagaimana wajibnya mentaati Al-Qur’an. 13
12
Mifdhol Abdurrahman, Pengantar Studi Ilmu Hadits, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008), hal. 30

13
Khusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadith, (Ponorogo: STAIN Press, 2010), hal. 29
28
Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu...............hal. 40
 Adapun dalil-dalil yang menunjukkan kehujjahan sunnah antara lain:

 Al-Qur’an
Banyak ayat al-Qur’an yang menunjukkan akan kehujjahan Sunnah diantaranya
adalah ayat-ayat yang memerintahkan kepada kaum muslim untuk taat kepada
Rasulullah saw. firman Allah Swt :

‫ول ِإ ْن‬ ُ ‫ ْي ٍء فَ ُر ُّدوهُ ِإلَى هَّللا ِ َوالر‬e ‫يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ َآ َمنُوا َأ ِطيعُوا هَّللا َ َوَأ ِطيعُوا ال َّرسُو َل َوُأولِي اَأْل ْم ِر ِم ْن ُك ْم فَِإ ْن تَنَا َز ْعتُ ْم فِي َش‬
ِ e ‫َّس‬
)59( ‫ُك ْنتُ ْم تُْؤ ِمنُونَ بِاهَّلل ِ َو ْاليَوْ ِم اَآْل ِخ ِر َذلِكَ خَ ْي ٌر َوَأحْ َسنُ تَْأ ِوياًل‬

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah  dan taatilah Rasul


(nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS An-Nisa : 59)6
Kembali kepada Allah maksudnya kembali kepada Al-Qur’an, dan kembali
kepada Rasul maksudnya kembali kepada Sunnah atau Hadis beliau Saw.

Perintah untuk mengikuti segala apa yang diperintahkan oleh Rasulullah Saw
dan menjauhi segala apa yang dilaranagnnya, Allah Swt berfirman:

‫َو َما َآتَا ُك ُم ال َّرسُو ُل فَ ُخ ُذوهُ َو َما نَهَا ُك ْم َع ْنهُ فَا ْنتَهُوا‬
Artinya : “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang
dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah”. (QS. Al-Hasyr :7)
Allah Swt telah memperingatkan kita untuk tidak menyelisihi segala apa yang
diperintahkan oleh Rasulullah Saw, Allah berfirman:

‫ُصيبَهُ ْم َع َذابٌ َألِيم‬


ِ ‫صيبَهُ ْم فِ ْتنَةٌ َأوْ ي‬
ِ ُ‫فَ ْليَحْ َذ ِر الَّ ِذينَ يُ َخالِفُونَ ع َْن َأ ْم ِر ِه َأ ْن ت‬
Artinya : “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut
akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih”. (QS An-Nu>r : 63)
Pada Banyak ayat, Allah Swt menyandingkan kata Kitab yang berarti al-Qur’an
dengan kata Hikmah  yang berarti hadis atau sunnah diantara ayat-ayat tersebut adalah
firman Allah Swt:

َ ‫َاب َو ْال ِح ْك َمةَ َو َعلَّ َمكَ َما لَ ْم تَ ُك ْن تَ ْعلَ ُم َو َكانَ فَضْ ُل هَّللا ِ َعلَ ْي‬
‫ك َع ِظي ًما‬ َ ‫ك ْال ِكت‬
َ ‫َوَأ ْن َز َل هَّللا ُ َعلَ ْي‬
Artinya : “Dan (juga karena) Allah Telah menurunkan Kitab dan Hikmah
kepadamu (Muhammad), dan Telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu
ketahui. dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu”. (QS. An-Nisa> : 113)\
Imam al-Syafi’I berkomentar perihal ayat yang terakhir ini dengan mengatakan:
“Allah swt menyebutkan al-Kitab yaitu al-Qur’an dan juga Sunnah (Hadis). Aku teelah
mendengar ahli ilmu al-Qur’an mengatakan; Hikmah adalah Sunnah Rasulullah
saw. Karena al-Qur’an disebutkan dan dibarengi dengan kata Hikmah. Allah swt.
Menyebutkan anudrah-Nya kepada makhluk-makhluk-Nya dengan mengajari mereka
al-Kitab dan Hikmah, maka tidak boleh –Wallahu a’lam- ditafsiri maksud Hikmah
disini kecuali Sunnah Rasulullah saw”.
3.
FUNGSI HADIS TERHADAP AL-QUR’AN

Sebagai sumber ajaran kedua setelah Al-Qur’an, hadis tampil untuk menjelaskan
(bayan) keumuman isi al-Qur’an. Hal ini sesuai dengan firman Allah Q.S. Al-Nahl(16)
Artinya  “Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan
pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka
memikirkan.”14
Allah SWT menurunkan al-Qur’an bagi umat manusia, agar al-Qur’an ini dapat
dipahami oleh manusia, maka Rasul SAW diperintahkan untuk menjelaskan kandungan
dan cara-cara melaksanakan ajarannya kepada mereka melalui hadis-hadisnya.9
Penjelasan yang dimaksud di atas kemudian oleh para ulama di perinci ke
pelbagai bentuk penjelasan. Secara garis besar terdapat empat bentuk fungsi penjelasan
hadis terhadap al-Qur’an sebagai berikut;

1. Bayan at-Taqrir
Bayan al-taqrir disebut juga dengan bayan al-ta’kid dan bayan al-itsbat. Yang
dimaksud dengan bayan ini, ialah menetapkan dan memperkuat apa yang telah
diterangkan di dalam al-Qur’an. Fungsi hadis dalam hal ini hanya memperkokoh isi
kandungan al-Qur’an. Suatu contoh hadis yang diriwayatkan Muslim dari Ibnu Umar,
yang berbunyi sebagai berikut:

)‫فَِإ َذا َرَأيْـتُ ُم ْال ِهالَ َل فَصُوْ ُموْ ا َوِإ َذا َرَأيْـتُ ُموْ هُ فََأ ْف ِطرُوْ ا (رواه مسلم‬
“Apabila kalian melihat (ru’yah) bulan, maka berpuasalah, juga apabila melihat (ru’yah)
itu maka berbukalah.” (HR. Muslim)
Hadis ini datang men-taqrir ayat al-Qur’an di bawah ini:
“Maka barang siapa yang mempersaksikan pada waktu itu bulan, hendaklah ia
berpuasa” (QS. Al-Baqoroh : 185)
Abu Hamadah menyebut bayan taqrir atau bayan ta’kid ini dengan istilah bayan
al-muwafiq li al-nas al-kitab. Hal ini dikarenakan munculnya hadis-hadis itu sealur
(sesuai) dengan nas al-Qur’an. 15

14
29 Muhammad Ahmad, Ulumul Hadis,(Bandung: Pustaka Setia, 2004), hal. 100
30
Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu...............hal 45
15
2. Bayan at-Tafsir
Yang dimaksud bayan at-tafsir adalah penjelasan hadith terhadap ayat-ayat
yang memerlukan perincian atau penjelasan lebih lanjut, seperti pada ayat-
ayat mujmal, mutlaq, dan ‘aam. Maka fungsi hadith dalam hal ini memberikan
perincian (tafshil) dan penafsiran terhadap ayat-ayat yang masih mutlak dan
memberikan takhsis terhadap ayat-ayat yang masih umum.

a. Merinci ayat-ayat yang mujmal (ayat yang ringkas atau singkat, global)
 Sebagai contoh hadis berikut:

َ ‫ص ُّلوْ ا َك َما َراَ ْيتُ ُموْ نِي ُأ‬


)‫صلِّ ْي (رواه البخارى‬ َ
“Sholatlah sebagaimana engkau melihat aku shalat.” (HR. Bukhari)
Hadis ini menjelaskan bagaimana mendirikan shalat. Sebab dalam al-Qur’an
tidak menjelaskan secara rinci. Salah satu ayat yang memerintahkan shalat adalah:
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang
ruku'.” (QS. Al-Baqoroh[2]: 43)

.      b. Men-taqyid ayat-ayat yang mutlaq


Kata mutlaq artinya kata yang menunjukkan pada hakekat kata itu sendiri apa
adanya, dengan tanpa memandang kepada jumlah maupun sifatnya. Men-
taqyid dan mutlaq artinya membatasi ayat-ayat mutlaq denngan sifat, keadaan, atau
syarat-syarat tertentu. Sebagai contoh hadis Rasul SAW berikut:

)‫التقطع يد السارق ا في ربع دينار فصاعدا (رواه مسلم‬


“Tangan  pencuri tidak boleh dipotong, melainkan pada (pencurian senilai) seperempat
dinar atau lebih.” (HR. Muslim)
Hadith di atas men-taqyid  ayat al-Qur’an berikut:
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.”
(QS. Al Maidah [5]: 38)
c. Men-takhsis ayat yang ‘am
Kata ‘am ialah kata yang menunjukkan atau memiliki makna, dalam jumlah yang
banyak. Sedangkan takhsis atau khash, ialah kata yang menunjukkan arti khusus,
tertentu atau tunggal. Yang dimaksud men-takhsis yang ‘am ialah membatasi
keumuman ayat Al-Qur’an sehingga tidak berlaku pada bagian-bagian tertentu.
Mengingat  fungsinya ini, maka ulama berbeda pendapat apabila mukhasis-nya
dengan hadith ahad. Menurut Syafi’i dan Ahmad bin Hambal, keumuman ayat bisa
ditakhsish oleh hadith ahad yang menunjukkan kepada sesuatu yang khash, sedang
menurut ulama Hanafiah sebalikanya.
 Sebagai contoh:
‫اليرث القتل من المقتول شيأ‬
“Pembunuh tidak berhak menerima harta warisan.” (HR. Ahmad)
Hadith tersebut men-takhsis keumuman firman Allah surat an-Nisa’ ayat 44
berikut:
“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu :
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan...”

3. Bayan al-Nasakh
Pada bayan jenis keempat ini, terjadi perbedaan pendapat yang sangat tajam. Ada
yang mengakui dan menerima fungsi hadis sebagai nasikh terhadap sebagian hukum Al-
Qur’an dan ada yang juga yang menolaknya.
Kata nasakh secara bahasa
berarti ibthal (membatalkan), izalah (menghilangkan), tahwil (memindahkan),
dan taghyir (mengubah). Para ulama mengartikan bayan al-nasakh ini banyak yang
melalui pendekatan bahasa, sehingga di antara mereka terjadi perbedaan pendapat dalam
menta’rifnya. Menurut ulama mutaqoddimin, bahwa terjadinya nasakh ini karena
adanya dalil syara’ yang mengubah suatu hukum (ketentuan) meskipun jelas, karena
telah berakhir masa keberlakuannya serta tidak bisa diamalkan lagi, dan syar’i (pembuat
sayari’at) menurunkan ayat tersebut tidak diberlakukan untuk selama-lamanya
(temporal).
Diantara para ulama yang membolehkan adanya nasakh hadith terhadap al-
Qur’an juga berbeda pendapat dalam macam hadith yang dapat dipakai untuk me-
nasakh-nya. Dalam hal ini mereka terbagi menjadi tiga kelompok.
Pertama, yang membolehkan me-nasakh al-Qur’an dengan segala hadith,
meskipun dengan hadith Ahad. Pendapat ini diantaranya dikemukakan oleh para ulama
mutaqaddimin dan Ibn Hazm serta sebagian para pengikut Zahiriyah.
Kedua, yang membolehkan me-nasakh dengan syarat hadith tersebut harus
mutawatir. Pendapat ini diantaranya dipegang oleh Mu’tazilah.
Ketiga, ulama yang membolehkan me-nasakh dengan Hadith masyhur, tanpa
harus dengan hadith mutawatir. Pendapat ini dipegang diantaranya oleh ulama
Hanafiyah.

Anda mungkin juga menyukai