Ilmu logika lahir bersamaan dengan lahirnya Filsafat Barat di Yunani. Dalam
usahauntuk menyebarluaskan pemikiran-pemikirannya, para filosof Yunani banyak yang
mencoba membantah pemikirannya dengan para filosof lainnya dengan menunjukkan
kesesatan penalarannya. Sejak awal, logika telah menaruh perhatian atas kesesatan
penalaran tersebut.Kesesatan penalaran ini disebut dengan kesesatan berpikir
(fallacia/fallacy)Fallacy berasal dari bahasa Yunani dan Latin yang berarti
‘sesatpikir’ .Fallacydidefinisikan secara akademis sebagai kerancuan pikir yang
diakibatkan oleh ketidakdisiplinanpelaku nalar dalam menyusun data dan konsep, secara
sengaja maupun tidak sengaja. Hal inijuga bisa diterjemahkan dalam bahasa sederhana
dengan berpikir ‘ngawur. Fallacy terjadi karena adanya kesalahan dalam penalaran (baik
menyangkut cara, proses, maupun hasil penalaran tersebut. Fallacy dapat terjadi kapan
saja, dimana saja dan dapat dilakukan oleh siapa saja.
penalaran yang tidak tepat atau tidak sahih. Kesesatan ini terjadi karena
penalaran. Kesesatan ini dapat terjadi karena faktor bahasa (kesesatan bahasa)
teriadi karena memang tidak adanya hubungan logis atau relevansi antara
Terjadi karena kekeliruan penempatan suatu kata atau term dalam sebuah ungkapan/
kalimat sehingga makna ungkapan atau kalimat itu menjadi bercabang. Akibatnya
timbul lebih dari satu penafsiran mengnai maknanya, dimana hanya salah satunya yang
benar dan yang lain salah.
2. Kesesatan Relefansi
Kekesatan ini timbul apabila seseornag menarik kesimpulan yang tidak relefan dengan
premisnya, artinya secara logis kesimpulan tersebut tidak merupakan implikasi dari
premisnya dan penalaran yang mengandung kesesatan relefansi tidak menampakkan
sama sekali hubungan logis antara premis dan kesimpulannya.
1. Sofisme
Sofisme adalah sesat pikir yang sengaja dilakukan untuk menyesatkan orang lain,
padahal sipemuka pendapat sendiritidak sesat,disebut demikian karena yang pertama-
tama mempraktekan adalah kaum sofis, nama suatu kelompok cendekiawan yang mahir
berpidatopada zaman Yunani kuno. Mereka selalu berusaha mempengaruhi khalayak
ramai denganargumentasi-argumentasi yang menyesatkan yang disampaikan melalui
pidato-pidato agar terkesan kehebatan mereka sebagai orator-orator ulung.
2. Paralogisme
Paralogisme adalah pelaku sesat pikir yang tidak menyadari akan sesat pikir yang
dilakukannya. Fallacy sangat efektif dan manjur untuk melakukan sejumlah aksi amoral,
seperti mengubah opinipublic ,memutar balik fakta, pembodohan publik, provokasi
sektarian, pembunuhan, karakter, memecah belah, menghindari jerat hukum, dan meraih
kekuasaan, janjipalsu dan meraih kekuasaan. Begitu banyak manusia yang terjebak
dalam lumpur fallacy,sehingga diperlukan sebuah aturan baku yang dapat memandunya
agar tidak terperosok dalamsesat pikiran yang berakibat buruk terhadap pandangan
dunianya. Seorang yang berpikir tapitidak mengikuti aturan nya, terlihat seperti berpikir
benar, dan bahkan bisa mempengaruhiorang lain yang juga tidak mengikuti aturan
berpikir yang benar karena itu, al Quran seringkalimencela bahwa, “sebagian besar
manusia tidak berakal, tidak berfikir dan sejenisnya”
4. Strawman fallacy: Terjadi ketika salah satu pihak menyimpulkan argumen lawan
bicaranya dengan pola pikir yang salah, sehingga menimbulkan kesalahpahaman.
Contohnya percakapan sepasang kekasih. Pihak pertama mengatakan bahwa dia akan
mengutamakan pendidikan. Namun, lawan bicaranya, yakni sang kekasih menganggap orang
tersebut egois dan tidak menyayanginya.
6. Argumentum ad populum atau bandwagon fallacy Terjadi ketika muncul pemikiran "jika
semua orang melakukannya, pasti itu benar”. Misal, program vaksinasi Covid-19 yang
dipercaya dapat meningkatkan imun, agar terhindar dari virus Covid.
7. Hasty generalization Jenis kesesatan berpikir ini terjadi ketika seseorang membuat asumsi
mengenai suatu hal berdasarkan contoh yang kurang memadai, secara terburu-buru. Contoh,
dalam sebuah kelompok, lebih dari dua orang mengatakan bahwa kelas statistika sulit diikuti.
Dengan begitu, anggota kelompok lainnya akan beranggapan serupa mengenai kelas statistika.
Padahal pengalaman dari orang yang mengikuti kelas statistika di kelompok tersebut, tak cukup
dijadikan dasar penarikan kesimpulan.
8. False cause Adalah jenis kesesatan berpikir di mana seseorang salah mengidentifikasi
penyebab sesuatu. Sementara hubungan sebab akibatnya tidak berkaitan sama sekali.
Misalnya seseorang berpikir bahwa tiap kali dia mencuci mobilnya, pasti akan turun hujan
setelahnya.
9. Red herring Terjadi saat seseorang mengalihkan topik pembicaraan yang tidak berhubungan
dengan argumen yang disampaikan lawan bicaranya. Misalnya kekeliruan yang terjadi dalam
percakapan ini. “Gue mau malam mingguan nih besok sama pacar” kata Budi. “Kuliah masih
dibayarin orang tua aja gaya-gayaan mau jalan sama pacar” ujar temannya.
10. False dilemma atau dikotomi palsu Dikutip dari situs ThoughtCo, false dilemma merupakan
jenis kesesatan berpikir di mana pihak pertama mengatur situasi, agar seolah-olah hanya ada
dua pilihan. Kemudian pihak pertema tersebut menghilangkan salah satu pilihan, supaya pihak
lainnya hanya memiliki satu pilihan. Misalnya ketika seseorang berkata “Gedung sekolah dalam
kondisi buruk. Kita hanya punya pilihan untuk meruntuhkan, mendirikan gedung baru, atau
terus mempertaruhkan keselamatan siswa. Kita tidak boleh mempertaruhkan keselamatan
siapa pun, jadi kita harus merobohkan gedung itu”. Argumen tersebut mengabaikan
kemungkinan bahwa kita mungkin bisa memperbaiki gedung atau menemukan cara lain untuk
melindungi siswa.
ada 3 faktor yang berpengaruh dalam proses penalaran sehingga menyebabkan logical fallacy.
Faktor tersebut adalah pengetahuan sebelumnya ( dimana pengetahuan seseorang mengenai
sesuatu masih terbatas atau mengalami kerancuan dalam pemahamannya akan sesuatu hal) ,
konsistensi terhadap sesuatu yang diyakini (seseorang begitu konsisten akan pemahamannya
sendiri yang belum tentu benar dan menolak akan adanya kebenaran yang mutlak) , dan emosi
(karena emosi dan keegoisan untuk mempertahankan argumennya sendiri mendorong
seseorang menjadi berfikiran yang menyesatkan)
Dilansir dari buku Rhetorical Strategies for Composition: Cracking an Academic Code." Rowman
& Littlefield (2016) karya Karen A. Wink, guna menghindari kekeliruan, kita harus memastikan
kesalahan logika yang melemahkan argumen, dengan menggunakan bukti untuk mendukung
klaim serta memvalidasi informasi.
Oleh karena itu, kita harus benar-benar memahami terlebih dahulu apa yang ingin
disampaikan. Baik dalam pengertian, alasan, contoh, juga buktinya, agar argumen menjadi
relevan. Dengan begitu, kita akan terlihat kredibel di hadapan lawan bicara atau audiens. Selain
itu, berpikir kritis dengan menyadari dan memahami kekeliruan atau kesesatan berpikir dalam
tiap argumen, dapat memperkuat kemampuan kita dengan mengevaluasinya..