Anda di halaman 1dari 2

SESAT PIKIR

Fallacy berasal dari bahasa Yunani dan Latin yang berarti ‘sesat pikir’. Fallacy didefinisikan
secara akademis sebagai kerancuan pikir yang diakibatkan oleh ketidakdisiplinan pelaku nalar
dalam menyusun data dan konsep, secara sengaja maupun tidak sengaja. Hal ini juga bisa
diterjemahkan dalam bahasa sederhana dengan berpikir ‘ngawur’.
Ada dua pelaku fallacy yang terkenal dalam sejarah filsafat, yaitu mereka yang menganut
Sofisme dan Paralogisme. Mereka melakukan sesat pikir dengan cara sengaja menyesatkan
orang lain, padahal si pengemuka pendapat yang diserang tidak sesat pikir. Disebut demikian
karena yang pertama-tama mempraktekkannya adalah kaum sofis, nama suatu kelompok
cendekiawan yang mahir berpidato pada zaman Yunani kuno.
Mereka selalu berusaha memengaruhi khalayak ramai dengan argumentasi-argumentasi yang
menyesatkan yang disampaikan melalui pidato-pidato mereka agar terkesan kehebatan mereka
sebagai orator-orator ulung. Umumnya yang sengaja ber-fallacy adalah orang menyimpan
tendensi pribadi dan lainnya. Sedangkan yang berpikir ngawur tanpa menyadarinya adalah
orang yang tidak menyadari kekurangan dirinya atau kurang bertanggungjawab terhadap setiap
pendapat yang dikemukakannya atau biasa disebut dengan istilah paralogisme.
Dari sekian banyak pembahasan dalam ilmu logika, ada topik pembahasan yang sangat
menarik untuk dikaji dan ini menurut hemat penulis perlu diketahui bersama-sama yaitu tentang
“Sesat Pikir.”
Kita selalu berpikir selama kita mau berpikir, namun dalam berpikir terkadang kita sesat dalam
berpikir sehingga merusak nalar atau argumen dalam membuat kesimpulan.
Jadi apa itu sesat pikir? Sesat pikir adalah proses penalaran atau argumensi yang sebenarnya
tidak logis, salah arah dan menyesatkan disebabkan karena pemaksaan prinsip-prinsip logika
tanpa memperhatikan relevansinya. Sesat pikir terjadi karena kekeliruan menalar atau
berargumen dan keyakinan yang salah walau kurang data. Berikut penulis uraikan beberapa
contoh dalam sesat pikir.
Contoh sesat pikir karena tidak cukup data, Husaini adalah seorang anggota Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) di Kabupaten Bener Meriah sejak tahun 2014. Gaji seorang anggota DPR adalah
5 Juta perbulan. Pada tahun 2015, Husaini telah memiliki rumah mewah dengan nilai harga 200
Juta. Kesimpulannya, Husaini adalah seorang koruptor. Dalam kehidupan sehari-hari, kita
sering keliru dalam berargumen disebabkan karena gagal argumen yang mana argumen
tersebut membuat premis yang tidak berhubungan dengan kesimpulan yang mau dicari.
Contoh, premis 1 (Sifat Allah Swt Maha Melihat), premis 2 (Manusia bisa melihat). Kesimpulan,
Allah Swt dan manusia adalah sama.

Ada dua macam argumen yang salah dan ini sering dipraktikkan dalam bernalar, kedua
argumen tersebut yaitu: kekeliruan relevansi dan ambiguitas penalaran.

Kekeliruan relevansi merupakan argumen keliru namun tetap diterima umum dan tidak merasa
bahwa mereka tertipu. Dalam sesat pikir ada 13 jenis kekeliruan relevansi, dalam tulisan ini;
penulis memberikan satu contoh dari salah satu jenis tersebut.
Contoh dari kekeliruan relevansi jenis Argumentum ad Hominem, yaitu sebuah argumen yang
diarahkan menyerang langsung manusianya (melecehkan, antipati pada orang yang memberi
pernyataan). Contoh: Kepada Desa Cinta Damai Husaini menghimbau kepada seluruh
masyarakat desa untuk menjaga persatuan dan persaudaraan dalam kontestasi politik. “Tidak
perlu mendengar himbauan Husaini karena Kepala Desa tersebut sombong dan arogan,” atau
dengan istilah Fallacy of Abusing (kekeliruan karena menyerang pribadi) yaitu kekeliruan
berpikir karena menolak argumen yang dikemukakan seseorang dengan menyerang pribadinya.
Beberapa contoh di atas merupakan sesat pikir karena kekeliruan dalam bernalar yang
disebabkan oleh pemaksaan prinsip-prinsip logika atau gagal dalam berargumen, oleh karena
itu untuk menghindari sesat pikir ini perlu kiranya kita mengetahui makna dan definisi bahasa
dari setiap kalimat serta perlunya wawasan yang luas. Sesat pikir juga terkadang datang dari
pemaksaan logika dari diri sendiri, memaksakan membenarkan argumen masing-masing
walaupun argumen tersebut tidak benar adanya.
Secara luas, sesat pikir dapat digolongkan menjadi sesat pikir formal atau non-formal.
Sesat pikir formal merupakan penarikan kesimpulan yang tidak valid dari premis-premis, dan
invaliditas itu terjadi karena bentuk dari argumen. Sesat pikir non-formal, atau yang dikenal
dengan sesat pikir informal, mencakup berbagai kesalahan penalaran yang di antaranya berupa
penggunaan bahasa yang tidak/kurang seksama/ceroboh. Sesat pikir informal dapat dipahami
sebagai argumen palsu, yaitu, jenis argumen yang mungkin kelihatan tepat tetapi setelah
dibuktikan dengan pengujian ternyata tidak tepat. Tidak seperti sesat pikir formal, sesat pikir
informal bukanlah masalah bentuk. Daya tarik ekstralogis atau emosi biasanya merupakan
salah satu sumber [dari] sesat pikir ini. Dalam kasus lain, sesat pikir informal merupakan
masalah penggunaan bahasa yang menipu atau atau kesalahan karena kerancuan atau
ambiguitas dari sebuah istilah atau frasa, atau bahkan keseluruhan kalimat. Apapun
masalahnya, kita dapat katakan bahwa kepura-puraan akan adanya relevansi logis merupakan
sumber sesat pikir.

Sumber Rujukan :

 Adib, Mohammad. 2010. Filsafat Islam : Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika
Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

 Mundiri. 2014. Logika, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

 Suharto, Heru. 1994. Kesesatan-kesesatan Dalam Berfikir, Jakarta: Ghalia Indonesia.

 Sumaryono, E. 1999. Dasar-Dasar Logika, Yogyakarta : Kanisius.

 https://www.teraslampung.com/falacy-atau-sesat-pikir-dalam-logika/

 http://harryfaisalri.blogspot.com/2017/07/makalah-logika-kesesatan-berfikir.html

Anda mungkin juga menyukai