Anda di halaman 1dari 13

Hukum taklifi

Studi : Ushul Fiqh

Dosen : DR. Subhanallah Muchtar MA

HUKUM TAKLIFI

Hukum taklif

Secara bahasa, hukum berarti memutuskan (‫ )اﻟﻘﻄﻊ‬dan menceh g q11(‫)اﻟﻤﻨﻊ‬. Hukum juga berarti
menetapkan sesuatu atas sesuatu yang lain (‫)إﺛﺒﺎت اﻟﺸﺊ ﻋﻠﻰ اﻟﺸﺊ‬.

Menurut istilah, terminoogi hukum dipahami dalam dua pengertian. Menurut Ushuliyun (Ulama
ahli Ushul Fiqh), hukum adalah: perintah Allah yang berhubungan dengan prbuatan orang
mukallaf, baik dalam bentuk tuntutan, pilihan, maupun wadh’i. Sedangkan menurut Fuqaha’
(Ulama ahli Fiqh),hukum adalah: Sifat yang bersifat Sya’i (sesuatu )yang merupakan pengaruh
dari perintah Allah. Atau pengaruh dari perintah Allah yang berkaiatan dengan perbuatan orang
mukallaf, baik dalam bentuk tuntutan, pilihan , maupun wadh’i.

Macam-macam hukum taklifi menurut Jumhur ulama Ushul Fiqh:

1. Ijab

Yaitu tuntutan syar'i yang bersifat untuk melaksanakan sesuatu dan tidak boleh

ditinggalkan. Orang yang meninggalkan dikenai sanksi. Misalnya, dalam surat An-Nur :56 ‫َوَاِﻗْﻴُﻤﻮا‬
َ ‫ﺣُﻤْﻮ‬
‫ن‬ َ ‫ﻢ ُﺗْﺮ‬
ْ ‫ل َﻟَﻌَّﻠُﻜ‬
َ ‫ﺳْﻮ‬
ُ ‫ﻃْﻴُﻌﻮا اﻟَّﺮ‬
ِ ‫ﺼٰﻠﻮَة َوٰاُﺗﻮا اﻟَّﺰٰﻛﻮَة َوَا‬
َّ ‫اﻟ‬

“Dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada Rasul (Nabi Muhammad) agar kamu
dirahmati.”

"Dan dirikanlah shalat dan tunaikan zakat..." Dalam ayat ini, Allah menggunakan lafadz amr,
yang menurut ahli para Ushul Fiqh melahirkan ijab, yaitu kewajiban mendirikan sholat dan
membayar zakat. Apabila kewajiban ini dikaitkan dengan perbuatan orang mukallaf, maka
disebut dengan wujub, sedangkan perbuatan yang dituntut itu (yaitu mendirikan sholat dan
membayar zakat), disebut dengan wajib. Oleh sebab itu, istilah ijab menurut ulama Ushul Fiqh,
terkait dengan khithab (tuntutan) Allah, yaitu ayat di atas, sedangkan wujub merupakan akibat
dari khithab tersebut dan wajib adalah perbuatan yang dituntut oleh khitab Allah.
2. SUNNAH

Sunnah menurut bahasa artinya perjalanan, pekerjaan atau cara.

Sedangkan Sunnah menurut istilah artinya perkataan nabi Muhammad shallallahu alaihi
wasallam perbuatannya, ketetapannya yang dilakukan oleh Rasulullah serta sahabatnya.

Sunnah dan tingkatannya

Merupakan sumber hukum Islam akan tetapi sepeninggal Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
banyak hadis atau khobar yang disalahgunakan oleh kelompok tertentu terutama untuk
membela kelompok mereka.

Maka dalam hal ini khabar pada umumnya dapat dibagi menjadi 3 yaitu

Khabar yang pasti kebenarannya, seperti apa yang datang daripada Allah rasulnya dan khabar
yang diriwayatkan dengan jalan yang mutawatir.

Khobar yang pasti salahnya

Yaitu pemberitaan tentang hal-hal yang tidak mungkin dibenarkan oleh akal seperti khobar yang
menyatakan antara hidup dan mati dapat berkumpul atau khabar yang bertentangan dengan
syariat seperti mengaku Rasul.

Khabar yang tidak dapat dipastikan benar atau bohong seperti khabar yang samar karena
kadang-kadang kita tidak dapat menentukan mana yang benar dan bohongnya.

Pembagian sunnah

Sunnah dapat dibagi menjadi tiga yaitu sunnah qauliyah dan Sunnah taqririyah

Sunah qauliyah yaitu kata nabi shallallahu alaihi wasallam yang menerangkan hukum-hukum
agama dan maksud isi dari Alquran serta berisi peradaban, hikmah, ilmu pengetahuan dan juga
menganjurkan akhlak Yang mulia yang dikenal sebagainya hadis nabi shallallahu alaihi
wasallam
Sunnah fi'liyah

Yaitu perbuatan nabi shallallahu alaihi wasallam yang menerangkan tata cara ibadah misalkan
berwudhu, salat dan sebagainya.

Sunnah fi'liyah sendiri terbagi menjadi beberapa bagian :

Perbuatan nabi shallallahu alaihi wasallam yang bersifat gerakan jiwa gerakan hati dan gerakan
tubuh seperti bernafas duduk cara berjalan dan lain sebagainya.

Perbuatan semacam ini tidak ada sangkut pautnya dengan soal hukum dan tidak ada pula
hubungan dengan suatu perintah maupun larangan dan teladan.

Perbuatan nabi shallallahu alaihi wasallam yang bersifat kebiasaan seperti cara makan tidur dan
lain sebagainya.

Buatan ini pun sama tidak ada hubungannya dengan perintah larangan dan teladan, kecuali jika
ada perintah ataupun anjuran dari nabi shallallahu alaihi wasallam untuk mengikuti cara
tersebut.

Perbuatan nabi yang khusus untuk beliau sendiri.

Seperti menyambungkan puasa dengan tidak berbuka dan beristri lebih dari 4.

Dalam hal ini orang lain tidak boleh mengikutinya.

Perbuatan nabi shallallahu alaihi wasallam yang bersifat menjelaskan hukum yang mujmal atau
umum (global)

Seperti salat dan hajinya.

Perbuatan nabi shallallahu alaihi wasallam yang dilakukan terhadap orang lain sebagai suatu
hukuman, seperti menahan orang atau mengusahakan milik orang lain.

Perbuatan nabi shallallahu alaihi wasallam yang menunjukkan suatu kebolehan seperti
berwudhu dengan satu kali dua kali ataupun tiga kali.

3. Sunnah taqririyah

Sunat taqririyah ialah berdiam dirinya nabi shallallahu alaihi wasallam ketika melihat suatu
perbuatan dari para sahabat, baik perbuatan itu dilakukan di hadapan Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam atau tidak, akan tetapi berita mengenai perbuatan tersebut sampai kepada
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Adapun syarat sah taqrir atau ketetapan nabi shallallahu alaihi wasallam ialah orang tersebut
benar-benar tunduk kepada aturan Syarah bukan orang kafir maupun munafik.

Contoh-contoh taqrir antara lain

1. Mempergunakan uang yang dibuat oleh orang kafir

2. Menggunakan harta benda yang diusahakan mereka ketika mereka masih kafir.

Adapun sebagian ulama menambahkan satu pagi jenis Sunnah

Ya itu sunnah hammiyah

Sunnah hamiyah ialah sesuatu yang dikehendaki Rasulullah shallallahu alaihi wasallam akan
tetapi belum dikerjakan.

Contohnya beliau ingin melakukan puasa pada tanggal 9 Muharram tetapi belum dilakukan
beliau karena beliau telah wafat terlebih dahulu.

Para ulama berpendapat sunah berpuasa pada tanggal 9 Muharram.

Sunnah ditinjau dari sedih sanadnya yaitu ada khabar mutawatir dan khabar Ahad.

Khabar mutawatir yaitu khabar yang telah diriwayatkan oleh banyak orang tentang sesuatu yang
dipercaya oleh panca indranya.

Contohnya berbagai macam riwayat yang menerangkan bahwa nabi shallallahu alaihi wasallam
salat magrib 3 rakaat.

Khabar Ahad

Itu hadis yang perawinya tidak mencapai syarat perawi hadits mutawatir.
Khabar Ahad terbagi menjadi beberapa bagian

1. Hadis masyhur

Yaitu yang diriwayatkan oleh paling sedikit tiga orang meskipun hanya dalam satu tingkatan dan
tidak sampai kepada derajat mutawatir.

2. Hadis Azis yaitu hadis yang diriwayatkan oleh dua atau tiga orang dalam tingkatan itu.

3. hadis ghorif yaitu hadis yang diriwayatkan oleh seorang saja baik di awal sanad maupun di
tengahnya.

Sunnah ditinjau dari segi kualitas.

Khabar atau sunnah ditinjau dari segi kualitas orang yang meriwayatkannya.

1. Hadits shahih yaitu hadis yang mempunyai syarat sebagai berikut

*Sanadnya tidak terputus.

*Rawi atau orang yang meriwayatkan bersifat adil sempurna ingatannya dan catatannya dan
tidak berbuat ganjil yang bertentangan dengan banyak orang.

*Keadaannya tidak dibenci atau ditolak oleh ahli-ahli hadits contohnya Kitab hadis imam Bukhari
dan imam muslim.

2. Hadis Hasan yaitu hadis yang memenuhi syarat hadits shahih akan tetapi orang yang
meriwayatkannya kurang kuat ingatannya hadis semacam ini boleh diterima sekalipun tingkat
hafalan rawinya agak kurang sempurna asal tidak berpenyakit yang membahayakan dan tidak
berbuat ganjil yang bertentangan dengan kebanyakan orang (syadz)

3. Hadits dhaif yaitu hadis yang tidak lengkap syaratnya yakni tidak memenuhi syarat yang
terdapat dalam hadis shahih dan hadis Hasan.
3. HARAM

Beberapa ulama klasik menyebutnya dengan istilah “‫( ”اﻟﻤﺤﻈﻮر‬al-Mahzhuur), seperti yang dilakukan oleh
Ahmad bin Ali al-Jashosh (w. 370 H) –salah satu Aimah Hanafiyyah-[1], Abu Ali al-Hasan bin Syihaab al-
‘Ikbariy (w. 428 H) –salah satu Aimah Hanabilah[2]-, Abul Ma’aaliy Abdul Malik al-Juwainiy (w. 468 H)
–salah satu Aimah Syafi’iyyah[3]-, Abu Bakar ibnul Arabiy (w. 543 H) –salah satu Aimah Malikiyyah[4]-,
dan selainnya.

Mereka mendefinisikannya dengan :

َ ‫ ﻣ َ ﺎ ﻳ َ ﺴ ْ ﺘ َ ﺤ ِ ﻖ ّ ُ ﺑ ِ ﻔ ِﻌ ْﻠ ِ ﻪ ِ ا ﻟ ْﻌ ِ ﻘ َ ﺎ ب‬، َ ‫و َ ﺑ ِ ﺘ َ ﺮ ْﻛ ِ ﻪ ِ ا ﻟ ﺜ ّ َ ﻮ َ ا ب‬

“apa yang seorang (mukallaf) berhak dihukum karena mengerjakannya dan diberi pahala ketika
meninggalkannya”[5].

Kemudian ulama kontemporer melengkapi definisinya, seperti yang ditulis oleh asy-Syaikh Abdullah bin
Yusuf al-Juda’I ketika :

ِ‫ﻣﺎ ﻃﻠَﺐَ اﻟﺸَّﺎرِعُ اﻟﻜﻒَّ ﻋﻨﻪ ﻋﻠﻰ وﺟﻪِ اﻟﺤَﺘْﻢِ واﻹﻟﺰام‬،ً ‫ وﻳﺜﺎبُ ﺗﺎرﻛُﻪُ اﻣﺘﺜﺎﻻ‬،‫وﻳُﻌﺎﻗﺐُ ﻓﺎﻋﻠُﻪُ اﺧﺘﻴﺎرًا‬

“apa yang dituntut oleh pembuat syariat untuk menahan diri dari mengerjakannya dengan perintah yang
pasti dan harus, diberi pahala bagi yang meninggalkannya karena menaati perintah dan disiksa bagi yang
mengerjakannya dalam kondisi sukarela” –selesai-[6].

Ulama Hanafiyyah memiliki istilah lain terkait dengan haram ini, mereka mengatakan jika perintah untuk
menahan diri dengan pasti tersebut berdasarkan dalil yang qoth’I, seperti dari Al Qur’an atau hadits
mutawatir, maka mereka menamakannya dengan “Haram”, namun jika dalilnya dzhanni, seperti
berdasarkan hadits Ahad yang shahih, maka mereka menamakannya dengan “makruuh lit Tahriim”[7]. Hal
ini sama juga dengan pembagian Fardhu dan wajib (lihat tulisan kami sebelumnya).

Haram terbagi menjadi dua [8]:


Haram lidzatihi, yakni hukumnya memang haram sejak awal, seperti : berzina, mencuri,
sholat tanpa berwudhu dan selainnya.

Haram lighoirihi, yakni pada asalnya hukumnya adalah wajib, sunah atau mubah, akan tetapi
ada hal yang baru yang menyertainya yang menjadikannya diharamkan, seperti sholat
dengan menggunakan pakaian hasil ghoshob atau mencuri, jual-beli pada waktu azan
Jum’at, karena pada asalnya jual beli adalah mubah hukumnya, namun ketika ia
melakukannya pada waktu terlarang, yakni pada waktu azan Jum’at, maka hukumnya
berubah menjadi haram, karena dapat luput dari melaksanakan sholat Jum’at, dan masih
banyak contoh lainnya.

Pembahasan yang tidak kalah penting terkait dengan haram adalah bentuk-bentuk lafadz dalam nash-
nash syariat yang menunjukkan dilalah pengharamannya. Asy-Syaikh Juda’I telah menyebutkan beberapa
bentuk (sighot) lafadz lit Tahriim sebagai berikut[9] :

Lafadz “Nahyu” yang shorih (jelas), misalnya :

ِ‫}}وَﻳَﻨْﻬَﻰ ﻋَﻦِ اﻟْﻔَﺤْﺸَﺎءِ وَاﻟْﻤُﻨْﻜَﺮِ وَاﻟْﺒَﻐْﻲ‬90 :‫] ]اﻟﻨﺤﻞ‬

“dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan” (QS. An Nahl : 90).

Lafadz “Zajara”, sebagaimana riwayat Abu Zubair :

‫ ﻋ ﻦ ﺛ َ ﻤ َ ﻦ ِ ا ﻟ ﻜﻠ ﺐ ِ و ا ﻟ ﺴ ّ ِ ﻨ ّ َ ﻮ ر ِ؟ ﻗ ﺎ ل َ ) ﺳ ﺄ ﻟ ﺖ ُ ﺟ ﺎ ﺑ ﺮ ً ا )ﻳﻌ ﻨ ﻲ ا ﺑ ﻦ َ ﻋ ﺒﺪ ﷲ‬: ُ ّ ‫] ﻋ ﻦ ذ ﻟ ﻚ َ ] أ ﺧ ﺮ ﺟ ﻪ ﻣ ﺴﻠ ﻢ ٌ – ﺻﻠ ﻰ ﷲ ﻋﻠ ﻴ ﻪ و ﺳﻠ ﻢ – ز َ ﺟ ﺮ َ ا ﻟ ﻨ ّ َ ﺒ ﻲ‬

“aku bertanya kepada Jaabir bin Abdullah radhiyallahu anhu tentang menjual Anjing dan Kucing?, beliau
radhiyallahu anhu menjawab : “Nabi shalallahu ‘alaihi wa salaam melarang hal tersebut” (HR. Muslim).

Lafadz dengan perintah untuk berhenti mengerjakannya, misalnya Firman-Nya subhanahu


wa ta’aalaa :

ْ‫}}وَﻟَﺎ ﺗَﻘُﻮﻟُﻮا ﺛَﻠَﺎﺛَﺔٌ اﻧْﺘَﻬُﻮا ﺧَﻴْﺮًا ﻟَﻜُﻢ‬171 :‫] ]اﻟﻨﺴﺎء‬

“dan janganlah kamu mengatakan: “(Tuhan itu) tiga”, berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu”
(QS. An Nisaa` : 171).
Fi’il Mudhori’ dengan Laa Naahiyah, misalnya Firman-Nya subhanahu wa ta’aalaa :

‫}}وَﻟَﺎ ﺗَﻘْﺮَﺑُﻮا اﻟﺰِّﻧَﺎ‬32 :‫] ]اﻹﺳﺮاء‬

“Dan janganlah kamu mendekati zina” (QS. Al Israa` : 32).

Kalimat “laa yanbaghi” (tidak selayaknya), seperti hadits ‘Uqbaah bin Aamir radhiyallahu
anhu tatkala Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salaam dihadiahi baju sutera, kemudian Beliau
pergunakan untuk sholat, setelah selesai sholat Beliau tanggalkan baju tersebut, lalu
bersabda :

َ ‫َ ﻳ َ ﻨ ْ ﺒ َﻐ ِ ﻲ ﻫ َﺬ َ ا ﻟ ِﻠ ْﻤ ُ ﺘ ّ َ ﻘ ِ ﻴ ﻦ‬ ‫ﻻ‬

“tidak selayaknya pakain ini dikenakan oleh orang-orang yang bertakwa”.

Bentuk kalimat untuk meninggalkan hal tersebut, tanpa adanya larangan yang jelas, seperti
Firman-Nya subhanahu wa ta’aalaa :

ُ‫}}إِﻧَّﻤَﺎ اﻟْﺨَﻤْﺮُ وَاﻟْﻤَﻴْﺴِﺮُ وَاﻟْﺄَﻧْﺼَﺎبُ وَاﻟْﺄَزْﻟَﺎمُ رِﺟْﺲٌ ﻣِﻦْ ﻋَﻤَﻞِ اﻟﺸَّﻴْﻄَﺎنِ ﻓَﺎﺟْﺘَﻨِﺒُﻮه‬90 :‫] ]اﻟﻤﺎﺋﺪة‬

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala,
mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan
itu” (QS. Al Maidah : 90).

Selain itu jika sebuah perbuatan memberikan konsekuensi hukuman baik di dunia maupun di akhirat,
maka hal ini menunjukkan diharamkannya hal tersebut. Bentuknya dapat berupa hal berikut :

Hukuman pidana, seperti mencuri.

Ancaman adanya siksaan, seperti riba.

Adanya laknat ketika mengerjakan hal tersebut, seperti suap dan korupsi.

Termasuk hal yang diharamkan adalah jika perbuatan tersebut disifati sebagai dosa besar

Perbuatannya disifati sebagai bentuk permusuhan, kezholiman, kefasikan dan semisalnya,


seperti wudhu lebih dari tiga kali.

Perbuatannya diserupakan dengan perbuatan binatang atau setan atau orang kafir dan
semisalnya.

Penamaan sebuah perbuatan dengan nama lain yang telah diketahui akan keharamannya,
misalnya hadits Abu Said al-Khudri radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
salaam bersabda :

ً‫إِنَّ أَﺳْﻮَأَ اﻟﻨَّﺎسِ ﺳَﺮِﻗَﺔ‬،ُ‫“ اﻟَّﺬِي ﻳَﺴْﺮِقُ ﺻَﻠَﺎﺗَﻪ‬،‫ ﻗَاﻟُﻮا‬:َ‫ِ وَﻛَﻴْﻒَ ﻳَﺴْﺮِﻗُﻬَﺎ؟ ﻗَال‬ ‫ ﻳ َ ﺎ ر َ ﺳ ُ ﻮ ل َ ﷲ‬: ” ‫ﻟ َ ﺎ ﻳ ُ ﺘ ِ ﻢ ّ ُ ر ُﻛ ُ ﻮﻋ َ ﻬ َ ﺎ و َ ﻟ َ ﺎ ﺳ ُ ﺠ ُ ﻮد َ ﻫ َ ﺎ‬

“sesungguhnya manusia yang paling jelek pencuriannya adalah orang mencuri dalam sholatnya. Mereka
bertanya : “wahai Rasulullah, bagaimana bentuk mencurinya?”, Nabi shalallahu ‘alaihi wa salaam
menjawab : “tidak sempurna ruku’ dan sujudnya” (HR. Ahmad dan selainnya, dikatakan shahih lighoirihi
oleh al-Albani).

[1] Al-Fushul fii Ushul, juz. 3 hal. 247, cet. Kementerian Wafaq Kuwait

[2] Risaalah fii Ushul Fiqih, hal. 39, cet. Al-Maktabah al-Makkiyyah

[3] Al-Waraqaat, hal. 8

[4] Al-Mahshuul fii Ushul Fiqih, hal. 22, cet. Daar al-Bayaariq

[5] Al-Fushuul, juz. 3 hal. 247

[6] Ta’isiir Ilmu Ushul Fiqih, hal. 35, cet. Maktabah ar-Rayaan

[7] Opcit, hal. 42

[8] Opcit, hal. 41 dan Ilmu Ushul Fiqih, Abdul Wahhab Khallaf, hal. 164-165, cet. Dina Utama Semarang
(terjemahan)

[9] Opcit, hal. 36-40


4. MAKRUH

Makruh secara bahasa ialah perbuatan yang sangat tidak dianjurkan untuk dikerjakan. Meski
tidak sampai pada derajat haram, namun para ulama sepakat makruh sebagai perbuatan yang
dibenci.

Makruh juga bisa diartikan sebagai bentuk larangan yang tidak bersifat pasti.

Sedangkan makruh menurut istilah yaitu larangan terhadap suatu perbuatan tanpa adanya
keharusan untuk ditinggalkan.

Jadi hukum makruh adalah suatu perbuatan yang apabila dikerjakan tidak berdosa namun jika
ia tinggalkan dalam rangka mentaati perintah Allah azza wajalla maka ia mendapatkan pahala.

(Al fiqh Al muyassar fi dhau Al kitab wa assunnah hlm. 58)

Intinya makruh yaitu perkara yang sangat dianjurkan untuk ditinggalkan.

Namun ada pengecualian jika hal itu sangat dibutuhkan.

Hukum makruh bisa menjadi hilang karena adanya suatu kebutuhan tertentu (Hajat)

Hajat sendiri ialah sesuatu keadaan yang di mana seseorang harus melakukan sesuatu jika
tidak ia akan terjatuh ke dalam kesulitan meskipun tidak membahayakan kemaslahatannya
secara garis besar.

Hajat sendiri tidak sampai kepada hukum darurat akan tetapi tingkatnya cukup diperlukan
dalam suatu kondisi.

Dalil yang menguatkannya yaitu

‫جـِة‬
َ ‫ﺢـا‬
َ ‫نـَد اْﻟ‬
ْ ‫عـ‬
ِ ‫كـُرْوُه‬
ْ ‫ﻢـ‬
َ ‫ح َواْﻟ‬
ُ ‫يـَﺑﺎ‬
ُ ‫ﺿُﺮْوَرِة‬
َّ ‫فـِﻟﻞـ‬
َ ‫ع‬
ٍ ‫ل َمـْمـُﻧْﻮ‬
ُّ ‫كــ‬
ُ ‫َو‬

Pada setiap larangan diperbolehkan karena darurat dan perkara makruh diperbolehkan karena
hajat.

(Syarah manzhumah ushul fiqh wa qawaidihi, Syaikh Muhammad bin shalih Al utsaimin cetakan
pertama tahun 1426 Hijriyah, Dar Ibnul jauzi damam hlm 59)

Contoh hal makruh yaitu.

1. Tidur sebelum salat isya dan berbincang-bincang setelahnya

Dalilnya :

‫ﻖ ﻋﻠﻴﻪ‬
ٌ ‫ ﻣﺘﻔ‬.‫ﻫﺎ‬
َ ‫ﺚ َﺑْﻌَﺪ‬
َ ‫ﺤﺪﻳ‬
َ ‫ﺸﺎِء واﻟ‬
َ ‫ﻞ اﻟِﻌ‬
َ ‫ل ﷲ – ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ – ﻛﺎن ﻳﻜﺮُه اﻟَّﻨﻮَم َﻗْﺒ‬
َ ‫ن رﺳ ﻮ‬
َّ ‫أ‬

“Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyukai tidur sebelum shalat ‘Isya’
bincang setelahnya.” (Muttafaqun ‘alaihi)-dan berbincang

Namun ada pengecualian dalam hal ini karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah
tidur larut malam bersama Abu bakar karena membicarakan suatu urusan kaum muslimin.

Maka hal ini menandakan sesuatu yang makruh diperbolehkan ketika ada urusan atau Hajat.

Namun di sisi lain jika tidak ada keperluan Maka sangat dianjurkan untuk tidak melakukannya.

2. Mencicipi makanan ketika berpuasa

Dalilnya :

ٌ ‫ﺻﺎِﺋ‬
‫ﻢ‬ َ ‫ﻫَﻮ‬
ُ ‫ﺣْﻠَﻘُﻪ َو‬
َ ‫ﻞ‬
ْ ‫ﺧ‬
ُ ‫ﻢ َﻳْﺪ‬
ْ ‫ﻲَء َﻣﺎ َﻟ‬
ْ ‫ﺸ‬
َّ ‫ﻞ َأْو اﻟ‬
َّ ‫ﺨ‬
َ ‫ق اﻟ‬
َ ‫ن َﻳُﺬْو‬
ْ ‫س َأ‬
َ ‫َ َﺑْﺄ‬ ‫ﻻ‬

Tidak mengapa seseorang yang sedang berpuasa mencicipi cuka atau sesuatu selama tidak
masuk ke kerongkongan.

(Diriwayatkan dari Ibnu Abi syaibah dalam musonnaf no. 9277 )

Namun Syaikhup Islam Ibnu Taimiyah mengatakan "mencicipi makanan terlarang bagi orang
yang tidak memiliki hajat, tetapi hal ini tidak membatalkan puasanya. Adapun untuk orang yang
memiliki hajat, maka hukumnya seperti berkumur-kumur"

(Majmu'ah Al fatawa)

Adapun contoh makruh yang sudah ada dalil larangan secara syariat

Diantaranya

1. Makruh memakan bawang putih dan bawang merah atau sesuatu yang berbau lalu datang ke
Masjid.

Telah diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bahwa beliau bersabda

‫ﺠَﺪَﻧﺎ َوْﻟَﻴْﻘُﻌْﺪ ِﻓﻲ َﺑْﻴِﺘِﻪ‬


ِ ‫ﺴ‬
ْ ‫ل َﻣ‬
ْ ‫ﺼًﻠﺎ َﻓْﻠَﻴْﻌَﺘِﺰْﻟَﻨﺎ َأْو ِﻟَﻴْﻌَﺘِﺰ‬
َ ‫ﻞ ُﺛﻮًﻣﺎ َأْو َﺑ‬
َ ‫ﻦ َأَﻛ‬
ْ ‫َﻣ‬

"Barang siapa makan bawang putih atau bawang merah maka janganlah ia mendekati masjid
kami dan hendaklah ia salat di rumahnya"

(H.R Al Bukhari, kitab Al adzan 855, Muslim, kitab Al masaajid 73, 564)

Semua yang beraroma busuk atau mengganggu orang lain seperti bawang ketiak yang bau dan
aroma-aroma menyengat lainnya yang dikhawatirkan mengganggu orang lain maka ia
dimakruhkan untuk salat berjamaah sampai ia dapat menghilangkan baunya tersebut.

Maka hendaklah ia semaksimal mungkin untuk menghilangkan baunya agar ia dapat salat
berjamaah sesuai yang diwajibkan Allah subhanahu wa ta'ala.

(Fatawaa muhimmah tatallaqu bish shalah hlm 61-62).


5. MUBAH

Yaitu khithab Allah yang bersifat memilih, mengandung pilihan antara berbuat atau tidak

berbuat secara sama. Akibat dari khithab Allah ini disebut juga dengan ibahah, dan perbuatan

yang boleh dipilih itu disebut mubah. Misalnya firman Allah dalam surat Al-Maidah : 2

: ‫و إذ ا ﺣﻠﻠ ﺘ ﻢ ﻓﺎ ﻟ ﺼ ﻄ ﺎد و ا‬

Artinya "Apabila kamu telah selesai melaksanakan ibadah haji, maka bolehlah kamu berburu."
Ayat ini juga menggunakan lafadz amr (perintah) yang mengandung ibahah (boleh), karena ada
indikasi yang memalingkannya kepada hukum boleh. Khithab seperti ini disebut ibahah, dan
akibat dari khithab ini juga disebut dengan ibahah, sedangkan perbuatan yang boleh dipilih itu
disebut mubah

Anda mungkin juga menyukai