Anda di halaman 1dari 16

Bab 1

Perspective Of Understanding Islam

A. Substansi Islam

Dalam islam substansinya ada 3 yaitu, akidah (Iman), Syariah (Islam), Akhlak (Ikhsan). Dalam tataran
praktik kehidupan beragama, tiga perkara pokok tersebut (Iman, Islam, Ihsan) harus diterapkan secara
bersamaan tanpa terpisah. Misal, orang yang sedang shalat, dia harus mengesakan Allah disertai
keyakinan bahwa hanya Dia yang wajib disembah (Iman/Akidah), harus memenuhi syarat dan rukun
shalat (Islam/Syariah), dan shalat harus dilakukan dengan khusyu’ dan penuh penghayatan (Ihsan/Ahlak).
Inilah yang kemudian dinamakan Islam kaffah, sebagaimana firman Allah.

 ‫ين‬ٞ ِ‫ ّو ُّمب‬ٞ ‫ت ٱل َّش ۡي ٰطَ ۚ ِن ِإنَّهۥُ لَ ُكمۡ َع ُد‬ ْ ‫وا فِي ٱلس ِّۡل ِم كَٓافَّ ٗة َواَل تَتَّبِع‬
ِ ‫ُوا ُخطُ ٰ َو‬ ْ ُ‫ٰيََٓأيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمن‬
ْ ُ‫وا ۡٱد ُخل‬

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut
langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”.

B. Sumber Hukum Islam


Sumber hukum Islam Primer ini didekodifikasi (dijabarkan) oleh pemilik otoritas keilmuan agama pada
saat itu (Nabi, para sahabat dan Tabi’in), kemudian generasi setelahnya mendekodifikasikan dari generasi
sebelumnya hingga menghasilkan beberapa sumber turunan sebagai piranti ijtihad dalam rangka
memperluas makna teks-teks Agama Islam. Kita sebagai muslim awam tidak diharuskan untuk merujuk
sumber hukum primer ( Al- Quran dan Hadits ) secara langsung, karena beberapa alasan, diantaranya :

1. Kita hidup di masa yang sangat jauh dengan masa sumber wahyu, sehingga kita butuh
pemahan terhadap sumber wahyu dari jalur mata rantai periwayatan (sanad) yang
tersambung pada sumber wahyu (Nabi Muhammad SAW)
2. Jalur Sanad tersebutlah yang secara nyata telah memberikan kontribusi yang besar
terhadap penafsiran dan penjelasan teks-teks keagamaan
3. Sanad tersebut berisi para tokoh ulama yang tidak lagi diragukan kredibilitas dan
kapabilitasnya

Berarti kita tidak bisa merujuk ke sumber hukum primer Islam secara langsung tanpa melalui perantara
para ulama yang telah diakui kredibilitas dan kapasitasnya. Hal ini ditunjukkan juga oleh keumuman Ayat
dari Qs. 16:43 dan Qs.21:7. Dari sinilah kemudian kita paham akan keharusan dalam mengikuti Madzhab.
C. Sunnah Dan Bid’ah

 Sunnah adalah Thoriqoh (Tata Cara/ Petunjuk) Nabi Muhammad SAW baik secara
umum maupun khusus dalam:
1. Perbuatan (pekerjaan)
2. Perintah
3. Penerimaan / Ketetapan / Diamnya Nabi tanpa ingkar
4. Penolakan / Pelarangan

‫إن ما شهد له شاهد من الشرع بالطلب خاصا أو عاما ليس من البدعة و إن لم يكن الرسول صلى هللا عليه وسلّم فعله بخصوصه أو أمر به‬
)8 ‫ ص‬،‫أمرا خاصا فهذه طريقة الرسول (السنة والبدعة لعبد هللا محفوظ محمد الحداد باعلوي الحداد‬

“Amal yang memiliki dasar perintah secara umum ataupun khusus bukanlah bid’ah, meskipun baginda
Nabi Muhammad SAW tidak melakukannya atau tidak memerintahkannya secara khusus . Dan ini masuk
dalam kategori Sunnah (Thoriiqotur Rosul)”.

 Bid’ah adalah perkara baru (tidak pernah ada sebelumnya/ada) yang resmi ditolak oleh
syara’. Hal ini disebabkan beberapa alasan dianataranya:
1. Tidak legal sama sekali ( ‫)غير مشروع‬, Seperti Sujudnya Sahabat Mu’adz kepada Nabi.
2. Bukan merupakan bentuk ibadah sama sekali, Seperti nadzarnya sahabat Abu Isail
yang berdiri ditengah terik matahari sembari berpuasa.
3. Menerjang larangan Nash, seperti menghususkan hari jumuah dengan berpuasa dan
sholat.
4. Berpotensi menimbulkan mafsadah, seperti Rahbanah (gaya hidup biarawan) yang
sama sekali melarang dirinya untuk menikah
5. Mengamalkan Hadits palsu yang berkonsekuensi pada penisbatan kepada Baginda
Nabi Muhammad SAW dan dianggap sebagai dusta / kebohongan.

D. Kaidah Kaidah Dalam Ibadah

 Yang pokok dalam Ibadah adalah mengikuti, bukan berinovasi

 Yang tidak dilakukan Nabi tidak bisa dijadikan dalil pelarangan


 Tidak diingkari kebolehan menghususkan kemutlakan ibadah dengan waktu, tempat, volume dan
teknis selagi memenuhi sayarat berikut :

1. Tidak merubah substansi ibadah


2. Tidak ada dalil umum maupun husus yang melarangnya
3. Tidak diyakini bahwa itu adalah sunnah (antitesa wajib)

E. Pembatasan Ibadah Mutlak Dengan Waktu, Volume Dan Sifat (Teknis)

 Madhab Syafi’i (Boleh)


 Contoh
1. Hadits ziarah Quba’ setiap hari sabtu, imam nawawi meberi komentar dalam Syarah
Muslim bahwa hadits tersebut menunjukkan kebolehan menghususkan sebagian hari
dengan berziarah.
2. Menghususkan dzikir sebelum shalat dengan bacaan
‫بسم هللا موجها لبيت هللا مؤديا لفرض هللا هللا أكبر‬

 Madzhab Hanbali (Boleh)


 Contoh
1. Imam Ahmad bin Hanbal menghususkan jumlah volume shalat dalam sehari semalam
sebanyak 150 rekaat bagi dirinya, sebagaimana ini dirawaytkan oleh puteranya yang
bernama Abdullah bin Ahmad. (Siyar A’laam An Nubalaa).
2. Memberikan ucapan selamat secara husus kepada orang yang memperoleh nikmat dengan
ucapan ‫ليهنئك• ما أعطاك هللا وما من هللا به عليك‬

 Madzhab Maliki (Boleh)


 Contoh,
1. Menghusukan ucapan selamat di Hari Raya dengan ucapan
‫غفر هللا لنا ولك تقبل هللا منا و منك‬
2. Mengucapkan ‫ صدق هللا العظيم‬di setiap mengakhiri bacaan Al-Quran.
 Madzhab Habafi (Boleh)
 Contoh
1. Imam Abu Hanifah menentukan volume solatnya disetiap malam sebanyak 300 rekaat.
(Iqomat Al Hujjah, li Laknawi).
2. Menghususkan Ziarah ke Makam SyuhadaKamis pagi, sementara riwayat hadits dari ibnu
Abi Syaibah sekedar menerangkan bahwa nabi menziarahi makam syuhada Uhud setiap
permulaan tahun.

F. Bagaimana Islam Menyikapi Tradisi Isalam

Tradisi (Urf) adalah perbuatan atau ucapan yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga bisa diterima
oleh khalayak dan tertancap di hati, diterima akal sehat dan dijaga keberlangsungannya. Landasan tradisi
adalah Qs. 7: 199

َ‫ض َع ِن ۡٱل ٰ َج ِهلِين‬ ِ ‫ُخ ِذ ۡٱل َع ۡف َو َو ۡأ ُم ۡر بِ ۡٱلع ُۡر‬


ۡ ‫ف َوَأ ۡع ِر‬

“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada
orang-orang yang bodoh”.

Dalam fikih sunni tradisi justru dijadikan bahan pertimbangan dalam penetapan sebuah hukum. Sikap
selektif kita terhadap tradisi juga berlandaskan sebuah kaidah fikih.

‫ما ال يدرك كله ال يترك جله‬

“Kebaikan yang tidak bisa dicapai secara keseluruhan, tidak harus ditinggalkan semua”.

G. Kaidah Kaidah Dalam Mu’amalah (Transaksi Dan Interaksi)

 Asal (pokok) dari sesuatu dalam transaksi dan interaksi adalah boleh. Kecuali jika ada teks yang
melarangnya. Contoh: jual beli, hutang piutang, pinjam meminjam, sewa menyewa dsb. Asal dari
transaksi tersebut adalah boleh. Jika ada teks yang datang menerangkan transaksi-transaksi
tersebut adalah dalam rangka mengatur ketertibannya.

 Yang dipertimbangkan dalam muamalah adalah Isi (maksud) dan tujuan utama, bukan lahiriah
dan kemasannya. Contoh: Transaksi Gadai, meskipun ketika transaki menggunakan redaksi jual
beli, maka redaksi tersebut tidak dianggap, karena melihat isi dan maksud dari transaksi tersebut
adalah jaminan hutang.

 Perkara wajib tidak boleh ditinggalkan hanya karena perkara haram. Contoh: kewajiban
mendatangi undangan pesta pernikahan tidak boleh digugurkan hanya karena dipesta itu terdapat
pentas musik yang diharamkan (karena ada unsur wanita membuka aurat).

 Tidak diperbolehkan menyakiti diri sendiri dan orang lain. Contoh: perbuatan yang mengancam
keberlangsungan hidup diri dan orang lain tidak diperbolehkan.

Bab 2

Islamic Principles

Dalam Islam, ada tiga macam bentuk hak dan kewajiban manusia yang terpotret oleh penulis, yaitu hak
dan kewajiban dalam domain prifat (manusia dengan Allah SWT), hak dan kewajiban dalam domain
publik/interpersonal (manusia dengan sesama), serta hak dan kewajiban intrapersonal. Sebagaimana hal
ini ditunjukkan oleh sabda baginda Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadits riwayat imam Bukhari,
Yaitu

‫س ِدكَ َعلَ ْي َك َحقًّا َوِإنَّ ِل َع ْينِكَ َعلَيْكَ َحقًّا َوِإنَّ ِل َز ْو َجتِكَ َعلَ ْي َك َحقًّا َوِإنَّ لِز َْو ِركَ َعلَ ْي َك َحقًّا‬
َ ‫فَِإنَّ ِلج‬

“Sesungguhnya ragamu, matamu, istrimu, tamumu dan tuan rumahmu memiliki hak yang wajib kau
penuhi”.

Islam mengatur bagaimana agar supaya hak dan kewajiban yang ada tidak menggerus apalagi merampas
hak dan kewajiban orang lain. Hak-hak manusia dalam domain prifat (manusia dengan Allah) terbangun
di atas prinpip toleran. Sementara hak-hak manusia dalam domain publik/hak-hak interpersonal terbangun
d atas prinsip intoleran.
Bab 3

Hakikat Fikih Dan Syari’ah

A. Hakikat Fikih

Fikih secara bahasa mempunyai arti pengetahuan dan pemahaman terkait suatu hal. Secara istilah,
sebagian ulama berpendapat bahwa fikih adalah displin ilmu yang membahas tentang hukum-hukum
syara’ (bersifat amaliah) yang diperoleh dari dalil-dalil yang terperinci, baik dari Quran maupun Hadits.
Abu Ishaq bin Ali al-Fairuzabadzi as-Syirazi mengatakan bahwa fikih adalah mengetahui beberapa
hukum syariat yang diperoleh melalui ijtihad seorang mujtahid. Fikih bisa dimaknai sebagai elaborasi
terhadap syari’ah yang berisi rincian atau kejelasan dari syari’ah.

Ruang lingkup kajian fikih berada di dalam persoalan-persoalan yang berkaitan dengan amaliah atau
perbuatan manusia, yang pemahaman hukumnya didapatkan dari sumber hukum melalui serangkaian
proses ijtihad. Karena didapatkan melalui proses ijtihad, maka banyak sekali perbedaan pendapat tentang
suatu hukum yang disampaikan oleh Mujtahid.

B. Hakikat Syari’ah

Ibnu Hazm dalam kitab Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam berpendapat bahwa Syariah adalah nash (teks yang
tidak multitafsir) yang terdapat di dalam Al-Quran, nash hadits adalah nash yang didapat dari perbuatan
Baginda NAbi, nash yang didapat dari taqrir Baginda Nabi, dan ijma’ sahabat. Dari penjelasan tersebut,
syariah bisa dipahami sebagai segala tuntunan, perintah, atau larangan yang diberikan oleh Allah kepada
hambaNya, baik dalam bidang akidah, amaliah, (perbuatan fisik), dan akhlak. Semua sumber tuntunan,
perintah, atau larangan bisa didapatkan dari teks yang terdapat dalam Quran dan Hadits.

C. Hubungan Fikih Dan Syari’ah

Fikih dan Syari’ah memiliki hubungan kausalitas atau sebab akibat, serta hubungan antara keumuman dan
kekhususan. Karena ada Syari’ah di situlah ada fikih. Ini bisa dilihat dari poin berikut ini:

1. obyek kajian syariat sifatnya lebih umum karena mencakup akidah, perbuatan, dan
akhlak manusia. Sedangkan fikih hanya berlaku pada amaliah perbuatan manusia, tidak
membahas persoalan akidah dan akhlak.
2. Syari’ah bersifat absolut karena memang hakikat syariah itu diterima begitu saja sesuai
dengan apa yang dijelaskan oleh Allah (Taken for Granted). Sedangkan fikih tidak
memiliki sifat absolut semacam itu karena merupakan temuan dari ijtihad masing-masing
mujtahid. Perbedaan pendapat pasti ada dalam memutuskan sebuah hukum fikih, dan
Rasulullah tidak mempermasalahkan hal tersebut karena ia menganggap keduanya
sebagai sesuatu yang bisa membuahkan pahala.
3. syariat menggunakan bahasa yang terkadang lebih umum dan membutuhkan yang rincian
dari sebuah perintah atau tuntunan, sehingga di sinilah peran mujtahid untuk menggali
sebuah hokum. Contohnya, kewajiban salat adalah syariat yang dijelaskan nash Quran
sedangkan teknis pelaksanaannya dijelaskan oleh teks Hadits yang bervariasi, dan
dipahami berbeda oleh kalangan mujtahid, misal terkait kesunahan qunut dan letak sujud
sahwi.

D. Analogi Syari’ah Da Fikih

 ‫ص َر ِإاَّل فِي بَنِي‬ ْ ‫صلِّيَنَّ َأ َح ٌد ا ْل َع‬


َ ُ‫ب اَل ي‬ِ ‫سلَّ َم يَ ْو َم اَأْل ْح َزا‬ َ ‫ض َي هَّللا ُ َع ْن ُه َما قَا َل قَا َل النَّبِ ُّي‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬ ِ ‫عَنْ نَافِ ٍع عَنْ ا ْب ِن ُع َم َر َر‬
َ‫صلِّي لَ ْم يُ ِر ْد ِمنَّا َذلِكَ فَ ُذ ِك َر َذلِك‬ ُ ‫صلِّي َحتَّى نَْأتِيَ َها َوقَا َل بَ ْع‬
َ ُ‫ض ُه ْم بَ ْل ن‬ َ ُ‫ض ُه ْم اَل ن‬ُ ‫يق فَقَا َل بَ ْع‬
ِ ‫ص َر فِي الطَّ ِر‬ ُ ‫قُ َر ْيظَةَ فََأ ْد َركَ بَ ْع‬
ْ ‫ض ُه ْم ا ْل َع‬
ْ‫سلَّ َم ِمن‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬ ِ ‫سلَّ َم فَلَ ْم يُ َعنِّفْ َو‬
َ ‫ ِكتَاب ا ْل َم َغا ِزي؛ بَاب َم ْر ِج ِع النَّبِ ِّي‬:‫احدًا ِم ْن ُه ْم [ البخاري‬ َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ ‫لِلنَّبِ ِّي‬
ِ ‫اَأْل ْح َزا‬
]‫ب‬

 Baginda Nabi ketika perang Ahzab pernah memberi intruksi kepada para sahabat: jangan ada
seorangpun yang melakukan salat ashar kecuali sudah sampai perkampungan Bani Quraidhah

 . Di tengah perjalanan sebagian sahabat, masuk waktu salat ashar. Sebagian sahabat berkata:
kami tidak akan salat ashar sehingga kami sudah berada di perkampungan Bani Quraidhah.

 Sebagian sahabat berkata: tidak, kami akan salat ashar terlebih dulu, bukan begitu yang
dikehendaki Baginda Nabi, beliau hanya ingin agar kita bisa bergegas sampai tujuan.

 Kejadian tersebut disampaikan kepada Baginda Nabi dan ternyata beliau tidak menyalahkan
satupun dari mereka atas keputusan yang mereka pilih.

Dari kisah tersebut bisa kita buat penggambaran bahwa perintah dari Baginda Nabi (jangan ada
seorangpun yang melakukan salat ashar kecuali sudah sampai perkampungan Bani Quraidhah) itu adalah
syariat. Adapun pertimbangan serta keputusan yang diambil para sahabat setelah mendengar, mencermati
dan memahami adalah fikih.
BAB 4

Sufism, Ethics, Character, and Morals

A. Tasawuf
Tasawuf adalah upaya yang dilakukan oleh seseorang untuk mensucikan diri dengan
cara menjauhi pengaruh kehidupan yang besifat kesenangan duniawi dan akan
memusatkan seluruh perhatiaanya kepada Allah SWT.
 Prinsip-prinsip tasawuf
a. Pembersihan jiwa dari segala penyakit hati
b. Memurnikan ibadah hanya karena Allah (Ikhlas )
c. Menanamkan kesadaran akan status kefakiran dan kelemahan diri di
hadapan Allah SWT
d. Meneguhkan Hati dengan perasaan kasih sayang dan mengasihi
e. Berhias diri dengan Akhlak Karimah
 Macam-macam tasawuf
1) Tasawuf Akhlaki, berisikian ajaran pokok dengan istilah sbb:
a. Takhalli : Membersihkan diri dari sifat tercela.
b. Tahalli : Menghiasi diri dengan sifat terpuji.
c. Tajalli : Tersingkapnya cahaya gaib di hati.
d. Munajat : Melaporkan aktifitas diri kepada Allah.
e. Tafakkur : Merenung dan Meditasi
2) Tasawuf Amali, berisikan ajaran pokok dengan istilah sbb:
a. Syari’ah : mengikuti hukum-hukum Allah
b. Thariqah : perjalanan menuju Allah
c. Haqiqah : aspek batiniah dari syari’ah
d. Ma’rifah : puncak pengetahuan kepada Allah melalui hati
3) Tasawuf Falsafi
Ialah tasawuf yang menggabungkan antara mistik dan rasio.
Menurut ibnu khaldun dalam kitab Al Ma’rifah, objek dari kajian Tasawuf
Falsafi ini adalah:
 Pelatihan spiritual yang menggunakan rasa dan intuisi dengan
tingkatan-tingkatan tertentu.
 Kajian dari hakikat sifat-sifat Tuhan, malaikat, arasy, ruh, wahyu,
kenabian, susunan kosmos dan Penciptanya. Biasanya hal ini
dilakukan dengan dzikir-dzikir secara khusu’ kepada Allah dan
meninggalkan perihal duniawi.
 Pengungkapan teori dengan istilah yang filosofis. Istilah ini biasanya
tidak bisa dipaami oleh masyarakat awam.
 Secara lebih spesifik, Tasawuf falsafi ini berusaha untuk
menggabungkan rasionalitas dan perasaan (Dzauq)
B. Akhlak
Akhlak menurut imam Ghazali ialah kondisi kejiwaan yang tertanam dalam diri
seseorang yang memungkinkannya untuk melakuan tindakan tertentu denga mudah,
alamiah, tanpa ada pertimbangan (dipaksa atau dibuat-buat).
Dalam pandangan imam Ghazali, akhlak bukan merupakan sesuatu yang ada secara
alamiah dalam diri seseorang, melainkan diperoleh melalui sebuah latihan (riyadlah).
Jika dilihat dari sumbernya, bentuk tindakan akhlak (Baik-buruknya) ini berasal dari
wahyu.

C. Etika
PERTEMUAN KE 11
Islam, Kebangsaan dan Nasionalisme
Kebangsaan berasal dari kata Bangsa. Dalam KBBI bangsa adalah kelompok masyarakat yang bersamaan
asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarahnya, serta berpemerintahan sendiri, atau kumpulan manusia
yang biasanya terikat karena kesatuan bahasa dan kebudayaan dalm arti umum dan menempati wilayah
tertentu di muka bumi.

Jadi kebangsaan yang sepadan juga dengan nasionalisme adalah suatu keadaan atau sifat yang
menerima pengakuan atas kumpulan manusia yang terikat karena kesatuan bahasa dan kebudayaan dan
menempati wilayah tertentu (memiliki batas teritori).

Pengertian di atas, bisa kita pahami bahwasannya kebangsaan atau nasionalisme adalah paham atau
idelogi yang terkait dengan nilai-nilai dasar yang disepakati oleh warga negara dan ingin
diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dari uraian tentang kebangsaan atau nasionalisme di atas, dalam konteks negara Indonesia nilai-nilai
yang ingin diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah ideologi negara
Indonesia yaitu Pancasila.

Pancasila dijadikan sebagai ideologi negara mengandung nilai-nilai dasar ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, kerakyatan dan keadilan.

Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia memiliki urgensi bagi kehidupan berbangsa dan bernegara,
diantaranya adalah:

 Membentuk identitas atau ciri kelompok bangsa

 Mempersatukan sesama

 Mempersatukan semua lapisan masyarakat dari berbagai macam latar belakang agama,
suku dan ras
 Mengatasi berbagai macam pertentangan, konflik dan ketegangan sosial

 Mewujudkan solidaritas dan egalitas.

Mendudukkan kebangsaan atau nasionalisme dalam sudut pandang agama Islam haruslah dengan cara
memandang Islam itu sendiri secara substansialistik dan integralistik dan holistik.

Islam sebagai agama (wahyu) tentunya mempunyai gagasan, ide serta konsep dari Tuhan yang
diharapkan bisa direalisasikan dalam kehidupan setiap pemeluknya. Gagasan, ide serta konsep ini
dikenalkan oleh Allah melalui Rasul (baginda nabi Muhammad SAW) dan dijelaskan olehnya baik secara
global maupun rinci.

Semua gagasan, ide serta konsep tersebut setelah dijelaskan oleh baginda nabi Muhammad SAW
menjadi satu kesatuan yang sistematis, mencakup semua dimensi kehidupan manusia yang melangit
(akidah, ibadah murni) maupun membumi (relasi sosial) yang kemudian disebut dengan ajaran agama.

Dari sini kita bisa memahami bahwa Islam memunculkan ideologi (fikrah dan thariqah) yang menjadi
satu kesatuan sistem aturan sekaligus ajaran agama.

Membincangkan Islam dan kebangsaan, sama halnya membincangkan agama dan negara.

Imam Al-Ghazali melihat bahwasanya Agama dan Negara adalah dua entitas yang harus berjalan seiring.
Agama ibarat akar (pokok) dan negara ibarat batang (penjaganya).

Dalam Islam memang tidak ada istilah memisahkan agama dan negara, pun tidak ada istilah agama
adalah negara dan negara adalah agama.

Ini menjadi sangat afirmatif ketika kita mau menilik perjalan sejarah baginda Nabi Muhammad SAW.
Perjalanan sejarah kehidupan Baginda Nabi Muhammad SAW memiliki dua periode, periode Mekah dan
periode Madinah. Dalam periode Mekah, Nabi menata spiritualitas individu individu mayarakat dengan
pendekatan persuasif.

Dalam periode Madinah, spiritualitas individu-individu masyarakat telah mapan dan bisa mewarnai
komunitas Madinah saat itu. Dan secara otomatis komunitas Madinah (negara kecil Madinah) ini
terwujud dengan sendirinya karena kemapanan spiritualitas masyarakatnya.

ini berarti bahwa Nabi tidak menjadikan Negara sebagai Agama dan Agama sebagai Negara. Akan tetapi
Agama bisa mewarnai kehidupan kenegaraan pada saat itu.

Dari uraian di atas kita bisa memahami betul bahwa ideologi Agama seharusnya bisa mewarnai idelogi
negara. Dan Kita tahu betul bagaimana ideologi negara Indonesia yang berupa Pancasila ini sudah sangat
terwarnai dengan ideologi Agama.

Ideologi Agama tidak harus diformalkan dalam sistem kenegaraan, ia harus dijadikan sebagai alat
kontrol bukan sebaliknya, ia tidak boleh difahami secara verbal dan tekstual.

Dan ideologi Pancasila mengandung esensi dari ideologi Agama, sehingga tidak perlu dipermasalahkan.

Ideologi Agama yang telah diuraikan, harus kita tancapkan kembali dalam benak setiap generasi insan
muslim bangsa. Pun demikian dengan ideologi Negara yang berupa Pancasila.
Ketika demikian maka sudah tidak ada lagi yang membenturkan antara ideologi Agama dan negara.

Generasi yang berpegang teguh pada ideologi Agama, mereka akan selalu patuh, taat, loyal dan cinta
terhadap Agamanya. Demikian juga generasi yang berpegang teguh pada ideologi Negara, mereka akan
selalu patuh, taat, loyal dan cinta terhadap negaranya.

Yang demikian itu adalah generasi yang religius dan nasionalis.

PERTEMUAN KE 12
Islam Dan Gender
• Kata gender dalam bahasa Indonesia dipinjam dari bahasa Inggris yang secara harfiah “gender”
berarti jenis kelamin.

• Helen Tierney ; Gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan
(distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki
dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.

• Mansour Faqih, Gender adalah suatu sifat yang melekat pada laki-laki maupun perempuan yang
dikonstruksi secara sosial maupun kultural.

• Nasarudin Umar bahwa gender adalah konsep kultural yang digunakan untuk memberi
identifikasi perbedaan dalam hal peran, perilaku dan lain-lain antara laki-laki dan perempuan
yang berkembang di dalam masyarakat yang didasarkan pada rekayasa sosial.

• Hilary M. Lips mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan
perempuan.

• H. T. Wilson mengartikan gender sebagai suatu dasar untuk menentukan perbedaan sumbangan
laki-laki dan perempuan pada kebudayaan dan kehidupan kolektif yang sebagai akibatnya
mereka menjadi laki-laki dan perempuan.

• Oakley (1972) berarti perbedaan atau jenis kelamin yang bukan biologis dan bukan kodrat
Tuhan.

• Caplan (1987) menegaskan bahwa gender merupakan perbedaan perilaku antara laki-laki dan
perempuan selain dari struktur biologis, sebagian besar justru terbentuk melalui proses social
dan cultural.

Kesimpulan Menurut Para Ahli

Gender adalah seperangkat sikap, peran, tanggung jawab, fungsi, hak, dan perilaku yang melekat
pada diri laki-laki dan perempuan akibat bentukan budaya atau lingkungan masyarakat tempat
manusia itu tumbuh dan dibesarkan.

Definisi secara Umum


Gender dimaknai sebagai perbedaan yang bersifat social budaya yang merupakan nilai yang
mengacu pada sistem hubungan sosial yang membedakan fungsi serta peran perempuan dan laki-
laki dikarenakan perbedaan biologis atau kodrat yang oleh masyarakat kemudian dibakukan menjadi
‘budaya’ dan seakan tidak lagi bisa ditawar.

Kesetaraan Gender

Kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh
kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam
kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan
nasional (hankamnas) serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan.

Indikator Kesetaraan Gender

Akses

Manfaat Indikator Partisipasi

Kontrol

Bentuk Ketidak Adilan Gender

Kekerasan
Stereotype Marginalisasi
(violence)

Double
Subordinasi
burden

Gender Dalam Perspektif Islam

Islam tidak membedakan antara hak dan kewajiban yang ada pada anatomi manusia, hak dan kewajiban
itu selalu sama di mata Islam bagi kedua anatomi yang berbeda tersebut. Islam mengedepankan konsep
keadilan bagi siapun dan untuk siapapun tanpa melihat jenis kelamin mereka. Islam adalah agama yang
telah membebaskan belenggu tirani perbudakan, persamaan hak dan tidak pernah mengedapankan dan
menonjolkan salah satu komunitas anatomi saja. Islam hadir sebagai agama yang menyebarkan kasih
sayang bagi siapa saja.
• Allah menciptakan bentuk fisik dan tabiat wanita berbeda dengan pria. Kaum pria di berikan
kelebihan oleh Allah subhanahu wata’ala baik fisik maupun mental atas kaum wanita sehingga
pantas kaum pria sebagai pemimpin atas kaum wanita

• Dalam perspektif Islam, semua yang diciptakan Allah swt berdasarkan kodratnya masing-masing

Allah berfirman dalam Qs. 4:1

“wahai manusia!Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakankamudari diri ya ng satu


(Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya(Hawa) dari (diri)nya; dan dari keduanya Allah
memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang
dengan namaNya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah
selalumenjaga dan mengawasimu”.

Anda mungkin juga menyukai