Anda di halaman 1dari 15

MODUL 6

SYARI’AH (IBADAH DAN MUAMALAH)

DAFTAR ISI

Kata pengantar

Daftar isi

Kode konsep

Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar

Petunjuk Pemakaian Modul

Indikator Pembelajaran.
Pembelajaran 1, mengidentifikasi nash agama islam

Uji Formatif 1

Uji Formatif 2

Kunci jawaban

Glosarium

Daftar Pustaka

Kode konsep
Agama islam

Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar

Taruna dapat memahami pentingnya agama dalam kehidupan manusia.


Taruna dapat mengamalkan nilai-nilai islam dalam kehidupannya.
Taruna dapat mencontohkan islam dalam kehidupan sehari- hari
Taruna mampu menularkan nilai- nilai islam dalam kehidupan sehari hari.
Petunjuk Pemakaian Modul

Modul ini digunakan oleh taruna tingkat 1 poltektrans Palembang


Pada semester 1,
Modul ini dilengkapi dengan ayat ayat al qur’an dan hadits- hadits Rasulullah.

Indikator Pembelajaran.

Taruna dapat mengeti agama islam dengan baik.


Taruna dapat menjelaskannya dengan baik.

Pembelajaran 1, mengidentifikasi nash agama islam baik al qur’an maupun hadits

Uji Formatif 1

Uji Formatif 2

Kunci jawaban

Glosarium

Daftar Pustaka
SYARI’AH (IBADAH DAN MUAMALAH)

Kata pengantar
Syariat merupakan kebutuhan hidup manusia yg tidakkalah pentingnya dengan
kebutuhan kita akan makanan atau gizi dalam kehidupan jasmani kita.

1. Pengertian
1.1 Pengertian Syariah
            Pengertian syariah secara etimologi (asal kata) berarti sumber air atau jalan
yang lurus. Sedangkan secara terminologi, syariah adalah kumpulan norma Illahi yang
mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan sesama
manusia, juga hubungan manusia dengan alam, dan norma-norma ini sudah pasti
benar dan lurus[1].
            Dari dua pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian syariah Islam
adalah tata cara pengaturan tentang perilaku hidup manusia untuk mencapai keridhaan
Allah SWT[2]. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS. Al Jatsiyah ayat 18:
Artinya : “Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat untuk urusan
(agama yang benar). Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu
orang-orang yang tidak mengetahui.”  
            Secara umum syariah terbagi menjadi dua hal yaitu ibadah khusus atau ibadah
mahdlah, dan ibadah dalam arti umum atau muamalah. Ibadah khusus atau ibadah
mahdlah adalah ibadah yang telah dicontohkan secara langsung oleh Nabi
Muhammad SAW, seperti shalat, puasa, dan haji. Maka dari itu umat muslim harus
mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diperintahkan Allah dan diajarkan oleh
Nabi Muhammad tanpa boleh melakukan perubahan-perubahan terhadap ketentuan
tersebut. Hal-hal di luar ketentuan tersebut tidak sah atau batal dan lebih dikenal
dengan istilah bid’ah.
            Sedangkan Ibadah umum atau muamalah adalah ibadah yang pelaksanaannya
tidak seluruhnya dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW namun hanya berupa
prinsip-prinsip dasar dan pengembangannya diserahkan pada kemampuan dan daya
jangkau pikiran umat Islam sendiri. Contoh dari muamalah misalnya, aturan-aturan
keperdataan seperti hal-hal yang menyangkut perdagangan, ekonomi, perbankan,
pernikahan, hutang piutang, atau pun juga aturan-aturan dalam bidang pidana dan tata
negara.

1.2  Pengertian Fiqih


      Secara harfiah dalam bahasa Arab, fiqih adalah pemahaman yang
mendalam tentang suatu hal. Sedangkan arti fiqih secara istilah adalah
suatu ilmu yang mendalami hukum Islam yang diperoleh melalui Al-
Quran dan hukum sunnah. Fiqih juga merupakan ilmu yang membahas
hukum syari’ah dan hubungannya dengan kehidupan manusia sehari-hari.
      Dari pengertian tadi dapat dipahami bahwa ilmu fiqih merupakan salah
satu bidang ilmu dalam syari’ah Islam yang secara khusus membahas
berbagai permasalahan hukum dalam kehidupan manusia, baik hubungan
antara manusia dengan sesama manusia, juga hubungan manusia dengan
Allah. Ilmu fiqih juga dapat disebut qanun atau undang-undang.
      Hal ini dijelaskan pada QS At-Taubah ayat 122:
Artinya: “Maka apakah tidak lebih baik dari tiap-tiap kelompok
segolongan manusia untuk ber “tafaqquh” (memahami fiqih) dalam
urusan agama dan untuk memberi peringatan kaumnya bila mereka
kembali; mudah-mudahan kaumnya dapat berhati-hati (menjaga batas
perintah dan larangan Allah).”

2.      Perbedaan Syari’ah dan Fiqih


                        Syari'ah memiliki pengertian yang amat luas. Tetapi dalam konteks
hukum Islam, makna syari'ah adalah aturan yang bersumber dari nash yang
qat'i sedangkan fiqih adalah aturan hukum Islam yang bersumber dari nash
yang zanni[3]. Penjelasan singkat ini membawa kita harus memahami apa
yang disebut qat'i dan apa pula yang disebut zanni.
2.1 Nash Qat'i
                        Qat'i itu terbagi dua: dari sudut datangnya atau keberadaannya dan dari
sudut lafaznya. Semua ayat al-Qur'an itu merupakan qat'i al-tsubut. Artinya,
dari segi "datangnya" ayat Qur'an itu bersifat pasti dan tidak mengalami
perubahan. Tetapi, tidak semua ayat Qur'an itu mengandung qat'i al-dilalah.
Qat'i al-dilalah adalah ayat yang lafaznya tidak mengandung kemungkinan
untuk dilakukan penafsiran lain. Jadi, pada ayat yang berdimensi qat'i al-
dilalah tidaklah mungkin diberlakukan penafsiran dan ijtihad, sehingga pada
titik ini tidak mungkin ada perbedaan pendapat ulama.
            Sebagai contoh: Kewajiban shalat tidaklah dapat disangkal lagi. Dalilnya
bersifat Qat'i, yaitu "aqimush shalat". Tidak ada ijtihad dalam kasus ini
sehingga semua ulama dari semua mazhab sepakat akan kewajiban shalat.
                        Begitu pula halnya dengan hadis. Hadis mutawatir mengandung sifat
qat'i al-wurud (qat'i dari segi keberadaannya). Tetapi, tidak semua hadis itu
qat'i al-wurud (hanya yang mutawatir saja) dan juga tidak semua hadis
mutawatir itu bersifat qat'i al-dilalah. Jadi, kalau dibuat bagan sbb:
·                     Qat'i al-tsubut atau qat'i al-wurud: semua ayat Al-Qur'an dan
Hadis mutawatir
·                     Qat'i al-dilalah: tidak semua ayat al-Qur'an dan tidak semua
hadis mutawatir
2.2 Nash Zanni
                        Zanni juga terbagi dua: dari sudut datangnya dan dari sudut lafaznya.
Ayat Qur'an mengandung sejumlah ayat yang lafaznya membuka peluang
adanya beragam penafsiran. Ini yang dinamakan zanni al-dilalah.
                        Selain hadis mutawatir, hadis lainnya bersifat zanni al-wurud. Ini
menunjukkan boleh jadi ada satu ulama yang memandang shahih satu hadis,
tetapi ulama lain tidak memandang hadis itu shahih. Ini wajar saja terjadi,
karena sifatnya adalah zanni al-wurud. Hadis yang zanni al-wurud itu juga
ternyata banyak yang mengandung lafaz zanni al-dilalah. Jadi, sudah terbuka
diperselisihkan dari sudut keberadaannya, juga terbuka peluang untuk
beragam pendapat dalam menafsirkan lafaz hadis itu.

·                     zanni al-wurud : selain hadis mutawatir


·                     zanni al-dilalah : lafaz dalam hadis mutawatir dan lafaz hadis
yang lain (masyhur, ahad)
            Sebagai contoh perbedaan syariah dengan fiqih misalnya kewajiban
puasa Ramadhan. Puasa Ramadhan merupakan syari’ah dan nashnya qat'i,
sedangkan waktu kapan mulai puasa dan kapan akhir Ramadhan  adalah fiqih
dan nashnya zanni.
3.      Tujuan dan Fungsi Mempelajari Syari’ah
            Tujuan utama yang hendak dicapai dari mempelajari syari’ah adalah untuk
mengetahui hukum syara’ (syariah) berkaitan dengan perbuatan manusia yang
mukallaf (yang dibebani hukum) sehingga akan diperoleh ketentuan apakah suatu
perbuatan itu dikehendaki, dibolehkan, atau dilarang, atau bagaimana suatu perbuatan
itu dianggap sah atau tidak [4]. Setelah memahami tentang hukum syariah diharapkan
nantinya umat Islam akan mengamalkan syariah Islam dalam kehidupan sehari-
harinya dengan baik sehingga memperoleh kesejahteraan, kedamaian, ketenangan,
dan kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di akhirat kelak.
4.      Tujuan Syari’ah (muqhoshidus syar’i)
            Tujuan syariah erat kaitannya dengan tujuan agama Islam itu sendiri yang
ingin mewujudkan kedamaian, kesejahteraan, dan kebahagiaan bagi manusia, baik di
dunia maupun di akhirat. Secara khusus, setidaknya ada lima tujuan dari syariah[5],
yaitu sebagai berikut:
1.      Memelihara agama (hifzhud din)
      Salah satu bentuk tanda syukur yang harus kita lakukan adalah
berusaha semaksimal mungkin untuk menjadi muslim sejati dengan
mamahami dan mengamalkan syariah Islam. Dalam konteks memelihara
agama, para Rasul diutus oleh Allah swt  dan kita sekarang berkewajiban
melanjutkan tugas Rasul itu dengan cara mengamalkan syariah Islam,
apapun kendala dan tantangan yang akan kita hadapi
2.      Memelihara jiwa (hifzhun nafsi)
      Memperoleh kesempatan hidup merupakan karunia yang besar bagi
kita, karenanya kesempatan yang amat berharga ini harus kita gunakan
untuk selalu mengabdi kepada Allah swt. Dalam  konteks inilah, hak hidup
seseorang menjadi hak yang paling asasi sehinga harus dijaga dan
dipelihara. Disinilah sebabnya mengapa Islam amat melarang kita untuk
menghilangkan nyawa orang lain tanpa alasan yang bisa dibenarkan
sehingga bila ini dilakukan dosanya amat besar seperti dosa membunuh
semua manusia.
3.      Memelihara akal (hifzhul aqli)
      Memiliki akal yang sehat dan cerdas merupakan sesuatu yang amat
penting, karena dari akal yang sehat itulah akan lahir pemikiran yang
cemerlang dan manusia bisa bersikap dan berprilaku yang baik. Karena itu
akal harus dipelihara dan jangan dirusak dengan hal-hal yang
memabukkan hingga hilang daya pikirnya serta dengan hal-hal yang tidak
rasional, semua ini menjadi perkara yang menjauhkan kita dari
keberuntungan di dunia dan akhirat.

4.      Memelihara kehormatan (hifzhud ardh)


      Manusia dicipta oleh Allah swt sebagai makhluk yang mulia dan
terhormat, karenanya syariat Islam amat menekankan kepada manusia
untuk menjaga kehormatannya agar tidak jatuh dan amat rendah melebihi
rendahnya martabat binatang. Salah satu yang membuat martabat manusia
bisa amat rendah adalah dalam kaitan hubungan lelaki dan wanita,
karenanya Islam  mensyariatkanlah kepada manusia untuk menikah agar
hubungan seksual yang dilakukannya membuatnya menjadi mulia, bukan
malah menjadi hina.
5.      Memelihara harta (hifzhul mal)  
      Setiap orang pasti memiliki banyak kebutuhan mulai dari makan,
minum, berpakaian, bertempat tinggal, pengembangan diri, kendaraan dan
sebagainya. Berbagai kebutuhan itu harus dapat dipenuhi dengan harta
yang dimiliki, karenanya kebutuhan terhadap harta ada pada setiap orang
sehingga mencarinya dengan cara yang halal menjadi suatu keharusan.
Sesudah harta diperoleh, maka menjadi hak seseorang untuk memilikinya
sehingga syariat Islam menekankan pemeliharaan terhadap harta dan amat
tidak dibenarkan bagi orang lain untuk mencurinya. Pemeliharaan terhadap
harta juga harus ditunjukkan dalam bentuk membelanjakan atau
menggunakannya untuk segala kebaikan, sebab bila tidak hal itu termasuk
dalam kategori tabzir atau boros, yakni menggunakan harta untuk sesuatu
yang tidak benar menurut Allah SWT dan Rasul-Nya, karena pemborosan
merupakan kebiasaan syaitan yang sangat merugikan manusia, harta akan
cepat habis sementara kebiasaan berlebihan menjadi sangat sulit untuk
ditinggalkan meskipun dia tidak memiliki harta yang cukup, karenanya
sikap ini harus dijauhi.

5.      Dasar-Dasar Penetapan Syari’ah Islam


Terdapat empat hal yang menjadi dasar penetapan hukum syariah[6], yaitu :
1.      Tidak Memberatkan dan Tidak Banyaknya Beban
      Dalam menetapkan syariah, selalu diusahakan aturan-aturan tersebut
tidak memberatkan manusia dalam menjalankannya dan mudah untuk
dilaksanakan. Contohnya adalah perintah wajib berpuasa. Allah hanya
mewajibkan kita berpuasa tiga puluh hari dalam setahun karena apabila
lebih dari itu pasti akan memberatkan. Selain itu bagi mereka yang tidak
sanggup berpuasa karena suatu hal seperti sakit atau bepergian jauh dapat
membatalkan puasanya dan menggantinya di hari lain. Contoh lainnya
adalah bagi orang yang tidak sanggup shalat dengan berdiri diperbolehkan
shalat dengan duduk. Ini merupakan bukti bahwa syariah tidak semakin
memberatkan umat Muslim.

2.      Berangsur-angsur dalam Penentuan Hukum


      Tiap masyarakat pasti memiliki adat istiadat yang berlaku di
daerahnya, baik yang bersifat positif maupun negatif. Pada awal mula
turunnya Islam masyarakat Arab juga memiliki berbagai kebiasaan yang
sukar dihilangkan, apabila dihilangkan sekaligus tentu akan mengalami
banyak kendala.
      Karena faktor kebiasaan yang sudah berlangsung lama dan sulit diubah
tersebut Al-Quran tidak diturunkan sekaligus, melainkan ayat demi ayat
dan surat demi surat, terkadang ayat turun sesuai peristiwa yang terjadi
saat itu. Cara seperti ini dilakukan agar mereka dapat bersiap-siap
meninggalkan ketentuan lama dan menerima hukum baru.
      Contohnya adalah kebiasaan minum minuman keras dan berjudi yang
banyak dilakukan oleh masyarakat Arab pada masa itu. Kemudian turunlah
ayat untuk memperingatkan keburukan dari minuman keras dan judi
sebagai berikut:
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar  dan judi.
Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa
manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari
manfa'atnya". Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka
nafkahkan. Katakanlah: " Yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir.”
      Kemudian setelah mereka bisa menerima pertimbangan untung rugi
minuman keras dan judi, turun lagi firman Allah untuk melarang minuman
keras dan judi dalam QS Al Maidah ayat 90:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum)
khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan
panah], adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-
perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”
3.      Sejalan dengan Kebaikan Orang Banyak
      Ketentuan-ketentuan dalam hukum Islam diusahakan agar sesuai
dengan kepentingan-kepentingan yang baik bagi pemeluknya. Oleh karena
itu tidak mengherankan jika pada suatu waktu aturan-aturan hukum yang
ada dibatalkan apabila keadaan menghendaki. Selama kepentingan orang
banyak menjadi pedoman dalam pembatalan hukum tersebut maka boleh
jadi hukum yang baru menjadi lebih berat atau lebih ringan dari
sebelumnya. Namun pembatalan hukum ini hanya dilakukan pada masa
Rasul. Sesudah Rasul wafat dan ketentuan hukum Islam sudah lengkap
tidak ada lagi pembatalan hukum.
      Contoh untuk kasus ini adalah ketika ketika qiblat shalat masih
mengarah pada Baitul Maqdis di Palestina kemudian dibatalkan dengan
mengarah pada Ka’bah di Mekkah, seperti dalam firman Allah QS. Al
Baqarah ayat 144 :
Artinya: “Kami kadang-kadang melihat pulang baliknya muka engkau ke
arah langit. Maka benar-benar kami akan memberikan kepadamu suatu
qiblat yang engkau sukai. Maka arahkan muka engkau ke arah Masjidil
Haram.”

4.      Dasar Persamaan dan Keadilan


      Bagi syariah Islam semua orang dipandang sama dengan tidak ada
kelebihan di antara mereka satu sama lain. Semua berkedudukan sama di
mata Allah SWT. Kedudukan yang sama tersebut diperintahkan Al-Quran
dalam QS Al-Maidah ayat 8.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-
orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi
dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu
kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena
adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”

6.      Pengertian dan Pembagian Ibadah dalam Islam[7]


6.1     Pengertian Ibadah
Ibadah berasal dari kata ‘abd yang artinya abdi, hamba, budak, atau
pelayan. Jadi ibadah berarti, pengabdian, penghambaan, pembudakan,
ketaatan, atau merendahkan diri. Ibadah secara bahasa (etimologi) berarti
merendahkan diri serta tunduk. Ibadah dapat juga diartikan sebagai
peraturan-peraturan yang mengatur hubungan langsung (ritual) antara
manusia dengan Allah Swt. Selain itu juga terdapat berbagai definisi ibadah
lainnya, yaitu:
(1)   Ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya
melalui tuntunan atau contoh dari para Rasul-Nya.
(2)   Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Swt, yaitu rasa tunduk dan
patuh yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang
paling tinggi.
6.2 Pembagian Ibadah
Ada begitu banyak buku, artikel, dan karya yang membahas tentang
pembagian ibadah. Yaitu:
(1)   Ibadah Hati
Ibadah ini ibadah qalbiyah (yang berkaitan dengan hati) berupa rasa khauf
(takut), raja’ (mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan),
raghbah (senang), dan rahbah (takut).
(2)   Ibadah Lisan dan Hati
Ibadah ini adalah ibadah lisaniyah qalbiyah (lisan dan hati) berupa tasbih,
tahlil, takbir, tahmid dan syukur.
(3)   Ibadah Badan (Fisik) dan Hati
Ibadah ini adalah ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan hati) berupa shalat,
zakat, haji, dan jihad adalah ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan hati).

            Ada juga yang membagi ibadah menjadi:[8]


1)      Ibadah Mahdlah. Semua perbuatan ibadah yang pelaksanaannya
diatur dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam Al-Quran dan
sunnah. Contoh, salat harus mengikuti petunjuk Rasulullah saw dan
tidak dibenarkan untuk menambah atau menguranginya, begitu
juga puasa, haji dan yang lainnya. Ibadah mahdlah ini dilakukan
hanya berhubungan dengan Allah  saja (hubungan ke atas/ Hablum
Minallah), dan bertujuan untuk mendekatkan diri (taqarrub)
kepada Allah Swt. Ibadah ini hanya dilaksanakan dengan jasmani
dan rohani saja, karenanya disebut ‘ibadah badaniyah ruhiyah.
2)      Ibadah Ghairu Mahdlah, yaitu ibadah yang tidak hanya sekedar
menyangkut hubungan dengan Allah, tetapi juga menyangkut
hubungan sesama makhluk (Hablum Minallah Wa Hablum
Minannas), atau di samping hubungan ke atas, juga ada hubungan
sesama makhluk. Hubungan sesama makhluk ini tidak hanya
sebatas pada hubungan sesama manusia, tetapi juga hubungan
manusia dengan lingkungan alamnya (hewan dan tumbuhan).
3)      Ibadah Dzil-Wajhain, yaitu ibadah yang memiliki dua sifat
sekaligus, yaitu ibadah mahdlah dan ibadah ghairu mahdlah, seperti
nikah.
7        Syarat dan Rukun Ibadah dalam Islam
7.1     Syarat Ibadah Dalam Islam[9]
Dalam melakukan ibadah tidak ada suatu bentuk ibadah yang
disyari’atkan kecuali berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah. Agar dapat
diterima, ibadah disyaratkan harus benar. Dan ibadah itu tidak bisa
dikatakan benar kecuali dengan adanya dua syarat:
(1)   Ikhlas karena Allah semata
Syarat yang pertama merupakan konsekuensi dari syahadat laa ilaaha
illallaah, karena ia mengharuskan ikhlas beribadah hanya kepada Allah
dan jauh dari syirik kepada-Nya. Melakukan ibadah dengan ikhlas dan
menjalankannya dengan sepenuh hati, bukan karena / untuk dilihat orang
atau dipuji orang
(2)   Ittiba’, sesuai dengan tuntunan Rasulullah Saw.
Syarat kedua adalah konsekuensi dari syahadat Muhammad Rasulullah,
karena ia menuntut wajib-nya taat kepada Rasul, mengikuti syari’atnya dan
meninggal-kan bid’ah atau ibadah-ibadah yang diada-adakan. Rasulullah
merupakan utusan-Nya yang menyampaikan ajaran-Nya. Maka kita wajib
membenarkan dan mempercayai beritanya serta mentaati perintahnya.
7.2     Rukun Ibadah Dalam Islam[10]
Rukun-rukun ibadah menurut manhaj (jalan) Ahlus Sunnah wal Jama’ah
terdiri dari  tiga hal. Yaitu:
1.      Cinta ( Al-Hubb )
Cinta adalah rukun ibadah yang terpenting, karena cinta adalah pokok
ibadah. Arti cinta disini tidak  hanya terbatas hanya pada hubungan
kasih antara dua insan semata, akan tetapi lebih luas dan dalam.
Kecintaan yang paling tinggi dan mulia di dalam kehidupan kita ini
adalah rasa kecintaan kita kepada Allah Swt. Dimana jika seorang
umat mencintai Allah (tuhannya), maka dia akan melakukan dan
menjalankan semua yang diperintahkan-Nya dan menjauhi semua yang
dilarang oleh-Nya.
2.      Takut ( Al-Khouf )
Rukun ibadah berikutnya adalah Rasa Takut. Dimana dengan adanya
rasa takut, seorang hamba (umat) akan termotivasi untuk mencari ilmu
dan beribadah kepada Allah Swt agar bebas dari murka dan adzab-
Nya. Selain itu, rasa takut inilah yang juga dapat mencegah keinginan
seseorang untuk berbuat maksiat dan perbuatan buruk lainnya.
Yang dimaksud Rasa Takut seorang muslim disini memang terdiri dari
banyak hal. Namun yang utama ada dalam hati seorang muslim adalah
rasa takut akan pedihnya sakaratul maut, rasa takut akan adzab kubur,
rasa takut terhadap siksa neraka, rasa takut akan mati dalam keadaan
yang buruk, rasa takut akan hilangnya iman dan lain sebagainya.
3.      Harap ( Ar-Roja’ )
Rukun Ibadah yang berikutnya adalah Harap. Yang dimaksud dari
harap disini adalah (rasa) Harapan yang kuat atas rahmat dan balasan
berupa pahala dari Allah Swt.

8.      Sifat dan Ciri Ibadah dalam Islam[11]


Mustafa Ahmad al-Zarqa, seorang ahli ilmu fikih menyebutkan
beberapa sifat yang menjadi ciri-ciri ‘ibadah yang benar adalah:
1.        Bebas dari perantara. Dalam beribadah kepada Allah Swt,
seorang muslim tidak memerlukan perantara, akan tetapi harus
langsung kepada Allah.
2.        Tidak terikat kepada tempat-tempat khusus. Secara umum ajaran
Islam tidak mengharuskan penganutnya untuk melakukan ‘ibadah
pada tempat-tempat khusus, kecuali ‘ibadah haji. Islam memandang
setiap tempat cukup suci sebagai tempat ‘ibadah.
3.      Tidak memberatkan dan tidak menyulitkan, sebab Allah
Subhanahu wa ta’ala senantiasa menghendaki kemudahan bagi
hamba-Nya dan tidak menghendaki kesulitan.

KESIMPULAN :

Syariah adalah hukum yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, sedangkan
fiqih merupakan ilmu yang memperdalam tentang hukum syariah, yaitu tentang tata
cara ibadah secara lebih detil. Karena itulah syariah dan fiqih memiliki hubungan
yang sangat erat. Dalam menjalani ibadah haruslah dilandasi oleh perasaan ikhlas,
cinta, takut, dan harap pada Allah semata dan sesuai tuntunan Rasullullah. Dengan
begitu diharapkan kita dapat memperoleh kesejahteraan, kedamaian, ketentraman, dan
kebahagiaan, baik di dunia maupun diakhirat kelak.  
Uji formatif 1.

1. Sebutkan Pengertian Syariah


2. Sebutkan pengertian fiqih
3. Sebutkan tujuan mempelajari syari’at
4. Sebutkan dasar dasar penetapan syari’at islam       

Kunci jawaban

1. Pengertian syariah secara etimologi (asal kata) berarti sumber air atau jalan yang
lurus. Sedangkan secara terminologi, syariah adalah kumpulan norma Illahi yang
mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan sesama
manusia, juga hubungan manusia dengan alam, dan norma-norma ini sudah pasti
benar dan lurus
2. Pengertian Fiqih
      Secara harfiah dalam bahasa Arab, fiqih adalah pemahaman yang mendalam
tentang suatu hal. Sedangkan arti fiqih secara istilah adalah suatu ilmu yang
mendalami hukum Islam yang diperoleh melalui Al-Quran dan hukum sunnah. Fiqih
juga merupakan ilmu yang membahas hukum syari’ah dan hubungannya dengan
kehidupan manusia sehari-hari.    

3. Tujuan Syari’ah (muqhoshidus syar’i)


     Tujuan syariah erat kaitannya dengan tujuan agama Islam itu sendiri yang ingin
mewujudkan kedamaian, kesejahteraan, dan kebahagiaan bagi manusia, baik di dunia
maupun di akhirat. Secara khusus, setidaknya ada lima tujuan dari syariah[5], yaitu
sebagai berikut:
1.      Memelihara agama (hifzhud din)
      Salah satu bentuk tanda syukur yang harus kita lakukan adalah
berusaha semaksimal mungkin untuk menjadi muslim sejati dengan
mamahami dan mengamalkan syariah Islam. Dalam konteks memelihara
agama, para Rasul diutus oleh Allah swt  dan kita sekarang berkewajiban
melanjutkan tugas Rasul itu dengan cara mengamalkan syariah Islam,
apapun kendala dan tantangan yang akan kita hadapi
2.      Memelihara jiwa (hifzhun nafsi)
      Memperoleh kesempatan hidup merupakan karunia yang besar bagi
kita, karenanya kesempatan yang amat berharga ini harus kita gunakan
untuk selalu mengabdi kepada Allah swt. Dalam  konteks inilah, hak hidup
seseorang menjadi hak yang paling asasi sehinga harus dijaga dan
dipelihara. Disinilah sebabnya mengapa Islam amat melarang kita untuk
menghilangkan nyawa orang lain tanpa alasan yang bisa dibenarkan
sehingga biloa ini dilakukan dosanya amat besar seperti dosa membunuh
semua manusia.
3.      Memelihara akal (hifzhul aqli)
      Memiliki akal yang sehat dan cerdas merupakan sesuatu yang amat
penting, karena dari akal yang sehat itulah akan lahir pemikiran yang
cemerlang dan manusia bisa bersikap dan berprilaku yang baik. Karena itu
akal harus dipelihara dan jangan dirusak dengan hal-hal yang
memabukkan hingga hilang daya pikirnya serta dengan hal-hal yang tidak
rasional, semua ini menjadi perkara yang menjauhkan kita dari
keberuntungan di dunia dan akhirat.
4.      Memelihara kehormatan (hifzhud ardh)
      Manusia dicipta oleh Allah swt sebagai makhluk yang mulia dan
terhormat, karenanya syariat Islam amat menekankan kepada manusia
untuk menjaga kehormatannya agar tidak jatuh dan amat rendah melebihi
rendahnya martabat binatang. Salah satu yang membuat martabat manusia
bisa amat rendah adalah dalam kaitan hubungan lelaki dan wanita,
karenanya Islam  mensyariatkanlah kepada manusia untuk menikah agar
hubungan seksual yang dilakukannya membuatnya menjadi mulia, bukan
malah menjadi hina.
5.      Memelihara harta (hifzhul mal)  
      Setiap orang pasti memiliki banyak kebutuhan mulai dari makan,
minum, berpakaian, bertempat tinggal, pengembangan diri, kendaraan dan
sebagainya. Berbagai kebutuhan itu harus dapat dipenuhi dengan harta
yang dimiliki, karenanya kebutuhan terhadap harta ada pada setiap orang
sehingga mencarinya dengan cara yang halal menjadi suatu keharusan.
Sesudah harta diperoleh, maka menjadi hak seseorang untuk memilikinya
sehingga syariat Islam menekankan pemeliharaan terhadap harta dan amat
tidak dibenarkan bagi orang lain untuk mencurinya. Pemeliharaan terhadap
harta juga harus ditunjukkan dalam bentuk membelanjakan atau
menggunakannya untuk segala kebaikan, sebab bila tidak hal itu termasuk
dalam kategori tabzir atau boros, yakni menggunakan harta untuk sesuatu
yang tidak benar menurut Allah SWT dan Rasul-Nya, karena pemborosan
merupakan kebiasaan syaitan yang sangat merugikan manusia, harta akan
cepat habis sementara kebiasaan berlebihan menjadi sangat sulit untuk
ditinggalkan meskipun dia tidak memiliki harta yang cukup, karenanya
sikap ini harus dijauhi.

4.      Dasar-Dasar Penetapan Syari’ah Islam


Terdapat empat hal yang menjadi dasar penetapan hukum syariah[6], yaitu :
1.      Tidak Memberatkan dan Tidak Banyaknya Beban
      Dalam menetapkan syariah, selalu diusahakan aturan-aturan tersebut
tidak memberatkan manusia dalam menjalankannya dan mudah untuk
dilaksanakan. Contohnya adalah perintah wajib berpuasa. Allah hanya
mewajibkan kita berpuasa tiga puluh hari dalam setahun karena apabila
lebih dari itu pasti akan memberatkan. Selain itu bagi mereka yang tidak
sanggup berpuasa karena suatu hal seperti sakit atau bepergian jauh dapat
membatalkan puasanya dan menggantinya di hari lain. Contoh lainnya
adalah bagi orang yang tidak sanggup shalat dengan berdiri diperbolehkan
shalat dengan duduk. Ini merupakan bukti bahwa syariah tidak semakin
memberatkan umat Muslim.
2.      Berangsur-angsur dalam Penentuan Hukum
      Tiap masyarakat pasti memiliki adat istiadat yang berlaku di
daerahnya, baik yang bersifat positif maupun negatif. Pada awal mula
turunnya Islam masyarakat Arab juga memiliki berbagai kebiasaan yang
sukar dihilangkan, apabila dihilangkan sekaligus tentu akan mengalami
banyak kendala.
      Karena faktor kebiasaan yang sudah berlangsung lama dan sulit diubah
tersebut Al-Quran tidak diturunkan sekaligus, melainkan ayat demi ayat
dan surat demi surat, terkadang ayat turun sesuai peristiwa yang terjadi
saat itu. Cara seperti ini dilakukan agar mereka dapat bersiap-siap
meninggalkan ketentuan lama dan menerima hukum baru.
      Contohnya adalah kebiasaan minum minuman keras dan berjudi yang
banyak dilakukan oleh masyarakat Arab pada masa itu. Kemudian turunlah
ayat untuk memperingatkan keburukan dari minuman keras dan judi
sebagai berikut:
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar  dan judi.
Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa
manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari
manfa'atnya". Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka
nafkahkan. Katakanlah: " Yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir.”
      Kemudian setelah mereka bisa menerima pertimbangan untung rugi
minuman keras dan judi, turun lagi firman Allah untuk melarang minuman
keras dan judi dalam QS Al Maidah ayat 90:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum)
khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan
panah], adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-
perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”
3.      Sejalan dengan Kebaikan Orang Banyak
      Ketentuan-ketentuan dalam hukum Islam diusahakan agar sesuai
dengan kepentingan-kepentingan yang baik bagi pemeluknya. Oleh karena
itu tidak mengherankan jika pada suatu waktu aturan-aturan hukum yang
ada dibatalkan apabila keadaan menghendaki. Selama kepentingan orang
banyak menjadi pedoman dalam pembatalan hukum tersebut maka boleh
jadi hukum yang baru menjadi lebih berat atau lebih ringan dari
sebelumnya. Namun pembatalan hukum ini hanya dilakukan pada masa
Rasul. Sesudah Rasul wafat dan ketentuan hukum Islam sudah lengkap
tidak ada lagi pembatalan hukum.
      Contoh untuk kasus ini adalah ketika ketika qiblat shalat masih
mengarah pada Baitul Maqdis di Palestina kemudian dibatalkan dengan
mengarah pada Ka’bah di Mekkah, seperti dalam firman Allah QS. Al
Baqarah ayat 144 :
Artinya: “Kami kadang-kadang melihat pulang baliknya muka engkau ke
arah langit. Maka benar-benar kami akan memberikan kepadamu suatu
qiblat yang engkau sukai. Maka arahkan muka engkau ke arah Masjidil
Haram.”
4.      Dasar Persamaan dan Keadilan
      Bagi syariah Islam semua orang dipandang sama dengan tidak ada
kelebihan di antara mereka satu sama lain. Semua berkedudukan sama di
mata Allah SWT. Kedudukan yang sama tersebut diperintahkan Al-Quran
dalam QS Al-Maidah ayat 8.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-
orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi
dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu
kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena
adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”

DAFTAR PUSTAKA

Abu Ahmadi, N. S. (2008). Dasar-Dasar Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan


Tinggi. Jakarta: Bumi Aksara.
Hanafi, A. (1970). Pengantar dan Sejarah Hukum Islam
. Jakarta: Bulan Bintang.
Ibrahim, M. (1996). Pendidikan Agama Islam Untuk Mahasiswa . Jakarta: Gramedia.
[1] Ibrahim, Muslim. 1996. Pendidikan Agama Islam Untuk Mahasiswa. Hlm 15
[2] Abu Ahmadi. Noor Salimi. 2008. Dasar-Dasar Pendidikan Agama Islam Untuk
Perguruan Tinggi. Hlm 237
[3] Mukni’ah. 2011. Materi Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi
Umum. Hal. 96-98
[4] Ibid. Hal. 98
[5] Ahmad Yani. 2011. Tujuan Syariat. www.nuansaislam.com
[6] Ahmad Hanafi. 1970. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Hlm 26-35
[7] http://abuafif.wordpress.com/2007/08/09/pengertian-ibadah-dalam-islam/
[8] http://dedykusnaedi.wordpress.com/2009/12/05/ibadah/
[9] http://abuafif.wordpress.com/2007/08/09/pengertian-ibadah-dalam-islam/

[10] http://muslim.or.id/aqidah/cinta-takut-harap-kepada-allah.html
[11] http://dedykusnaedi.wordpress.com/2009/12/05/ibadah/

Anda mungkin juga menyukai