Materi - 6
SYARI’AH
Learning Outcomes
Memahami, menganalisis, mendiskusikan dan membuat kesimpulan materi syariah
kemudian mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
A. Konsep Syari’ah
Secara etimologi syari’ah berarti jalan atau aturan, dan secara terminologi berarti aturan
atau norma yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan manusia
dan hubungan manusia dengan alam (Q.S. Al-Jatsiyah/45:18). Istilah syari’ah juga disamakan
dengan fikih atau hukum Islam (hukum syar’i). Masyarakat Indonesia sering memakai istilah
syari’ah dengan syari’at Islam, fikih Islam atau hukum Islam. Istilah-istilah tersebut satu sama
lainnya mempunyai persamaan dan perbedaan. Syari’at Islam sering dipergunakan untuk ilmu
syari’at dan untuk fikih Islam dipergunakan istilah hukum fikih atau kadang-kadang hukum
Islam. Di dalam pengucapannya sehari-hari juga dibedakan pengertian antara syari’at dengan
bunyi (t) dan syari’ah dengan bunyi (h). Bila disebut syari’at Islam artinya adalah agama atau
ajaran Islam secara keseluruhan meliputi bidang akidah, syari’ah dan akhlak. Tapi jika diucapkan
syari’ah maka itu artinya satu aspek dari ajaran Islam yang khusus berkaitan dengan bidang
hukum atau aturan-aturan.
Di kalangan ulama ushul fikih dan ulama fikih pun terdapat perbedaan pendapat dalam
memberikan pengertian hukum syar’i karena berbedanya sisi pandang mereka. Ulama fikih
berpendapat bahwa hukum adalah akibat yang ditimbulkan oleh tuntutan (khitab) yaitu: wajib,
sunnah, haram, makruh dan mubah. Sedangkan ulama ushul fikih mengatakan bahwa yang
disebut hukum adalah dalil itu sendiri. Mereka membagi hukum tersebut kepada dua bahagian
besar yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i . Hukum taklifi adalah tuntutan Allah SWT yang
berkaitan dengan perintah untuk berbuat atau perintah untuk meninggalkan suatu perbuatan
(berbentuk tuntutan dan pilihan) yang disebut dengan wajib, sunat, haram, makruh dan mubah.
Dan hukum wadh’i adalah tuntutan Allah SWT yang mengandung pengertian bahwa terjadinya
sesuatu merupakan sebab, syarat atau penghalang bagi adanya hukum. Jadi hukum wadh’i ini
merupakan prasyarat untuk terselenggara atau tidaknya hukum taklifi bagi seorang mukallaf.
Hukum wadh’i ini ada lima macam, yaitu: sabab, syarat, mani’, shah dan bathal. Sabab
adalah dengan adanya maka ada hukum dan dengan tidak adanya maka tidak terselenggara
hukum. Namun seseorag mukallaf tidak dituntut untuk mengusahakan sabab itu. Misalnya,
terbenamnya matahari menjadi sabab bagi wajibnya melaksanakan shalat magrib. Syarat adalah
dengan adanya, maka hukum dapat dilaksanakan, dan tanpa adanya maka hukum belum dapat
dilaksanakan namun seseorang mukallaf harus berupaya untuk mendapatkan syarat itu. Misalnya,
wudhu’ menjadi syarat bagi terlaksananya kewajiban shalat. Karena itu, seseorang harus berupaya
untuk mendapatkan air. Mani’ ialah dengan adanya maka hukum tidak dapat dilaksanakan.
Misalnya, kedatangan haidh bagi perempuan berakibat gugurnya kewajiban shalat. Shah adalah
terpenuhinya rukun dan syarat bagi suatu kewajiban hukum, sedangkan bathal adalah tidak
terpenuhinya rukun dan syarat bagi terselenggaranya kewajiban hukum.
Syari’ah, Fikih dan Hukum Islam
Baik syari’ah maupun Fikih keduanya adalah termasuk ke dalam hukum Islam. Syari’ah
adalah hukum-hukum yang terkandung dalam teks-teks Al-Qur’an dan hadis yang belum dapat
diketahui dan diterapkan secara langsung kecuali setelah melalui kajian dari para ulama.
Sedangkan Fikih adalah hukum-hukum yang dihasilkan melalui kajian para ulama sehingga dapat
diterapkan di dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, Fikih itu merupakan hukum-hukum
yang telah dirumuskan oleh para ulama (hukum terapan).
1. Petunjuk yang berisi bimbingan untuk mencapai tujuannya mencari ridha Allah dalam rangka
ibadah kepada-nya ( al-Zariyat/51:56)
2. Petunjuk untuk melaksanakan tanggung jawab manusia sebagai khalifah yang telah
menerima amanah ( al-Ahzab/33:72)
1. Thaharah, dasar hukumnya antara lain dalam surat al-Baqarah/2:125 dan 222, al-
Mudatsir/ 74:4.
Mengenai ibadah umum, Al-Qur`an dan Sunnah tidak mengaturnya secara rinci kecuali
bersifat garis-garis besarnya saja, kadang-kadang dalam bentuk isyarat-isyarat. Di dalam
pelaksanaanya diperlukan olah pikir atau kreatifitas manusia melalui ijtihad. Maka ibadah umum
itu dapat terlaksana dalam aktivitas-aktivitas sehari-hari manusia antara sebagai berikut:
1. Muamalah dalam arti yang khusus, yaitu hukum perdata seperti jual beli, pinjam
meminjam, sewa menyewa dan transaksi lainnya ( al-Baqarah/2: 275)
Hikmah Ibadah
Setiap perbuatan yang disyari’atkan oleh Allah mengandung hikmah, hanya saja di antara
hikmah-hikmah itu ada yang dapat dijangkau dengan daya pikir manusia (ma’qulat) dan ada pula
yang tidak bisa dijangkau (ghairu ma’qulat). Di antara hikmah-hikmah ibadah khusus adalah:
1. Ibadah shalat mengandung makna pembinaan pribadi. Pribadi yang terkontrol minimal 5 kali
sehari semalam akan cendrung bertingkah laku yang baik
2. Puasa memiliki makna yang tinggi, merupakan suatu proses pendidikan dan latihan yang
intensif bagi pengendalian hawa nafsu.
3. Zakat, mendidik jiwa manusia untuk mau berkorban, dan merupakan harapan bagi mustahik.
Zakat dapat menyelamatkan orang kaya dari ancaman neraka dan menyelamatkan orang
miskin dari kemiskinan.
4. Hajji, ia meningkatkan kualitas hidup untuk mencari makna hidup yang hakiki.
Begitu juga dengan ibadah umum, tidak lepas dari hikmah, di antara hikmah dari
pernikahan adalah untuk memelihara derajat manusia, menjaga garis keturunan dan
mengembangkan kasih sayang. Warisan, mempunyai hikmah bahwa Islam sangat memperhatikan
tentang aspek kehidupan manusia yang berhubungan dengan hak-hak kepemilikan harta benda
dari orang yang meninggal dan orang-orang yang berhak atasnya. Islam telah mengatur
sedemikian rupa tentang peralihan kepemilikan harta orang yang sudah meninggal dengan hukum
mawaris (warisan) sehingga dapat mengantisipasi terjadinya silang sengketa di kalangan ahli
warisnya.
Jinayah, pemberian hukuman yang berat bagi pelaku kejahatan dalam ajaran Islam,
dimaksudkan untuk menjaga agar kehidupan masyrakat aman dan tentram, sebab kejahatan
merupakan penyakit masyarakat yang harus diperangi. Setiap pelaksanaan hukuman diumumkan
kepada masyarakat, agar peristiwa itu menjadi pelajaran. Hikmah dari semua ibadah itu akan
dapat dirasakan oleh manusia, bila ia dapat mengimplementasikannya dengan benar dan sebagai
bahagian dari pelaksanaan ibadah dalam arti yang umum. Baik dalam kehidupan pribadi maupun
dalam kehidupan bermasyarakat.
1. Sesuai dengan fitrah manusia, (al-Rum/30:30). Artinya seluruh aturan yang ada dalam
syari’ah tidak ada yang tidak bisa dilakukan oleh manusia sesuai dengan situasi dan
kondisinya masing-masing. Allah menghendaki kemudahan bagimu bukan kesukaran ( al-
Baqarah/2:185)
2. Luwes dalam pelaksanaan (al-Baqarah/2:173) yang menjelaskan bahwa hal-hal yang
diharamkan dalam suatu keadaan dan kondisi tertentu, dapat menjadi halal dalam keadaan
keadaan terpaksa (dharurah) dan diberi keringanan (rukhshah). Contoh, orang yang tidak
mampu mengerjakan shalat dalam keadaan berdiri, maka ia boleh melakukannya sambil
duduk, boleh sambil berbaring dan selanjutnya (HR Bukhari)
3. Tidak memberatkan
Contoh, shalat yang diwajibkan dilakukan 5 kali dalam 24 jam, yang hanya memakan waktu
kira-kira 5x5 menit = 25 menit, zakat harta hanya berkisar 2,5%, 5% dan 10%, ibadah haji
cukup sekali seumur hidup, barang-barang yang diharamkan hanya sebahagian kecil bila
disbanding dengan yang dihalalkan.
E. Watak Syari’ah
Menurut Aziz Dahlan (ed) (1997), syari’ah Islam mempunyai tiga watak yang tidak berubah-
rubah yaitu takamul (lengkap), wasathiyyah (moderat) dan harakah (dinamis). Watak takamul
memperlihatkan bahwa syari’ah itu dapat melayani golongan yang tetap pada apa yang sudah
ada, dan dapat pula melayani golongan yang menginginkan pembaharuan. Watak wasathiyyah
menghendaki keselarasan dan keseimbangan antara segi kebendaan (material) dan segi
kejiwaan (spiritual). Keduanya sama-sama diperhatikan, tanpa mengabaikan salah satu dari
padanya. Sedangkan watak harakah (kedinamisan), syari’ah mempunyai kemampuan untuk
bergerak dan berkembang seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan yang dicapai oleh
umat umat manusia. Untuk mengiringi perkembangan itu dalam syari’ah ada konsep ijtihad
sehingga tidak satupun persoalan hidup manusia yang tidak dapat diselesaikan secara hukum
syari’at. Dalam ibadah misalnya Islam menghargai kondisi seseorang apakah sudah mukallaf,
berakal, sehat, sakit, dalam keadaan berpergian, tudur, atau dalam kesulitan. Dalam bidang
keluarga ia memelihara prinsip yang menjamin kemaslahatan suami istri. Dalam pidana ia
mempertimbangkan berat atau ringannya tindak pidana dan sanksinya serta kaitannya dengan
situasi yang mempengaruhi dan lain-lain sebagainya. Begitu pula dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara syari’at Islam telah memiliki petunjuk-petunjuk di dalam kitab suci Al-Qur’an dan
sunnah asalkan manusia mau berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menggali petunjuk-
petunjuk tersebut.
Tugas-Tugas:
5. Jelaskan apa yang dimaksud dengan ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah !
Buku sumber:
Muslim Nurdin dkk. 1995. Moral dan Kognisi Islam, Bandung: Alfabeta
Abdul Aziz Dahlan (ed). 1997. Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve
Supan Kusumamiharja. 1978. Studia Islamica, Bogor: Team Pendidikan Agama Islam IPB