Anda di halaman 1dari 17

Tugas

Presentasi
Kelompok 3
Anggota Tim:
• Khairul
• ilyasa
• afrijal
sumber ajaran islam
A.dasar hukum dan sistematika sumber ajaran islam
Ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW merupakan satu-satunya
agama samawi yang masih hidup dan murni sampai saat ini bahkan sampai hari
kiamat, karena keuniversalan ajarannya, sebagaimana firman Allah SWT :
‫َو َم ٓا َاْر َس ْلٰن َك ِااَّل َر ْح َم ًة ِّلْلٰع َلِم ْين‬
“Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
semesta alam”.
Islam merupakan ajaran yang bersifat Rabbani, datang dari Allah bukan produk
pemikiran manusia, dan bukan produk lingkungan atau masa tertentu, melainkan
merupakan petunjuk yang diberikan kepada manusia sebagai karunia dan rahmat
(kasih sayang) dari Allah kepada mereka.
Adapun sumber ajaran Islam adalah Al-Qur’an, Sunnah
dan Ijtihad yang meliputi Ijma’ dan Qiyas.
B. AL-QUR'AN
1.pengertian al quran
Al-Qur’an menempati kedudukan pertama dari sumber – sumber hukum
yang lain dan merupakan aturan dasar tertinggi.
Secara etimologis “ Al – Qur’an “ berarti “ bacaan “ yaitu bentuk mashdar
dari kata qara’a yang berarti membaca. Sedangkan secara terminologis Al-
Qur’an berarti kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
dengan bahasa Arab melalui malaikat Jibril sebagai mukjizat dan
argumentasi dalam mendakwahkan kerasulannya serta sebagai pedoman
hidup untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.

ADAPUN FUNGSI AL QURAN


• petunjuk bagi manusia
• sumber pokok ajaran islam
• peringatan dan pelajaran bagi manusia
2. Sifat Hukum Yang Ditunjukan Al – Qur’an
Ayat – ayat hukum yang terdapat dalam Al – Qur’an pada umumnya
bersifat kulli ( umum ) dan sedikit sekali yang bersifat Juz’i ( terinci ).

3. Isi pokok Al – Qur’an terdiri dari :


tauhid, ibadah, akhlaq, janji dan ancaman, dan kisah kisah umat
terdahulu

4. Metode memahami Al-Qur’an


Dalam memahami kandungan Al-Qur’an para ahli tafsir sejak masa
sahabat sampai saat ini menggunakan berbagai cara dan metode,
yaitu : tahlily dan tafsily, ijmali, muqarin, dan maudu’i
C. AS-SUNNAH
1. Pengertian As – Sunnah dan Pembagiannya
Secara etimologi As – Sunnah berarti jalan yang lurus dan perilaku yang terbiasa.
Sedangkan dalam terminologi Islam, Sunnah berarti segala perkataan,
perbuatan dan diamnya Nabi SAW yang berarti izin/persetujuan.
Sesuai dengan defenisi di atas maka sunnah dapat dibedakan menjadi 3 macam
:
a. Sunnah qauliyah, yakni perkataan atau sabda yang disampaikan Rasulullah
SAW dalam berbagai kesempatan, baik berupa perintah, larangan, teguran, serta
puji
b. Sunnah fi’liyah, yakni segala perbuatan dan tindakan yang dilakukan oleh
Rasulullah SAW. Contoh : perbuatan beliau dalam melaksanakan kewajiban
shalat yang lima waktu dan
lain-lain.
c. Sunnah taqririyah, yakni sikap Rasulullah SAW membiarkan (mendiamkan)
perbuatan para sahabat yang menunjukkan bahwa beliau menyetujui atau
mengizinkannya.
2. Dasar As – Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam
Adapun yang dimaksud dengan as – sunnah sebagai sumber hukum Islam ialah
bahwa selain terhadap Al – Qur’an, seluruh umat Islam wajib menjadikan As – Sunnah
sebagai pedoman dan pegangan hidup, menyandarkan segala permasalahan
hidupnya kepada As – Sunnah.
Untuk mengetahui dasar – dasar bahwa As – Sunnah sebagai sumber hukum Islam,
kita dapat memperhatikan beberapa dalil berikut ini :
a. Dalil Al – Qur’an
Banyak ayat Al – Qur’an yang menerangkan tentang kewajiban mempercayai dan
menerima segala yang disampaikan oleh Rasul kepada umatnya untuk dijadikan
pedoman hidup, antara lain :
‫َو َم ٓا ٰا ٰت ىُك ُم الَّرُس ْو ُل َفُخ ُذ ْو ُه َو َم ا َنٰه ىُك ْم َع ْنُه َفاْنَتُهْو ۚا َو اَّتُقوا َهّٰللاۗ ِاَّن َهّٰللا َش ِد ْيُد اْلِع َقاِۘب‬
Artinya :
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya
bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
Amat keras hukumannya.” (Q.S. Al-Hasyr
b. Dalil Al – Hadist
Selain Al – Qur’an, Al – Hadist juga menjelaskan tentang kedudukan As – Sunnah
sebagai sumber hukum Islam, antara lain kesepakatan ulama dan sesuai dengan
petunjuk akal

4. Mempedomani Al – Qur’an Dan As-Sunnah Dalam Kehidupan Sehari- Hari.


Mempedomani Al – Qur’an dan As – Sunnah dalam kehidupan sehari – hari berarti
menjadikan keduanya sebagai landasan dan kompas di dalam beramal selama
hidup kita. Menyakini seyakin – yakinnya tanpa keraguan sedikit pun, apabila kita
menjadikan Al – Qur’an dan As – Sunnah sebagai pedoman hidup, maka kita akan
selalu berada di jalan benar, kita akan mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan
hidup baik di dunia maupun di akhirat kelak.
D. IJTIHAD TERMASUK SYARAT, METODE DENGAN
IJMA' DAN QIYAS.
1. PENGERTIAN IJTIHAD
Kata Ijtihad berasal dari kata jahada yang berarti : bersungguh – sungguh, rajin giat dan mengerahkan
kemampuan.
2. HUKUM IJTIHAD
Menurut Syeikh Muhammad Khuldlari hukum ijtihad itu dapat dikelompokan menjadi:
a. Wajib ‘ain, yaitu bagi seorang yang ditanya tentang suatu masalah, dan masalah itu akan hilang sebelum
hukumnya diketahui. Atau ia sendiri mengalami suatu peristiwa yang ia sendiri juga ingin mengetahui
hukumnya.
b. Wajib kifayah, yaitu apabila seseorang ditanya tentang sesuatu dan sesuatu itu tidak hilang sebelum
diketahui hukumnya, sedang selain dia masih ada mujtahid lain. Apabila seorang mujtahid telah
menyelesaikan dan menetapkan suatu hukum tersebut, maka kewajiban mujtahid yang lain telah gugur.
c. Sunnah, yaitu ijtihad terhadap suatu masalah atau peristiwa yang belum terjadi
3. PERANAN IJTIHAD
Banyak masalah yang belum ditentukan hukumnya baik dalam Al – Qur’an maupun As – Sunnah.
Karenanya, Islam memberikan peluang kepada umatnya yang mempunyai kemampuan untuk melakukan
ijtihad. Banyak ayat Al – Qur’an dan As – Sunnah yang memberikan isyarat mengenai ijtihad ini.
4. Tingkatan tingkatan mujtahid
• mujtahid mutlak
• mujathid muntasib
• mujtahid fil madzahib
• mujtahid murajjih

5. ITTIBA DAN TAQLID


A. Pengertian Ittiba’ dan Taqlid
Ittiba’ menurut bahasa berarti mengikuti atau menurut. Sedang menurut istilah
mengikuti atau menuruti semua yang diperintahkan, yang dilarang, dan yang
dibenarkan oleh Rasulullah SAW.
Ittiba’ ada dua bentuk, yaitu ittiba’ kepada Allah dan Rasul-Nya dan ittiba’ kepada
selain kedua-Nya atau kepada orang lain.
Taqlid menurut bahasa ialah meniru atau mengikuti, sedangkan menurut istilah,
taqlid adalah : Menerima pendapat seseorang tanpa mengetahui dari mana
( sumber atau alasan ) pendapat itu “.
D. Hukum Taqlid
1. Haram, yaitu taqlid kepada adat istiadat yang bertentangan dengan Al – Qur’an dan As –
Sunnah, taqlid kepada seseorang yang tidak diketahui kemampuannya, dan taqlid kepada
pendapat seseorang sedang ia mengetahui bahwa pendapat orang itu salah.
2. Boleh, yaitu taqlid kepada mujtahid, dengan syarat bahwa yang bersangkutan selalu
berusaha menyelidiki kebenaran masalah yang diikuti. Dengan kata lain, bahwa taqlid
seperti ini sifatnya hanya sementara.
3. Wajib, yaitu taqlid kepada orang yang perkataan, perbuatan dan ketepatannya dijadikan
hujjah, yaitu Rasulullah SAW.
E. IJMA’
1. Pengertian Ijma’
Ijma’ berarti sepakat, setuju atau sependapat. Sedangkan menurut istilah, yang dimaksud dengan Ijma’
ialah :
Dengan kesamaan pendapat para mujtahid umat Nabi Muhammad SAW setelah beliau wafat, pada
suatu masa tertentu tentang masalah tertentu.
2. Macam – Macam Ijma’
Ijma’ terbagi dua yaitu :
a. Ijma’ Sharih
b. Ijma’ sukuti
Dalam tatanan ilmu yang lebih luas, Ijma’ dibagi dalam beberapa macam :
a. Ijma’ ummah
b. Ijma’ shahaby
c. Ijma’ ahli madinah
d. Ijma’ ahli kuffah
e. Ijma’ khalifah
f. Ijma’ syaikhani
g. Ijma’ ahli bait
3. Kedudukan Ijma’Sebagai Sumber Hukum
Kebanyakan ulama menetapkan bahwa Ijma’ dapat dijadikan hujjah dan sumber hukum
Islam dalam menetapkan suatu hukum dengan nilai kehujjahan bersifat zhanny. Golongan
syi’ah memandang bahwa Ijma’ ini sebagai hujjah yang harus diamalkan. Sedangkan ulama –
ulama Hanafi dapat menerima Ijma’ sebagai dasar hukum, baik Ijma’ qath’iy maupun
zhanny. Sedangkan ulama – ulama Syafi’iyah hanya memegangi Ijma’ qath’iy dalam
menetapkan hukum.
Dalil penetapan ijma’ sebagai sumber hukum Islam ini antara lain : Firman Allah SWT :

‫ٰٓيَاُّيَها اَّلِذ ْيَن ٰا َم ُنْٓو ا َاِط ْيُعوا َهّٰللا َو َاِط ْيُعوا الَّرُس ْو َل َو ُاوِلى اَاْلْم ِر ِم ْنُك ْۚم‬

“ Wahai orang – orang yang beriman ! Taatilah Allah dan Rasul ( Muhammad ) dan Ulil Amri
(pemegang kekuasaan ) diantara kamu ( Q.S. An – Nisa : 59 ).
F. QIYAS

1. Pengertian Qiyas
Qiyas menurut bahasa berarti mengukur, memperbandingkan atau
mempersamakan sesuatu dengan yang lainnya dikarenakan adanya persamaan.
Berbeda dengan ijma’ qiyas bisa dilakukan oleh individu, sedang ijma’ harus
dilakukan bersama oleh para mujtahid.
Contoh qiyas diantaranya adalah, setiap minuman yang memabukan adalah
haram, hal ini disamakan dengan hukum khamar ( arak ), yaitu haram.
Persamaan kedua jenis minuman ini adalah sifatnya yang memabukan.
2. Macamnya Qiyas
a. Qiyas aulawi, yakni mengqiyaskan sesuatu dengan sesuatu yang hukumnya
telah ada, namun sifatnya / illatnya lebih tinggi dari sifat hukum yang telah
ada.
b. Qiyas musawi, yaitu illat qiyas suatu hukum sama. Seperti halnya kasus
kesaman keharaman hukum membakar harta – harta anak dengan memakan
hartanya.
c. Qiyas dialah, yakni menetapkan hukum karena ada persamaan dilalat
alhukm ( penunjukan hukumnya ). Seperti kesamaan kewajiban zakat untuk
harta anak yatim dan harta orang dewasa.
d. Qiyas syibh, yakni terjadinya dalam mengqiyaskan, ke asal mana illat
ditunjukan, kemudian harus ditentukan salah satunya dalam rangka
penetapan hukum padanya.
3. Kedudukan Qiyas Dalam Hukum Islam
Qiyas menduduki tingkat keempat hujjah syar’i, sebab dalam suatu peristiwa bila
tidak terdapat hukumnya yang berdasarkan nash, maka peristiwa itu disamakan
dengan peristiwa lain yang mempunyai kesamaan dan telah ada ketetapan
hukum didalam nash tersebut.
Mereka mendasarkan hukumnya dalam nas. Mereka mendasarkan pendapatnya
kepada, firman Allah SWT :
‫ِر‬‫ا‬ ‫َص‬ ‫ْب‬‫َاْل‬ ‫ا‬ ‫ى‬‫ِل‬‫و‬‫ُا‬‫ٰٓي‬ ‫َفاْع َتِبُر ْو ا‬
“Maka ambilah ( kejadian itu ) untuk menjadi pelajaran, wahai orang – orang
yang mempunyai pandangan” ( Q.S. Al – Hasyr: 2 )
4. Sebab – Sebab Dilakukan Qiyas
a. Karena adanya persoalan – persoalan yang harus dicarikan status
hukumnya, sementara didalam nash Al – Qur’an dan As – Sunnah tidak
diketemukan hukumnya dan mujtahid pun belum melakukan ijma’.
b. Karena nash, baik berupa Al – Qur’an maupun As – Sunnah telah
berakhir dan tidak turun lagi
c. Karena adanya persamaan illat antara peristiwa yang belum ada
hukumnya dengan peristiwa yang hukumnya telah ditentukan oleh
nash.

Anda mungkin juga menyukai