Anda di halaman 1dari 7

PENGERTIAN, TUJUAN DAN SUMBER AJARAN ISLAM, SERTA

RUANG LINGKUPNYA

D
I
S
U
S
U
N
Oleh:
Angga Vidi Prayudi
Ali Mukmin
Ahmad Riadi Pulungan
A. Pengertian Islam
Ada dua sisi yang dapat kita gunakan untuk memahami pengertian agama islam
(A.Mukti Ali,1991:719). Sisi kebahasan dan sisi peristilahan. Kedua sisi pengertian
tentang islam ini dapat di jelaskan sebagai berikut:
Dari segi kebahasan islam berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata salima yang
mengandung arti selamat, sentosa, dan damai. Dan kata salima selanjutnya di ubah
menjadi bentuk aslama yang berarti berserah diri masuk dalam kedamaian.
Senada dengan pendapat di atas, sumber lain mengatakan Islam berasal dari bahasa
Arab, terambil dari kata salima yang berarti selamat sentosa. Dari assal kata itu di
bentuk kata aslama yang artinya memelihara dalam keadaan selamat sentosa dan
berarti pula menyerahkan diri, tunduk,patuh dan taat kepada Allah SWT. Sehingga
manusia di haruskan untuk mematuhi semua perintah Allah SWT dan menjauhi
semua larangan nya agar hidup kita dalam perlindungan nya selamat dan damai
dunia maupun akhirat.
B. Tujuan Ajaran Islam
Islam diajarkan dan di pelajari sejak kecil agar bertujuan untuk menyelamatkan
manusia dari penderitaan hidup di dunia maupun akhirat. Dengan berpegangan
teguh pada ajaran ini semua manusia pasti akan hidup damai dan sejahtera, karena
islam mengajarkan norma-norma hidup dan perilaku kehidupan yang baik dan jauh
dari penderitaan dan kemaksiatan yang akan membawa kita pada penyiksaan di hari
akhir nanti. Dengan adanya pemahaman islam, manusia akan lebih bisa
mendekatkan diri pada sang pencipta dan akan terhindar dari segala siksaan dan
dosa.
C. Sumber Ajaran Islam
Dikalangan ulama terdapat kesepakatan bahwa sumber ajaran islam yang utama
adalah Al Quran dan As Sunnah:
1. Al-quran
Alquran adalah firman Allah yang di turunkan kepada rasulullah, Muhammad bin
Abdul,melalui jibril dengan menggunakan lafal bahasa arab dan maknanya yang
benar. Agar ia menjadi hujjah bagi rassul bahwa ia benar-benar rasulullah,
menjadi undang-undang bagi manusia, memberi petunjuk kepada mereka, dan
menjadi sarana dan ibadah kepada Allah dengan membacanya. Selanjutnya
Alquran juga berfungsi sebagai hakim atau wasit yang mengatur jalannya
kehidupan manusia agar berjalan lurus, itulah sebabnya ketika umat islam
berselisih dalam segala urusannya hendaknya ia berhakim kepada Alquran.
2. As-sunnah
Menurut bahasa As sunnah artinya jalan hidup yang di biasakan terkadang jalan
tersebut ada yang baik dan ada pula yang buruk, yaitu segala sesuatu yang
disandarkan kepada nabi Muhammad SAW, baik dalam bentuk ucapan,
perbuatan maupun ketetapan. Pengertian ini didasarkan kepada pandangan
mereka terhadap nabi sebagai suri tauladan yang baik bagi manusia. Sementara
itu ulama ushul mengartikan bahwa As sunnah adalah sesuatu yang berrasal dari
nabi Muhammad SAW dalam bentuk ucapan, perbuatan dan persetujuan beliau
yang berkaitan dengan hukum. Sedangkan ulama fiqih mengartikan As sunnah
sebagai salah satu bentuk hukum syara’ yang apa bila dikerjakan mendapat
pahala dan ditinggalkan tidak berdosa.
3. Ijtihad
Ijtihad adalah berpikir keras untuk menghasilkan pendapat hukum atas suatu
masalah yang tidak secara jelas disebutkan dalam Al-Quran dan As-Sunnah.
Pelakunya disebut Mujtahid.

Kedudukan Ijtihad sebagai sumber hukum atau ajaran Islam ketiga setelah Al-
Quran dan As-Sunnah, diindikasikan oleh sebuah Hadits (Riwayat Tirmidzi dan
Abu Daud) yang berisi dialog atau tanya jawab antara Nabi Muhammad Saw dan
Mu’adz bin Jabal yang diangkat sebagai Gubernur Yaman.

“Bagaimana memutuskan perkara yang dibawa orang kepada Anda?”


“Hamba akan memutuskan menurut Kitabullah (Al-Quran.”
“Dan jika di dalam Kitabullah Anda tidak menemukan sesuatu mengenai soal
itu?”
“Jika begitu, hamba akan memutuskannya menurut Sunnah Rasulillah.”
“Dan jika Anda tidak menemukan sesuatu mengenai hal itu dalam Sunnah
Rasulullah?”
“Hamba akan mempergunakan pertimbangan akal pikiran sendiri (Ijtihadu bi
ra’yi) tanpa bimbang sedikit pun.”
“Segala puji bagi Allah yang telah menyebabkan utusan Rasulnya menyenangkan
hati Rasulullah!”
Hadits tersebut diperkuat sebuah fragmen peristiwa yang terjadi saat-saat Nabi
Muhammad Saw menghadapi akhir hayatnya. Ketika itu terjadi dialog antara
seorang sahabat dengan Nabi Muhammad Saw.
“Ya Rasulallah! Anda sakit. Anda mungkin akan wafat. Bagaimana kami jadinya?”
“Kamu punya Al-Quran!”
“Ya Rasulallah! Tetapi walaupun dengan Kitab yang membawa penerangan dan
petunjuk tidak menyesatkan itu di hadapan kami, sering kami harus meminta
nasihat, petunjuk, dan ajaran, dan jika Anda telah pergi dari kami, Ya Rasulallah,
siapakah yang akan menjadi petunjuk kami?”
“Berbuatlah seperti aku berbuat dan seperti aku katakan!”
“Tetapi Rasulullah, setelah Anda pergi peristiwa-peristiwa baru mungkin timbul
yang tidak dapat timbul selama hidup Anda. Kalau demikian, apa yang harus kami
lakukan dan apa yang harus dilakukan orang-orang sesudah kami?”
“Allah telah memberikan kesadaran kepada setiap manusia sebagai alat setiap
orang dan akal sebagai petunjuk. Maka gunakanlah keduanya dan tinjaulah
sesuatu dan rahmat Allah akan selalu membimbing kamu ke jalan yang lurus!”

Ijtihad adalah “sarana ilmiah” untuk menetapkan hukum sebuah perkara yang
tidak secara tegas ditetapkan Al-Quran dan As-Sunnah.

Pada dasarnya, semua umat Islam berhak melakukan Ijtihad, sepanjang ia


menguasai Al-Quran, As-Sunnah, sejarah Islam, juga berakhlak baik dan
menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan.

Lazimnya, Mujtahid adalah para ulama yang integritas keilmuan dan akhlaknya
diakui umat Islam. Hasil Ijtihad mereka dikenal sebagai fatwa. Jika Ijtihad
dilakukan secara bersama-sama atau kolektif, maka hasilnya disebut Ijma’ atau
kesepakatan. Wallahu a'lam.
D. Ruang Lingkup Ajaran Islam
Ruang lingkup ajaran islam terdapat 3 pegangan yaitu Aqidah, Syariah dan Akhlaq.
I. Aqidah.
Kata aqidah berasal dari bahasa Arab, yaitu ‫ العقد‬yang berarti ‫الجمع بين أطراف‬
‫( الشيء‬menghimpun atau mempertemukan dua buah ujung atau sudut/ mengikat).
Secara istilah aqidah berarti keyakinan keagamaan yang dianut oleh seseorang dan
menjadi landasan segala bentuk aktivitas, sikap, pandangan dan pegangan hidupnya.
Istilah ini identik dengan iman yang berarti kepercayaan atau keyakinan
Sekiranya disinergiskan antara makna lughawi dan istilah dari kata aqidah di
atas dapat digambarkan bahwa aqidah adalah suatu bentuk keterikatan atau
keterkaitan antara seorang hamba dengan Tuhannya, sehingga kondisi ini selalu
mempengaruhi hamba dalam seluruh perilaku, aktivitas dan pekerjaan yang ia
lakukan. Dengan kata lain keterikatan tersebut akan mempengaruhi dan mengontrol
dan mengarahkan semua tindak-tanduknya kepada nilai-nilai ketuhanan.
Masalah-masalah aqidah selalu dikaitkan dengan keyakinan terhadap Allah,
Rasul dan hal-hal yang ghaib yang lebih dikenal dengan istilah rukun iman. Di
samping itu juga menyangkut dengan masalah eskatologi, yaitu masalah akhirat dan
kehidupan setelah berbangkit kelak. Keterkaitan dengan keyakinan dan keimanan,
maka muncul arkanul iman, yakni, iman kepada Allah, Malaikat, Kitab, Rasul, hari
akhirat, qadha dan qadar.
Di dunia Islam, permasalahan aqidah telah terbawa pada berbagai
pemahaman, sehingga menimbulkan kelompok-kelompok di mana masing-masing
kelompok memiliki metode dan keyakinan masing-masing dalam pemahamannya. Di
antara kelompok-kelompok tersebut adalah Muktazilah, Asy’ariyah, Mathuridiyah,
Khawarij dan Murjiah.
Menurut Harun Nasution, timbulnya berbagai kelompok dalam masalah
aqidah atau teologi berawal ketika terjadinya peristiwa arbitrase (tahkim) ketika
menyelesaikan sengketa antara kelompok Mu’awiyah dan Ali ibn Abi Thalib. Kaum
Khawarij memandang bahwa hal tersebut bertentangan dengan QS al-Maidah/ 5: 44
yang berbunyi;
…‫ومن لم يحكم بما أنزل هللا فألئك هم الكافرون‬
Siapa yang tidak menentukan hukum dengan apa yang diturunkan Allah adalah kafir
(QS al-Maidah/ 5: 44).
Peristiwa tersebut membuat kelompok Khawarij tidak senang, sehingga
mereka mendirikan kelompok tersendiri serta memandang bahwa Mu’awiyah dan
Ali ibn Abi Thalib adalah Kafir, sebab mereka telah melenceng dari ketentuan yang
telah digariskan al-Qur’an. Dengan berdirinya kelompok ini, juga memicu berdirinya
kelompok-kelompok lain dalam masalah teologi, sehingga masing-masing memiliki
pemahaman yang berbeda dengan yang lainnya. Namun demikian, perbedaan
tersebut tidaklah sampai menafikan Allah, dengan kata lain perbedaan pemahaman
tersebut tidak sampai menjurus untuk lari dari tauhid atau berpaling pada thâgh ût.
Di antara sumber perbedaan pemahaman antara masing-masing golongan
tersebut antara lain adalah masalah kebebasan manusia dan kehendak mutlak
Tuhan. Ada kelompok yang menganggap bahwa kekuasan Tuhan adalah maha
mutlak, sehingga manusia tidaklah memiliki pilihan lain dalam berbuat dan
berkehendak. Kelompok ini diwakili oleh kelompok Asy’ariyah. Ada pula kelompok
bahwa Tuhan memang maha kuasa, tetapi Tuhan menciptakan sunnah-Nya dalam
mengatur kebebasan manusia, sehingga manusia memiliki alternatif dan pilihan
dalam berkehendak dan berbuat sesuai dengan sunnah yang telah ditetapkan.
Dengan kata lain manusia bebas dalam berbuat dan berkehendak. Kelompok ini
diwakili oleh kelompok Muktazilah. Ada pula kelompok yang mengambil sikap
pertengahan antara kedua kelompok tersebut, namun mereka tetap meyakini bahwa
Allah maha kuasa terhadap seluruh tindak-tanduk dan kehendak manusia. Kelompok
ini diwakili oleh Mathuridiyah.
Itulah sekilas tentang permasalahan aqidah serta pemikiran masing-masing
kelompoknya, di mana semua itu beranjak dari pemahaman mereka terhadap
kekuasaan Allah dan kebebasan manusia.
II.Syariah.

Syari’ah adalah sistem hukum yang didasari Al-Qur’an, As-Sunnah, atau


Ijtihad. Seorang pemeluk Agama Islam berkewajiban menjalankan ketentuan ini
sebagai konsekwensi dari ke-Islamannya. Menjalankan syari’ah berarti melaksanakan
ibadah. Dalam hal ini tidak hanya yang bersifat ritual, seperti yang termaksud dalam
Rukun Islam, seperti: bersyahadat, sholat, zakat, puasa, dan berhaji bagi yang
mampu. Akan tetapi juga meliputi seluruh aktifitas (perkataan maupun perbuatan)
yang dilandasi keiman terhadap Allah SWT.
III. Akhlaq.
Akhlaq merupakan bentuk jamak dari ‫( الخلق‬al-khuluq) yang berarti ‫القوى‬
‫( والسجايا المدركة بالبصيرة‬kekuatan jiwa dan perangai yang dapat diperoleh melalui
pengasahan mata bathin). Dari pengertian lughawi ini, terlihat bahwa akhlaq dapat
diperoleh dengan melatih mata bathin dan ruh seseorang terhadap hal yang baik-
baik. Dengan demikian dari pengertian lughawi ini tersirat bahwa pemahaman
akhlaq lebih menjurus pada perbuatan-perbuatan terpuji. Konsekuensinya adalah
bahwa perbuatan jahat dan melenceng adalah perbuatan yang tidak berakhlaq
(bukan akhlâq al-madzmûmah).
Secara istilah akhlaq berarti tingkah laku yang lahir dari manusia dengan
sengaja, tidak dibuat-buat dan telah menjadi kebiasaan. Sedangkan Nazaruddin
Razak, mengungkapkan akhlak dengan makna akhlak islam, yakni suatu sikap mental
dan laku perbuatan yang luhur, mempunyai hubungan dengan Zat Yang Maha Kuasa
dan juga merupakan produk dari keyakinan atas kekuasaan dan keeasaan Tuhan,
yaitu produk dari jiwa tauhid. Dari pengertian ini terlihat sinergisitas antara makna
akhlaq dengan al-khalq yang berarti penciptaan di mana kedua kata ini berasal dari
akar kata yang sama. Dengan demikian pengertian ini menggambarkan bahwa
akhlaq adalah hasil kreasi manusia yang sudah dibiasakan dan bukan datang dengan
spontan begitu saja, sebab ini ada kaitannya dengan al-khalq yang berarti mencipta.
Maka akhlaq adalah sifat, karakter dan perilaku manusia yang sudah dibiasakan.
Al-Qur’an memberi kebebasan kepada manusia untuk bertingkah laku baik
atau berbuat buruk sesuai dengan kehendaknya. Atas dasar kehendak dan pilihannya
itulah manusia akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat atas segala tingkah
lakunya. Di samping itu, akhlaq seorang muslim harus merujuk kepada al-Qur’an dan
sunnah sebagai pegangan dan pedoman dalam hidup dan kehidupan.
Secara garis besar menurut Endang Saifuddin Anshari, akhlak terdiri atas;
pertama, akhlak manusia terhadap khalik, kedua, akhlak manusia terhadap sesama
makhluk, yakni akhlak manusia terhadap sesama manusia dan akhlak manusia
terhadap alam lainnya.
Menurut Muhammad Quraish Shihab, akhlaq manusia terhadap Allah SWT
bertitik tolak dari pengakuan dan kesadarannya bahwa tidak ada Tuhan Selain Allah
yang memiliki sifat terpuji dan sempurna. Dari pengakuan dan kesadaran itu akan
lahir tingkah laku dan sikap sebagai berikut:
1) Mensucikan Allah dan senantiasa memujinya.
2) Bertawakkal atau berserah diri kepada Allah setelah berbuat dan berusaha
terlebih dahulu.
3) Berbaik sangka kepada Allah, bahwa yang datang dari Allah kepada makhluk-
Nya hanyalah kebaikan.
Adapun akhlaq kepada sesama manusia dapat dibedakan kepada beberapa hal,
yaitu:
1. Akhlaq kepada orang tua, yaitu dengan senantiasa memelihara
keredhaannya, berbakti kepada keduanya dan memelihara etika pergaulan dengan
keduanya.
2. Akhlaq terhadap kaum kerabat, yaitu dengan menjaga hubungan
shilaturrahim serta berbuat kebaikan kepada sesama seperti mencintai dan
merasakan suka duka bersama mereka.
3. Akhlaq kepada tetangga, yaitu dengan menjaga diri untuk tidak menyakiti
hatinya, senantiasa berbuat baik (ihsân) dan lain-lain sebagainya.

Anda mungkin juga menyukai