KLASIFIKASI AGAMA
Yaitu meliputi:
a. Agama wahyu
b. Agama budaya
AGAMA ISLAM DAN IPTEK
Agama islam adalah wahyu dari Allah yang lewat malaikatnya kepada rosul.
Ilmu pengetahuan adalah pikiran manusia yang hasil dari penyelidikkan dan analisis.
Sedangkan teknologi adalah suatu alat kebutuhan manusia dalam rangka mencapai
kesejahteraan kepada Allah.
AQIDAH
„Aqidah menurut bahasa Arab etimologi berasal dari kata al-„aqdu ) yang berarti
ikatan, at-tautsiiqu yang berarti kepercayaan atau keyakinan yang kuat al-ihkaamu
yang artinya mengokohkan menetapkan dan ar-rabthu biquw-wah ) yang
berarti mengikat dengan kuat.
[1] Sedangkan menurut istilah (terminologi : „aqidah adalah iman yang teguh dan pasti yang
tidak ada keraguan sedikit pun bagi orang yang meyakininya.
Jadi „Aqidah Islamiyyah adalah keimanan yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah
dengan segala pelaksanaan ke-wajiban, bertauhid [2] dan taat kepada-Nya, beriman kepada
Malaikat-malaikat-Nya, Rasul-rasul-Nya, Kitab-kitab-Nya, hari Akhir, takdir baik dan buruk
dan mengimani seluruh apa-apa yang telah shahih tentang Prinsip-prinsip Agama
(Ushuluddin), perkara-perkara yang ghaib, beriman kepada apa yang menjadi ijma‟
(konsensus) dari Salafush Shalih, serta seluruh berita-berita qath‟i pasti baik secara ilmiah
maupun secara amaliyah yang telah ditetapkan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah yang
shahih serta ijma‟ Salafush Shalih.
"Dan barangsiapa yang menta'ati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama
dengan orang-orang yang dianugerahi ni'mat Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiqin, orang-
orang yang mati syahid dan orang-orang shaleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-
baiknya" (QS. An-Nisa':69
Pembagian Aqidah
Walaupun masalah qadha' dan qadar menjadi ajang perselisihan di kalangan umat Islam,
tetapi Allah telah membukakan hati para hambaNya yang beriman, yaitu para Salaf Shalih
yang mereka itu senantiasa rnenempuh jalan kebenaran dalam pemahaman dan pendapat.
Menurut mereka qadha' dan qadar adalah termasuk rububiyah Allah atas makhlukNya. Maka
masalah ini termasuk ke dalam salah satu di antara tiga macam tauhid menurut pembagian
ulama:
Pertama: Tauhid Al-Uluhiyyah, ialah mengesakan Allah dalam ibadah, yakni beribadah
hanya kepada Allah dan karenaNya semata.
Kedua: Tauhid Ar-Rububiyyah, ialah rneng esakan Allah dalam perbuatanNya, yakni
mengimani dan meyakini bahwa hanya Allah yang Mencipta, menguasai dan mengatur alam
semesta ini.
Ketiga: Tauhid Al-Asma' was-Sifat, ialah mengesakan Allah dalam asma dan sifatNya.
Artinya mengimani bahwa tidak ada makhluk yang serupa dengan Allah Subhanahu wa
Ta'ala. dalam dzat, asma maupun sifat.
Iman kepada qadar adalah termasuk tauhid ar-rububiyah. Oleh karena itu Imam Ahmad
berkata: "Qadar adalah kekuasaan Allah". Karena, tak syak lagi, qadar (takdir) termasuk
qudrat dan kekuasaanNya yang menyeluruh. Di samping itu, qadar adalah rahasia Allah
yang- tersembunyi, tak ada seorangpun yang dapat mengetahui kecuali Dia, tertulis pada
Lauh Mahfuzh dan tak ada seorangpun yang dapat melihatnya. Kita tidak tahu takdir baik
atau buruk yang telah ditentukan untuk kita maupun untuk makhluk lainnya, kecuali setelah
terjadi atau berdasarkan nash yang benar
Tauhid itu ada tiga macam, seperti yang tersebut di atas dan tidak ada istilah Tauhid
Mulkiyah ataupun Tauhid Hakimiyah karena istilah ini adalah istilah yang baru. Apabila
yang dimaksud dengan Hakimiyah itu adalah kekuasaan Allah Azza wa Jalla, maka hal ini
sudah masuk ke dalam kandungan Tauhid Rububiyah. Apabila yang dikehendaki dengan hal
ini adalah pelaksanaan hukum Allah di muka bumi, maka hal ini sudah masuk ke dalam
Tauhid Uluhiyah, karena hukum itu milik Allah Subhanahu wa Ta'ala dan tidak boleh kita
beribadah melainkan hanya kepada Allah semata. Lihatlah firman Allah pada surat Yusuf
ayat 40. [Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas]
Perkembangan Aqidah
Pada masa Rasulullah SAW, aqidah bukan merupakan disiplin ilmu tersendiri karena
masalahnya sangat jelas dan tidak terjadi perbedaan-perbedaan faham, kalaupun terjadi
langsung diterangkan oleh beliau. Makanya kita dapatkan keterangan para sahabat yang
artinya berbunyi : "Kita diberikan keimanan sebelum Al-Qur'an"
Nah, pada masa pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib timbul pemahaman -pemahaman
baru seperti kelompok Khawarij yang mengkafirkan Ali dan Muawiyah karena melakukan
tahkim lewat utusan masing-masing yaitu Abu Musa Al-Asy'ari dan Amru bin Ash. Timbul
pula kelompok Syiah yang menuhankan Ali bin Abi Thalib dan timbul pula kelompok dari
Irak yang menolak takdir dipelopori oleh Ma'bad Al-Juhani (Riwayat ini dibawakan oleh
Imam Muslim, lihat Syarh Shohih Muslim oleh Imam Nawawi, jilid 1 hal. 126) dan dibantah
oleh Ibnu Umar karena terjadinya penyimpangan-penyimpangan. Para ulama menulis
bantahan-bantahan dalam karya mereka. Terkadang aqidah juga digunakan dengan istilah
Tauhid, ushuluddin (pokok-pokok agama), As-Sunnah (jalan yang dicontohkan Nabi
Muhammad), Al-Fiqhul Akbar (fiqih terbesar), Ahlus Sunnah wal Jamaah (mereka yang
menetapi sunnah Nabi dan berjamaah) atau terkadang menggunakan istilah ahlul hadits atau
salaf yaitu mereka yang berpegang atas jalan Rasulullah SAW dari generasi abad pertama
sampai generasi abad ketiga yang mendapat pujian dari Nabi SAW. Ringkasnya : Aqidah
Islamiyah yang shahih bisa disebut Tauhid, fiqih akbar, dan ushuluddin. Sedangkan manhaj
(metode) dan contohnya adalah ahlul hadits, ahlul sunnah dan salaf.
Bahaya Penyimpangan Aqidah
Penyimpangan pada aqidah yang dialami oleh seseorang berakibat fatal dalam seluruh
kehidupannya, bukan saja di dunia tetapi berlanjut sebagai kesengsaraan yang tidak
berkesudahan di akherat kelak. Dia akan berjalan tanpa arah yang jelas dan penuh dengan
keraguan dan menjadi pribadi yang sakit personaliti. Biasanya penyimpangan itu disebabkan
oleh sejumlah faktor diantaranya :
1. Tidak menguasainya pemahaman aqidah yang benar karena kurangnya pengertian dan
perhatian. Akibatnya berpaling dan tidak jarang menyalahi bahkan menentang aqidah yang
benar.
2. Fanatik kepada peninggalan adat dan keturunan. Karena itu dia menolak aqidah yang
benar. Seperti firman Allah SWT tentang ummat terdahulu yang keberatan menerima aqidah
yang dibawa oleh para Nabi dalam Surat Al-Baqarah 170 yang artinya : "Dan apabila
dikatakan kepada mereka, "Ikutlah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab:
"(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek
moyang kami." (Apabila mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu
tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk."
3. Taklid buta kepada perkataan tokoh-tokoh yang dihormati tanpa melalui seleksi yang tepat
sesuai dengan argumen Al-Qur'an dan Sunnah. Sehingga apabila tokoh panutannya sesat,
maka ia ikut tersesat.
4. Berlebihan (ekstrim) dalam mencintai dan mengangkat para wali dan orang sholeh yang
sudah meninggal dunia, sehingga menempatkan mereka setara dengan Tuhan, atau dapat
berbuat seperti perbuatan Tuhan. Hal itu karena menganggap mereka sebagai
penengah/arbiter antara dia dengan Allah. Kuburan-kuburan mereka dijadikan tempat
meminta, bernadzar dan berbagai ibadah yang seharusnya hanya ditujukan kepada Allah.
Demikian itu pernah dilakukan oleh kaumnya Nabi Nuh AS ketika mereka mengagungkan
kuburan para sholihin. Lihat Surah Nuh 23 yang artinya : "Dan jangan pula sekali-kali kamu
meninggalkan penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa', Yaghuts, Ya'uq dan Nasr."
5. Lengah dan acuh tak acuh dalam mengkaji ajara Islam disebabkan silau terhadap
peradaban Barat yang materialistik itu. Tak jarang mengagungkan para pemikir dan ilmuwan
Barat serta hasil teknologi yang telah dicapainya sekaligus menerima tingkah laku dan
kebudayaan mereka.
6. Pendidikan di dalam rumah tangga, banyak yang tidak berdasar ajaran Islam, sehingga
anak tumbuh tidak mengenal aqidah Islam. Pada hal Nabi Muhammad SAW telah
memperingatkan yang artinya : "Setiap anak terlahirkan berdasarkan fithrahnya, maka kedua
orang tuanya yang meyahudikannya, menashranikannya, atau memajusikannya" (HR:
Bukhari).
Apabila anak terlepas dari bimbingan orang tua, maka anak akan dipengaruhi oleh acara /
program televisi yang menyimpang, lingkungannya, dan lain sebagainya.
7. Peranan pendidikan resmi tidak memberikan porsi yang cukup dalam pembinaan
keagamaan seseorang. Bayangkan, apa yang bisa diperoleh dari 2 jam seminggu dalam
pelajaran agama, itupun dengan informasi yang kering. Ditambah lagi mass media baik cetak
maupun elektronik banyak tidak mendidik kearah aqidah bahkan mendistorsinya secara
besar-besaran.
Tidak ada jalan lain untuk menghindar bahkan menyingkirkan pengaruh negatif dari hal-hal
yang disebut diatas adalah mendalami, memahami dan mengaplikasikan Aqidah Islamiyah
yang shahih agar hidup kita yang sekali dapat berjalan sesuai kehendak Sang Khalik demi
kebahagiaan dunia dan akherat kita, Allah SWT berfirman dalam Surah An-Nisa' 69 yang
artinya : "Dan barangsiapa yang menta'ati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-
sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni'mat Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiqin,
orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shaleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-
baiknya."
Dan juga dalam Surah An-Nahl 97 yang artinya : "Barangsiapa yang mengerjakan amal
shaleh baik laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan
kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan kami beri balasan
kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan."
Akidah Islam adalah prinsip utama dalam pemikiran Islami yang dapat membina setiap
individu muslim sehingga memandang alam semesta dan kehidupan dengan kaca mata tauhid
dan melahirkan konotasi-konotasi valid baginya yang merefleksikan persfektif Islam
mengenai berbagai dimensi kehidupan serta menumbuhkan perasaan-perasaan yang murni
dalam dirinya. Atas dasar ini, akidah mencerminkan sebuah unsur kekuatan yang mampu
menciptakan mu‟jizat dan merealisasikan kemenangan-kemenangan besar di zaman
permulaan Islam.
Demi membina setiap individu muslim, perlu kiranya kita mengingatkannya tentang
sumbangsih-sumbangsih akidah yang telah dimiliki oleh orang-orang sebelumnya dan
meyakinkannya akan validitas akidah itu dalam setiap zaman dan keselarasannya dengan
segala era.
Kita bisa menyimpulkan peranan penting akidah dalam membina manusia di berbagai sisi
dan dimensi kehidupan dalam poin-poin berikut :
1. Dalam Sisi Pemikiran.
Akidah menganggap manusia sebagai makhluk yang terhormat. Adapun kesalahan yang
terkadang menimpa manusia, adalah satu hal yang biasa dan bisa diantisipasi dengan taubat.
Atas dasar ini, akidah meyakinkannya bahwa ia mampu untuk meningkatkan diri dan tidak
membuatnya putus asa dari rahmat Allah dan ampunan-Nya
Akidah telah berhasil memerdekakan manusia dari penindasan politik para penguasa zalim
dan membebaskannya dari tradisi menuhankan manusia lain.
Akidah juga memberikan kebebasan penuh kepadanya. Namun ia membatasi kebebasan itu
dengan hukum-hukum syariat, penghambaan kepada Allah supaya hal itu tidak menimbulkan
kekacauan.
Begitu juga, akidah telah berhasil membebaskannya dari jeratan hawa nafsu, menyembah
fenomena-fenomena alam di sekitarnya dan dongengan-dongengan yang tidak benar.
Melalui proses pembebasn pemikiran ini, akidah melakukan proses pembinaan manusia. Ia
memberikan kedudukan yang layak kepada akal, mengakui peranannya dan membuka
cakrawala pemikiran yang luas baginya. Di samping itu, akidah juga membuka jendela
keghaiban baginya, membebaskannya dari jeratan ruang lingkup indra yang sempit dan
mengarahkan daya ciptanya yang luar biasa untuk merenungkan tanda-tanda kekuasaan Allah
di segenap cakrawala raya dan diri mereka, serta menjadikan renungan (tafakkur) ini sebagai
ibadah yang paling utama.
Tidak sampai di situ saja, akidah juga mengarahkan daya akal untuk menyingkap rahasia-
rahasia sejarah yang pernah terjadi pada umat dan bangsa-bangsa terdahulu, dan
merenungkan hikmah yang tersembunyi di balik syariat guna mengokohkan keyakinan
muslim terhadap syariat dan validitasnya untuk setiap masa dan tempat.
Dari sisi lain, akidah mendorong manusia untuk menuntut ilmu pengetahuan dan mengikat
ilmu pengetahuan itu dengan iman. Karena memisahkan ilmu pengetahuan dari iman akan
menimbulkan akibat jelek.
Akidah juga memerintahkan akal untuk meneliti dan merenungkan dengan teliti untuk
menyimpulkan sebuah Ushuluddin dan melarangnya untuk bertaklid dalam hal itu.
Akidah telah berhasil melakukan perombakan besar dalam sisi ini. Di saat masyarakat
Jahiliah hanya mementingkan diri mereka dan kemaslahatannya, dengan mengenal akidah,
mereka relah mengorbankan segala yang mereka miliki demi agama dan kepentingan sosial.
Akidah telah berhasil menghancurkan tembok pemisah yang memisahkan antara ketamakan
manusia akan kemaslahatan-kemaslahatan pribadinya dan jiwa berkorban demi kemaslahatan
umum dengan cara menumbuhkan rasa peduli sosial dalam diri setiap individu.
Akidah telah berhasil menumbuhkan rasa peduli sosial ini dalam diri setiap individu dengan
cara-cara berikut: menumbuhkan rasa ikut bertanggung jawab terhadap kepentingan orang
lain, menanamkan jiwa berkorban dan mengutamakan orang lain dan mendorong setiap
individu muslim untuk hidup bersama.
Dari sisi lain, akidah telah berhasil merubah tolok ukur hubungan sosial antar anggota
masyarakat, dari tolok ukur hubungan sosial yang berlandaskan fanatisme, suku, warna kulit,
harta dan jenis kelamin menjadi hubungan yang berlandaskan asas-asas spiritual. Yaitu
takwa, fadhilah dan persaudaraan antar manusia. Akidah telah berhasil merubah kondisi
pertentangan dan pergolakan yang pernah melanda masyarakat insani menjadi kondisi salang
mengenal dan tolong menolong. Dengan ini, mereka menjadi sebuah umat bersatu yang
disegani oleh bangsa lain. Di samping itu, akidah Islam juga telah berhasil merubah tradisi-
tradisi Jahiliah yang menodai kehormatan manusia dan menimbulkan kesulitan.
Akidah dapat mewujudkan ketenangan dan ketentraman bagi manusia meskipun bencana
sedang menimpa.
Dalam hal ini akidah telah menggunakan berbagai cara dan metode untuk meringankan
bencana-bencana itu di mata manusia. Di antara cara-cara tersebut adalah menjelaskan
kriteria dunia;bahwa dunia ini adalah tempat derita dan ujian yang penuh dengan bencana dan
derita yang acap kali menimpa manusia. Oleh karena itu, tidak mungkin bagi manusia untuk
mencari kesenangan dan ketentraman di dunia ini.
Atas dasar ini, hendaknya ia berusaha sekuat tenaga demi meraih kesuksesan dalam ujian
Allah di dunia.
Dan di antara cara-cara tersebut adalah akidah menegaskan bahwa setiap musibah pasti
membuahkan pahala, dan menyadarkan manusia bahwa musibah terbesar yang adalah
musibah yang menimpa agama.
Dari sisi lain, akidah juga membebaskan jiwa manusia dari segala ketakutan yang dapat
melumpuhkan aktifitas, membinasakan kemampuan dan menjadikannya cemas dan bingung.
Begitu juga akidah memotivasi manusia untuk mengenal dirinya. Karena tanpa tanpa itu, sulit
baginya untuk dapat menguasai jiwa dan mengekangnya, dan tidak mungkin baginya dapat
mengenal Allah secara sempurna.
Akidah memiliki peranan yang besar dalam membina akhlak setiap individu muslim sesuai
dengan prinsip-prinsip agama yang pahala dan siksa disesuaikan dengannya, dan bukan
hanya sekedar wejangan yang tidak menuntut tanggung-jawab. Lain halnya dengan aliran-
aliran pemikiran hasil rekayasa manusia biasa yang memusnahkan perasaan diawasi oleh
Allah dalam setiap gerak dan rasa tanggung jawab di hadapan-Nya. Dengan demikian,
musnahlah tuntunan-tuntunan akhlak dari kehidupan manusia. Karena akhlak tanpa iman
tidak akan pernah teraktualkan dalam kehidupan sehari-hari.
SYARIAH
Syariah adalah ketentuan-ketentuan agama yang merupakan pegangan bagi manusia di dalam
hidupnya untuk meningkatkan kwalitas hidupnya dalam rangka mencapai kebahagiaan dunia
dan akhirat.
Syariah Islam adalah tata cara pengaturan tentang perilaku hidup manusia untuk mencapai
keridhoan Allah SWT yang dirumuskan dalam Al-Qur‟an yaitu :
C. Sumber-Sumber Syariah
1. Al-Qur‟an kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan merupakan
Undang-Undang yang sebagian besar berisi hukum-hukum pokok.
2. Al-Hadist (As-Sunnah), sumber hukum kedua yang memberikan penjelasan dan rincian
terhadap hukum-hukum Al-Qur‟an yang bersifat umum.
3. Ra‟yu Ijtihad upaya para ahli mengkaji Al-Qur‟an dan As-Sunnah untuk menetapkan
hukum yang belum ditetapkan secara pasti dalam Al-Qur‟an dan As-Sunnah.
D. Klasifikasi Syariah
Syariah mengatur hidup manusia sebagai hamba Allah yang harus taat, tunduk, dan patuh
kepada Allah. Ketaatan, ketundukkan, dan kepatuhan kepada Allah dibuktikan dalam bentuk
pelaksanaan ibadah yang tata caranya diatur sedemikian rupa oleh Syariah Islam. Esensi
ibadah adalah penghambaan diri secara total kepada Allah sebagai pengakuan akan
kelemahan dan keterbatasan manusia di hadapan kemahakuasaan Allah. Dengan demikian
salah satu bagian dari syariah adalah ibadah.
Secara umum Ibadah berarti mencakup semua perilaku dalam semua aspek kehidupan yang
sesuai dengan ketentuan Allah SWT. Ibadah dalam pengertian inilah yang dimaksud dengan
tugas hidup manusia. Sebagaimana dalam Firman Allah dalam Al-Qur‟an Surat Adz-
Dzariyah ayat 56 yang berbunyi :
Artinya : “Dan aki tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah-Ku” Adz-Dzariyat : 56).
Secara khusus Ibadah berarti perilaku manusia yang dilakukan atas perintah Allah SWT dan
yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW, seperti shalat, dzikir, puasa, dan lain-lain.
Landasan dasar pelaksanaan syariah adalah aqidah (keimanan). Dengan aqidah yang kuat
maka syariah dapat dilaksanakan dengan baik sesuai dengan ketentuan Allah SWT.
Usaha-usaha manusia untuk menggali dan meneliti ayat-ayat Allah di segenap penjuru alam
semesta melahirkan ilmu-ilmu pengetahuan alam (natural sciences), sedangkan usaha-usaha
manusia untuk menggali dan meneliti ayat-ayat Allah dalam kehidupan manusia melahirkan
ilmu-ilmu pengetahuan sosial dan budaya (social and cultural sciences).
Pengembangan ilmu pengetahuan dapat dilakukan oleh siapa saja, baik orang yang beriman
maupun yang tidak beriman, asalkan memiliki sikap intelektual dan kemampuan metodologi
ilmiah, sebab ayat-ayat Allah bersifat:
1. pasti (Al-Furqan 2)
2. tidak pernah berubah (Al-Fath 23)
3. obyektif (Al-Anbiya‟ 105
1. Definisi Akal
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, akal adalah daya pikir untuk memahami sesuatu atau
kemampuan melihat cara-cara memahami lingkungannya. Dalam penelitian ini, yang
dimaksud dengan akal adalah gabungan dari dua pengertian di atas, yang disampaikan oleh
ibn Taimiyah dan menurut kamus, yakni daya pikir untuk memahami sesuatu, yang di
dalamnya terdapat kemungkinan bahwa pemahaman yang didapat oleh akal bisa salah atau
bisa benar. Untuk selanjutnya, dalam penelitian ini hanya terbatas pada penggunaan kata
akal.
Akal secara bahasa dari mashdar Ya‟qilu „Aqala „Aqlaa jika dia menahan dan memegang
erat apa yang dia ketahui.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,
„Kata akal menahan mengekang menjaga dan semacamnya adalah lawan dari kata melepas
membiarkan, menelantarkan, dan semacamnya. Keduanya nampak pada jisim yang nampak
untuk jisim yang nampak, dan terdapat pada hati untuk ilmu batin, maka akal adalah menahan
dan memegang erat ilmu, yang mengharuskan untuk mengikutinya. Karena inilah maka
lafadz akal dimuthlakkan pada berakal dengan ilmu.
Syaikh Al Albani berkata,
“Akal menurut asal bahasa adalah At Tarbiyyah yaitu sesuatu yang mengekang dan
mengikatnya agar tidak lari kekanan dan kekiri. Dan tidak mungkin bagi orang yang berakal
tersebut tidak lari ke kanan dan kiri kecuali jika dia mengikuti kitab dan sunnah dan mengikat
dirinya dengan pemahaman salaf.”
Al Imam Abul Qosim Al Ashbahany berkata,
”akal ada dua macam yaitu : thabi‟i dan diusahakan. Yang thabi‟i adalah yang datang
bersamaan dengan yang kelahiran, seperti kemampuan untuk menyusu, makan, tertawa bila
senang, dan menangis bila tidak senang.
Kemudian seorang anak akan mendapat tambahan akal di fase kehidupannya hingga usia 40
tahun. Saat itulah sempurna akalnya, kemudian sesudah itu berkurang akalnya sampai ada
yang menjadi pikun. Tambahan ini adalah akal yang diusahakan.
Adapun ilmu maka setiap hari juga bertambah, batas akhir menuntut ilmu adalah batas akhir
umur manusia, maka seorang manusia akan selalu butuh kepada tambahan ilmu selama masih
bernyawa, dan kadang dia tidak butuh tambahan akal jika sudah sampai puncaknya.
Hal ini menunjukan bahwa akal lebih lemah dibanding ilmu, dan bahwasanya agama tidak
bisa dijangkau dengan akal, tetapi agama dijangkau dengan ilmu.
Wahyu adalah petunjuk dari Allah yang diturunkan hanya kepada para nabi dan rasul melalui
mimpi dan sebagainya. Wahyu adalah sesuatu yang dimanifestasikan, diungkapkan. Ia adalah
pencerahan, sebuah bukti atas realitas dan penegasan atas kebenaran. Setiap gagasan yang di
dalamnya ditemukan kebenaran ilahi adalah wahyu, karena ia memperkaya pengetahuan
sebagai petunjuk bagi manusia (Haque, 2000: 10).
5. Fungsi Wahyu
1. Wahyu merupakan sumber pokok ajaran Islam.
2. Wahyu sebagai landasan berpikir. Semua produk pemikiran (ilmu, teori, konsep dan
gagasan) tidak boleh lepas dari wahyu, baik makna tersirat maupun tersurat.
3. Wahyu sebagai landasan berbuat, bersikap, berperilaku dalam semua segi kehidupan.
Akal dan wahyu kalau diletakkan secara fungsionalis, maka keduanya saling memiliki fungsi.
Akal memiliki fungsi untuk memahami wahyu, karena wahyu ditulis dengan bahasa Arab,
dan tidak setiap orang dapat memahami teks Arab. Wahyu Al Qur‟an sebagai hudan untuk
memahami hudan diperlukan akal. Wahyu memiliki fungsi mengarahkan kerja akal dan
memberikan informasi kandungan wahyu yangg memerlukan bukti empiris, bahkan dengan
observasi, eksperimen, penyelidikan dan penelitian, yang ini semua dikerjakan dengan akal
pikiran.
MASYARAKAT MADANI
Allah SWT memberikan gambaran dari masyarakat madani dengan firman-Nya dalam
Q.S. Saba’ ayat 15:
Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman
mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka
dikatakan): “Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan
bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu)
adalah Tuhan yang Maha Pengampun”.
Ada dua masyarakat madani dalam sejarah yang terdokumentasi sebagai masyarakat
madani, yaitu:
8. Bertuhan, artinya bahwa masyarakat tersebut adalah masyarakat yang beragama, yang
mengakui adanya Tuhan dan menempatkan hukum Tuhan sebagai landasan yang
mengatur kehidupan sosial.
9. Damai, artinya masing-masing elemen masyarakat, baik secara individu maupun
secara kelompok menghormati pihak lain secara adil.
10. Tolong menolong tanpa mencampuri urusan internal individu lain yang dapat
mengurangi kebebasannya.
11. Toleran, artinya tidak mencampuri urusan pribadi pihak lain yang telah diberikan
oleh Allah sebagai kebebasan manusia dan tidak merasa terganggu oleh aktivitas
pihak lain yang berbeda tersebut.
Dari beberapa ciri tersebut, kiranya dapat dikatakan bahwa masyarakat madani
adalah sebuah masyarakat demokratis dimana para anggotanya menyadari akan hak-hak
dan kewajibannya dalam menyuarakan pendapat dan mewujudkan kepentingan-
kepentingannya; dimana pemerintahannya memberikan peluang yang seluas-luasnya
bagi kreatifitas warga negara untuk mewujudkan program-program pembangunan di
wilayahnya. Namun demikian, masyarakat madani bukanlah masyarakat yang sekali
jadi, yang hampa udara, taken for granted.