Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Agama islam lahir ke dunia melalui nabi dan rasul. Penjaagaan akan kemurnian dan keaslian ajarannya
dapat di pertahankan selama rasul masih hidup. Tetapi ketika agama berkembang secara pesat setelah
melewati proses ajarannya merupakan suatu kenyataan yang tak bisa di hindari, Alhasil muncullah
beragam aliran aliran dari berbagai macam latar belakang yang membuktikan bahwa umat islam
merupakan umat yang dinamis, bukan umat yang statis dan bodoh yang tidak mau berfikir. Namun dari
semua aliran yang mewarnai perkembangan umat islam itu, tidak sedikit juga yang mengundang
terjadinya konflik dan membawa kontroversi dalam umat, khususnya aliran yang bercorak atau
berkonsentrasi dalam membahas teologi (Akidah)

RUMUSAN MASALAH

1. Apakah pengertian aliran Ahlussunnah dan aliran Mu’tazillah itu ?

2. Apa saja ajaran ajaran pada Aliran Ahlussunnah dan Mu’tazillah ?

3. Bagaimana tauhid dalam pandanga Ahlussunnah dan Mu’tazillah ?


BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian

Aswaja merupakan singkatan dari Ahlussunah Waljama’ah yang terdiri dari kata as-sunnah berarti segala
sesuatu yang diriwayatkan nabi SAW baik berupa perilaku,perbuatan yang mencakup tindakan,
perkataan, dan ketetapan rosulullah SAW baik sebelum dan sesudah menjadi nabi. Al jamaah berasal
dari al-ijtima’yang berarti berkumpul atau bertemu. Namun, jika lafazh jama’ah dirangkai dengan as
sunnah menjadi ahlu sunnah waljamaah maka yang dimaksud ialah pendahulu umat ini. Meraka adalah
para sahabat dan tabiin yang bersatu mengikuti kebenaran yang jelas dari kitabullah sunnah rosul SAW.
[1]demikian apa yang dilakukan nabi dan para shahabatnya merupakan kebenaran yang wajib di
teladani dan diikuti. Dan setiap orang yang datang sesudah mereka dengan menempuh jalan mereka
dan mengikuti jejak mereka, maka dia itulah al-jama’ah baik secara individu maupun kelompok.[2]
IbnuTaimiyah dalam Majmu’al-Fattawa (jld. 3 hlm 358) berkata, “Mereka adalah para sahabat rosulullah
SAW. Mereka disebut sebagai ahlus sunnah wal Jamaah kerena mereka menggalang persatuan
meskipun mereka tidak pernah bertemu sekalipun. Dalam buku Ilmu Tauhid karangan Agus
Khunaifi,M.Ag Ahlu Sunnah Wal Jama’ah adalah istilah yang tersusun dari tiga kata, yaitu:

 Kata Ahl, yang berarti keluarga, pengikut atau golongan.


 Kata as-sunnah, secara etimologis (bahasa) memiliki arti at-thariqoh(jalan dan perilaku), baik
jalan dan perilaku tersebut benar atau keliru. Secara terminologi (istilah), para ulama berbeda
pendapat tentang pengertian as-sunnah.
 Kata jama’ah, secara etimologis ialah orang-orang yang memelihara gkebersamaan dan
kolektifitas dalam mencapai tujuan.[3]

Secara garis besarnya, Ahlussunnah Waljama’ah adalah manusia yang paling baik akhlaknya, sangat
peduli terhadap kesucian jiwa mereka dengan berbuat ketaatan kepada Allah SWT, paling luas
wawasannya, paling jauh pandangan, paling lapang dadanya dengan khilaf (perbedaan pendapat) dan
paling mengetahui tentang adab-adab dan prinsip-prinsip khilaf.

Sedangkan Mu’tazillah berasal dari kata I’tizalla anna yang artinya memisahkan. Mu’tazillah adalah kaum
yang muncul di Basra pada abad ke 2 H yang bermula dari tindakan Wasil bin Atha’ yang berpisah dari
gurunya Imam Hasan al Bishri karena perbedaan pendapat. Pada saat itu, Washil, yang merupakan
murid dari Hasan memiliki perbedaan pendapat dengan gurunya. Ketika itu hasan sedang mengadakan
sebuah majelis, kemudian beliau mengutarakan tentang status muslim yang melakukan dosa besar.
Secara toba-tiba Washil berpendapat bahwa pelaku dosa besar berada di antara dua tempat tersebut
yakni bukan mukmin bukaen pula kafir dan langsung memisahkan diri dari kelompok yang ada di majelis
tersebut sehingga washil disebut telah berpisah atau memisahkan diri dari hasan sehingga muncullah
aliran mu’tazilah ini.[4]
Menurut pendapat lain, Mu’tazilah merupakan aliran yang sangat mengedepankan akal dalam
menemukan dalil, mereka berpagang erat pada peremis-premis logika kecuali dalam hal yang tidak
dapat diketahui kecuali dengan dalil syara’. Mereka mengatakan, “Semua pengetahuan dapat dipikirkan
dengan akal, dan kebenarannya mesti diuji dengan akal. Mensyukuri nikmat sudah wajib sebelum
turunnya wahyu. Baik dan buruk merupakan sifat esensial dari kebaikan dan keburukan itu sendiri.” [5]

Ajaran-ajaran Tauhid dalam aliran Ahlussunnah dan Mu’tazillah

 Ajaran dalam aliran Ahlussunnah di antaranya :

Ajaran Al-Asy’ari sendiri dapat diketahui dari buku-buku, terutama dari kitab Al-Luma’ fii Al-Rad ‘ala Ahl
Al-Ziagh wa Al- ‘Bida’ dan Al-Ibana ‘an Usul Al-Dianah. Disamping buku-buku yang ditulis oleh para
pengikutnya. Sebagai penentng mu’tazilah, sudah barang tentu ia berpendapat bahwa Tuhan memiliki
sifat. Mustahil kata Al-Asy’ari Tuhan mengetahui dengan Dzat-Nya, karena dengan demikian Dzat-Nya
adalah pengetahuan (ilm), tetapi yang mengetahui atau ‘alim Tuhan mengetahui dengan pengetahuan
dan pengetahuan-Nya bukan Dzat-Nya. Demikian pula dengan sifat-sifat seperti sifat hidup, berkuasa,
mendengar dan melihat.[6]

Perbuatan-perbuatan manusia bagi Al-Asy’ari bukanlah diwujudkan oleh manusia sendiri, sebagai
pendapat mu’tazilah, tetapi diciptakan oleh Tuhan. Perbuatan kufr adalah buruk, tetapi orang kafir ingin
supaya perbuatan kufr itu sebenarnya bersifat baik. Apa yang dihendaki orang kafir ini tak dapat
diwujudkannya. Perbuatan iman bersifat baik tetapi berat dan sulit. Orang mukmin ingin spaya
perbuatan iman itu janganlah berat dan sulit tetapi apa yang dikehendakinya itu tak dapat
diwujudkannya. Dengan demikian yang mewujudkan perbuatan-perbuatan kufr itu bukanlah orang kafir
yang tak sanggup membuat kufr bersifat baik tetapi Tuhanlah yang mewujudkannya dan Tuhan memang
berkehendak supaya kufr bersifat buruk.

Demikian pula yang menciptakan pekerjaan iman bukanlah orang mukmin yang tak sanggup membuat
iman bersifat tidak berat dan sulit tetapi Tuhanlah yang menciptakannya dan Tuhan memang
menghendaki supaya iman bersifat berat dan sulit. Al-Asy’ari seterusnya menentang faham kedilan
Tuhan yang dibawa kaum mu’tazilah. Menurut pendapatnya Tuhan berkuasa mutlak dan tak ada
suatupun yang wajib baginya. Tuhan berbuat sekehendaknya sehingga kalau Ia memasukkan seluruh
manusia ke dalam surga bukanlah Ia bersifat tidak adil dan jika Ia memasukkan seluruh manusia ke
dalam neraka tidaklah Ia bersifat zalim. Dengan demikian, ia juga tidk setuju dengan ajaran mu’tazilah
tentang Al-Wa’ad wa Al-Wa’id.

Bagi Al-Asy’ari orang yang berdosa besar tetap mukmin karena imannya masih ada, tetapi karena dosa
besar yang dilakukannya ia menjadi fasik. Sekiranya orang berdosa besar bukanlah mukmin dan bukan
pula kafir. Maka dalam dirinya akan tidak didapati kufr atau iman. Dengan demikian bukanlah ia atheis
atau bukanlah pula monotheis, tidak teman dan tidak pula musuh. Hal serupa ini tidak mungkin. Oleh
karena itu, tidak pula mungkin bahwa orang berdosa besar bukan mukmin bukan pula tidak kafir[7]

Ajaran dalam aliran Mu’tazilah ada lima[8] di antaranya :

1. At-Tauhid, bagi mu’tazilah tauhid Allah harus dipahami bahwa Allah adalah Dzat yang unik dan
tidak ada yang menyerupain-Nya.
2. Al-Adl, bagi mu’tazilah Allah itu haruslah adil. Ia tidak dapat dan tidak akan berbuat zalim.
3. Al-Wa’ad wa Al-Wa’id, disini adalah kelanjutan dari Al-Adl. Dimana Allah tidak dapat disebut adil
apabila tidak member pahala kepada yang berbuat baik dan tidak member sanksi kepada yang
berbuat buruk.
4. Al-Manzilat bain Al-Manzilatain, disini disinggung tentang pelaku dosa besar. Bagi mu’tazilah
pelaku dosa besar berada diantara dua posisi antara mukmin dan kafir.
5. Al-Amr bi Al-Ma’ruf wa Al-Nahy’an Al-Munkar, mu’tazilah mewajibkan kaum muslim untuk
berbuat baik dan mencegah berbuat keji.

Tauhid dalam pandangan Ahlussunnah dan Mu’tazillah


 Menurut as-sunnah, Ahlussunnah Waljama’ah

Mengenai tauhid misalnya yang dikemukakan oleh al-asy’ari dan mu’tazilah tidak berbeda .perbedaan
terjadi ketika membahas masalah yang bersifat cabang. Tentang sifat misalnya al-asy’ari dengan jelaas
berbeda dan tegas menentang konsep mu’tazilah yang meniscahyakan keharusan paham nafyu al-shifat.
Bagi al-asy’ari untuk menjaga dan mempertahankan kemurnian aqidah tauhid, dengan prinsip tanzih
tidak harus dengan faham nafyu al-shifat. Ia sebaliknya, membawa dan mempertahankan paham itsbat
al-shifat, Allah mempunyai sifat. Allah menurut al-asy’ari mustahil mengetahui dengan zatnya seperti
paham mu’tazilah . bila dikatakan allah mengetahui dengan zatnya, lanjutnya, maka akan membawa arti
bahwa zat allah adalah pengetahuan padahal lanjutnya zat allah bukan pengetahuan (‘ilm) tetapi yang
mengetahui (‘ailim) maka yang benar adalah bahwa allah mengetahui dengan pengetahuan dan
pengetahuannya bukan zatnya. Demikian pula halnya dengan sifta-sifatnya yang lain seprti sifat hidup,
berkuasa dan mendengar.[9]

 Menurut kaum Mu’tazillah

Tauhid atau keesaan Tuhan merupakan suatu ajaran penting. Namun menurut mu’tazilah, tauhid
memiliki arti yang spesifik. Tuhan harus disucikan dari segala sesuatu yang dapat mengurangi arti
kemahaesaannya. Untuk memurnikan itu mu’tazilah menolak konsep Tuhan memiliki sifat-sifat dan
penggambaran fisik Allah karena Allah itu esa tidak ada yang menyerupainya.[10] Konsep ini bermula
dari Washil bin Attha’, ia mengingkari bahwa mengetahui berkuasa, berkehendak, dan hidup adalah
termasuk esensi Allah. Menurutnya jika sifat-sifat ini diakui sebagai kekal azali, itu berarti terdapat
dalam”pluralitas yang kekal” dan berarti bahwa kepercayaan kepada Allah adalah dusta belaka. Namun
gagasan Washil ini tidak mudah diterima. Pada umumnya mu’tazilah mereduksi sifat-sifat Allah menjadi
dua, yakni ilmu dan kuasa dan menamakan keduanya sebagai sifat esensial. Selanjutnya mereka
mereduksi bagi kedua sifat dasar ini menjadi satu saja yakni keesaan.

Mereka juga menolak paham bahwa Allah dapat dilihat oleh manusia dengan mata kepala di akhirat
kelak karena hal ini akan meniscayakan Tuhan berupa jisim atau materi yang mengambil tempat.[11]

Sesuai fiman Allah yang berbunyi :

‫صا َر ۖ َوهُ َو اللَّ ِطيفُ ْالخَ بِير‬


َ ‫ك اَأْل ْب‬ َ ‫اَل تُ ْد ِر ُكهُ اَأْل ْب‬
ُ ‫صا ُر َوهُ َو يُ ْد ِر‬ ُ

“Dia tidak dicapai oleh pengelihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat segala yang kelihatan dan
Dialah yang maha halus dan maha mengetahui.” (Q.S Al An’am:103)

BAB III

KESIMPULAN

Aliran Ahlussunnah wal jama’ah dan aliran Mu’tazilah merupakan aliran dengan corak akidah (teologi),
hingga bermacam-macam mazhab fikih, ushul fikih dan ilmu-ilmu keislaman lainnya. Aliran Mu’tazilah
sangat mengedepankan rasional dan mengesampingkan Al Qur’an dan Hadits, inilah yang tidak
disepakati oleh ulama-ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah, karena ASWAJA ini mengedepankan Al Qur’an
dan Hadits daripada rasional (logika) dan mengikuti dengan benar sunnah Rosulallah SAW ataupun para
sahabat Rosul.

Aliran Mu’tazilah lahir di Basrah pada permulaan abad pertama hijrah, yang dipelopori oleh Washil bin
‘Atha dan Amru bin Ubaid, aliran ini cepat berkembang dengan membahas ilmu kalam lebih mendalam
dan bersifat filosofis daripada yang dibahas aliran-aliran sebelumnya. Dalam pembahasan masalah
banyak yang menggunakan akal, sehingga terkenal dengan aliran rasionalis Islam.

Ajaran-ajaran antara ahlu sunnah wal jamaah atua asy’ariyah bertentangan dengan aliran mu’tazilah
baik dalam masalah keadilan tuhan dan pelaku dosa besar.
Tauhid dalam ahlusunnah wal jamaah tidak terlalu berbeda dengan aliran mu’tazilah hanya berbeda
dalam masalah cabangnya.

Anda mungkin juga menyukai