Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH

SEKTE KHALAF; AHLUSUNNAH WA AL JAMA’AH

Oleh:
Angga Ariansyah (2251010097)
Mawar Ambar Wati (2251010097)
Novi Anjarwati (2251010188)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
1444 H/2023 M
A. PENGERTIAN AHLUSUNNAH WAL JAMA’AH

Kalimat Ahlussunnah wal Jama’ah, terdiri dari dua kata inti


yaitu : Ahlussunnah yang artinya : ahli mengamalkan sunnah, penganut sunnah, atau
pengikut sunnah. Dan wal Jama’ah yang artinya : dan jama’ah, maksudnya adalah
jama’ah sahabat-sahabat Nabi.

Ahlussunnah adalah mereka yang mengikuti dengan konsisten semua jejak-


langkah yang berasal dari Nabi Muhammad SAW. Dan membelanya. Dari definisi di
atas jelas, bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah itu tidak hanya terdiri dari satu kelompok
aliran, tapi ada beberapa sub-aliran, ada beberapa faksi di dalamnya.

Dalam kajian ilmu kalam, istilah Ahlussunnah wal Jama’ah ini sudah banyak
dipakai sejak masa sahabat, sampai generasi-generasi berikutnya. Sumber dari istilah
tersebut oleh sebagian banyak para ahli diambil dari hadits Nabi SAW. Yang
menerangkan akan terpecahnya umat Islam menjadi 73 golongan, antara lain hadits
yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan At-Turmudzi, yang artinya :

“ Sesungguhnya Bani Israil terpecah menjadi 72 agama. Dan umatku akan


terpecah menjadi 73 golongan, semuanya akan binasa, kecuali satu. Para sahabat
Nabi bertanya : Siapakah yang satu itu wahai Rasulullah?, Rasulullah menjawab :
Yaitu orang-orang yang berpegang teguh pada i’tiqadku dan yang berpegang teguh
pada i’tiqad yang dipegangi oleh sahabat-sahabatku”.

B. SEJARAH AHLUSUNNAH WAL JAMA’AH

Imam Abu Hasan al-Asy’ari (lahir di Bashrah, 260 H / 873 M, dan wafat di
Baghdad, 324 H / 935 M) ialah seorang ahli fiqh terkenal, pemuka teolog Islam pada

1
masanya. Menurut catatan sejarah, Abu Hasan al-Asy’ari adalah murid dari ayah
tirinya yakni Syaikh Abu Ali Muhammad bin Abdil Wahab al-Juba’I (seorang ulama
besar Mu’tazilah), kemudian Abu Hasan al-Asy’ari keluar dari paham gurunya itu
karena menurutnya banyak keyakinan yang tidak benar. Kemudian beliau
membangun paham sendiri yaitu Ahlussunnah wal Jama’ah.

Paham Ahlussunnah wal Jama’ah juga sering disebut sebagai paham


Asy’ariyah, karena dinishbatkan kepada Abu Hasan al-Asy’ari. Juga sering disebut
sebagai paham Ahlussunnah saja, juga sering disebut sunni dan pengikutnya
disebut sunniyun.

Seluruh ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah yang disusun oleh Abu Hasan al-
Asy’ari, dibukukan oleh beliau diantaranya terdapat dalam kitab yang beliau susun
seperti : Al-Ibanah fi Ushuliddiniyyah, Maqalatul Islamiyyin, Al-Mujaz, dan lain-lain.

C. PEMIKIRAN AHLUSUNNAH WAL JAMAAH

1. Pahamnya Tentang Seorang Muslim dan Hal Dosa

Golongan Ahlussunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa suatu golongan dapat


dianggap atau diakui sebagai muslim apabila memenuhi tiga syarat:

1. Mengucapkan dua kalimat syahadat dengan lisannya


2. Ucapan itu diikuti kepercayaan dengan hatinya
3. Dan dibuktikan dengan amal yang nyata

Adapun tentang dosa, Ahlussunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa orang


yang meninggalkan kewajiban dan mengerjakan dosa yang sampai ia mati belum

2
bertaubat, maka orang ini dihukum sama dengan orang mu’min yang mengerjakan
maksiat. Orang ini apabila ia tidak diampuni Allah ia masuk neraka, tetapi tidak
abadi. Ia akan lepas dari siksa neraka setelah selesai menjalani hukuman neraka,
tetapi ia juga akan merasakan nikmat karena imannya.

Dari uraian tersebut dapat kita bandingkan bahwa menurut Ahlussunnah apa


yang diperintahkan Tuhan itu baik dan apa yang dilarangnya itu buruk. Menurut
mereka tidak ada kebaikan dan tidak pula ada kejahatan yang mutlak, karena itu
hak istimewa-Nya.

2. Tentang Sifat-Sifat Allah SWT

Menurut Ahlussunnah Allah itu satu, unik, qadim dan wujud. Dia bukan
substansi, bukan tubuh, bukan oksigen, tidak terbatasi oleh arah dan oleh ruang. Dia
memiliki sifat-sifat seperti mengetahui, hidup, berkuasa, berkehendak, mendengar,
melihat dan lain-lain. Menurutnya prinsip-prinsip bahwa Tuhan itu unik dan pada
dasarnya berbeda dari sifat-sifat makhluk dan dengan doktrin “mukhalafah”, atau
perbedaan mutlak. Berdasarkan doktrin ini, bila suatu sifat diaplikasikan kepada
Tuhan, maka sifat tersebut mesti dipahami secara unik dan jangan dipahami seperti
kita memahaminya terhadap makhluk. Karena doktrin “mukhalafah”
inilah, Ahlussunnah berpendirian bahwa kita tidak boleh menyebutkan sifat Tuhan
selain daripada yang termaktub secara jelas di dalam Al-Qur’an. Sifat-sifat Tuhan
berbeda dari sifat makhluk, bukan dalam tingkatan tetapi dalam jenisnya yakni dalam
segenap hakikatnya.

Sedangkan bagi al-Baqillani apa yang disebut sifat Allah bukanlah sifat dalam arti
tekstual, tetapi mengandung makna hal, sesuai dengan pendapat Abu Hasyim.
Sedangkan Abu Huzail menjelaskan bahwa sifat yang dimaksud adalah zat atau
esensi Tuhan. Menurutnya arti “Tuhan Mengetahui” ialah tuhan mengetahui dengan
perantara pengetahuan, dan pengetahuan itu adalah Tuhan sendiri. Arti Tuhan

3
mengetahui dengan esensinya, kata al-Jubba’i ialah untuk mengetahui, tuhan tidak
berhajat kepada suatu sifat dalam bentuk pengetahuan atau keadaan mengetahui.

Menurut al-Ghazali, sifat-sifat Tuhan, berbeda dari esensi Tuhan, tetapi berwujud


dalam esensi itu sendiri. Uraian-uraian ini juga membawa paham banyak yang kekal,
dan untuk mengatasinya Ahlussunnah mengatakan bahwa sifat-sifat itu bukanlah
Tuhan, tetapi tidak pula lain dari Tuhan.

3. Tentang Keadilan Allah SWT

Mengenai konsep keadilan Allah SWT, pendapat Ahlussunnah bahwa Allah SWT


pencipta segala perbuatan hamba-Nya. Dia berkehendak atas terjadinya segala
perbuatan makhluk-Nya baik maupun buruk. Apabila seorang hamba bermaksud akan
berbuat sesuatu, maka Allah menentukan apa yang dikerjakan oleh hamba tersebut,
atas perbuatannya itu si hamba mempunyai kasab. Menurut Ahlussunnah, kasab ialah
berbarengannya kemampuan si hamba dengan perbuatannya. Jadi hamba hanya
punya kasab, sedangkan perbuatannya sendiri diciptakan Allah SWT.

Dalam uraian tersebut nampaklah bahwa aliran ini bersikap tengah-tengah antara
pendapat Qadariah dan Jabariah. Allah menciptakan kemamapuan dan kemauan si
hamba yang keduanya berperan dalam berlangsungnya perbuatan, sehingga
perbuatannya itu makhluk Allah. Jadi makhluk Allah itu ada yang tercipta tanpa
perantara seperti batu, pohon-pohon dan sebagainya. Ada yang memakai
perantara  yaitu segala makhluk yang dihasilkan kerja manusia. Karena si hamba
merupakan perantara itulah maka dia bertanggung jawab dan mendapat balasan baik
atau buruk. Dengan demikian, maka Allah itu bersifat adil, yaitu memberi pahala
kepada seorang hamba sesuai dengan apa yang diusahakannya.

4. Tentang Janji dan Ancaman

4
Menurut Mu’tazilah, barangsiapa yang mati dalam keadaan kafir atau melakukan
dosa besar maka orang itu akan kekal dalam neraka, dan barangsiapa yang mati
dalam keadaan beriman, dia pasti masuk surga untuk selama-lamanya.
Kaum Mu’tazilah tidak menyebut adanya kemungkinan pengampunan Allah dan
syafaat di hari kiamat.

Ahlussunnah tidak sepaham dengan Mu’tazilah mengenai al-Wa’d wa al-Wa’id


tersebut. Menurut Ahlussunnah, tidak ada yang kekal dalam neraka, kecuali orang
yang mati dalam keadaan kufur. Dan Allah berkuasa untuk mengampuni orang yang
dikehendaki-Nya. Pengampunan itu masih ditambah dengan adanya syafa’at
(pembelaan) dari Nabi dan para Rasul serta para Sholihin di hari kiamat.

Dasar pemikiran Ahlussunnah ialah bahwa Allah SWT itu pemilik mutlak atas
semua makhluk-Nya. Dia berbuat apa saja yang dia kehendaki dan menghakimi
segala sesuatu menurut kehendak-Nya. Andaikata Allah memasukkan makhluk-Nya
ke dalam surga, hal itu bukanlah suatu ketidakadilan. Sebaliknya kalau Allah
memasukkan semua makhluk-Nya ke dalam neraka, hal itu bukanlah suatu
kedzaliman, sebab yang dinamakan dzalim itu ialah memperlakukan sesuatu yang
bukan miliknya, atau meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Sedangkan Allah
adalah pemilik mutlak atas segala sesuatu, sehingga tidak bisa digambarkan
timbulnya kedzaliman daripada-Nya

5. Tentang Melihat Dzat Allah di Akhirat

Dalam hal ini Ahlussunnah berbeda dari paham Mu’tazilah dan para filosof dan
sejalan dengan paham umat muslim ortodoks, yang menyatakan bahwa Allah itu
dapat dilihat, tapi mereka tidak sepakat mengenai apakah Tuhan dapat ditunjukkan.
Mereka menerima prinsip filsafat bahwa apa saja yang menempati ruang atau
arah haruslah memiliki waktu, padahal Allah tidak tidak terikat dengan waktu.
Pengakuan ini mengakibatkan mereka dihantui kerumitan, sebab bila Tuhan tidak

5
“meruang atau mewaktu” dan sesuatu yang dapat dilihat, maka Tuhan tidak dapat
dilihat, namun pendapat ini bertentangan dengan paham mereka bahwa Tuhan dapat
dilihat. Jadi untuk mengatasi kesulitan ini, mereka menyatakan bahwa suatu benda
biarpun benda itu tidak ada di depan orang yang melihatnya, mungkin saja untuk
dilihat. Ini alasan yang lemah dan ganjil sekali, sebab sangat bertentangan dengan
segenap prinsip optika.

Disamping itu, Ahlussunnah juga sependapat dengan kaum ortodoks,


dan Ahlussunnah menegaskan bahwa ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Nabi mengenai
hal ini harus dipahami secara kiasan. Dengan pola pikir rasional,
Ahlussunnah mengemukakan bahwa kata dan makna ayat dan hadits yang
menerangkan tentang hal ini, menunjukkan bahwa kita jangan memahaminya
secara harfiah dan menafsirkannya bahwa melihat Tuhan artinya “melihat tanda-tanda
dan ganjaran-Nya atau mengetahui-Nya dengan hati”.

6. Tentang perbuatan Manusia

Ahlussunnah mengatakan bahwa manusia mempunyai kemampuan yang


berpengaruh atas segala perbuatannya dengan izin Allah SWT. Manusia juga
mempunyai pilihan ikhtiar, tapi manusia dipaksa atas pilihannya. Kemampuan
manusia tidak berpengaruh secara asli atas amal perbuatannya, hanya seperti tangan
yang lumpuh. Karena itu, maka manusia tidak bisa berbuat apa-apa jika tidak
digariskan oleh izin dan kekuasaan Allah SWT. Dengan demikian, Ahlussunnah tidak
mengakui adanya ikhtiar pada manusia, sesuai dengan firman Allah bahwa :”Dia
menciptakan apa saja yang dikehendaki termasuk yang diciptakan-Nya dengan
perantara perbuatan mereka”

Sedangkan Hamka berpendapat bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam


berkehendak dan berbuat. Pilihan untuk menjadi kafir atau menjadi mukmin adalah
berdasarkan pilihan bebas manusia itu sendiri, bukan ditentukan oleh Tuhan.

6
Kebebasan berkehendak dan berbuat tersebut dimungkinkan dimiliki oleh manusia,
karena kepada manusia diberikan potensi akal. Dengan akal inilah manusia
menimbang mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang mendatangkan
kemudlaratan dan mana yang mendatangkan kemanfaatan.

Anda mungkin juga menyukai