Anda di halaman 1dari 21

AQIDAH ISLAM

Wujudullah dan Tauhidullah, Makna Laa Ilaaha illallah,


Hakekat dan Dampak Dua Kalimah Syahadah
NAMA ANGGOTA KELOMPOK

Aulia Rahma Azalia (2100013121)


Khasqia Julia Indriana (2100013132)
Titania Salsabillah Mahatma (2100013160)
Ayu Anastasia Nur (2100013187)
Yuniar Salsabila (2100013342)
01
Topik Pembahasan
WHAT DO WE DO?

Pengertian Wujudullah Makna “La ilaha illallah”

Hakikat dan Dampak Dua


Pengertian Tauhidullah Kalimat Syahadat
02
Pembahasan Materi
Wujud Allah SWT
Wujud (ada)-nya Allah SWT adalah sesuatu yang badihiyah.
Untuk membuktikan wujud-Nya dapat dikemukakan beberapa
dalil, antara lain:
1. Dalil Fitrah
Allah SWT menciptakan manusia dengan fitrah bertuhan.
Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda “Setiap anak dilahirkan dalam
keadaan fitrah, maka ibu bapaknyalah (yang
akan berperan) ‘mengubah’ anak itu menjadi seorang Yahudi,
atau Nasrani, atau Majusi….” (HR. Bukhari).
Berdasarkan hadits tersebut dapat dipahami bahwa “setiap anak
dilahirkan sebagai seorang muslim.” Fitrah manusia merupakan
potensi dasar yang harus dipelihara dan dikembangkan. Jika fitrah
tersebut tertutup oleh beberapa faktor luar, maka manusia akan
menentang fitrahnya sendiri. Apabila seseorang menghadapi kejadian
yang luar biasa, seperti dihadapkan kepada sesuatu yang tidak
disenangi, dan kehilangan daya untuk menghadapinya, maka secara
spontan fitrahnya akan kembali muncul.
2. Dalil Akal
Manusia bisa membuktikan adanya Tuhan (Allah SWT) dengan menggunakan akal
pikirannya untuk merenungkan diri sendiri, alam semesta, dll. Untuk membuktikan adanya Tuhan
(Allah SWT) lewat merenungkan alam semesta dan diri sendiri, dapat menggunakan beberapa
“qanun” (teori, hukum) antara lain:
● Qanun al-Illah, Illah artinya sebab. Segala sesuatu pasti ada sebabnya. Setiap ada perubahan
tentu ada yang menjadi sebab terjadinya perubahan itu.
● Qanun al-Wujub, Wujub artinya wajib. Wujud segala sesuatu tidak bisa terlepas dari salah
satu kemungkinan : wajib, mustahil, atau mungkin.
● Qanun al-Huduts, Huduts artinya baru. Alam semesta seluruhnya adalah sesuatu yang hadits
(baru, ada awalnya). Kalau hadits, berarti ada yang mengadakan. Yang mengadakannya itu
haruslah yang bersifat qadim.
● Qanun an-Nizham, Nizham artinya aturan dan teratur. Alam semesta dengan seluruh isinya
termasuk bumi dengan segala isinya adalah segala sesuatu yang “sangat teratur”. Sesuatu
yang sangat teratur tentu ada yang mengaturnya yakni Allah SWT.
3. Dalil Naqli
Meskipun secara fitrah manusia bisa mengakui adanya Tuhan, dan dibuktikan dengan akal
pikiran, manusia tetap memerlukan dalil naqli, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah untuk membimbing
manusia mengenal Tuhan yang sebenarnya (Allah SWT) dengan segala asma dan sifat-Nya karena
fitrah dan akal tidak bisa menjelaskan siapa Allah yang sebenarnya.
● Allah SWT adalah Al-Awwal yang berarti tidak ada permulaan bagi wujud-Nya, dan dia juga
Al-aAkhir yang artinya tidak ada akhir dari wujud-Nya.
● Tidak ada satu pun yang menyerupai-Nya. Sebagaimana dikatakan pada Q.S As-Syura ayat
11 yang artinya: “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Melihat.”
● Allah SWT Maha Esa. Sebagaimana dikatakan pada Q.S Al-Ikhlas ayat 1 yang artinya:
“Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa.”
Tauhidullah
Esensi iman kepada Allah SWT adalah Tauhid yaitu mengesakan-Nya, baik dalam zat,
asma’ was-shiffaat, maupun af’al (perbuatan)-Nya. Secara sederhana Tauhid dapat dibagi
dalam tiga tingkatan atau tahapan yaitu:
● Tauhid Rububiyah
Secara etimologis kata “Rabb” sebenarnya mempunyai banyak arti, antara lain
menumbuhkan, mengembangkan, mendidik, memelihara, memperbaiki, menanggung,
mengumpulkan, mempersiapkan, memimpin, dll. Namun untuk lebih sederhana dalam
hubungannya dengan Rububiyatullah (Tauhid Rububiyah) kita mengambil beberapa arti saja
yaitu mencipta, memberi rezeki, memelihara, mengelola dan memiliki, dan sebagian arti
Rabb kita masukkan secara khusus ke dalam pengertian Mulkiyatullah (Tauhid Mulkiyah)
seperti memimpin, mengepalai dan menyelesaikan suatu perkara.
• Tauhid Mulkiyah
Kata Malik yang berarti raja dan Malik yang berarti memiliki berakar dari akar kata yang
sama yaitu ma-la-ka. Tauhid Mulkiyah adalah mengimani Allah SWT sebagai satu-satunya
Malik yang mencakup pengertian sebagai Wali, Hakim dan Ghayah.
• Tauhid Ilahiyah
Kata Ilah berakar dari kata a-la-ha (alif-lam-ha) yang mempunyai arti antara lain tenteram,
tenang, lindungan, cinta dan sembah (‘abada). Diantara makna Ilah di atas maka yang paling
asasi adalah makna ‘abada (‘ain-ba-dal) yang mempunyai beberapa arti, antara lain: hamba
sahaya (‘abdun), patuh dan tunduk (‘ibadah), yang mulia dan yang agung (al-ma’bad), selalu
mengikutinya (‘abada bih). Jika arti kata-kata ini diurutkan maka dia menjadi susunan kata
yang sangat logis yaitu: bila seseorang menghambakan diri terhadap seseorang maka ia akan
mengikutinya, mengagungkannya, memuliakan, mematuhi dan tunduk kepadanya serta
bersedia mengorbankan kemerdekaannya.
Antara ketiga dimensi Tauhid di atas berlaku
dua teori (dua dalil) yaitu:
• Dalil at-Talazum, Talazum artinya kemestian. Maksudnya setiap orang yang meyakini Tauhid
Mulkiyah, dan meyakini tauhid mulkiyah semestinya meyakini tauhid ilahiyah. Dengan kata
lain tauhid mulkiyah adalah konsekuensi logis dari tauhid rububiyah. Ilahiyah adalah
konsekuensi logis dari tauhid mulkiyah. Apabila terhenti pada rububiyah saja atau pada
mulkiyah saja tertentu ada sesuatu yang tidak logis
• Dalil at-Tadhamun, Tadhamun artinya cakupan. Maksudnya setiap orang yang sudah sampai
ke tingkat tauhid ilahiyah tentunya sudah melalui dua tauhid sebelumnya. Kalau kembali kita
terapkan teori ini pada ayat 14 surat Thaha, maka apabila seseorang yang sudah mendirikan
shalat tapi masih tetap mendurhakai Allah SWT. dalam aspek kehidupan yang lain, atau sikap
dan tingkah lakunya tidak menunjukkan dia mengakui Allah sebagai Wali, Hakim, dan
Ghayah, maka tentu “pengakuan” yang dia ucapkan dalam shalat untuk selalu tunduk patuh
hanya kepada Allah SWT dan mempersembahkan segala sesuatunya untuk Allah Rabbul
‘alamiin adalah pengakuan yang tidak benar, atau pengakuan palsu.
Makna “La Ilaha Illallah”
Ungkapan Laa ilah illallah berarti bahwa tidak ada tuhan lain yang berhak disembah
selain Allah. Kalimat ini mengandung dua arti, yaitu: menolak segala bentuk ibadah
kecuali Allah dan menetapkan bahwa satu-satunya ibadah yang benar hanyalah Allah
saja.
kewajiban pertama seorang muslim adalah mempelajari makna kalimat laa ilaha illallah
sebelum mempelajari rukun Islam lainnya. Karena kalimat laa ilaha illallah ini adalahkunci
terpenting untuk keamanan, kedamaian, ketentraman, dan kesejahteraan dalam
kehidupan seseorang, baik di dunia maupun di akhirat. Karena kalimat laa ilaha illallah ini
adalah kunci terpenting untuk keamanan, kedamaian, ketentraman, dan kesejahteraan
dalam kehidupan seseorang, baik di dunia maupun di akhirat. Orang yang mengucapkan
laa ilaha illallah dengan penuh keikhlasan dan kesadaran akan masuk surga
Ungkapan la ilaha illallah merupakan sumber inspirasi bagi seluruh perilaku manusia.
Semua perilakunya harus sesuai dengan kalimat laa ilaha illallah itu sendiri. Secara
internal, kalimat laa ilaha illallah memerintahkan seseorang untuk tidak melakukan
perbuatan tercela dan berusaha melakukan hal-hal yang terpuji, karena semua perbuatan
manusia, baik tercela maupun terpuji, akan diperhitungkan di akhirat kelak.
Orang yang tidak menjadikan laa ilaha illallah ideologi hidupnya disebut orang jahil,
karena telah diperbudak oleh setan dan hawa nafsunya. Mengikuti hawa nafsu dan
nafsu setan merupakan sumber bencana bagi kehidupan manusia. Maka kalimat laa
ilaha illallah merupakan kunci keselamatan, ketentraman, ketenteraman dan
kesejahteraan manusia dalam kehidupan ini. Orang yang tidak tauhid tidak hanya
menjadi sumber bencana bagi dirinya sendiri, tetapi juga menjadi sumber bencana bagi
lingkungan sosialnya dimanapun berada, sedangkan orang yang bertauhid tidak hanya
menjadi sumber keamanan dan ketentraman, kedamaian dan kesejahteraan bagi dirinya
sendiri, tetapi juga sebagai berkat bagi orang-orang di sekitarnya dimanapun mereka
berada.
Hakikat dan Dampak Dua
Kalimat Syahadat
Iqrar La Ilaha Illallah harus diikuti oleh iqrar Muhammad Rasulullah. Dua iqrar itu disebut
dengan dua kalimat syahadat yang menjadi pintu gerbang seseorang memasuki dien
Allah SWT. Kata asyhadu secara etimologis berakar dari kata syahda yang memiliki tiga
pengertan, yaitu: musyahadah (menyaksikan), syahadah (kesaksian), dan half (sumpah).
Berdasarkan ketiga pengertian tersebut dapat relevansi yang kuat: Seseorang akan
bersumpah bila dia memberi kesaksian, dan dia akan memberi kesaksian bila dia
menyaksikan.
Syahadat bersal dari bahasa Arab dengan akar kata “syahida-yashadu-syhadatan dengan
arti “kesaksian, bersaksi”. Syahadat menurut etimologi maupun terminology
menerapkan bahwa ketika mengatakan dan membenarkan syahadat muslim perlu
mempunyai tiga kelakuan yaitu memberi kesaksian, lisan dengan melihat, dan
keterangan itu berlandaskan akidah. Sedangkan menurut istilah syahadat ialah
ungkapan, janji, dan sumpah umat yang beriman kepada Allah dan Rasul nya, dengan:
• Membenarkan diri dalam hati
• Diakui dengan lisan
• Meyakinkan dengan kelakuan
Secara harfiah syahadat adalah memberikan persaksian,memberikan ikrar setia dan
memberikan pengakuan. Syahadat terdiri dari dua kalimat persaksian yang disebut
dengan Syahadatain, yaitu:
• Ayshadu An-la ilaha illallah yang artinya saya bersaksi tiada tuhan selain Allah
• Wa Ayshadu Anna Muhammada Rasulullah yang artinya dan saya bersaksi bahwa
Nabi Muhammad adalah utusan Allah.
Inti dari kalimat pertama adalah hanya kepada Allah kita beribadah, maka inti dari
kalimat kedua adalah menjadikan Rasulullah SAW sebagai titik pusat keteladanan baik
dalam hubungan Allah SWT (hablun minallah), maupun dalam hubungan dengan
manusia (hablun minannas).
Iqrar La Ilaha Illallah dan Muhammad Rasulullah jika dipandang dengan benar akan
memberikan dampak positif kepada pribadi seorang muslim yang antara lain dapat
diukur dari sikap yang dilahirkan, yaitu cinta dan ridhanya terhadap Allah SWT dan Rasul
Nya. Jika seseorang mengiqrarkan dua kalimat syahadat dengan benar maka ia akan
memberikan cinta yang pertama kepada Allah SWT, kemudian kepada Rasulullah SAW
dan jihad fi sabilillah sehingga ia menempatkan cinta kepada anak-anak, suami atau istri,
saudara, anak keturunan, harta benda, pangkat dan lain sebagainya di bawah cinta
pertama. Abdullah Nasih ‘ulwan membagi cinta (al-mahabbah) kepada tiga tingkatan:
• Al-Mahabbatul Ula, yaitu mencintai Allah, Rasul-Nya dan jihad fi sabilillah.
• Al-Mahabbatul Wustha, yaitu mencintai segala sesuatu yang boleh dicintai oleh Allah dan
Rasul-Nya dengan cara yang diizinkan-Nya, seperti cinta kepada anak-anak, ibu-bapak,
suami atau isri, karib kerabat, harta benda dan lain-lain sebagainya.
• Al-Mahabbatul Adna, yaitu mencintai anak-anak, ibu-bapak, suami atau istri, karib kerabat,
harta benda dan lain sebagainya melebihi cinta kepada Allah, Rasul-Nya dan jihad fi
sabilillah.
Dampak dari syahadatain adalah tiga unsur pokok yang dimiliki oleh manusia : hati, akal,
dan jasad akan mendapatkan shibghah (celupan, identitas) dari Allah sehingga :
• Dari hatinya lahirlah keyakinan yang benar (al’itiqad as-shahih) dan akan melahirkan
motivasi (niat) yang ikhlas.
• Dari akalnya lahirlah pikiran-pikiran yang Islami (al-afkar al-islamiyah) dan akan melahirkan
sistem yang Islami (al-manhaj al-islami).
• Dari jasadnya lahirlah amal shalih (al-a’mal as-shalihah) sebagai tanfiz dari keinginan hati
dan rancangan akal.
03
Kesimpulan
Sudah semestinya bagis seorang muslim untuk terus menanamkan aqidah dalam
dirinya. Dengan melalui aqidah ia juga serta merta dapat selalu mempercayai bahwa
Allah itu ada pada setiap detik dikehidupannya. Selain melalui aqidah, mereka juga harus
mempelajari serta mempercayai wujud Allah SWT agar selalu dapat berima kepada-Nya.
Mempelajari makna kalimat laa ilaha illallah juga hukumnya wajib bagi setiap umat
muslim. Karena dengan mempelajarinya kelak mereka akan mendapatkan keamanan,
kedamaian, ketentraman, dan kesejahteraan dalam kehidupan seseorang, baik di dunia
maupun di akhirat. Selain itu juga, sebagai umat muslim yang baik kita hendaknya terus
berpegang teguh kepada dua kalimat syahadat. Syahadat sendiri merupakan ungkapan,
janji, dan sumpah umat yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
Daftar Pustaka
Andayani, D. (2016). Aqidah dan Etika Dalam Biologi. Syiah Kuala University Press.
Darmawijaya, D. (2016). LAA ILAHA ILLALLAH IDEOLOGI PERUBAHAN HOLISTIK
(STUDI KASUS PERUBAHAN KEPRIBADIAN UMAR BIN KHATTAB DARI PRIBADI
JAHILIYAH MENJADI PRIBADI ILAHIYAH). Jurnal Penelitian Humano, 7(1), 23-36.
http://dx.doi.org/10.33387/hjp.v7i1.303
Ilyas, Yunahar. (2019). Kuliah Aqidah Islam. Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan
Islam.
Yunus, Mahmud. (1989). Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: PT. Hidakarya Agung.
THANK U!
ANY QUESTION?

Anda mungkin juga menyukai