Anda di halaman 1dari 19

Az-Zhulumat (kegelapan) dalam ayat di atas adalah simbol dari segala bentuk kekufuran, kemusyrikan,

kefasikan dan ke- maksiatan, sedangkan an-Nur adalah simbol dari ketauhidan, keimanan, keta'atan
(Islam). Atau dalam bahasa sekarang az zhulumat adalah bermacam-macam ideologi dan isme-isme yang
bertentangan dengan ajaran Islam seperti komunisme, sosialisme, kapitalisme, liberalisme,
materialisme, hedonisme dan lain sebagainya.

At-Thaghut adalah segala sesuatu yang disembah (dipertu- han) selain dari Allah SWT dan dia suka
diperiakukan sebagai Tuhan tersebut. Menurut Sayyid Qutub Thaghut adalah segala sesuatu yang
menentang kebenaran dan melanggar batas yang telah digariskan oleh Allah SWT untuk hamba-Nya.
Thaghut itu bisa berbentuk pandangan hidup, peradaban dan lain-lain yang tidak berlandaskan ajaran
Allah (Fi Zhilalil Qur'an 1/292).

Secara operasional kepemimpinan Allah SWT itu dilaksa- nakan oleh Rasulullah SAW, , dan sepeninggal
beliau kepemim- pinan itu dilaksanakan oleh orang-orang yang beriman. Hal itu dinyatakan di dalam Al-
Qur'an:

Kriteria itu adalah mendirikan shalat (ibadah vertikal lang- sung kepada Allah SWT), menunaikan zakat
(ibadah yang ha- silnya langsung bisa dirasakan oleh masyarakat - secara hori- zontal) dan pemimpin itu
harus tunduk patuh kepada Allah dalam seluruh aspek kehidupannya (ra-ki'un).

Taat kepada Allah dan Rasul-Nya bersifat mutlak (tanpa batas), sedangkan taat kepada Ulil Amri relatif
(terbatas) yaitu selama masih dalam ruang lingkup taat kepada Allah dan Rasul- Nya. Perintah taat
kepada Allah dan Pasul-Nya disebutkan secara eksplisit sendiri-sendiri, sedangkan perintah taat kepada
Ulil Amri hanya di'atheskan kepada perintah taat sebelumnya. Isyarat bahasa ini dipertegas oleh sabda
Rasulullah SAW:

Sebagaimana yang sudah kita sebutkan di atas bahwa Al- lah SWT baru fungsional sebagai pemimpin bila
Dia berfungsi sebagai Hakim (Yang Menentukan Hukum, Yang Berkuasa, Yang Memutuskan Perkara),
maka seorang yang beriman ke- pada Allah sebagai 'Wali haruslah mengimani Allah SWT seba- gai Hakim
yang menentukan hukum dan segala aturan lainnya.

Allah SWT menegaskan berkali-kali dalam kitab suci Al- Qur'an bahwa hak menentukan hukum ini hanya
ada di ta- ngan Allah SWT.

Orang yang tidak mau terhukum dengan hukuır. Allah karena benci, ingkar dan tidak meyakini hukum itu
maka dia menjadi kafir. Bila masih meyakini tapi melanggar atau tidak melaksanakannya, karena
menuruti hawa nafsu maka orang tadi disebut fasiq bila hanya merugikan dirinya sendiri, dan disebut
zhalim jika merugikan orang lain.
Bila Allah SWT adalah Wali dan Hakim, maka kita akan melakukan apa saja yang diridhai-Nya. Atau
dengan kata lain apa saja yang kita lakukan adalah dalam rangka mencari ridha Allah. Allah-lah yang
menjadi Ghayah (tujuan) kita. Kita akan mengucapkan sebuah pernyataan:

Ringkasnya Tauhid Mulkiyah adalah mengimani Allah SWT sebagai satu-satunya Malik yang mencakup
pengertian sebagai Wali, Hakim dan Ghayah.

3. Tauhid Ilahiyah

Kata Ilah berakar dari kata a-la-ha (alif-lam-ha) yang mem- punyai arti antara lain tenteram, tenang,
lindungan, cinta dan sembah ('abada). Semua kata-kata ini relevan dengan sifat-sifat dan kekhususan zat
Allah SWT seperti dinyatakan oleh Allah SWT dalam kitab suci Al-Qur'an:

Di antara makna Ilah di atas maka yang paling asasi adalah makna 'ahada (ain-ba-dal) yang mempunyai
beberapa arti, ar tara lain: hamba sahaya ('abdun), patuh dan tunduk ('ibadah), yang mulia dan yang
agung (al-ma 'bad), selalu mengikutinya ('alada bib), Jika arti kata-kata ini diurutkan maka dia menjadi
susunan kata yang sangat logis yaitu: hila seseorang menghambs kan diri terhadap seseorang maka ia
akan mengikutinya, meng agungkannya, memuliakan, mematuhi dan tunduk kepadanya serta bersedia
mengorbankan kemerdekaannya. Dalam konteks ini "al-Ma'bud" berarti yang memiliki, yang dipatuhi,
dan yang diagungkan. (Al-Islam, 1979, 23-24).

Jadi Tauhid Ilahiyah adalah mengimani Allah SWT sebagai satu-satunya Al-Ma'bud (yang disembah).
Dalam hal ini Allah SWT berfirraan:

Antara ketiga dimensi Tauhid di atas berlaku dua teori (dua dalil) yaitu:

a. Dalil at-Talazum

Talazum artinya kemestian. Maksudnya setiap orang yang meyakini Tauhid Rububiyah semestinya
meyakini Tauhid Mul kiyah, dan meyakini Tauhid Mulkiyah semestinya meyakini Tauhid Illahiyah.
Dengan kata lain Tauhid Mulkiyah adalah konsekuensi logis dari Tauhid Rububiyah. Tauhid Ilahiyah ada
lah konsekuensi logis dari Tauhid Mulkiyah. Apabila terhenti pada Rububiyah saja atau pada Mulkiyah
saja tentu ada sesuatu yang tidak logis. Itulah sebabnya kepada orang-orang yang ingkar, durhaka, kufur,
dan sebangsanya Allah SWT sering mengajukan pertanyaan: "Apakah kamu tidak berakal? Apa kah kamu
tidak berpikir? (Afala Ta'qiluun, Afala Tatafakkaruum). Kita buat perumpamaan seorang mahasiswa
dengan orang

tuanya. Yang memberi belanja dan mencukupi kebutuhan materiel si mahasiswa adalah orangtuanya,
apa komentar ma hasiswa tersebut bila ada orang lain yang tidak punya jasa apa apa memintanya untuk
tidak patuh pada orangtuanya, tapi patuh kepada dia. Tentu mahasiwa itu akan mengatakan bahwa
permintaan itu tidak masuk akal, tidak wajar, tidak normal, kalau tidak akan mengatakan orang itu tidak
normal. Kita kembali kepada Allah SWT. Bila seseorang meyakini Allah SWT sebagai Zat Yang
Menciptakannya, Yang Memberikan rezeki kepadanya, Yang Memeliharanya, kenapa dia patuh, hormat,
cinta dan tunduk kepada "makhluk" serta mendurha kai Allah SWT? Tentu hal seperti ini sama sekali
tidak sesuai dengan akal sehat. Begitu juga kalau dia mengaku tunduk, pa- tuh, cinta dan sebagainya
kepada Allah SWT kenapa dia me nyembah yang lain, bukan menyembah Allah SWT? Tentu hal ini pun
sesuatu yang tidak bisa diterima oleh akal sehat. Bila teori ini kita terapkan pada ayat 14 surat Thaha di
atas, maka seseorang yang berdiri menghadap kiblat untuk me- laksanakan shalat seolah-olah
menyampaikan kepada Allah SWT kata-kata berikut: "Ya Allah, Engkaulah yang Mencipta- kan aku,
Engkaulah Yang memberikan rezeki kepadaku, Eng- kaulah Yang Memeliharaku, Engkaulah Yang
mengelola kehi- dupanku, oleh sebab itu Engkaulah Rajaku, Engkaulah Pemim- pinku dan hanya aturan-
Mulah yang aku ikuti, dengan demi- kian apa saja yang aku lakukan kupersembahkan untuk-Mu, untuk
mencari ridha-Mu. Sekarang aku buktikan semua itu dengan sujud kepada-Mu... Allahu Akbar."

b. Dalil at-Tadhamun

Tadhamun artinya cakupan. Maksudnya setiap orang yang sudah sampai ke tingkat Tauhid Ilahryah
tentunya sudah mela lui dua tauhid sebelumnya. Kenapa dia beribadah kepada Allah SWT semata?
Karena Allah SWT adalah Rajanya (Wali, Ha kim dan Ghayab). Kenapa Allah Rajanya? Karena Allah SWT
adalah Rabb-nya. Kalau kembali kita terapkan teori ini pada ayat 14 surat Thaha di atas, maka apabila
seseorang yang sudah mendid surat Thaha dia masih tetap mendurhakai Allah SW dalam aspek
kehidupan yang lain, atau Alkap dan tingkah lakunya tidak menunjukkan dia mengakui sebagai Wali
Hakim dan Ghayah, maka tentu "pengakuan" yang dia ucapkan dalam shalat untuk selalu tunduk patul,
harya kepada Allah SWT dan mempersembahkan segala sesuatunya untuk Allah Rabbidan jamiin adalah
pengakuan yang tidak benar, atau pengakuan palsu.

C. MAKNA "LA ILAHA ILLALLAH"

Seperti yang sudah diuraikan pada bagian terdahulu bahwa kata "llah" mempunyai pengertian yang
sangat luas, mancakup pengertian Rueubiyah dan Mulkiyah, maka kata inilah yang di pilih Allah SWT
untuk kalimat thayyibah yaitu: La Ilahaillallah Iqrar La Ilaha Illallah bersifat komprehensif, mencakup
pengertian: La Khaliqa Illallah (Tidak Ada Yang Maha Mencipta kecuali Allah). La Raziqa Illallah (Tidak
Ada Yang Maha Memberi Rezeki kecuali Allah).

La i lafiza Illallah (Tidak Ada Yang Maha Memelihara kecuali Allah).

La Mudabbira Illallah (Tidak Yang Maha Mengelola kecuali

Allah).

La Malika Illallah (Tidak Ada Yang Maha Memiliki kecuali Allah, Tidak Ada Yang Maha Memiliki Kerajaan
kecuali Allah).

La Waliya Illallah (Tidak Ada Yang Maha Memimpin kecuali Allah).

La Hakima Illallah (Tidak Ada Yang Maha Menentukan Aturan kecuali Allah).
La Ghayata Illallah (Tidak Ada Yang Maha Menjadi Tujuan kecuali Allah).

La Ma'buda Illallah (Tidak Ada Yang Maha Disembah kecu ali Allah).

Untuk menerjemahkan Iqrar La Ilaha Illallah ke dalam bahasa Indonesia kita harus terlebih dahulu
memahami su sunan kalimatnya. La yang terdapat pada awal ignar tersebut adalah La Nafiyata Liljinsi,
yaitu huruf nafi yang menafikan segala macam jenis llah. Illa adalah huruf istisma (pengecualian) yang
mengecualikan Allah dari segala macam jenis Ilah yang dinafikan. Bentuk kalimat seperti ini dinamai
kalimat manfi (negatif) lawan dari kalimat mutshat (positif). Kata Illa berfung si mengitsbatkan kalimat
yang manfi. Dalam kaidah bahasa Arab itshat sesudah nafi itu mempunyai maksud albashru (memba
tasi) dan Taukid (menguatkan). Dengan demikian kalimat Tau hid ini mengandung pengertian
sesungguhnya tiada Tuhan yang benar-benar berhak disebut Tuhan selain Allah SWT semata

D. HAKIKAT DAN DAMPAK DUA KALIMAH SYAHADAT

Iqrar La Ilaha Illallah tidak akan dapat diujudkan secara benar tanpa mengikuti petunjuk yang
disampaikan oleh Ra sulullah SAW. Oleh sebab itu igrar La Ilaha Illallah harus di- ikuti oleh igrar
Muhammad Rasulullah. Dua iqrar itulah yang dikenal dengan dua kalimat syahadat (syahadatain) yang
men jadi pintu gerbang seseorang memasuki dien Allah SWT.

Kata asyhadu secara etimologis berakar dari kata syaha-da yang mempunyai tiga pengertian:
musyahadah (menyaksikan), syahadah (kesaksian) dan half (sumpah). Ketiga pengertian itu dipakai di
dalam Al-Qur'an:

Antara ketiga pengertian di atas terdapat relevansi yang ksian, kuat: Seseorang akan bersumpah bila dia
memberi kesaksiang dan dia akan memberikan kesaksian bila dia menyaksikann Berdasarkan pengertian
etimologis di atas maka syahadah seseorang (bahwa sesungguhnya tiada Tuhan melainkan Allah semata,
dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Allah) harus mencakup ketiga pengertian di atas: musyahadah
(dengan hati dan pikiran), syahadah (dengan lisan), dan half (dengan meng hilangkan segala keraguan).
(Al-Islam, 1979, 26-27).

Kalau inti dari syahadah yang pertama adalah beribadah hanya kepada Allah SWT semata, maka inti dari
syahadah kedua adalah menjadikan Rasulullah SAW sebagai titik pusat keteladanan (uswah hasanah)
baik dalam hubungan dengan Allah SWT (hablun minallah) secara vertikal, maupun dalam hubungan
dengan manusia (bablun minannas) secara horizontal.

Iqrar La Ilaha Illallah dan Muhammad Rasulullah bila dipa- hami secara benar tentu akan memberikan
dampak positif yang besar kepada setiap pribadi muslim yang antara lain dapat di- ukur dari dua sikap
yang dilahirkan yaitu Cinta dan Ridha (al-mahabbah war Ridha) kepada Allah dan Rasul-Nya.

Seorang muslim yang mengiqrarkan dua kalimah syaha dah akan memberikan cinta yang pertama dan
utama sekali kepada Allah SWT, kemudian kepada Rasulullah SAW dan jihad fi sabilillah (Al-Baqarah 2:
165, At-Taubah 9: 24). Dia harus menempatkan cinta kepada anak-anak, suami atau istri. saudara-
saudara, anak keturunan, harta benda, pangkat dan lain-lain sebagainya (yang boleh dicintainya) di
bawah cinta yang utama. Perhatikan firman Allah SWT berikut ini:

Berdasarkan ayat di atas Abdullah Nasih 'ulwan membagi cinta (al-mahabbah) kepada tiga tingkatan:

1. Al-Mahabbatul Ula, yaitu mencintai Allah, Rasul-Nya dan jihad fi sabilillah.

2. Al-Mahabbatul Wustha, yaitu mencintai segala sesuatu yang boleh dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya
dengan cara yang diizinkan-Nya, seperti cinta kepada anak-anak, ibu-bapa, suami atau istri, karib
kerabat, harta benda dan lain-lain sebagainya.

3. Al-Mahabbatul Adna, yaitu mencintai anak-anak, ibu-bapa, suami atau istri, karib kerabat, harta
benda dan lain sebagainya melebihi cinta kepada Allah, Rasul-Nya dan jihad fi sabilillah.

(Al-Islam wal-Hubb). Berdagang misalnya, termasuk perwujudan dari cinta harta benda (al-mahabbatul
wustha). Tapi bila dalarn berdagang tidak lagi mempedulikan halal dan haram, sudah menghalan segala
ara untuk mencari keuntungan, atau dengan bahan lain tidak lagi mengindahkan aturan Allah dan Rasul-
Nya, maka cinta terhadap harta benda seperti itu, yang semula ter masuk al-mahabbatul wustha (cinta
menengah) jatuh menjadi al-mahabbatul adna (cinta yang paling rendah) karena melebihi al-
mahabbatul ula (cinta utama).

Contoh lain, cinta kepada ibu bapak (al-aba). Termasuk dalam pengertian aba'ukum adalah nenek
moyang. Sesuatu yang sudah turun-temurun dilakukan nenek moyang menjadi tradisi. Misalnya tradisi
perkawinan (walimahan) yang me- ngandung unsur syirik, atau yang melanggar syari'ah Islam. Bila
seorang muslim tetap saja melakukannya, dengan alasan sudah menjadi tradisi (sebagai perwujudan
rasa cinta kepada peninggalan nenek moyang), maka cinta kepada nenek mo- yang, yang semula
termasuk bagian dari ai-mahabhatul wustha, jatuh menjadi al-mahabbatul adna, karena mengabaikan al
mahabbatul ula (dalam hal ini syari'at Islam).

Al-mahabbatul adna seperti itulah yang diberi peringatan keras oleh Allah SWT dalam surat At-Taubah
ayat 24 di atas dengan kata-kata ".... tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya."

Di samping cinta, seorang muslim yang mengiqrarkan dua kalimah syahadah akan memiliki sikap ridha di
dalam dirinya. Ridha terhadap Allah dan Rasul-Nya, ridha dengan segala ke- putusan Allah dan Rasul-
Nya. Ridha lahir batin, tanpa ada sedikit pun rasa tidak puas di hatinya. Dalam surat An-Nisa' ayat 65
Allah SWT menafikan iman seseorang sebelum dia ridha bertahkim kepada Rasulullah SAW (Islam) dan
meneri- ma keputusan beliau dengan sepenuh hati, tanpa ada sedikit pun rasa "haraj" (penolakan di
dalam hati). Balkan penolakait (nafi) itu didahului oleh sumpah dengan diri-Nya sendirak

Masuk Islam harus secara total (kaffah) dalam seluruh kehi dupan. Baik kehidupan pribadi, keluarga,
masyarakat, bernega ra dan kehidupan internasional. Baik yang berhubungan de ngan aspek ekonomi,
politik, budaya, pendidikan, seni, militer maupun aspek-aspek lainnya.
Sebagai dampak dari syahadatain, tiga unsur pokok yang dimiliki manusia: hati, akal dan jasad, akan
mendapatkan shib ghah (celupan, identitas) Allah. Allah berfirman:

Artinya hati, akal dan jasad seseorang yang mengiqrarkan dua kalimah syahadah akan mendapatkan
celupan, warna, ben- tukan, identitas (shibghah) dari Allah SWT sehingga:

dari hatinya lahirlah keyakinan yang benar (al'itigad as-sha hih) dan seterusnya akan melahirkan motivasi
(niat) yang ikhlas.

dari akalnya lahirlah pikiran-pikiran yang Islami (al-afkar al-islamiyah) dan seterusnya melahirkan sistem
yang Islami

(al-manhaj al-islami). dari jasadnya lahirlah amal shalih (al-amal as-sbalihah) se bagai tanfiz dari
keinginan hati dan rancangan akal. Misalnya, dari seorang muslim yang benar-benar memahami dua
kalimah syahadah dan konsekuen dengan iqrarnya itu, bila dia menjadi seorang pakar ekonomi, dia akan
menya- ring segala macam teori-teori ekonomi yang pernah dikenalnya dengan menggunakan "filter"
syahadatain, dan merumuskan teori-teori ekonomi baru dengan "paradigma" syahadatain se hingga dari
pakar tersebut lahirlah teori-teori ekonomi yang Islami atau sistem ekonomi Islam.

Begitu juga dalam aspek lainnya seperti politik, hukum. pendidikan, budaya dan lain sebagainya.
Begitulah hakikat da dampak dua kalimah syahadah yang kalau dilaksanakan secara konsekuen,
implikasinya akan bersifat universal dan komprehensif.

E. YANG MEMBATALKAN DUA KALIMAH SYAHADAH

Menurut Sa'id Hawwa dalam bukunya Al-Islam, banyak orang yang keliru mengira, bahwa kalau sudah
mengucapkan dua kalimah syahadah atau sudah memiliki nama yang Islami, maka tidak ada satu pun
sikap atau perbuatan yang bisa mem- batalkan keislaman atau membatalkan dua kalimah syahadah-
nya. Sebenarnya banyak sikap atau perbuatan seorang muslim yang bisa membatalkan dua kalimah
sahadahnya. Lalu Sa'id Hawwa menyebut dua puluh di antaranya, dan menguraikan satu per satu. Dalam
kesempatan ini penulis ringkaskan dua puluh hal yang diterangkan oleh Sa'id Hawwa tersebut sebagai
berikut:

1. Bertawakkal bukan kepada Allah SWT

Allah SWT memerintahkan kepada kita untuk berusaha dan berikhtiar. Tapi melarang, kita bertawakkal
kepada usaha atau ikhtiar tersebut. Kita harus bertawakkal kepada Allah SWT semata. Allah berfirman:
Di sinilah perbedaan antara seorang kafir dengan seorang mukmin. Seorang kafir berusaha maksimal
dan menggantung kan harapan sepenuhnya kepada usaha itu. Sedangkan seorang mukmin juga
berusaha maksimal tapi hanya menggantungkan harapan sepenuhnya kepada Allah SWT.

2. Tidak mengakui bahwa semua nikmat lahir maupun batin adalah karunia Allah SWT.

Setiap muslim wajib mengakui bahwa semua nikmat yang dia peroleh di dunia ini dari Allah SWT.

Manusia tidak boleh mengklaim bahwa nikmat yang dia peroleh itu hanyalah semata-mata karena
usahanya, sebab ba- gaimanapun dia berusaha kalau Allah SWT tidak berkenan, dia tidak akan
mendapatkannya. Dalam konteks inilah Allah SWT membinasakan Qarun yang menafikan karunia Allah
kepadanya dengan menyombongkan usahanya (ilmunya).

3. Beramal dengan tujuan selain Allah Seorang muslim harus beramal karena Allah SWT:

Ibadah di sını tidak terbatas pada shalat, puasa, zakat dan haji semata, tetapi mencakup semua amalan
yang dikerjakan karena Allah. Dengan demikian seorang muslim tidak boleh berbuat karena sesuatu
yang lain, misalnya karena nasionalis me, hidup matinya untuk nasionalisme. Benar salah dia tetap
membela nasionalismenya. Pernyataan ini bukan berarti tidak boleh membela negaranya, bukan begitu.
Tapi yang dilarang di sini adalah bila menjadikannya sebagai "isme", karena bila sudah raenjadi isme dia
akan menomersatukannya dari segala- galanya, termasuk melebihi agamanya (Islam). Masuk juga da-
lam kategori ini semboyan-semboyan: Ilmu untuk ilmu, seni untuk seni, hukum untuk hukum dan lain
sebagainya.

4. Memberikan hak menghalalkan dan mengharamkan, hak memerintah dan melarang, atau hak
menentukan syari'at atau hukum pada umumnya kepada selain Allah SWT. Hak menentukan hukum
atau syari'at hanyalah milik Allah:

Dalanı konteks ini Allah menilai orang-orang Yahudi dan Nasrani telah mempertuhan rahib-rahib dan
pendeta-pendeta mereka, karena mereka mematuhi ajaran-ajaran rahib-rahib membabi-buta

dan pendeta-pendeta tersebut secara mereka menyuruh membuat maksiat atau mengharamkan yang
halal:

Kaum muslimin hanya diberi hak menetapkan hukum- melalui ijtihad - untuk segala sesuatu yang belum
ditetapkan oleh nash (Al-Qur'an dan Sunnah).

5. Taat secara mutlak kepada selain Allah dan Rasul-Nya. Seorang muslim hanya dibenarkan taat secara
mutlak ke- pada Allah dan Rasul-Nya (karena taat kepada Rasul-Nya ber- arti taat kepada-Nya).
Sedangkan taat kepada Ulil Amri harus- lah terbatas, selama masih dalam ruang lingkup taat kepada
Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah SAW menegaskan:

6. Tidak menegakkan hukum Allah SWT. Berdasarkan firman Allah SWT:


7. Membenci Islam, seluruh atau sebagiannya. Allah berfirman:

Termasuk dalam kategori ini adalah membenci salah satu hukum Islam baik yang menyangkut ekonomi,
politik, sosial maupun aspek lainnya.

8. Mencintai kehidupan dunia melebihi akhirat atau menjadikan dunia segala-galanya.

9. Memperolok-olok Al-Qur'an dan Sunnah, atau orang- orang yang menegakkan keduanya, atau
memperolok. olek hukum Allah atau syi'ar Islam.

Allah SWT menjelaskan di dalam Al-Qur'an bahwa orang orang munafiklah yang suka memperolok-olok
Islam:

10. Menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah, dan mengharamkan apa yang dihalalkan-
Nya.perbuatan menghalalkan yang diharamkan oleh Allah dan sebaliknya itu termasuk kebohongan
terhadap Allah. Allah berfirman:

11. Tidak beriman dengan seluruh nash-nash Al-Qur'an dan Sunnah.

Nash-nash Al-Qur'an dan Sunnah adalah suatu kesatuan yang wajib diimani keseluruhannya. Menolak
sebagian berarti menolak keseluruhannya. Allah berfirman:

12. Mengangkat orang-orang kafir dan munafik menjadi pemimpin dan tidak mencintai orang-orang
yang ber- aqidah Islam. Allah berfirman:

13. Tidak beradab dalam bergaul dengan Rasulullah SAW. Allah berfirman:

Ancaman penghapusan pahala amalan adalah indikator kemurtadan karena sanksi yang sama dijatuhkan
Allah kepada orang-orang yang murtad.

Kalau meninggikan suara saja di hadapan Rasulullah sudah menyebabkan hapus amalan, betapa lagi
kalau memperoleh olokkan diri dan amalan beliau.

14. Tidak menyenangi Tauhid, malah menyenangi kemu- syrikan.

Allah berfirman:

15. Menyatakan bahwa makna yang tersirat (batin) dari sua- tu ayat bertentangan dengan makna yang
tersurat (se- suai dengan pengertian bahasa).
Al-Qur'an diturunkan oleh Allah SWT dalam bahasa Arab yang bisa dimengerti maknanya. Oleh sebab itu
penafsiran suatu ayat tidak boleh lari dari konteks bahasa Arab itu sen- diri.

Allah berfirman:

Karena apabila Al-Qur'an ditafsirkan lari dari konteks bahasa atau tidak mengikuti kaidah-kaidah bahasa
Arab, maka akan terjadilah penyelewengan-penyelewengan penafsiran yang sangat berbahaya bagi
orisinalitas Islam. 16. Memungkiri salah satu asma, sifat dan af al Allah SWT

Allah berfirman:

17. Memungkiri salah satu sifat Rasulullah SAW yang telah ditetapkan oleh Allah SWT, atau memberinya
sifat yang tidak baik, atau tidak meyakininya sebagai contoh tela- dan utama bagi umat manusia. Allah
berfirman:

18. Mengkafirkan orang Islam atau menghalalkan darah- nya, atau tidak mengkafirkan orang kafir.
Rasulullah SAW bersabda:

19. Beribadah bukan kepada Allah SWT.

Seperti misalnya: menyembelih binatang untuk dipersem- bahkan kepada Allah, ruku' dan sujud kepada
selain Allah, tawaf tidak di Baitullah, meminta atau berdo'a kepada selain Allah dan bentuk-bentuk
ibadah lainnya yang dipersembahkan bukan kepada Allah SWT. Allah berfirman:

20. Melakukan syirik kecil.

Yang dimaksud dengan syirik kecil adalah syirik yang tidak membatalkan dua kalimah syahadah secara
menyeluruh, tetapi membatalkan dua kalimah syahadah dalam amalan itu saja. Misalnya: Mengerjakan
shalat karena ingin dipuji orang, atau berjihad ingin mencari kedudukan bukan mencari ridha Allah dan
lain-lain. Rasulullah bersabda:

Catatan:

Demikianlah beberapa hal yang membatalkan dua kalimah sya- hadah menurut Said Hawwa. Tentu hal
yang demikian bukanlah dimaksudkan untuk dipakai menghakimi orang lain, tetapi untuk menjadi
peringatan bagi diri masing-masing agar selalu menjaga kemurnian dua kalimah syahadahnya. Perlu juga
dicatat bahwa kafir tidaknya seseorang sangat tergan tung pada keimanannya. Apabila dia a misalnya
tidak melaksanakan hukum Allah bukan karena tidak mengimaninya tetapi karena lalai lahu
memperturutkan hawa nafsu tentulah orang seperti itu bukan- lah kafir. Sesuai dengan kaidah yang
dibuat Ulama Tauhid bahwa

"Mengerjakan kemaksiatan dengan tetap meyakininya sebagai kemaksiatan adalah dosa, sedangkan
mengerjakan kemaksiatan dengan tidak meyakininya sebagai kemaksiatan adalah kufur."
F. AL-ASMA' WAS-SHIFAT

Al-Asma' artinya nama-nama, dan as-Shifat artinya sifat- sifat. Allah SWT memiliki nama-nama dan sifat-
sifat yang me- nunjukkan ke-Mahasempurnaan-Nya, sebagaimana disebutkan di dalam kitab suci Al-
Qur'an dan Sunnah Rasulullah SAW.

Metode iman dengan al-asma' was-shifat ada dua; Pertama, Itsbat, Kedua, Nafyu. Itsbat maksudnya
mengimani bahwa Allah SWT memiliki al-asma was-shifat yang menunjukkan ke-Mahasempurnaarı-Nya,
misalnya: Allah SWT Maha Mende- ngar, Maha Melihat, Maha Mengetahui, Maha Bijaksana dan lain-
lain. Sedangkan Nafyu maksudnya menafikan atau meno- lak segala al-asma' was-shifat yang
menunjukkan ketidak- sempurnaan-Nya, misalnya dengan menafikan adanya makh- luk yang
menyerupai Allah SWT, atau menafikan adanya anak dan orangtua dari Allah SWT dan lain-lain.

Sehubungan dengan al-asma' was-shifat ini ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan secara lebih
khusus:

1. Janganlah memberi nama Allah SWT dengan nama-nama yang tidak disebutkan di dalam Al-Qur'an
dan Sunnah. Allah berfirman:

2. Jangan menyamakan (tamtsil), atau memiripkan (tasyhih) Zat Allah SWT, sifat-sifat dan af'al
(perbuatan)-Nya dengan makhluk mana pun. Allah berfirman:

Jika terjadi persamaan nama dan sifat antara Allah SWT dan makhluk-Nya, misalnya Allah Maha
Mendengar, manusia juga mendengar, Allah berbicara dengan Musa, manusia juga berbicara, dan lain
sebagainya, maka persamaan tersebut ha- nyalah persamaan nama (ismun), bukan persamaan hakiki
(mu- samma). Nama dan sifat untuk Allah SWT sesuai dengan Zat dan Kemahaan-Nya, nama dan sifat
untuk manusia atau makh- luk lain sesuai dengan kemakhlukannya. Oleh sebab itu tidak ada alasan
untuk men-takwil-kan sifat-sifat Allah tertentu ka- rena takut tasybih atau tamtsil, dan lebih dari pada
itu tentu tidak dibenarkan menolak sama sekali nama atau sifat Allah SWT yang telah ditetapkan oleh
Allah dan Rasul-Nya karena takut tasybih, tamtsil dan tidak mau takwil atau karena tidak mau
mengurangi kemutlakan Allah SWT karena nama dan sifat-sifat itu. Sebab menolak salah satu nama dan
sifat Allah SWT berarti mendustakan Allah dan Rasul-Nya. Allah ber- firman:

. 3. Mengimani al-asma' was-shifat bagi Allah SWT harus apa membuat adanya tanpa menanyakan atau
mempertanyakan "bagaimana"nya (kaifiyat). Misalnya Allah menyatakan:

Kita harus mengimani bahwa Allah SWT bersemayam di atas 'Arasy, tanpa mempertanyakan bagaimana
caranya Allah bersemayam, berapa luasnya 'Arasy itu, mana yang lebih besar, Allah atau 'Arasy, di
manakah 'Arasy itu? dan pertanyaan-per- tanyaan lainnya yang mungkin diajukan. Selain tidak akan bisa
dijawab karena itu masalah ghaib, juga tidak ada gunanya, bahkan hanya akan menghabiskan waktu saja

. 4. Dalam satu hadits disebutkan bahwa Allah SWT mempunyai 99 nama:

Hadits di atas bukan membatasi nama-nama Allah SWT hanya 99 saja (seperti kesan sementara orang),
karena masih ada nama-nama yang lain yang belum disebutkan dalam 99 al. asma' al-husna itu, tetapi
disebutkan dalam hadits-hadits lain, seperti al-Hannan, al-Manan, al-Badi', al-Mughits, al-Kafil dan lain
sebagainya.

Kata "menghafal" dalam hadits di atas janganlah diartikan secara sempit dengan sekadar menghafal di
lisan, tapi lebih dari itu mengimani dan mengamalkannya dalam kehidupan. Misalnya dengan meyakini
bahwa Allah Maha Mengetahui (al-'Alim) maka seseorang akan sadar bahwa segala ilmu yang dia
peroleh belum ada artinya dibandingkan dengan ilmu Allah. Begitu juga dengan meyakini bahwa Allah
Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Mengawasi (as-Sami', al-Bashir, ar-Raqib) dia akan selalu
berbuat kebaikan dan meninggalkan larangan Allah SWT karena yakin Allah pasti mengawasinya, melihat
dan mendengar apa yang dia lakukan (lihat uraian khusus ten- tang Ilmu Allah dan Ma'iyatullah).

5. Di samping isulah al-asma' al-busna ada lagi istilah "ismul jab al-a zham" yaitu nama-nama Allah SWT
yang dirangkai di dalam do'a, antara lain seperti:

G. ILMU ALLAH

Seperti yang sudah kita sebutkan dalam pembahasan tentang al-Asma' was-Shifat di atas, bahwa
memahami hadits Rasulullah SAW yang menjanjikan sorga bagi orang yang menghafal al-Asma' al-
Husna, tidak bisa secara harfiah, sempit, dan terpisah dari hadits-hadits lain atau lepas dari kesatuan
seluruh ajaran Islam yang ada di dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Bukankah di samping janji Rasulullah SAW
di atas niasih banyak ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits-hadits Nabi yang lain yang berisi perintah dan
larangan serta petunjuk-petunjuk yang harus diikuti oleh setiap orang yang menghafal al-Asma' al-
Husna tersebut.

Di samping itu pemahaman terhadap al-Asma' al-Husna juga harus dikaitkan dengan konsekuensi dan
aplikasinya dalam kehidupaan kita sehari-hari di seluruh aspek kehidupan Misalnya dengan memahami
bahwa Allah SWT adalah al. Alım (Yang Maha Mengetahui), kita harus mengaplikasikan keyakinan
tersebut dalam kehidupan nyata, dengan berusaha maksimal melaksanakan perintah-Nya dan
meninggalkan la rangan-Nya, di mana pun, kapan pun, baik di tempat ramai maupun di tempat sunyi.
Kita tidak lagi terpengaruh dengan "diketahui" atau "tidak diketahui oleh orang lain untuk mela kukan
atau meninggalkan sesuatu, karena kita menyadari sepe nuhnya bahwa Allah SWT Yang Maha
Mengetahu pasti selalu melihat, mendengar, dan memperhatikan apa yang kita laku- kan di mana dan
kapan saja. Juga dengan meyakini betapa luas tak terbatasnya ilmu Allah SWT seseorang akan menya
dari posisi ilmunya dan ilmu manusia secara keselurulian di bandingan dengan ilmu Allah, juga dia akan
memahami sejauh mana kebenaran ilmu manusia tersebut dibandingkan dengan ilmu Allah yang mutlak
benar.

Dalam paragraf-paragraf berikut ini, akan kita coba untuk menguraikan secara ringkas tentang keluasan
ilmu Allah, ba gaimana Allah menurunkan sebagian kecil dari ilmu-Nya untuk umat manusia, bagaimana
konsep kebenaran ilmu, dan apa hikmah memahami dan mengimani Ilmu Allah SWT ter- sebut.

Ilmu Allah Tidak Terbatas

Allah SWT mempunyai ilmu yang tidak terbatas, Dia mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi,
baik yang ghaib maupun yang nyata:

Tidak ada satu pun yang tersembunyi bagi Allah SWT. Sebutir biji di dalam gelap gulita bumi yang
terlapis-lapis tetap diketahui oleh Allah SWT:

Ilmu Allah memang mahaluas, tiada terbatas. Dia menge- tahui apa yang sudah, dan akan terjadi.
Manusia, malaikat, dan makhluk maua pun tidak akan bisa menyelami lautan ilmu Allah SWT. Bahkan
untuk mengetahui ciptaan Allah saja rnanusia tidak akan mampu. Allah menggambarkan betapa kecil
dan tidak berdayanya manusia bila dibandingkan dengan ilmu Allah, dengan perumpanan air laur
bahkan tujuh lautan dijadikan tinta, dan selurut pohon kayu yang ada di bumi dijadikan pena untuk
menulis kalimat Allah, niscaya tidak akan habis-habisnya kalimat Allah tersebut dituliskan:

Ayat-Ayat Qauliyah dan Ayat-Ayat Kauniyah

Allah SWT menuangkan sebagian kecil dari ilmu-Nya kepada umat manusia melalui ayat-ayat qauliyah
dan ayat-ayat kaunıyah, atau melalui wahyu dan alam semesta.

Wahyu yang dimaksud di atas adalah wahyu dalam pe- ngertian isthilahi yaitu "kalamullah yang
diturunkan kepada Nabi-Nabi dan Rasul-Rasul yang menjadi hudan (petunjuk) bagi umat manusia", baik
yang diturunkan langsung, dari be- lakang tabir (min wara' bijah) maupun yang diturunkan melalui
malaikat Jibril, seperti firman Allah SWT:

Penegasan bahwa wahyu yang dimaksud adalah wahyu dalam pengertian istilahi - di atas - perlu kita
kemukakan karena secara lughawi wahyu memiliki pengertian yang

bermacam-macam, antara lain: 1. Ilham Fithri, seperti wahyu yang diberikan kepada ibu Nabi Musa
untuk menyusukan Musa yang masih bayi (Al-Qashash 28: 7) 2. Instink Hayawan. seperti wahyu yang
diberikan kepada lebah untuk bersarang di bukit-bukit, di pohon-pohon yang rindang dan di mana saja
dia bisa bersarang (An-Nahl 16: 68) 3. Isyarat, seperti yang diwahyukan oleh Nabi Zakaria kepada
kaumnya untuk ber- tasbih pagi dan sore (Maryam 19: 11) 4. Perintah Allah kepada Malaikat untuk
mengerjakan sesuatu seperti perintah Allah kepada Malaikat untuk membantu kaum muslimin dalam
pe- rang Badar (Al-Anfal 8: 12). 5. Bisikan Syaitan (Al-An'am 6: 121).

Termasuk dalam pengertian wahyu juga adalah Hadits Qudsi (hadits yang maknanya dari Allah SWT,
sedangkan re- daksinya dari Rasulullah SAW) dan Hadits Nabawy (makna dan redaksinya dari Rasulullah
SAW) karena pada hakikatnya apa saja yang berasal dari Rasulullah SAW adalah wahyu Allah SWT, dalam
pengertian, beliau selalu dalam bimbingan wahyu, tidak dibiarkan bersalah, begitu bersalah langsung
dikoreksi oleh Allah SWT. Oleh sebab itu apa saja yang berasal dari Rasulullah SWT mempunyai nilai
wahyu. Artinya mutlak di- ikuti. Allah berfirman

Ayat-ayat qauliyah mengisyaratkan kepada umat manusia untuk mencari ilmu dari alam semesta (ayat-
ayat kauniyah), oleh sebab itu manusia harus berusaha membacanya, mempe- lajari, menyelidiki dan
merenungkannya, untuk kemudian meng ambil kesimpulan-kesimpulan. Perhatikan beberapa ayat be-
rikut ini:

Dengan mempelajari, mengamati, menyelidiki dan mere- nungkan alam semesta (al-kaun) dengan segala
isinya, nanusia dapat melahirkan berbagai disiplin ilmu seperti Kosmologi, Astronomi, Botani,
Metereologi, Geografi, Zoologi, Antro- phologi, Psikologi dan lain-lain. Sedangkan dari mempelajari
wahyu manusia melahirkan berbagai disiplin ilmu seperti Taf- sir, Ilmu Tafsir, Hadits, Ilmu Hadits, Fiqih,
Ushul Fiqh dan lain-lain.

Konsep Kebenaran Ilmu

Wahyu (Al-Qur'an dan Sunnah) memiliki nilai kebenaran yang mutlak (al-haqiqah al-muthlaqah) karena
langsung berasal dari Allah dan Rasul-Nya. Tetapi pemahaman terhadap wahyu yang memungkinkan
beberapa alternatif pemahaman tidaklah bersifat mutlak. Sedangkan ilmu yang didapat dari alam se-
mesta memiliki nilai kebenaran yang nisbi (relatif) dan tajribi (eksperimentatif) atau dengan istilah al-
haqiqah at-tajribiyah.

Kebenaran yang mutlak harus dijadikan burhan atau alat untuk mengukur kebenaran yang nisbi, jangan
sampai terbalik, justru kebenaran yang mutlak diragui karena bertentangan dengan kebenaran yang
nisbi (relatif dan eksperimentatif terse but). Sejarah ilmu pengetahuan sudah membuktikan bahwa
suatu penemuan atau teori yang dianggap benar pada satu masa digugurkan kebenarannya pada masa
yang akan datang. Hal itu disebabkan karena keterbatasan kemampuan manusia dalam mengamati,
menyelidiki dan menyimpulkan segala feno- mena yang ada pada alam semesta. Oleh sebab itu jika
terjadi pertentangan antara kesimpulan yang didapat oleh manusia dari al-kaun dengan wahyu, maka
yang harus dilakukan adalan menguji kenıbali kesimpulan tersebut, atau menguji kembali pemahaman
manusia terhadap wahyu. Logisnya karena wahyu dan alam semesta sama-sama berasal dari Allah Yang
Maha Benar maka mustahil terjadi pertentangan antara satu sama lain.

Hikmah Mengimani Ilmu Allah


Ada beberapa hikmah yang dapat dipetik oleh setiap orang yang beriman dengan ilmu Allah, yaitu
antara lain:

1. Membuat manusia sadar betapa tidak berarti dirinya di ha- dapan Allah SWT, sebab ilmu yang dimiliki
oleh seluruh umat manusia hanyalah ibarat setitik air laut dibandingkan dengan air laut secara
keseluruhan. Oleh sebab itu manusia tidak punya alasan untuk sombong dan menjadikan ilmu penyebab
keku- furan dan kedurhakaan kepada Yang Maha Mengetahui segala- galanya. Manusia harus
menjadikan ilmu sebagai alat untuk mengakui keagungan Allah SWT dan mentaati segala perintah- Nya
dan meninggalkan segala larangan-Nya.

2. Dengan menyadari bahwa ilmu Allah sangat luas, tidak ada satu pun betapa pun kecil dan halusnya-
yang luput dari ilmu-Nya, maka manusia akan dapat mengontrol tingkah laku, ucapan dan amalan
batinnya, sehingga selalu sesuai dengan apa yang diridhai oleh Allah SWT.

3. Keyakinan terhadap ilmu Allah bisa menjadi terapi yang ampuh untuk segala penyelewengan,
penipuan dan kemak- siatan lainnya.

H. MA'IYYATULLAH

Ma'iyyah berasal dari kata ma'a, artinya bersama. Ma- 'iyyatullah berarti kebersamaan Allah SWT. Di
dalam kitab suci Al-Qur'an kita menemukan kata ma'a yang menghubung kan antara Allah SWT dengan
manusia secara umum (Al- Hadid 57:4, Al-Mujadilah 58:7) dan juga kata ma'a yang meng hubungkan
antara Allah SWT dengan hamba-Nya yang mem punyai sifat-sifat khusus seperti shahirin (Al-Baqarah
2:153) dan muttaqin (Al-Baqarah 2:194) atau dengan pribadi tertentu seperti Musa dan Harun (Thaha
20:36), Muhammad SAW dan Abu Bakar As Shiddiq RA (At-Taubah 9:40). Kebersamaan (al-ma'iyyah)
secara khusus kita sebut dengan al-ma'iyyah al- khashah. Lalu apa beda antara keduanya?

Al-Ma'iyyah Al-'Amah

Allah SWT selalu bersama seluruh manusia, baik yang mukmin maupun yang kafir, yang taat maupun
yang durhaka, laki-laki maupun perempuan, tua maupun muda; kebersamaan Allah SWT secara umum
tersebut berarti muraqabatullah (pe- ngawasan Allah) dan ihsanullah (kebaikan Allah). Siapa saja akan
selalu diawasi dan mendapatkan ihsan dari Allah SWT.

Allah SWT mempunyai sifat Maha Mengetahui (al-'Alim) Maha Melihat (al-Bashır) dan Maha Mendengar
(as-Sami'). De- ngan tiga sifat itu saja Allah Maha Mampu mengontrol segala sikap dan tingkah laku umat
manusia. Perhatikan ayat-ayat berikut ini:

Oleh sebab itu Allah SWT memerintahkan kepada raanu- sia untuk berbuat ihsan sebagaimana Allah
SWT telah berbuat ihsan kepada mereka, dan lagi pula bukanlah sangat logis dan wajar sekali kalau
ihsan dibalas dengan ihsan:

Al-Ma'iyyah Al-Khashah
Tidak semua manusia dapat merespon muraqabatullah dan ihsanullah sebagaimana mestinya, malah
banyak yang tidak menyadari bahwa setiap hari, setiap jam, setiap menit, setiap detik, dirinya selalu di
bawah pengawasan Allah SWT Yang Maha Mengetahui, Maha Melihat dan Maha Mendengar itu.
Akibatnya banyak manusia yang berbuat semena-mena, me- rugikan manusia dan kemanusiaan. Begitu
juga banyak yang tidak tahu berterima kasih atas semua kebaikan yang telah diberikan oleh Allah SWT
secara cuma-cuma kepada dirinya, bahkan tidak sedikit jumlahnya yang menyombongkan diri, bukan
saja kepada sesama manusia, tetapi juga kepada Allah SWT. Orang-orang semacam ini tidak akan
mendapatkan

Lebih dari pada itu manusia diangkat oleh Allah menjadi khalifah yang bertugas memakmurkan bumi
Allah:

Oleh sebab itu Allah SWT memerintahkan kepada raanu- sia untuk berbuat ihsan sebagaimana Allah
SWT telah berbuat ihsan kepada mereka, dan lagi pula bukanlah sangat logis dan wajar sekali kalau
ihsan dibalas dengan ihsan:

Al-Ma'iyyah Al-Khashah

Tidak semua manusia dapat merespon muraqabatullah dan ihsanullah sebagaimana mestinya, malah
banyak yang tidak menyadari bahwa setiap hari, setiap jam, setiap menit, setiap detik, dirinya selalu di
bawah pengawasan Allah SWT Yang Maha Mengetahui, Maha Melihat dan Maha Mendengar itu.
Akibatnya banyak manusia yang berbuat semena-mena, me- rugikan manusia dan kemanusiaan. Begitu
juga banyak yang tidak tahu berterima kasih atas semua kebaikan yang telah diberikan oleh Allah SWT
secara cuma-cuma kepada dirinya, bahkan tidak sedikit jumlahnya yang menyombongkan diri, bukan
saja kepada sesama manusia, tetapi juga kepada Allah SWT. Orang-orang semacam ini tidak akan
mendapatkan ma'iyyah secara khusus dari Allah SWT, artinya mereka tidak akan mendapatkan
dukungan dan pertolongan dari Allah SWT atau dengan istilah lain mereka tidak akan mendapatkan ta
yidullah dan nashrun minallah dalam kehidupan mereka baik di dunia maupun di akhirat.

Hanya orang-orang yang benar-benar berimanlah yang dapat merespon muraqabatullah dan ihsanullah
secara baik dan benar. Mereka selalu sadar akan pengawasan Allah SWT, di mana dan kapan saja.
Mereka selalu dapat merasakan ihsanullah yang tak terhingga. Kesadaran ini membawa mereka untuk
tampil di pentas dunia sebagai umat yang terbaik, memberikan ketaatan sepenuhnya kepada Allah SWT.
Mereka mengamal- kan firman Allah SWT:

Mereka selalu meningkatkan amal shaleh dengan dasar keimanan sehingga Allah SWT akan memberikan
kepada me- reka hayatan thayyibatan (kehidupan yang baik) sebagaimana firman-Nya:

bar dan taqwa, Sabar dalam seluruh dimensinya: sabar dalam taat dalam menghadapi musibah dan
sabar dalam amar ma'ruf nahı munkar. Taqwa dalam pengertian berusaha optimal me laksanakan
perintah Allah SWT dan optimal meninggalkan larangan-Nya. Untuk orang-orang sabar (shabırin) dan
orang- orang yang bertaqwa (mattaqın) itulah Allah SWT menjanji- kan akan memberikan al-ma'iyyah al-
khashah atau dengan kata lain mereka akan mendapatkan dukungan (ta'yid) dan keme- nangan
(nashrun) ciari Allah SWT. Allah berfirman:
Dalam sejarah, kita hisa melihat hasil nyata dari al-ma- 'iyyah al-khashah pada kisah Nabi Musa dan
Harun, dan kisah Nabi Muhammad SAW dan sahabat beliau Abu Bakar as-Shid- diq di waktu keduanya
berada di gua Tsur dalam perjalanan hijrah ke Madinah.

Nabi Musa dan Harun 'alaihima as-salam mendapat tugas dari Allah SWT untuk berdakwah kepada
Fir'aun:

Nabi Musa dan Harun tahu persis siapa Fir'aun, bagaima na kezaliman dan kebengisannya, oleh sebab
itu mereka berdua merasa khawatir kalau-kalau Fir'aun akan menyiksa dan ber- buat melampaui batas.
Kekhawatiran itu mereka ungkapkan kepada Allah SWT:

Kita semua tahu apa yang terjadi kemudian, Musa dan Harun AS dapat mengalahkan Fir'aun, bahkan
dengan cara yang luar biasa: tidak bisa diduga sama sekali. Waktu Nabi Musa dan pengikutnya terdesak
ke pinggir laut, pengikut-peng- ikutnya sudah mulai khawatir tidak bisa selamat dari kejaran Fir'aun dan
tentaranya. Mereka mengatakan:

Akhirnya Allah SWT perintahkan kepada Musa untuk memukulkan tongkatnya ke lautan, lalu lautan itu
terbelah dua oleh jalan raya yang bisa dilalui oleh Musa dan pengikut- nya. Waktu Fir'aun dan
pengikutnya menyusul, Allah me- nenggelamkan mereka.

Demikian al-ma'iyyah al-khashah yang telah didapat oleh Nabi Musa dan Harun AS dari Allah SWT,
sehingga pada akhirnya mereka keluar sebagai pemenang. Ma'iyyah seperti itu jugalah yang didapat
oleh Nabi Muhammad SAW dan Abu- bakar as-Shiddiq RA, tatkala beliau berdua bersembunyi di dalam
gua Tsur, dan musuh-musuh sudah berada di luar mu- lut gua, tapi Allah menyelamatkan mereka
dengan cara yang luar biasa. Perhatikan catatan Al-Qur'an tentang peristiwater- sebut:

Seperti yang sudah sama kita ketahui, orang-orang kafir tidak memeriksa ke dalam gua kerena mereka
melihat di mulut gua ada burung merpati yang bertelur di dalam sarangnya dan labah-labah bertengger
di jaringan yang masih utuh. Menurut pemikiran mereka kalau ada orang yang baru saja masuk ke dalam
gua tentu merpati tadi sudah pergi dan jaring labah- labah akan rusak. Mereka tidak tahu itulah junud
(tentara) yang dikirim oleh Allah SWT untuk menyelamatkan Nabi Muhammad dan as-Shiddiq RA.

Demikianlah dengan iman dan amal shaleh, serta taat sepenuhnya kepada Allah SWT kita akan
mendapatkan al. ma'iyyah al-khashah dari Allah SWT walaupun tidak dengan cara yang luar biasa.

1. SYIRIK

Syirik adalah mempersekutukan Allah SWT dengan makh- luk-Nya, baik dalam dimensi rububiyah,
mulkiyah maupun ilabiyah, secara langsung atau tidak, secara nyata atau terselu- bung.
Dalam dimensi rububiyah misalnya meyakini bahwa ada makhluk yang mampu menolak segala
kemudharatan dan meraih segala kemanfaatan, atau dapat memberikan berkat, seperti meyakini
"kesaktian para Wali Allah, sehingga dia min- ta bantuan kepada mereka untuk menolak petaka atau
untuk meraih keuntungan-apalagi bila wali tersebut sudah mening- gal dunia.

Dalam dimensi mulkiyah misalnya mematuhi sepenuhnya para penguasa non muslim bukan terpaksa di
samping menyatakan patuh kepada Allah SWT, pada hal pemimpin non-muslim itu menghalalkan apa
yang diharamkan Allah SWT dan mengharamkan apa yang dihalalkan atau mengajaknya melakukan
kemaksiatan.

Dalam dimensi ilahiyah misalnya berdoa kepada Allah melalui perantara orang yang sudah meninggal
dunia.

Pada hakikatnya orang yang mempersekutukan Allah SWT dengan makhluk apa atau siapa pun,
memberikan sifat ketuhanan kepada makhluk tersebut baik secara keseluruhar. maupun sebagian saja,
baik dalam tingkat yang sebanding mau- pun berbeda. Tentu saja perbuatan seperti itu merendahkan
Allah SWT dan tidak mengakui ke-Maha Esaan-Nya, baik dalam Zat, Asma'na Shiffat, Af'al-Nya. Sekaligus
perbuatan syirik juga merendahkan martabat manusia, apalagi jika yang diberi sifat ketuhanan itu alam
lain yang bukan manusia. Bu- kankah esensi ajaran Tauhid membebaskan manusia dari pe nyembahan
sesama makhluk, menuju penyembahan Allah SWT semata?

Dilihat dari sifat dan tingkat sanksinya, syirik dapat dibagi dua: Syirik besar (as-syirku al-akbar) dan syirik
kecil (as-syirku al-asghar).

1. Syirik Besar

Syirik besar adalah: "Menjadikan bagi Allah sekutu (nid dan) yang (dia) berdo'a kepadanya seperti
berdoa kepada Al- lah, takut, harap dan cinta kepadanya seperti kepada Allah, atau melakukan satu
bentuk ibadah kepadanya seperti ibadah kepada Allah." (Kitab al-Qaul as-Sadid, As-Sa'adi, tt., 29). Syirik
besar itu ada yang zhahirun jaliyun (nampak nyata) seperti menyembah berhala, matahari, bulan,
bintang, malaikat, ben- da-benda tertentu, mempertahankan Isa Al Masih dan lain- lain; dan ada yang
bathinun khafiyun (tersembunyi) seperti berdoa kepada orang sudah meninggal, meminta pertolongan
kepadanya untuk dikabulkan keinginannya atau minta disem- buhkan dari penyakit, dihindarkan dari
bahaya dan lain-lain sebagainya. Disebut khafiyun (tersembunyi) karena yang ber- doa tidak pernah
mengakui bahwa ia meminta kepada orang mati, dia menganggap orang mati tersebut hanyalah sebagai
perantara supaya doanya dikabulkan oleh Allah SWT (Az- Zumar 39:3). Dan juga dia tidak menganggap
berdoa di ku- buran itu sebagai ibadah - padahal doa itu adalah otaknya ibadah (HR Tirmizi). Syirik jenis
inilah (besar) yang dosanya tidak akan diampuni Allah SWT kecuali jika dia bertobat se- belum meninggal
- dan pelakunya diharamkan masuk sorga:

Bukan berarti Allah menutup pintu tobat bagi orang syi- rik, sebab Allah akan mengampuni dosa apa pun
kalau yang bersangkutan bertobat kepada-Nya:
Tapi bila seorang musvrik tidak bertobat sebelum mening- gal dunia pintu keampunan sudah tertutup
baginya, dan di akhirat nanti dia akan dimasukkan oleh Allah ke dalam neraka:

Disebut orang-orang musvrik itu orang zalım karena ke- musyrikan itu memang sebuah kezaliman yang
besar:

2. Syirik Kecil

Syirik kecil adalah: "Semua perkataan dan perbuatan yang akan membawa seseorang kepada
kemusyrikan." (as-Sa'adi, tt., 30).

Syirik kecil termasuk dosa besar yang dikhawatirkan akan mengantarkan pelakunya kepada syirik besar.
Jika orang yang melakukan syirik kecil meninggal sebelum bertobat, dan di akhirat ternyata Allah tidak
berkenan mengampuninya maka ia akan masuk neraka.

Di antara amal perbuatan yang termasuk syirik kecil ini adalah:

a.Bersumpah dengan selain Allah:

b. Memakai azimat (untuk menolak bahaya atau memurahkan rezeki).

c. Menggunakan mantra-mantra untuk menolak kejahatan. pengobatan dan sebagainya.

d. Sihir

e. Ramalan atau Perbintangan (Astrologi)

f. Bernazar kepada selain Allah

g. Menyembelih binatang atau mempersembahkan kor- ban bukan kepada Allah SWT

Riya

Secara khusus Rasulullah SAW mengingatkan akan baha- ya salah satu syirik kecil yaitu riya:

Riya pada hakikatnya adalah melakukan sesuatu karena ingin dilihat atau ingin dipuji orang lain. Apa bila
seseorang melakukan sesuatu hanya karena ingin dipuji orang lain, maka berarti ia telah melakukan
syirik kecil. Inilah yang paling di- takuti oleh Rasulullah SAW terjadi pada umatya. Dalam se- buah hadits
yang panjang yang diriwayatkan oleh Muslim, Rasulullah SAW menggambarkan bahwa diakhirat nanti
ada beberapa orang yang dicap oleh Allah SWT sebagai pendusta; ada yang mengaku berjuang pada
jalan Allah hingga mati syahid, padahal ia berperang hanya ingin dikenal sebagai se- orang pemberani;
ada yang mengaku mempelajari ilmu pe- ngetahuan, mengajarkannya dan membaca Al-Qur'an karena
Allah, pada hal dia hanya ingin dikenal sebagai orang 'alim dan qori'; ada yang mengaku mendermakan
hartanya untuk mencari ridha Allah, padahal dia hanya ingin disebut dermawan. Amalan semua orang
itu ditolak Allah dan mereka dimasukan kedalam neraka (ringkasan makna hadits riwavat Muslim dari
Abu Hurairah). Dalam sebuah hadits Qudsi Allah berfirman:

Demikianlah uraian tentang syirik besar dan syirik kecil (as-syırka al-akhar dan as-syırku al-asghar)
beserta contoh-con- tohnya, yang tentu saja disamping contoh-contoh di atas masih banyak contoh-
contoh lain yang belum disebutkan, terutama yang bersifat "modern" sekarang ini (mungkin berhala-
berhala yang disembah orang pada abad modern sekarang ini bukan lagi berhala dalam arti benda yang
konkret, tapi berupa sesuatu yang abstrak, bisa berupa prestise, jabatan, harta kekayaan. isme-isme,
dan lain-lain). Tetapi dalam kesempatan sekarang ini kita tidak akan membicarakan bentuk-bentuk
kemusyrikan modern tersebut, silakan Anda menganalogkannya dengan contoh-contoh kemusyrikan
"tradisional" di atas, sebab bagar- manapun bentuknya, esensi dari kemusyrikan itu tetap sama
sepanjang masa..

Anda mungkin juga menyukai