Anda di halaman 1dari 5

Kandungan Tauhid Dalam Surat Al Fatihah

Posted on 13 February 2014 by Redaksi One comment

Buletin At Tauhid Edisi 7 Tahun X

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

Imam Ibnu Abil ‘Izz Al Hanafi rahimahullah berkata, “Sesungguhnya suatu ilmu yang
kebutuhan umat manusia terhadapnya semakin besar maka konsekuensinya adalah dalil-dalil
yang menunjukkan kepadanya juga semakin jelas, sebagai bentuk kasih sayang Allah kepada
makhluk-Nya.” (lihat Syarh Al ‘Aqidah ath Thahawiyah, hal. 86)

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, membaca surat Al Fatihah barangkali sudah menjadi
perkara yang biasa bahkan bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Karena
di setiap raka’at shalat, surat ini selalu kita baca. Meskipun demikian, kita sering lalai dari
merenungi hikmah dan pelajaran penting yang ada di dalamnya.

Apabila kita cermati penjelasan para ulama, baik di dalam kitab tafsir, kitab hadits, atau kitab
seputar akidah dan tauhid, akan kita temukan bahwa surat Al Fatihah ini menyimpan sedemikian
banyak ajaran Islam, dan yang paling utama adalah mengenai tauhid. Untuk lebih jelasnya,
marilah kita simak beberapa keterangan berikut.

Tauhid Rububiyah

Tauhid rububiyah adalah keyakinan bahwa Allah satu-satunya pencipta, penguasa, dan pengatur
alam semesta. Keyakinan ini merupakan salah satu perkara penting dalam iman seorang muslim.
Kita yakin, bahwa Allah semata yang menciptakan alam semesta ini. Kita juga yakin, bahwa
Allah semata yang mengatur dan menguasainya. Inilah yang dikenal dalam istilah para ulama
dengan nama tauhid rububiyah.

Nah, di dalam surat Al Fatihah ini, tauhid jenis ini terkandung di dalam beberapa ayat.
Diantaranya adalah pada ucapan hamdalah <Alḥamdulillāhi Rabbil ‘aalamiin> yang
artinya, “Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam”. Di dalamnya terdapat penegasan
bahwa Allah adalah Rabb, yaitu penguasa dan pemelihara alam semesta. Inilah yang disebut
dengan tauhid rububiyah. Demikian juga, di dalam ayat <Maaliki yaumid diin> yang artinya,
“Yang merajai pada hari pembalasan”. Di dalamnya juga terkandung pengakuan bahwa Allah
yang menguasai hari kiamat, sebagaimana Allah adalah penguasa jagad raya sebelum terjadinya
kiamat.

Tauhid Asma’ wa Shifat

Tauhid asma’ wa shifat adalah keyakinan tentang kesempurnaan nama-nama dan sifat-sifat
Allah. Kita mengimani bahwa Allah Maha Pengasih lagi Penyayang, sebagaimana dalam ayat
<Ar Raḥmaanir Raḥiim>. Allah memiliki nama-nama yang maha indah, dan biasa dikenal
dengan istilah asma’ul husna. Selain itu, Allah juga memiliki sifat-sifat yang mulia.

Diantara sifat Allah yang disebutkan di dalam surat ini adalah Allah men-tarbiyah seluruh alam.
Allah memiliki sifat kasih sayang. Dan Allah memiliki kekuasaan. Allah maha terpuji dengan
segala nama dan sifat-sifat-Nya. Oleh sebab itu di awal surat ini kita membaca
<Alḥamdulillāhi Rabbil ‘aalamiin>. Di dalamnya terkandung sanjungan kepada Allah, dan
salah satu sebabnya adalah karena kesempurnaan nama-nama dan sifat-sifat-Nya.

Tauhid Uluhiyah atau Tauhid Ibadah

Tauhid uluhiyah atau tauhid ibadah adalah perbuatan hamba dalam bentuk mengesakan Allah
dalam beribadah. Artinya dia menyembah hanya kepada Allah dan tidak kepada selain-Nya.
Inilah intisari dan hakikat tauhid yang sebenarnya. Tidaklah seorang dikatakan bertauhid apabila
belum melaksanakan tauhid jenis ini.

Inilah yang terkandung di dalam ayat <Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin> yang artinya,
“Hanya kepada-Mu kami beribadah, dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan”. Ini
pula yang terkandung di dalam nama “Allah”, karena nama ini bermakna “pemilik sifat
ketuhanan/uluhiyah yang wajib disembah oleh seluruh makhluk”.

Makna tauhid ini adalah bahwasanya segala macam ibadah hanya ditujukan kepada Allah, tidak
kepada selain-Nya. Inilah tujuan diciptakannya jin dan manusia. Inilah misi utama dakwah para
rasul dan kandungan pokok kitab-kitab suci yang Allah turunkan. Inilah cabang keimanan yang
paling utama dan pondasi keislaman yang paling mendasar. Tidak sah keislaman seorang hamba
tanpa mewujudkan tauhid ini di dalam hidupnya. Dengan tauhid inilah seorang hamba akan bisa
masuk surga dan terbebas dari neraka.

Oleh sebab itu, ibadah apa pun -seperti shalat, doa, sembelihan, nadzar, istighotsah, dan
sebagainya- hanya boleh ditujukan kepada Allah. Inilah kandungan dari kalimat tauhid Laa
ilaaha illallĕh. Di dalamnya terkandung penafian dan penetapan. Penafian segala sesembahan
selain Allah, artinya kita yakini bahwa segala yang disembah selain Allah adalah batil.
Kemudian di dalamnya juga terkandung penetapan, yaitu keyakinan bahwa hanya Allah yang
berhak disembah. Oleh sebab itu, seorang yang bertauhid harus meninggalkan segala bentuk
kesyirikan, yang tampak maupun yang tersembunyi, yang besar maupun yang kecil.

Syirik memiliki bahaya yang sangat banyak, diantaranya adalah menyebabkan kekal di neraka,
menghalangi masuk surga, menghapuskan amalan, terhalang dari ampunan Allah, terhalang dari
keamanan dan hidayah. Syirik merupakan dosa besar yang paling besar. Ibadah kepada Allah
tidaklah diterima apabila tercampur dengan syirik. Oleh sebab itu Allah Ta’ala berfirman (yang
artinya), “Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan dengan-Nya sesuatu
apapun” (QS. An Nisaa’ : 36)

Para ulama juga menjelaskan, bahwa dengan menghayati serta mengamalkan kandungan
<Iyyaaka na’budu> seorang hamba akan terlepas dari penyakit riya’ yang itu merupakan salah
satu bentuk kesyirikan. Karena orang yang riya’ tidak ikhlas dalam beribadah. Dengan <Iyyaaka
na’budu>, maka dia akan terus berusaha memurnikan amalannya untuk Allah.

Adapun dengan menghayati dan mengamalkan kandungan <Iyyaaka nasta’iin> maka seorang
hamba akan terlepas dari penyakit ujub yaitu merasa bangga dan hebat dengan amalnya. Karena
dia menyadari bahwa segala kebaikan di tangan Allah, bukan di tangannya. Oleh sebab itu dia
meyakini bahwa dengan pertolongan Allah semata dia bisa melakukan kebaikan, bukan dengan
kekuatan dan kehebatan dirinya.

Para ulama kita juga mengatakan, bahwa riya’ -beramal karena ingin dilihat orang atau mencari
popularitas- dan ujub adalah termasuk perkara yang bisa merusak bahkan membatalkan pahala
amalan. Bukan itu saja, ia termasuk dosa syirik yang bisa menyeret pelakunya ke dalam neraka.
Oleh sebab itu hendaklah kita hayati ayat yang kita baca ini dengan sebaik-baiknya, bukan
sekedar dibaca dan dihafalkan kata-katanya.
Tiga Pilar Ibadah

Demikian pula, apabila kita membaca kitab para ulama, jelaslah bagi kita bahwa di dalam surat
Al Fatihah ini terkandung pokok-pokok ibadah dan keimanan. Di dalam ayat
<Alḥamdulillĕh> terkandung pilar kecintaan atau mahabbah. Di dalam ayat <Ar
Raḥmaanir rahiim> terkandung pilar harapan atau roja’. Dan di dalam ayat <Maaliki yaumid
diin> terkandung pilar rasa takut atau khauf.

Nah, ibadah kepada Allah harus ditopang dengan ketiga macam amalan hati ini, yaitu cinta, takut
dan harap. Beribadah kepada Allah tanpa kecintaan seperti badan tanpa ruh. Beribadah kepada
Allah tanpa harapan akan melahirkan keputus asaan terhadap rahmat Allah. Dan beribadah
kepada Allah tanpa rasa takut akan menyebabkan merasa aman dari hukuman Allah. Padahal,
putus asa dari rahmat Allah dan merasa aman dari hukuman Allah termasuk dalam jajaran dosa-
dosa besar.

Ibadah kepada Allah ini dilandasi dengan kecintaan dan pengagungan. Karena hakikat ibadah
adalah perendahan diri kepada Allah yang dibarengi puncak kecintaan dan pengagungan, dengan
cara melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Ibadah ini mencakup segala hal
yang dicintai dan diridhai Allah, baik berupa ucapan maupun perbuatan, yang tampak/lahir
maupun yang tersembunyi/batin. Nah, segala macam ibadah itu tidak boleh dipersembahkan
kecuali kepada Allah semata.

Ibadah Harus Dengan Dasar Ilmu

Ibadah kepada Allah pun tidak akan diterima kecuali apabila dilandasi dengan keimanan,
keikhlasan, dan mengikuti tuntunan. Oleh sebab itu di dalam surat Al Fatihah kita memohon
kepada Allah hidayah (yakni ayat <Ihdinash shiraathal mustaqiim> –red), yang di dalamnya
tercakup hidayah ilmu dan hidayah berupa amalan. Agar kita bisa mendapatkan ilmu yang benar,
dan agar kita bisa mengamalkan ilmu yang telah kita peroleh. Inilah jalan ‘orang-orang yang
diberikan kenikmatan’, <shiraathalladziina an’amta ‘alaihim>.

Adapun jalan ‘orang yang dimurkai’ <al maghdhuubi ‘alaihim>, adalah jalan orang yang
berilmu namun tidak mengamalkan ilmunya, sebagaimana orang-orang Yahudi yang dimurkai
Allah. Adapun jalan ‘orang-orang sesat’, <adh dhaalliin>, adalah jalan orang yang beramal
tanpa bekal ilmu, sebagaimana orang-orang Nashara. Kaum yang dimurkai menyimpang karena
niat yang rusak, sedangkan kaum yang sesat menyimpang karena pemahaman yang rusak. Oleh
sebab itu para ulama menyatakan bahwa ‘kelurusan niat dan benarnya pemahaman’ adalah salah
satu nikmat terbesar yang dikaruniakan Allah kepada seorang hamba. Itulah yang setiap hari kita
minta dalam doa kita <Ihdinash shiraathal mustaqiim>, yang artinya, “Tunjukilah kami jalan
yang lurus”.

Tidak mungkin ibadah kita ikhlas jika kita tidak mengerti apa itu ikhlas dan apa saja yang
merusaknya, sebagaimana tidak mungkin kita beribadah mengikuti tuntunan (As Sunnah) jika
kita tidak mengerti seperti apa tuntunan itu dan apa saja yang tidak dituntunkan. Sementara ilmu
tentang itu semuanya hanya akan bisa kita gali dari Al Qur’an dan As Sunnah. Dan itu semua
akan terwujud dengan taufik dan pertolongan Allah semata, bukan karena kepintaran,
kecerdasan, pengalaman, atau kepandaian kita.

Inilah sekilas kandungan tauhid dalam surat Al Fatihah. Apa-apa yang dikemukakan di sini
tentunya ibarat setetes air di tengah samudera. Laa haula wa laa quwwata illaa billĕh.

Anda mungkin juga menyukai