PENDAHULUAN
Pembahasan mengenai Tauhid merupakan hal yang paling urgen dalam Agama Islam, dimana Tauhid
mengambil peranan penting dalam membentuk pribadi-pribadi yang tangguh, selain juga sebagai inti atau
akar daripada Aqidah Islamiyah. Kalimat Tauhid atau lebih dikanal dengan kalimat Syahadat atau juga
disebut Kalimah Thayyibah (Laailaahaillallah) begitu masyhur di kalangan umat Islam. Dalam
kesehariannya, seorang muslim melafalkan kalimat tersebut dalam setiap shalat wajibnya yang lima
waktu.
Namun rupanya saat ini pembahasan masalah 'Aqidah menjadi sesuatu yang terkesampingkan dalam
kehidupan, kencenderungan masyarakat yang hedonis dengan persaingan hidup yang begitu ketat,
sehingga urusan-urusan dunia menjadi suatu hal yang menyita perhatian manusia daripada hal-hal
lainnya, termasuk masalah keberagamaan, sehingga kita dapatkan banyak sekali penyimpangan demi
penyimpangan yang terjadi di tengah-tengah umat Islam, dengan keadaan yang semakin hari semakin
buruk ini rupanya lambat laun akan menyadarkan kita semua akan pentingnya peran agama Islam sebagai
agama paripurna yang tidak mengatur urusan ukhrawi saja, namun juga dalam mengatur urusan-urusan
duniawi, yang menjadikan 'aqidah sebagai landasan berfikirnya.
Diharapkan dari penulisan makalah ini, selain pengetahuan yang lebih luas tentang Tauhid sebagai intisari
peradaban yang telah mengantarkan umat Islam menuju kejayaan demi kejayaan yang tidak pernah
tertandingi.
ISI
Tauhid, secara bahasa, adalah kata benda (nomina) yang berasal dari perubahan kata kerja
wahhadayuwahhidu, yang bermakna menunggalkan sesuatu. Sedangkan berdasarkan pengertian
syariat, Tauhid bermakna mengesakan Allah dalam hal-hal yang menjadi kekhususan diri-Nya.
Kekhususan itu meliputi perkara rububiyah, uluhiyah, dan asma wa shifat. (Al-Qaul Al-Mufid,
1:5).
Pengertian Kata tauhid berasal dari bahasa arab, bentuk masdar dari kata wahnada yuwahhidu
yang secara etimologi berarti keesaan, yakni percaya bahwa Allah SWT itu satu. Tidak lain adalah
Lauhidullah(mengesakan Allah Swt). Jadi pernyataan/pengakuan. Bahwa Allah Swt itu esa/satu.
LaailahaillAllah (tiada Tuhan selain Allah)[Syamsul Rijak Hamid, buku pintas agama Islam, (bogor
Xahaya Salam, 2005)]
Ilmu tauhid merupakan ilmu pengetahuan yang paling tinggi derajatnya dalam agama Islam. Karena ilmu
tauhid merupakan induk (pokok) bagi semua ilmu pengetahuan dalam agama Islam. Bahwa para ulama
menyebutkan bahwa agama Islam adalah agama tauhid. Ilmu ini menerangkan serta membahas masalah
keesaan Dzat Allah Swt hokum yang mempelajari ilmu tauhid adalah Fardhuain.
Ilmu tauhid di sebut juga ilmu Usuluddin, ilmu kalam, ilmu akidah, ilmu marifat, adapula yang
menyebutnya ilmu sifat 20 karena di dalamnya dibicara kan 20 sifat yang wajib bagi Allah Swt.[Abdullah
zakey Al Kaaf dan maman abdul Djajal.
1 Tauhid Rububiyah
Tauhid Rububiyah artinya kita meyakini keesaan Allah dalam hal penciptaan, pemilik, pengatur,
pemberi rizeki dan pemelihara alam semesta beserta isinya. Keyakinan seperti iini juga diyakini
oleh kaum musyrikin Makkah sebagai firman Allah:
Artinya : Katakanlah: siapa yang member rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah
yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan pengelihatan dan mengeluarkan yang hidup dari yang
mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan ?
Maka mereka (musyrikin Makkah) menjawab : Allah. Maka katakanlah (hai Muhammad)
mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya. (QS. Yunus:31).
Ayat diatas senada dengan ayat dalam surat Al-Muminun: 84-89, Az-Zumar:38, Az-Zukhruf: 87
terkait orang-orang musyrik Makkah yang meyakini tauhid rububiyah, namun mereka tetap
diklasifikasikan sebagai kaum musyrikin oleh Allah dan Rasul-Nya. Hal itu karena hati manusia
telah difitrahkan untuk mengakui rububiyyah Allah SWT, sehingga orang yang meyakininya
belum menjadi ahli tauhid sebelum dia beriman kepada tauhid yang kedua. Hal ini menegaskan
bahwa seseorang tidak dikatakan beriman dengan hanya meyakini tauhid rububiyah.
2 Tauhid Uluhiyah
Tauhid uluhiyyah artinya kita meyakini bahwa Allah-lah satu-satunya Dzat yang berhak
disembah (diibadahi). Ibadah di sini adalah istilah yang meliputi segala apa yang Allah cintai dan
ridhai baik berupa ucapan serta amalan-amalan yang lahir maupun yang batin.
Tauhid uluhiyyah merupakan implementasi dari kalimat tauhid laa ilaaha illa-Allah. Makna
kalimat ini adalah tidak ada sesembahan yang hak untuk disembah melainkan Allah. Kalimat
tauhid ini mengandung dua unsur yaitu unsur penolakan segala bentuk sesembahan selain Allah
serta menetapkan segala bentuk ibadah ditunjukan hanya kepada Allah semata. Tauhid inilah
yang merupakan inti dari pengutusan para rasul seperti yang termasuk dalam firman Allah:
Artinya : Dan tidaklah kami mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan kami
wahyukan kepadanya bahwasanya tidak ada sesembahan (yang hak) melainkan Aku, maka
sembahlah Aku olehmu sekalian. (QS. Al-Anbiya: 25).
Dalam hal memahami makna laa ilaaha illa-Allah ada sebagian orang memaknainya dengan (
tidak ada hakim tertinggi melainkan Allah). Ini adalah makna yang sempit dan kurang tepat sebab
dakwah Rasullullah ketika pertama kali diutus bukan masalah hakimiyah, namun masalah tauhid
ibadah dan menjauhi kesyirikan sebagaimana firman Allah:
Artinya : Sungguh kami telah mengutus seorang rasul pada setiap umat agar mereka
(memerintahkan) umatnya menyembah Allah dan menjauhi Thaghut. (QS. An-Nahl:36).
Tauhid uluhiyyah adalah misi dakwah semua Rasul. Pengingkaran terhadap tauhid inilah yang
menjerumuskan umat-umat terdahulu ke dalam jurang kehancuran. Tauhid ini adalah pembuka
dan penutup agama. Ia adalah pembeda antara orang-orang mukmin dan orang-orang kafir, antara
penduduk surga dan penghuni neraka.
Tauhid rububiyyah termasuk konsekuensi dari tauhid uluhiyyah, karena orang-orang musyrik
tidak menyembah tuhan yang satu. Akan tetapi, mereka menyembah bermacam-macam tuhan
dengan anggapan bahwa tuhan-tuhan tersebut lebih mendekatkan mereka kepada Allah. Padahal
mereka mengakui bahwa tuhan-tuhan itu tidak mendatangkan mudharat dan manfaat. Karena itu,
Allah tidak menganggap mereka sebagai orang-orang mukmin, kendati mereka mengakui tauhid
uluhiyyah. Mereka tetap kafir, sebab mereka masih menyekutukan Allah dan selain-Nya dalam
beribadah.
(meng-esakan Allah dalam hal nama-nama dan sifat-sifat-Nya) ialah meyakini secara mantab
bahwa Allah menyandang seluruh sifat kesempurnaan dan suci dari segala sifat kekurangan, dan
bahwa Dia berbeda dengan seluruh makhluk-Nya.
Caranya adalah dengan menetapkan (mengakui) nama-nama dan sifat-sifat Allah yang Dia
sandangkan untuk Dirinya atau disandangkan oleh Rasulullah dengan tidak melakukan tahrif
(pengubahan) lafazh atau maknanya, tidak tathil (pengabaian) yakni menyangkal seluruh atau
sebagaian nama dari sifat itu, tidak takyif (pengadaptasian) dengan menentukan esensi dan
kondisinya, dan tidak tasybih (penyerupaan) dengan sifat-sifat makhluk.
Dari definisi diatas jelaslah bahwa tauhid asma wa sifat berdiri di atas tiga asas. Barang siapa
menyimpang darinya, maka ia tidak termasuk orang yang meng-esakan Allah dalam hal nama
sifat-Nya. Ketiga asas itu adalah:
a. Meyakini bahwa Allah SWT maha suci dari kemiripan dengan makhluk dan darisegala
kekurangan.
b. Mengimani seluruh nama dan sifat Allah SWT yang disebutkan dalam al-Quran dan as-
Sunnah tanpa mengurangi atau menambah-nambahi dan tanpa mengubah atau
mengabaikannya.
c. Menutup keinginan untuk mengetahui kaifiyyah (kondisi) sifat-sifat itu.
Adapun asas yang pertama, yakni meyakini bahwa Allah Maha Suci dari kemiripan dengan
mahluk dalam sifat-sifat-Nya, ini didasarkan pada firman Allah SWT:
Artinya : Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan-Nya. (QS. Al-Ikhlash: 4)
Al-Qurthubi, saat menafsirkan firman Allah, Tidak ada yang sama dengan-Nya sesuatu apa
pun,mengatakan, Yang harus diyakini dalam bab ini adalah bahwa Allah SWT, dalam hal
keagungan, kebesaran, kekuasaan, dan keindahan nama serta ketinggian sifat-Nya, tidak satupun
dari makhluk-Nya yang menyerupai-Nya dan tidak pula dapat diserupai dengan makhluk-Nya.
Dan sifat yang oleh syariat disandangkan kepada Pencipta dengan kepada makhluk, pada
hakikatnya esensinya berbeda meskipun lafazhnya sama. Sebab, sifat Allah Yang tidak
Berpemulaan (qadim) pasti berbeda dengan sifat makhluk-Nya.
Termasuk dalam asas pertama ini ialah menyucikan Allah SWT dari segala yang bertentangan
dengan sifat yang disandangkan oleh Rasullulah Saw. Jadi mengesakan AllahcSWT dalam hal
sifat-sifat-Nya menuntut seseorang Muslim untuk meyakini bahwa Allah SWT tidak mempunyai
istri, teman, tandingan, pembantu, dan syafi (pemberi syafaat), kecuali atas izin-Nya. Dan juga
menuntut seorang Muslim untuk menyucikan Allah dari sifat tidur, lelah, lemah, mati, bodoh,
zalim, lalai, lupa, kantuk, dan sifat-sifat kekurangan lainya.
Sedangkan asas kedua, mewajibkan untuk membatasi diri pada nama-nama dan sifat-sifat yang
telah ditetapkan dal al-Quran dan As-Sunnah. Nama-nama dan sifat-sifat itu harus ditetapkan
berdasarkan wahyu, bukan logika. Jadi, tidak boleh menyandangkan sifat atau nama kepada Allah
SWT kecuali sejauh ditetapkan oleh Rasulullah Saw. Sebab Allah SWT maha tau tentang Dirinya
sifat-sifat-Nya, dan nama-nama-Nya. Ia berfirman :
Artinya : Katakanlah, kalian yang lebih tahu atau Allah ?. (QS. Al-Baqarah : 140)
Nah, bila Allah SWT yang lebih mengetaahui tentang Dirinya dan para Rasul-Nya adalah orang-
orang jujur dan selalu membenarkan segala informasi dari-Nya, pasti mereka tidak akan
menyampaikan selain dari apa yang diwahyukan oleh-Nya kepada mereka. Karenanya, dalam
urusan mengukuhkan atau menafikan nama-nama dan sifat-sifat Allah SWT wajib merujuk kepada
informasi dari Allah dan Rasul-Nya.
Sementara asas ketiga, menuntut manusia yang mukallaf untuk mengimani sifat-sifat dan nama-
nama yang ditegaskan oleh al-Quran dan As-Sunnah tanpa bertanya tentang kaifiyyah (kondisi)-
Nya, dan tidak pula tentang esensinya. Sebab, mengetahui kaifiyyah sifat hanya akan dicapai
mankala mengetahui kaifiyyah Dzat. Padahal Dzat Allah SWT tidak berhak dipertanyakan esensi
dan kaifiyyah-Nya.
Karena itu, ketika para ulama salaf ditanya tentang kaifiyyah istiwa (cara Allah SWT
bersemayam), mereka menjawab Istiwa itu sudah dipahami, sedang cara-caranya tidak
diketahui; mengimani istiwa adalah wajib dan bertanya tentangnya adalah bidah.
Jika ada seseorang bertanya kepada kita, Bagaimana cara Allah SWT turun ke langit dunia ?
Maka kita tanyakan kepadanya,Bagaimana dia ? jika ia mengatakan, Saya tidak tau kaifiyyah
Dia. Maka kita jawab Makanya kita tidak tau kaifiyyah turunya Allah. Sebab untuk mengetahui
kaifiyyah sifat harus mengetahui terlebih dahulu kaifiyyah dzat yang disifsti itu. Karena, sifat itu
adalah cabang dan mengikuti yang disifati. Maka, bagaimana Anda menuntut istiwa, padahal
Anda tidak tahu bagaimana kaifiyyah Dzat-Nya. Jika Anda mengakui bahwa Allah SWT adalah
wujud yang hakiki yang pasti memiliki segala sifat kesempurnaan dan tidak ada yang
menandinginya, maka mendengar, melihat, berbicara dan turunya Allah tidak dapat digambarkan
dan tidak bisa disamakan dengan mahluk-Nya.
Dari penjelasan di atas, kita dapat mengetahui bahwa tauhid asmawa sifat ini dapat rusak dengan
beberapa hal berikut :
a. Tasybih, yakni menyerupakn sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk. Seperti yang
dilakukan orang-orang Nasrani yang menyerupakan Al-Masih bin Maryam dengan Allah
SWT, orang Yahuda menyerupakan Uzair dengan Allah, orang-orang musyrik menyerupakan
patung-patung mereka dengan Allah, dan beberapa kelompok yang menyerupakan wajah
Allah dengan wajah makhluk , tangan Allah dengan tangan makhluk, pendengaran Allah
dengan pendengaran makhluk, dan lain sebagainya.
b. Tahrif, yaitu mengubah atau mengganti. Artinya mengubah lafazh-lafazh nama Allah SWT
dengan menambah atau mengurangi atau mengubah artinya, yang oleh para ahli bidah
diklaim sebagai takwil, yaitu memahami satu lafazh dengan makna yang rusak dan tidak
sejalan dengan makna yang digunakan dalam bahasa Arab. Seperti pengubahan kata dalam
firman Allah SWT Wakallamallahu musa taklima menjadi Wakallamallaha. Dengan
demikian, mereka bermaksud menafikan sifat kalam (berbicara) dari Allah SWT.
c. Tathil (pengabaian, membuat tidak berfungsi). Yakni menampik sifat Allah dan menyagkal
keberadaannya pada Dzat Allah SWT, semisal menampik kesempurnaan-Nya dengan cara
membantah nama-nama dan sifat-sifat-Nya; tidak melakukan ibadah kepada-Nya, atau
menampik sesuatu sebagai ciptaan Allah SWT, seperti orang yang menyatakan bahwa
makhluk-makhluk ini qadim (tidak berpermulaan dan menyangkal bahwa Allah telah
menciptakan dan membuatnya).
d. Takyif (menentukan kondisi dan menetapkan esensinya). Metode dalam memahami nama dan
sifat Allah SWT yang disebutkan dalam Al-Quran dan As-Sunnah tanpa melakukan tasybih,
tahrif, tathil dan takyif ini merupakan mazhab salaf. Asy-Syaikani mengatakan,
Sesungguhnya, mazhab salaf, yakni kalangan sahabat, tabiin, dan tabiut-tabiin, adalah
memberlakukan dalil-dalil tentang sifat-sifat Allah SWT sesuai dengan zhahirnya tanpa
melakukan tahrif, tawil yang dipaksakan, dan tidak pula tathil yang mengakibatkan
terjadinya banyak tawil. Dan jika mereka ditanya tentang sifat-sifat Allah SWT, mereka
membacakan dalil lalu menahan diri dari mengatakan pendapat itu dan ini seraya mengatakan
bahwa mereka tidak mengetahui lebih dari itu.
Ulama salaf tidak akan memaksakan diri untuk berbicara apa yang tidak mereka ketahui dan
apa yang tidak yang tidak Allah SWT izinkan untuk meraka lampaui. Jika ada seorang
penanya menginginkan penjelasan melebihi dari zahir, maka mereka segera mencegahnya dari
apa yang tidak mungkin merfeka capai selain terjerumus dalam bidah dan melarangnya dari
hal yang tidak tidak diajarkan Rasulullah SAW, tidak pula oleh sahabat dan tabiin.
Kalimat Laa Ilaaha IlIa-Allah mengandung dua makna, yaitu makna penolakan segala bentuk sesembahan
selain Allah SWT, dan makna menetapkan bahwa satu-satunya sesembahan yang benar hanyalah Dia
semata. Berkaitan dengan kalimat ini Allah SWT berfirman :
Artinya :"Maka ketahuilah (ilmuilah) bahwasannya tidak ada sesembahan yang benar selain Allah". (Qs.
Muhammad : 19)
Berdasarkan ayat di atas, bahwa memahami makna syahadat adalah wajib hukumnya dan mesti
didahulukan dari pada rukun-rukun Islam yang lain. Rasulullah SAW juga menegaskan :"Barang siapa
yang mengucapkan laa ilaaha illa-Allah dengan ikhlas maka akan masuk ke datang surga."(HR. Ahmacl).
Yang dimaksud dengan ikhlas di sini adalah memahami, mengamalkan dan mendakwahkan kalimat
tersebut sebelum yang lainnya.
Rasulullah sendiri mengajak paman beliau Abu Thalib menjelang detik-detik kematiannya dengan ajakan
:"Wahai pamanku, ucapkanlah laa ilaaha illa-Allah, sebuah kalimat yang aku akan jadikan ia sebagai
nutfah di hadapan Allah". Akan tetapi, Abu Thalib enggan untuk mengucapkan dan meninggal datam
keadaan musyrik.
Selama 13 tahun di Makkah. Nabi Muhammad SAW mengaiak orang-orang dengan perkataan beliau
:"Katakan laa ilaaha illa-Allah.Kemudian orang-orang kafir menjawab :"Beribadah kepada sesembahan
yang satu. Tidak pernah kami dengar dari orang tua kami". Orang Quraisy di zaman Rasulullah sangat
paham makna kalimat tersebut, dan barang siapa yang mengucapkannya tidak akan menyeru/berdoa
kepada selain Allah.
Yaitu meninggalkan ibadah kepada selain Allah dari segala macam yang dipertuhankan sebagai
keharusan dari peniadaan laa ilaaha illa-Allah. Dan beribadah kepada Allah semata tanpa unsur
kesyirikan sedikit pun, sebagai keharusan dari penetapan ilaa-Allah.
Tauhid dalam pandangan islam merupakan akar yang melandasi setiap aktivitas manusia. Kekokohan dan
tegaknya tauhid mencerminkan luasnya pandangan, timbulnya semangat beramal dan lahirnya sikap
optimistik. Sehingga tauhid dapat digambarkan sebagai sumber segala perbuatan (amal shalih) manusia.
Sebetulnya formulasi tauhid terletak pada realitas sosial. Adapun bentuknya, tauhid menjadi titik sentral
dalam melandasi dan mendasari aktivitas. Tauhid harus diterjemahkan ke dalam realitas historis-empiris.
Tauhid harusnya dapat menjawab semua problematika kehidupan modernitas, dan merupakan senjata
pamungkas yang mampu memberikan alternatif yang lebih anggun dan segar.
Tujuan tauhid adalah memanusiakan manusia. Itu sebabnya, dehumanisasi merupakan tantangan tauhid
yang harus dikembalikan kepada tujuan tauhid, yaitu memberikan perubahan terhadap masyarakat.
Perubahan itu didasarkan pada cita-cita profetik yang diderivasikan dari misi historis sebagaimana tertera
dalam firman Allah:
Artinya :Engkau adalah umat terbaik yang diturunkan di tengah manusia untuk menegakkan kebaikan,
mencegah kemungkaran dan beriman kepada Allah.(QS. AliImran: 110).
Kuntowijoyo memberikan tiga muatan dalam ayat di atas sebagai karakteristik ilmu sosial profetik, yakni
kandungan nilai humanisasi, liberasi dan transendensi. Tujuannya supaya diarahkan untuk merekayasa
masyarakat menuju cita-cita sosial-etiknya di masa depan.
Kebaikan tauhid ternyata tidak hanya bermanfaat bagi individu. Jika sesuatu masyarakat benar-benar
merealisasikan tauhid dalam kehidupan mereka, Allah SWT akan memberikan jaminan bagi mereka
Sebagaimana friman-Nya Yang Artinya : Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di
antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan
merka berkuasa di muka bumi, sebagaimanan Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka
berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah dirikhai-Nya untuk mereka,
dan Dia benar-benar akan menukar(keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman
sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan
barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka merka itulah orang-orang yang fasik.(QS. An-
Nur:55)
Dalam ayat di atas Allah SWT memberikan bebrapa jaminan bagi sesuatu masyarakat yang mau
mengimplementasikan nilai-nilai ketauhidan dalam kehidupan, yaitu mendapat kekuasaan di muka bumi,
mendapat kemantapan dan keteguhan dalam beragama, serta mndapat keamanan dan dijauhkan rasa takut.
Dalam ayat di atas Allah SWT memebrikan beberapa jaminan bagi suatu masyarakat yang mau
mengimplementasikan nila-nilai ketauhidan dalam kehidupan, yaitu mendapat kekuasaan di muka bumi,
mendapat kemantapan dan keteguhan dalam beragama, serta mndapat keamanan dan dijaukan dari rasa
takut.
Demikian sebagian di antara jaminan yang akan didapatkan oleh ahli tauhid. Mengutip Asy-Syaikh
Abdurrahman As-Sadi, termasuk keutamaan Tauhid adalah :
Dengan demikian cukup besar dan banyak keutamaan yang Allah limpahkan bagi para hamba-Nya yang
bertauhid, Sangat beruntung orang yang bisa menggapai seluruh keutamaannya. Namun keberhasilan total
hanya milik orang-orang yang mampu menyempurnakan tauhid sepenuhnya. Tentu manusia bertingkat-
tingkat dalam wujud tauhid kepada Allah SWT. Mereka tidak berada pada satu tingkatan. Masing-masing
menggapai keutamaan tauhid sesuai dengan prestasi dalam menerapkan tauhid.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Setiap muslim hendak meyakini bahwa tauhid adalah dasar Islam yang paling agung dan istimewa. Jika
tauhid yang murni terealisasikan dalam hidup seseorang, baik pribadi maupun jamaah, akan memetik
buah yang amat manis. Di antara buah yang didapat adalah memerdekakan manusia dari perbudakan serta
tunduk kepada selain Allah, baik benda-benda atau makhluk lainnya, juka akan memebentuk keperibadian
yang kokoh.
Karena itu, siapa pun yang mampu mengamalkan nilai-nilai ketauhidan dengan benar dalam segala
aktivitasnya, niscaya mendapat ketauhidan dengan benar dalam segala aktivitasnya, niscaya mendapat
banyak keistimewaan. Allah SWT menjanjikan bagi para ahli Tauhid aneka kebahagiaan, baik di dunia,
lebih-lebih di akhirat kelak.