DISUSUN OLEH:
1.FERI FADLAN : (2127101010082)
2.GHUFRON ALKHAMIDI : (2127101010173)
3.FINA AINUL FAUZIAH : (2127101010491)
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I: PEMBUKAAN
A. LATAR BELAKANG
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN MASALAH
BAB II: PEMBAHASAN
A. Pengertian Tauhid dan Ilmu Tauhid
B. Pembagian Tauhid
C. Makna Laailaaha illalloh, Ma’rifutllah dan Muraqabah
BAB III: PENUTUP
A. KESIMPULAN
B. SARAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PEMBUKAAN
A. LATAR BELAKANG
Tauhid merupakan permasalahan yang penting di dalam agama. Ia merupakan syarat
utama untuk menjadikan dirinya muslim. Seorang muslim haruslah memahami konsep tauhid
ini untuk menjalankan memahami tujuan penciptaannya. Apabila pemahaman konsep tauhid
ini kuat, maka akan kuat pula pilar-pilar keislamannya untuk mengimplementasikan
kewajiban-kewajibannya dalam beribadah kepada Allah Tauhid merupakan konsep akidah
islam yang menyatakan keesaan Allah, dan sumpah ini menuntut adanya kesetian dan
kepercayaan yang mutlak terhadap keesaan-Nya serta menolak untuk mempercayai tuhan-
tuhan selain-Nya.
Dari uraian-uraian tersebut pemakalah berharap agar para pembaca dapat memahami
mengenai konsep ilmu tauhid berikut macam-macamnya, dan jalan atau cara untuk mengenal
Allah serta mendekatkan diri pada-Nya.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian tauhid dan ilmu tauhid?
C. TUJUAN MASALAH
1. Mengetahui pengertian tauhid dan ilmu tauhid.
Artinya: “Katakanlah (Muhammad), “Wahai Ahli Kitab! Marilah (kita) menuju kepada satu
kalimat (pegangan) yang sama antara kami dan kamu bahwa kita tidak menyembah selain
Allah dan kita tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun, dan bahwa kita tidak
menjadikan satu sama lain tuhan-tuhan selain Allah.” Jika mereka berpaling maka katakanlah
(kepada mereka), “Saksikanlah bahwa kami adalah orang muslim.” (QS. ali-Imron/3: 64)
Ayat ini menerangkan bahwa orang yang menjadikan tauhid sebagai agamanya adalah
orang yang berhak menyandang gelar sebagai seorang muslim, bukan orang yang menolaknya
karena menolak tauhid sama saja menolak Islam sebagai agamanya.[2]
Tauhid juga merupakan misi utama dari dakwah para nabi dan rasul yang diutus oleh
Allah.
Mengenai inti dakwah Nabi Nuh a.s., Allah berfirman:
Artinya: “Dan sungguh, Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, (dia berkata). “Sungguh,
aku ini adalah pemberi peringatan yang nyata bagi kamu agar kamu tidak menyembah selain
Allah. Aku benar-benar khawatir kamu akan ditimpa azab (pada) hari yang sangat pedih.”
(QS. Hud/11: 25-26)
Mengenai inti dakwah Nabi Ibrahim a.s., Allah berfirman:
Artinya: “Dan (ingatlah) Ibrahim, ketika dia berkata kepada kaumnya, “Sembahlah Allah dan
bertakwalah kepada-Nya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS.
Al-Ankabut/29; 16)
Dari berbagai ayat diatas jelaslah bahwa tauhid merupakan inti dari risalah Islam dalam
kehidupan manusia. Tidak hanya untuk umat Nabi Muhammad, tetapi juga untuk seluruh umat
manusia.
B. Pembagian Tauhid
Berdasarkan pengkajian tentang dalil-dalil yang menjelaskan tentang keesaan Allah
SWT. Maka para ulama menyimpulkan adanya pembagian tauhid. Secara umum, para ulama
membagi tauhid ke dalam tiga bagian, yaitu tauhid rububiyyah, tauhid uluhiyyah, tauhid al-
asma’ wa as sifat.
1. Tauhid Rububiyyah
Rububiyyah berasal dari perkataan rabb. Kata ini mempunyai beberapa arti seperti
pemimpin, pemilik, penguasa dan pemelihara. Adapun yang dimaksud tauhid
rububiyyah adalah meyakini Allah SWT dalam kejadian-kejadian yang hanya bisa dilakukan
oleh Allah serta menyatakan dengan tegas bahwa Allah adalah Rabb, Raja, dan Pencipta semua
makhluk, dan Allah-lah yang mengatur dan mengubah keadaan mereka.
Allah-lah yang memelihara makhluk-Nya dan memberikan hidup serta mengendalikan
segala urusan. Dia yang memberikan manfaat dan masfadat (kerusakan), menganugerahkan
kemuliaan dan kehinaan.[3]
Artinya : Wahai manusia, Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-
orang yang sebelum kamu, agar kamu bertakwa. (Dialah) yang menjadikan bumi sebagai
hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan dialah yang menurunkan air (hujan) dari
langit, lalu Dia hasilkan dengan (hujan) itu buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Karena itu
janganlah kamu mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah, padahal kamu
mengetahuinya. (Q.S. al-Baqarah : 21-22).
2. Tauhdi Uluhiyyah
Istilah ulihiyyah berasal dari kata ilah yang berarti Tuhan yang patutu di sembah. Yang
dimaksud dengan tauhid uluhiyyah adalah mengesakan Allah dalam penyembahan dan
peribadatan. Segala bentuk penyembahan dan peribadatan, baik yang zahir maupun batin, tidak
boleh ditujukan kepada selain Allah, termasuk berdo’a, cinta, takut dan tawakal. Tauhid
uluhiyyah ditegaskan dalam Al-Qur’an dalam firman Allah :
Artinya : Maka ketahuilah, bahwa tidak ada tuhan (yang pasti disembah) selain Allah dan
mohonlah ampunan atas dosamu dan atas (dosa) orang-orang mukmin laki-laki dan
perempuan. Dan Allah mengetahui tempat usaha dan tempat tinggalmu . (Q.S. Muhammad :
19)
Jadi, seorang yang bertauhid uluhyyah hanya menyerahkan semua ibdahnya kepada Allah
semata, tidak kepada yang lain. Sedangkan orang kafir jahiliah, selain beribadah kepada Allah,
mereka juga memohon, berdo’a dan beristighasah kepada selain Allah. Inilah yang diperangi
Rasululullah SAW karena ajaran para nabi dan Rasul utusan Allah adalah tauhid.
3. Tauhid al-Asma’ wa as-Sifat
Tauhid al-Asma’ wa as-Sifat adalah mengesakan Allah SWT. Dalam penetapan nama dan
sifat Allah, yaitu sesuai dengan yang Dia tetapkan bagi diri-Nya dalam al-Qur’an dan
hadits.[4] Cara bertauhid al-Asma’ wa as-Sifat ialah dengan menetapkan nama dan sifat Allah
sesuai yang Allah tetapkan bagi diri-Nya serta menafikan nama dan sifat yang Allah nafikan
dari diri-Nya, tanpa tahrif, ta’til, takyif dan tasbyih Allah SWT berfirman :
Artinya : Dan Allah memiliki asmaul husna (nama-nama yang terbaik), maka bermohonlah
kepada-Nya dengan menyebut nama asmaul husna tersebut. . . . (Q.S. Al-A’rof : 180)
a. Tahrif adalah memalingkan makna ayat atau hadits tentang nama atau sifat Allah dari
makana zahir menjadi makna yang batil.
Contoh : menafsirkan gadab (murah) dengan iradatul intiqam (keinginan untuk balas
dendam), rahmah (kasih sayang) dengan iradatul in’am (keinginan untuk memberi
nikmat), al-yadu (tangan) dengan an-ni’mah (nikmat), dan kata istiwa’ yang artinya
bersemayam dipalingkan menjadi menguasai.
b. Ta’til adalah mengingkari dan menolak sebagian sifat Allah. Sebagian orang menolak bahwa
Allah berada di atas langit dan berkata bahwa Allah di mana-mana.
c. Takyif adalah menggambarkan hakikat wujud Allah, padahal Allah sama sekali tidak serupa
dengan makhluk-Nya sehigga tidak ada makhluk yang mampu menggambarkan hakikat wujud-
Nya. Misalnya sebagian orang berusaha menggambarkan bentuk tangan Allah atau bentuk
wajah Allah.
d. Tasybih adalah menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya, padahal Allah telah
berfirman :
Artinya : (Dia) pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jjenis kamu sendiri
pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya
kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan
Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat. (Q.S. Asy-Syuro : 11)
Selain pembagian tauhid di atas, ada juga pembagian tauhid lain yang dikemukakan oleh
para ulama, di antarannya pembagian tauhid menjadi empat macam, yaitu:
1. Tauhid Dzat (keesaan dzat) artinya bahwa Dzat Allah itu satu, tidak tersamai dan tidak ada
tandingannya. Semua eksistensi lain adalah makhluk ciptaan-Nya. Semua eksistensi selain
Allah, posisi dan derajat kesempurnaannya jauh di bawah Allah.
2. Tauhid Sifati (keesaan sifat) yaitu sifat-sifat Allah seperti Maha Mendengar, Maha Melihat,
Maha Berkuasa dan yang lainnya bukanlah realitas-realitas yang terpisah dari Zat Allah,
melainkan identik dengan Zat Allah dan merupakan manifestasi dari Zat Allah.
3. Tauhid Af’ali yaitu semua perbuatan termasuk perbuatan manusia, ada dan terjadi karena
kehendak Allah.
4. Tauhid Ibadi (keesaan ibadah) yaitu selain Allah, tidak ada yang berhak dan patut disembah
serta diibadahi. Menyembah atau beribadah kepada selain Allah adalah perbuatan syirik
(menyekutukan Allah) dan di luar batas tauhid Islam.
Tauhid zati dan ibadi merupakan bagian dari aqidah utama umat Islam. Artinya jika
seseorang kurang atau tidak mengimani kedua prinsip ini, ia telah keluar dari Islam. Tidak ada
satu orang muslim pun yang menentang prinsip ini.
Artinya : “Dan pada sisi Allah, kunci-kunci semua yang gaib. Tidak ada yang mengetahuinya
kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang didaratan dan di lautan, dan tiada sebelai
daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun
dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau kering, melainkan tertulis dalam
kitab yang nyata (Laul Mahfudz)” (QS Al-An’am : 59
Dengan muraqabah, manusia menyadari keikutsertaan (ma’iyah) Allah dalam setiap
langkahnya. Dengan pemahaman seperti ini maka segala niat buruk atau aktualisasinya akan
dicegah oleh sistem muraqabah dalam dirinya. Misalnya, kalau mau, siapapun bisa berbohong
kepada sesamanya, namun siapa yang sanggup berbohong kepada Allah dzat yang Maha
Melihat dan Maha Cermat? Tingkatan muraqabah yang paling tinggi ialah al-Ihsan, yang
maknanya dijelaskan oleh Nabi SAW sebagai berikut :“... bahwa engkau menyembah Allah
seakan-akan engkau melihatnya, Kalau engkau tidak melihatnya (ketahuilah) bahwa
sesungguhnya dia melihatmu”
Kalau kesadaran seperti ini telah ada dalam hati, namun dipatahkan oleh diri sendiri maka
menurut Rasulullah SAW manusia seperti ini mengalami degradasi iman yang sangat tajam.
Beliau SAW bersabda. “...dan tidaklah mencuri seseorang, bila saat mencuri ada iman di
hatinya” (HR Bukhari)
Dengan demikian, muraqabah merupakan mekanisme pengendalian diri yang paling efektif
dan sempurna, karena energi positif ini datangnya dari dalam diri, bukan kekuatan luar yang
dipaksakan, atau sistem buatan manusia yang dipasang dengan tekanan. Bahkan bukan sekadar
built in mechanism dalam diri sebagaimana sudah banyak diterapkan di negara-negara maju.
Namun pelaku muraqabah adalah orang yang melakukannya dengan segala rasa cinta (al-
Hubb), harap (ar-Raja’), cemas (al-Khauf) dan rindu (asy-Syauq) dan tentu saja keyakinan
yang mendalam akan pertemuan dengan Tuhannya (al-Iman), serta rasa kasih sayang kepada
setiap makhluq (asy-Syafaqah). Dimensi ukhrawinya jauh lebih dominan dibanding dimensi
duniawi.
Manusia yang bermuraqabah beriman sepenuhnya kepada perkataan Allah:
“Jika kamu melahirkan sesuatu atau menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui segala sesuatu. (QS al-Ahzab: 54)
Dengan bekal keimanan yang kuat maka setiap datang bisikan dari syaitan untuk
bermaksiyat kepada Allah dalam segala bentuknya, maka segera cahaya iman dalam hatinya
akan memberi sinyal peringatan untuk menolak bisikan tersebut. Sebaliknya setiap kali ada
peluang untuk berbuat kebajikan, sinyal hidayah dari hati akan mendorongnya untuk
mengaktualisasikannya. Inilah puncak dari al-ihsan yang telah mengakar dalam kalbu. Bak
kisah pengembala kecil yang menolak menjual kambing gembalaan milik tuannya kepada
Umar bin Khattab, dengan pertanyaan yang mengejutkan Umar: “Dimanakah Allah, Tuan?”
(HR Thabrani).
3. Ma’rifatulláh
Secara teoretis, ma’rifatulláh bisa dicapai dari berbagai bidang studi keilmuan, misalnya
ilmu filsafat, ilmu ushuluddin (teologi), ilmu akhlak, ilmu syara' (fiqh), dan ilmu taṣawwuf.
Jadi, sebenarnya ma’rifatulláh bukan monopoli para ṣūfī. Di kalangan para ṣūfī, ma’rifatulláh
adalah puncak pencapaian żikir kepada Alláh yang memberi pengaruh besar kepada jiwa
seseorang dan tercermin pada ke salehan-kesalehan hidupnya. Orang yang berżikir akan
merasakan nikmatnya żikir sehingga hidupnya tidak lagi mau berpaling dari Alláh atau
membelakangi tuntunan-Nya. Kalau para ahli taṣawwuf mengaku memperoleh ma’rifatulláh
melalui pengetahuan batinnya, maka para ahli filsafat berpendapat bahwa ma’rifatulláh itu
dapat diperoleh dengan pengetahuan akalnya. Para ahli tauhid berpendapat bahwa
ma’rifatulláh itu dapat diperoleh dengan keimanan-ketauhidan yang murni kepada Alláh.
Sedangkan menurut para ahli akhlak, ma’rifatulláh itu dapat dicapai dengan amal shaleh.
Menurut para ahli syara', ma’rifatulláh dapat dicapai dengan menjalankan syariat yang benar.
Bila demikian halnya, ma’rifatulláh yang paling komplit adalah ma’rifatulláh yang dapat
dicapai melalui semua pengetahuan yang ada, baik pengetahuan akal, maupun pengetahuan
batin, kemurnian iman-tauhid, kebaikan akhlak dan melalui syariat yang benar. Sebab orang
yang mengenal Alláh dengan akalnya pasti membuat keyakinannya kepada Alláh amat kokoh
dan bisa dibuktikan secara rasional serta tidak dapat dipatahkan oleh keunggulan ilmu
pengetahuan apa pun di muka bumi ini.
Bila ia kemudian mengenal Allah dengan batinnya, maka bertambah mantap dan kuatlah
pengenalannya karena apa yang selama ini diyakini kebenarannya oleh akalnya dapat dirasakan
kebenarannya oleh batinnya. Hatinya merasakan kenikmatan dan kelezatan yang tak
terlukiskan karena merasa sangat dekat dengan Alláh, bahkan merasakan seakan-akan tidak
ada tabir antara dirinya dengan Alláh. Apalagi bila ma’rifatulláh juga dicapai dengan akhlak,
tauhid dan syariat yang benar. Para ulama taṣawwuf dan kaum ṣūfīyah menempuh beberapa
cara untuk mecapai tingkat tertinggi dalam ṣūfīyah, atau ma’rifatulláh.
Delapan langkah mencapai ma’rifatullah :
1. Kodrat
Secara harfiah, meiliki arti “kuasa” atau “kekuasaan”, sehingga kodratullah dapat
diartikan sebagai kekuasaan Allah. Suatu kekuasaan yang tunggal atau hanya satu-satunya,
suatu kekuasaan yang “mutlak”.[7]
2. Iradat
Secara harfiah iradat memiliki arti “kehendak”, sehingga iradat Allah diartikan sebagai
kehendak Allah. Suatu kehendak yang datang dari Yang Maha Berkehendak atas segala
sesuatu. Tidak ada kehendak yang lain selain kehendak-Nya. Tidak ada kemauan yang lain
selain kemauan-Nya. Tidak ada pelaku yang lain selain pelaku-Nya. Dengan demikian, akal
akan membenarkan bahwa hanya Dia-lah yang berkehendak, hanya Dia-lah yang merencana,
dan hanya Dia pula sebagai pelaksana. Sebagaimana firmannya
Artinya : “Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan)
sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya: "Jadilah!" Lalu jadilah ia”. (QS
Al-Baqarah (2): 117)
3. Ilmu
Ilmu atau pengetahuan merupakan langkah ketiga yang harus dilalui oleh seorang
pencari Tuhan (salik). Manusia dituntut untuk menyadari bahwa ilmu yang ada di dunia ini
adalah ilmu Tuhan, milik Tuhan, dan pengetahuan Tuhsn. Sesungguhnya ilmu Allah meliputi
keseluruhan yang meliputi pada alam raya ini karena semua berada dalam bingkai
pengetahuan-Nya.
4. Hayat
Diartikan sebagai hidup, Maha Hidup. Keyakinan bahwa Allah ada dan hidup, maka
harus menjadi keyakinan utama bagi kaum muslim. Dari sifat Maha Pemurah-Nya, Allah tidak
membiarkan para ciptaan-Nya mati kelaparan. Oleh karena itu, Allah menyiapkan pula sarana
dan prasarana untuk kelanjutan hidup dan kehidupan para ciptaan-Nya tersebut. Artinya, Dia-
lah sumber dari segala kehidupan itu sendiri. Dia-lah yang menyiapkan rezekinya bagi semua
makhluk ciptaan-Nya, baik pada makhluk-Nya yang tampak maupun yang tidak tampak.[8]
5. Sama’
Diartikan sebagai mendengar, suatu sifat wajib bagi Allah. Dia maha mendengar atas
segala sesuatu, bukan saja terbatas pada mendengar yang memang terdengar jelas bagi telinga
manusia, tetapi Dia mendengar pula yang halus yang tidak terdengar oleh manusia, dan yang
ada didalam lubuk hati manusia.
6. Bashar
Diartikan sebagai “melihat”, sehingga “bashar Allah” diartikan sebagai “penglihatan
Allah” atau “pandangan/pandangan Allah”. Dalam arti lebih luas bashar Allah sebagai “Allah
Yang Maha Melihat, Allah Yang Maha Mengetahui, ataupun Allah Yang Maha Menyaksikan”.
7. Kalam
Ilmu kalam adalah ilmu yang membicarakan atau mengandung keterangan tentang
kalam Allah berupa firman-firman-Nya, yang kemudian tersampaikan kepada umat manusia
melalui para utusan-Nya. Melalui kalam inilah kemudian manusia mengenal Tuhannya,
mengenal kitab-Nya, mengenal rasul-Nya, mengenal seluk-beluk ciptaan-Nya, mengenal
kebaikan dan keburukan, mengenal dirinya, dan akhirnya dapat men ghantarkannya mengenal
Tuhannya.Kalam diartikan sebagai “percakapan” atau “pembicaraan”. Dalam arti spesifik,
kalam diartikan pula sebagai “kajian tentang pembicaraan Tuhan”.
8. Syariat
Syariat berasal dari asal kata syara yang diartikan memperkenalkan atau
mengedepankan ataupun menetapkan. Artinya, Allah telah memperkenalkan, mengedepankan,
dan menetapkan aturan main di dunia ini kepada makhluk ciptaan-Nya yang disebut manusia,
melalui firman-Nya dalam Al-Qur’an Al-Karim bacaan yang mulia”.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Tauhid adalah menyendirikan atau mengesakan Allah dalam hal-hal yang merupakan
kekhususan bagi Allah, baik dalam rububuiyyah-Nya, uluhiyyah-Nya, maupun nama-nama
dan sifat-sifat-Nya, serta tidak ada sekutu bagi Allah dalam semua hal tersebut. Sedangkan
Ilmu tauhid adalah ilmu yang membicarakan keesaan Allah dan hal-hal yang terkait dengannya.
Ilmu ini berkaitan dengan pembahasan tentang penetapan akidah yang diambil dari dalil-dalil
yang diyakini, yaitu Al-Qur’an dan hadist serta dalil naqli
Kedudukan tauhid jelaslah bahwa tauhid merupakan inti dari risalah Islam dalam
kehidupan manusia. Tidak hanya untuk umat Nabi Muhammad, tetapi juga untuk seluruh umat
manusia. Tauhid secara umum, para ulama membagi tauhid ke dalam tiga bagian, yaitu
tauhid rububiyyah, tauhid uluhiyyah, tauhid al-asma’ wa as sifat. , ada juga pembagian tauhid
lain yang dikemukakan oleh para ulama yaitu tauhid dzat, tauhid sifat, tauhid ibadi dan tauhid
af’ali.
B. SARAN
Berdasarkan makalah yang kami susun, kami dapat menyarankan kepada para pembaca
agar dapat mengetahui mengenai tauhid secara lebih mendalam. Dan kami pemakalah
menyadari masih banyak kekurangan dalam pembuatan makalah ini, kami terbuka dengan
kritik dan saran yang membangun.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Bin Sulaiman. 1994. Kebenaran Tauhid Wahabi. Surabaya: Al-Ikhlas.
Hammad Abu Muawwiyah. 2006. Jurnal Al-Atsariyah .Vol. 01.
Latifah, Aenul. 2014. Paham Ilmu Kalam. Surakarta: PT Tiga Serangkai Mandiri.
Quthub, Muhammad. 1987. Koreksi Atas Pemahaman Lailaha Illallah. Jakarta Timur: Pustaka Al-
Kautsar.
[1] Nok Aenul Latifah dan Abdul Mutholib. Paham Ilmu Kalam. (Surakarta: PT Tiga Serangkai
Mandiri, 2014) hlm. 43
[2] Ibid, hlm. 44.
[3] Abdul Mutholib, Nok Aenul Latifah. Paham Ilmu Kalam (Surakarta : PT Tiga Serangkai
Pustaka Mandiri, 2014) hlm. 47
[4] Ibid, hlm. 49
[5] Muhammad Qurthub. Koreksi Atas Pemahaman Lailaha Illalloh. (Jakarta Timur : Al-Kautsar, 1987) hlm. 26