Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH TAUHID DAN ILMU TAUHID

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah tauhid ilmu kalam yang di ampu oleh
bapak KH;Mukromin,Alh,M.Ag

Di susun oleh:

1. Reza Akmal Fawwazi (2021010175)


2. Ahmad Misyarul Bahtiar (2021010190)
3. Muchamad Iqbal Hanafi (2021010194)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS SAINS AL-QUR’AN
WONOSOBO
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta
hidayahnya sehingga mampu menyelesaikan makalah pada mata kuliah Ilmu Kalam
mengenai “Tauhid”.

Kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu kami
dalam menyelesaikan makalah ini. Harapan kami semoga makalah ini dapat menambah
pengetahuan bagi para pembaca, untuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk maupun
menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin masih


banyak kekurangan dalam makalah ini, oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan
kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I: PEMBUKAAN

A. LATAR BELAKANG

B. RUMUSAN MASALAH

C. TUJUAN MASALAH

BAB II: PEMBAHASAN

A. Pengertian Tauhid dan Ilmu Tauhid

B. Pembagian Tauhid

C. Makna Laailaaha illalloh, Ma’rifutllah dan Muraqabah

BAB III: PENUTUP

A. KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I

PEMBUKAAN

A. LATAR BELAKANG

Tauhid merupakan permasalahan yang penting di dalam agama. Ia merupakan syarat utama
untuk menjadikan dirinya muslim. Seorang muslim haruslah memahami konsep tauhid ini
untuk menjalankan memahami tujuan penciptaannya. Apabila pemahaman konsep tauhid ini
kuat, maka akan kuat pula pilar-pilar keislamannya untuk mengimplementasikan kewajiban-
kewajibannya dalam beribadah kepada Allah Tauhid merupakan konsep akidah islam yang
menyatakan keesaan Allah, dan sumpah ini menuntut adanya kesetian dan kepercayaan yang
mutlak terhadap keesaan-Nya serta menolak untuk mempercayai tuhan-tuhan selain-Nya.

Dari uraian-uraian tersebut pemakalah berharap agar para pembaca dapat memahami
mengenai konsep ilmu tauhid berikut macam-macamnya, dan jalan atau cara untuk mengenal
Allah serta mendekatkan diri pada-Nya.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa pengertian tauhid dan ilmu tauhid?

2. Apa macam-macam tauhid?

3. Apa makna dari lafadz Laailaaha illalloh, Ma’rifatulloh dan Muqarabah?

C. TUJUAN MASALAH

1. Mengetahui pengertian tauhid dan ilmu tauhid.

2. Mengetahui macam-macam tauhid.

3. Mengetahui makna dari lafadz Laailaaha illalloh, Ma’rifatulloh dan Muqarabah.

4
PEMBAHASAN

A. Pengertian Tauhid dan Ilmu Tauhid

1. Pengertian Tauhid

Kata “tauhid” di dalam bahasa Arab berasal dari kata wahhada-yuwahhidu-tauhidan, yang
artinya menjadikan (sesuatu) satu-satunya. Kata tersebut berasal dari kata wahidun yang
berarti satu atau tunggal. Adapun menurut istilah adalah menyendirikan atau mengesakan
Allah dalam beribadah. Adapun pengertian secara lebih luas lagi adalah menyendirikan atau
mengesakan Allah dalam hal-hal yang merupakan kekhususan bagi Allah, baik dalam
rububuiyyah-Nya, uluhiyyah-Nya, maupun nama-nama dan sifat-sifat-Nya, serta tidak ada
sekutu bagi Allah dalam semua hal tersebut.

Istilah tauhid sendiri tidak disebutkan secara eksplisit di dalam Al-Qur’an dan hadis, tetapi
dari ayat-yat Al-Qur’an dan hadis Nabi menyerukan pada pengakuan keesaan Allah maka
muncullah istilah tauhid ini. Tidak diketaui pula siapa yang mempopulerkan istilah ini. Imam
bukhari dalam kitab sahihnya mencantumkan salah satu bab berjudul ‘kitab at-Tauhid’. Hal
ini berarti kata tauhid telah dikenal sebelum atau pada masa Imam Bukhari (194 - 256 H).

2. Pengertian Ilmu tauhid

Ilmu tauhid adalah ilmu yang membicarakan keesaan Allah dan hal-hal yang terkait
dengannya. Ilmu ini berkaitan dengan pembahasan tentang penetapan akidah yang diambil
dari dalil-dalil yang diyakini, yaitu Al-Qur’an dan hadist serta dalil naqli. Para ulama
memiliki istilah yang beragam tentang ilmu ini berikut adalah beberapa nama yang digunakan
oleh para ulama untuk menyebut ilmu tauhid.

a. Ilmu Aqa’id. Dinamakan Aqa’id karena ilmu ini membicarakan tentang akidah atau
kepercayaan.

b. Ilmu Kalam. Disebut demikian karena persoalan akidah yang dulu sering dipersilisihkan
oleh para ulama adalah masalah kalamullah, apakah ia bersifat qodhim atau baru.

c. Ilmu sifat. Disebut demikian karena ilmu ini mempelajari sifat-sifat Allah yang wajib
diketahui oleh setiap muslim.

5
d. Ilmu Ushuluddin. Dinamakan demikian karena ia membicarakan persoalan-persoalan
pokok (usul) dalam agama, yaitu soal keimanan.

e. Ilmu ma’rifat. Disebut demikian karena ilmu ini berkaitan dengan Allah dan rasul-Nya.

f. Fikih Akbar. Imam Abu Hanifah menamai pembahasan tentang akidah dengan sebutan
fikih akbar. Abu Hanifah menamai istilah tersebut karena pada masanya semua kegiatan
intelektual agama disebut dengan fikih.

3. Kedudukan Tauhid.

Prinsip tauhid tidak bisa dipisahkan dari ajaran islam karena tauhid adalah inti ajaran islam,
bahkan islam sendiri. Allah Swt. berfirman:

“Katakanlah (Muhammad), “Wahai Ahli Kitab! Marilah (kita) menuju kepada satu kalimat
(pegangan) yang sama antara kami dan kamu bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan
kita tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun, dan bahwa kita tidak menjadikan satu
sama lain tuhan-tuhan selain Allah.” Jika mereka berpaling maka katakanlah (kepada
mereka), “Saksikanlah bahwa kami adalah orang muslim.” (QS. ali-Imron/3: 64)

Ayat ini menerangkan bahwa orang yang menjadikan tauhid sebagai agamanya adalah orang
yang berhak menyandang gelar sebagai seorang muslim, bukan orang yang menolaknya
karena menolak tauhid sama saja menolak Islam sebagai agamanya.[2]

Tauhid juga merupakan misi utama dari dakwah para nabi dan rasul yang diutus oleh Allah.

Mengenai inti dakwah Nabi Nuh a.s., Allah berfirman:

“Dan sungguh, Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, (dia berkata). “Sungguh, aku ini
adalah pemberi peringatan yang nyata bagi kamu agar kamu tidak menyembah selain Allah.
Aku benar-benar khawatir kamu akan ditimpa azab (pada) hari yang sangat pedih.” (QS.
Hud/11: 25-26)

Mengenai inti dakwah Nabi Ibrahim a.s., Allah berfirman:

“Dan (ingatlah) Ibrahim, ketika dia berkata kepada kaumnya, “Sembahlah Allah dan
bertakwalah kepada-Nya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS.
Al-Ankabut/29; 16)

6
Dari berbagai ayat diatas jelaslah bahwa tauhid merupakan inti dari risalah Islam dalam
kehidupan manusia. Tidak hanya untuk umat Nabi Muhammad, tetapi juga untuk seluruh
umat manusia.

B. Pembagian Tauhid

Berdasarkan pengkajian tentang dalil-dalil yang menjelaskan tentang keesaan


Allah SWT. Maka para ulama menyimpulkan adanya pembagian tauhid. Secara umum, para
ulama membagi tauhid ke dalam tiga bagian, yaitu tauhid rububiyyah, tauhid uluhiyyah,
tauhid al-asma’ wa as sifat.

1. Tauhid Rububiyyah

Rububiyyah berasal dari perkataan rabb. Kata ini mempunyai beberapa arti seperti pemimpin,
pemilik, penguasa dan pemelihara. Adapun yang dimaksud tauhid rububiyyah adalah
meyakini Allah SWT dalam kejadian-kejadian yang hanya bisa dilakukan oleh Allah serta
menyatakan dengan tegas bahwa Allah adalah Rabb, Raja, dan Pencipta semua makhluk, dan
Allah-lah yang mengatur dan mengubah keadaan mereka.

Allah-lah yang memelihara makhluk-Nya dan memberikan hidup serta mengendalikan segala
urusan. Dia yang memberikan manfaat dan masfadat (kerusakan), menganugerahkan
kemuliaan dan kehinaan.

Wahai manusia, Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang
sebelum kamu, agar kamu bertakwa. (Dialah) yang menjadikan bumi sebagai hamparan
bagimu dan langit sebagai atap, dan dialah yang menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia
hasilkan dengan (hujan) itu buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Karena itu janganlah kamu
mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah, padahal kamu mengetahuinya. (Q.S. al-
Baqarah : 21-22).

2. Tauhdi Uluhiyyah

Istilah ulihiyyah berasal dari kata ilah yang berarti Tuhan yang patutu di sembah. Yang
dimaksud dengan tauhid uluhiyyah adalah mengesakan Allah dalam penyembahan dan
peribadatan. Segala bentuk penyembahan dan peribadatan, baik yang zahir maupun batin,
tidak boleh ditujukan kepada selain Allah, termasuk berdo’a, cinta, takut dan tawakal. Tauhid
uluhiyyah ditegaskan dalam Al-Qur’an dalam firman Allah :

7
Maka ketahuilah, bahwa tidak ada tuhan (yang pasti disembah) selain Allah dan mohonlah
ampunan atas dosamu dan atas (dosa) orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan. Dan
Allah mengetahui tempat usaha dan tempat tinggalmu . (Q.S. Muhammad : 19)

Jadi, seorang yang bertauhid uluhyyah hanya menyerahkan semua ibdahnya kepada Allah
semata, tidak kepada yang lain. Sedangkan orang kafir jahiliah, selain beribadah kepada
Allah, mereka juga memohon, berdo’a dan beristighasah kepada selain Allah. Inilah yang
diperangi Rasululullah SAW karena ajaran para nabi dan Rasul utusan Allah adalah tauhid.

3. Tauhid al-Asma’ wa as-Sifat

Tauhid al-Asma’ wa as-Sifat adalah mengesakan Allah SWT. Dalam penetapan nama dan
sifat Allah, yaitu sesuai dengan yang Dia tetapkan bagi diri-Nya dalam al-Qur’an dan hadits.
[4] Cara bertauhid al-Asma’ wa as-Sifat ialah dengan menetapkan nama dan sifat Allah
sesuai yang Allah tetapkan bagi diri-Nya serta menafikan nama dan sifat yang Allah nafikan
dari diri-Nya, tanpa tahrif, ta’til, takyif dan tasbyih Allah SWT berfirman :

Dan Allah memiliki asmaul husna (nama-nama yang terbaik), maka bermohonlah kepada-
Nya dengan menyebut nama asmaul husna tersebut. . . . (Q.S. Al-A’rof : 180)

a. Tahrif adalah memalingkan makna ayat atau hadits tentang nama atau sifat Allah dari
makana zahir menjadi makna yang batil.

Contoh : menafsirkan gadab (murah) dengan iradatul intiqam (keinginan untuk balas
dendam), rahmah (kasih sayang) dengan iradatul in’am (keinginan untuk memberi nikmat),
al-yadu (tangan) dengan an-ni’mah (nikmat), dan kata istiwa’ yang artinya bersemayam
dipalingkan menjadi menguasai.

b. Ta’til adalah mengingkari dan menolak sebagian sifat Allah. Sebagian orang menolak
bahwa Allah berada di atas langit dan berkata bahwa Allah di mana-mana.

c. Takyif adalah menggambarkan hakikat wujud Allah, padahal Allah sama sekali tidak
serupa dengan makhluk-Nya sehigga tidak ada makhluk yang mampu menggambarkan
hakikat wujud-Nya. Misalnya sebagian orang berusaha menggambarkan bentuk tangan Allah
atau bentuk wajah Allah.

d. Tasybih adalah menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya, padahal


Allah telah berfirman :

8
(Dia) pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jjenis kamu sendiri
pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya
kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan
Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat. (Q.S. Asy-Syuro : 11)

Selain pembagian tauhid di atas, ada juga pembagian tauhid lain yang dikemukakan oleh para
ulama, di antarannya pembagian tauhid menjadi empat macam, yaitu:

1. Tauhid Dzat (keesaan dzat) artinya bahwa Dzat Allah itu satu, tidak tersamai dan tidak
ada tandingannya. Semua eksistensi lain adalah makhluk ciptaan-Nya. Semua eksistensi
selain Allah, posisi dan derajat kesempurnaannya jauh di bawah Allah.

2. Tauhid Sifati (keesaan sifat) yaitu sifat-sifat Allah seperti Maha Mendengar, Maha
Melihat, Maha Berkuasa dan yang lainnya bukanlah realitas-realitas yang terpisah dari Zat
Allah, melainkan identik dengan Zat Allah dan merupakan manifestasi dari Zat Allah.

3. Tauhid Af’ali yaitu semua perbuatan termasuk perbuatan manusia, ada dan terjadi
karena kehendak Allah.

4. Tauhid Ibadi (keesaan ibadah) yaitu selain Allah, tidak ada yang berhak dan patut
disembah serta diibadahi. Menyembah atau beribadah kepada selain Allah adalah perbuatan
syirik (menyekutukan Allah) dan di luar batas tauhid Islam.

Tauhid zati dan ibadi merupakan bagian dari aqidah utama umat Islam. Artinya jika
seseorang kurang atau tidak mengimani kedua prinsip ini, ia telah keluar dari Islam. Tidak
ada satu orang muslim pun yang menentang prinsip ini.

Ma’rifutllah dan Muraqabah

1. Laailaaha illalloh

Laailaaha illalloh merupakan dakwah semua rasul AS dari Adam, Nuh sampai
Muhammad SAW. Sikap orang-orang jahiliyah dalam mengantisipasinya juga sama yaitu
tidak berubah, tetap menolak, menghalang-halangi, berpaling dan menyingkir.

Mengetahui makna kalimat yang mulia ini merupakan salah satu prinsip yang sangat
mendasar pada ‘aqidah seorang muslim. Karena jika seseorang mengucapkan kalimat tauhid
ini maka dia tidak akan bisa melaksanakan konsekuensinya sebelum mengetahui apa
maknanya serta dia tidak akan mendapat berbagai keutamaan kalimat yang mulia ini.

9
Keutamaan kalimat laailaaha illalloh adalah “Barang siapa yang meninggal dalam
keadaan mengetahui bahwa sesungguhnya tiada sembahan yang berhak disembah kecuali
Allah maka akan masuk Surga” (HSR. Bukhari)

a. Makna kalimat tauhid laailaaha illalloh

Laailaaha illalloh adalah kalimat yang terdiri dari 4 kata, yaitu : laa, ilaha, illa, Allah.
Adapun secara bahasa bisa kita uraikan secara ringkas sebagai berikut:

1. Laa adalah nafiyah lil jins (Meniadakan keberadaan semua jenis kata benda yang datang
setelahnya). Misalnya perkataan orang Arab “Laa rojula fid dari” (Tidak ada laki-laki dalam
rumah) yaitu menafikan (meniadakan) semua jenis laki-laki di dalam rumah. Sehingga laa
dalam kalimat tauhid ini bermakna penafian semua jenis penyembahan dan peribadahan yang
haq dari siapapun juga kecuali kepada Allah ‘Azza wa Jalla.

2. bermakna ma`luh yang artinya adalah ma’bud (yang diibadahi). Karena Ilaah adalah
mashdar (kata dasar) yang bermakna maf’ul (obyek) sehingga aliha maknanya adalah ‘abada
sehingga makna ma’luh adalah ma’bud. Hal ini sebagaimana dalam bacaan Ibnu ‘Abbas
radhiallahu ‘anhuma terhadap ayat 127 pada surah Al-A’raf: “Berkatalah pembesar-
pembesar dari kaum Fir’aun (kepada Fir’aun): “Apakah kamu membiarkan Musa dan
kaumnya untuk membuat kerusakan di negeri ini (Mesir) dan meninggalkan kamu serta
ilahatahmu (peribadatan kepadamu)?”.Ilahataka (ilahatahmu) yaitu peribadatan kepadamu,
karena Fir’aun itu disembah dan tidak menyembah. Hal ini menunjukkan bahwa Ibnu ‘Abbas
memahami bahwa kata Ilahah artinya adalah Ibadah

3. Illa (kecuali). Pengecualian di sini adalah mengeluarkan kata yang terletak setelah illa
dari hukum kata yang telah dinafikan oleh laa. Misalnya dalam contoh di atas laa rajula fid
dari illa Muhammad, yaitu Muhammad (sebagai kata setelah illa) dikeluarkan (dikecualikan)
dari hukum sebelum illa yaitu peniadaan semua jenis laki-laki di dalam rumah, sehingga
maknanya adalah tidak ada satupun jenis lakilaki di dalam rumah kecuali Muhammad. Jika
diterapkan dalam kalimat tauhid ini makna maknanya adalah bahwa hanya Allah yang
diperkecualikan dari seluruh jenis ilah yang telah dinafikan oleh kata laa sebelumnya..

4. Lafadz “Allah” asal katanya adalah Al-Ilah dibuang hamzahnya untuk mempermudah
membacanya, lalu lam yang pertama diidhgamkan (digabungkan) pada lam yang kedua maka
menjadilah satu lam yang ditasydid dan lam yang kedua diucapkan tebal sebagaimana
pendapat Imam Al-Kisa`i dan Imam AlFarra` dan juga pendapat Imam As-Sibawaih. Adapun

10
maknanya, berkata Al-Imam Ibnu Qoyyim dalam Madarij As-Salikin Nama “Allah”
menunjukkan bahwa Dialah yang merupakan ma’luh (yang disembah) ma’bud (yang
diibadahi). Seluruh makhluk beribadah kepadanya dengan penuh kecintaan, pengagungan dan
ketundukan”.

2. Muraqabah

Muraqabah berarti adanya keyakinan seseorang yang kuat akan adanya pantauan Allah SWT
terhadap segala gerak-geriknya. Kesadaran itu lahir dari keimanannya bahwa Allah SWT
dengan sifat’ilmu, bashar dan sama’ (mengetahui, melihat, dan mendengar)-Nya mengetahui
apa saja yang dia lakukan kapan dan dimana saja. Dia mengetahui apa yang dia pikirkan dan
rasakan. Tidak ada satupun yang luput dari pengawasan-Nya.

Allah SWT berfirman:

“Dan pada sisi Allah, kunci-kunci semua yang gaib. Tidak ada yang mengetahuinya kecuali
Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang didaratan dan di lautan, dan tiada sebelai daun pun
yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam
kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau kering, melainkan tertulis dalam kitab
yang nyata (Laul Mahfudz)” (QS Al-An’am : 59

Dengan muraqabah, manusia menyadari keikutsertaan (ma’iyah) Allah dalam setiap


langkahnya. Dengan pemahaman seperti ini maka segala niat buruk atau aktualisasinya akan
dicegah oleh sistem muraqabah dalam dirinya. Misalnya, kalau mau, siapapun bisa
berbohong kepada sesamanya, namun siapa yang sanggup berbohong kepada Allah dzat yang
Maha Melihat dan Maha Cermat? Tingkatan muraqabah yang paling tinggi ialah al-Ihsan,
yang maknanya dijelaskan oleh Nabi SAW sebagai berikut :“... bahwa engkau menyembah
Allah seakan-akan engkau melihatnya, Kalau engkau tidak melihatnya (ketahuilah) bahwa
sesungguhnya dia melihatmu”

Kalau kesadaran seperti ini telah ada dalam hati, namun dipatahkan oleh diri sendiri maka
menurut Rasulullah SAW manusia seperti ini mengalami degradasi iman yang sangat tajam.
Beliau SAW bersabda. “...dan tidaklah mencuri seseorang, bila saat mencuri ada iman di
hatinya” (HR Bukhari)

Dengan demikian, muraqabah merupakan mekanisme pengendalian diri yang paling efektif
dan sempurna, karena energi positif ini datangnya dari dalam diri, bukan kekuatan luar yang

11
dipaksakan, atau sistem buatan manusia yang dipasang dengan tekanan. Bahkan bukan
sekadar built in mechanism dalam diri sebagaimana sudah banyak diterapkan di negara-
negara maju. Namun pelaku muraqabah adalah orang yang melakukannya dengan segala rasa
cinta (al-Hubb), harap (ar-Raja’), cemas (al-Khauf) dan rindu (asy-Syauq) dan tentu saja
keyakinan yang mendalam akan pertemuan dengan Tuhannya (al-Iman), serta rasa kasih
sayang kepada setiap makhluq (asy-Syafaqah). Dimensi ukhrawinya jauh lebih dominan
dibanding dimensi duniawi.

Manusia yang bermuraqabah beriman sepenuhnya kepada perkataan Allah:

“Jika kamu melahirkan sesuatu atau menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui segala sesuatu. (QS al-Ahzab: 54)

Dengan bekal keimanan yang kuat maka setiap datang bisikan dari syaitan untuk bermaksiyat
kepada Allah dalam segala bentuknya, maka segera cahaya iman dalam hatinya akan
memberi sinyal peringatan untuk menolak bisikan tersebut. Sebaliknya setiap kali ada
peluang untuk berbuat kebajikan, sinyal hidayah dari hati akan mendorongnya untuk
mengaktualisasikannya. Inilah puncak dari al-ihsan yang telah mengakar dalam kalbu. Bak
kisah pengembala kecil yang menolak menjual kambing gembalaan milik tuannya kepada
Umar bin Khattab, dengan pertanyaan yang mengejutkan Umar: “Dimanakah Allah, Tuan?”
(HR Thabrani).

3. Ma’rifatulláh

Secara teoretis, ma’rifatulláh bisa dicapai dari berbagai bidang studi keilmuan, misalnya ilmu
filsafat, ilmu ushuluddin (teologi), ilmu akhlak, ilmu syara' (fiqh), dan ilmu taṣawwuf. Jadi,
sebenarnya ma’rifatulláh bukan monopoli para ṣūfī. Di kalangan para ṣūfī, ma’rifatulláh
adalah puncak pencapaian żikir kepada Alláh yang memberi pengaruh besar kepada jiwa
seseorang dan tercermin pada ke salehan-kesalehan hidupnya. Orang yang berżikir akan
merasakan nikmatnya żikir sehingga hidupnya tidak lagi mau berpaling dari Alláh atau
membelakangi tuntunan-Nya. Kalau para ahli taṣawwuf mengaku memperoleh ma’rifatulláh
melalui pengetahuan batinnya, maka para ahli filsafat berpendapat bahwa ma’rifatulláh itu
dapat diperoleh dengan pengetahuan akalnya. Para ahli tauhid berpendapat bahwa
ma’rifatulláh itu dapat diperoleh dengan keimanan-ketauhidan yang murni kepada Alláh.

Sedangkan menurut para ahli akhlak, ma’rifatulláh itu dapat dicapai dengan amal shaleh.
Menurut para ahli syara', ma’rifatulláh dapat dicapai dengan menjalankan syariat yang benar.

12
Bila demikian halnya, ma’rifatulláh yang paling komplit adalah ma’rifatulláh yang dapat
dicapai melalui semua pengetahuan yang ada, baik pengetahuan akal, maupun pengetahuan
batin, kemurnian iman-tauhid, kebaikan akhlak dan melalui syariat yang benar. Sebab orang
yang mengenal Alláh dengan akalnya pasti membuat keyakinannya kepada Alláh amat kokoh
dan bisa dibuktikan secara rasional serta tidak dapat dipatahkan oleh keunggulan ilmu
pengetahuan apa pun di muka bumi ini.

Bila ia kemudian mengenal Allah dengan batinnya, maka bertambah mantap dan kuatlah
pengenalannya karena apa yang selama ini diyakini kebenarannya oleh akalnya dapat
dirasakan kebenarannya oleh batinnya. Hatinya merasakan kenikmatan dan kelezatan yang
tak terlukiskan karena merasa sangat dekat dengan Alláh, bahkan merasakan seakan-akan
tidak ada tabir antara dirinya dengan Alláh. Apalagi bila ma’rifatulláh juga dicapai dengan
akhlak, tauhid dan syariat yang benar. Para ulama taṣawwuf dan kaum ṣūfīyah menempuh
beberapa cara untuk mecapai tingkat tertinggi dalam ṣūfīyah, atau ma’rifatulláh.

Delapan langkah mencapai ma’rifatullah :

1. Kodrat

Secara harfiah, meiliki arti “kuasa” atau “kekuasaan”, sehingga kodratullah dapat diartikan
sebagai kekuasaan Allah. Suatu kekuasaan yang tunggal atau hanya satu-satunya, suatu
kekuasaan yang “mutlak”

2. Iradat

Secara harfiah iradat memiliki arti “kehendak”, sehingga iradat Allah diartikan sebagai
kehendak Allah. Suatu kehendak yang datang dari Yang Maha Berkehendak atas segala
sesuatu. Tidak ada kehendak yang lain selain kehendak-Nya. Tidak ada kemauan yang lain
selain kemauan-Nya. Tidak ada pelaku yang lain selain pelaku-Nya. Dengan demikian, akal
akan membenarkan bahwa hanya Dia-lah yang berkehendak, hanya Dia-lah yang merencana,
dan hanya Dia pula sebagai pelaksana. Sebagaimana firmannya

“Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu,
maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya: "Jadilah!" Lalu jadilah ia”. (QS Al-
Baqarah (2): 117)

13
3. Ilmu

Ilmu atau pengetahuan merupakan langkah ketiga yang harus dilalui oleh seorang pencari
Tuhan (salik). Manusia dituntut untuk menyadari bahwa ilmu yang ada di dunia ini adalah
ilmu Tuhan, milik Tuhan, dan pengetahuan Tuhsn. Sesungguhnya ilmu Allah meliputi
keseluruhan yang meliputi pada alam raya ini karena semua berada dalam bingkai
pengetahuan-Nya.

4. Hayat

Diartikan sebagai hidup, Maha Hidup. Keyakinan bahwa Allah ada dan hidup, maka harus
menjadi keyakinan utama bagi kaum muslim. Dari sifat Maha Pemurah-Nya, Allah tidak
membiarkan para ciptaan-Nya mati kelaparan. Oleh karena itu, Allah menyiapkan pula sarana
dan prasarana untuk kelanjutan hidup dan kehidupan para ciptaan-Nya tersebut. Artinya, Dia-
lah sumber dari segala kehidupan itu sendiri. Dia-lah yang menyiapkan rezekinya bagi semua
makhluk ciptaan-Nya, baik pada makhluk-Nya yang tampak maupun yang tidak tampak.

5. Sama’

Diartikan sebagai mendengar, suatu sifat wajib bagi Allah. Dia maha mendengar atas segala
sesuatu, bukan saja terbatas pada mendengar yang memang terdengar jelas bagi telinga
manusia, tetapi Dia mendengar pula yang halus yang tidak terdengar oleh manusia, dan yang
ada didalam lubuk hati manusia.

6. Bashar

Diartikan sebagai “melihat”, sehingga “bashar Allah” diartikan sebagai “penglihatan Allah”
atau “pandangan/pandangan Allah”. Dalam arti lebih luas bashar Allah sebagai “Allah Yang
Maha Melihat, Allah Yang Maha Mengetahui, ataupun Allah Yang Maha Menyaksikan”.

7. Kalam

Ilmu kalam adalah ilmu yang membicarakan atau mengandung keterangan tentang kalam
Allah berupa firman-firman-Nya, yang kemudian tersampaikan kepada umat manusia melalui
para utusan-Nya. Melalui kalam inilah kemudian manusia mengenal Tuhannya, mengenal
kitab-Nya, mengenal rasul-Nya, mengenal seluk-beluk ciptaan-Nya, mengenal kebaikan dan
keburukan, mengenal dirinya, dan akhirnya dapat men ghantarkannya mengenal

14
Tuhannya.Kalam diartikan sebagai “percakapan” atau “pembicaraan”. Dalam arti spesifik,
kalam diartikan pula sebagai “kajian tentang pembicaraan Tuhan”.

8. Syariat

Syariat berasal dari asal kata syara yang diartikan memperkenalkan atau mengedepankan
ataupun menetapkan. Artinya, Allah telah memperkenalkan, mengedepankan, dan
menetapkan aturan main di dunia ini kepada makhluk ciptaan-Nya yang disebut manusia,
melalui firman-Nya dalam Al-Qur’an Al-Karim bacaan yang mulia”.

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Tauhid adalah menyendirikan atau mengesakan Allah dalam hal-hal yang merupakan
kekhususan bagi Allah, baik dalam rububuiyyah-Nya, uluhiyyah-Nya, maupun nama-nama
dan sifat-sifat-Nya, serta tidak ada sekutu bagi Allah dalam semua hal tersebut. Sedangkan
Ilmu tauhid adalah ilmu yang membicarakan keesaan Allah dan hal-hal yang terkait
dengannya. Ilmu ini berkaitan dengan pembahasan tentang penetapan akidah yang diambil
dari dalil-dalil yang diyakini, yaitu Al-Qur’an dan hadist serta dalil naqli

Kedudukan tauhid jelaslah bahwa tauhid merupakan inti dari risalah Islam dalam kehidupan
manusia. Tidak hanya untuk umat Nabi Muhammad, tetapi juga untuk seluruh umat manusia.
Tauhid secara umum, para ulama membagi tauhid ke dalam tiga bagian, yaitu tauhid
rububiyyah, tauhid uluhiyyah, tauhid al-asma’ wa as sifat. , ada juga pembagian tauhid lain
yang dikemukakan oleh para ulama yaitu tauhid dzat, tauhid sifat, tauhid ibadi dan tauhid
af’ali.

B. SARAN

Berdasarkan makalah yang kami susun, kami dapat menyarankan kepada para pembaca agar
dapat mengetahui mengenai tauhid secara lebih mendalam. Dan kami pemakalah menyadari
masih banyak kekurangan dalam pembuatan makalah ini, kami terbuka dengan kritik dan
saran yang membangun.

15
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Bin Sulaiman. 1994. Kebenaran Tauhid Wahabi. Surabaya: Al-Ikhlas.

Hammad Abu Muawwiyah. 2006. Jurnal Al-Atsariyah .Vol. 01.

Latifah, Aenul. 2014. Paham Ilmu Kalam. Surakarta: PT Tiga Serangkai Mandiri.

Quthub, Muhammad. 1987. Koreksi Atas Pemahaman Lailaha Illallah. Jakarta Timur:
Pustaka Al-Kautsar.

16

Anda mungkin juga menyukai