Anda di halaman 1dari 55

ARTIKEL TEMA KEISLAMAN:

1. TAUHID: KEISTIMEWAAN DAN KEBENARAN KONSEP KETUHANAN


DALAM ISLAM
2. SAINS&TEKNOLOGI DALAM AL-QUR’AN DAN AL-HADITS
3. 3 GENERASI TERBAIK MENURUT AL-HADITS
4. PENGERTIAN DAN JEJAK SALAFUSSOLEH (REFERENSI AL-HADITS)
5. AJARAN DAN TUNTUNAN TENTANG BERBAGI, KEADILAN SERTA
PENEGAKAN HUKUM DALAM ISLAM.

Disusun sebagai tugas terstruktur Mata Kuliah: Pendidikan Agama Islam

Dosen Pengampuh:

Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos

Disusun Oleh:

Nama : Riska Sukma Wardani


NIM : G1C020046
Fakultas&Prodi : FMIPA/KIMIA
Semester :1

PROGRAM STUDI KIMIA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS MATARAM
T.A. 2020/2021
Catatan:
Tema di atas bukan untuk dipilih salah satunya, dari nomor 1 s.d 5 harus dimuat di
dalam 1 artikel besar dengan BAB-BAB tersendiri.

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah penulis haturkan kepada ALLAH SWT atas selesainya tugas
ini guna memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam.

Sholawat dan Salam semoga ALLAH limpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW
yang telah memberikan pedoman kepada kita jalan yang sebenar-benarnya jalan
berupa ajaran agama islam yang begitu sempurna dan menjadi rahmat bagi alam
semesta.

Terima kasih saya sampaikan atas bimbingan Bapak Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I.,
M.Sos sebagai dosen pengampuh mata Kuliah Pendidkan Agama Islam yang telah
membimbing saya di dalam kelas dan penyusunan artikel ini. Tanpa adanya bimbingan
dari beliau, saya kiranya tidak akan mampu menyelesaikan artikel ini dengan baik.

Besar harapan saya tugas ini akan memberi manfaat semoga artikel ini bisa
memberikan manfaat kepada semua pihak. Dan mohon kritik serta sarannya terhadap
makalah ini dalam rangka perbaikan artikel - artikel yang akan datang.

Penyusun, Mataram 24 Oktober 2020

Nama : Riska Sukma Wardani


NIM : G1C020046

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN COVER......................................................................................... i
KATA PENGANTAR...........................................................................................ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................iii
BAB I. Tauhid: Keistimewaan&Kebenaran Konsep Ketuhanan dalam Islam……1
BAB II. Sains dan Teknologi dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits............................11
BAB III. 3 Generasi Terbaik Menurut Al-Hadits.................................................22
BAB IV. Pengertian dan Jejak Salafussoleh (Referesnsi Al-Hadits)..................28
BAB V. Ajaran dan Tuntunan tentang Berbagi, Penegakan serta Keadilan
Hukum dalam Islam............................................................................34
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................51

a. Form untuk diisi judul, maka ketik judul: Tauhid, Al-Qur'an&Hadits, Generasi
Terbaik dan Salafussalih, Berbagi, Keadilan dan Penegakan Hukum dalam
Islam, Dosen: Dr.Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos.
b. Form untuk diisi Diskripsi Dokumen/Informasi Dokumen maka ketik: Islam, Dr.
Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos, Universitas Mataram, Nama Fakultas, Nama
Prodi, Nama Kalian Sendiri.

iii
BAB I

TAUHID: KEISTIMEWAAN DAN KEBENARAN KONSEP KETUHANAN MENURUT


ISLAM

A. Pentingnya iman kepada Allah SWT


Bentuk keimanan seseorang muslim tidak hanya sebatas kepada Allah.
Namun, perlu dipahami bahwa wujud keimanan lain sifatnya turunan bukan
merupakan yang utama. Bentuk keimanan tersebut sesuai urutannya atau yang
sering dikenal dengan rukun iman, yakni:
a) Iman kepada Allah SWT
b) Iman kepada malaikat
c) Iman kepada kitab – kitab
d) Iman kepada rasul
e) Iman kepada hari kiamat
f) Iman kepada qadha dan qadar.

Agama terdiri dari serangkaian perintah Tuhan tentang perbuatan dan akhlak,
yang dibawa oleh para rasul untuk menjadi pedoman.

Mengimani hal ini dan melaksanakan ajaran – ajaran tersebut akan membawa
kepada keberuntungan dan kebahagian hidup manusia di dunia dan di akhirat. Kita
mengetahui bahwa orang yang beruntung adalah orng yang mempunyai tujuan yang
baik dalam hidupnya, yang tidak tersesat kejalan yang keliru, yang memiliki akhlak
yang baik dan terpuji, dan mengerjakan perbuatan yang baik. Meskipun hidup ditengah
hirup-piuknya dunia, orang sepeti ini hatinya akan selalu tenang, kuat, dan penuh
kepastian.

Secara sederhana iman berarti keyakinan atau kepercayaan yang berarti


kepercayaan tentang adanya Allah SWT sekaligus membenarkan apa saja yang
datang dari Allah SWT dengan cara meyakini dalam hati, menyatakan dengan lisan,
dan membuktikan dengan amal nyata. Dengan demikian iman itu bukan sekedar
pengertian dan keyakinan dalam hati, bukan sekedar ikrar dengan lisan dan bukan
sekedar amal perbuatan saja tapi hati dan jiwa kosong.

Uraian di atas terdapat di surah Al-Anfaal ayat 24 yang menyatakan:

Artinya:

iv
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila
Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, ketahuilah
bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan
sesungguhnya kepada-Nya-lah kamu akan dikumpulkan”.

Beriman kepda Allah, merupakan tanda pertama dari orang bertakwa, karena
itu orang yang bertakwa baik ia berada bersama dengan banyak orang atau hanya
seorang diri maka ia akan tetap menjaga ketakwaanya kepada Allah.

B. Tuhan Menurut Konsep Islam

Perkataan ilah, yang diterjemahkan “Tuhan”, dalam kitab AL- Qur’an dipakai untuk
menyatakan berbagai obyek yang dibesarkan atau dipentingkan manusia, misalnya
dalam AL-Qur’an surat Al-Jatsiiya ayat 23, yaitu:

Artinya:
“ Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai
tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci
mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka
siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat).
Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?”

Oleh surah Al-Qashash ayat 38, perkataan “ilah” dipakai oleh Fir’aun untuk dirinya
sendiri:

Wa qāla fir'aunu yā ayyuhal-mala`u mā 'alimtu lakum min ilāhin gairī, fa auqid lī


yā hāmānu 'alaṭ-ṭīni faj'al lī ṣarḥal la'allī aṭṭali'u ilā ilāhi mụsā wa innī la`aẓunnuhụ
minal-kāżibīn

Artinya:
“Dan berkata Fir'aun: "Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu
selain aku. Maka bakarlah hai Haman untukku tanah liat kemudian buatkanlah untukku
bangunan yang tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan sesungguhnya
aku benar-benar yakin bahwa dia termasuk orang-orang pendusta".

v
Contoh ayat-ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa perkataan “ilah” bisa
mengandung
banyak arti berbagai benda, baik abstrak (nafsu atau keinginan pribadi) maupun benda
nyata (fir’aun atau penguasa yang dipatuhi dan yang dipuja). Perkataan ilah dalam
kitab Al-Qur’an juga dipakai dalam bentuk yang tunggal (mufrad: ilaahum), ganda
(mutsanna : ilaahaini), dan banyak (jama’: aalihatun). Derifasi makna dari kata ilah
tersebut mengandung makna bahwa ‘bertuhan nol’ atau atheism adalah tidak mungkin.
Untuk dapat mengerti dengan definisi Tuhan atau Ilah yang tepat, berdasarkan logika
Al-Qur’an sebagai berikut:
Tuhan (Ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan oleh manusia sedemikian rupa,
sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai oleh-Nya. Perkataan dipentingkan
hendaklah diartikan secara luas. Tercakup didalamnya yang dipuja, dicintai,
diagungkan, diharapkan dapat memberikan kemaslahatan atau kegembiraan, dan
termasuk pula sesuatu yang ditakuti akan mendatangkan bahaya atau kerugian.

Ibnu Taimiyah memberikan definisi al-Ilah sebagai berikut:’


Al-Ilah ialah: yang dipuja dengan penuh kecintaan hati, tanduk kepadanya,
merendahkan diri di hadapannya, takut, dan mengharapkannya, kepadanya tempat
berpasrah ketika berada dalam kesulitan, berdoa, dan bertawakal kepadamya untuk
kemaslahatan diri, meminta perlindungan dari bahaya, dan menimbulkan ketenangan
di saat mengingatnya dan terpaut cinta kepadanya.
Atas dasar definisi ini, tuhan bisa berbentuk apa saja, yang dipentingkan
manusia. Yang pasti, manusia tidak mungkin atheis, tidak mungkin tidak ber-Tuhan.
Berdasarkan logika Al-Qur’an, setiap manusia pasti ada sesuatu yang
dipertuhankannya. Dengan begitu, orang-orang komunis pada hakikatnya ber-Tuhan
juga. Adapun tuhan mereka ialah ideology atau angan-angan mereka.

Dalam ajaran islam diajarkan kalimat ‘Laa ilaaha illa Allah’. Susunan kalimat
tersebut dimulai dengan peniadaan, yaitu “tidak ada Tuhan”, kemudian baru diikuti
dengan penegasan “melainkan Allah”. Hal itu berarti bahwa seseorang muslim harus
membersihkan diri dari segala macam Tuhan terlebih dahulu, sehingga yang ada
dalam hatinya hanya da satu Tuhan, yaitu Allah SWT.

Ajaran islam, Allah adalah pencipta segala sesuatu, tidak ada sesuatu yang
terjadi tanpa kehendak-Nya, serta tidak ada sesuatu yang kekal tanpa pemeliharan-

vi
Nya. Allah mengetahui segala sesuatu yang paling kecil dan paling halus sekali pun. Ia
yang menciptakan ala mini, dari tidak ada kepada ada, tanpa prantara dari siapa pun.
Ia memiliki berbagai sifat yang maha indah dan agung.

C. Sejarah pemikiran manusia tentang tuhan


1. Pemikiran barat
Konsep Ketuhanan menurut pemikiran manusia adalah konsep yang didasarkan
atas hasil pemikiran baik melalui pengalaman lahiriyah maupun batiniyah, baik yang
bersifat pemikiran rasional maupun pengalaman batin. Dalam literatur sejarah agama,
dikenal dengan Teori evolusionisme, yaitu
teori yang menyatakan adanya proses dari kepercayaan yang amat sederhana, lama
kelamaan meningkat menjadi sempurna. Teori tersebut mula-mula dikemukakan oleh
Max Muller, kemudian disusul oleh EB Taylor, Robertson Smith, Luboock dan Jevens.
Proses perkembangan pemikiran tentang Tuhan menurut evolusionisme adalah
sebagai berikut:

a.       Dinamisme
Menurut ajaran ini manusia jaman primitif telah mengakui adanya kekuatan
yang berpengaruh dalam kehidupan.Mula-mula sesuatu yang berpengaruh tersebut
ditujukan pada benda.Setiap mempunyai pengaruh pada manusia, ada yang
berpengaruh positif dan ada yang berpengaruh negatif. Kekuatan ada pada pengaruh
tersebut dengan nama yang berbeda-beda, seperti mana (Malaysia), dan tuah
(melayu), dan sakti (india) yakni kekuatan gaib.Mana adalah kekuatan gaib yang tidak
dapat dilihat atau diindera dengan pancaindera.Oleh karena itu dianggap sebagai
sesuatu yang misterius. Meskipun nama tidak dapat diindera, tetapi ia dapat dirasakan
pengaruhnya.

b.      Animisme
Masyarakat primitif pun mempercayai adanya peran roh dalam hidupnya.Setiap
benda yang dianggap benda baik, mempunyai roh.Oleh masyarakat primitif, roh
dipercayai sebagai sesuatu yang aktif sekalipun bendanya telah mati.Oleh karena itu,
roh dianggap sebagai sesuatu yang selalu hidup, mempunyai rasa senang, rasa tidak
senang apabila kebutuhannya dipenuhi.Menurut kepercayaan ini, agar manusia tidak
terkena efek negatif dari roh-roh tersebut, manusia harus menyediakan kebutuhan

vii
roh.Saji-sajian yang sesuai dengan saran dukun adalah salah satu usaha untuk
memenuhi kebutuhan roh.
c.       Politeisme
Kepercayaan dinamisme dan animisme lama-lama tidak memberikan
kepuasan, karena terlalu banyak yang menjadi sanjungan dan pujaan. Roh yang lebih
dari yang lain kemudian disebut dewa. Dewa mempunyai tugas dan kekuasaan
tertentu sesuai dengan bidangnya. Ada dewa yang bertanggung jawab terhadap
cahaya, ada yang membidangi masalah air, ada yang membidangi angin dan lain
sebagainya.

d.      Henoteisme
Politeisme tidak memberikan kepuasan terutama terhadap kaum cendekiawan.
Oleh karena itu dari dewa-dewa yang diakui diadakan seleksi, karena tidak mungkin
mempunyai kekuatan yang sama. Lama-kelamaan kepercayaan manusia meningkat
menjadi lebih definitif (tertentu). Satu bangsa hanya mengakui satu dewa yang disebut
dengan Tuhan, namun manusia masih mengakui Tuhan (Ilah) bangsa lain.
Kepercayaan satu Tuhan untuk satu bangsa disebut dengan henoteisme (Tuhan
Tingkat Nasional).

e.       Monoteisme
Kepercayaan dalam bentuk henoteisme melangkah menjadi
monoteisme.Dalam monoteisme hanya mengakui satu Tuhan untuk seluruh bangsa
dan bersifat internasional. Bentuk monoteisme ditinjau dari filsafat Ketuhanan terbagi
dalam tiga paham, yaitu: deisme, panteisme, dan teisme.
Deisme adalah kepercayaan bahwa dengan pengetahuan, akal dan pikiran,
seseorang bisa menentukan bahwa Tuhan adalah nyata.Beberapa deist menanggap
bahwa Tuhan tidak mencampuri urusan manusia dan mengubah hukum-hukum alam
semesta.
Panteisme atau pantheisme (Yunani: πάν ( 'pan' ) = semua dan θεός ( 'theos' )
= Tuhan) secara harafiah artinya adalah "Tuhan adalah Semuanya" dan "Semua
adalah Tuhan".Mereka cenderung tidak percaya dengan Dewa.
Teisme agnostis adalah pandangan filosofis yang mencakup baik teisme dan
agnostisisme.Penganut teisme agnostik mempercayai keberadaan setidaknya satu
Tuhan, namun mengganggap bahwa dasar dari kepercayaan ini merupakan sesuatu
yang pada dasarnya tidak memungkinkan untuk dipahami atau diketahui secara pasti.

viii
Evolusionisme dalam kepercayaan terhadap Tuhan sebagaimana dinyatakan
oleh Max Muller dan EB.Taylor (1877), ditentang oleh Andrew Lang (1898) yang
menekankan adanya monoteisme dalam masyarakat primitif. Dia mengemukakan
bahwa orang-orang yang berbudaya rendah juga sama monoteismenya dengan orang-
orang Kristen. Mereka mempunyai kepercayaan pada wujud yang Agung dan sifat-sifat
yang khas terhadap Tuhan mereka, yang tidak mereka berikan kepada wujud yang
lain.
Dengan lahirnya pendapat Andrew Lang, maka berangsur-angsur golongan
evolusionisme menjadi reda dan sebaliknya sarjana-sarjana agama terutama di Eropa
Barat mulai menantang evolusionisme dan memperkenalkan teori baru untuk
memahami sejarah agama.Mereka menyatakan bahwa ide tentang Tuhan tidak datang
secara evolusi, tetapi dengan relevansi atau wahyu.Kesimpulan tersebut diambil
berdasarkan pada penyelidikan bermacam-macam kepercayaan yang dimiliki oleh
kebanyakan masyarakat primitif.Dalam penyelidikan didapatkan bukti-bukti bahwa
asal-usul kepercayaan masyarakat primitif adalah monoteisme dan monoteisme adalah
berasal dari ajaran wahyu Tuhan (Zaglul Yusuf, 1993:26-27).

2. Pemikiran Umat Islam


Sehubungan pemikiran Umat Islam terhadap Tuhan melibatkan beberapa
konsepsi ke-esaan Tuhan, diantaranya konsepsi Aqidah dan konsepsi Tauhid.
a. Konsepsi Aqidah.
Dalam kamus Al-Munawir secara etimologis, aqidah berakar dari kata
'aqada-ya'qidu-aqdan'aqidatan yang berarti simpul, ikatan perjanjian dan kokoh.
Setelah terbentuk menjadi ‘aqidah yang berarti keyakinan relevensi antara arti kata
aqdan dan aqidah adalah keyakinan itu tersimpul kokoh dalam hati, bersifat mengikat
dan mengandung perjanjian.
Secara terminologis terdapat beberapa definisi aqidah antara lain:
Menurut Hasan al-Bana dalam kitab majmu’ah ar-rasa,il ‘Aqaid (bentuk jamak dari
aqidah) adalah beberapa perkara wajib diyakini kebenarannya oleh hati dan
mendatangkan ketentraman jiwa menjadi keyakinan yang tidak bercampur sedikit pun
dengan keragu-raguan.

b. Konsepsi Tauhid
Ajaran Islam tidak hanya memfokuskan iman kepada wujud Allah sebagai suatu
keharusan fitrah manusia, namun lebih dari itu memfokuskan aqidah tauhid yang

ix
merupakan dasar aqidah dan jiwa keberadaan Islam.Islam datang disaat kemusyrikan
sedang merajalela disegala penjuru dunia.Tak ada yang menyembah Allah kecuali
segelintir umat manusia dari golongan Hunafa, (pengikut nabi Ibrahim as) dan sisa-sisa
penganut ahli kitab yang selamat dari pengaruh tahayul animisme maupun paganisme
yang telah menodai agama Allah. Sebagai contoh bangsa arab jahiliyah telah
tenggelam jauh kedalam paganisme, sehingga Ka’bah yang dibangun untuk
peribadatan kepada Allah telah dikelilingi oleh 360 berhala dan bahkan setiap rumah
penduduk makkah ditemukan berhala sesembahan penghuninya.
Tauhid sebagai intisari Islam adalah esensi peradaban Islam dan esensi
tersebut adalah pengesaan Tuhan, tindakan yang mengesakan Allah sebagai yang
Esa, pencipta yang mutlak dan penguasa segala yang ada.Keterangan ini merupakan
bukti, tak dapat diragukan lagi bahwa Islam, kebudayaan dan peradaban memiliki
suatu esensi pengetahuan yaitu tauhid.
Surat Al-Ikhlas adalah surat ke-112 dalam Al-Qur’an, diturunkan setelahsurat An
Naas. Surat ini dinamakan Al Ikhlas karena di dalamnya berisi pengajaran tentang
tauhid. Surat ini tergolong surat Makkiyah, terdiri atas 4 ayat. Meski tergolong surat
pendek dan hanya 4 ayat, namun surat ini memiliki keistimewaan yang begitu besar
hingga mampu mengguncang langit dan bumi. Al-Ikhlas berarti “Memurnikan Keesaan
Allah”.Dan bahasan pokok isinya adalah menegaskan keesaan Allah dan menolak
segalabentuk penyekutuan terhadap-Nya.

Tauhid mempunyai beberapa macam, ada tauhid uluhiyah, tauhid ubudiyah,


dan tauhid rububiyah.Macam-Macam Tauhid menurut pembagiannya:
1. Tauhid Rububiyah
Rububiyah berasal dari kata Rabb, dari sisi bahasa berarti tuan dan pemilik. Dikatakan
Rabb ad-Dar berarti tuan rumah Secara etimologi yaitu menumbuhkan,
mengembangkan, sedangkan secara terminology berarti keyakinan bahwa Allah swt.
Adalah Tuhan Pencipta semua makhluk dan alam semesta.
2. Tauhid Uluhiyah
Tauhid Uluhiyah artinya mengesakan Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang wajib
disembah dan tidak ada tuhan lain selain Dia. Pengakuan dan keyakinan bahwa Allah
swt adalah satu-satunya Dzat yang berhak disembah yang direalisasikan dalam bentuk
ibadah.
3. Tauhid Asma’Wasifat

x
Tauhid Asma’ Wa Sifat yaitu beriman kepada nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya,
sebagaimana yang diterangkan dalam Al Qur’an dan Sunah Rasul-Nya. Maka barang
siapa yang mengingkari nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya atau menamai Allah dan
menyifati-Nya dengan nama-nama dan sifat-sifat makhluk-Nya atau menakwilkan dari
maknanya yang benar, maka dia telah berbicara tentang Allah tanpa ilmu dan berdusta
terhadap Allah dan Rasulnya.
Allah Ta’ala berfirman
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar
lagi Maha Melihat” (Q.S. Asy-Syuura : 11)
Dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Allah tabaraka wa ta’ala turun ke
langit dunia pada setiap malam” (Mutafaqqun ‘Alaih). Di sini turunnya Allah tidak sama
dengan turunnya makhluk-Nya, namun turunnya Allah sesuai dengan kebesaran dan
keagungan dzat Allah.
 Sifat-sifat Allah dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
 Sifat Dzatiyah
Sifat Dzatiyah yaitu sifat yang senantiasa melekat dengan-Nya.Sifat ini berpisah
dengan dzat-Nya.Seperti berilmu, kuasa atau mampu, mendengar, bijaksana, melihat,
dll.
 Sifat Fi’liyah
Sifat Fi’liyah adalah sifat yang Dia perbuat jika berkehendak.Seperti bersemayam di
atas ‘Arasy, turun ke langit dunia ketika tinggal sepertiga akhir malam, dan dating pada
Hari Kiamat.

Tauhid asma’ wa sifat ini juga berpengaruh dalam bermuamalah dengan Allah.
Di bawah ini contoh-contohnya :
Jika seseorang mengetahui asma’ dan sifat-Nya, juga mengetahui arti dan maksudnya
secara benar maka yang demikian itu akan memperkenalkannya dengan Rabbnya
beserta keagungan-Nya. Sehingga ia tunduk, patuh, dan khusyu’ kepada-Nya, takut
dan mengharapkan-Nya, serta bertawassul kepada-Nya.
Jika ia mengetahui jika Rabbnya sangat dahsyat azab-Nya maka hal itu akan
membuatnya merasa diawasi Allah, takut, dan menjauhi maksiat terhadap-Nya.
Jika ia mengetahui bahwa Allah Maha Pengampun, Penyayang, dan Bijaksana maka
hal itu akan membawanya kepada taubat dan istighfar, juga membuatnya bersangka
baik kepada Rabbnya dan tidak akan berputus asa dari rahmat-Nya.

xi
Manusia akan mencari apa yang ada di sisi-Nya dan akan berbuat baik kepada
sesamanya.
4. Tauhid Ubudiyah
Suatu keyakinan bahwa Allah swt, merupakan Yuhan yang patut disembah, ditaati,
dipuja dan diagungkan. menghambakan diri dengan keikhlasan tanpa disertai
penyimpangan dan penyesatan. Sehingga beliau juga menyebutkan mengenai
perincian dari hakikat tauhid bahwa, “ tidaklah disebut bertauhid hingga mengakui
bahwa tiada tuhan selain allah. Dan juga mengakui bahwa dialah ilah yang
sesungguhnya bagi hamba. Lalu menyerukan peribadatan hanya kepada allah tanpa
disertai penyelewengan.
Pemikiran terhadap Tuhan yang melahirkan Ilmu Tauhid, Ilmu Kalam,
atau Ilmu Ushuluddin di kalangan umat Islam, timbul sejak wafatnya Nabi Muhammad
SAW. Secara garis besar, ada aliran yang bersifat liberal, tradisional, dan ada pula
yang bersifat di antara keduanya.Sebab timbulnya aliran tersebut adalah karena
adanya perbedaan metodologi dalam memahami Al-Quran dan Hadis dengan
pendekatan kontekstual sehingga lahir aliran yang bersifat tradisional. Sedang
sebagian umat Islam yang lain memahami dengan pendekatan antara kontektual
dengan tektual sehingga lahir aliran yang bersifat antara liberal dengan tradisional.
Ketiga corak pemikiran ini telah mewarnai sejarah pemikiran ilmu ketuhanan dalam
Islam. Aliran tersebut yaitu:

a. Mu’tazilah

Kaum rasionalis di kalangan muslim, serta menekankan pemakaian akal pikiran


dalam memahami semua ajaran dan keimanan dalam Islam. Orang islam yang berbuat
dosa besar, tidak kafir dan tidak mukmin. Ia berada di antara posisi mukmin dan kafir
(manzilah bainal manzilatain).

Dalam menganalisis ketuhanan, mereka memakai bantuan ilmu logika Yunani, satu
sistem teologi untuk mempertahankan kedudukan keimanan.Hasil dari paham
Mu’tazilah yang bercorak rasional ialah muncul abad kemajuan ilmu pengetahuan
dalam Islam.Namun kemajuan ilmu pengetahuan akhirnya menurun dengan kalahnya
mereka dalam perselisihan dengan kaum Islam ortodoks.Mu’tazilah lahir sebagai
pecahan dari kelompok Qadariah, sedang Qadariah adalah pecahan dari Khawarij.

b. Qodariah

xii
Berpendapat bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam berkehendak dan
berbuat. Manusia sendiri yang menghendaki apakah ia akan kafir atau mukmin dan hal
itu yang menyebabkan manusia harus bertanggung jawab atas perbuatannya.

c. Jabariah yang merupakan pecahan dari Murji’ah

Berteori bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam berkehendak dan


berbuat. Semua tingkah laku manusia ditentukan dan dipaksa oleh Tuhan.

d. Asy’ariyah dan Maturidiyah yang pendapatnya berada di antara Qadariah dan


Jabariah

Semua aliran itu mewarnai kehidupan pemikiran ketuhanan dalam kalangan umat
islam periode masa lalu. Pada prinsipnya aliran-aliran tersebut di atas tidak
bertentangan dengan ajaran dasar Islam. Oleh karena itu umat Islam yang memilih
aliran mana saja diantara aliran-aliran tersebut sebagai teologi mana yang dianutnya,
tidak menyebabkan ia keluar dari islam. Menghadapi situasi dan perkembangan ilmu
pengetahuan sekarang ini, umat Islam perlu mengadakan koreksi ilmu berlandaskan
al-Quran dan Sunnah Rasul, tanpa dipengaruhi oleh kepentingan politik tertentu.Di
antara aliran tersebut yang nampaknya lebih dapat menunjang perkembangan ilmu
pengetahuan dan meningkatkan etos kerja adalah aliran Mu’tazilah dan Qadariah.

xiii
BAB II

SAINS DAN TEKNOLOGO DALAM AL-QUR’AN DAN AL-HADIST

Ditinjau dari sumbernya, ilmu dibagi menjadi dua, yaitu ilmu yaqin (yang pasti benar)
karena datangnya dari Allâh,dan ilmu zhan (persangkaan/penelitian/observasi) yang
mengandung kemungkinan benar dan salahkarena berasal dari akal manusia yang
terbatas.

Dalil untuk yang pertama adalah firman Allâhsubhanahu wata’ala:

“Kebenaran itu berasal dari Rabb-mu, maka janganlah kamu sekali-kali termasuk
orang-orang yang ragu.”

Dalil untuk yang kedua adalah firman Allâhsubhanahu wata’ala:

“Mereka tidak mengikuti kecuali hanya zhan saja, dan tidaklah mereka kecuali hanya
menduga-duga.”

Hal ini perlu dijelaskan untuk memahami keunggulan al-Qur`an atas semua ilmu,
meskipun pada hakikatnya semua ilmu itu sumbernya dari Allâhsubhanahu wa
ta’alasemata, sebagaimana firman-Nya:

“Dan di atas orang yang berilmu ada yang lebih berilmu lagi.”

xiv
Ibnu ‘Abbas (w. 68 H) radhiyallahu‘anhuma menafsirkannya:

“Orang itu lebih berilmu dari orang ini dan orang lain lebih berilmu dari orang inidan
Allâh-lah puncak semua orang yang berilmu.”

Jelaslah bagi kita bahwa al-Qur`an adalah sumber segala ilmu dan semua ilmu
bermuara dari al-Qur`an. Untuk itulah mengapa Syaikh Muhammad bin Shalih
al-‘Utsaimin mengatakan bahwa al-Qur`an seluruhnya adalah ilmu.
Allâhsubhanahu wa ta’alaberfirman: ُ

“Bahkan al-Qur`an adalah ayat-ayat yang jelas di dalam dada-dada orang yang diberi
ilmu.”

Dalam ayat ini Allâhsubhanahu wa ta’ala mensifati orang-orang berilmu dengan al-
Qur`an yang ada didalam dada mereka baik pemahaman, hafalan, maupun
pengamalan. Seakan mengisyaratkan bahwa al-Qur`an tidak lain adalah ilmu,dan tidak
disebut berilmu jika tidak hafal al-Qur`an.

Al-Hasan al-Bashri (w. 110 H) menjelaskan maksud “orang-orang yang diberi ilmu
ini”dalam ucapannya:

“Yakni orang-orang beriman yang hafal al-Qur`an.”

Dari Ibnu Mas’ud (w. 32 H) radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:

“Barangsiapa yang menginginkan ilmu maka dalamilah al-Qur`an, karena di dalamnya


terdapat ilmu orang-orang terdahulu dan orang-orang kemudian.”

Ucapan shahabat yang mulia ini berlaku umum baik ilmu akhirat maupun ilmu dunia,
baik ilmu agama maupun ilmu pengetahuan. Al-Qur`an mencakup seluruh ilmu tak
terkecuali ilmu dunia, meskipun al-Qur`an bukanlah kitab tentang ilmu pengetahuan,
tetapi al-Qur`an adalah pedoman hidup manusia agar bahagia dunia dan akhiratnya.
Hanya saja, AllâhMaha Sempurna dan mampu untuk menyempurnakan kandungan
firman-Nya.

xv
Syaikh Abu Hasyim bin Shalih al-Maghamisi berkata, “Sesungguhnya al-Qur`an adalah
induk segala ilmu. Hal itu dikarenakan segala ilmu kembali kepada al-Qur`an... Syaikh
‘Athiyyah Muhammad Salim rahimahullah menukil dari Syaikhnya Imam asy-Syinqithi
pemilik kitab tafsir Adhwâ`ul Bayânbahwa dia bertanya kepada gurunya itu saat
menafsirkan al-Qur`an di masjid Rasûlullâhshallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Anda adalah
orang yang memiliki kecerdasaan yang agung dalam ilmu. Mengapa Anda lebih
memilih tafsir al-Qur`an bukan ilmu-ilmu yang lain,padahal Anda mampu
mendatangkan banyak permasalahandan mensyarahnya?’ Gurunya yang sangat arif
terhadap Kitabullah itu menjawab, ‘Karena sesungguhnya segala ilmu kembali kepada
al-Qur`an.”

Al-Hafizh Ibnul Jauzi (w. 597 H) berkata:

“Tatkala al-Qur`an yang mulia adalah semulia-mulia ilmu, maka memahaminya adalah
pemahaman yang paling sempurna karena kemuliaan ilmu sesuai dengan kemuliaan
yang dipelajari.”

Jika dikaji secara mendalam, al-Qur`an mengandung dasar-dasar ilmu


pengetahuan yang membuat tercengangorang-orang kafir. Penelitian dan penemuan
mereka bertahun-tahun yang melelahkan telah disinggung oleh al-Qur`an. Hikmah
dicantumkannya sebagian ilmu pengetahuan dalam al-Qur`an adalah untuk
menundukkan kesombongan dan kecongkakan orang-orang kafir yang mendustakan
al-Qur`an.

Sebenarnya orang-orang kafir itu telah ditipu setan. Kemajuan dan teknologi
yang mereka capai itu hanyalah pengetahuan yang sedikit. Untuk itu Allâh mensifati
pengetahuan mereka dengan ilmu zhahir (yang nampak) dari kehidupan dunia. Artinya,
banyak rahasia alam semesta dan perkara dunia yang terluput dari mereka,dan
mereka tidak akan mampu mengkaji semuanyameskiumur mereka habis.

“Mereka hanya mengetahui (berilmu) yang zhahir saja dari kehidupan dunia,
sementara mereka tentang akhirat adalah orang-orang yang lalai.”

Al-Imam Ibnu Katsir (w. 774 H) menjelaskan:

xvi
“Kebanyakan manusia tidak mempunyai ilmu kecuali tentang dunia, cara-cara
memperolehnya, hal ihwalnya, dan apa yang terkait dengannya. Mereka adalah orang-
orang yang sangat cerdas dalam meraihnya dan cara-cara menempuhnya. Namun,
mereka lalai tentang apa yang bisa memberi manfaat bagi mereka di negeri akhirat,
seolah-olah mereka dininabobokan, tidak waras, dan tidak berakal.”

Al-Hasan al-Bashri (w. 110 H) berkata:

“Demi Allâh, benar-benar salah seorang di antara mereka akan mencapai dunianya
sambil membolak-balik dirham yang ada di jari-jemarinya, lalu dia mengabarkan
kepadamu tentang berat timbangannya. Namun, dia tidak bisa shalat dengan baik.”

Dengan ayat ini, seolah-olah Allâh mengabarkan bahwa seandainya umur mereka
yang singkat itu digunakan untuk mengkaji al-Qur`an tentu lebih bermanfaat bagi
mereka karena sarat dengan rahasia-rahasia dunia, terlebih urusan akhirat. Tetapi
yang terjadi di lapangan, mereka sibuk dengan penelitian sehingga umur mereka habis
tetapi tidak mendapatkan ilmu kecuali sedikit,sekaligus terluput dari ilmu akhirat. Inilah
gambaran orang yang merugi di dunia dan akhirat. Itulah kerugian yang nyata.

a. Sains dan Teknologi dalam al-Qur’an


Kata sains dan teknologi ibarat dua sisi mata uang yang sulit dipisahkan satu sama
lain. Sains, menurut Baiquni, adalah himpunan pengetahuan manusia tentang alam
yang diperoleh sebagai konsensus para pakar, melalui penyimpulan secara rasional
mengenai hasil-hasil analisis yang kritis terhadap data pengukuran yang diperoleh dari
observasi pada gejala-gejala alam. Sedangkan teknologi adalah himpunan
pengetahuan manusia tentang proses-proses pemanfaatan alam yang diperoleh dari
penerapan sains, dalam kerangka kegiatan yang produktif ekonomis(Baiquni, 1995:
58-60).
Al-Qur’an, sebagai kalam Allah, diturunkan bukan untuk tujuan-tujuan yang
bersifat praktis. Oleh sebab itu, secara obyektif, al-Qur’an bukanlah ensiklopedi sains
dan teknologi apalagi al-Qur’an tidak menyatakan hal itu secara gamblang.
Akan tetapi, dalam kapasitasnya sebagai huda li al-nas, al-Qur’an memberikan
informasi stimulan mengenai fenomena alam dalam porsi yang cukup banyak, sekitar
tujuh ratus lima puluh ayat(Ghulsyani, 1993: 78). Bahkan, pesan (wahyu) paling awal
yang diterima Nabi SAWmengandung indikasi pentingnya proses investigasi

xvii
(penyelidikan). Informasi al-Qur’an tentang fenomena alam ini, menurut Ghulsyani,
dimaksudkan untuk menarik perhatian manusia kepada Pencipta alam Yang Maha
Mulia dan Maha Bijaksana dengan mempertanyakan dan merenungkan wujud-wujud
alam serta mendorong manusia agar berjuang mendekat kepada-Nya (Ghulsyani,
1993).Dalam visi al-Qur’an, fenomena alam adalah tanda-tandakekuasaan Allah. Oleh
sebab itu, pemahaman terhadap alam itu akan membawa manusia lebih dekat kepada
Tuhannya.Pandangan al-Qur’an tentang sains dan teknologi dapat ditelusuri dari
pandangan al-Qur’an tentang ilmu. Al-Qur’an telah meletakkan posisi ilmu pada
tingkatan yang hampir sama dengan iman seperti tercermin dalam surat al-Mujadalah
ayat 11:

“... niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”

Pandangan al-Qur’an tentang sains dan teknologi, dapat diketahui dari wahyu
pertama yang diterima Nabi Muhammad saw.:

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia menciptakan


manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang
Mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam (tulis baca). Dia Mengajarkan manusia
apa yang tidak diketahuinya.” (QS al-‘Alaq: 1-5)

Kata iqra’, menurut Quraish Shihab, diambil dari akar kata yang berarti
menghimpun. Dari menghimpun lahir aneka makna seperti menyampaikan, menelaah,
mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca baik yang tertulis maupun
tidak. Sedangkan dari segi obyeknya, perintah iqra’itu mencakup segala sesuatu yang
dapat dijangkau oleh manusia. (Shihab, 1996:433)
Atas dasar itu, sebenarnya tidak ada alasan untuk membuat dikotomiilmu
agama dan ilmu non agama. Sebab, sebagai agama yang memandang dirinya paling
lengkap tidak mungkin memisahkan diri dari persoalan-persoalan yang bereperan
penting dalam meningkatkan kesejahteraan umatnya. Berkaitan dengan hal ini,
Ghulsyani mengajukan beberapa alasan untuk menolak dikotomi ilmu agama dan ilmu
non agama sebagai berikut:

xviii
1.Dalam sebagian besar ayat al-Qur’an, konsep ilmu secara mutlak muncul dalam
maknanya yang umum, seperti pada ayat 9 surat al-Zumar:

“Katakanlah: adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang


tidak mengetahui.”

Beberapa ayat lain yang senada di antaranya QS 2:31; QS 12:76; QS 16: 70.

2.Beberapa ayat al-Qur’an secara eksplisit menunjukkan bahwa ilmu itu tidak hanya
berupa prinsip-prinsip dan hukum-hukum agama saja. Misalnya, firman Allah pada
surat Fathir ayat 27-28:

“Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit lalu Kami
hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka ragam jenisnya. Dan di antara
gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka ragam warnanya
dan ada (pula) yang hitam pekat. Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-
binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya
(dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya
hanyalah “ulama”. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun."

Dengan jelas kata ulama(pemilik pengetahuan) pada ayat di atas dihubungkan dengan
orang yang menyadari sunnatullah (dalam bahasa sains: “hukum-hukum alam”) dan
misteri-misteri penciptaan, serta merasa rendah diri di hadapan Allah Yang Maha
Mulia.

3.Di dalam al-Qur’an terdapat rujukan pada kisah Qarun. “Qarun berkata:
Sesungguhnya aku diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku.”(QS al-Qashash: 78)
(Ghulsyani, 1993: 44-45).

Di samping itu, subyek yang dituntut oleh wahyu pertama (al-‘Alaq: 1-5) adalah
manusia, karena potensi ke arah
itu hanya diberikan oleh Allah swt. kepada jenis makhluk ini. Pemberian potensi ini
tentunya tidak terlepas dari fungsi dan tanggung jawab manusia sebagai khalifahAllah
di atas muka bumi. Sedangkan bumi dan langit beserta isinya telah ‘ditundukkan’ bagi
kepentingan manusia. Mari perhatikan firman Allah di dalam surat al-Jatsiyah ayat 13:

xix
“Dan Diamenundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi
semuanya (sebagai rahmat dari-Nya). Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-
benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir.”

Kata sakhkhara(menundukkan) pada ayat di atas atau kata yang semakna dengan itu
banyak ditemukan di dalam al-Qur’an yang menegaskan bahwa Allah swt.
menundukkan semua ciptaan-Nya sesuai dengan peraturan-peraturan (sunnatullah)
Nya, sehingga manusia dapat mengambil manfaat sepanjang manusia mau
menggunakan akal dan pikirannya serta mengikuti langkah dan prosedur yang sesuai
dengan sunnatullah itu. Misalnya, menurut Baiquni, (1997: 15-16 ) tertiupnya sehelai
daun yang kering dan pipih oleh angin yang membawanya membumbungtinggi ke atas
adalah karena aliran udara di sekitarnya. Orang yang melakukan pengamatan dan
penelitian untuk menemukan jawaban atas pertanyaan: “bagaimana daun itu
diterbangkan?”, niscaya akan sampai kepada sunnatullah yang menyebabkan daun itu
bertingkah laku seperti yang tampak dalam pengamatannya. Pada dasarnya, sebuah
benda yang bentuknya seperti daun itu, yang panjang dan bagian pinggir dan lebarnya
melengkung ke bawah, akan mengganggu aliran udara karena pada bagian yang
melengkung itu aliran udara tidak selancar di tempat lain. Akibatnya, tekanan udara di
lengkungan itu lebih tinggi dari
pada bagian lainnya sehingga benda itu terangkat. Orang yang melakukan
pengamatan dan penelitian itu menemukan sunnatullah yang dalam ilmu pengetahuan
disebut aerodinamika. Dengan pengetahuan yang lengkap dalam bidang aerodinamika
dan pengetahuan tentang sifat-sifat material tertentu manusia mampu menerapkan
ilmunya itu untuk membuat pesawat terbang yang dapat melaju dengan kecepatan
tertentu.

Untuk dapat memahami sunnatullah yang beraturan di alam semesta ini, manusia telah
dibekali oleh Allah SWTdua potensi penting, yaitu potensi fitriyah(di dalam diri
manusia) dan potensi sumber daya alam (di luar diri manusia). Di samping itu, al-
Qur’an juga memberikan tuntunan praktis bagi manusia berupa langkah-langkah
penting bagaimana memahami alam agar dicapai manfaat yang maksimal. Suatu cara
penghampiran yang sederhana dalam mempelajari ilmu pengetahuan ditunjukkan al-
Qur’an dalam surat al-Mulk ayat 3-4 yang intinya mencakup proses kagum,

xx
mengamati, dan memahami. Dalam konteks sains, al-Qur’an mengembangkan
beberapalangkah/proses sebagai berikut.

Pertama, al-Qur’an memerintahkan kepada manusia untuk mengenali secara seksama


alam sekitarnya seraya mengetahui sifat-sifat danproses-proses alamiah yang terjadi di
dalamnya. Perintah ini, misalnya, ditegaskan di dalam surat Yunus ayat 101.

“Katakanlah (wahai Muhammad): Perhatikan (dengan nazhor) apa yang ada di langit
dan di bumi....”

Dalam kata unzhuru(perhatikan), Baiquni memahaminya tidak sekedar memperhatikan


dengan pikiran kosong, melainkan dengan perhatian yang seksama terhadap
kebesaran Allah SWTdan makna dari gejala alam yang diamati(Baiquni,
1997:20).Perintah ini tampak lebih jelas lagi di dalam firman Allah di surat al-Ghasyiyah
ayat 17-20:

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan (dengan nazhor) onta bagaimana ia


diciptakan. Dan langit bagaimana ia diangkat. Dan gunung-gunung bagaimana mereka
ditegakkan. Dan bumi bagaimana ia dibentangkan.”

Kedua, al-Qur’an mengajarkan kepada manusia untuk mengadakan pengukuran


terhadap gejala-gejala alam. Hal ini diisyaratkan di dalam surat al-Qamar ayat 149.

“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan ukuran.”

Ketiga, al-Qur’an menekankan pentingnya analisis yang mendalam terhadap fenomena


alam melalui proses penalaran yang kritis dan sehat untuk mencapai kesimpulan yang
rasional. Persoalan ini dinyatakan dalam surat al-Nahl ayat 11-12.

“Dia menumbuhkan bagimu, dengan air hujan itu, tanaman-tanaman zaitun, korma,
anggur, dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi mereka yang mau berpikir.
Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu; dan bintang-
bintang itu ditundukkan (bagimu) dengan perintah-Nya. Sebenarnya pada yang
demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang menalar.”

xxi
Tiga langkah yang dikembangkan oleh al-Qur’an itulah yangsesungguhnya yang
dijalankan oleh sains hingga saat ini, yaitu observasi (pengamatan), pengukuran-
pengukuran, lalu menarik kesimpulan (hukum-hukum) berdasarkan observasi dan
pengukuran itu.

Meskipun demikian, dalam perspektif al-Qur’an, kesimpulan-kesimpulan ilmiah rasional


bukanlah tujuan akhir dan kebenaran mutlak dari proses penyelidikan terhadap gejala-
gejala alamiah di alam semesta. Sebab, seperti pada penghujung ayat yang
menjelaskan gejala-gejala alamiah, kesadaran adanya Allah dengan sifat-sifat-Nya
Yang Maha Sempurna menjadi tujuan hakiki di balik fakta-fakta alamiah yang
dinampakkan.

Memahami tanda-tanda kekuasaan Pencipta hanya mungkin dilakukan oleh orang-


orang yang terdidik dan bijak yang berusaha menggali rahasia-rahasia alam serta
memiliki ilmu (keahlian) dalam bidangtertentu. Ilmu-ilmu kealaman seperti matematika,
fisika, kimia, astronomi, biologi, geologi dan
lainnya merupakan perangkat yang dapat digunakan untuk memahami fenomena alam
semesta secara tepat. Dengan bantuan ilmu-ilmu serta didorong oleh semangat dan
sikap rasional, makasunnatullah dalam wujud keteraturan tatanan (order) di alam
initersingkap.

b. Sains dan Teknologi dalam al-Hadist

Definisi sains menurut tradisi Islam ialah sains yang bersumberkan daritradisi sains
tamadun awal terutamanya Tamadun Islam dan kaedah empirikal dan matematikal
ataupun logikal merupakan sebagian saja kaedah yang digunakan (Harun, 1992: 7).
Metedologi sains Islam juga mengakui kaedah yang bukan empiris seperti ilham dan
kaedah gnostik atau kashf sebagai tergolong dalam metodolgi saintifik. Kaedah ini
pernah diamalkan oleh tokoh sains Islam yang terkenal. Islam amat menyeru kepada
penganutnya yang mementingkan budaya ilmu dan melakukan sesuatu proses
pencarian ilmu pengetahuan dengan bersungguh-sungguh. Islam amat menegaskan
tentang kepentingan menimba ilmu dan dipraktikkan dalam pengenalan ilmu sains dan
teknologi. Perkara ini dapat dibuktikan secara fakta bahawa wahyu yang pertama

xxii
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sangat menekankan kepada pembacaan
sebagai perkara penting dalam menimba ilmu (Jasmi, 2016b; Muslim, 2003; Ujang,
2009; Yusuf, 2011; Samrin, 2013; Ina Fauzia, 2015). Ilmu adalah satu perkara wajib
yang perlu dituntut oleh setiap umat manusia terutamanya umat Islam sama ada lelaki
mahupun perempuan
15(Ujang, 2009; Jasmi, 2016b). Perkara ini dapat diterjemahkan menurut sebuah hadis
Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik RA (Ibn Majah, 2009: 224):
Berbunyai :

“menuntut ilmu adalah satu kewajipan ke atas setiap orang Islam.” (Ibn Majah)

Dalam karya Imam Al-Ghazali (1967) dan Jasmi (2018) pula, kewajipan menuntu ilmu
yang tersebut dalam hadis ini terbahagi kepada dua, yaitu wajib fardu ain dan wajib
fardu kifayah. Mendalami ilmu sains teknologi juga termasuk dalam kelompok ilmu
wajib fardu kifayah. Selain daripada al-Quran yang banyak menceritakan tentang
fenomena sains yang wujud, terdapat beberapa hadis yang menggalakkan umat Islam
mengkaji dan mendalami tentang fenomena sains yang wujud (Jasmi, 2013a, 2013b,
2013d, 2013c). Antara hadis tersebut ialah peristiwa Nabi Muhammad SAW yang
melarang sahabat baginda daripada melakukan proses pendebungaan pokok kurma
dengan menabur debunga jantan ke atas debunga betina lalu menyebabkan buah
kurma tidak masak sepenuhnya. Nabi Muhammad SAW menerangkan bahawa
pentingnya ilmu perubatan dan keperluannya (Abidin, 2003), secara tuntasnya
menyeru umat Islam mengetahui dan mengkaji tentang Ilmu sains yang berkaitan.
Firman Allah SWT:
Artinya :

“ Sesungguhnya Kami memberikan wahyu kepadamu (wahaiMuhammad)


sebagaimana Kami memberikan wahyu kepada Nabi Nuh dan Nabi yang diutuskan
kemudian daripadanya dan Kami memberikan wahyu kepada Nabi Ibrahim, Nabi
Ismail, Nabi Ishak, Nabi Yaakob, serta Nabi keturunannya dan Nabi Isa, dan Nabi
Ayub, dan Nabi Yunus, dan Nabi Harun, dan Nabi Sulaiman, dan juga kami
memberikan kepada Nabi Daud Kitab Zabur.” (Surah al-Nisa’, 4: 163)

Hadis Tentang sains dan teknologi

1. Pembelahan Bulan :

xxiii
Nabi berssabda :

ِ ‫اق ْال َق َم ِر َك َر َم ًة ل َِرس ُْو ِل‬


‫هللا‬ ُ ‫ِا ْنشِ َق‬

Terjemahan :

“ Terbelahnya bulan merupakan karamah Rasulullah “. (HR. Imam Al-Bukhori ).

Hadits ini diriwayatkan oleh oleh Imam Al Bukhori dalam Shahihnya kitab Al-
Maghazy. Maksud dari hadits ini adalah terbelahnya bulan ini adalah peristiwa . ini
merupakan representasi dari  salah satu kemukjizatan indrawi yang muncul sebagai
penguat bagi Rasulullah dalam menghadapi kaum kafir dan musyrik Mekah dan
pengingkaran mereka atas kenabian Nabi SAW.

Mukjizat adalah peristiwa adikodrati yang keluar dari ketentuan Sunnatullah. Oleh
karena itu, aturan-aturan duniawi tidak mungkin bisa memahami terjadinya mukjizat.
Seandainya mukjizat pembelahan bulan menjadi dua ini tidak disebutkan dalam Al-
Qur’an dan sejarah Rasulullah, tentu kaum muslimin sekarang tidak akan
mengimaninya. Jadi, fungsi hadits di atas adalah untuk menguatkan bahwa Rasulullah
benar-benar mempunyai mukjizat yaitu salah satunya membelah bulan jadi dua.

2. Siklus Hujan :

Nabi bersabda :

ْ‫َع ٍام َما مِنْ َع ٍام ِبأ َ َق َّل َم َطرً ا مِن‬

Terjemahan :

“Tidak ada tahun yang lebih sedikit curah hujannya daripada tahun yang lain”

Al – Baihaqi meriwayatkan hadis ini dalam As-Sunan Al-kubra dari Ibnu Mas’ud Ra,
dari Rasulullah dengan teks hadis “tidak ada tahun yang lebih sedikit curah hujannya
daripada tahun yang lain”.

Kendati nash hadis berhenti (mauquf) pada Ibnu Mas’ud, sehingga mendorong
beberapa pengkaji hadis untuk melemahkan statusnya (dhaif) karena tidak dapat

xxiv
memahami petunjuk ilmiahnya, namun hadis ini tetap mempresentasikan sebuah
gebrakan ilmiah yang mendahului khazanah sains modern sejak tahun 1400 tahun
silam. Di samping itu, hadis ini merupakan salah satu representasi kemukjizatan sains
dalam hadits-hadits Nabi SAW. Sehingga meski berstatus dho’if, hadis itu pun tetap
kuat dan diperhitungkan.

BAB 3

3 GENERASI TERBAIK MENURUT AL-HADIST

Umat Rasulullah merupakan umat terbaik dari seluruh umat-umat para Nabi yang
diutus sebelum beliau. Meskipun umat Rasulullah datang sebagai yang terakhir
diantara umat-umat lainnya, tetapi di akhirat kelak umat Rasulullah-lah yang akan
memasuki Surga terlebih dahulu di bandingkan dengan umat-umat lainnya.

Allah telah memberikan pujian kepada umat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
dalam firman-Nya :

“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah..” (QS. Ali Imran :
110)

Tetapi diantara umat Rasulullah, terdapat beberapa generasi terbaik, sebagaimana


beliau sebutkan dalam sebuah hadits mutawatir, beliau bersabda :

“Sebaik-baik manusia adalah pada generasiku (yakni sahabat), kemudian orang-orang


yang mengiringinya (yakni tabi’in), kemudian orang-orang yang mengiringinya (yakni
generasi tabi’ut tabi’in).” (mutawatir. HR. Bukhari dan yang lainnya)

A. Generasi Terbaik Umat Islam

xxv
Siapakah generasi terbaik dari umat Muhammad? Hadis shahih dibawah ini
memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut, mari kita simak dan baca dengan
seksama hadis berikut ini :

“Dari Imran bin Hushain radliallahu ‘anhuma berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Sebaik-baik kalian adalah yang hidup pada zamanku (generasiku)
kemudian orang-orang yang datang setelah mereka kemudian orang-orang yang
datang setelah mereka”. (HR. Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, an-Nasai, Ibnu Majah dan
Ahmad)

Penjelasan Hadis 

Berdasarkan hadis Nabi diatas, generasi terbaik dari ummat Islam secara umum ada 3
generasi. Pertama ; generasi para sahabat yang hidup sezaman dengan Nabi dalam
keadaan beriman dan wafat juga dalam keadaan beriman, Kedua ; generasi tabi’in
mereka yang bertemu dengan para sahabat dalam keadaan beriman dan meninggal
dalam keadaan beriman juga,Ketiga ; generasi tābiu at-tābi’īn, yang pernah bertemu
dengan tābi’īn dan hidup sezaman dengan mereka dalam keadaan beriman.

1. Sahabat

Sahabat adalah orang-orang beriman yang bertemu dan melihat Rasulullah SAW
secara langsung serta membantu perjuangan beliau. Menurut Imam Ahmad, siapa saja
diantara orang beriman yang bertemu dan melihat Rasulullah, baik sebulan, sepekan,
sehari atau bahkan cuma sesaat maka ia dikatakan sebagai sahabat. Derajatnya
masing-masing ditentukan dengan seberapa lama ia menyertai Rasulullah.

Para sahabat merupakan orang-orang yang mewariskan ilmu dari Rasulullah SAW.
Diantara sahabat yang terbaik adalah para Khulafaur Rasyidin, kemudian 10 orang
sahabat yang namanya disebutkan oleh Rasulullah yang mendapatkan jaminan surga.

1. Tabi’in

Tabi’in adalah orang-orang beriman yang hidup pada masa Rasulullah atau setelah
beliau wafat tetapi tidak bertemu dengan Rasulullah dan bertemu serta melihat para
sahabat. Tabi’in merupakan orang-orang yang belajar dan mewariskan ilmu dari para
sahabat Rasulullah.

xxvi
Salah seorang terbaik dari generasi Tabi’in adalah Uwais Al Qarn, yang pernah
mendatangi rumah Rasulullah untuk mendapatkan kemuliaan menjadi sahabat, tetapi
tidak berhasil bertemu dengan beliau. Uwais Al Qarn, pernah disebutkan secara
langsung melalui lisan Rasulullah sebagai orang yang asing di bumi tapi terkenal di
langit. Bahkan Rasulullah memerintahkan sahabatnya, Umar dan Ali, untuk mencari
Uwais dan meminta untuk di doakan, karena ia merupakan orang yang memiliki doa
yang diijabah oleh Allah.

Adapun diantara orang-orang yang tergolong generasi tabi’in lainnya yakni Umar
bin Abdul Aziz, Urwah bin Zubair, Ali Zainal Abidin bin Al Husein, Muhammad bin Al
Hanafiyah, Hasan Al Bashri dan yang lainnya.

2. Tabi’ut Tabi’in

Tabi’ut tabi’in adalah orang beriman yang hidup pada masa sahabat atau setelah
mereka wafat tetapi tidak bertemu dengan sahabat dan bertemu dengan generasi
tabi’in. tabi’ut tabi’in merupakan orang-orang yang belajar dan mewariskan ilmu dari
para tabi’in.

Diantara orang-orang yang termasuk dalam generasi ini adalah Imam Malik bin
Anas, Sufyan bin Uyainah, Sufyan Ats-Tsauri, Al Auza’i, Al Laits bin Saad dan yang
lainnya.Merekalah generasi terbaik umat ini, maka selayaknya kita sebagai umat
muslim yang datang belakangan untuk mencontoh dan mengambil ilmu dari kitab-kitab
yang telah mereka tuliskan. Semoga kita bisa mengikuti para generasi terbaik umat ini.

Siapakah generasi terbaik dari umat Muhammad? Hadis shahih dibawah ini
memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut, mari kita simak dan baca dengan
seksama hadis berikut ini :

“Dari Imran bin Hushain radliallahu ‘anhuma berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Sebaik-baik kalian adalah yang hidup pada zamanku (generasiku)
kemudian orang-orang yang datang setelah mereka kemudian orang-orang yang
datang setelah mereka”. (HR. Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, an-Nasai, Ibnu Majah dan
Ahmad)

B. Kedudukan 4 Imam Mazhab

xxvii
Apakah Imam mazhab yang empat, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam as-Syafi’i
dan Imam Ahmad bin Hanbal termasuk dalam golongan 3 generasi terbaik seperti
dijelaskan diatas?

a. Imam Abu Hanifah (80-150 H)

Abu Hanifah nama aslinya adalah an-Nu’man bin Tsabit bin Zhuthā lahir pada tahun 80
Hijriyah dan wafat pada tahun 150 Hijriyah, ada yang mengatakan beliau termasuk
golongan tabi’in, karena hidup dimasa masih ada 4 orang sahabat Nabi yang masih
hidup, yaitu Anas bin Malik, Abdullah bin Abi Aufa, Sahal bin Sa’ad, dan Abu Thufail
Amir bin Watsilah al-Laitsiy, meskipun demikian tidak ada satupun riwayat dari Abu
Hanifah yang diambil langsung dari salah satu keempat sahabat tersebut. Lihat kitab
al-Madkhal ilā Dirāsati al-Mazāhib al-Fiqhiyyah halaman 95 karya Ali Jum’ah
Muhammad.

Diantara perkataan populer dari Abu Hanifah yang patut kita jadikan prinsip adalah
pernyataan berikut ini ;

“Jika aku mengatakan sesuatu yang menyelisih kitab Allah dan khabar Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah perkataanku”

Terkait pernyataan populer dari para Imam Mazhab yang empat ini semuanya diambil
dari kitab Shahih Fiqhus Sunnah wa Adillatuhu wa Taudhīhu Mazāhibi al-Aimmah,
karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Sālim.

b. Imam Malik (93-179 H)

Imam Malik, kunyahnya Abu Abdillah, nama aslinya Malik bin Anas bin Malik bin Abi
‘Āmir bin Amru bin al-Harits bin Ghaiman, beliau termasuk generasi tābiut ta’bi’īn,
hidup pada masanya beberapa ulama dari generasi tabi’in, bahkan Imam Malik
merasakan belajar langsung dari para ulama tabi’in seperti Nafi’ pelayannya Umar bin
al-Khattab, Muhammad bin al-Mukandir, Abu az-Zubair, az-Zuhri, Abdullah bin Dinar
dan Abu Hazim.

Imam Malik lahir di Madinah pada tahun 93 Hijriyah, beliau berguru pertama kali
kepada Abdurrahman bin Hurmuz dalam kurun waktu cukup lama. Sejak lahir sampai
wafat, Imam Malik tinggal di Madinah, banyak orang dari berbagai negeri berguru

xxviii
kepada beliau, hingga beliau wafat pada tahun 179 Hijriyah. (Lih. Kitab Tarīkh at-
Tasyrī’ al-Islāmiy, halaman 160-162, karya Syeikh Muhammad al-Khudriy Bik)

Perkataan populer dari Imam Malik yang patut dijadikan pegangan diantaranya adalah
pernyataan berikut ini ;

“Tidak seorangpun setelah Nabi shallallahu alaihi wa sallam, kecuali perkataan mereka
itu bisa diambil atau bisa ditinggalkan, kecuali perkataan Nabi shallallahu alaihi wa
sallam”

c. Imam As-Syafi’i (150-204 H)

Imam as-Syafi’iy, kunyahnya Abu Abdillah, nama aslinya Muhammad bin Idris bin al-
Abbas bin Utsman bin Syāfi’ as-Syāfi’i. Lahir di Ghaza pada tahun wafatnya Abu
Hanifah yaitu tahun 150 Hijriyah. Imam as-Syafi’iy wafat di Mesir pada tahun 204
Hijriyah. (Lih. Kitab Manhaj al-Imam as-Syāfi’i Fī Itsbāti al-Aqīdah, halaman 19-44)

Pernah berguru langsung kepada Imam Malik, saat mempelajari kitab karya Imam
Malik sendiri, yaitu kitab al-Muwaththa’. Imam as-Syafi’i termasuk generasi tābiu at-
Tābi’īn, sebagaimana halnya Imam Malik.

Diantara pernyataan penting dari Imam as-Syafi’i yang menujukkan kuatnya berpegang
teguh kepada sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah pernyataan berikut ini ;

“Setiap hadis dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam ada (rujukan) perkataanku,
meskipun kalian tidak pernah mendengarnya dariku” (lih. Kitab Shahīh Fiqhus Sunnah,
halaman 41, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Sālim).

d. Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H)

Imam Ahmad bin Hanbal, nama Aslinya Ahmad bin Hanbal bin Hilal adz-Dzuhliy as-
Syaibāniy al-Marwaziy, lahir di Baghdad pada tahun 164 Hijriyah, wafat pada tahun
241 Hijriyah, dan beliau termasuk golongan generasi terbaik umat ini, yaitu generasi
tābiu at-tābi’īn.

Pernah berguru kepada Imam as-Syafi’i saat beliau berada di Baghdad, bahkan Imam
Ahmad termasuk murid senior Imam As-Syafi’i, kemudian beliau mempunyai
pandangan-pandangan hasil ijtihadnya sendiri yang tidak sedikit berbeda dengan

xxix
pandangan Imam As-Syafi’i. Imam Ahmad temasuk ulama Mujtahid dari kalangan Ahli
Hadis, yang mendahulukan perkataan para sahabat diatas qiyas. Kemudian menyusun
kitab al-Musnad yang berisi lebih dari 40.000 hadis didalamnya. (Lih. Kitab Tarīkh at-
Tasyrī’ al-Islāmiy, karya Syeikh Muhammad al-Khudriy Bik)

Diantara perkataan Imam Ahmad yang populer adalah pernyataan beliau berikut ini:

“Janganlah kalian bertaqlid kepadaku, juga jangan taqlid kepada Malik, as-Syafi’i, al-
Auzā’iy dan at-Tsauriy, (tetapi) ambilah dari (sumber) dimana mereka mengambil”

C. Ulama Hadis Penyusun Kutub at-Tis’ah

Selain Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hambal, yang termasuk penyusun kutub at-
Tis’ah atau 9 kitab hadis yang kitabnya dianggap sebagai kitab hadis mu’tabar dan
banyak dijadikan rujukan para ulama adalah Imam Bukhari (194-256 H), Imam Muslim
(204-261 H), Abu Dawud (202-275 H), at-Tirmidzi (209-279 H), An-Nasai (215-303 H),
Ibnu Majah (209-273 H), dan Imam ad-Dārimiy (181-255 H).

Jika mengikuti pembatasan masa hidup ulama yang masuk dalam kategori tābiu at-
tābi’īn berdasarkan catatan Ibnu Hajar al-Asqalaniy seperti dijelaskan diatas, maka
seluruh penulis atau penyusun kitab hadis kutub at-tis’ah, nampaknya masuk dalam
kategori generasi tābi’u at-tābi’īn, generasi akhir terbaik dari umat islam, seperti yang
disabdakan oleh baginda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pada hadis diatas.

Dengan demikian bisa diambil kesimpulan bahwa para ulama Imam mazhab yang
empat dan para penyusun kutub at-tis’ah mereka adalah orang-orang yang lahir dan
hidup pada zaman keemasan Islam, yang oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam
disebut khairukum atau sebaik-baik dari kalian kaum muslimin, adalah mereka yang
hidup sezaman dengan Nabi, kemudian yang hidup setelahnya, kemudian yang hidup
setelahnya. Mereka adalah para sahabat, tābi’īn dan tåbi’u at-tābi’īn, yang berakhir
pada batas waktu sebelum tahun 220 Hijriyah

xxx
BAB IV

PENGERTIAN DAN JEJAK SALAFUSSOLEH

A. PENGERTIAN SALAFUSH SHALIH

Kata Salaf bermakna seseorang yang telah mendahului (terdahulu) dalam ilmu, iman,
keutamaan dan kebaikan.Ibnu Manzhur mengatakan bahwa salaf berarti orang yang
mendahului anda, baik dari bapak maupun orang-orang terdekat (kerabat) yang lebih
tua umurnya dan lebih utama.(Yazid bin Abdul Qodir jawas2009 : 14). Ibnu Manzhur
berkata: “Dan Salaf juga bermakna: orang yang mendahuluimu; dari nenek moyangmu
dan karib kerabatmu yang mereka adalah di atas mudari segi usia dan keutamaan.
Oleh karena itulah generasi pertama dari umat ini -dari kalangan Tabi’in-disebut
sebagai As-Salaf Ash-Shalih.” Adapun istilah Salafush Shalih secara Bahasa dan
istilah:

a. Etimologi (secara bahasa):

Kata (Salaf) ini secara bahasa menunjukkan atas: orang yang terdahulu dan
mendahului dengan ilmu, iman, keutamaan, dan kebaikan.

xxxi
Ibnul Faris berkata, “Huruf sin, lam, dan fa’ adalah pokok yang menunjukkan ‘makna
terdahulu’. Termasuk salaf dalam hal ini adalah ‘orang-orang yang telah lampau’, dan
arti dari ‘al-qoumu as-salaafu’ artinya mereka yang telah terdahulu.” (Mu’jam Maqayisil
Lughah: 3/95)

b. Terminologi (secara istilah)

Ada beberapa pendapat dari para ulama dalam mengartikan istilah “Salaf” dan
terhadap siapa kata itu sesuai untuk diberikan. Pendapat tersebut terbagi menjadi 4
perkataan :

1. Di antara para ulama ada yang membatasi makna Salaf yaitu hanya para
Sahabat Nabi saja.
2. Di antara mereka ada juga yang berpendapat bahwa Salaf adalah para
Sahabat Nabi dan Tabi’in (orang yang berguru kepada Sahabat).
3. Dan di antara mereka ada juga yang berkata bahwa Salaf adalah mereka
adalah para Sahabat Nabi, Tabi’in, dan Tabi’ut Tabi’in. (Luzumul Jama’ah
(hal: 276-277)). Dan pendapat yang benar dan masyhur, yang mana sebagian
besar ulama ahlussunnah berpendapat adalah pendapat ketiga ini.
4. Yang dimaksud Salaf dari sisi waktu adalah masa utama selama tiga kurun
waktu/periode yang telah diberi persaksian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam dalam hadits beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka itulah yang
berada di tiga kurun/periode, yaitu para sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Sebaik-baik manusia adalah yang hidup pada masaku, kemudian manusia yang hidup
pada masa berikutnya, kemudian manusia yang hidup pada masa berikutnya.” (HR.
Bukhari (2652), Muslim (2533))

Maka dari itu, setiap orang yang mengikuti jalan mereka, dan menempuh sesuai
manhaj/metode mereka, maka dia termasuk salafi, karena
menisbahkan/menyandarkan kepada mereka.

Para ahli ilmu pada generasi utama juga telah saling menukilkan istilah ini untuk
menunjukkan atas zaman Shahabat dan Manhaj mereka:
1. Imam Al-Bukhari berkata dalamKitabShahiih-nya:Rasyid bin Sa’dberkata:

xxxii
“Para Salaf dahulu menyukaikuda jantan, kerena lebih kencang dan lebih kuat.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullaahmenafsirkan kata “As-Salaf”dengan perkataannya:
“Yakni: dari kalangan para Shahabat dan orang-orang setelah mereka.”
Saya katakan: Yang dimaksud adalah: para Shahabat radhiyallaahu ‘anhum; karena
Rasyid bin Sa’dadalah seorang Tabi’in, maka Salaf menurutnyaadalah: para Shahabat
radhiyallaahu ‘anhum, tidak diragukan lagi.
2. Imam Al-Bukhari juga berkata:

“Bab:KeadaanPara SalafYang MenyimpanMakanan, Daging, Dan Lain-Lain Dalam


Safar (Perjalanan) Mereka.”
Saya katakan: Yangdimaksudadalah: para Shahabat radhiyallaahu ‘anhum.
3. Beliau juga berkata: Az-Zuhri berkata tentangtulang binatang-seperti gajah dan
lainnya-:
“Saya dapati sekelompok Salafulamamenyisir(rambut)dengannya, dan meminyaki
dengan menggunakannya, mereka tidak menganggap masalah terhadap hal tersebut.”
Saya katakan: Yang dimaksud adalah para Shahabat radhiyallaahu ‘anhum; karenaAz-
Zuhri adalah seorang Tabi’in.
4. Imam Muslim meriwayatkan dalam Muqaddimah Shahiih-nya, dari jalan
Muhammad bin ‘Abdullah, dia berkata: Saya mendengar ‘Ali bin Syaqiq
berkata: Saya mendengar ‘Abdullah bin Mubarak berkatadi hadapan manusia:
“Tinggalkanlah hadits(yang diriwayatkan oleh) ‘Amrbin Tsabit; kerena sungguh dia
mencelaSalaf.”
Saya katakan: Yang dimaksud adalah para Shahabat radhiyallaahu ‘anhum.

5. Al-Auza’i berkata:“Sabarkanlah dirimudi atas Sunnah, dan berhentilah


sebagimana kaum (Salaf) berhenti (tidakmembicarakan), katakanlah sesuai
dengan apa yang mereka katakana, tempuhlah

As-Salafush Shalih; karena sungguh, akan mencukupimu apa yang telah


mencukupi mereka.”

Saya katakan: Yang dimaksud adalah para Shahabat ridhwaanallaahi ‘alaihim.

xxxiii
B. Dalil-dalil Yang Menunjukkan Wajibnya Mengikuti Salafush Shalih

a. Dalil Dari Al Qur’anul Karim

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran bainya dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin. Kami biarkan ia leluasa
terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam
Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” [An-Nisa : 115]

Dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman,

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-
orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik,
Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah
menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya;
mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” [QS. At-
Taubah : 100]

Allah mengancam dengan siksaaan neraka jahannam bagi siapa yang mengikuti jalan
selain jalan Salafush Shalih, dan Allah berjanji dengan surga dan keridhaan-Nya bagi
siapa yang mengikuti jalan mereka.

b. Dalil Dari As-Sunnah

1. Hadits Dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam
telah bersabda,

“Sebaik-baik manusia adalah yang hidup pada masaku, kemudian manusia yang
hidup pada masa berikutnya, kemudian manusia yang hidup pada masa berikutnya,
kemudian akan datang suatu kaum persaksian salah seorang dari mereka mendahului
sumpahnya, dan sumpahnya mendahului persaksiannya.” (HR Bukhari (3650), Muslim
(2533))

2. Kemudian dalam hadits yang lain, ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
menyebutkan tentang hadits iftiraq (akan terpecahnya umat ini menjadi 73 golongan),
beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

xxxiv
“Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari Ahlul Kitab telah
berpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan. Sesungguhnya (ummat) agama ini
(Islam) akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, tujuh puluh dua
golongan tempatnya di dalam Neraka dan hanya satu golongan di dalam Surga, yaitu
al-Jama’ah.”

[Shahih, HR. Abu Dawud (no. 4597), Ahmad (IV/102), al-Hakim (I/128), ad-Darimi
(II/241), al-Ajurri dalam asy-Syarii’ah, al-Lalikai dalam as-Sunnah (I/113 no. 150).
Dishahihkan oleh al-Hakim dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi dari Mu’a-wiyah bin
Abi Sufyan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan hadits ini shahih masyhur.
Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani. Lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 203-
204)]

Dalam riwayat lain disebutkan:

“Semua golongan tersebut tempatnya di Neraka, kecuali satu (yaitu) yang aku dan
para Sahabatku berjalan di atasnya.” [Hasan, HR. At-Tirmidzi (no. 2641) dan al-Hakim
(I/129) dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr, dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam
Shahiihul Jaami’ (no. 5343)]

Hadits iftiraq tersebut juga menunjukkan bahwa umat Islam akan terpecah menjadi 73
golongan, semua binasa kecuali satu golongan, yaitu yang mengikuti apa yang telah
dilaksanakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya
Radhiyallahu anhum. Jadi, jalan selamat itu hanya satu, yaitu mengikuti Al-Qur-an dan
As-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih (para Sahabat).

3. Hadits panjang dari Irbad bin Sariyah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wasallam bersabda,

“Barang siapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku maka ia akan melihat
perselisihan yang banyak, oleh sebab itu wajib bagi kalian berpegang dengan
sunnahku dan Sunnah Khulafaaur Rasyidin (para khalifah) yang mendapat petunjuk
sepeninggalku, pegang teguh Sunnah itu, dan gigitlah dia dengan geraham-geraham,
dan hendaklah kalian hati-hati dari perkara-perkara baru (dalam agama) karena
sesungguhnya setiap perkara baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat”
[Shahih, HR. Abu Daud (4607), Tirmidzi (2676), dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani
dalam Shahihul Jami’ (1184, 2549)]

xxxv
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan kepada ummat agar mengikuti sunnah
beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam dan sunnah para Khualafaur Rasyidin yang hidup
sepeninggal beliau disaat terjadi perpecahan dan perselisihan.

c. Dari perkataan Salafush Shalih

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu, ia berkata,

“Ikutilah dan janganlah berbuat bid’ah, sungguh kalian telah dicukupi.” (Al-Bida’ Wan
Nahyu Anha (hal. 13))

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu, juga pernah berkata,

“Barang siapa di antara kalian ingin mncontoh, maka hendaklah mencontoh orang
yang telah wafat, yaitu para Shahabat Rasulullah, karena orang yang masih hidup
tidak akan aman dari fitnah, Adapun mereka yang telah wafat, merekalah para
Sahabat Rasulullah, mereka adalah ummat yang terbaik saat itu, mereka paling baik
hatinya, paling dalam ilmunya, paling baik keadaannya. Mereka adalah kaum yang
dipilih Allah untuk menemani NabiNya, dan menegakkan agamaNya, maka kenalilah
keutamaan mereka, dan ikutilah jejak mereka, karena sesungguhnya mereka berada
di atas jalan yang lurus.” (Jami’ul Bayan Al-ilmi Wa Fadhlihi (2/97))

Imam Al Auza’i rahimahullah berkata,

“Sebarkan dirimu di atas sunnah, dan berhentilah engkau dimana kaum itu berhenti
(yaitu para Shahabat Nabi), dan katakanlah dengan apa yang dikatakan mereka, dan
tahanlah (dirimu) dari apa yang mereka menahan diri darinya, dan tempuhlah jalan
Salafush Shalihmu (para pendahulumu yang shalih), karena sesungguhnya apa yang
engkau leluasa (melakukannya) leluasa pula bagi mereka.” (Jami’ul Bayan Al-ilmi Wa
Fadhlihi (2/29))

Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala senantiasa membimbing kita untuk mengikuti


manhaj salaf di dalam memahami dienul Islam ini, mengamalkannya dan berteguh diri
di atasnya, sehingga bertemu dengan-Nya dalam keadaan husnul khatimah. Amin yaa
Rabbal ‘Alamin.

xxxvi
BAB V

AJARAN DAN TUNTUNAN TENTANG BERBAGI, KEADILAN SERTA PENEGAKAN


HUKUM DALAM ISLAM

Konsep keadilan melibatkan apa yang setimpal, setimbang, dan benar-benar


sepadan bagi tiap-tiap individu. Seluruh peristiwa terdapat maksud yang lebis besar
“yang bekerja di balik skenario” yang berkembang atas landasan spiritual untuk
kembali kepada Tuhan. Terdapat keadilan yang menyeluruh bagi semua. Hukum,
konstitusi, mahkamah agung, atau sistem keadilan buatan manusia tidak ada yang
dapat memberi keadilan semacam itu.Dalam Islam, keadilan merupakan salah satu
asas yang harus dijunjung. Allah sendiri mempunyai sifat Maha Adil (al-„Adlu) yang
harus dicontoh oleh hamba-Nya. Bagi kebanyakan manusia, keadilan sosial adalah
sebuah cita-cita luhur. Bahkan setiap negara sering mencantumkan secara tegas
tujuan berdirinya negara tersebut di antaranya untuk menegakkan keadilan. Banyak

xxxvii
ditemukan perintah untuk menegakkan keadilan karena Islam menghendaki agar
setiap orang menikmati hak-haknya sebagai manusia dengan memperoleh pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan dasarnya yakni terjaminnya keselamatan agamanya,
keselamatan dirinya (jiwa, raga, dan kehormatannya), keselamatan akalnya,
keselamatan harta bendanya, dan keselamatan nasab keturunannya. Sarana pokok
yang menjamin terlaksananya hal-hal tersebut adalah tegaknya keadilan (al-„adl) di
dalam tatanan kehidupan masyarakat.
Keadilan memiliki makna umum dan mempunyai makna khusus, meliputi
keadilan dalam bermuamalah, keadilan dalam hukum, keadilan dalam keuangan, dan
keadilan dalam hak-hak manusia. Terdapat beberapa istilah untuk mengindikasikan
kata „adl.
Allah Swt telah memuliakan umat Islam se-bagai umat pertengahan (umatan
wasathan) atau umat yang moderat. Umat yang adil dan pertengahan. Umat yang anti
terhadap semua sikap ekstrimisme dan tindakan yang melampaui batas. Umat yang
mampu men-jadikan segalanya seimbang. Adalah sebuah keniscayaan umat Islam
menawarkan middle way bagi semua urusan manusia, yakni jalan shirât al-mustaqîm
yang jauh dari ekstrimisme itu.
Allah Swt menurunkan syariatnya dalam rangka menyeimbangkan struktur
kehidupan manusia, menegakan keadilan dalam ke hidupan manusia. Tidak ada
satupun syariat Allah Swt yang tidak mengindikasikan ke adilan di dalamnya. Dari
rukun Islam sangat terlihat sekali nilai keadilan syariat ini, yang jauh dari ekstrimisme.
Syahadat, sholat, zakat, puasa dan haji adalah menunjukan prinsip keseimbangan
syariat, dimana syariat Islam tidak hanya meliputi ibadah hati saja, ibadah fisik, ibadah
lisan, ataupun ibadah sosial ekonomi. Akan tetapi tercakup semuanya. Ini menunjukan
keseimbangan syariat Islam. Sehingga Islam mampu menjadi rahmat bagi seluruh
alam.
Prinsip keadilan Islam ini telah mem-berikan jaminan ruang hidup abadi pada
ajaran agama ini hingga akhir zaman. Keajegan pokok dan kelenturan dalam cabang
ajaran Islam, menjadikanya akan senantiaa mampu beradaptasi dengan situasi
apapun disegala zaman dan waktu “shâlihun li kulli zamân wa makân”. Ajaran-ajaran
pokok yang ajeg (tsawâbit) dan cabang-cabang yang fleksibel (murûnah) telah
memberikan ruang yang demikian lebar bagi adanya ijtihad dalam Islam sehingga
dipastikan ajaran ini tidak mengalami kejumudan.
Allah Swt sangat jelas menyatakan umat Islam ini sebagai umat yang moderat
dengan firmanya:

xxxviii
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan
pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat
yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata)
siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan
kiblat) itu terasa Amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh
Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.”(Q.s. al Baqarah [2]: 143).
Ayat di atas menunjukkan bahwa Islam adalah umat yang moderat, sangat
menentang ekstrimisme (ghulluw) dalam bentuk apapun. Sikap ghulluw akan
menimbulkan dampak minus bagi individu keluarga, masyarakat, negara dan dunia.
Sikap ekstrim dalam beragama juga akan memberikan dampak negatif terhadap
agama itu sendiri dan akan menimbulkan bencana keluar agama tersebut.

KEADILAN DALAM AL-QUR’AN DAN SUNNAH

Kata keadilan dalam Alquran banyak di-sebutkan dengan berbagai macam istilah. Ada
yang menggunakan kata ‘ adlun, qistun, dan wasathan. Kata ‘adlun diartikan mâ qâma
fi al-nufûs annahu mustaqîmi (apa yang tegak lurus dalam jiwa manusia). Dalam
pengertian ini dapat dipahami bahwa adil adalah sikap lurus yang tidak condong
kepada salah satu yang ditunggangi hawa nafsu. Al-qistu artinya sesuatu yang
dijadikan bagian-bagian, atau hutang yang telah dijadikan bagian-bagian untuk
dikembalikan pada waktu tertentu. Sedangkan al-wasath menurut al-Asfahani adalah
tengah, seimbang, tidak terlalu ke kanan (ifrâth) dan tidak terlalu ke kiri` (tafrîth). Di
dalamnya terkanung makna keadilan, keistiqamahan, kebaikan dan kekuatan.
Tiga istilah keadilan itu dapat di-definisikan secara fungsional. Al-adlu adalah
sebuah sikap adil yang lebih ditekankan pada fungsi hati (psikologis), sedangkan al-
qistlebih ditekankan pada fungsi pembagiannya (pragmatis), dan al-wasath lebih pada
sifat keadilan itu sendiri yang seimbang. Sehingga keadilan adalah sebuah sikap
seimbang yang meliputi aspek psikis ataupun fisik materialis yang harus ditegakkan
dalam kehidupan manusia. Hal inilah yang menyebabkan kenapa simbol peradilan
adalah gambar neraca yang dipegang oleh ratu yang matanya tertutup. Hal ini
dimaksudkan dalam per-adilan hendaknya tidak terpengaruh dengan sesuatupun yang
mengakibatkan neracanya tidak seimbang. 4Dalam mewujudkan keadilan me-rata,
Wahbah al-Zuhaylî dalam bukunya“Nadhiriyah al-Dlarûriyah al-Syarîyah” me -nyata

xxxix
kan bahwa Islam dibangun atas asas menghilangkan kesukaran dan kesulitan,
memelihara ke maslahatan manusia secara keseluruhan, dan yang terpenting adalah
mewujudkan keadilan dan mencegah pe-ng aniayaan antar manusia. Operasionalitas
keadilan harus diterapkan dalam semua aspek kehidupan tanpa me nafikan tradisi
yang berlaku, bahwa syariah itu berupa hukum taklîf yang diterapkan atas dasar
keadilan (al-wasth, al-i’dâl). Muhammad Abû Zahrah dalam bukunya ”al-Mujtama’ al-
Insânî fi Dlilli al-Islâm” menyebutkan 5 kriteria keadilan, yaitu:

a) Keadilan hukum. Sistem hukum yang berlaku harus univikasi (seragam) untuk
seluruh warga negara tanpa adanya diskriminasi.

b) Keadilan sosial. Memberi kesempatan yang sama untuk bekerja menurut


kemampuan dan keahlian yang dimiliki. Jika ia masih lemah maka perlu dibantu.

c) Keadilan pemerintahan. Semua warga mempunyai kedudukan sama dalam


pemerintahan tanpa memperdulikan suku, bangsa, bahasa dan budaya.

d) Dalam leksiologi Alquran term ke-adilan dapat diucapkan dengan al-‘adâlah dan al-
wasth. Term tersebut merupakan rangkaian makna bahwa untuk menciptakan
al-‘adâlah harus ditopang oleh al-wasath yakni tengah-tengah/perpaduan antara
semua bentuk keadilan. Dalam perspektif Plato, ke-adilan berarti kebaikan yang tidak
dapat dijelaskan dengan argumentasi rasional, dan menjaga diri dalam batas-batas
yang ditentukan. Sedangkan bagi Ariestoteles memandang keadilan dapat berarti
distribusi yang mendudukkan manusia pada tempatnya, dan berarti pula korektif yang
dapat memberikan ganti rugi pada kesalahan atau kejahatan hukum, antara keadilan
distributif dan korektif menuntut adanya perlakuan yang sama dalam pengadilan.

e) Keadilan bagi Plato menekankan aspek moralitas sedangkan bagi Aristoteles me


nekankan pada aspek kepentingan hukum. Namun keadilan bagi Islam adalah
keadilan yang wasath: mampu me-madukan keadilan hukum dan keadialn moralitas.
Jadi keadilan Islam merupakan keadilan yang mutlak dan universal, karena ditopang
oleh wahyu dan prinsip-prinsip hukum yang fudamental.

Keadilan dalam bahasa salaf adalah sinonim al-mîzân


(keseimbangan/moderasi). Kata keadilan dalam Alquran kadang di-ekuifalensikan
dengan al-qist. Al-mizanyang berarti keadilan di dalam Alquran terdapat dalam Surat
al-Hadîd [57]: 25 yang berbunyi:

xl
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti
yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan)
supaya manusia dapat melaksanakan ke-adilan. dan Kami ciptakan besi yang pada-
nya terdapat kekuatan yang hebat dan pelbagai manfaat bagi manusia, (supaya
mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong
(agama)Nya dan rasul-rasul-Nya, padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah
Maha kuat lagi Maha Perkasa.” (Q.s. al-Hadîd [57]: 25).

Penggunaan istilah “adil/keadilan” dalam Alquran diantaranya sebagai berikut:

a) Q.s. al-Mâidah [5]: 8. Manusia yang memiliki kecenderungan mengikuti hawa


nafsu, adanya kecintaan dan kebencian memungkinkan manusia tidak
bertindak adil dan mendahulukan kebatilan dari pada kebenaran (dalam
bersaksi), Allah Swt berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu
untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada
takwa. Dan ber-takwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui
apa yang kamu kerjakan.” (Q.s. al-Mâidah [5]: 8).

b) Q.s. al-An’âm [6]: 152. Perintah kepada manusia agar berlaku adil dalam
segala hal terutama kepada mereka yang mem punyai kekuasaan atau yang
ber hubungan dengan kekuasaan dan dalam ber muamalah/berdagang. Allah
Swt berfirman:
“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih
bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. dan sempurnakanlah takaran dan
timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada sesorang
melainkan sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka
hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat(mu) penuhilah janji
Allah. yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.” (Q.s.
al-An’am [6] :152)

c) Q.s. al-Nisâ [4]: 128. Kemestian berlaku adil kepada sesama isteri.

xli
“Dan jika seorang wanita khawatir akan sikap tidak acuh dari suami-nya, maka
tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-
benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu
menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan
memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah
adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.s. al-Nisâ’ [4]: 128)
d) Q.s. al-Hujurât [49]: 9. Keadilan sesama muslim.

“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang
hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar
perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang me-langgar perjanjian itu kamu
perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau Dia telah surut,
damaikanlah antara ke-duanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu Berlaku
adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (Q.s. al-
Hujurât [49]: 8).
e) Q.s. al-An’âm [7]:52. Keadilan yang berarti keseimbangan antara kewajiban
yang harus dipenuhi manusia (mukallaf )dengan kemampuan manusia untuk
menunaikan kewajiban tersebut. Allah Swt berfirman:
“Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi
dan petang hari, sedang mereka menghendaki keridhaan-Nya. Kamu tidak
memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap per-buatan mereka dan
merekapun tidak me-mikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatanmu,
yang menyebabkan kamu (berhak) mengusir mereka, (sehingga kamu
termasuk orang-orang yang zalim).” (Q.s. al-An’âm [7]: 52).
Keadilan yang berarti keseimbangan antara kewajiban yang harus
dipenuhi manusia (mukallaf) dengan kemampuan manusia untuk menunaikan
kewajiban tersebut.
Dari prinsip keadilan ini lahir kaidah yang menyatakan hukum Islam
dalam praktiknya dapat berbuat sesuai dengan ruang dan waktu, yakni suatu
kaidah yang menyatakan elastisitas hukum Islam dan kemudahan dalam
melaksanakannya sebagai kelanjutan dari prinsip keadilan. Sebagaimana
dalam kaidah ”perkara-perkara dalam hukum Islam apabila telah menyempit
maka menjadi luas. Apabila perkara-perkara itu telah meluas maka kembali
menyempit”.

AYAT-AYAT AL-QUR’AN TENTANG BERBAGI

xlii
Al-Baqarah (2) : 3. "Adapun orang-orang yang beriman dengan yang ghaib dan
mendirikan sembahyang dan menginfakkan sebahagian dari rezeki yang Kami
anugerahkan kepada mereka".

al-Baqarah (2) : 195. "Dan berinfaklah kamu (bersedekah atau nafakah) di jalan Allah
dan janganlah kamu mencampakkan diri kamu ke dalam kebinasaan, dan berbuat
baiklah kerana sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik".

al-Baqarah (2) : 215. "Mereka bertanya kepada engkau tentang apa yang mereka
infakkan, Jawablah! Apa sahaja harta yang kamu infakkan hendaklah diberikan kepada
ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang
sedang dalam perjalanan. Dan apa sahaja kebajikan yang kamu buat, maka
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui".

al-Baqarah (2) : 245. Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman
yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat
gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah
menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.

al-Baqarah (2) : 254. Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah)
sebagian dari rezki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada
hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi syafa'at[160]. Dan orang-orang kafir
itulah orang-orang yang zalim.

al-Baqarah (2) : 261. Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang
menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang
menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan
(ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi
Maha Mengetahui.

al-Baqarah (2) : 262. Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah,


kemudian mereka tidak mengiringi apa yangdinafkahkannya itu dengan menyebut-
nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka
memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka
dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

xliii
al-Baqarah (2) : 263. Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah
yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha
Kaya lagi Maha Penyantun.

al-Baqarah (2) : 264. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan
(pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si
penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan
dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu
seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu
menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa
yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang
kafir

al-Baqarah (2) : 265. Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya


karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah
kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu
menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan
gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat.

al-Baqarah (2) : 267. Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah)
sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami
keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu
kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya
melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah
Maha Kaya lagi Maha Terpuji.

al-Baqarah (2) : 271. Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik
sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang
fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan
dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan.

al-Baqarah (2) : 272. Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk,


akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-
Nya. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan allah), maka
pahalanya itu untuk kamu sendiri. Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu

xliv
melainkan karena mencari keridhaan Allah. Dan apa saja harta yang baik yang kamu
nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu
sedikitpun tidak akan dianiaya (dirugikan).

al-Baqarah (2) : 273. (Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di
jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka
mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka
dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak.
Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka
sesungguhnya Allah Maha Mengatahui.

al-Baqarah (2) : 274. Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang
hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi
Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih
hati. 276. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah . Dan Allah tidak
menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.

Ali Imran (3) : 93. "Kamu sekali-kali tidak akan sampai mencapai kepada kebajikan
(yang sempurna), sebelum kamu menginfakkan sebahagian harta yang kamu cintai.
Dan apa yang kamu infakkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya".

Ali Imran (3): 133-134. "Dan bersegeralah kamu kepada keampunan Tuhanmu dan
kepada syurga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-
orang yang taqwa. Iaitu orang-orang yang menginfakkan (hartanya) baik diwaktu
senang atau di waktu susah, dan orang-orang yang menahan kemarahannya dan
memaafkan kesalahan orang. Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan".

al-Anfaal (8) : 60. "Apa sahaja yang kamu infakkan pada jalan Allah nescaya akan
dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)".

Taubah (9) : 34. "Hai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya  sebahagian besar
dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib  (orang-orang alim Nasrani) benar-benar
memakan harta orang dengan jalan  yang bathil, dan (mereka) menghalang-halangi
(manusia) dari jalan Allah,  dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan
tidak menginfakannya  di jalan Allah, maka berikanlah kabar gembira kepada mereka
(bahwa  mereka akan mendapat) azab yang pedih.

xlv
At-Taubah (9) : 60. "Sesungguhnya infak (termasuk sedekah dan zakat) itu, hanyalah
untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf
yang dipujuk hatinya, untuk yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang
sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana".

at-Taubah (9) : 79. "(Orang-orang munafik) iaitu orang-orang yang mencela orang-
orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang
yang tidak memperoleh (untuk bersedekah) selain sekadar kesanggupannya. Maka
orang-orang munafik itu menghina mereka, Allah akan membalas penghinaan mereka
itu, dan untuk mereka azab yang pedih".

at-Taubah (9) : 121. "Dan mereka tiada menginfakkan suatu nafkah yang kecil dan
tidak (pula) yang besar dan tidak melintasi suatu lembah, melainkan ditulis bagi
mereka (amal soleh pula), kerana Allah akan memberi balasan kepada mereka
(dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan".

ar-Ra'd (13) :22. "Dan orang-orang yang sabar kerana mencari keredhaan Tuhannya,
mendirikan solat dan menginfakkan sebahagian rezeki yang Kami berikan kepada
mereka, secara sembunyi atau terang-terang serta menolak kejahatan dengan
kebaikan, orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang mulia)".

Ibrahim (14) : 31. "Katakanlah kepada hamba-hambaKu yang telah beriman!


Hendaklah mereka mendirikan sembahyang, menginfakkan sebahagian dari apa yang
telah Kami rezekikan kepada mereka secara sembunyi ataupun terang-terang sebelum
datang hari (kiamat) yang pada hari itu tidak ada jual beli dan persahabatan".

an-Nahl (16) : 75). "Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya
yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun dan seorang yang Kami
beri rezeki yang baik dari Kami, lalu dia menginfakkan sebahagian dari rezeki itu
secara sembunyi dan secara terang-terang, adakah mereka itu sama? Segala puji
hanya bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tiada mengetahui".

al-Hajj (22) : 35.  "Orang-orang yang (patuh kepada Allah) iaitu orang-orang yang
apabila disebut nama Allah gementarlah hati mereka, orang-orang yang sabar
terhadap apa yang menimpa mereka, orang-orang yang mendirikan sembahyang dan

xlvi
orang-orang yang menginfakkan sebahagian apa yang telah Kami rezekikan kepada
mereka".

al-Furqan (25) : 67. "Dan orang-orang yang apabila menginfakkan (hartanya) mereka
tidak berlebih- lebihan dan tidak pula terlalu kikir, dan infak itu di pertengahan di antara
yang demikian".

al-Qasas (28) : 54. "Mereka itu diberi pahala dua kali (kerana beriman dengan Taurat
kemudian dengan al-Quran) disebabkan kesabaran mereka, dan mereka menolak
kejahatan dengan kebaikan, dan menginfakkan sebahagian dari apa yang telah Kami
rezekikan kepada mereka".

as-Sajadah (32) :16. "Mereka meninggalkan tempat tidur mereka (ditengah malam)
untuk berdoa kepada Tuhan dengan rasa takut dan harapan, dan mereka
menginfakkan sebahagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka".

Saba' (34) : 39. Katakanlah: "Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezki bagi siapa
yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi (siapa
yang dikehendaki-Nya)." Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan
menggantinya dan Dia-lah Pemberi rezki yang sebaik-baiknya.

Fathir (35) : 29. "Dan orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan
sembahyang dan menginfakkan sebahagian dari rezeki dengan diam-diam (sembunyi-
sembunyi) dan dengan terang-terang, mereka itu mengharapkan perniagaan yang
tidak akan merugi".

asy-Syura (42) : 38. "Dan orang-orang yang menerima (mentaati) seruan Tuhannya
dan mendirikan sembahyang, dan urusan mereka (diputuskan) dengan syura antara
mereka, dan mereka menginfakkan sebahagian dari rezeki yang Kami berikan kepada
mereka".

Muhammad (47) : 38. "Ingatlah, kamu ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan
(hartamu) pada jalan Allah! Maka di antara kamu ada orang yang kikir dan siapa yang
kikir sesungguhnya dia hanya kikir terhadap dirinya sendiri. Dan Allah yang Maha Kaya
sedangkan kamulah orang-orang yang fakir (memerlukanNya), dan jika kamu berpaling
nescaya Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain, dan mereka tidak akan
seperti kamu"

xlvii
Al-Hadid (57) : 7. "Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan infakkanlah
sebahagian dari hartamu yang Allah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-
orang yang beriman di antara kamu dan menginfakkan (sebahagian) dari hartanya
memperolehi pahala yang besar".

al-Hadid (57) : 10. "Dan mengapa kamu tidak menginfakkan (sebahagian hartamu)
pada jalan Allah, padahal Allahlah yang mempusakai (mempunyai) langit dan bumi?
Tidak sama antara kamu orang yang menginfakkan (hartanya) dan berperang sebelum
penaklukan (Mekkah). Mereka lebih tinggi menginfakkan (hartanya) dan berperang
sesudah itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih
baik. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan".

al-Munafiqun (63) : 10. "Dan belanjakanlah (infakkanlah) sebahagian dari apa yang
telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di
antara kamu, lalu ia berkata: Ya Tuhanku, mengapa Engkau tidak menangguhkan
(kematianku) sehingga waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah
(berinfak) dan aku termasuk orang-orang yang soleh!"

at-Taghobun (64): 16. "Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut


kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah, dan infakkanlah nafkah yang baik-baik
untuk dirimu. Barangsiapa yang terpelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah
orang-orang yang beruntung".

at-Thalaaq (65) : 7. Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut


kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah
dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada
seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan
memberikan kelapangan sesudah kesempitan.

 al-Insan (76) : 8. "Dan mereka memberi makanan yang disukainya kepada orang
miskin, anak yatim dan orang yang ditawan".

HADITS TENTANG BERBAGI

1. Dari Abu Hurairah r.a., Nabi saw. bersabda, “Seandainya aku mempunyai emas
sebesar gunung Uhud, sungguh aku gembira apabila ia tidak tertinggal di sisiku
selama tiga malam, kecuali aku sediakan untuk membayar utang.” (Bukhari)

xlviii
2. Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Nabi saw. bersabda, “Ketika seorang hamba
berada pada waktu pagi, dua malaikat akan turun kepadanya, lalu salah satu berkata,
‘Ya Allah, berilah pahala kepada orang yang menginfakkan hartanya.’ Kemudian
malaikat yang satu berkata, ‘Ya Allah, binasakanlah orang-orang yang bakhil.”
(Muttafaq ‘Alaih).

3. Dari Abu Umamah r.a., Nabi saw. bersabda, “Wahai anak Adam, seandainya
engkau berikan kelebihan dari hartamu, yang demikian itu lebih baik bagimu. Dan
seandainya engkau kikir, yang demikian itu buruk bagimu. Menyimpan sekadar untuk
keperluan tidaklah dicela, dan dahulukanlah orang yang menjadi tanggung jawabmu.”
(Muslim).

4. Dari Uqbah bin Harits r.a., ia berkata, “Saya pernah shalat Ashar di belakang Nabi
saw., di Madinah Munawwarah. Setelah salam, beliau berdiri dan berjalan dengan
cepat melewati bahu orang-orang, kemudian beliau masuk ke kamar salah seorang
istri beliau, sehingga orang-orang terkejut melihat perilaku beliau saw. Ketika
Rasulullah saw. keluar, beliau merasakan bahwa orang-orang merasa heran atas
perilakunya, lalu beliau bersabda, ‘Aku teringat sekeping emas yang tertinggal di
rumahku. Aku tidak suka kalau ajalku tiba nanti, emas tersebut masih ada padaku
sehingga menjadi penghalang bagiku ketika aku ditanya pada hari Hisab nanti. Oleh
karena itu, aku memerintahkan agar emas itu segera dibagi-bagikan.” (Bukhari).

5. Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata bahwa seseorang telah bertanya kepada Nabi
saw., “Ya Rasulullah, sedekah yang bagaimanakah yang paling besar pahalanya?”
Rasulullah saw. bersabda, “Bersedekah pada waktu sehat, takut miskin, dan sedang
berangan-angan menjadi orang yang kaya. Janganlah kamu memperlambatnya
sehingga maut tiba, lalu kamu berkata, ‘Harta untuk Si Fulan sekian, dan untuk Si
Fulan sekian, padahal harta itu telah menjadi milik Si Fulan (ahli waris).” (H.r. Bukhari,
Muslim).

6. Abu Hurairah r.a. berkata bahwa sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda,


“Seorang laki-laki dari Bani Israil telah berkata, ‘Saya akan bersedekah.’ Maka pada
malam hari ia keluar untuk bersedekah. Dan ia a telah menyedekahkannya (tanpa
sepengetahuannya) ke tangan seorang pencuri. Pada keesokan harinya, orang-orang
membicarakan peristiwa itu, yakni ada seseorang yang menyedekahkan hartanya

xlix
kepada seorang pencuri. Maka orang yang bersedekah itu berkata, “Ya Allah, segala
puji bagi-Mu, sedekah saya telah jatuh ke tangan seorang pencuri.” Kemudian ia
berkeinginan untuk bersedekah sekali lagi. Kemudian ia bersedekah secara diam-
diam, dan ternyata sedekahnya jatuh ke tangan seorang wanita (ia beranggapan
bahwa seorang wanita tidaklah mungkin menjadi seorang pencuri). Pada keesokan
paginya, orang-orang kembali membicarakan peristiwa semalam, bahwa ada
seseorang yang bersedekah kepada seorang pelacur. Orang yang memberi sedekah
tersebut berkata, “Ya Allah, segala puji bagi-Mu, sedekah saya telah sampai ke tangan
seorang pezina.” Pada malam ketiga, ia keluar untuk bersedekah secara diam-diam,
akan tetapi sedekahnya sampai ke tangan orang kaya. Pada keesokan paginya, orang-
orang berkata bahwa seseorang telah bersedekah kepada seorang kaya. Orang yang
telah memberi sedekah itu berkata, “Ya Allah, bagi-Mu segala puji. Sedekah saya telah
sampai kepada seorang pencuri, pezina, dan orang kaya.” Pada malam berikutnya, ia
bermimpi bahwa sedekahnya telah dikabulkan oleh Allah swt. Dalam mimpinya, ia
telah diberitahu bahwa wanita yang menerima sedekahnya tersebut adalah seorang
pelacur, dan ia melakukan perbuatan yang keji karena kemiskinannya. Akan tetapi,
setelah menerima sedekah tersebut, ia berhenti dari perbuatan dosanya. Orang yang
kedua adalah orang yang mencuri karena kemiskinannya. Setelah menerima sedekah
tersebut, pencuri tersebut berhenti dari perbuatan dosanya. Orang yang ketiga adalah
orang yang kaya, tetapi ia tidak pernah bersedekah. Dengan menerima sedekah
tersebut, ia telah mendapat pelajaran dan telah timbul perasaan di dalam hatinya
bahwa dirinya lebih kaya daripada orang yang memberikan sedekah tersebut. Ia
berniat ingin memberikan sedekah lebih banyak dari sedekah yang baru saja ia terima.
Kemudian, orang kaya itu mendapat taufik untuk bersedekah.” (Kanzul)

7. Dari Ali r.a., Rasulullah saw. bersabda, “Segeralah bersedekah, sesungguhnya


musibah tidak dapat melintasi sedekah.” (Razin)

8. Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah saw. bersabda, “Sedekah itu tidak akan
mengurangi harta. Allah swt. akan menambah kemuliaan kepada hamba-Nya yang
pemaaf. Dan bagi hamba yang tawadhu’ karena Allah swt., Allah swt. akan
mengangkat (derajatnya). (Muslim)

9. Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Nabi saw. bersabda, “Ketika seseorang sedang
berada di padang pasir, tiba-tiba ia mendengar suara dari awan, ‘Curahkanlah ke
kebun Fulan.’ Maka bergeraklah awan itu, kemudian turun sebagai hujan di suatu

l
tanah yang keras berbatuan. Lalu, salah satu tumpukan dari tumpukan bebatuan
tersebut menampung seluruh air yang baru saja turun, sehingga air mengalir ke suatu
arah. Ternyata, air itu mengalir di sebuah tempat di mana seorang laki-laki berdiri di
tengah kebun miliknya sedang meratakan air dengan cangkulnya. Lalu orang tersebut
bertanya kepada pemilik kebun, “Wahai hamba Allah, siapakah namamu?” Ia
menyebutkan sebuah nama yang pernah didengar oleh orang yang bertanya tersebut
dari balik mendung. Kemudian pemilik kebun itu balik bertanya kepadanya, “Mengapa
engkau menanyakan nama saya?” Orang itu berkata, “Saya telah mendengar suara
dari balik awan, ‘Siramilah tanah Si Fulan,’ dan saya mendengar namamu disebut.
Apakah sebenarnya amalanmu (sehingga mencapai derajat seperti itu)?” Pemilik
kebun itu berkata, “Karena engkau telah menceritakannya, saya pun terpaksa
menerangkan bahwa dari hasil (kebun ini), sepertiga bagian langsung saya
sedekahkan di jalan Allah swt., sepertiga bagian lainnya saya gunakan untuk
keperluan saya dan keluarga saya, dan sepertiga bagian lainnya saya pergunakan
untuk keperluan kebun ini.” (Muslim).

10. Dari Abu Hurairah r.a., Nabi saw. bersabda, “Seorang wanita pezina telah diampuni
dosanya karena ketika dalam perjalanan, ia melewati seekor anjing yang
menengadahkan kepalanya sambil menjulurkan lidahnya hampir mati karena
kehausan. Maka, wanita tersebut menanggalkan sepatu kulitnya, lalu mengikatkannya
dengan kain kudungnya, kemudian anjing tersebut diberi minum olehnya. Maka
dengan perbuatannya tersebut, ia telah diampuni dosanya.” Seseorang bertanya,
“Adakah pahala bagi kita dengan berbuat baik kepada binatang?” Beliau saw.
menjawab, “Berbuat baik kepada setiap yang mempunyai hati (nyawa) terdapat
pahala.” (Muttafaq ‘alaih)

Hadist ke 544. Dari Ibnu Mas’ud Radhiallohu’anhu, dari Nabi Sholallohu’alaihi wa


sallam bersabda: “Tidak ada kedengkian kecuali dalam dua hal, yaitu orang yang
dikaruniai harta oleh Alloh lalu dia habiskan di jalan kebenaran, dan orang yang diberi
hikmah (ilmu) oleh Alloh lalu dia mengamalkan dan mengajarkannya.” (Muttafaq ‘alaih).

Hadist ke 545: dari (Ibnu Mas’ud) juga, dia bercerita bahwa Rasulullah sholallohu’alaihi
wa sallam bersabda: “Siapakah di antara kalian yang lebih mencintai harta ahli
warisnya daripada hartanya sendiri?” Para sahabt lantas menjawab: “Wahai
Rasululloh, tidak ada seorang pun di antara kami melainkan ia lebih mencintai

li
hartanya.” Beliau menyahut: “Sesungguhnya hartanya sendiri adalah yang telah ia
gunakan dan harta ahli warisnya adalah yang ia akhirkan (Tinggalkan).” (HR. Bukhari)

Hadits ke 546. dari Adi bin Hatim Radhiallohu’ahu, dia bercerita: “Aku pernah
mendengar Nabi Sholallohu’alaihi wa sallam bersabda: ‘Takutlah kalian terhadap api
Neraka meski hanya dengan (menyedekahkan) biji kurma.'” (Muttafaq ‘alaih)

Hadits ke 548. Dari Abu Hurairah Radhiallohu’anhu, dia bercerita bahwa Rasululloh
Sholallohu’alaihi wa sallam bersabda: “Tidak sehari pun (berlalu) manakala pagi
muncul mendatangi umat manusia melainkan pada waktu itu dua Malaikat turun, lalu
salah satu dari keduanya berdoa: ‘Ya Alloh, berikanlah ganti kepada orang yang
mengingakkan hartanya.’ Sedangkan Malaikat yang satunya lagi berdo’a: ‘Ya Alloh,
berikanlah kebinasaan kepada orang yang kikir.'” (Muttafaq ‘alaih).

Hadist ke 549. Darinya (Abu Hurairah), bahwa Rasululloh Sholallohu’alaihi wasallam


bersabda: “Alloh Ta’ala berfirman: ‘Berinfaklah, wahai anak Adam, niscaya Aku akan
memberi nafkah kepadamu.'” (Muttafak ‘alaih).

Hadits ke 550. Dari Abdullah bin Amr bin al-Ash Radhiallohu’anhuma, bahwasanya
seseorang bertanya kepada Rasululloh Sholallohu’alaihi wa sallam: “Apakah kriteria
Islam yang terbaik?” Beliau pun menjawab: “Hendaklah kamu memberi makan,
mengucapkan salam baik kepada orang yang kamu kenal maupun yang tidak.”
(Muttafaq ‘alaih).

Hadits ke 552. Dari Abu Umamah Shuday bin Ajlan Radhiallohu’anhu, dia menuturkan
bahwa Rasululloh Sholallohu’alaihi wa sallam bersabda: “Wahai anak Adam,
memberikan kelebihan harta itu adalah lebih baik bagimu, dan menahannya adalah
buruk bagimu. Tidaklah kamu dicela karena pas-pasan (sesuai dengan kebutuhan).
dan mulailah dengan orang yang menjadi tanggunganmu. Dan tangan di atas lebih
baik daripada tangan di bawah.” (HR. Muslim).

Hadits ke 556. Dari Abu Hurairah Radhiallohu’anhu, bahwa Rasululloh Sholallohu’alaihi


wa sallam bersabda: “Tidaklah harta itu berkurang karena sedekah. Dan tidaklah Alloh
menambahkan terhadap orang yang suka memberimaaf melainkan kemuliaan. Serta
tidaklah seseorang merendahkan diri (Tawadhu) karena Alloh melainkan Alloh yang
Mahaperkasa lagi Mahamulia akan mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim : 2588)

Hadits ke 557. Dari Abu Kabsyah Umar bin Sa’ad al Anmari Radhiallohu’anhu:
Bahwasanya dia pernah mendengar Rasululloh Sholallohu’alaihi wa sallam bersabda:

lii
“Ada tidak perkar ayang kau bersumpah padanya dan aku akan menyampaikan suatu
hadits kepada kalian, karena itu hafalkanlah: Tidak akan berkurang harta seseorang
karena sedekah, serta tidaklah seorang hamba dizhalimi dengan suatu kezhaliman lalu
dia bersabar terhadap kezhaliman tersebut melainkan Alloh akan menambah
kemuliaan kepadanya. Dan tidaklah seseorang membuka pintu meminta-minta
melainkan Alloh akan membukakan baginya pintu kemiskinan,” atau ucapan yang
semisalnya. “dan aku akan menyampaikan sebuah hadits kepada kalian, karenanya
hafalkanlah ia: Dunia ini hanya untuk empat orang, yaitu:

 Seorang hamba yang dikaruniai harta dan ilmu, yang dengannyalah dia
bertakwa kepada Rabbnya (Alloh), dan menyambung tali silaturahim,
mengetahui bahwa Alloh memiliki hak adalam hata tersebut. Orang ini
menampati tingkatan yang paling baik.
 Seorang hamba yang dikaruniai ilmu dan tidak dikaruniai harta, dan dengna
niat yang benar dia mengatakan: ‘Seandainya aku mempunyai harta kekyaan
niscaya aku akan mengerjakan apa yang dilakukan oleh si Fulan.’ Maka
dengan niatnya itu, pahala keduanya sama.
 Seorang yang dikaruniai harta benda tetapi tidak dikaruniai ilmu, namu dia
membelanjakan hartanya itu tanpa menggunakan ilmu, tidak bertakwa kepada
Rabbnya, tidak juga menyambung tali silaturahimnya, dan tidak mengetahui
bahwa Alloh memiliki hak dalam hartanya terseubut. Maka dialah orang yang
menempati tingkatan yang paling rendah.
 Dan Seorang hamba yang tidak dikaruniai harta dan tidak juga diberi ilmu, lalu
dia berangan-angan: ‘Seandainya aku mempunyai harta, pasti aku akan
mengerjakan apa yang dikerjakan si Fulan,’ maka dengan niat tersebut,
keduanya mendapatkan dosa yang sama.”

Hdits Shahih yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (2325), Ibnu Majah (4228), dan Ahmad
(IV/230 dan 231).

Hadits ke 558. Dari Aisyah Radhiallohu’anha bahwasanya mereka (para Sahabat)


menyembelih kambing, lalu Nabi Sholallohu’alaihi wa sallam bertanya: “Apa yang
masih tersisa dari kambing tersebut?” Aisyah menjawab: “Tidak ada yang tersisa
kecuali bahunya.” Beliau bersabda: “Semuanya masih tersisa kecuali bahunya.” HR.
At-Tirmidzi, dan dia mengatakan: “Hadits ini shahih”)

liii
Yaitu mereka telah menyedekahkan tiap bagian tubuh kambing itu kecuali bahunya
saja. Maka, beliau bersaabda: “Semua bagian tersisa bagi kami di akhirat kelak kecuali
bagian bahunya.”

Hadits ke 559. Dari Asma binti Abu Bakar as-Shiddiq Radhiallohu’anhuma bahwa dia
bercerita: “Rasululloh Sholallohu’alaihi wa sallam pernah bersabda kepadaku:
‘Janganlah kamu menyimpan (bakhil) hartamu sehingga Alloh akan menutupi
rezekimu.'”

Dalam riwayat yang lainnya disebutkan: “Nafkahkan atau infakkan atau sedekahkanlah
(hartamu), dan jangan kamu menghitung-hitungnya sehingga Alloh Ta’ala akan
menghitung-hitung pemberiann-Nya kepadamu. Janganlah pula kamu menakar-
nakarnya sehingga Alloh menakar-nakar pemberian-Nya kepadamu.” (Muttafaq ‘alaih)

Hadits ke 561. dari Abu Hurairah juga, Rasululloh Sholallohu’alaihi wa sallam


bersabda: “Barang siapa bersedekah senilai satu butir kurma dari hasil usaha yang
baik (halal), dan Alloh tidak akan menerima kecuali yang baik,maka sesungguhnya Dia
akan menerimanya dengan tangan kanan-Nya, kemudian Dia akan
mengembangkannya bagi sipelaku sebagaimana salah seorang di antara kalian
memelihara anak kuda, sehingga sedekah tersebut menjadi sebesar gunung.”
(Muttafaq ‘alaih)

DAFTAR PUSTAKA

https://s.docworkspace.com/d/ACOlX_DO4MdWwo6Y5ZenFA

https://sites.google.com/site/ujppai/materi-kuliah/materi-03

https://currikicdn.s3-us-west-2.amazonaws.com/resourcedocs/54d3775e84d96.pdf

http://teknologipembelajaranunj.blogspot.com/2012/11/makalah-konsep-ketuhanan-
dalam-islam.html
http://repository.radenintan.ac.id/160/4/Bab_I.pdf
https://umma.id/article/share/id/1002/272772

liv
https://bincangsyariah.com/kalam/siapa-generasi-islam-terbaik-itu/
https://www.sekolahkebuntumbuh.sch.id/2016/04/26/tiga-generasi-terbaik-umat-
manusia/
https://almanhaj.or.id/3013-kewajiban-mengikuti-pemahaman-salafush-shalih.html
https://muslim.or.id/18935-siapakah-salafus-shalih.html
https://almanhaj.or.id/3428-definisi-salaf-definisi-ahlus-sunnah-wal-jamaah.html
https://www.researchgate.net/publication/327112100_Sains-
Teknologi_dan_Ilmu_Agama_Menurut_Bahasa_al-
Quran_dan_Hadis/link/5b7a91f5a6fdcc5f8b55d3b4/download
https://berbagiilmutentangfilsafat.wordpress.com/2018/10/21/ayat-dan-hadis-tentang-
ilmu-pengetahuan-dan-teknologi/
https://nasional.okezone.com/read/2018/10/24/337/1968200/konsep-keadilan-menurut-
perspektif-islam
https://mediaindonesia.com/read/detail/166818-kembali-ke-fitrah-keadilan-dalam-
perspektif-islam-dan-kebangsaan
https://media.neliti.com/media/publications/57387-ID-keadilan-dalam-hukum-islam-
tinjauan-mult.pdf
file:///C:/Users/user/AppData/Local/Temp/al-quran-sumber-segala-ilmu_mirror.pdf

file:///C:/Users/user/AppData/Local/Temp/Ebook%20Majalah%20Asy%20Syariah
%20Edisi%2083_Keadilan%20Hukum%20Al%20Quran.pdf

file:///C:/Users/user/AppData/Local/Temp/MENGENAL%20MANHAJ%20SALAFI.pdf

lv

Anda mungkin juga menyukai