Anda di halaman 1dari 29

ARTIKEL TEMA KEISLAMAN:

1. KEISTIMEWAAN DAN KEBENARAN KONSEP KETUHANAN DALAM ISLAM

2. SAINS&TEKNOLOGI DALAM AL-QUR’AN DAN AL-HADITS

3. GENERASI TERBAIK MENURUT AL-HADITS

4. PENGERTIAN SALAF (REFERENSI HADITS)

5. ISLAM, AJARAN TENTANG BERBAGI SERTA KEADILAN PENEGAKAN


HUKUM

Disusun sebagai tugas terstruktur Mata Kuliah: Pendidikan Agama Islam

Dosen Pengampuh:

Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos

Disusun Oleh:

Nama : Kevin Asgaryansyah

NIM : F1B020058

Fakultas&Prodi : Teknik Elektro

Semester :1

PROGRAM STUDI TEKNIK ELEKTRO

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS MATARAM

T.A. 2020/2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah penulis haturkan kepada ALLAH SWT atas selesainya tugas ini
dengan baik dan lancar serta tanpa ada hambatan.

Sholawat dan Salam semoga ALLAH limpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW atas
berkat rahmat dan perjuangannya dalam membawa umat islam dari alam kegelapan menuju
ke alam yang terang benderang.

Terima kasih saya sampaikan atas bimbingan Bapak Dr Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos
sebagai dosen pengampuh mata Kuliah Pendidkan Agama Islam yang membimbing kami
dengan sangat baik sehingga kami mampu menjalani mata kuliah agama islam dengan
sangat baik.

Besar harapan saya tugas ini akan memberi manfaat bagi pembacanya dan mampu
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari

Penyusun, Mataram 23 Oktober 2020

Nama : Kevin Asgaryansyah

NIM : F1B020058

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN COVER.................................................................................................................. i

KATA PENGANTAR………………………………………………………………….....…………....ii

DAFTAR ISI………………………………………………………………………………….....….....iii

BAB I Keistimewaan Dan Kebenaran Konsep Ketuhanan Dalam Islam……...…..............1

A. Filsafat Ketuhanan dalam Islam………………………………………...…………......… ... 1

B. Konsepsi Aqidah dan Konsepsi dan Tauhid………………………………….....…….…....2

C. Keimanan dan Ketakwaan………………………………………………....………….....… .7

BAB II Sains dan Teknologi dan Al-Qur’an dan Al-Hadits………………....………...….…11

A. Sains dan Teknologi Dalam Perspektif Al-Qur’an…………………………....………......11

B. Relevansi Antara Hadits dan Sain Modern…………………………………….....…… …15

BAB III Generasi Terbaik Menurut Al-Hadits ………………………………………….....… ..17

A. Generasi Sahabat Rasulullah SAW…………………………………………………. ........17

B. Generasi Tabi’in………………………………………………………………………...…....19

C. Generasi Tabi’ut Tabi’in…………………………………………………………....………..20

BAB IV Pengertian Salaf Menurut Al-Hadits …………………………………………....…… 21

A. Pengertian Salaf………………………………………………………………………….... ..21

BAB V Islam: Ajaran Tentang Berbagi serta Keadilan Penegakan Hukum ………….....23

A. Keutamaan Berbagi dalam Islam……………………………………………………….......23

B. Hukum dan Keadilan dalam Islam…………………………………………………….....…25

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………………….….....…27

LAMPIRAN

iii
BAB I Keistimewaan Dan Kebenaran Konsep Ketuhanan Dalam Islam

A. Filsafat Ketuhanan dalam Islam

Perkataan yang selalu diterjemahkan “Tuhan”, dalam al-Qur`an dipakai untuk


menyatakan berbagai objek yang dibesarkan atau dipentingkan manusia, misalnya dalam
QS al-Jatsiiyah ayat 23:

Artinya : Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya
sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya[1384] dan Allah Telah
mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya?
Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat).
Maka Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?

Dalam surat Al-Qashash ayat 38, perkataan illah dipakai oleh fir`aun untuk dirinya
sendiri :

“Dan Fir‟aun berkata : wahai para pembesar aku tidak menyangka bahwa kalian
masih mempunyai ilah selain diriku“.

Contoh ayat diatas tersebut menunjukkan bahwa perkataan ilah bisa mengundang
berbagai arti benda, baik abstrak (nafsu atau keinginan pribadi) maupun benda nyata
(fira`un atau penguasa yang dipatuhi dan dipuja). Perkataan illah juga dalam bentuk tunggal
(mufrad ilaahun , ganda (mutsanna ilaahaini) dan banyak (jama‟aalihatun). Ber-Tuhan nol
dalam arti kata tidak bertuhan atau atheisme tidak mungkin. Untuk dapat mengerti defenisi
Tuhan atau ilah yang tepat, berdasarkan logika Al- Quran sebagai berikut :

Tuhan (ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh manusia
sedemikin rupa sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai oleh-Nya. Perkataan
dipentingkan hendaklah diartikan secara luas. Tercakup didalamnya yang dipuja, dicintai,
diagungkan, diharap-harapkan dapat memberi kemaslahataan atau kegembiraan dan
termasuk pula sesuatu yang ditakuti akan mendatangkan bahaya atau kerugian.

Menurut Ibnu Taimiyah Al-Ilah adalah yang dipuja dengan penuh kecintaan hati,
tunduk kepada-Nya merendahkan diri dihadapannya, takut dan mengharapkannya,
kepadanya umat tempat berpasrah ketika berada dalam kesulitan, berdoa dan bertawakal
kepada-Nya dan menimbulkan ketenangan disaat mengingatnya dan terpaut cinta
kepadanya.

iv
B. Konsepsi Aqidah dan Konsepsi dan Tauhid dalam Islam

Sehubungan pemikiran Umat Islam terhadap Tuhan melibatkan beberapa konsepsi


ke-esaan Tuhan, diantaranya konsepsi Aqidah dan konsepsi Tauhid.

A. Konsepsi Aqidah.

Dalam kamus Al-Munawir secara etimologis, aqidah berakar dari kata „aqada-
ya‟qidu-aqdan„ aqidatan yang berarti simpul, ikatan perjanjian dan kokoh. Setelah terbentuk
menjadi „aqidah yang berarti keyakinan relevensi antara arti kata aqdan dan aqidah adalah
keyakinan itu tersimpul kokoh dalam hati, bersifat mengikat dan mengandung
perjanjian.Secara terminologis terdapat beberapa definisi aqidah antara lain :

Menurut Hasan al-Bana dalam kitab majmu‟ah ar-rasa, il „Aqaid (bentuk jamak dari
aqidah) adalah beberapa perkara wajib diyakini kebenarannya oleh hati dan mendatangkan
ketentraman jiwa menjadi keyakinan yang tidak bercampur sedikit pun dengan keragu-
raguan.

a) Istilah Aqidah Dalam Al-Quran

Di dalam al-Quran tidak terdapat satu ayat pun yang secara literal menunjuk pada
istilah aqidah. Namun demikian kita dapat menjumpai istilah ini dalam akar kata yang sama
(„aqada) yaitu; „aqadat, kata ini tercantum pada ayat:

“Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib
kerabat, kami jadikan pewaris-pewarisnya dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah
bersumpah setia dengan mereka, maka beri kepada mereka bahagiannya, sesungguhnya
Allah menyaksikan segala sesuatu“ (Q.S An-Nisa; 33).

Kata aqadum terdapat dalam QS. al-Maidah; 89

“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk
bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu
sengaja…..”

v
b) Ruang Lingkup Pembahasan Aqidah.

Meminjam sistematika Hasan al-Banna ruang lingkup pembahasan aqidah meliputi :

1. Iyat yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan (Tuhan/Allah),
seperti wujud Allah, nama-nama dan sifat-sifat Allah, perbuatan dan lain-lain.

2. Nubuwat yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi dan
Rasul, termasuk pembicaraan mengenai Kitab-Kitab Allah, Mukjizat, keramat dan
sebagainya.

3. Ruhaniyat yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan alam
metafisik seperti Malaikat, Jin, Iblis, setan, Roh dan lain sebagainya.

4. Sam‟iyyat yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang hanya bisa diketahui lewat
sam‟iy yakni dalil naqli berupa al-Quran dan as-sunah, seperti alam barzakh, akhirat, azab
kubur, tanda-tanda kiamat, surga neraka dan seterusnya.

c) Sumber Aqidah Islam

Sumber aqidah Islam adalah al-Quran dan as-Sunnah artinya apa saja yang
disampaikan oleh Allah dalam al-Quran dan Rasulullah dalam Sunnahnya wajib di imani,
diyakini dan diamalkan.

Akal pikiran sama sekali bukan sumber aqidah, tetapi merupakan instrumen yang
berfungsi untuk memahami nash-nash yang terdapat dalam kedua sumber tersebut dan
mencoba kalau diperlukan membuktikan secara Ilmiah kebenaran yang disampaikan oleh al-
Quran dan as-Sunnah. Itupun harus didasari oleh suatu kesadaran penuh bahwa
kemampuan akal sangat terbatas, sesuai dengan terbatasnya kemampuan mahluk Allah.
Akal tidak dapat menjangkau masa‟il ghabiyah (masalah-masalah ghaib), bahkan akal tidak
akan sanggup menjangkau sesuatu yang terikat oleh ruang dan waktu.

Misalnya akal tak akan mampu menunjukan jawaban atas pertanyaan kekekalan itu
sampai kapan berakhir? Atau akal tidak sanggup menunjukan tempat yang tidak ada didarat
dilaut atau diudara dan tidak ada dimana-mana. Karena kedua hal tersebut tidak terikat oleh
ruang dan waktu. Akal hanya perlu membuktikan jujurkah atau bisakah kejujuran si
pembawa risalah tentang hal-hal ghaib itu bisa dibuktikan secara ilmiah oleh akal pikiran

d) Cara Menetapkan Aqidah

Allah Swt. telah memutuskan dan menetapkan untuk memberikan keterangan-


keterangan disekitar masalah-masalah yang wajib diimani antara lain yang terkandung
dalam rukun Iman. Allah telah menggariskan persoalan tersebut dengan jelas dan menuntut
agar manusia mempercayainya. Iman yang dimaksud itu adalah I‟tiqad dengan kebulatan
hati yang sesuai dengan keadaan yang sebenarnya serta berlandaskan dalil atau alasan.
I‟tiqad semacam itu tentunya tidak dapat diperoleh dengan dalil-dalil sembarangan,
melainkan dengan dalil-dalil yang pasti dan tampa dicampuri keraguan.

vi
Oleh karena itu Ulama sepakat untuk menetapkan aqidah berdasarkan tiga macam
dalil :

1. Dalil Aqli, dalil ini dapat diterima apabila hasil keputusannya dipandang masuk
akal atau logis dan sesuai dengan perasaan, tentunya yang dapat menimbulkan adanya
keyakinan dan dapat memastikan iman yang dimaksudkan. Dengan menggunakan akal
manusia merenungkan dirinya sendiri dan alam semesta, yang dengannya ia dapat melihat
bahwa dibalik semua itu terdapat bukti adanya Tuhan Pencipta yang satu.

2. Dalil Naqli, dalil naqli yang tidak menimbulkan keyakinan dan tidak dapat
menciptakan keimanan sebagai yang dimaksud, dengan sendirinya dalil ini tidak dapat
digunakan untuk menetapkan aqidah. Oleh sebab itu Syekh Mahmud Syaltut mengajukan
dua syarat yang harus dipenuhi oleh dalil naqli tersebut dapat menanamkan keyakinan dan
menetapkan Aqidah.Pertama; dalil naqli itu pasti kebenarannya. Kedua; pasti atau tegas
tujuannya. Ini berarti bahwa dalil itu harus dapat dipastikan benar-benar datang dari
Rasulullah tanpa ada keraguan sedikitpun.

3. Dalil Fitrah adalah hakekat mendasari kejadian manusia. Fitrah ini merupakan
perasaan keagamaan yang ada dalam jiwa dan merupakan bisikan batin yang paling dalam.
Dan kesucian ini akan tetap terpelihara manakala manusia selalu membersihkan jiwanya
dari tekanan kekuatan pengaruh nafsu. Bila manusia membiarkan fitrah dan naluri berbicara,
maka dia akan mendapatkan dirinya berhadapan dengan kekuatan tertinggi diatas kekuatan
manusia dan alam. Ia akan berdoa baik dalam suka maupun duka. Lebih-lebih disaat-saat
seperti itulah dia menghadapkan diri secara ikhlas kepada Tuhannya.

B. Konsepsi Tauhid

1. Tauhid sebagai poros Aqidah Islam.

Ajaran Islam tidak hanya memfokuskan iman kepada wujud Allah sebagai suatu
keharusan fitrah manusia, namun lebih dari itu memfokuskan aqidah tauhid yang merupakan
dasar aqidah dan jiwa keberadaan Islam. Islam datang disaat kemusyrikan sedang
merajalela disegala penjuru dunia. Tak ada yang menyembah Allah kecuali segelintir umat
manusia dari golongan Hunafa, (pengikut nabi Ibrahim as) dan sisa-sisa penganut ahli kitab
yang selamat dari pengaruh tahayul animisme maupun paganisme yang telah menodai
agama Allah. Sebagai contoh bangsa arab jahiliyah telah tenggelam jauh kedalam
paganisme, sehingga Ka‟bah yang dibangun untuk peribadatan kepada Allah telah dikelilingi
oleh 360 berhala dan bahkan setiap rumah penduduk makkah ditemukan berhala
sesembahan penghuninya.

2. Pentingnya Tauhid

Tauhid sebagai intisari Islam adalah esensi peradaban Islam dan esensi tersebut
adalah pengesaan Tuhan, tindakan yang mengesakan Allah sebagai yang Esa, pencipta
yang mutlak dan penguasa segala yang ada. Keterangan ini merupakan bukti, tak dapat
diragukan lagi bahwa Islam, kebudayaan dan peradaban memiliki suatu esensi pengetahuan
yaitu tauhid.

vii
3. Tingkatan Tauhid

Tauhid menurut Islam ialah tauhid I,tiqadi-„ilmi (keyakinan teoritis) dan Tauhid amali-
suluki (tingkahlaku praktis). Dengan kata lain ketauhidan antara ketauhidan teoritis dan
ketauhidan praktis tak dapat dipisahkan satu dari yang lain; yakni tauhid bentuk makrifat
(pengetahuan), itsbat (pernyataan), I‟tiqad (keyakinan), qasd (tujuan) dan iradah
(kehendak). Dan semua itu tercermin dalam empat tingkatan atau tahapan tauhid yaitu;

a. Tauhid Rububiyah

Secara etimologis kata Rububiyah berasal dari akar kata rabb. Kata rabb ini
sebenarnya mempunyai banyak arti antara lain menumbuhkan, mengembangkan, mencipta,
memelihara, memperbaiki, mengelola, memiliki dan lain-lain. Secara Terminolgis Tauhid
Rububiyah ialah keyakinan bahwa Allah Swt adalah Tuhan pencipta semua mahluk dan
alam semesta. Dia-lah yang memelihara makhluk-Nya dan memberikan hidup serta
mengendalikan segala urusan. Dia yang memberikan manfaat, penganugerahan kemuliaan
dan kehinaan. Tauhid Rububiyah ini tergambar dalam ayat al-Quran antara lain QS. al-
Baqarah 21-22

“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang
sebelum kamu, agar kamu bertakwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan
bagimu dan langit sebagai atap dan dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia
menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu, karena itu
janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah padahal kamu mengetahui. “

“Katakanlah : Aku berlindung kepada rabb manusia “ (QS.an-nas: 1)

b. Tauhid Mulkiyah

Kata mulkiyah berasal dari kata malaka. Isim fa‟ilnya dapat dibaca dengan dua
macam cara: Pertama, malik dengan huruf mim dibaca panjang; berarti yang memiliki,
kedua, malik dengan huruf mim dibaca pendek; berarti, yang menguasai.

viii
Secara terminologis Tauhid Mulkiyah adalah suatu keyakinan bahwa Allah swt.,
adalah satu-satunya Tuhan yang memiliki dan menguasai seluruh mahluk dan alam
semesta. Keyakinan Tauhid Mulkiyah ini tersurat dalam ayat-ayat al-Quran seperti berikut
ini:

“ Yang menguasai hari pembalasan “ (QS. al-Fatihah ; 4)

“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada dalamnya, dan Dia
Maha Kuasa atas segala sesuatu “ ( QS. al-Maidah ; 120 )

c. Tauhid Uluhiyah

Kata Uluhiyah adalah masdar dari kata alaha yang mempunyai arti tentram, tenang,
lindungan, cinta dan sembah. Namun makna yang paling mendasar adalah abada, yang
berarti hamba sahaya („abdun), patuh dan tunduk („ibadah), yang mulia dan agung (al-
ma‟bad), selalu mengikutinya („abada bih).

“ Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah
Aku dan dirikanlah sholat untuk mengingat-Ku “

d. Tauhid Ubudiyah

Kata ubudiyah berasal dari akar kata abada yang berarti menyembah, mengabdi,
menjadi hamba sahaya, taat dan patuh, memuja, yang diagungkan (al-ma‟bud.) Dari akar
kata diatas, maka diketahui bahwa Tauhid Ubudiyah adalah suatu keyakinan bahwasanya
Allah Swt. Merupakan Tuhan yang patut disembah, ditaati, dipuja dan diagungkan. Tiada
sesembahan yang berhak dipuja manusia melainkan Allah semata. Tauhid Ubudiyah
tercermin dalam ayat dibawah ini:

“Hanya kepada Engkaulah kami beribadah dan hanya kepada Engkau ( pula ) kami
mohon pertolongan”

ix
C. Keimanan dan Ketakwaan

1). Pengertian Iman

Kebanyakan orang menyatakan bahwa kata iman berasal dari kata kerja “amina-
yu‟manu-amanan” yang berarti percaya oleh karena itu, iman yang berarti menunjuk sikap
batin yang terletak dalam hati. Akibatnya, orang percaya kepada Allah dan selainnya seperti
yang ada dalam rukun iman, walaupun dalam sikap kesehariaanya tidak mencerminkan
ketaatan atau kepatuhan (taqwa) kepada Allah yang telah dipercayainya, masih disebut
orang beriman hal itu disebabkan karena adanya keyakinan mereka bahwa yang tentang
urusan hati manusia adalah Allah dan dengan membaca dua kaliamat syahadat telah
menjadi Islam.

Dalam surat Al-baqarah ayat 165 dikatakan bahwa orang yang beriman adalah orang
yang amat sangat cinta Allah (asyaddu hubban lillah). Oleh karena itu beriman kepada Allah
berarti amat sangat rindu terhadap ajaran agama Allah, yaitu al-Quran dan As-sunah. Hal itu
karena apa yang dikendaki Allah menjadi kehendak orang beriman, sehingga dapat
menimbulkan tekad untuk mengorbankan segalanya dan kalau perlu mempertaruhkan
nyawa.

Dalam Hadits diriwayatkan Ibnu Majah Atthaabrani, iman didefinisikan dengan


keyakinan dalam hati, diikrarkan dengan lisan, dan diwujudkan dengan amal perbuatan.
Dengan demikian, iman merupakan kesatuan dan keselarasan hati, ucapan, dan perbuatan,
serta juga dapat dikatakan sebagai pandangan dan sikap hidup atau gaya hidup.

Istilah iman dalam Al-Quran selalu dirangkaikan dengan kata lain yang memberikan
corak dan warna tentang sesuatu yang diimani, seperti dalam surat An-Nisa; 51 yang
dikaitkan dengan Jibti (kebatinan/idealisme) dan Thaghut (realita /naturalisme) sedangkan
dalam surat al-Ankabut ayat 51 dikaitkan dengan bathil, yaitu walladzina aamanu bil baathili.
Bathil berarti tidak benar menurut Allah sedangkan dalam Surat Al- Baqarah ayat 4 iman
dirangkaikan dengan ajaran yang diturunkan Allah (yu‟minuuna bima unzila ilaika wamaa
unzila min qablika).

Kata iman yang tidak dirangkaikan dengan kata lain dalam al-Quran, mengandung
arti positif. Dengan demikian, kata iman yang tidak dikaitkan dengan kata Allah atau dengan
ajarannya, dikatakan sebagai iman haq. Sedangkan yang dikaitkan dengan selainnya,
disebut iman bathil.

2). Wujud Iman.

Akidah Islam dalam al-Quran disebut iman. Iman bukan hanya berarti percaya,
melainkan keyakinan yang mendorong seseorang muslim untuk berbuat. Oleh karena itu
lapangan iman sangat luas, bahkan mencakup segala sesuatu yang dilakukan seorang
muslim yang disebut amal shaleh.

x
Seseorang dinyatakan iman bukan hanya percaya terhadap segala seseuatu sesuai
dengan keyakinan. Karena itu iman bukan hanya dipercayai atau diucapkan, melainkan
menyatu secara utuh dalam diri seeorang yang dibuktikan dalam perbuatannya.

Akidah Islam adalah bagian yang paling pokok dalam agama Islam. Ia merupakan
keyakinan yang menjadi dasar dari segala sesuatu tindakan atau amal. Seseorang
dipandang sebagai muslim atau bukan muslim tergantung pada akidahnya. Apabila ia
berakidah Islam, maka segala sesuatu yang dilakukannya akan bernilai sebagai amaliah
seseorang muslim atau amal saleh. Apabila tidak berakidah maka segala amalnya tidak
memiliki arti apa-apa, kendatipun perbuatan yang dilakukan bernilai dalam pendengaran
manusia.

Akidah Islam atau Iman mengikat seeorang muslim, sehingga ia terikat dengan
segala aturan hukum yang datang dari Islam. Oleh karena itu menjadi seorang muslim
berarti meyakini dan melaksanakan segala sesuatu yang diatur dalam ajaran Islam. Seluruh
hidupnya didasarkan pada ajaran Islam.

3). Proses Terbentuknya Iman

Spermatozoid dan ovum yang diproduksi dan dipertemukan atas dasar ketentuan
yang digariskan ajaran Allah merupakan benih yang baik. Allah menginginkan agar
makanan yang dimakan berasal dari rezeki halalan thayyiban. Pandangan dan sikap hidup
seseorang ibu yang telah hamil mempengaruhi psikis yang dikandungnya. Ibu yang
mengandung tidak lepas dari pengaruh suami, maka secara tidak langsung pandangan dan
sikap hidup suami juga berpengaruh secara psikologis terhadap bayi yang sedang
dikandungnya. Oleh karena itu jika seseorang menginginkan anaknya kelak menjadi mukmin
yang muttaqin, maka suami istri hendaknya berpandangan dan bersikap sesuai dengan
yang dikehendaki Allah.

Benih Iman yang dibawa sejak dalam kandungan memerlukan pemupukan yang
berkesinambungan. Benih yang unggul apabila tidak disertai pemeliharaan yang intensif,
besar kemungkinan menjadi punah. Demikian pula halnya dengan iman. Berbagai pengaruh
terhadap seseorang, akan mengarahkan iman/kepribadian seseorang baik yang datang dari
lingkungan keluarga, masyarakat, pendidikan maupun lingkungan termasuk benda-benda
mati seperti cuaca, tanah, air dan lingkungan flora serta fauna.

Pengaruh pendidikan keluarga secara langsung maupun tidak langsung, baik yang
disengaja maupun tidak disengaja amat berpengaruh terhadap iman seseorang. Tingkah
laku orang tua dalam rumah tangga senantiasa merupakan contoh dan teladan bagi anak-
anak. Tingkah laku yang baik maupun buruk akan ditiru anak-anaknya. Jangan diharapkan
anak berperilaku baik, apabila orang tuanya selalu melakukan perbuatan tercela. Dalam hal
ini Nabi SAW bersabda; “setiap anak lahir membawa fitrah. Orang Tuanya yang berperan
menjadikan anaknya tersebut menjadi yahudi, Nasrani atau majusi.

xi
Pada dasarnya, proses pembentukan iman juga demikian. Diawali dengan proses
perkenalan, kemudian meningkat menjadi senang atau benci. Mengenal ajaran Allah adalah
langkah awal dalam mencapai iman kepada Allah. Jika seseorang tidak mengenal ajaran
allah, maka orang tersebut tidak mungkin beriman kepada Allah.

Seseorang yang menghendaki anaknya menjadi mukmin kepada Allah, maka ajaran
Allah harus diperkenalkan sedini mungkin seseuai dengan kemampuan anak itu dari tingkat
verbal sampai tingkat pemahaman. Bagaimana seorang anak menjadi anak beriman, jika
kepada mereka tidak diperkenalkan al-Quran.

Disamping proses pengenalan, proses pembiasaan, seseorang bisa saja semula


benci beubah menjadi senang. Seorang harus dibiasakan untuk melaksanakan apa yang
diperintahkan Allah dan menjauhi hal-hal yang dilarang-Nya agar kelak setelah menjadi
dewasa menjadi senang dan terampil dalam melaksanakan ajaran-ajaran Allah.

4).Korelasi Keimanan dan Ketakwaan

E. Korelasi Keimanan dan Ketakwaan

Keimanan pada keesaan Allah yang dikenal dengan istilah tauhid yang dibagi
menjadi dua, yaitu tauhid teoritis dan tauhid praktis.

Tauhid teoritis adalah tauhid yang membahas tentang ke-esaan Allah, ke-esaan
sifat, dan ke-esaan perbuatan tuhan. Pembahasan ke-esaaan zat, sifat dan perbuatan
Tuhan berkaitan dengan kepercayaan, pengetahuan, persepsi dan pemikiran atau konsep
tentang Tuhan. Konsekwensi logis tauhid teoritis adalah pengakuan yang ikhlas bahwa Allah
adalah satu-satunya wujud mutlak, yang menjadi sumber semua wujud.

Adapun wujud tauhid praktis yang disebut dengan wujud ibadah, berhubungan
dengan ibadah manusia. Tauhid praktis merupakan terapan dari teori tauhid teoritis. Kalimat
laa ilaaha illallah (tidak ada Tuhan selain Allah) lebih menekankan pengetahuan tauhid
praktis (tauhid ibadah). Tauhid ibadah adalah ketaatan hanya kepda Allah. Dengan kata lain,
tidak disembah selain Allah atau yang berhak disembah hanyalah Allah semata dan
menjadikanNYA tempat tumpuan hati dan tujuan segala gerak dan langkah.

Selama ini pemahaman tentang Tauhid hanyalah dalam pengertian beriman kepada
Allah, Tuhan yang Maha Esa mempercayaai saja ke-esaan Zat, Sifat dan perbuatan Tuhan,
tanpa mengucapkan dengan lisan serta mengamalkan dengan perbuatan, tidak dapat
dikatakan seorang sudah bertauhid dengan sempurna. Dalam pendangan Islam yang
dimaksud dengan Tauhid yang sempurna adalah tauhid yang tercermin dalam ibadah dalam
perbuatan praktis manusia sehari-hari secara murni dan konsekuen. Dalam menegakkan
tauhid seorang harus menyatukan iman dan amal, konsep dan pelaksanaan, fikiran dan
perbuatan, serta teks dan konteks. Dengan demikian tauhid adalah mengesakan tuhan
dalam pengertian yakin dan percaya kepada Allah melalui pikiran, membenarkan dalam hati,
mengucapkan dengan lisan dan mengamalkan dengan perbuatan. Oleh karena itu
seseorang baru dinyatakan beriman dan bertakwa, apabila sudah mengucapkan kalimat
tauhid dalam syahadat. „asyhadu allaa ilaaha illaAllah, (Aku bersaksi tiada Tuhan selain
Allah), kemudian diikuti dengan mengamalkan semua perintah Allah dan meninggalkan
semua larangan-Nya.

BAB II Sains dan Teknologi dan Al-Qur’an dan Al-Hadits

xii
A. Sains dan Teknologi Dalam Perspektif Al-Qur’an

Al-Qur'an adalah kitab suci yang diturunkan bagi seluruh umat manusia yang mau
menggunakan akal pikirannya dalam memahami penciptaan alam semesta. Apabila
diperhatikan dengan cermat ayat-ayat Al-Qur'an banyak sekali yang menyinggung masalah
ilmu pengetahuan, sehingga Al-Qur'an sering kali disebut sebagai sumber segala ilmu
pengetahuan.

Selain itu, Al-Qur'an merupakan landasan pertama bagi hal-hal yang bersifat konstan
dalam Islam. Oleh karena itu, telah banyak dilakukan studi yang menyoroti sisi kemukjizatan
al-Qur'an, antara lain dari segi sains yang pada era ilmu dan teknologi ini banyak mendapat
perhatian dari kalangan ilmuwan.

Penggalian ajaran-ajaran yang ada di dalam al-Qur'an sangat menarik sekali kalau
dilihat dengan kacamata ilmiah. Makin digali makin terlihat kebenarannya dan makin terasa
begitu kecil dan sedikitnya ilmu manusia yang menggalinya. Hal ini karena begitu maha
luasnya pengetahuan dan pelajaran-pelajaran yang ada di dalamnya.

Al-Qur‟an, sebagai kalam Allah, diturunkan bukan untuk tujuan-tujuan yang bersifat
praktis. Oleh sebab itu, secara obyektif, al-Qur‟an bukanlah ensiklopedi sains dan teknologi
apalagi al-Qur‟an tidak menyatakan hal itu secara gamblang.

Al-Quran al-Karim, yang terdiri atas 6.236 ayat itu, menguraikan berbagai persoalan
hidup dan kehidupan, antara lain menyangkut alam raya dan fenomenanya. Uraian-uraian
sekitar persoalan tersebut sering disebut ayat-ayat kauniyyah. Tidak kurang dari 750 ayat
yang secara tegas menguraikan hal-hal di atas, Jumlah ini tidak termasuk ayat-ayat yang
menyinggungnya secara tersirat.

Bukan sesuatu yang aneh dan mengherankan jika al-Qur‟an sebagai mukjizat
terbesar membawa segala persesuaian dan keserasian terhadap konklusi yang dicapai oleh
para ilmuan modern dan studi pembahasan dan meditasi yang dicapai oleh para ilmuan
setelah beratus-ratus tahun, karena al-Qur‟an adalah firman Allah Yang Maha Tahu
terhadap rahasia alam, dan tidak mengherankan jika al-Qur‟an mengandung mukjizat yang
lebih banyak.Tetapi, kendati demikian, bukan berarti bahwa Al-Quran sama dengan kitab
ilmu pengetahuan, atau bertujuan untuk menguraikan hakikat-hakikat ilmiah. Ketika al-Quran
memperkenalkan dirinya sebagai tibyanan likulli syay‟i, bukan maksudnya menegaskan
bahwa ia mengandung segala sesuatu, tetapi bahwa dalam al-Quran terdapat segala pokok
petunjuk menyangkut kebahagiaan hidup duniawi dan ukhrawi.

Al-Quran memerintahkan atau menganjurkan kepada manusia untuk memperhatikan


dan mempelajari alam raya dalam rangka memperoleh manfaat dan kemudahan-
kemudahan bagi kehidupannya, serta untuk mengantarkannya kepada kesadaran akan
keEsaan dan keMahakuasaan Allah SWT. Alam dan segala isinya beserta hukum-hukum
yang mengaturnya, diciptakan, dimiliki, dan di bawah kekuasaan Allah SWT serta diatur
dengan sangat teliti.

xiii
Alam raya tidak dapat melepaskan diri dari ketetapan ketetapan tersebut kecuali jika
dikehendaki oleh Tuhan. Dari sini tersirat bahwa:

1) Alam raya atau elemen-elemennya tidak boleh disembah, dipertuhankan atau


dikultuskan.

2) Manusia dapat menarik kesimpulan-kesimpulan tentang adanya ketetapan-


ketetapan yang bersifat umum dan mengikat bagi alam raya dan fenomenanya (hukum-
hukum alam).

3) Redaksi ayat-ayat kawniyyah bersifat ringkas, teliti lagi padat, sehingga


pemahaman atau penafsiran terhadap ayat-ayat tersebut dapat menjadi sangat bervariasi,
sesuai dengan tingkat kecerdasan dan pengetahuan masing-masing penafsirnya.

Kembali kepada masalah keterkaitan al-Quran dengan ilmu pengetahuan, Quraish


Shihab mengatakan : Menurut hemat kami, membahas hubungan al-Quran dan ilmu
pengetahuan bukan dinilai dengan banyaknya cabang-cabang ilmu pengetahuan yang
tersimpul di dalamnya, dan bukan pula dengan menunjukkan kebenaran teori-teori ilmiah.
Tetapi pembahasan hendaknya diletakkan pada proporsi yang lebih sesuai dengan
kemurnian dan kesucian al-Quran dan sesuai dengan logika ilmu pengetahuan itu sendiri.

Kandungan yang dapat diambil dari ayat al-Quran di atas adalah adanya petunjuk,
landasan dan motivasi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan bagi manusia. Kita perlu
ingat kembali juga kepada surat al-Quran yang pertama kali diturunkan kepada Rasulullah
adalah menunjuk pada perintah mencari ilmu pengetahuan, yaitu dengan memerintahkan
untuk membaca, sebagai kunci ilmu pengetahuan, dan menyebut qalam sebagai alat
transformasi ilmu pengetahuan. Allah SWT berfirman :

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia Telah


menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha
pemurah.Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada
manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS al-„Alaq, 96 : 1-5).

Kata iqra‟, menurut Quraish Shihab, diambil dari akar kata yang berarti menghimpun.
Dari menghimpun lahir aneka makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami,
meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca baik yang tertulis maupun tidak.
Sedangkan dari segi obyeknya, perintah iqra‟ itu mencakup segala sesuatu yang dapat
dijangkau oleh manusia.

Dalam Q.S. al-„Alaq ini Allah menyebutkan nikmat-Nya dengan mengajarkan


manusia apa yang tidak ia ketahui. Hal itu menunjukkan akan kemuliaan belajar dan ilmu
pengetahuan. Allah SWT mengawali surat dengan menganjurkan membaca yang timbul
sifat tahu, lalu menyebutkan penciptaan manusia secara khusus dan umum. Sebenarnya
penjelasan diatas dapat kita jadikan sebagai landasan mengapa kita harus menguasai sains
dan teknologi.

xiv
Di dalam al-Qur'an banyak sekali ayat-ayat yang menjelaskan tentang dasar-dasar
ilmu pengetahuan dan teknologi agar dapat digali dan dikembangkan oleh manusia yang
suka berfikir untuk keperluan dalam hidupnya.46 Seperti tersebut dalam surat al-Isyra‟ (17)
ayat 70 yang berbunyi :

“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di
daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan
mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami
ciptakan.” (QS al-Isra‟,17: 70)

Namun di sisi lain Allah menjelaskan bahwa yang paling mulia di sisi Allah ialah yang
paling bertakwa diantaranya. Hal ini tersebut dalam surat al-Hujurat, 49 ayat 13 :

“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang
paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
“(QS al-Hujurat, 49: 13)

Dari ayat-ayat di atas dapat difahami, bahwa manusia perlu melengkapi dirinya
dengan sains dan teknologi karena mereka adalah pengelola sumber daya alam yang ada di
bumi akan tetapi mereka juga harus memiliki landasan keimanan dan ketakwaan.

Diantara ayat-ayat al-Qur‟an yang juga membahas dasar-dasar sains dan teknologi
adalah surat al-Mu'minuun ayat 12-13 yang berbunyi :

“Dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal)
dari tanah, kemudian kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang
kokoh (rahim).” (QS. Al-Mu'minuun, 23: 12-13).

Dalam Tafsir Al-Maraghi, dijelaskan bahwa air mani lahir dari tanah yang tejadi dari
makanan, baik yang bersifat hewani maupun nabati. Makanan yang bersifat hewani akan
berakhir pada makanan yang bersifat nabati, dan tumbuh-tumbuhan lahir dari saripati tanah
dan air. Jadi, pada hakikatnya manusia lahir dari saripati tanah, kemudian saripati itu
mengalami perkembangan kejadian hingga menjadi air mani.48 Dari keterangan di atas
dapat dipetik suatu pelajaran tentang asal kejadian wujud manusia dari mana ia berasal, dan
dari hal inilah manusia dapat mempelajari bagian dari ilmu biologi maupun ilmu kedokteran.

Demikian pula dalam surat al-Nahl ayat 66-67 :

“Dan sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi
kamu. Kami memberimu minum dari apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang
bersih antara tahi dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya. Dan
dari buah kurma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezeki yang baik.
Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang
yang memikirkan.” (QS. An-Nahl, 16 : 66-67)

xv
Dalam konteks sains, al-Qur‟an mengembangkan beberapa langkah/proses sebagai
berikut.

Pertama, al-Qur‟an memerintahkan kepada manusia untuk mengenali secara


seksama alam sekitarnya seraya mengetahui sifat-sifat dan proses-proses alamiah yang
terjadi di dalamnya. Perintah ini, misalnya, ditegaskan di dalam surat Yunus ayat 101 :

“Katakanlah (wahai Muhammad): Perhatikan (dengan nazhor) apa yang ada di langit
dan di bumi….” (QS Yunus, 10 : 101)

Kedua, al-Qur‟an mengajarkan kepada manusia untuk mengadakan pengukuran


terhadap gejala-gejala alam. Hal ini diisyaratkan di dalam surat al-Qamar ayat 49 :

“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan ukuran.” (QS al-Qomar,


54 : 49)

Ketiga, al-Qur‟an menekankan pentingnya analisis yang mendalam terhadap


fenomena alam melalui proses penalaran yang kritis dan sehat untuk mencapai kesimpulan
yang rasional. Persoalan ini dinyatakan dalam surat al-Nahl ayat 11- 12 :

“Dia menumbuhkan bagimu, dengan air hujan itu, tanaman- tanaman zaitun, korma,
anggur, dan segala macam buah- buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-
benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi mereka yang mau berpikir. Dan Dia
menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu; dan bintang-bintang itu
ditundukkan (bagimu) dengan perintah-Nya. Sebenarnya pada yang demikian itu terdapat
tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang menalar.”(QS al-Nahl, 16 : 11-12)

Tiga langkah yang dikembangkan oleh al-Qur‟an itulah yang sesungguhnya yang
dijalankan oleh sains hingga saat ini, yaitu observasi (pengamatan), pengukuran-
pengukuran, lalu menarik kesimpulan (hukum-hukum) berdasarkan observasi dan
pengukuran itu. Meskipun demikian, dalam perspektif al-Qur‟an, kesimpulan-kesimpulan
ilmiah rasional bukanlah tujuan akhir dan kebenaran mutlak dari proses penyelidikan
terhadap gejala-gejala alamiah di alam semesta. Sebab, seperti pada penghujung ayat yang
menjelaskan gejala-gejala alamiah, kesadaran adanya Allah dengan sifat-sifat-Nya Yang
Maha Sempurna menjadi tujuan hakiki di balik fakta-fakta alamiah yang dinampakkan.

xvi
B. Relevansi Antara Hadits dan Sains Modern

Jika kita mencoba untuk menulusuri Hadits-Hadits Nabi SAW,maka kita akan
temukan sangat banyak dari Hadits-Hadits tersebut yang memiliki keterkaitan secara
langsung dengan ilmu pengetahuan, baik itu yang berkaitan dengan ilmu kesehatan dan
kedokteran, atau hasil-hasil riset ilmiyah yang sangat berkembang pada teknologi, ataupun
juga pada prediksi masa depan yang sudah terbukti secara ilmiah oleh para ilmuan hari ini.
Berikut ini penulis ingin memberikan beberapa contoh Hadits Nabi yang memiliki korelasi
dengan ilmu pengetahuan dan sains modern :

Dari Abu Hurairah Radhiallahu `anhu, dari Rasulullah Shallallahu `alaihi wasallam,
Beliau bersabda: sesungguhnya Allah SWT menyukai bersin dan membenci menguap,
maka apabila seseorang bersin lalu ia memuji Allah SWT maka menjadi satu keharusan
bagi saudaranya yang mendengarkannya untuk menjawab bersinnya, dan adapun menguap
maka sesungguhnya ia datang dari syaitan, maka hendaklah seseorang berupaya
menghindarinya sebisanya, dan apabila ia berkata Haa (saat menguap) maka syaitan
menertawakannya” (HR. Al-Bukhari).

Dalam Hadits ini Rasulullah SAW memberikan perbedaan yang sangat prinsip antara
bersin dan menguap di mana bersin adalah sesuatu yang baik dan disukai Allah sehingga
harus dibalas dengan pujian, sementara menguap adalah sesuatu yang tidak baik dan
dibenci karena datangnya dari syaithan, sehingga seseorang dianjurkan untuk berupaya
menghindarinya. Ternyata kebenaran ungkapan Rasul yang mulia tersebut dapat dibuktikan
secara ilmiah oleh para dokter hari ini, di mana mereka mengatakan bahwa di saat
seseorang menguap itu adalah indikasi dari otak dan tubuhnya yang sedang membutuhkan
oksigen dan udara serta gizi, sementara alat pernapasannya tidak sanggup memenuhi
kebutuhan tersebut, maka apabila mulut tetap dalam keadaan terbuka pada saat menguap
maka udara akan masuk bersama debu, bakteri dan penyakit lainnya, oleh karena itulah
Rasulullah SAW menganjurkan kepada ummatnya agar menutup mulutnya pada saat
menguap. Hal ini sangat berbeda dengan bersin, di mana bersin adalah dorongan kuat
secara tiba-tiba dari dalam tubuh yang mengeluarkan penyakit, bakteri dan debu seiring
dengan keluarnya udara dari hidung dan mulut pada saat bersin tersebut, maka bersin
adalah mengeluarkan penyakit dan itu baik bagi tubuh sehingga saat pantas bagi kita untuk
memuji Allah SWT, sedangkan menguap itu memasukkan penyakit kedalam tubuh dan itu
tidak baik bagi kita sehingga kita harus menghindarinya. Maka sangatlah tepat ketika Nabi
mengatakan dalam sebuah riwayat seperti berikut ini:

“Dari Abu Sa`id Al-Khudri (ra) bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW berkata:
apabila seseorang di antara kalian menguap maka hendaklah ia menahannya dengan
tangannya, dalam riwayat yang lain dikatakan: hendaklah ia meletakkan tangannya pada
mulutnya karena sesungguhnya syaitan itu masuk melalui mulutnya”(HR.Muslim).

xvii
Kesesuaian antara hadits Nabi dengan perkembangan ilmu pengetahuan
itulah yang disebut dengan i`jaz ilmi. I`jaz ilmi yang terdapat dalam Hadits Nabi bisa
dilihat dalam beberapa bidang tertentu, seperti dalam masalah kesehatan, ilmu
kedokteran dan juga ilmu pengetahuan eksact lainnya. Di bidang kesehatan
umpamanya banyak hal-hal yang menjadi anjuran dari Nabi yang ternyata anjuran
tersebut sangat sejalan dengan arahan para ahli kesehatan hari ini. Seperti tidak
boleh menghembus makanan panas agar cepat dingin lalu dimakan, pengobatan
tibbunnabawi dengan cara menkonsumsi madu dan Habbatussauda, dan lain
sebagainya. Atau di bidang teori kedokteran seperti persoalan gen manusia yang
akan selalu diwarisi oleh keturunan yang sesudahnya, dan jumlah persendian alam
tubuh manusia yang sampai jumlahnya sebanyak 360 persendirian. Dan lain
sebagainya.

Menganalisa hadits-hadits I`jazulilmi dalam lingkup I`jazul Hadits haruslah


dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kompetensi di bidang itu, serta sejalan
dengan kaedah kaedah tertentu yang memberikan kepastian akan keabsahan
analisa.

Mengedepankan Hadits sebagai petunjuk dan hidayah adalah satu


keharusan, karena memang tugas utamanya adalah menjadi petunjuk dalam
kehidupan manusia, tanpa memikirkan relevansinya dengan perkembangan ilmu
pengetahuan. Oleh karena itulah seandainya keselarasan itu dapat ditemukan dalam
banyak hadits itu hanyalah sekedar memperkuat dan memperkokoh eksistensi
kebenaran sebuah hadits, bukanlah satu-satunya cara untuk membenarkannya.
Sebab hadits itu jika sudah nyata benar maka kewajiban kita umatnya agar selalu
membenarkannya meskipun seolaholah berseberangan dengan ilmu dan sain
modern.

xviii
BAB III Generasi Terbaik Menurut Al-Hadits

Umat Rasulullah merupakan umat terbaik dari seluruh umat-umat para Nabi yang
diutus sebelum beliau. Meskipun umat Rasulullah datang sebagai yang terakhir diantara
umat-umat lainnya, tetapi di akhirat kelak umat Rasulullah-lah yang akan memasuki Surga
terlebih dahulu di bandingkan dengan umat-umat lainnya.Allah telah memberikan pujian
kepada umat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, dalam firman-Nya :

“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf
dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah..” (QS. Ali Imran : 110)

Tetapi diantara umat Rasulullah, terdapat beberapa generasi terbaik, sebagaimana


beliau sebutkan dalam sebuah hadits mutawatir, beliau bersabda :

“Sebaik-baik manusia adalah pada generasiku (yakni sahabat), kemudian orang-orang yang
mengiringinya (yakni tabi’in), kemudian orang-orang yang mengiringinya (yakni generasi
tabi’ut tabi’in).” (mutawatir. HR. Bukhari dan yang lainnya).

1). Generasi Sahabat Nabi

Sahabat Nabi adalah orang-orang yang mengenal dan melihat langsung Nabi
Muhammad, membantu perjuangannya dan meninggal dalam keadaan Muslim. Para
Sahabat yang utama mempunyai hubungan yang sangat erat dengan Nabi Muhammad,
sebab mereka merupakan penolongnya dan juga merupakan murid dan penerusnya. Bagi
dunia Islam saat ini, sahabat Nabi berperan amat penting, yaitu sebagai jembatan
penyampaian hadis dan sunnah Nabi Muhammad yang mereka riwayatkan.

Kebanyakan ulama secara umum mendefinisikan sahabat Nabi sebagai orang-orang


yang mengenal Nabi Muhammad, mempercayai ajarannya, dan meninggal dalam keadaan
Islam. Dalam bukunya “al-Iṣābah fī Tamyīz al-Ṣaḥābah”, Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852
H/1449 M) menyampaikan bahwa:

"Sahabat (‫ص\حابي‬, ash-shahabi) adalah orang yang pernah berjumpa dengan Nabi dalam
keadaan beriman kepadanya dan meninggal dalam keadaan Islam."

Terdapat definisi yang lebih ketat yang menganggap bahwa hanya mereka yang
berhubungan erat dengan Nabi Muhammad saja yang layak disebut sebagai sahabat Nabi.
Dalam kitab “Muqadimmah” karya Ibnu ash-Shalah (w. 643 H/1245 M),

Dikatakan kepada Anas, “Engkau adalah sahabat Rasulullah dan yang paling
terakhir yang masih hidup.” Anas menjawab, “Kaum Arab (badui) masih tersisa, adapun dari
sahabat beliau, maka saya adalah orang yang paling akhir yang masih hidup.”

Demikian pula ulama tabi'in Said bin al-Musayyib (w. 94 H/715 M) berpendapat
bahwa: “Sahabat Nabi adalah mereka yang pernah hidup bersama Nabi setidaknya selama
setahun, dan turut serta dalam beberapa peperangan bersamanya.”

xix
Sementara Imam an-Nawawi (w. 676 H /1277 M) juga menyatakan bahwa:
“Beberapa ahli hadis berpendapat kehormatan ini (sebagai Sahabat Nabi) terbatas bagi
mereka yang hidup bersamanya (Nabi Muhammad) dalam waktu yang lama, telah
menyumbang (harta untuk perjuangannya), dan mereka yang berhijrah (ke Madinah) dan
aktif menolongnya; dan bukan mereka yang hanya menjumpainya sewaktu-waktu, misalnya
para utusan Arab badui; serta bukan mereka yang bersama dengannya setelah
Pembebasan Mekkah, ketika Islam telah menjadi kuat.”

Identifikasi terhadap Sahabat Nabi, termasuk tingkatan dan statusnya, merupakan


hal yang penting dalam Dunia Islam karena digunakan untuk mengevaluasi keabsahan
suatu hadis maupun perbuatan Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh mereka.

Menurut Al-Hakim an-Naisaburi dalam karyanya Al-Mustadrak, tingkatan Sahabat


terbagi dalam dua belas tingkatan, yaitu:

1.Para Khulafa'ur Rasyidin dan selebihnya dari Sepuluh yang Dijanjikan Surga ketika masih
hidup

2.Para sahabat yang masuk Islam di Makkah sebelum Umar dan mengikuti majelis Daarul
Arqam

3.Para sahabat yang ikut serta berhijrah ke negeri Habasyah

4.Para sahabat Kaum Anshar yang ikut serta dalam Bai'at Aqabah Pertama

5.Para sahabat Kaum Anshar yang ikut serta dalam Bai'at Aqabah Kedua

6.Para sahabat Kaum Muhajirin yang berhijrah sebelum sampainya Nabi Muhammad di
Madinah dari Quba

7.Para sahabat yang ikut serta dalam Perang Badar

8.Para sahabat yang berhijrah antara Perang Badar dan Perjanjian Hudaibiyyah

9.Para sahabat yang ikut serta dalam Bai'at Ridhwan pada saat ekspedisi Hudaibiyyah

10.Para sahabat yang masuk Islam dan berhijrah ke Madinah setelah Perjanjian
Hudaibiyyah

11.Para sahabat yang masuk Islam setelah Fathu Makkah

12.Para sahabat anak-anak yang melihat Nabi Muhammad di waktu atau tempat apapun
setelah Fathu Makkah.

xx
Terdapat sekelompok Sahabat Nabi yang dipandang lebih tinggi statusnya di antara
kalangan mereka sendiri, yaitu sebagai ulama yang dimintakan fatwanya untuk berbagai
permasalahan yang mereka hadapi. Sahabat Nabi yang memberikan fatwa diperkirakan ada
sekitar 130 orang, laki-laki dan perempuan.[9] Menurut Ibnu Qayyim, para ulama Sahabat
Nabi terbagi sbb.

1. Para sahabat yang banyak berfatwa, yaitu tujuh orang: Umar bin Khattab, Ali
bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas'ud, Aisyah Ummul Mukminin, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin
Umar, dan Abdullah bin Abbas

2. Para sahabat yang pertengahan dalam berfatwa, antara lain: Abu Bakar,
Ummu Salamah, Anas bin Malik, Abu Sa'id al-Khudri, Abu Hurairah, Utsman bin Affan,
Abdullah bin Amr bin al-Ash, Abdullah bin Zubair, dll.

3. Para sahabat yang sedikit berfatwa, hanya satu-dua masalah, yaitu: Abu
Darda, Abu al-Yasar, Abu Salamah al-Makhzumi, Abu Ubaidah bin al-Jarrah, Hasan bin Ali,
Husain bin Ali, Nu'man bin Basyir, Ubay bin Ka'ab, Abu Ayyub, Abu Thalhah, Abu Dzar,
Ummu Athiyyah, Shafiyah Ummul Mukminin, Hafshah, dan Ummu Habibah.

2). Generasi Tabi’in

Tabi’in adalah orang Islam awal yang masa hidupnya setelah para Sahabat Nabi
dan tidak mengalami masa hidup Nabi Muhammad saw. Usianya tentu saja lebih muda dari
sahabat nabi, bahkan ada yang masih anak-anak atau remaja pada masa sahabat masih
hidup. Tabiin merupakan murid sahabat nabi.

Masa tabiin dimulai sejak wafatnya sahabat nabi terakhir, Abu Thufail al-Laitsi, pada
tahun 100 H (735 M) di kota Makkah; dan berakhir dengan wafatnya Tabiin terakhir, Khalaf
bin Khulaifat, pada tahun 181 H (812 M).Setelah masa tabiin berakhir, maka diteruskan
dengan masa tabiut tabiin atau generasi ketiga umat Islam setelah Nabi Muhammad wafat.

Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dalam karyanya Taqrib at-Tahdzib membagi para tabiin
menjadi empat tingkatan berdasarkan usia dan sumber periwayatannya, yaitu:

1.Para tabiin kelompok utama/senior (kibar at-tabi'in), yang telah wafat sekitar tahun
95 H/713 M. Mereka seangkatan dengan Said bin al-Musayyab (lahir 13 H - wafat 94 H).

2.Para tabiin kelompok pertengahan (al-wustha min at-tabi'in), yang telah wafat
sekitar tahun 110 H/728 M. Mereka seangkatan dengan Al-Hasan al-Bashri (lahir 21 H -
wafat 110 H) dan Muhammad bin Sirin (lahir 33 H - wafat 110 H).

3.Para tabiin kelompok muda (shighar at-tabi'in) yang kebanyakan meriwayatkan


hadis dari para tabiin tertua, yang telah wafat sekitar tahun 125 H/742 M. Mereka
seangkatan dengan Qatadah bin Da'amah (lahir 61 H - wafat 118 H) dan Ibnu Syihab az-
Zuhri (lahir 58 H - wafat 124 H).

4.Para tabiin kelompok termuda yang kemungkinan masih berjumpa dengan para
sahabat nabi dan para tabiin tertua walau tidak meriwayatkan hadis dari sahabat nabi, yang
telah wafat sekitar tahun 150 H/767 M. Mereka seangkatan dengan Sulaiman bin Mihran al-
A'masy (lahir 61 H - wafat 148 H).

xxi
Mayoritas ulama penulis biografi para periwayat hadis (asma ar-rijal) juga membagi
para tabiin menjadi tiga tingkatan berdasarkan Sahabat Nabi yang menjadi guru mereka,
yaitu :

1.Para tabiin yang menjadi murid para sahabat yang masuk Islam sebelum peristiwa
Fathu Makkah

2.Para tabiin yang menjadi murid para Sahabat yang masuk Islam setelah peristiwa
Fathu Makkah

3.Para tabiin yang menjadi murid para Sahabat yang belum berusia dewasa ketika
Nabi Muhammad SAW wafat.

3). Generasi Tabi’ut Tabi’in

Generasi Tabi’ut Tabi’in adalah generasi setelah Tabi'in, artinya pengikut Tabi'in,
adalah orang Islam teman sepergaulan dengan para Tabi'in dan tidak mengalami masa
hidup Sahabat Nabi. Tabi'ut Tabi'in adalah di antara tiga kurun generasi terbaik dalam
sejarah Islam, setelah Tabi'in dan Shahabat. Tabi'ut Tabi'in disebut juga murid Tabi'in.

Menurut banyak literatur Hadis: Tabi'ut Tabi'in adalah orang Islam dewasa yang
pernah bertemu atau berguru pada Tabi'in dan sampai wafatnya beragama Islam. Dan ada
juga yang menulis bahwa Tabi'in yang ditemui harus masih dalam keadaan sehat
ingatannya. Karena Tabi'in yang terahir wafat sekitar 110-120 Hijriah.

Tabi'in sendiri serupa seperti definisi di atas hanya saja mereka bertemu dengan
Sahabat. Sahabat yang terakhir wafat sekitar 80-90 Hijriah.

xxii
BAB IV Pengertian Salaf Menurut Al-Hadits

A. Pengertian Salaf

Salaf, artinya adalah orang-orang terdahulu. Adapun yang dimaksud dengan


Salafush Shalih, dalam istilah ulama adalah orang-orang terdahulu yang shalih, dari
generasi sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, dari generasi
tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan para ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah setelah mereka.

Salafush Shalih adalah generasi terbaik umat Islam. Oleh karenanya, merupakan
kewajiban bagi kita untuk mengikuti pemahaman mereka dalam beragama. Sehingga
berbagai macam bid’ah, perpecahan dan kesesatan dapat dijauhi. Karena adanya berbagai
macam bid’ah, perpecahan, dan kesesatan tersebut, berawal dari menyelisihi pemahaman
Salafush Shalih. Menjadi keniscayaan, jika seluruh umat Islam, dari yayasan atau organisasi
atau lembaga apapun, wajib mengikuti pemahaman Salafush Shalih dalam beragama.

Banyak dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah yang menunjukkan kewajiban


mengikuti pemahaman Salafush Shalih. Para ulama telah banyak menulis masalah besar ini
di dalam karya-karya mereka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

َ ‫ِين َيلُو َن ُه ْم ُث َّم الَّذ‬


‫ِين َيلُو َن ُه ْم‬ َ ‫اس َقرْ نِي ُث َّم الَّذ‬
ِ ‫َخ ْي ُر ال َّن‬
Sebaik-baik manusia adalah generasiku (yaitu generasi sahabat), kemudian orang-
orang yang mengiringinya (yaitu generasi tabi’in), kemudian orang-orang yang
mengiringinya (yaitu generasi tabi’ut tabi’in). [Hadits mutawatir, riwayat Bukhari dan lainnya].

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam


memberitakan, sesungguhnya sebaik-baik generasi adalah generasi Beliau secara mutlak.
Itu mengharuskan (untuk) mendahulukan mereka dalam seluruh masalah (berkaitan
dengan) masalah-masalah kebaikan”.

Para sahabat adalah manusia terbaik, karena mereka merupakan murid-murid


Rasulullah.Dibandingkan dengan generasi-generasi sesudahnya, mereka lebih memahami
Al Qur’an. Mengapa? Karena mereka menghadiri turunnya Al Qur’an, mengetahui sebab-
sebab turunnya. Dan mereka, juga bertanya kepada Rasulullah n tentang ayat yang sulit
mereka fahami.

Al Qur’an juga turun untuk menjawab pertanyaan mereka, memberikan jalan keluar
problem yang mereka hadapi, dan mengikuti kehidupan mereka yang umum maupun yang
khusus. Mereka juga sebagai orang-orang yang paling mengetahui bahasa Al Qur’an,
karena Al Qur’an diturunkan dengan bahasa mereka. Dengan demikian, mengikuti
pemahaman mereka merupakan hujjah terhadap generasi setelahnya.

xxiii
Menurut al-Qalsyani: “Salafush Shalih adalah generasi pertama dari ummat ini yang
pemahaman ilmunya sangat dalam, yang mengikuti petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan menjaga Sunnahnya. Allah memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya
Shallallahu ‘alaihi wa sallamdan menegak-kan agama-Nya…”

Syaikh Mahmud Ahmad Khafaji berkata di dalam kitabnya, al-‘Aqiidatul Islamiyyah


bainas Salafiyyah wal Mu’tazilah: “Penetapan istilah Salaf tidak cukup dengan hanya
dibatasi waktu saja, bahkan harus sesuai dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah menurut
pemahaman Salafush Shalih (tentang ‘aqidah, manhaj, akhlaq dan suluk-pent.).
Barangsiapa yang pendapatnya sesuai dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah mengenai
‘aqidah, hukum dan suluknya menurut pemahaman Salaf, maka ia disebut Salafi meskipun
tempatnya jauh dan berbeda masanya. Sebaliknya, barangsiapa pendapatnya menyalahi Al-
Qur-an dan As-Sunnah, maka ia bukan seorang Salafi meskipun ia hidup pada zaman
Sahabat, Ta-bi’in dan Tabi’ut Tabi’in.[5]

Penisbatan kata Salaf atau as-Salafiyyuun bukanlah termasuk perkara bid’ah, akan
tetapi penisbatan ini adalah penisbatan yang syar’i karena menisbatkan diri kepada generasi
pertama dari ummat ini, yaitu para Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah dikatakan juga as-Salafiyyuun karena mereka mengikuti
manhaj Salafush Shalih dari Sahabat dan Tabi’ut Tabi’in. Kemudian setiap orang yang
mengikuti jejak mereka serta berjalan berdasarkan manhaj mereka -di sepanjang masa-,
mereka ini disebut Salafi, karena dinisbatkan kepada Salaf. Salaf bukan kelompok atau
golongan seperti yang difahami oleh sebagian orang, tetapi merupakan manhaj (sistem
hidup dalam ber-‘aqidah, beribadah, berhukum, berakhlak dan yang lainnya) yang wajib
diikuti oleh setiap Muslim. Jadi, pengertian Salaf dinisbatkan kepada orang yang menjaga
keselamatan ‘aqidah dan manhaj menurut apa yang dilaksanakan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para Sahabat Radhiyallahu anhum sebelum terjadinya perselisihan
dan perpecahan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat th. 728 H)[7] berkata: “Bukanlah
merupakan aib bagi orang yang menampakkan manhaj Salaf dan menisbatkan dirinya
kepada Salaf, bahkan wajib menerima yang demikian itu karena manhaj Salaf tidak lain
kecuali kebenaran.”

xxiv
BAB V Islam: Ajaran Tentang Berbagi serta Keadilan Penegakan Hukum

A. Keutamaan Berbagi dalam Islam

Islam telah menganjurkan umatnya untuk menafkahkan harta kepada orang lain
dalam bentuk infaq, zakat dan shadaqah. Bedanya infaq/zakat/shadaqah melibatkan
perintah karena Allah, sedangnya bermurah hati saja bagi orang Barat tidak melibatkan
Allah Subhanahu Wata’ala..

‫ِين آَ َم ُنوا ِم ْن ُك ْم َوأَ ْن َفقُوا َل ُه ْم أَجْ ٌر َك ِبي ٌر‬ َ ‫آَ ِم ُنوا ِباهَّلل ِ َو َرسُولِ ِه َوأَ ْنفِقُوا ِممَّا َج َع َل ُك ْم مُسْ َت ْخ َلف‬
َ ‫ِين فِي ِه َفالَّذ‬

“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu
yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di
antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.”
(QS: Al Hadiid: 7)

Al Qurthubi menjelaskan, “Ayat ini merupakan dalil bahwa pada hakekatnya harta itu
milik Allah. Hamba tidaklah memiliki apa-apa melainkan apa yang Allah ridhoi. Siapa saja
yang menginfakkan harta pada jalan Allah, maka itu sama halnya dengan seseorang yang
mengeluarkan harta orang lain dengan seizinnya. Dari situ, ia akan mendapatkan pahala
yang melimpah dan amat banyak.” [Dalam Tafsir Al Qurthubi, Jaami’ Li Ahkamil Qur’an].

Dalam Islam, berbagi dan bersedekah justru manfaatnya lebih luas dibanding hasil
penelitan di atas. Setidaknya ada empat manfaat sedekah yang sering dikutip Rasulullah;
Pertama, membukakan pintu rezeki, kedua, mengobati orang sakit, ketiga, mampu
meredakan kemarahan Allah dan mengurangi kesakitan saat sakaratul maut dan terkhiar
sedekah mampu menjadi ‘naungan’ di hari kiamat.

“Sesungguhnya tidak akan berkurang harta yang disedekahkan, kecuali bertambah


dan bertambah.” (HR. Tirmidzi).

Rasulullah Shallahu ‘alaihi Wassallam bersabda: “Sedekah dapat menolak 70


macam bencana, yang paling ringan diantara bencana itu adalah penyakit kusta dan sopak.”
(HR. Thabrani).

“Hiasilah waktu pagimu dengan sedekah, niscaya bala’ tidak menghampiri.” (at –
Targhin wa at – Targhib 2/20,39).

“Obatilah orang yang sakit diantara kalian dengan sedekah.” (HR. Thabrani dan
Baihaki).*

xxv
Keutamaan Berbagi antara lain :

1. Bersedekah tidak akan mengurangi rezeki.

Jika kita melakukan sedekah, hal tersebut tidak akan mengurangi harta atau rezeki
kita. Justru Allah akan menggantinya dengan rezeki yang sebaik-baiknya.Seperti dalam
firman Allah pada Alquran surat Saba ayat 39 yang berbunyi:

“ Qul inna rabbii yabsutur-rizqa limay yasyaa'u min 'ibaadihii wa yaqdiru lah, wa maa
anfaqtum min syai'in fa huwa yukhlifuh, wa huwa khairur raaziqiin”

Katakanlah: "Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezeki bagi siapa yang


dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi (siapa yang
dikehendaki-Nya)". Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan
menggantinya dan Dialah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya."

2. Membuka pintu rezeki.

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwasanny Rosulullah Shallallahu’ alaihi


wasallam bersabda:

"Tidak ada suatu hari pun ketika seorang hamba melewati paginya kecuali akan
turun dua malaikat. Lalu salah satunya berkata, "Ya Allah berikanlah pengganti bagi siapa
yang menafkahkan hartanya", sedangkan yang satunya lagi berkata, "Ya Allah berikanlah
kehancuran (kebinasaan) kepada orang yang menahan hartanya (bakhil)." (HR. Al-Bukhari
dan Muslim)

Dai hadits tersebut dijelaskan bahwa bersedekah justru akan membuka pintu rezeki
yang baru.

3. Dapat menghapus dosa-dosa.

Rasulullah bersabda, "Sedekah dapat menghapus dosa sebagaimana air


memadamkan api." (HR. Tirmidzi)

Allah hanya akan mengampuni dosa-dosa seseorang yang telah bersedekah dengan
syarat orang tersebut mengikutinya dengan taubat. Dan jika seseorang melakukan sedekah
dengan niat agar dosa-dosanya dianggap impas, maka sesungguhnya hal ini tidaklah
dibenarkan.

4. Dijauhkan dari api neraka.

Rasulullah Sholallahu Alaihi Wassalam bersabda, "Jauhilah neraka walupun hanya


dengan (sedekah) sebiji kurma, kalau kamu tidak menemukan sesuatu, maka dengan
omongan yang baik." (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim)

5. Merupakan amal jariyah.

Sedekah merupakan salah satu amal jariyah yang pahalanya tidak akan pernah
putus, bahkan saat kita sudah meninggal. Rasulullah bersabda, "Jauhilah neraka walupun
hanya dengan (sedekah) sebiji kurma, kalau kamu tidak menemukan sesuatu, maka dengan
omongan yang baik." (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim.).

xxvi
B. Hukum dan Keadilan dalam Islam

Hidup perorangan dan hidup bermasyarakat berjalin, yang satu bergantung pada
yang lain. Kita mahluk sosial harus berhadapan dengan berbagai macam persoalan hidup,
dari persoalan rumah tangga, hidup bermasyarakat, berbangsa, bernegara, berantara
negara, berantar agama dan sebagainya, semuanya problematika hidup duniawi yang
bidangnya amat luas. Maka risalah Muhammad Saw, meletakkan beberapa kaidah yang
memberi ketentuan-ketentuan pokok guna memecahkan persoalan-persoalan.

“Dan janganlah rasa benci kamu kepada suatu golongan menyebabkan kamu tidak
berlaku adil. Berlaku adilah, karena itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada
Allah karena sesungguhnya Allah amat mengetahui apa yang kamu kerjakan”(QS.5:8).

“Dengarlah dan taatilah sekalipun andaikata yang menjalankan hukum atasmu


seseorang budak Habsyi yang kepalanya seperti kismis selama dijalankannya hukum Allah
Swt”. (H.R.Buchori dari Anas)

Islam memerintahkan kepada setiap manusia untuk berbuat adil atau menegakkan
keadilan pada setiap tindakandan perbuatan yang dilakukan (Qs. an-Nisaa (4): 58):

“Sesungguhnya Allah menyuruhmu menyampaikan ama- nat kepada yang berhak


menerimanya, dan (menyuruh kamu) apa bila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberikan pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat.”.

Dalam Al-Qur’an Surat an-Nisaa ayat 135 juga dijumpal perintah kepada orang-
orang yang beriman untuk menjadi penegak keadilan, yaitu:

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benarpenegak


keadilan, menjadi saksi karena Allah walaupun terhadap dirimu sendiri atau Ibu, Bapak dan
kaum kerabatmu. Jika ia, kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemasalahatanya.
Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dan kebenaran. Dan
jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau dengan menjadi saksi, maka sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui Segalanya apa yang kamu lakukan’”.

Perintah untuk berlaku adil atau menegakkan keadilan dalam menerapkan hukum
tidak memandang perbedaan agama, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an Surat
asSyuura (42) ayat 15, yakni:

Maka karena itu serulah (mereka kepada agama itu) dan tetaplah sebagaimana
diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan katakanlah:

“Aku beriman kepada semua kitab yaig diturunkan Allah dan aku diperintahkan
supaya berlaku adil di antara kamu. Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal
kamu. Tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu Allah mengumpulkan antara kita dan
kepada-Nyalah kebali (kita).”

xxvii
Konsepsi keadilan Islam menurut Qadri[3] mempunyai arti yang lebih dalam daripada
apa yang disebut dengan keadilan distributif dan finalnya Aristoteles; keadilan formal hukum
Romawi atau konsepsi hukum yang dibuat manusia lainnya. Ia merasuk ke sanubari yang
paling dalam dan manusia, karena setiap orang harus berbuat atas nama Tuhan sebagai
tempat bermuaranya segala hal termasuk motivasi dan tindakan. Penyelenggaraan keadilan
dalam Islam bersumber pada Al-Qur’an serta kedaulatan rakyat atau komunitas Muslim
yakni umat.

Makna yang terkandung pada konsepsi keadilan Islam ialah menempatkan sesuatu
pada tempatnya, membebankan sesuatu sesuai daya pikul seseorang, memberikan sesuatu
yang memang menjadi haknya dengan kadar yang seimbang. Prinsip pokok keadilan
digambarkan oleh Madjid Khadduri[4] dengan mengelompokkan ke dalam dua kategori,
yaitu aspek substantifdan prosedural yang masing-masing meliputi satu aspek dan keadilan
yang berbeda. Aspek substantif berupa elemen-elemen keadilan dalam substansi syariat
(keadilan substantif), sedangkan aspek prosedural berupa elemen-elemen keadilan dalam
hukum prosedural yang dilaksanakan (keadilan prosedural).

Manakala kaidah-kaidah prosedural diabaikan atau diaplikasikan secara tidak tepat,


maka ketidakadilan prosedural muncul. Adapun keadilan substantif merupakan aspek
internal dan suatu hukum di mana semua perbuatan yang wajib pasti adil (karena firman
Tuhan) dan yang haram pasti tidak adil (karena wahyu tidak mungkin membebani
orangorang yang beriman suatu kezaliman). Aplikasi keadilan prosedural dalam Islam
dikemukakan oleh Ali bin Abu Thalib[5] pada saat perkara di hadapan hakim Syuraih dengan
menegur hakim tersebut sebagai berikut:

1. Hendaklah samakan (para pihak) masuk mereka ke dalam majelis, jangan ad yang
didahulukan.

2. Hendaklah sama duduk mereka di hadapan hakim.

3. Hendaklah hakim menghadapi mereka dengan sikap yang sama.

4. Hendaklah keterangan-keterangan mereka sama didengarkan dan diperhatikan.

5. Ketika menjatuhkan hukum hendaklah keduanya sama mendengar.

xxviii
DAFTAR PUSTAKA

Amazonaws.com.Konsep Ketuhanan Dalam Islam.24 Juli 2008(Diakses 23 Oktober 2020)


dari https://currikicdn.s3-us-west-2.amazonaws.com/resourcedocs/54d3775e84d96.pdf

Wordpress.com.Keistimewaan Konsep Tuhan Islam.25 Agustus 2008(Diakses 23 Oktober


2020) dari https://agungsukses.wordpress.com/2008/07/24/konsep-ketuhanan-dalam-islam/

Wikipedia.org.Allah(Islam).4 Oktober 2020(Diakses 23 Oktober 2020) dari


https://id.wikipedia.org/wiki/Allah_(Islam)

Ejournal.kopertais4.or.id.Sains dan Teknologi Dalam Al-Qur’an.1 Juni 2020(Diakses pada 23


Oktober 2020) dari
http://ejournal.kopertais4.or.id/mataraman/index.php/sumbula/article/view/3976/2943

Media.Neliti.com.Sumber Ilmu Pengeahuan dari Al-Qur’an dan Hadits.2 Oktober


2011(Diakses pada 23 Oktober 2020) dari
https://media.neliti.com/media/publications/167158-ID-sumber-sumber-ilmu-pengetahuan-
dalam-al.pdf

Muslim.co.id.Inilah Generasi Terbaik Sepanjang Sejarah.17 Maret 2010(Diakses 23 Oktober


2020) dari https://muslim.or.id/2406-inilah-generasi-terbaik-dalam-sejarah.html

Wordpress.com.Tiga Generasi Terbaik Umat Manusia.29 Juli 2009(Diakses pada 23


Oktober 2020) dari https://qurandansunnah.wordpress.com/2009/07/29/tiga-generasi-
terbaik-umat-manusia/

Id.Wikipedia.org.Salaf.31 Juli 2020(Diakses 23 Oktober 2020) dari


https://id.wikipedia.org/wiki/Salaf

Euromoslem.com.Definisi Salaf.4 April 2018(Diakses pada 23 Oktober 2020) dari


https://www.euromoslim.org/definisi-salaf/

Hidayatullah.com.Hindari Pelit dan Banyak Berbagi.12 November 2014(Diakses pada 23


Oktober 2020) dari
https://www.hidayatullah.com/iptekes/kesehatan/read/2014/11/12/33088/hindari-pelit-dan-
banyak-berbagi-bikin-hidup-lebih-sehat.html

Mizan; Jurnal Ilmu Syariah, FAI Universitas Ibn Khaldun (UIKA) BOGOR Vol. 1 No. 2 (2013),
pp. 143-148, link: https://www.academia.edu/31651189

xxix

Anda mungkin juga menyukai