Anda di halaman 1dari 93

ARTIKEL TEMA KEISLAMAN:

1. TAUHID: KEISTIMEWAAN DAN KEBENARAN KONSEP KETUHANAN


DALAM ISLAM
2. SAINS&TEKNOLOGI DALAM AL-QUR’AN DAN AL-HADITS
3. 3 GENERASI TERBAIK MENURUT AL-HADITS
4. PENGERTIAN DAN JEJAK SALAFUSSOLEH (REFERENSI AL-HADITS)
5. AJARAN DAN TUNTUNAN TENTANG BERBAGI, KEADILAN SERTA
PENEGAKAN HUKUM DALAM ISLAM.

Disusun sebagai tugas terstruktur Mata Kuliah: Pendidikan Agama Islam

Dosen Pengampuh:

Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos

Disusun Oleh:

Nama : Agil Maulana Nanda Riady


NIM : F1B020003
Fakultas&Prodi : Fakultas Teknik & Prodi Teknik Elektro
Semester :1

PROGRAM STUDI TEKNIK ELEKTRO


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS MATARAM
T.A. 2020/2021
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warrohmatullahi Wabarokatuh


Puji syukur Alhamdulillah penulis haturkan kepada ALLAH SWT karena atas
campur tangan-Nya sehingga penyusunan tugas terstruktur ini dapat terselesaikan
dengan baik. Tugas ini dijadikan bukti bahwa penulis telah mengikuti mata kuliah
Agama Islam selama 1 bulan terakhir . tugas ini juga merupakan salah satu syarat
untuk mengikuti Ujian Tengah Semester (UTS).

Sholawat dan Salam semoga ALLAH limpahkan kepada Rasulullah


Muhammad SAW atas perjuangan nya membawa umat islam dari jaman kegelapan
menuju alam yang terang benderang

Terima kasih saya sampaikan atas bimbingan Bapak Dr. Taufiq Ramdani,
S.Th.I., M.Sos sebagai dosen pengampuh pengampuh mata Kuliah Pendidkan Agama
Islam yang telah membimbing saya selama 1 bulan terakhir sehingga saya dapat
menyelesaikan tugas ini dengan baik
Penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari kesempurnaan. Namun,
Penulis berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi pembacan khususnya
bagi Penulis sendiri. Besar harapan saya tugas ini akan memberi manfaat bagi para
pembaca agar dapat di jadikan referensi atau penambah ilmu untuk pembaca sekalian

Penyusun, Dompu, 22 Oktober 2020

Nama :Agil Maulana Nanda Riady


NIM :F1B0200

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN COVER ................................................................................................ i


KATA PENGANTAR .............................................................................................. ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................... iii
BAB I Tauhid: Keistimewaan dan Kebenaran Konsep Ketuhanan dalam Islam .....
1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1
1.2 Konsep Ketuhanan dalam Islam ........................................................... 2
1.3 Filsafat Ketuhanan Islam ...................................................................... 3
1.4 Sejarah Pemikiran Manusia Tentang Tuhan ......................................... 6
1.5 Dalil Pembuktian Adanya Tuhan ....................................................... 9
BAB II Sains dan Teknologi dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits ..................................
2.1 Latar Belakang ..................................................................................... 18
2.2 Dimensi Sains dan Teknologi dalam al-Qur’an ..................................... 19
2.3 Ayat-Ayat sains dalam Al-Qur’an........................................................... 27
2.4 Ayat-Ayat Al-Qur’an dalam berbagai bidang Sains ............................... 28
2.5 Prinsip-Prinsip Dasar Kegiatan Ilmiah dalam al-Qur’an ........................ 43
2.6 Sains dan Teknologi Modern: Pertimbangan Epistemologis ................. 45
BAB III 3 Generasi Terbaik Menurut Al-Hadits .......................................................
3.1 Latar Belakang...................................................................................... 48
3.2 Generasi Sahabat.................................................................................. 48
3.3 Generasi Tabi’in ................................................................................... 50
3.4 Generasi Tabiut Tabi’in ......................................................................... 51
BAB IV Pengertian dan Jejak Salafussoleh Menurut Al-Hadits ..............................
4.1 Pengertian Salafussoleh........................................................................ 53
4.2 Kewajiban Ittiba’ (mengikuti jejak) Salafussoleh ................................... 56
4.3 Perhatian para Ulama Terhadap Aqidah Salafussoleh.......................... 64
BAB V Ajaran Tentang Berbagi serta Keadilan Penegakan Hukum .......................
5.1 Ajaran Tentang Berbagi Dalam Islam ................................................... 66
5.2 Ajaran Tentang Keadilan Dan Penegakan Hukum Dalam Islam ........... 77
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... iv
LAMPIRAN ............................................................................................................ v
BAB I
Tauhid: Keistimewaan dan Kebenaran
Konsep Ketuhanan dalam Islam

1.1 Latar Belakang


Dalam sejarah peradaban Yunani, tercatat bahwa pengkajian dan kontemplasi
tentang eksistensi Tuhan menempati tempat yang khusus dalam bidang pemikiran
filsafat. Contoh yang paling nyata dari usaha kajian filosofis tentang eksistensi
Tuhan dapat dilihat bagaimana filosof Aristoteles menggunakan gerak-gerak yang
nampak di alam dalam membuktikan adanya penggerak yang tak terlihat
.
Tradisi argumentasi filosofis tentang eksistensi Tuhan, sifat dan perbuatan-Nya
ini kemudian secara berangsur-angsur masuk dan berpengaruh ke dalam dunia
keimanan Islam. Tapi tradisi ini, mewujudkan semangat baru di bawah pengaruh
doktrin-doktrin suci Islam dan kemudian secara spektakuler melahirkan filosof-
filosof seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina, dan secara riil, tradisi ini juga
mempengaruhi warna pemikiran teologi dan tasawuf (irfan) dalam penafsiran
Islam.
Perkara tentang Tuhan secara mendasar merupakan subyek permasalahan
filsafat. Ketika kita membahas tentang hakikat alam maka sesungguhnya kita pun
membahas tentang eksistensi Tuhan. Secara hakiki, wujud Tuhan tak terpisahkan
dari eksistensi alam, begitu pula sebaliknya, wujud alam mustahil terpisah dari
keberadaan Tuhan. Filsafat tidak mengkaji suatu realitas yang dibatasi oleh ruang
dan waktu atau salah satu faktor dari ribuan faktor yang berpengaruh atas alam.
Pencarian kita tentang Tuhan dalam koridor filsafat bukan seperti penelitian
terhadap satu fenomena khusus yang dipengaruhi oleh faktor tertentu.

Tuhan yang hakiki adalah Tuhan yang disampaikan oleh para Nabi dan Rasul
yakni, Tuhan hakiki itu bukan di langit dan di bumi, bukan di atas langit, bukan di
alam, tetapi Dia meliputi semua tempat dan segala realitas wujud.

1
1.2 Konsep Ketuhanan Dalam islam
Istilah Tuhan dalam sebutan Al-Quran digunakan kata ilaahun, yaitu setiap yang
menjadi penggerak atau motivator, sehingga dikagumi dan dipatuhi oleh manusia.
Orang yang mematuhinya di sebut abdun (hamba). Kata ilaah (tuhan) di dalam Al-
Quran konotasinya ada dua kemungkinan, yaitu Allah, dan selain Allah. Subjektif
(hawa nafsu) dapat menjadi ilah (tuhan). Benda-benda seperti : patung, pohon,
binatang, dan lain-lain dapat pula berperan sebagai ilah. Demikianlah seperti
dikemukakan pada surat Al-Baqarah (2) : 165, sebagai berikut:

Sebelum turun Al-Quran dikalangan masyarakat Arab telah menganut konsep


tauhid (monoteisme). Allah sebagai Tuhan mereka. Hal ini diketahui dari
ungkapan-ungkapan yang mereka cetuskan, baik dalam do‘a maupun acara-acara
ritual. Abu Thalib, ketika memberikan khutbah nikah Nabi Muhammad dengan
Khadijah (sekitar 15 tahun sebelum turunya Al-Quran) ia mengungkapkan kata-
kata Alhamdulillah. (Lihat Al-Wasith,hal 29). Adanya nama Abdullah (hamba Allah)
telah lazim dipakai di kalangan masyarakat Arab sebelum turunnya Al-Quran.
Keyakinan akan adanya Allah, kemaha besaran Allah, kekuasaan Allah dan lain-
lain, telah mantap. Dari kenyataan tersebut timbul pertanyaan apakah konsep
ketuhanan yang dibawakan Nabi Muhammad? Pertanyaan ini muncul karena Nabi
Muhammad dalam mendakwahkan konsep ilahiyah mendapat tantangan keras
dari kalangan masyarakat. Jika konsep ketuhanan yang dibawa Muhammad sama
dengan konsep ketuhanan yang mereka yakini tentu tidak demikian kejadiannya.

Pengakuan mereka bahwa Allah sebagai pencipta semesta alam dikemukakan


dalam Al-Quran surat Al-Ankabut (29) ayat 61 sebagai berikut;

2
Dengan demikian seseorang yang mempercayai adanya Allah, belum tentu
berarti orang itu beriman dan bertaqwa kepada-Nya. Seseorang baru laik
dinyatakan bertuhan kepada Allah jika ia telah memenuhi segala yang dimaui oleh
Allah. Atas dasar itu inti konsep ketuhanan Yang Maha Esa dalam Islam adalah
memerankan ajaran Allah yaitu Al-Quran dalam kehidupan sehari-hari. Tuhan
berperan bukan sekedar Pencipta, melainkan juga pengatur alam semesta.

Pernyataan lugas dan sederhana cermin manusia bertuhan Allah sebagaimana


dinyatakan dalam surat Al-Ikhlas. Kalimat syahadat adalah pernyataan lain
sebagai jawaban atas perintah yang dijaukan pada surat Al-Ikhlas tersebut.
Ringkasnya jika Allah yang harus terbayang dalam kesadaran manusia yang
bertuhan Allah adalah disamping Allah sebagai Zat, juga Al-Quran sebagai ajaran
serta Rasullullah sebagai Uswah hasanah.

1.3 Filsafat Ketuhanan Islam


Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata Philo yang berarti cinta, dan kata
Sophos yang berarti ilmu atau hikmah. Dengan demikian, filsafat berarti cinta
terhadap ilmu atau hikmah. Terhadap pengertian seperti ini al-Syaibani
mengatakan bahwa filsafat bukanlah hikmah itu sendiri, melainkan cinta terhadap
hikmah dan berusaha mendapatkannya, memusatkan perhatian padanya dan
menciptakan sikap positif terhadapnya. Selanjutnya ia menambahkan bahwa
filsafat dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab
dan akibat, dan berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia.
(Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Cet. IV, Bulan Bintang, Jakarta, 1990,
Hlm. 45)
Sementara itu, A. Hanafi, M.A. mengatakan bahwa pengertian filsafat telah
mengalami perubahan-perubahan sepanjang masanya. Pitagoras (481-411 SM),
yang dikenal sebagai orang yang pertama yang menggunakan perkataan tersebut.
Dari beberapa kutipan di atas dapat diketahui bahwa pengertian filsafat dari segi
kebahasan atau semantik adalah cinta terhadap pengetahuan atau kebijaksanaan.
Dengan demikian filsafat adalah suatu kegiatan atau aktivitas yang menempatkan
pengetahuan atau kebikasanaan sebagai sasaran utamanya.

3
Keimanan dalam Islam merupakan aspek ajaran yang fundamental, kajian ini
harus dilaksanakan secara intensif. Keimanan kepada Allah SWT, kecintaan,
pengharapan, ikhlas, kekhawatiran, tidak dalam ridho-Nya, tawakkal nilai yang
harus ditumbuhkan secara subur dalam pribadi muslim yang tidak terpisah dengan
aspek pokok ajaran yang lain dalam Islam.
Muslim yang baik memiliki kecerdasan intelektual sekaligus kecerdasan
spiritual (QS. Ali Imran: 190-191) sehingga sikap keberagamaannya tidak hanya
pada ranah emosi tetapi didukung kecerdasan pikir atau ulul albab. Terpadunya
dua hal tersebut insya Allah menuju dan berada pada agama yang fitrah.
(QS.Ar-Rum: 30). Jadi, filsafat Ketuhanan dalam Islam bisa diartikan juga yaitu
kebijaksanaan Islam untuk menentukan Tuhan, dimana Ia sebagai dasar
kepercayaan umat Muslim.
Perkataan ilah, yang diterjemahkan “Tuhan”, dalam Al-Quran dipakai untuk
menyatakan berbagai obyek yang dibesarkan atau dipentingkan manusia,
misalnya dalam QS : 45 (Al-Jatsiiyah) : 23, yaitu:

Dalam QS : 28 (Al-Qashash) : 38, perkataan ilah dipakai oleh Fir‘aun untuk dirinya
sendiri:

Contoh ayat-ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa perkataan ilah bisa


mengandung arti berbagai benda, baik abstrak (nafsu atau keinginan pribadi)
maupun benda nyata (Fir‘aun atau penguasa yang dipatuhi dan dipuja).

4
Perkataan ilah dalam Al-Quran juga dipakai dalam bentuk tunggal (mufrad:
ilaahun), ganda (mutsanna: ilaahaini), dan banyak (jama‘: aalihatun). Derifasi
makna dari kata ilah tersebut mengandung makna bahwa “bertuhan nol” atau
atheisme adalah tidak mungkin. Untuk dapat mengerti dengan definisi Tuhan atau
Ilah yang tepat, berdasarkan logika Al-Quran sebagai berikut:
Tuhan (Ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh manusia
sedemikian rupa, sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai oleh-Nya.
Perkataan dipentingkan hendaklah diartikan secara luas. Tercakup di dalamnya
yang dipuja, dicintai, diagungkan, diharap-harapkan dapat memberikan
kemaslahatan atau kegembiraan, dan termasuk pula sesuatu yang ditakuti akan
mendatangkan bahaya atau kerugian.
Ibnu Taimiyah memberikan definisi al-Ilah sebagai berikut: Al-Ilah ialah: yang
dipuja dengan penuh kecintaan hati, tunduk kepadanya, merendahkan diri di
hadapannya, takut, dan mengharapkannya, kepadanya tempat berpasrah ketika
berada dalam kesulitan, berdoa, dan bertawakal kepadanya untuk kemaslahatan
diri, meminta perlindungan dari padanya, dan menimbulkan ketenangan di saat
mengingatnya dan terpaut cinta kepadanya (M. Imaduddin, 1989 : 56)
Atas dasar definisi ini, tuhan bisa berbentuk apa saja, yang dipentingkan
manusia. Yang pasti, manusia tidak mungkin atheis, tidak mungkin tidak ber-
tuhan. Berdasarkan logika Al-Quran, setiap manusia pasti ada sesuatu yang
dipertuhankannya. Dengan begitu, orang-orang komunis pada hakikatnya ber-
tuhan juga. Adapun tuhan mereka ialah ideologi atau angan-angan (utopia)
mereka.
Dalam ajaran Islam diajarkan kalimat “laa ilaaha illa Allah”. Susunan kalimat
tersebut dimulai dengan peniadaan, yaitu “tidak ada Tuhan”, kemudian baru diikuti
dengan penegasan “melainkan Allah”. Hal itu berarti bahwa seorang muslim harus
membersihkan diri dari segala macam Tuhan terlebih dahulu, sehingga yang ada
dalam hatinya hanya ada satu Tuhan, yaitu Allah SWT.
Untuk lebih jelas memahami tentang siapakah Allah, DR. M. Yusuf Musa
menjelaskan dalam makalahnya yang berjudul “Al Ilahiyyat Baina Ibnu Sina wa
Ibnu Rusyd” yang telah di edit oleh DR. Ahmad Daudy, MA dalam buku Segi-segi
Pemikiran Falsafi dalam Islam. Beliau mengatakan :

5
“Dalam ajaran Islam, Allah SWT adalah pencipta segala sesuatu ; tidak ada
sesuatu yang terjadi tanpa kehendak-Nya, serta tidak ada sesuatu yang kekal
tanpa pemeliharaan-Nya. Allah SWT mengetahui segala sesuatu yang paling kecil
dan paling halus sekali pun. Ia yang menciptakan alam ini, dari tidak ada kepada
ada, tanpa perantara dari siapa pun. Ia memiliki berbagai sifat yang maha indah
dan agung”.

1.4 Sejarah Pemikiran Manusia Tentang Tuhan

1. Pemikiran Barat
Yang dimaksud konsep Ketuhanan menurut pemikiran manusia adalah
konsep yang didasarkan atas hasil pemikiran baik melalui pengalaman lahiriah
maupun batiniah, baik yang bersifat penelitian rasional maupun pengalaman
batin. Dalam literatur sejarah agama, dikenal teori evolusionisme, yaitu teori
yang menyatakan adanya proses dari kepercayaan yang amat sederhana, lama
kelamaan meningkat menjadi sempurna. Teori tersebut mula-mula
dikemukakan oleh Max Muller, kemudian dikemukakan oleh EB Taylor,
Robertson Smith, Lubbock dan Javens. Proses perkembangan pemikiran
tentang Tuhan menurut teori evolusionisme adalah sebagai berikut:

a. Dinamisme
Menurut paham ini, manusia sejak zaman primitif telah mengakui
adanya kekuatan yang berpengaruh dalam kehidupan. Mula-mula sesuatu
yang berpengaruh tersebut ditujukan pada benda. Setiap benda mempunyai
pengaruh pada manusia, ada yang berpengaruh positif dan ada pula yang
berpengaruh negatif. Kekuatan yang ada pada benda disebut dengan nama
yang berbeda-beda, seperti mana (Melanesia), tuah (Melayu), dan syakti
(India).

b. Animisme
Oleh masyarakat primitif, roh dipercayai sebagai sesuatu yang aktif
sekalipun bendanya telah mati. Oleh karena itu, roh dianggap sebagai
sesuatu yang selalu hidup, mempunyai rasa senang apabila kebutuhannya
dipenuhi. Menurut kepercayaan ini, agar manusia tidak terkena efek negatif
dari roh-roh tersebut, manusia harus menyediakan kebutuhan roh. Saji-
sajian yang sesuai dengan saran dukun adalah salah satu usaha untuk
memenuhi kebutuhan roh.

6
c. Politeisme
Kepercayaan dinamisme dan animisme lama-lama tidak memberikan
kepuasan, karena terlalu banyak yang menjadi sanjungan dan pujaan. Roh
yang lebih dari yang lain kemudian disebut dewa. Dewa mempunyai tugas
dan kekuasaan tertentu sesuai dengan bidangnya. Ada dewa yang
bertanggung jawab terhadap cahaya, ada yang membidangi masalah air,
ada yang membidangi angin dan lain sebagainya.

d. Henoteisme
Politeisme tidak memberikan kepuasan, terutama terhadap kaum
cendekiawan. Oleh karena itu dari dewa-dewa yang diakui diadakan seleksi,
karena tidak mungkin mempunyai kekuatan yang sama. Lama-kelamaan
kepercayaan manusia meningkat menjadi lebih definitif (tertentu). Satu
bangsa hanya mengakui satu dewa yang disebut dengan Tuhan, namun
manusia masih mengakui tuhan (ilah) bangsa lain. Kepercayaan satu tuhan
untuk satu bangsa disebut dengan Henoteisme (Tuhan Tingkat Nasional).

e. Monoteisme
Kepercayaan dalam bentuk Henoteisme melangkah menjadi
Monoteisme. Dalam Monoteisme hanya mengakui satu Tuhan untuk seluruh
bangsa dan bersifat internasional. Bentuk Monoteisme ditinjau dari filsafat
Ketuhanan terbagi dalam tiga paham, yaitu: deisme, panteisme, dan teisme.
Evolusionisme dalam kepercayaan terhadap Tuhan sebagaimana
dinyatakan oleh Max Muller dan EB. Taylor (1877), ditentang oleh Andrew
Lang (1898) yang menekankan adanya monoteisme dalam masyarakat
primitif. Dia mengemukakan bahwa orang-orang yang berbudaya rendah
juga sama monoteismenya dengan orang-orang Kristen. Mereka mempunyai
kepercayaan pada wujud yang agung dan sifat-sifat yang khas terhadap
tuhan mereka, yang tidak mereka berikan kepada wujud yang lain.
Dengan lahirnya pendapat Andrew Lang, maka berangsur-angsur
golongan evolusionisme menjadi reda dan sebaliknya sarjana-sarjana
agama terutama di Eropa Barat mulai menantang evolusionisme dan
memperkenalkan teori baru untuk memahami sejarah agama. Mereka
menyatakan bahwa ide tentang Tuhan tidak datang secara evolusi, tetapi
dengan relevansi atau wahyu.

7
Kesimpulan tersebut diambil berdasarkan pada penyelidikan bermacam-
macam kepercayaan yang dimiliki oleh kebanyakan masyarakat primitif.
Dalam penyelidikan didapatkan bukti-bukti bahwa asal-usul kepercayaan
masyarakat primitif adalah monoteisme dan monoteisme adalah berasal dari
ajaran wahyu Tuhan (Zaglul Yusuf, 1993 : 26-27).

2. Pemikiran Umat Islam


Pemikiran terhadap Tuhan yang melahirkan Ilmu Tauhid, Ilmu Kalam,
atau Ilmu Ushuluddin di kalangan umat Islam, timbul beberapa periode setelah
wafatnya Nabi Muhammad SAW. Yakni pada saat terjadinya peristiwa tahkim
antara kelompok Ali bin Abi Thalib dengan kelompok Mu‘awiyyah. Secara garis
besar, ada aliran yang bersifat liberal, tradisional, dan ada pula yang bersifat di
antara keduanya. Sebab timbulnya aliran tersebut adalah karena adanya
perbedaan metodologi dalam memahami Al-Quran dan Hadis dengan
pendekatan kontekstual sehingga lahir aliran yang bersifat tradisional. Sedang
sebagian umat Islam yang lain memahami dengan pendekatan antara
kontektual dengan tektual sehingga lahir aliran yang bersifat antara liberal
dengan tradisional. Aliran-aliran tersebut yaitu :

a. Mu‘tazilah
Merupakan kaum rasionalis di kalangan muslim, serta menekankan
pemakaian akal pikiran dalam memahami semua ajaran dan keimanan
dalam Islam. Dalam menganalisis ketuhanan, mereka memakai bantuan ilmu
logika Yunani, satu sistem teologi untuk mempertahankan kedudukan
keimanan. Mu‘tazilah lahir sebagai pecahan dari kelompok Qadariah,
sedang Qadariah adalah pecahan dari Khawarij.

b. Qodariah
Berpendapat bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam berkehendak
dan berbuat. Manusia sendiri yang menghendaki apakah ia akan kafir atau
mukmin dan hal itu yang menyebabkan manusia harus bertanggung jawab
atas perbuatannya.

c. Jabariah
Berteori bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam berkehendak
dan berbuat. Semua tingkah laku manusia ditentukan dan dipaksa oleh
Tuhan. Aliran ini merupakan pecahan dari Murji‘ah

8
d. Asy‘ariyah dan Maturidiyah
Hampir semua pendapat dari kedua aliran ini berada di antara aliran
Qadariah dan Jabariah. Semua aliran itu mewarnai kehidupan pemikiran
ketuhanan dalam kalangan umat Islam periode masa lalu. Pada prinsipnya
aliran-aliran tersebut di atas tidak bertentangan dengan ajaran dasar Islam.
Oleh karena itu umat Islam yang memilih aliran mana saja diantara aliran-
aliran tersebut sebagai teologi mana yang dianutnya, tidak menyebabkan ia
keluar dari Islam. Menghadapi situasi dan perkembangan ilmu pengetahuan
sekarang ini, umat Islam perlu mengadakan koreksi ilmu berlandaskan
al-Quran dan Sunnah Rasul, tanpa dipengaruhi oleh kepentingan politik
tertentu.

1.5 Dalil Pembuktian Adanya Tuhan


Untuk membuktikan keberadaan Allah swt, paling tidak digunakan tiga dalil (bukti)
yang bisa mendukung dan menguatkan bahwa Allah swt itu ada. Dalil itu adalah
dalil Naqli, Aqli dan Fitrah. Ini juga sebagaimana penegasan Allah di dalam al-
Qur’an sendiri:

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di


segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa
Al Qur'an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa
sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu”? (QS. Fushilat (41): 53)

1. Dalil Fitrah
Manusia sejak masih berada dalam alam ruh (arwah) telah ditanamkan benih
iman, kepercayaan dan penyaksian (syahadah) terhadap keberadaan Allah swt.
Dalam QS al-A’raf (7): 172 Allah menegaskan:

9
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari
sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau
Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di
hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah
orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)". (QS al-A’raf: 172)

Benih keyakinan terhadap eksistensi Allah merupakan fitrah atau


sesuatu yang bersifat kodrati. Dan karena bertuhan itu merupakan fitrah
manusia, maka tepatlah kiranya kalau Mircea Eliade mensifatinya sebagai
‘homo religious atau naturalier religiosa. Fitrah inilah yang menjadi daya
pendorong pertama untuk mengenal dan mendapatkan Allah swt.
Adapun yang dimaksud dengan fitrah Allah adalah ciptaan Allah. Allah
menciptakan manusia disertai dengan berbagai macam naluri, termasuk di
dalamnya naluri bertuhan, naluri beragama, yaitu agama tauhid. Kalau ada
manusia yang tidak beragama tauhid, maka hal itu tidaklah wajar. Mereka tidak
beragama tauhid karena pengaruh lingkungan (Depag RI, al-Quran dan
terjemahnya: 645). Ali Issa Othman menjelaskan bahwa arti fitrah tidak lain
adalah inti dari sifat alami manusia, yang secara alami pula ingin mengetahui
dan mengenal Allah swt (Ali Issa Othman, Manusia Menurut al-Ghazali: 28).
Sementara Yasien Muhammad menerangkan bahwa, karena fitrah allah
dimasukan dalam jiwa manusia maka manusia terlahir dalam keadaan dimana
tauhid menyatu dengan fitrah. Karena tauhid menyatu dengan fitrah manusia
maka para nabi datang untuk mengingatkan manusia pada fitrahnya dan untuk
membimbingnya kepada tauhid yang menyatu dengan sifat dasarnya (Yasien
Muhammad: 21). Ali bin Abi Thalib ra menyatakan bahwa para nabiyullah diutus
untuk mengingatkan manusia kepada perjanjian yang telah diikat oleh fitrah
mereka, yang kelak mereka akan dituntut untuk memenuhi perjanjian tersebut.
Perjanjian itu tidak tercatat di atas kertas, tidak pula diucapkan oleh lidah,

10
melainkan terukir dengan pena allah dipermukaan kalbu dan lubuk fitrah
manusia, di atas permukaan hati nurani serta di kedalaman perasaan batiniah.
Fitrah bertuhan inilah yang oleh Danah Zohar dan Ian Marshall
dinamakan God Spot atau titik Tuhan (Danah Zohar & Ian Marshall, SQ:
Spiritual Intelegence – The Ultimate Intelegence, 2000: 79). Fitrah ini gejalanya
secara universal dapat diamati cukup signifikan di sepanjang sejarah perjalanan
hidup manusia. Dan fitrah bertuhan ini akan semakin bertambah jelas bila dikaji
lewat kajian filsafat, suatu kajian yang didasarkan pada pemikiran yang kritis,
radikal, koheren, spekulatif, rasional lagi konprehensif untuk mendapatkan apa
yang disebut hakekat.

2. Dalil Aqli
Fitrah bertuhan dalam arti keinginan untuk mengetahui dan mengenal
Allah, yang kemudian didukung oleh akal fikiran yang kritis dan radikal akan
melahirkan kegairahan yang luar biasa untuk menatap dan menguak ayat-ayat
Allah yang tergelar dalam jagad raya. (QS Fushilat (41): 53, al-Ghasyiah (88):
17-22, al-Waqi’ah (56): 63-65, 68-72, al-Mulk (67): 30, al-Anbiya (21): 30-33).
Renungan manusia dengan menggunakan akal fikiran yang kritis disertai
dengan pengamatan intuisi yang halus dan tajam pasti akan membuahkan hasil
semakin bertambah kuat keyakinannya (belief) bahwa sesunggunya jagat raya
beserta seluruh isinya ini adalah makhluk Allah, yang diciptakan oleh sang
Maha Pencipta dengan penuh perencanaan dan bertujuan (QS al-Mukminun
(23): 115 dan Ali Imron (3): 191).

Mengikuti apa yang diperintahkan Allah dalam QS Muhammad (47): 19 agar


menggunakan segala potensi yang dimilikinya untuk membaca ayat-ayat Allah
yang berupa ayat kauniyah guna memperoleh ‘belief’, keyakinan yang sudah
tertanam dalam lubuk hati manusia, para filosof mengemukakan ada enam
argumentasi pembuktian terhadap eksistensi Allah, yaitu:
a. Dalil Kosmologis
Dalil kosmologis adalah suatu pembuktian yang berhubungan dengan ide
tentang kausalitas, sebab musabab (causality).
Plato dalam bukunya Timaeus mengatakan bahwa tiap-tiap benda yang
terjadi pasti dikarenakan dan didahului oleh suatu sebab. Kalau ada dua
batang pohon yang berdiri berdampingan , dan salah satunya ada yang
mati,orang akan beranggapan bahwa tentu ada sebab-sebab yang

11
mengakibatkan adanya kejadian yang berlainan. Pohon yang mati pasti
disebabkan oleh adanya penyakit, dan penyakit itu sendiri juga mempunyai
sebab, dan begitulah seterusnya. Theo Huibers menyatakan bahwa tidak
mungkin adanya suatu rangkaian sebab yang tak terhingga, oleh karena jika
demikian halnya, memang tidak terdapat sebab yang pertama. Jika tidak
terdapat sebab yang pertama, maka sebab yang kedua tidak terdapat juga,
oleh karena seluruhnya tergantung dari sebab yang pertama. Jika tidak
terdapat sebab yang kedua, maka tidak terdapat sebab yang ketiga, dan
seterusnya, sehingga akhirnya harus dikatakan : tidak terdapat sebab yang
pertama sama sekali. Dan ucapan ini memang salah (Theo Huibers, II: 84)
Jadi benda-benda yang terbatas (finite) rangkaian sebab-musabab akan
berjalan secara terus menerus. Akan tetapi dalam logika rangkaian yang
terus menerus seperti itu mustahil. Jadi dibelakang sebab-sebab yang
merupakan rangkaian yang sangat komplek tentu ada sebab yang pertama,
yang tidak disebabkan oleh sebab lain. Sebab yang pertama inilah yang
dinamakan Tuhan. (M Rasyidi, Filsafat Agama, 1970: 54-55). Bandingkan
dengan firman Allah dalam QS. At-Thur (52): 35, al-Waqiah (56): 58-59, 64-
65, 68-69, dan 71-72, An-Nahl (16): 70-75, ar-rum (30): 20-25.

b. Dalil Ontologis
Argumen ontologis adalah pembuktian akan keberadaan Tuhan didasarkan
pada hakekat yang ada. Argumen ini dipelopori oleh Plato (428-348 SM)
dengan teori idenya, St. Agustinus (354-430 M), al-Farabi (872-950), St.
Anselm (1033-1109).
Menurut Anselm, manusia dapat memikirkan sesuatu yang kebesaranya
tidak dapat melebihi dan diatasi oleh segala yang ada, konsep sesuatu yang
maha besar, maha sempurna, sesuatu yang tidak terbatas.

Zat yang serupa ini mesti mempunyai wujud dalamj hakekat, sebab
kalau tidak memiliki wujud dalam hakekat dan hanya mempunyai wujud
dalam fikiran, zat itu tidak mempunyai sifat yang lebih besar dan sempurna
dari pada mempunyai wujud. Mempunyai wujud dalam alam hakekat lebih
besar dan sempurna dari pada mempunyai wujud dalam alam fikiran saja.
Sesuatu yang maha besar dan maha sempurna itu ialah Tuhan dan karena
sesuatu yang terbesar dan paling sempurna tidak boleh tidak pasti mesti
mempunyai wujud, maka Tuhan mesti mempunyai wujud. Dengan demikian,
Tuhan pasti ada.

12
c. Dalil Teleologis
Dalil teleologis yaitu pembuktian tentang adanya Tuhan dengan berpedoman
pada konsep keterpolaan (desain) di dalam alam semesta yang
membutuhkan ‘desainer’. William Paley menyatakan bahwa di dalam dunia
yang konkrit kita melihat kompleksnya unsure-unsur dunia ini, akan tetapi
terlihat sangat teratur sekali. Alam semesta menunjukan bentuk keteraturan
itu, dimana planet-planet yang bertaburan namun tidak saling berbenturan
satu sama lainya. Hal ini menunjukan adanya kekuatan maha Dahsyat yang
menciptakan dan mengendalikannya. Alam semesta merupakan karya seni
terbesar yang menunjukan adanya ‘A Greater Intellegent Desaigner’, yaitu
Tuhan. Tegasnya ‘langit menceritakan kemulian Allah, dan cakrawala
memberitakan pekerjaan tangan-Nya’. Perhatikan firman Allah dalam QS as-
Shaffat (37): 6 dan Qaf (50): 6.

d. Dalil Fenomenologis
Dalil fenomenologis yaitu pembuktian tentang keberadaan Tuhan dengan
mengacu pada rahasia-rahasia fenomena yang terjadi di alam semesta.
Fenomena yang terjadi di alam semesta ini dari makhluk yang terkecil
sampai alam yang membentang luas, semuanya menungkapkan rahasia
akan keberadaan Tuhan. Argumen ini dikemukakan oleh Sa’id Hawwa dalam
bukunya Allah Jalla wa Jalaluhu.

1) Fenomena terjadinya Alam. Setiap sesuatu yang ada pasti ada yang
mengadakan, begitu juga alam semesta ini, tentu ada yang menciptakan.
Lihatlah gunung hijau yang kokoh bediri, aliran sungai yang kesemuanya
bermuara ke laut, langit yang tegak tanpa tiang, planet beredar penuh
keteraturan, mungkinkah kesemunya ada dengan sendirinya?
“Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang
menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka yang telah
menciptakan langit dan bumi itu”. (QS at-Thur: 35-36)

2) Fenomena Kehendak yang tinggi. Jika saja presentase oksigen 5% lebih


dari udara, bukan 21 %, maka semua materi yang bisa terbakar yang ada
di bumi ini, segera saja terbakar. Karena andaikan bunga api pertama
yang ada pada kilat itu menimpa pohon niscaya segera menghapus
seluruh hutan. Andaikan persentase oksigen 10%, sulit untuk
dibayangkan peradaban manusia bisa seperti ini. Apakah persentase

13
oksigen suatu kebetulan? Renungkanlah, siapa yang mengatur dan
memformulasaikan agar kadar oksigen di udara 21 % sehingga ada
kehidupan di bumi ini. Bukankah hal ini menunjukan adanya kehendak
yang agung yang bersumber dar Zat Mahapintar dan Maha bijaksana,
bahwa dia berkehnadak menentukan segala sesuatu sebagai ketetapan
yang terbaik.(QS Ali Imron (3): 190).

3) Fenomena Kehidupan. Kehidupan berbagai makhluk di atas bumi ini


menunjukan bahwa ada Zat yang menciptakan, membentuk, menentukan
rizkinya dan meniup ruh kehidupan pada dirinya (QS Al-Ankabut: 20, Al-
anbiya: 30). Bagaimanapun pintarnya manusia, ia tak akan sanggup
menciptakan seekor lalat pun (QS al-hajj: 73-74).

4) Fenomen Petunjuk dan Ilham. Hal apakah yang mendorong seekor ayam
betina membolak-balikan telur yang sedang dieraminya, agar anak-anak
ayam yang sedang mengalami proses di dalam telur tidak mengalami
pengendapan? Dengan cara itulah generasi ayam tetap lestari sampai
saat ini. Siapa yang mengajarinya untuk melakukan hal itu? Bukankah di
sana ada hidayah yang sempurna untuk mempertahankan kelangsungan
jenis dari Zat Yang Maha Mengetahui ciptaan-Nya. “Musa berkata: tuhan
kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu
bentuk kejadianya, kemudian memberinya petunjuk”. (QS Thaha: 50).

5) Fenomena Hikmah. Mengapa bibir-bibir unta terbelah? Banyak hikmah di


balik ini, di antaranya adalah untuk membantunya memakan tumbuh-
tumbuhan padang pasir yang berduri dan keras. Kakinya pun sesuai
dengan daerah berpasir, sehingga ia tak mengalami kesulitan.

Bulu matanya yang panjang bagaikan jaring, bisa melindungi kedua


matanya dari debu-debu yang bertebaran. Ponggoknya berfungsi sebagai
tempat menyimpan makanan karena harus mengarungi padang pasir.
Berjuta penciptaan segala sesuatu di bumi ini menunjukan adanya Allah
Yang Maha hikmah. “Dan banyak sekali tanda-tanda (kekuasan Allah) di
langit dan di bumi yang mereka melaluinya, sedang mereka berpaling
daripadanya?” (QS Yusuf: 105)

14
6) Fenomena Pengabulan Do’a. Manusia yang penuh kelemahan akan
menemui saat-saat di mana ia tidak mungkin bergantung pada siapa pun
kecuali Allah. Baik muslim mapun kafir, ketika menghadapi hal-hal yang
membahayakan, pasti akan berdoa. Saat doa dikabulkan, adalah saat
seharusnya manusia merenung tentang siapa yang mendengar doa dan
mengabulkanya (QS. (17): 67, (10): 22-23)

e. Dalil Historis
Dalil histories (sejarah) adalah pembuktian tentang keberadaan Tuhan
dengan berpegang pada sejarah perjalanan hidup manusia dari dahulu
hingga sampai saat ini yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan
keagamaan. Hubungan manusia dengan Tuhan dapat dilihat dari kehidupan
keberagamaan yang paling sederhana hingga kehidupan keberagamaan
yang paling komplek sekalipun, walaupun dalam perjalanannya banyak
terjadi penyimpangan, ini membuktikan bahwa peran Tuhan dalam
kehidupan manusia sangat dominan. Penelusuran tentang sejarah
pengembaraan manusia dalam pencarianya menggapai Tuhan, dapat
ditemukan dalam bukunya Karen Amstrong A History Of God: 4000 – Year
Quest of Judaism, Christianity, and Islam (Sejarah Tuhan: 4000 Tahun
Pengembaraan Manusia Menuju Tuhan).

f. Dalil Moral
Dalil moral yaitu pembuktian adanya Tuhan dengan berpegang pada
pengandaian adanya hukum moral umum yang memperlihatkan adanya
‘Penjamin Moral’ (Law Giver). J.H. Newman menyatakan bahwa adanya
kesadaran manusia untuk melakukan perbuatan yang utama semata-mata
didorong oleh suara hati (kata hati, hati nurani, hati kecil, insane kamil), atau
menurut istilah Immanuel Kant disebutnya ‘kategoris imperatif’.

Tiap-tiap orang pasti mengalami pada dirinya sendiri, bahwa terdapat


perbuatan-perbuatan yang tidak diperbolehkan. Berkat suara hati manusia
merasa sungguh-sungguh bertanggung jawab atas tindakanya, dan lagi pula
mempunyai kesadaran bahwa ia tidak boleh bertindak melawan keyakinan
moralnya. Menurut Newman, dalam hati senantiasa terdengar suara Allah
secara eksistensial, yang tak masuk akal adanya perintah moril ini, kalau
tidak terdapat Hakim yang Tertinggi, yang mengesahkan perintah moral
tersebut (Huijbers: 97-98). Inilah alasanya mengapa suara batin rakyat

15
disebutnya sebagai suara Tuhan, ‘Vox Populi Vox Dei’. Bandingkan dengan
firman Allah QS as-Syams (91): 8.

3. Dalil Naqli
Dalil naqli adalah dalil pembuktian akan keberadaan dengan merujuk
petunjuk kitab suci. Dengan fitrah, manusia bisa mengakui adanya Tuhan, dan
dengan akal pikiran bisa membuktikannya, namun manusia tetap memerlukan
dalil naqli (al-Qur’an dan as-Sunnah) untuk membimbing manusia mengenal
Tuhan yang sebenarnya dengan segala asma dan sifat-Nya. Sebab fitrah dan
akal tidak bisa menjelaskan siapa Tuhan sebenarnya itu.

Cukup banyak pembahasan tentang Allah swt di dalam al-Qur’an dan as-
Sunnah, hanya saja di sini dikemukakan beberapa point penting saja, yaitu:

a. Allah adalah al-Awwal, yaitu tidak ada permulaan bagi wujud-Nya dan juga
al-Akhir, yaitu tidak ada akhir dari wujud-Nya.

“Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Bathin; dan Dia
Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS al-Hadid [57]: 3)

“Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu
yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan”. (QS ar-Rahman [55]: 26-27)
b. Tidak ada satu pun yang menyerupai-Nya.

Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Melihat. (QS as-Syura [42]: 11)

16
c. Allah SWT adalah Maha Esa.

Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang
bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula
diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia". (QS al-
Ikhlas [112]: 1-4)
Selain ayat di atas, di dalam al-Qur’an dinyatakan dalam banyak ayat
antara lain: QS al-baqarah [2]: 133, 163, An-Nisa [4]: 171, al-Maidah [5]: 73,
al-An’am [6]: 19, al-A’raf [7]: 70, at-Taubah [9]: 31, Yusuf [12]: 39, ar-Ra’d
[13]: 16, Ibrahim [14]: 48, 52, An-nahl [16]: 22, 51, Al-Isra [17]: 46, al-Kahfi
[18]: 110, al-Anbiya’ [25]: 108, al-hajj [22]: 34, al-Ankabut [29]: 46, as-Shaffat
[37]: 4, shad [38]: 5, 65, az-Zumar [39]: 4, 45, Ghafir [40]: 12, 16, 84, Fushilat
[41]: 6, al-Mumtahanah [60]: 4, al-Ikhlas [114]: 1.

d. Allah mempunyai al-Asma’ wa shiffat (nama-nama dan sifat-safat) yang


disebutkan untuk diri-Nya di dalam al-Qur’an serta semua nama dan sifat
yang dituturkan untuk-Nya oleh rasulullah saw dalam sunnahnya.

“Hanya milik Allah asma-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan


menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang
menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti
mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan”.
(QS al-A’raf [7]: 180).

17
BAB II
Sains dan Teknologi dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits

2.1 Latar Belakang


Sains dan teknologi sampai saat ini telah mengalami kemajuan. Sains
lahir dari coba mencoba,ketidakpuasan manusia,dan akal fikiran manusia
yang terus berkembang. Di zaman sekarang telah banyak kemajuan sains
yang kita rasakan. Banyaknya manfaat baik yang dihasilkan dari perkembangan
sains membuat manusia zaman sekarang menjadi manja, hingga dampak
negatifnya dikaitkan dengan kadar agama.
Setiap Rasul yang diutus Allah SWT kepada manusia dibekali dengan
keistimewaan-keistimewaan yang disebut mukjizat. Mukjizat ini bukanlah
kesaktian ataupun tipu muslihat untuk memperdayai umat manusia, melainkan
kelebihan yang Allah SWT berikan untuk meneguhkan kedudukan para Rasulnya
dan mempertegas seruan (dakwah) mereka agar manusia beriman kepada
Allah SWT dan tidak mempersekutukan-Nya (tauhid).
Namun mukjizat setiap nabi dan Rasul berbeda-beda. Hal ini
disesuaikan dengan karakter dan kondisi kaumnya yang menjadi objek
dakwah. Lalu, apakah mukjizat Nabi Muhammad SAW?
Adapun al-qur’an merupakan mukjizat yang diberikan kepada nabi
Muhammad SAW yang diturunkan pada abad ke-7 sebelum masehi. Banyak
orang yang menganggap sains dan al-qur’an merupakan hal yang terpisah.
Padahal banyak ayat dalam al-qur’an yang diturunkan jauh sebelum sains
berkembang, sangat sesuai dengan ilmu pengetahuan modern yang baru-baru
ini dikembangkan oleh manusia.
Para ulama sependapat, di antara sekian banyak mukjizat yang Allah
berikan kepada Nabi Muhammad saw, yang terbesar adalah Alquran. Alquran
adalah kitab suci penyempurna kitab-kitab suci para nabi sebelumnya. Al-quran
bukan hanya petunjuk untuk mencapai kebahagiaan hidup bagi umat Muslim, tapi
juga seluruh umat manusia.

18
Salah satu keajaiban Alquran, adalah terpelihara keasliannya dan tidak
berubah sedikitpun sejak pertama kali diturunkan pada malam 17 Ramadan
14 abad yang lalu hingga kiamat nanti. Otentisitas Alquran sudah dijamin oleh
Allah, seperti dalam firman-Nya:

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-quran, dan Sesungguhnya Kami


pula yang benar-benar memeliharanya.”
(QS Al-Hijr: 9)
Bukti otentisitas ini adalah banyaknya penghafal Alquran yang terus
lahir ke dunia, dan pengkajian ilmiah terhadap ayat-ayatnya yang tak pernah
berhenti. Kejaibannya, meski Alquran diturunkan 14 abad lalu, namun ayatayatnya
banyak yang menjelaskan tentang masa depan dan bersifat ilmiah. Bahkan
dengan kemajuan ilmu dan teknologi saat ini, banyak ayat-ayat Al-quran yang
terbukti kebenarannya. Para ilmuwan telah berhasil membuktikan kebenaran itu
melalui sejumlah ekperimen penelitian ilmiah.
Fenomena-fenomena sains yang memiliki hubungan yang harmonis dan
sejalan dengan Al Qur'an di atas hanyalah segelintir dari fenomena sains lainnya
yang terdapat di dalam Al Qur'an, baik yang sudah diketahui maupun yang belum
diketahui. Tugas kitalah sebagai kaum intelektual muslim untuk mengkaji lebih
jauh fenomena-fenomena sains yang terdapat di dalam Al-Qur'an. Jangan biarkan
apa yang telah diberikan Allah sebagai mukjizat kepada kita (Al Qur'an) menjadi
sia-sia.

2.2 Dimensi Sains Dan Teknologi Dalam Al-Qur’an


Kata sains dan teknologi ibarat dua sisi mata uang yang sulit dipisahkan satu
sama lain. Sains, menurut Baiquni, adalah himpunan pengetahuan manusia
tentang alam yang diperoleh sebagai konsensus para pakar, melalui penyimpulan
secara rasional mengenai hasil-hasil analisis yang kritis terhadap data pengukuran
yang diperoleh dari observasi pada gejala-gejala alam. Sedangkan teknologi
adalah himpunan pengetahuan manusia tentang proses-proses pemanfaatan alam
yang diperoleh dari penerapan sains, dalam kerangka kegiatan yang produktif
ekonomis (Baiquni, 1995: 58-60).

19
Al-Qur’an, sebagai kalam Allah, diturunkan bukan untuk tujuan-tujuan yang
bersifat praktis. Oleh sebab itu, secara obyektif, al-Qur’an bukanlah ensiklopedi
sains dan teknologi apalagi al-Qur’an tidak menyatakan hal itu secara gamblang.

Akan tetapi, dalam kapasitasnya sebagai huda li al-nas, al-Qur’an memberikan


informasi stimulan mengenai fenomena alam dalam porsi yang cukup banyak,
sekitar tujuh ratus lima puluh ayat (Ghulsyani, 1993: 78). Bahkan, pesan (wahyu)
paling awal yang diterima Nabi SAW mengandung indikasi pentingnya proses
investigasi (penyelidikan). Informasi alQur’an tentang fenomena alam ini, menurut
Ghulsyani, dimaksudkan untuk menarik perhatian manusia kepada Pencipta alam
Yang Maha Mulia dan Maha Bijaksana dengan mempertanyakan dan
merenungkan wujud-wujud alam serta mendorong manusia agar berjuang
mendekat kepada-Nya (Ghulsyani, 1993). Dalam visi al-Qur’an, fenomena alam
adalah tanda-tanda kekuasaan Allah. Oleh sebab itu, pemahaman terhadap alam
itu akan membawa manusia lebih dekat kepada Tuhannya. Pandangan al-Qur’an
tentang sains dan teknologi dapat ditelusuri dari pandangan al-Qur’an tentang
ilmu. Al-Qur’an telah meletakkan posisi ilmu pada tingkatan yang hampir sama
dengan iman seperti tercermin dalam surat al-Mujadalah ayat 11:

Ayat-ayat al-Qur’an yang memerintahkan manusia mencari ilmu atau menjadi


ilmuwan begitu banyak. Al-Qur’an menggunakan berbagai istilah yang berkaitan
dengan hal ini. Misalnya, mengajak melihat, memperhatikan, dan mengamati
kejadian-kejadian (Fathir: 27; al-Hajj: 5; Luqman: 20; alGhasyiyah: 17-20;

20
Yunus: 101; al-Anbiya’: 30), membaca (al- ‘Alaq: 1-5) supaya mengetahui suatu
kejadian (al-An’am: 97; Yunus: 5), supaya mendapat jalan (al-Nahl: 15), menjadi
yang berpikir atau yang menalar berbagai fenomena (al-Nahl: 11; Yunus: 101; al-
Ra’d: 4;al-Baqarah:164;al-Rum:24;al-Jatsiyah: 5, 13),
menjadi ulu al-albab (Ali ‘Imran: 7; 190-191; al-Zumar: 18), dan mengambil
pelajaran (Yunus: 3).
Sedangkan pandangan al-Qur’an tentang sains dan teknologi, dapat
diketahui dari wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad saw.:

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia


menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha
Pemurah. Yang Mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam (tulis baca). Dia
Mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS al-‘Alaq: 1-5)
Kata iqra’, menurut Quraish Shihab, diambil dari akar kata yang berarti
menghimpun. Dari menghimpun lahir aneka makna seperti menyampaikan,
menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca baik yang
tertulis maupun tidak. Sedangkan dari segi obyeknya, perintah iqra’ itu mencakup
segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh manusia. (Shihab, 1996:433) Atas
dasar itu, sebenarnya tidak ada alasan untuk membuat dikotomi ilmu agama dan
ilmu non agama. Sebab, sebagai agama yang memandang dirinya paling lengkap
tidak mungkin memisahkan diri dari persoalan-persoalan yang bereperan penting
dalam meningkatkan kesejahteraan umatnya. Berkaitan dengan hal ini, Ghulsyani

21
mengajukan beberapa alasan untuk menolak dikotomi ilmu agama dan ilmu non
agama sebagai berikut:

1. Dalam sebagian besar ayat al-Qur’an, konsep ilmu secara mutlak muncul
dalam maknanya yang umum, seperti pada ayat 9 surat al-Zumar:

Beberapa ayat lain yang senada di antaranya QS 2:31; QS 12:76; QS 16: 70.

2. Beberapa ayat al-Qur’an secara eksplisit menunjukkan bahwa ilmu itu tidak
hanya berupa prinsip-prinsip dan hukum-hukum agama saja. Misalnya, firman
Allah pada surat Fathir ayat 27-28:

“Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit lalu
Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka ragam jenisnya.
Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang
beraneka ragam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat. Dan demikian
(pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang
ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya
yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah “ulama”.
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun."
Dengan jelas kata ulama (pemilik pengetahuan) pada ayat di atas
dihubungkan dengan orang yang menyadari sunnatullah (dalam bahasa sains:
“hukum-hukum alam”) dan misteri-misteri penciptaan, serta merasa rendah

22
diri di hadapan Allah Yang Maha Mulia.

3. Di dalam al-Qur’an terdapat rujukan pada kisah Qarun. “Qarun berkata:


Sesungguhnya aku diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku.” (QS al-
Qashash: 78) (Ghulsyani, 1993: 44- 45).
Di samping itu, subyek yang dituntut oleh wahyu pertama (al-‘Alaq: 1-5)
adalah manusia, karena potensi ke arah itu hanya diberikan oleh Allah swt.
kepada jenis makhluk ini. Pemberian potensi ini tentunya tidak terlepas dari
fungsi dan tanggung jawab manusia sebagai khalifah Allah di atas muka bumi.
Sedangkan bumi dan langit beserta isinya telah ‘ditundukkan’ bagi
kepentingan manusia. Mari perhatikan firman Allah di dalam
surat al-Jatsiyah ayat 13:

“Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di
bumi semuanya (sebagai rahmat dari-Nya). Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum
yang berpikir.”
Kata sakhkhara (menundukkan) pada ayat di atas atau kata yang
semakna dengan itu banyak ditemukan di dalam alQur’an yang menegaskan
bahwa Allah swt. menundukkan semua ciptaan-Nya sesuai dengan peraturan-
peraturan (sunnatullah) Nya, sehingga manusia dapat mengambil manfaat
sepanjang manusia mau menggunakan akal dan pikirannya serta mengikuti
langkah dan prosedur yang sesuai dengan sunnatullah itu. Misalnya, menurut
Baiquni, (1997: 15- 16 ) tertiupnya sehelai daun yang kering dan pipih oleh
angin yang membawanya membumbung tinggi ke atas adalah karena aliran
udara di sekitarnya. Orang yang melakukan pengamatan dan penelitian untuk
menemukan jawaban atas pertanyaan: “bagaimana daun itu diterbangkan?”,
niscaya akan sampai kepada sunnatullah yang menyebabkan daun itu
bertingkah laku seperti yang tampak dalam pengamatannya.

23
Pada dasarnya, sebuah benda yang bentuknya seperti daun itu, yang
panjang dan bagian pinggir dan lebarnya melengkung ke bawah, akan
mengganggu aliran udara karena pada bagian yang melengkung itu aliran
udara tidak selancar di tempat lain. Akibatnya, tekanan udara di lengkungan
itu lebih tinggi dari pada bagian lainnya sehingga benda itu terangkat. Orang
yang melakukan pengamatan dan penelitian itu menemukan sunnatullah yang
dalam ilmu pengetahuan disebut aerodinamika. Dengan pengetahuan yang
lengkap dalam bidang aerodinamika dan pengetahuan tentang sifat-sifat
material tertentu manusia mampu menerapkan ilmunya itu untuk membuat
pesawat terbang yang dapat melaju dengan kecepatan tertentu.
Untuk dapat memahami sunnatullah yang beraturan di alam semesta
ini, manusia telah dibekali oleh Allah SWT dua potensi penting, yaitu potensi
fitriyah (di dalam diri manusia) dan potensi sumber daya alam (di luar diri
manusia). Di samping itu, al-Qur’an juga memberikan tuntunan praktis bagi
manusia berupa langkah-langkah penting bagaimana memahami alam agar
dicapai manfaat yang maksimal. Suatu cara penghampiran yang sederhana
dalam mempelajari ilmu pengetahuan ditunjukkan al-Qur’an dalam surat al-
Mulk ayat 3-4 yang intinya mencakup proses kagum, mengamati, dan
memahami. Dalam konteks sains, al-Qur’an mengembangkan beberapa
langkah/proses sebagai berikut.

Pertama, al-Qur’an memerintahkan kepada manusia untuk


mengenali secara seksama alam sekitarnya seraya mengetahui sifat-sifat dan
proses-proses alamiah yang terjadi di dalamnya. Perintah ini, misalnya,
ditegaskan di dalam surat Yunus ayat 101.

“Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Perhatikan (dengan nazhor) apa yang ada


di langit dan di bumi’ Tidaklah bermanfaat tanda-tanda (kebesaran Allah) dan
rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang yang tidak beriman”.

24
Dalam kata unzhuru (perhatikan), Baiquni memahaminya tidak sekedar
memperhatikan dengan pikiran kosong, melainkan dengan perhatian yang
seksama terhadap kebesaran Allah SWT dan makna dari gejala alam yang
diamati (Baiquni, 1997:20). Perintah ini tampak lebih jelas lagi di dalam firman
Allah di surat al-Ghasyiyah ayat 17-20:

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan kepada unta bagaimana dia


diciptakan?, Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung
bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?”

Kedua, al-Qur’an mengajarkan kepada manusia untuk mengadakan


pengukuran terhadap gejala-gejala alam. Hal ini diisyaratkan di dalam
surat al-Qamar ayat 49.

“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan ukuran.”

25
Ketiga, al-Qur’an menekankan pentingnya analisis yang mendalam
terhadap fenomena alam melalui proses penalaran yang kritis dan sehat untuk
mencapai kesimpulan yang rasional. Persoalan ini dinyatakan dalam
surat an-Nahl ayat 11- 12.

“Dia menumbuhkan bagimu, dengan air hujan itu, tanamantanaman zaitun,


korma, anggur, dan segala macam buahbuahan. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi mereka
yang mau berpikir. Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan
bulan untukmu; dan bintang-bintang itu ditundukkan (bagimu) dengan
perintah-Nya. Sebenarnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda
kekuasaan Allah bagi kaum yang menalar.”

Tiga langkah yang dikembangkan oleh al-Qur’an itulah yang


sesungguhnya yang dijalankan oleh sains hingga saat ini, yaitu observasi
(pengamatan), pengukuran-pengukuran, lalu menarik kesimpulan (hukum-
hukum) berdasarkan observasi dan pengukuran itu.
Meskipun demikian, dalam perspektif al-Qur’an, kesimpulan-kesimpulan
ilmiah rasional bukanlah tujuan akhir dan kebenaran mutlak dari proses
penyelidikan terhadap gejala-gejala alamiah di alam semesta. Sebab, seperti
pada penghujung ayat yang menjelaskan gejala-gejala alamiah, kesadaran
adanya Allah dengan sifat-sifat-Nya Yang Maha Sempurna menjadi tujuan
hakiki di balik fakta-fakta alamiah yang dinampakkan.
Memahami tanda-tanda kekuasaan Pencipta hanya mungkin dilakukan
oleh orang-orang yang terdidik dan bijak yang berusaha menggali rahasia-
rahasia alam serta memiliki ilmu (keahlian) dalam bidang tertentu.

26
Ilmu-ilmu kealaman seperti matematika, fisika, kimia, astronomi, biologi,
geologi dan lainnya merupakan perangkat yang dapat digunakan untuk
memahami fenomena alam semesta secara tepat. Dengan bantuan ilmu-ilmu
serta didorong oleh semangat dan sikap rasional, maka sunnatullah dalam
wujud keteraturan tatanan (order) di alam ini tersingkap.

2.3 Ayat-ayat Sains dalam Al-Qur’an


Al Qur’an adalah kitab Hidayah (petunjuk) dan Irsyad (bimbingan)
yang utama bagi Ummat manusia. Namun Allah berkehendak menyajikan di
dalamnya beberapa isyarat ilmiah/sains untuk mengungkapkan rahasia alam
semesta, bumi dan manusia. Juga untuk menunjukkan bahwa Allah SWT
Maha Kuasa dan Maha Mengetahui.

Jika manusia mengetahui ayat-ayat ini dan mentadabburinya dengan


ikhlash, maka mereka akan mengetahui hakikat kebenaran Al Qur’an yang
diturunkan kepada Sang Nabi Akhir zaman. Mereka akan yakin dengan
kandungan kitab Samawi turun dari langit ini, serta meyakini bahwa ia adalah
Firman dari Pencipta Alam semesta.

Untuk memahami ayat-ayat sains dalam Al Qur’an alangkah baiknya


kita memperhatikan beberapa panduan berikut :

1. Al Qur’an bukanlah kitab sains dan teknologi. Ia adalah kitab Hidayah


(petunjuk) bagi orang-orang yang beriman. Sebagian besar Al Qur’an
mengandung ajaran Tauhid, Syari’ah dan Akhlak.
2. Dalam beberapa tempat Al Qur’an memberikan Isyarat Ilmiah yang
kebenarannya telah dibuktikan oleh sains modern Abad 20. Sehingga bisa
dikatakan bahwa ia adalah dalil terbesar akan kebenaran Al Qur’an
sebagai wahyu Allah SWT. Inilah yang disebut dengan Mukjizat Sains/Ilmiah
dalam Al Qur’an.
3. Untuk memahami kebenaran ayat sains tentu tidak cukup hanya dengan
membaca Al Qur’an dan tafsirnya. Karena ungkapan Al Qur’an bersifat
global atau tidak merincinya secara detail dan ilmiah. Untuk memahaminya kita
perlu merujuk kepada sumber-sumber ilmiah lain yang lebih rinci menjelaskan
ayat-ayat tersebut.

27
4. Kebenaran mutlak tentang sains yang disebutkan Al Qur’an tidak mungkin
bertentangan dengan kebenaran mutlak hasil penemuan Ilmiah modern.
Sedangkan ayat Al qur’an yang masih diperselisihkan maksudnya (dzonniyyud
dalalah) tidak bisa dijadikan dalil bagi penemuan ilmiyahh yang masih
diragukan.
5. Ayat-ayat sains merupakan pembenaran dari Firman Allah saw : “Kami akan
memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala
wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al
Quran itu adalah benar”. (QS. Fushshilat : 53). Ia adalah ajakan untuk beriman,
berpengetahuan dan beramal. Sekaligus sebagai sarana paling ampuh untuk
berdakwah di kalangan para scientist khususnya di dunia barat

5 hal di atas adalah cara – cara dalam memahami ayat-ayat sains.


Adapun untuk memahami kandungan ayat demi ayatnya, kita perlu merujuk
pada sumber-sumber lain seperti buku-buku astronomi, kedokteran, biologi
dan sebagainya.

Catatan :
Isyarat-isyarat sains dalam Al Qur’an sebenarnya jauh lebih banyak
dari yang telah dirinci dalam “Indeks ayat sains dan teknologi dalam Al Qur’an”.
Namun hanya ayat-ayat yang memiliki kaitan erat dan kandungan sainsnya lebih
banyak yang disebutkan disini. Sementara ayat yang kaitannya terlalu jauh tidak
dimasukkan ke dalam daftar

2.4 Ayat-ayat Al-Qur’an Dalam berbagai Bidang Sains

1. AL QUR’AN DAN ASTRONOMI


a. Penciptaan Alam Semesta
Asal mula alam semesta digambarkan dalam Al Qur'an pada ayat
berikut: "Dialah pencipta langit dan bumi." (Al Qur'an, 6:101). Keterangan
yang diberikan Al Qur'an ini bersesuaian penuh dengan penemuan ilmu
pengetahuan masa kini. Kesimpulan yang didapat astrofisika saat ini
adalah bahwa keseluruhan alam semesta, beserta dimensi materi dan
waktu, muncul menjadi ada sebagai hasil dari suatu ledakan raksasa yang
tejadi dalam sekejap. Peristiwa ini, yang dikenal dengan "Big Bang",
membentuk keseluruhan alam semesta sekitar 15 milyar tahun lalu.

28
Jagat raya tercipta dari suatu ketiadaan sebagai hasil dari ledakan satu
titik tunggal. Sebelum Big Bang, tak ada yang disebut sebagai materi. Dari
kondisi ketiadaan, di mana materi, energi, bahkan waktu belumlah ada, dan
yang hanya mampu diartikan secara metafisik, terciptalah materi, energi,
dan waktu. Fakta ini, yang baru saja ditemukan ahli fisika modern,
diberitakan kepada kita dalam Al Qur'an 1.400 tahun lalu. Sensor sangat
peka pada satelit ruang angkasa COBE yang diluncurkan NASA pada
tahun 1992 berhasil menangkap sisa-sisa radiasi ledakan Big Bang.
Penemuan ini merupakan bukti terjadinya peristiwa Big Bang, yang
merupakan penjelasan ilmiah bagi fakta bahwa alam semesta diciptakan
dari ketiadaan.
b. Mengembangnya Alam Semesta
Dalam Al Qur'an, yang diturunkan 14 abad silam di saat ilmu astronomi
masih terbelakang, mengembangnya alam semesta digambarkan
sebagaimana berikut ini:

"Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya
Kami benar-benar meluaskannya." (Al Qur'an, 51:47)

Kata "langit", sebagaimana dinyatakan dalam ayat ini, digunakan di


banyak tempat dalam Al Qur'an dengan makna luar angkasa dan alam
semesta. Di sini sekali lagi, kata tersebut digunakan dengan arti ini.
Dengan kata lain, dalam Al Qur'an dikatakan bahwa alam semesta
"mengalami perluasan atau mengembang". Dan inilah yang kesimpulan
yang dicapai ilmu pengetahuan masa kini. Sejak terjadinya peristiwa Big
Bang, alam semesta telah mengembang secara terus-menerus dengan
kecepatan maha dahsyat. Para ilmuwan menyamakan peristiwa
mengembangnya alam semesta dengan permukaan balon yang sedang
ditiup.
Hingga awal abad ke-20, satu-satunya pandangan yang umumnya
diyakini di dunia ilmu pengetahuan adalah bahwa alam semesta bersifat
tetap dan telah ada sejak dahulu kala tanpa permulaan. Namun, penelitian,
pengamatan, dan perhitungan yang dilakukan dengan teknologi modern,
mengungkapkan bahwa alam semesta sesungguhnya memiliki permulaan,
dan ia terus-menerus "mengembang".

29
Pada awal abad ke-20, fisikawan Rusia, Alexander Friedmann, dan ahli
kosmologi Belgia, George Lemaitre, secara teoritis menghitung dan
menemukan bahwa alam semesta senantiasa bergerak dan mengembang.
Fakta ini dibuktikan juga dengan menggunakan data pengamatan pada
tahun 1929. Ketika mengamati langit dengan teleskop, Edwin Hubble,
seorang astronom Amerika, menemukan bahwa bintang-bintang dan
galaksi terus bergerak saling menjauhi. Sebuah alam semesta, di mana
segala sesuatunya terus bergerak menjauhi satu sama lain, berarti bahwa
alam semesta tersebut terus-menerus "mengembang". Pengamatan yang
dilakukan di tahun-tahun 16 berikutnya memperkokoh fakta bahwa alam
semesta terus mengembang. Kenyataan ini diterangkan dalam Al Qur'an
pada saat tak seorang pun mengetahuinya. Ini dikarenakan Al Qur'an
adalah firman Allah, Sang Pencipta, dan Pengatur keseluruhan alam
semesta.
c. Pemisahan Langit dan Bumi
Satu ayat lagi tentang penciptaan langit adalah sebagaimana berikut:

"Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit


dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami
pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang
hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?" (Al Qur'an, 21:30)

Kata "ratq" yang di sini diterjemahkan sebagai "suatu yang padu"


digunakan untuk merujuk pada dua zat berbeda yang membentuk suatu
kesatuan. Ungkapan "Kami pisahkan antara keduanya" adalah terjemahan
kata Arab "fataqa", dan bermakna bahwa sesuatu muncul menjadi ada
melalui peristiwa pemisahan atau pemecahan struktur dari "ratq".
Perkecambahan biji dan munculnya tunas dari dalam tanah adalah salah
satu peristiwa yang diungkapkan dengan menggunakan kata ini. Marilah
kita kaji ayat ini kembali berdasarkan pengetahuan ini.
Dalam ayat tersebut, langit dan bumi adalah subyek dari kata sifat
"fatq". Keduanya lalu terpisah ("fataqa") satu sama lain. Menariknya, ketika
mengingat kembali tahap-tahap awal peristiwa Big Bang, kita pahami
bahwa satu titik tunggal berisi seluruh materi di alam semesta. Dengan
kata lain, segala sesuatu, termasuk "langit dan bumi" yang saat itu

30
belumlah diciptakan, juga terkandung dalam titik tunggal yang masih
berada pada keadaan "ratq" ini. Titik tunggal ini meledak sangat dahsyat,
sehingga menyebabkan materimateri yang dikandungnya untuk "fataqa"
(terpisah), dan dalam rangkaian peristiwa tersebut, bangunan dan tatanan
keseluruhan alam semesta terbentuk. 17 Ketika kita bandingkan
penjelasan ayat tersebut dengan berbagai penemuan ilmiah, akan kita
pahami bahwa keduanya benar-benar bersesuaian satu sama lain. Yang
sungguh menarik lagi, penemuan-penemuan ini belumlah terjadi sebelum
abad ke-20.
d. Garis Edar
Tatkala merujuk kepada matahari dan bulan di dalam Al Qur'an,
ditegaskan bahwa masing-masing bergerak dalam orbit atau garis edar
tertentu.

"Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan
bulan. Masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya."
(Al Qur'an, 21:33)

Disebutkan pula dalam ayat yang lain bahwa matahari tidaklah diam, tetapi
bergerak dalam garis edar tertentu:

"Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan


Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui." (Al Qur'an, 36:38)
e. Bentuk Bulat Planet Bumi

"Dia menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) yang benar; Dia
menutupkan malam atas siang dan menutupkan siang atas malam..." (Al
Qur'an, 39:5)

Dalam Al Qur'an, kata-kata yang digunakan untuk menjelaskan tentang


alam semesta sungguh sangat penting. Kata Arab yang diterjemahkan
sebagai "menutupkan" dalam ayat di atas adalah "takwir". Dalam kamus
bahasa Arab, misalnya, kata ini digunakan untuk menggambarkan
pekerjaan membungkus atau menutup sesuatu di atas yang lain secara
melingkar, sebagaimana surban dipakaikan pada kepala.

31
f. Atap yang Terpelihara
Dalam Al Qur'an, Allah mengarahkan perhatian kita kepada sifat yang
sangat menarik tentang langit:

"Dan Kami menjadikan langit itu sebagai atap yang terpelihara, sedang
mereka berpaling dari segala tanda-tanda (kekuasaan Allah) yang ada
padanya." (Al Qur'an, 21:32)

Sifat langit ini telah dibuktikan oleh penelitian ilmiah abad ke-20. Atmosfir
yang melingkupi bumi berperan sangat penting bagi berlangsungnya
kehidupan. Dengan menghancurkan sejumlah meteor, besar ataupun kecil
ketika mereka mendekati bumi, atmosfir mencegah mereka jatuh ke bumi
dan membahayakan makhluk hidup.
Fungsi pelindung dari atmosfir tidak berhenti sampai di sini. Atmosfir
juga melindungi bumi dari suhu dingin membeku ruang angkasa, yang
mencapai sekitar 270 derajat celcius di bawah nol. Tidak hanya atmosfir
yang melindungi bumi dari pengaruh berbahaya.
Selain atmosfir, Sabuk Van Allen, suatu lapisan yang tercipta akibat
keberadaan medan magnet bumi, juga berperan sebagai perisai melawan
radiasi berbahaya yang mengancam planet kita. Radiasi ini, yang terus-
menerus dipancarkan oleh matahari dan bintang-bintang lainnya, sangat
mematikan bagi makhuk hidup. Jika saja sabuk Van Allen tidak ada,
semburan energi raksasa yang disebut jilatan api matahari yang terjadi
berkali-berkali pada matahari akan menghancurkan seluruh kehidupan di
muka bumi.
g. Langit yang Mengembalikan
Ayat ke-11 dari Surat Ath Thaariq dalam Al Qur'an, mengacu pada
fungsi "mengembalikan" yang dimiliki langit. "Demi langit yang
mengandung hujan." (Al Qur'an, 86:11). Kata yang ditafsirkan sebagai
"mengandung hujan" dalam terjemahan Al Qur'an ini juga bermakna
"mengirim kembali" atau "mengembalikan".

32
Sebagaimana diketahui, atmosfir yang melingkupi bumi terdiri dari
sejumlah lapisan. Setiap lapisan memiliki peran penting bagi kehidupan.
Penelitian mengungkapkan bahwa lapisan-lapisan ini memiliki fungsi
mengembalikan benda-benda atau sinar yang mereka terima ke ruang
angkasa atau ke arah bawah, yakni ke bumi.

2. Al-Qur’an dan Fisika


a. Rahasia Besi
Besi adalah salah satu unsur yang dinyatakan secara jelas dalam Al
Qur'an. Dalam Surat Al Hadiid, yang berarti "besi", kita diberitahu sebagai
berikut:

"…Dan Kami turunkan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat
dan berbagai manfaat bagi manusia ...." (Al Qur'an, 57:25)

Kata "anzalnaa" yang berarti "kami turunkan" khusus digunakan untuk


besi dalam ayat ini, dapat diartikan secara kiasan untuk menjelaskan
bahwa besi diciptakan untuk memberi manfaat bagi manusia. Tapi ketika
kita mempertimbangkan makna harfiah kata ini, yakni "secara bendawi
diturunkan dari langit", kita akan menyadari bahwa ayat ini memiliki
keajaiban ilmiah yang sangat penting.
Ini dikarenakan penemuan astronomi modern telah mengungkap bahwa
logam besi yang ditemukan di bumi kita berasal dari bintang-bintang
raksasa di angkasa luar. Semua ini menunjukkan bahwa logam besi tidak
terbentuk di bumi melainkan kiriman dari bintang-bintang yang meledak di
ruang angkasa melalui meteormeteor dan "diturunkan ke bumi", persis
seperti dinyatakan dalam ayat tersebut: Jelaslah bahwa fakta ini tidak
dapat diketahui secara ilmiah pada abad ke-7 ketika Al Qur'an diturunkan.
b. Penciptaan yang Berpasang-pasangan

"Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan


semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka
maupun dari apa yang tidak mereka ketahui." (Al Qur'an, 36:36)

33
Meskipun gagasan tentang "pasangan" umumnya bermakna laki-laki
dan perempuan, atau jantan dan betina, ungkapan "maupun dari apa yang
tidak mereka ketahui" dalam ayat di atas memiliki cakupan yang lebih luas.
Kini, cakupan makna lain dari ayat tersebut telah terungkap. Ilmuwan
Inggris, Paul Dirac, yang menyatakan bahwa materi diciptakan secara
berpasangan, dianugerahi Hadiah Nobel di bidang fisika pada tahun 1933.
Penemuan ini, yang disebut "parité", menyatakan bahwa materi
berpasangan dengan lawan jenisnya: anti-materi.
Anti-materi memiliki sifat-sifat yang berlawanan dengan materi.
Misalnya, berbeda dengan materi, elektron anti-materi bermuatan positif,
dan protonnya bermuatan negatif. Fakta ini dinyatakan dalam sebuah
sumber ilmiah sebagaimana berikut:
"…setiap partikel memiliki anti-partikel dengan muatan yang berlawanan...
...dan hubungan ketidakpastian mengatakan kepada kita bahwa penciptaan
berpasangan dan pemusnahan berpasangan terjadi di dalam vakum di
setiap saat, di setiap tempat."
c. Relativitas Waktu
Kini, relativitas waktu adalah fakta yang terbukti secara ilmiah. Hal ini
telah diungkapkan melalui teori relativitas waktu Einstein di tahun-tahun
awal abad ke-20. Sebelumnya, manusia belumlah mengetahui bahwa
waktu adalah sebuah konsep yang relatif, dan waktu dapat berubah
tergantung keadaannya. Ilmuwan besar, Albert Einstein, secara terbuka
membuktikan fakta ini dengan 21 teori relativitas. Ia menjelaskan bahwa
waktu ditentukan oleh massa dan kecepatan. Dalam sejarah manusia, tak
seorang pun mampu mengungkapkan fakta ini dengan jelas sebelumnya.
Tapi ada perkecualian; Al Qur'an telah berisi informasi tentang waktu yang
bersifat relatif! Sejumlah ayat yang mengulas hal ini berbunyi:

"Dan mereka meminta kepadamu agar azab itu disegerakan, padahal


Allah sekali-kali tidak akan menyalahi janji-Nya. Sesungguhnya sehari di
sisi Tuhanmu adalah seperti seribu menurut perhitunganmu." (Al Qur'an,
22:47)

34
"Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik
kepadaNya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut
perhitunganmu." (Al Qur'an, 32:5)

"Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari


yang kadarnya limapuluh ribu tahun." (Al Qur'an, 70:4)

Dalam sejumlah ayat disebutkan bahwa manusia merasakan waktu


secara berbeda, dan bahwa terkadang manusia dapat merasakan waktu
sangat singkat sebagai sesuatu yang lama:

"Allah bertanya: 'Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?' Mereka


menjawab: 'Kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari, maka
tanyakanlah kepada orang-orang yang menghitung.' Allah berfirman: 'Kamu
tidak tinggal (di bumi) melainkan sebentar saja, kalau kamu sesungguhnya
mengetahui'." (Al Qur'an, 23:122-114)

Fakta bahwa relativitas waktu disebutkan dengan sangat jelas dalam Al


Qur'an, yang mulai diturunkan pada tahun 610 M, adalah bukti lain bahwa
Al Qur'an adalah Kitab Suci yang sempurna.

3. Al-Quran dan Bumi


a. Lapisan-Lapisan Atmosfer
Satu fakta tentang alam semesta sebagaimana dinyatakan dalam Al
Qur’an adalah bahwa langit terdiri atas tujuh lapis.

"Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia
berkehendak menuju langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha
Mengetahui segala sesuatu." (Al Qur'an, 2:29)

"Kemudian Dia menuju langit, dan langit itu masih merupakan asap. Maka Dia
menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan pada tiap-
tiap langit urusannya." (Al Qur'an, 41:11-12)

35
Kata "langit", yang kerap kali muncul di banyak ayat dalam Al Qur’an,
digunakan untuk mengacu pada "langit" bumi dan juga keseluruhan alam
semesta. Dengan makna kata seperti ini, terlihat bahwa langit bumi atau
atmosfer terdiri dari tujuh lapisan. Saat ini benar-benar diketahui bahwa
atmosfir bumi terdiri atas lapisan-lapisan yang berbeda yang saling
bertumpukan. Lebih dari itu, persis sebagaimana dinyatakan dalam Al Qur’an,
atmosfer terdiri atas tujuh lapisan. Dalam sumber ilmiah, hal tersebut
diuraikan sebagai berikut:
Jika kita hitung jumlah lapisan yang dinyatakan dalam sumber ilmiah
tersebut, kita ketahui bahwa atmosfer tepat terdiri atas tujuh lapis, seperti
dinyatakan dalam ayat tersebut. Atmosfir bumi memiliki 7 lapisan. Lapisan
terendah dinamakan troposfir. Hujan, salju, dan angin hanya terjadi pada
troposfir. Adalah sebuah keajaiban besar bahwa fakta-fakta ini, yang tak
mungkin ditemukan tanpa teknologi canggih abad ke-20, secara jelas
dinyatakan oleh Al Qur’an 1.400 tahun yang lalu.
b. Fungsi Gunung
Al Qur’an mengarahkan perhatian kita pada fungsi geologis penting dari
gunung. "Dan telah Kami jadikan di bumi ini gunung-gunung yang kokoh
supaya bumi itu (tidak) goncang bersama mereka..." (Al Qur'an, 21:31)

Sebagaimana terlihat, dinyatakan dalam ayat tersebut bahwa gunung-


gunung berfungsi mencegah goncangan di permukaan bumi. Kenyataan ini
tidaklah diketahui oleh siapapun di masa ketika Al Qur’an diturunkan.
Nyatanya, hal ini baru saja terungkap sebagai hasil penemuan geologi
modern. Menurut penemuan ini, gunung-gunung muncul sebagai hasil
pergerakan dan tumbukan dari lempengan-lempengan raksasa yang
membentuk kerak bumi. Ketika dua lempengan bertumbukan, lempengan
yang lebih kuat menyelip di bawah lempengan yang satunya, sementara yang
di atas melipat dan membentuk dataran tinggi dan gunung. Lapisan bawah
bergerak di bawah permukaan dan membentuk perpanjangan yang dalam ke
bawah.

36
Ini berarti gunung mempunyai bagian yang menghujam jauh ke bawah
yang tak kalah besarnya dengan yang tampak di permukaan bumi. Peran
penting gunung yang ditemukan oleh ilmu geologi modern dan penelitian
gempa, telah dinyatakan dalam Al Qur’an berabad-abad lampau sebagai
suatu bukti Hikmah Maha Agung dalam ciptaan Allah.

"Dan telah Kami jadikan di bumi ini gunung-gunung yang kokoh supaya bumi
itu (tidak) goncang bersama mereka..." (Al Qur'an, 21:31)
c. Angin yang Mengawinkan
Dalam sebuah ayat Al Qur’an disebutkan sifat angin yang mengawinkan
dan terbentuknya hujan karenanya.

"Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan dan Kami turunkan
hujan dari langit lalu Kami beri minum kamu dengan air itu dan sekali kali
bukanlah kamu yang menyimpannya." (Al Qur'an, 15:22) 24

Dalam ayat ini ditekankan bahwa fase pertama dalam pembentukan


hujan adalah angin. Hingga awal abad ke 20, satu-satunya hubungan antara
angin dan hujan yang diketahui hanyalah bahwa angin yang menggerakkan
awan. Namun penemuan ilmu meteorologi modern telah menunjukkan peran
"mengawinkan" dari angin dalam pembentukan hujan. Fungsi mengawinkan
dari angin ini terjadi sebagaimana berikut:
Di atas permukaan laut dan samudera, gelembung udara yang tak
terhitung jumlahnya terbentuk akibat pembentukan buih. Pada saat
gelembunggelembung ini pecah, ribuan partikel kecil dengan diameter
seperseratus milimeter, terlempar ke udara. Partikel-partikel ini, yang dikenal
sebagai aerosol, bercampur dengan debu daratan yang terbawa oleh angin
dan selanjutnya terbawa ke lapisan atas atmosfer.
Partikel-partikel ini dibawa naik lebih tinggi ke atas oleh angin dan
bertemu dengan uap air di sana. Uap air mengembun di sekitar partikel-
partikel ini dan berubah menjadi butiranbutiran air. Butiran-butiran air ini mula-
mula berkumpul dan membentuk awan dan kemudian jatuh ke Bumi dalam
bentuk hujan.

37
Sebagaimana terlihat, angin “mengawinkan” uap air yang melayang di
udara dengan partikel-partikel yang di bawanya dari laut dan akhirnya
membantu pembentukan awan hujan. Apabila angin tidak memiliki sifat ini,
butiran-butiran air di atmosfer bagian atas tidak akan pernah terbentuk dan
hujanpun tidak akan pernah terjadi. Hal terpenting di sini adalah bahwa peran
utama dari angin dalam pembentukan hujan telah dinyatakan berabad-abad
yang lalu dalam sebuah ayat Al Qur’an, pada saat orang hanya mengetahui
sedikit saja tentang fenomena alam…
d. Lautan yang Tidak Bercampur Satu Sama Lain
Salah satu di antara sekian sifat lautan yang baru-baru ini ditemukan
adalah berkaitan dengan ayat Al Qur’an sebagai berikut:

"Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu,


antara keduanya ada batas yang tak dapat dilampaui oleh masing-masing."
(Al Qur'an, 55:19-20)

Sifat lautan yang saling bertemu, akan tetapi tidak bercampur satu sama
lain ini telah ditemukan oleh para ahli kelautan baru-baru ini. Dikarenakan
gaya fisika yang dinamakan "tegangan permukaan", air dari laut-laut yang
saling bersebelahan tidak menyatu. Akibat adanya perbedaan masa jenis,
tegangan permukaan mencegah lautan dari bercampur satu sama lain, seolah
terdapat dinding tipis yang memisahkan mereka. (Davis, Richard A., Jr. 1972,
Principles of Oceanography, Don Mills, Ontario, Addison-Wesley Publishing,
s. 92-93.)
Sisi menarik dari hal ini adalah bahwa pada masa ketika manusia tidak
memiliki pengetahuan apapun mengenai fisika, tegangan permukaan, ataupun
ilmu kelautan, hal ini dinyatakan dalam Al Qur’an.
e. Kegelapan dan Gelombang di Dasar Lautan

"Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang
di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang
tindihbertindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat
melihatnya, (dan) barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah
tiadalah dia mempunyai cahaya sedikitpun." (Al Qur'an, 24:40)

38
Keadaan umum tentang lautan yang dalam dijelaskan dalam buku
berjudul Oceans: Kegelapan dalam lautan dan samudra yang dalam dijumpai
pada kedalaman 200 meter atau lebih. Pada kedalaman ini, hampir tidak
dijumpai cahaya. Di bawah kedalaman 1000 meter, tidak terdapat cahaya
sama sekali. (Elder, Danny; and John Pernetta, 1991, Oceans, London,
Mitchell Beazley Publishers, s. 27)
Pernyataan-pernyataan dalam Al Qur'an benar-benar bersesuaian
dengan penjelasan di atas. Tanpa adanya penelitian, seseorang hanya
mampu melihat gelombang di permukaan laut. Mustahil seseorang mampu
mengamati keberadaan gelombang internal di dasar laut. Akan tetapi, dalam
surat An Nuur, Allah mengarahkan perhatian kita pada jenis gelombang yang
terdapat di kedalaman samudra. Sungguh, fakta yang baru saja diketemukan
para ilmuwan ini memperlihatkan sekali lagi bahwa Al Qur'an adalah kalam
Allah.
f. Pembentukan Hujan
Proses terbentuknya hujan masih merupakan misteri besar bagi orang-
orang dalam waktu yang lama. Baru setelah radar cuaca ditemukan, bisa
didapatkan tahap-tahap pembentukan hujan.
Pembentukan hujan berlangsung dalam tiga tahap. Pertama, "bahan
baku" hujan naik ke udara, lalu awan terbentuk. Akhirnya, curahan hujan
terlihat. Tahap-tahap ini ditetapkan dengan jelas dalam Al-Qur’an berabad-
abad yang lalu, yang memberikan informasi yang tepat mengenai
pembentukan hujan,

"Dialah Allah Yang mengirimkan angin, lalu angin itu menggerakkan awan dan
Allah membentangkannya di langit menurut yang dikehendakiNya, dan
menjadikannya bergumpal-gumpal; lalu kamu lihat air hujan keluar dari
celahcelahnya; maka, apabila hujan itu turun mengenai hamba-hambaNya
yang dikehendakiNya, tiba-tiba mereka menjadi gembira" (Al Qur'an, 30:48)

Kita harus ingat bahwa para ahli meteorologi hanya baru-baru ini saja
mengetahui proses pembentukan awan hujan ini secara rinci, beserta bentuk
dan fungsinya, dengan menggunakan peralatan mutakhir seperti pesawat
terbang, satelit, komputer, dsb. Sungguh jelas bahwa Allah telah memberitahu
kita suatu informasi yang tak mungkin dapat diketahui 1400 tahun yang lalu

39
g. Pergerakan Gunung
Dalam sebuah ayat, kita diberitahu bahwa gunung-gunung tidaklah diam
sebagaimana yang tampak, akan tetapi mereka terus-menerus bergerak.

"Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya,
padahal dia berjalan sebagai jalannya awan. (Begitulah) perbuatan Allah yang
membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu; sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (Al Qur'an, 27:88)

Gerakan gunung-gunung ini disebabkan oleh gerakan kerak bumi


tempat mereka berada. Kerak bumi ini seperti mengapung di atas lapisan
magma yang lebih rapat. Pada awal abad ke-20, untuk pertama kalinya dalam
sejarah, seorang ilmuwan Jerman bernama Alfred Wegener mengemukakan
bahwa benua-benua pada permukaan bumi menyatu pada masa-masa awal
bumi, namun kemudian bergeser ke arah yang berbeda-beda sehingga
terpisah ketika mereka bergerak saling menjauhi. Tidak dipertanyakan lagi,
adalah salah satu kejaiban Al Qur’an bahwa fakta ilmiah ini, yang baru-baru
saja ditemukan oleh para ilmuwan, telah dinyatakan dalam Al Qur’an.

4. Al-Qur’an dan Biologi


a. Bagian Otak yang mengendalikan
"Ketahuilah, sungguh jika dia tidak berhenti (berbuat demikian) niscaya Kami
tarik ubun-ubunnya, (yaitu) ubun-ubun orang yang mendustakan lagi
durhaka." (Al Qur'an, 96:15-16)
Ungkapan "ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka" dalam
ayat di atas sungguh menarik. Penelitian yang dilakukan di tahun-tahun
belakangan mengungkapkan bahwa bagian prefrontal, yang bertugas
mengatur fungsifungsi khusus otak, terletak pada bagian depan tulang
tengkorak. Para ilmuwan hanya mampu menemukan fungsi bagian ini selama
kurun waktu 60 tahun terakhir, sedangkan Al Qur'an telah menyebutkannya
1400 tahun lalu. Jika kita lihat bagian dalam tulang tengkorak, di bagian depan
kepala, akan kita temukan daerah frontal cerebrum (otak besar). Buku
berjudul Essentials of Anatomy and Physiology, yang berisi temuan-temuan
terakhir hasil penelitian tentang fungsi bagian ini, menyatakan:

40
Jadi, daerah cerebrum ini juga bertugas merencanakan, memberi
dorongan, dan memulai perilaku baik dan buruk, dan bertanggung jawab atas
perkataan benar dan dusta. Jelas bahwa ungkapan "ubun-ubun orang yang
mendustakan lagi durhaka" benar-benar merujuk pada penjelasan di atas.
Fakta yang hanya dapat diketahui para ilmuwan selama 60 tahun terakhir ini,
telah dinyatakan Allah dalam Al Qur'an sejak dulu.
b. Jenis Kelamin Bayi
Hingga baru-baru ini, diyakini bahwa jenis kelamin bayi ditentukan oleh
selsel ibu. Atau setidaknya, dipercaya bahwa jenis kelamin ini ditentukan
secara bersama oleh sel-sel lelaki dan perempuan. Namun kita diberitahu
informasi yang berbeda dalam Al Qur'an, yang menyatakan bahwa jenis
kelamin lakilaki atau perempuan diciptakan "dari air mani apabila
dipancarkan".

"Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan pria dan wanita, dari air mani,
apabila dipancarkan." (Al Qur'an, 53:45-46)

Cabang-cabang ilmu pengetahuan yang berkembang seperti genetika


dan biologi molekuler telah membenarkan secara ilmiah ketepatan informasi
yang diberikan Al Qur'an ini. Kini diketahui bahwa jenis kelamin ditentukan
oleh sel-sel sperma dari tubuh pria, dan bahwa wanita tidak berperan dalam
proses penentuan jenis kelamin ini. Dengan kata lain, jenis kelamin bayi
ditentukan oleh jenis kromosom mana dari pria yang bergabung dengan sel
telur wanita. Tak satu pun informasi ini dapat diketahui hingga ditemukannya
ilmu genetika pada abad ke-20. Bahkan di banyak masyarakat, diyakini bahwa
jenis kelamin bayi ditentukan oleh pihak wanita. Inilah mengapa kaum wanita
dipersalahkan ketika mereka melahirkan bayi perempuan.
Namun, tiga belas abad sebelum penemuan gen manusia, Al Qur'an
telah mengungkapkan informasi yang menghapuskan keyakinan takhayul ini,
dan menyatakan bahwa wanita bukanlah penentu jenis kelamin bayi, akan
tetapi air mani dari pria.

41
c. Tanda Pengenal Manusia pada
Sidik Jari Saat dikatakan dalam Al Qur'an bahwa adalah mudah bagi
Allah untuk menghidupkan manusia setelah kematiannya, pernyataan tentang
sidik jari manusia secara khusus ditekankan:

"Apakah manusia mengira bahwa Kami tidak akan mengumpulkan (kembali)


tulang-belulangnya? Ya, bahkan Kami mampu menyusun (kembali) ujung jari-
jarinya dengan sempurna." (Al Qur'an, 75:3-4)

Penekanan pada sidik jari memiliki makna sangat khusus. Ini


dikarenakan sidik jari setiap orang adalah khas bagi dirinya sendiri. Setiap
orang yang hidup atau pernah hidup di dunia ini memiliki serangkaian sidik jari
yang unik dan berbeda dari orang lain. Itulah mengapa sidik jari dipakai
sebagai kartu identitas yang sangat penting bagi pemiliknya dan digunakan
untuk tujuan ini di seluruh penjuru dunia. Akan tetapi, yang penting adalah
bahwa keunikan sidik jari ini baru ditemukan di akhir abad ke-19. Sebelumnya,
orang menghargai sidik jari sebagai lengkungan-lengkungan biasa tanpa
makna khusus. Namun dalam Al Qur'an, Allah merujuk kepada sidik jari, yang
sedikitpun tak menarik perhatian orang waktu itu, dan mengarahkan perhatian
kita pada arti penting sidik jari, yang baru mampu dipahami di zaman
sekarang.

"Dan Al Qur'an itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka
ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat." (Al Qur'an, 6:155)

42
2.5 Prinsip-Prinsip Dasar Kegiatan Ilmiah dalam al-Qur’an
Atas dasar pandangan al-Qur’an tentang ilmu pengetahuan (sains dan
teknologi), dapat dirumuskan beberapa prinsip dasar yang menopang dan
memantapkan kegiatan ilmiah manusia sebagai berikut
1. Prinsip Istikhlaf
Prinsip istikhlaf merupakan salah satu prinsip dasar yang digariskan
oleh al-Qur’an dalam mendukung dan memantapkan kegiatan imiah. Konsep
istikhlaf ini berkaitan erat dengan fungsi kekhalifahan manusia. Dalam Islam,
konsep kekhalifahan memiliki sifat yang multi dimensional.
Pertama, konsep kekhalifahan telah menempatkan manusia sebagai
pengatur dunia ini dengan segenap kemampuan yang dimilikinya. Untuk itu,
imanusia dibekali dengan dua kekuatan pokok, wahyu Allah dan kemampuan
berpikir (akal). Apabila dua kekuatan itu dipergunakan sebagaimana mestinya,
maka manusia akan meraih keberhasilan dalam kehidupan kini dan kehidupan
nanti.
Kedua, sebagai khalifah Allah, manusia adalah makhluk yang paling
bertanggung jawab terhadap Allah dibandingkan makhluk-makhluk lainnya.
Tanggung jawab ini merupakan konsekuensi logis dari anugerah kemampuan
dan kekuatan yang dimilikinya.
Ketiga, sebagai khalifah Allah, manusia adalah makhluk yang memiliki
peranan penting untuk mengolah potensipotensi alam semesta. Manusia paling
berperan dalam mengelola seluruh aspek kehidupan, baik aspek fisik, sosial,
dan spiritual yang didasarkan pada hukum-hukum Allah.

Sungguhpun demikian, karena pusat kehidupan alam semesta ini


adalah Allah (Dia yang menciptakan, menggerakkan segala sesuatu, dan
mengawasinya), bukan manusia, maka manusia memiliki kemampuan terbatas.
2. Prinsip Keseimbangan
Prinsip dasar lainnya yang digariskan oleh al-Qur’an adalah
keseimbangan antara kebutuhan-kebutuhan dasar manusia, spiritual dan
material. Prinsip ini dibahas secara luas dan mendalam di dalam al-Qur’an
dengan mengambi berbagai bentuk ungkapan. Manusia disusun oleh Allah
dengan susunan dan ukuran tertentu, lalu diperuntukkan bumi ini dengan
kehendak-Nya untuk memenuhi kebutuhan susunan yang membentuk manusia
itu.

43
Dengan demikian, al-Qur’an menghendaki terwujudnya keseimbangan
yang adil antara dua sisi kejadian manusia (spiritual dan material) sehingga
manusia mampu berbuat, berubah dan bergerak secara seimbang.
3. Prinsip Taskhir
Taskhir juga merupakan prinsip dasar yang membentuk pandangan al-
Qur’an tentang alam semesta (kosmos). Dan, tidak dapat dipungkiri,
manifestasi prinsip ini ke dalam kehidupan riil manusia harus ditopang oleh ilmu
pengetahuan.
Alam semesta ini (langit, bumi, dan seisinya) telah dijadikan oleh Allah
untuk tunduk kepada manusia. Allah telah menentukan dimensi, ukuran, dan
sunnah-sunnah-Nya yang sesuai dengan fungsi dan kemampuan manusia
dalam mengelola alam semesta secara positif dan aktif. Tetapi, bersamaan
dengan itu, al-Qur’an juga meletakkan nilai-nilai dan norma-norma yang
mengatur hubungan antara manusia dan alam semesta. Oleh sebab itu, al-
Qur’an sangat mengecam ekspoitasi yang melampaui batas.
Prinsip taskhir yang ditopang oleh penguasaan ilmu pengetahuan dan
metodologinya merupakan faktor kondusif bagi manusia dalam membangun
bentuk-bentuk peradaban yang sesuai dengan cita-cita manusia dan
kemanusiaan.
4. Prinsip Keterkaitan antara Makhluk dengan Khalik
Prinsip penting lainnya adalah keterkaitan antara sistem penciptaan
yang mengagumkan dengan Sang Pencipta Yang Maha Agung. Ilmu
pengetahuan adalah alat yang mutlak untuk memberikan penjelasan dan
mengungkapkan keterkaitan itu.
Ilmuwan-ilmuwan Muslim klasik telah menghabiskan sebagian besar
umurnya untuk mengadakan pengamatan dan penelitian terhadap fenomena
alam dan akhirnya mereka sampai kepada kesimpulan yang pasti dan tidak
dapat dipungkiri bahwa sesungguhnya di balik semua realitas yang diciptakan
(makhluk) pasti ada yang menciptakan. Proses penciptaan yang berada pada
tingkat sistem yang begitu rapih, teliti, serasi, tujuannya telah ditentukan, dan
keterikatannya terarah, pastilah bersumber dari kehendak Yang Maha Tinggi,
Maha Kuasa, dan Maha Mengatur

44
Berdasarkan empat prinsip di atas, maka jelaslah bahwa ilmu pengetahuan
(sains dan teknologi) merupakan kebutuhan dasar manusia yang Islami selama
manusia melakukannya dalam rangka menemukan rahasia alam dan kehidupan
serta mengarahkannya kepada Pencipta alam dan kehidupan tersebut dengan
cara-cara yang benar dan memuaskan.

2.6 Sains dan Teknologi Modern: Pertimbangan Epistemologis


Berdasarkan prinsip-prinsip al-Qur’an di atas, beberapa isu penting di seputar
epistemologi sains dan teknologi modern patut dipertimbangkan. Persoalan
apakah sains dan teknologi itu netral. Argumen bahwa sains itu netral – bahwa
sains bisa digunakan untuk kepentingan yang baik atau buruk; bahwa
pengetahuan yang mendalam tentang atom bisa digunakan untuk menciptakan
bom nuklir dan juga bisa menyembuhkan penyakit kanker; bahwa ilmu genetika
bisa dipergunakan untuk mengembangkan teknoogi pertanian dan juga bisa
dipergunakan untuk “menyaingi Tuhan” (ingat rekayasa genetika) – semua tampak
amat meyakinkan. Tetapi, benarkah sains dapat dipisahkan dari penerapannya
(teknologi)? Padahal, sejak masa renaissance (masa kelahiran sains modern)
tujuan sains adalah untuk diterapkan dengan menempatkan manusia sebagai
penguasa alam dan memberinya kebebasan untuk mengeksploitasi alam untuk
kepentingan manusia sendiri, apapun akibat yang ditimbulkannya
Dampak-dampak fisis dari penerapan sains ini tentunya sudah dirasakan dalam
realitas kehidupan dahulu dan saat ini. Dengan demikian, pada hakekatnya sains
tidak dapat dipisahkan dari penerapannya, baik atau buruk, sehingga sains tidak
netral. Pernyataan ini, sudah barang tentu, mengundang pertanyaan: “sistem nilai
siapa yang mempengaruhi sains?” Berdasarkan penelitian Shaharir, (1992: 20)
ada indikasi kuat bahwa sains banyak dipengaruhi oleh sistem nilai yang dianut
komunitas ahli sains yang terkait, yang setengahnya tidak serasi dengan nilai
Islam. Oleh sebab itu, nilai-nilai yang menyertai sains modern harus diantisipasi
secara cermat agar kita tidak terperangkap dalam nilai-nilai yang tidak Islami itu.
Di sisi lain, sejak awal kemunculannya, sains telah mengembangkan suatu pola
di mana rasionalisme dan empirisme menjadi pilar utama metode keilmuan
(scientific method). Pola berpikir sains ini ternyata telah berpengaruh luas pada
pola pikir manusia di hampir semua bidang kehidupannya.

45
Sehingga, penilaian manusia atas realitasrealitas – baik realitas sosial,
individual, bahkan juga keagamaan – diukur berdasarkan kesadaran obyektif di
mana eksperimen, pengalaman empiris, dan abstraksi kuantitatif adalah cara-cara
yang paling bisa dipercaya. Akibatnya, seperti pengalaman AB Shah (1987)
(ilmuwan India) yang ingin memanfaatkan sains untuk memajukan masyarakat
India, sains telah memungkinkan manusia untuk memandang setiap persoalan
secara obyektif dan membebaskan manusia dari ikatan-ikatan takhayul. Akan
tetapi, sayangnya, sains juga membebaskan manusia dari agamanya.
Tampaknya, menurut AB Shah, dunia pengalaman kita sudah semakin sempit.
Yang nyata adalah yang empiris, rasional. Selain itu, termasuk agama, adalah
mitos, obsesi dan khayalan.
Di samping itu, sains juga membawa nilai-nilai sekularisme. Sains memisahkan
secara jelas antara dunia material dengan spiritual, antara pengamat dengan yang
diamati, antara subyek dengan obyek, antara manusia dengan alam. Akibatnya,
karena sains hanya mengamati fakta dan aspek yang dapat diukur, sifat ruhaniah
dari alam dan bendabenda yang ada di dalamnya dihilangkan. Inilah yang disebut
sekularisme oleh Naquib al-Attas. (1991)
Belum diketahui secara persis sejauh mana dampak nilai-nilai yang menyertai
perkembangan sains itu terhadap masyarakat Muslim. Akan tetapi, apa yang
dikemukan di atas (bahkan mungkin lebih dari itu) bukanlah rekaan dan mengada-
ada. Inilah ancaman serius bagi generasi sekarang dan generasi mendatang, yang
oleh Ziauddin Sardar (1987: 86) digambarkan sebagai imperialisme epistemologis.
Dalam ungkapannya:
“Epistemologi peradaban Barat kini telah menjadi suatu cara pemikiran dan
pencarian yang dominan dengan mengesampingkan cara-cara pengetahuan
alternatif lainnya. Jadi, semua masyarakat Muslim, dan bahkan sesungguhnya
seluruh planet ini, dibentuk dengan citra manusia Barat.”
Perangkap epistemoogi peradaban (termasuk di dalamnya sains dan teknologi)
Barat demikian kuatnya yang, tampaknya, tidak memungkinkan bagi siapapun
untuk menghindar darinya. Bagi umat Muslim, sungguhpun belum mampu
menciptakan epistemologi alternatif sebagai tandingan, dalam kapasitas
kemampuan masing-masing umat harus kembali kepada al-Qur’an seraya
mencermati pesan-pesan ilahiyah yang terkandung dalam fenomena alam
semesta.

46
Harus diyakini sepenuhnya bahwa semua yang diciptakan oleh Allah memiliki
kerangka tujuan ilahiyah. Berpijak pada ajaran Tauhid – di mana Allah adalah
Pencipta alam semesta, segala sesuatu berasal dari-Nya dan kembali kepada-Nya
– seyogyanya setiap langkah yang diambil ditujukan untuk memperoleh keridlaan-
Nya dan untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Penyelidikan untuk menyingkap
rahasia alam semesta tanpa terkecuali terkait dengan kerangka tujuan ini.
Al-Qur’an tidak menghendaki penyelidikan terhadap alam semesta hanya untuk
pemuasan keinginan (science for science), seperti yang berlaku di Barat. Menurut
al-Qur’an, sains hanyalah alat untuk mencapai tujuan akhir. Pemahaman
seseorang terhadap alam harus mampu membawa kesadarannya kepada Allah
Yang Maha Sempurna dan Maha Tak Terbatas. Dalam perspektif inilah al-Qur’an
menampakkan dimensi spiritual dalam kisah Nabi Ibrahim a.s. di dalam
surat al-An’am: 76-79.
Keyakinan Tauhid yang kokoh akan membuka cakrawala peneliti kepada
pandangan alam yang lebih komprehensif. Ia tidak lagi melihat alam secara parsial
dan sebagai bagian yang terpisah dari dirinya, melainkan kesalinghubungan dalam
kesatuan di balik keragaman. Inilah yang diisyaratkan al-Qur’an bahwa setiap
benda yang diciptakan oleh Allah berada dalam satu kerangka tujuan, sehingga
benda terkecilpun memiliki nilai.
Ajaran Tauhid juga dapat membimbing manusia kepada kesadaran adanya
realitas supranatural di luar realitas eksternal yang dapat diindera. Oleh sebab itu,
ada banyak hal yang tidak bisa diraih lewat indera dan dengan demikian tumbuh
suatu kesadaran bahwa pada hakekatnya pengetahuan manusia itu sangat
terbatas.

47
BAB III
3 Generasi Terbaik Menurut Al-Hadist

3.1 Latar Belakang


Generasi terbaik umat ini adalah para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mereka adalah sebaik-baik manusia. Lantas disusul generasi berikutnya, lalu
generasi berikutnya. Tiga kurun ini merupakan kurun terbaik dari umat ini. Dari
Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhuma, bahwa dia mendengar Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Sebaik-baik umatku adalah pada masaku. Kemudian orang-orang yang setelah


mereka (generasi berikutnya), lalu orang-orang yang setelah mereka.”
(Shahih Al-Bukhari, no. 3650)

3.2 Generasi Sahabat


1. Pengertian Sahabat
Kata sahabat menurut lughah jamak dari sahib artinya yang menyertai.
Menurut para ulama yang disebut "sahabat" adalah orang yang bertemu
dengan Nabi SAW dalam keadaan beriman dan meninggal dunia sebagai
pemeluk Islam. Maka, orang yang bertemu dengan Nabi sedang dia belum
memeluk agama Islam, maka tidaklah dipandang sahabat. Orang yang
menemui masa Nabi dan beriman kepadanya tetapi tidak menjumpainya,
seperti Najasi, atau menjumpai Nabi setelah Nabi wafat, seperti Abu Dzu'aib,
yang pergi dari rumahnya setelah ia beriman untuk menjumpai Nabi di
Madinah. Setiba di Madinah, Nabi telah wafat. Maka, baik Najasi dan Abu
Dzu'aib, mereka berdua termasuk sahabat Nabi.
Ditandaskan oleh al-Hafidl, bahwa pendapat yang paling shahih yang
telah diketemukannya bahwa arti sahabat adalah orang yang berjumpa dengan
Nabi dalam keadaan dia beriman dan meninggal dalam islam, baik lama ia
bergaul dengan Nabi atau tidak, baik dia turut berperang bersama Nabi atau
tidak, baik dia dapat melihat Nabi meskipun tidak dalam satu majelis dengan
Nabi, atau dia tidak dapat melihat Nabi karena buta.

48
Menurut Usman ibnu Shalih, yang dikatakan sahabat adalah orang yang
menemui masa Nabi, walaupun dia tidak dapat melihat Nabi dan ia memeluk
Islam semasa Nabi masih hidup.
Sebagian 'ulama Ushul berpendapat bahwa yang dimaksud sahabat
adalah orang yang berjumpa dengan Rasul dan lama pula persahabatannya
dengan beliau walaupun tidak meriwayatkan hadits dari beliau.
Menurut al-Khudlari menerangkan dalam Ushul Fiqhnya: "tidak
dipandang seseorang, menjadi sahabat, melainkan orang yang berkediaman
bersama Nabi satu tahun atau dua tahun". Tetapi an-Nawawi membantah
faham ini dengan alasan kalau yang dmaksud sahabi yaitu orang yang
menyertai Nabi satu atau dua tahun, tentulah tidak boleh kita katakan Jarir al-
Bajali seorang sahabat.

Menurut Abu Zar’ah, jumlah sahabat sebanyak 114.000 orang. Masa


shabat berakhir ketika abu thufail amir ibn watsilah al-laitsi al-kinani wafat pada
tahun 100 H. Abu Thufail adalah sahabat yang terakhir.
Di sisi lain, untuk mengetahui bahwa seseorang tergolong sahabat atau
bukan, Al-Suyuthi merumuskan dengan beberapa bukti berikut:
(a) Diriwayatkan secara mutawattir, seperti sepuluh sahabat nabi yang di
janjikan surga, yaitu khulafaur rasyidin, Sa’ad Bin Abi Waqash, Sa’id Bin
Zaid, Thalhah Bin Ubaidillah, Zubair Bin Al-Awwam, Abdurrahman Bin
Auf, Dan Abu Ubaidah Amir Bin Al-Jarrah.
(b) Nama mereka masyhur, tetapi tidak sampai diriwayatkan secara
mutawattir seperti Dammam Bin Tsa’labah dan Ukasyah Bin Mukhsan.
(c) Keterangan dari seorang sahabat bahwa orang tersebut adalah sahabat
seperti Hamamah Bin Abi Hamamah Al-Dausi yang di akui status
sahabatnya oleh Abu Musa Al-Asy’ari karena ia mendengar dari nabi
dan syahadatnya di saksikan. Hal itu di jelaskan oleh Abu Nu’aim dalam
Tark Ashbahan, Musnad Al-Thayalisi Dan Mu’jam Al-Thabarani.
(d) Pengakuan seorang tabi’in yang menceritakan bahwa dirinya adalah
sahabat menurut Ibnu Hajar.

49
2. Sahabat Yang Dipandang Paling Utama
Sahabat yang paling utama ialah Khalifah empat. Sesudah mereka yang
berempat ini, ialah sisa sahabat sepuluh yang telah diakui mendapat surga,
yaitu:
1. Sa’ad ibn Abi Waqqash
2. Sa’id ibn Zaid
3. Thalhah ibn Ubaidullah
4. Az-Zubair ibn Al-Awwam
5. Abdurrahman ibn Auf
6. Abu Ubaidah ibn Jasrah
Sesudah mereka ini,ialah sahabat-sahabat yang menyaksikan perang
Badr Kemudian yang menyaksikan peperangan Uhud.
Sesudah itu, para sahabat yang hadir dalam mengadakan Baitur
Ridlwan di Hudaibiyah.
Dan terakhir, adalah sahabat Assabiqunal Awwalun.

3.3 Generasi Tabi’in


1. Pengertian Tabi’in
Tabi’in menurut bahasa adalah jama’ dari kata tabi’ yang artinya
pengikut. Menurut istilah, tabi’in adalah orang yang pernah bertemu dengan
sahabat, iman kepada Nabi saw dan meninggal dalam keadaan Islam. Tentang
hal ini al-Khatib al-Baghdadi mensyaratkan adanya persahabatan dengan
sahabat, jadi bukan hanya bertemu.
Menurut Ibnu Katsir, yang dinamakan tabi’in tidak cukup hanya pernah
melihat sahabat, sebagaimana yang dinamakan sahabat cukup pernah melihat
Nabi saw saja. Yang membedakan adalah keagungan dan kebesaran dari
melihat Nabi saw. Namun menurut kebanyakan ahli hadis, yang dinamakan
tabi’in ialah orang yang pernah bertemu sahabat dalam keadaan beriman dan
meninggal dunia dalam keadaan beriman meskipun tidak pernah bersahabat
dengan sahabat dan tidak pula pernah meriwayatkan hadits dari sahabat.

50
2. Masa Permulaan Tabi”in
Yang berjumpa dengan sahabat Anas ibn Malik di Bashrah. Yang
berjumpa dengan As-Sa’ib di Madinah. Yang berjumpa dengan Abu Umamah
Shudai ibn Ajlam di Syam yang berjumpa dengan Abdullah ibn Abi Aufa di
Kuffah yang berjumpa dengan Abdullah ibn Harist Az-Zabidi di Mesir dan yang
berjumpa dengan Abu Thufa’il di Makkah.

3. Tabi’in Yang Paling Utama


Tabi’in yang paling utama ialah Uwais ibn Amr al-Qarni. Menurut
pendapat Ahmad ialah Sa’id ibn Musayyab sebenarnya ini bukanlah
perselisihan yang hakiki, karena sebenarnya masing masing mereka
mempunyai segi keistimewaan tersendiri. Dari segi Wara’, Uwais lah yang
paling utama, dari segi kealiman, Said yang paling utama. Demikian yang
dikatakan oleh Al-Bulqiny.
Diantara tokoh-tokoh tabi’in yang paling terkemuka ialah fuqaha tujuh
yaitu :
1) Sa’id Al-Musayyab
2) Al-Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakar
3) Urwah ibn Zubair
4) Kharijah ibn Zaid
5) Abu Ayyub Sulaiman ibn Yassar Al-Hilali
6) Ubaidullah ibn Utbah
Ada 2 pendapat, pendapat kesatu mengatakan Salim ibn Abdullah. Dan
pendapat kedua mengatakan Abu Salamah ibn Abdurrahman ibn Auf.

3.4 Generasi Tabi’ut Tabi’in


Tabi’ut tabi’in atau Atbaut Tabi’in artinya pengikut Tabi’in, adalah orang Islam
teman sepergaulan dengan para Tabi’in dan tidak mengalami masa hidup Sahabat
Nabi. Tabi’ut tabi’in disebut juga murid Tabi’in. Menurut banyak literatur Hadis :
Tab’ut Tabi’in adalah orang Islam dewasa yang pernah bertemu atau berguru
pada Tabi’in dan sampai wafatnya beragama Islam. Dan ada juga yang menulis
bahwa Tabi’in yang ditemui harus masih dalam keadaan sehat ingatannya. Karena
Tabi’in yang terahir wafat sekitar 110-120 Hijriah.

51
Dalam kalangan 4 imam mazhab ahli sunnah waljamaah imam Hanafi tidak
termasuk dalam tabi’ tabiin karena beliau pernah berguru dengan sahabat Nabi.
Manakala baik 3 imam yaitu imam Malik dan imam Syafi’i adalah tabi’ tabiin
karena mereka berguru dengan tabiin. Tabi’in seperti definisi di atas tapi bertemu
dengan Sahabat. Sahabat yang terahir wafat sekitar 80-90 Hijriah.
Masa Generasi Tabi’ut tabi’in dimulai pada tahun 180H yaitu tahun ketika
Khalaf ibn Khalifah wafat. Beliau merupakan tabi’in terakhir. Selanjutnya thabaqah
setelah tabi’u at-tabi’in adalah orang-orang yang bertemu dengan tabi’u at-tabi’i
yang dimulai dari tahun 220 H s/d 300 H.

Tingkatan Generasi Tabi’u At-Tabi’i Dan Setelahnya


Pada tahun 300H inilah, menurut Al-Hafidzh Al-Dzahabi, masa periwayatan
selesai. Masa generasi tabi’u at-tabi’in ini dibagi menjadi 3 thabaqah, yaitu:
1. Thabaqah senior, diantaranya Imam Ahmad ibn Hanbal
2. Thabaqah pertengahan, seperti Imam Al-Bukhari, dan
3. Thabaqah junior, diantaranya At-Tirmidzi.

52
BAB IV
Pengertian dan Jejak Salafussoleh Menurut Al-Hadits

4.1 Pengertian Salafussoleh


Salaf (bahasa Arab: ‫ الس لف الص لح‬Salaf aṣ-Ṣālih) adalah tiga generasi Muslim
awal yaitu para sahabat, tabi'in dan tabi'ut tabi'in. Kemudian istilah salaf ini
dijadikan sebagai salah satu manhaj (metode) dalam agama Islam, yang
mengajarkan syariat Islam secara murni tanpa adanya tambahan dan
pengurangan, yaitu Salafiyah. Seseorang yang mengikuti tiga generasi tersebut di
atas, ini disebut Salafy (as-Salafy), jamaknya adalah Salafiyyun (as-Salafiyyun).
Di dalam manhaj salaf dikenal pendapat dari beberapa Mujtahid yang biasa
disebut Madzhab, seperti Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Syafi'i, Imam Ahmad,
dan lain-lain. Kemudian para salafy beranggapan bahwa, jika seseorang
melakukan suatu ibadah tanpa adanya ketetapan dari Allah dan rasul-Nya, bisa
dikatakan sebagai perbuatan bid'ah.

1. Pengertian Menurut Bahasa


Salafa Yaslufu Salfan artinya madli (telah berlalu). Dari arti tersebut kita
dapati kalimat Al Qoum As Sallaaf yaitu orang – orang yang terdahulu. Salafur
Rajuli artinya bapak moyangnya. Bentuk jamaknya Aslaaf dan Sullaaf.
Dari sini pula kalimat As Sulfah artinya makanan yang didahulukan oleh
seorang sebelum ghadza` (makan siang). As salaf juga, yang mendahuluimu
dari kalangan bapak moyangmu serta kerabatmu yang usia dan kedudukannya
di atas kamu. Bentuk tunggalnya adalah Saalif. Firman allah Ta’ala:

“...dan kami jadikan mereka sebagai pelajaran dan contoh bagi orang-orang
yang kemudian”. (Az Zukhruf :56)

Artinya, kami jadikan mereka sebagai orang–orang yang terdahulu agar


orang–orang yang datang belakangan mengambil pelajaran dengan (keadaan)
mereka. Sedangkan arti Ummamus Saalifah adalah ummat yang telah berlalu.
Berdasarkan hal ini, maka kata salaf menunjukan kepada sesuatu yang
mendahului kamu, sedangkan kamu juga berada di atas jalan yang di
dahuluinya dalam keadaan jejaknya.

53
Ibnul Faris berkata, “Huruf sin, lam, dan fa’ adalah pokok yang menunjukkan
‘makna terdahulu’. Termasuk salaf dalam hal ini adalah ‘orang-orang yang telah
lampau’, dan arti dari ‘al-qoumu as-salaafu’ artinya mereka yang telah
terdahulu.” (Mu’jam Maqayisil Lughah: 3/95)

2. Pengertian Menurut Istilah

Menurut istilah (terminologi), kata Salaf berarti generasi pertama dan terbaik
dari ummat (Islam) ini, yang terdiri dari para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in
dan para Imam pembawa petunjuk pada tiga kurun (generasi/masa) pertama
yang dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

“Sebaik-baik manusia adalah pada masaku ini (yaitu masa para Sahabat),
kemudian yang sesudahnya (masa Tabi’in), kemudian yang sesudahnya
(masa Tabi’ut Tabi’in).”

Menurut al-Qalsyani: “Salafush Shalih adalah generasi pertama dari


ummat ini yang pemahaman ilmunya sangat dalam, yang mengikuti petunjuk
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjaga Sunnahnya. Allah memilih
mereka untuk menemani Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallamdan menegak-
kan agama-Nya…”
Syaikh Mahmud Ahmad Khafaji berkata di dalam kitabnya, al-‘Aqiidatul
Islamiyyah bainas Salafiyyah wal Mu’tazilah: “Penetapan istilah Salaf tidak
cukup dengan hanya dibatasi waktu saja, bahkan harus sesuai dengan
Al-Qur’an dan As-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih (tentang
‘aqidah, manhaj, akhlaq dan suluk-pent.). Barangsiapa yang pendapatnya
sesuai dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah mengenai ‘aqidah, hukum dan
suluknya menurut pemahaman Salaf, maka ia disebut Salafi meskipun
tempatnya jauh dan berbeda masanya. Sebaliknya, barangsiapa pendapatnya
menyalahi Al-Qur-an dan As-Sunnah, maka ia bukan seorang Salafi meskipun
ia hidup pada zaman Sahabat, Ta-bi’in dan Tabi’ut Tabi’in.

54
Penisbatan kata Salaf atau as-Salafiyyuun bukanlah termasuk perkara
bid’ah, akan tetapi penisbatan ini adalah penisbatan yang syar’i karena
menisbatkan diri kepada generasi pertama dari ummat ini, yaitu para Sahabat,
Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in. Ahlus Sunnah wal Jama’ah dikatakan juga as-
Salafiyyuun karena mereka mengikuti manhaj Salafush Shalih dari Sahabat dan
Tabi’ut Tabi’in. Kemudian setiap orang yang mengikuti jejak mereka serta
berjalan berdasarkan manhaj mereka -di sepanjang masa-, mereka ini disebut
Salafi, karena dinisbatkan kepada Salaf.
Salaf bukan kelompok atau golongan seperti yang difahami oleh
sebagian orang, tetapi merupakan manhaj (sistem hidup dalam ber ‘aqidah,
beribadah, berhukum, berakhlak dan yang lainnya) yang wajib diikuti oleh
setiap Muslim. Jadi, pengertian Salaf dinisbatkan kepada orang yang menjaga
keselamatan ‘aqidah dan manhaj menurut apa yang dilaksanakan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat Radhiyallahu anhum sebelum
terjadinya perselisihan dan perpecahan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat th. 728 H) berkata:
“Bukanlah merupakan aib bagi orang yang menampakkan manhaj Salaf dan
menisbatkan dirinya kepada Salaf, bahkan wajib menerima yang demikian itu
karena manhaj Salaf tidak lain kecuali kebenaran.”

Ada beberapa pendapat dari para ulama dalam mengartikan istilah


“Salaf” dan terhadap siapa kata itu sesuai untuk diberikan. Pendapat tersebut
terbagi menjadi 4 perkataan :
a. Di antara para ulama ada yang membatasi makna Salaf yaitu hanya
para Sahabat Nabi saja.
b. Di antara mereka ada juga yang berpendapat bahwa Salaf adalah para
Sahabat Nabi dan Tabi’in (orang yang berguru kepada Sahabat).
c. Dan di antara mereka ada juga yang berkata bahwa Salaf adalah
mereka adalah para Sahabat Nabi, Tabi’in, dan Tabi’ut Tabi’in. (Luzumul
Jama’ah (hal: 276-277)). Dan pendapat yang benar dan masyhur, yang
mana sebagian besar ulama ahlussunnah berpendapat adalah
pendapat ketiga ini.

55
d. Yang dimaksud Salaf dari sisi waktu adalah masa utama selama tiga
kurun waktu/periode yang telah diberi persaksian Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam dalam hadits beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Mereka itulah yang berada di tiga kurun/periode, yaitu para sahabat,
Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in.

4.2 Kewajiban Ittiba’ (mengikuti jejak) Salafussoleh


Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas Mengikuti manhaj (jalan) Salafush
Shalih (yaitu para Sahabat) adalah kewajiban bagi setiap individu Muslim. Adapun
dalil-dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah sebagai berikut:

1. Dalil-dalil dari Al-Qur-an


Allah SWT berfirman:

“Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya,
sungguh mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling,
sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (denganmu). Maka Allah
akan memeliharamu dari mereka. Dan Dia-lah Yang Mahamendengar lagi
Mahamengetahui.” [Al-Baqarah: 137]

Al-Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah (wafat th. 751 H)


berkata: “Melalui ayat ini Allah menjadikan iman para Sahabat Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam sebagai timbangan (tolok ukur) untuk membedakan antara
petunjuk dan kesesatan, antara kebenaran dan kebathilan. Apabila Ahlul Kitab
beriman sebagaimana berimannya para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, maka sungguh mereka mendapat hidayah (petunjuk) yang mutlak dan
sempurna. Jika mereka (Ahlul Kitab) berpaling (tidak beriman) sebagaimana
berimannya para Sahabat, maka mereka jatuh ke dalam perpecahan,
perselisihan, dan kesesatan yang sangat jauh …”

56
Kemudian beliau rahimahullah melanjutkan: “Memohon hidayah dan
iman adalah sebesar-besar kewajiban, menjauhkan perselisihan dan kesesatan
adalah wajib; jadi mengikuti (manhaj) Sahabat Rasul Shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah kewajiban yang paling wajib (utama).”

“Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka
ikutilah dia; janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan
itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan
oleh Allah kepada-mu agar kamu bertaqwa.” [Al-An’aam: 153]

Ayat ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits Ibnu Mas’ud Radhiyallahu


anhu bahwa jalan itu hanya satu, sedangkan jalan selainnya adalah jalan
orang-orang yang mengikuti hawa nafsu dan jalannya ahli bid’ah. Hal ini sesuai
dengan apa yang telah dijelaskan oleh Imam Mujahid ketika menafsirkan ayat
ini. Jalan yang satu ini adalah jalan yang telah ditempuh oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya Radhiyallahu anhum. Jalan
ini adalah ash-Shirath al-Mustaqiim yang wajib atas setiap Muslim
menempuhnya dan jalan inilah yang akan mengantarkan kepada Allah Azza wa
Jalla.
Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa jalan yang mengantarkan seseorang
kepada Allah hanya SATU… Tidak ada seorang pun yang dapat sampai
kepada Allah kecuali melalui jalan yang satu ini.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

57
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya,
dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin, Kami biarkan ia
leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia
ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”
[An-Nisaa’: 115]

Ayat ini menunjukkan bahwa menyalahi jalannya kaum Mukminin


sebagai sebab seseorang terjatuh ke dalam jalan-jalan kesesatan dan diancam
dengan masuk Neraka Jahannam. Ayat ini juga menunjukkan bahwa mengikuti
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebesar-besar prinsip dalam
Islam yang mempunyai konsekuensi wajibnya umat Islam untuk mengikuti
jalannya kaum Mukminin sedangkan jalannya kaum Mukminin pada ayat ini
adalah keyakinan, perkataan dan perbuatan para Sahabat Radhiyallahu
anhum. Karena, ketika turunnya wahyu tidak ada orang yang beriman kecuali
para Sahabat, seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

َ ‫َو ْال ُم ْؤ ِم ُن‬


‫ون‬ ‫َر ِّب ِه‬ ْ‫م‬
‫ِن‬ ‫إِلَ ْي ِه‬ ‫أُ ْن ِز َل‬ ‫ِب َما‬ ُ ‫الر ُس‬
‫ول‬ َّ ‫آ َم َن‬
“Rasul telah beriman kepada Al-Qur-an yang diturunkan kepada-nya dari Rabb-
nya, demikian pula orang-orang yang beriman.” [Al-Baqarah: 285]

Orang-orang Mukmin ketika itu hanyalah para Sahabat Radhiyallahu


anhum, tidak ada yang lain. Ayat di atas menunjukkan bahwasanya mengikuti
jalan para Sahabat dalam memahami syari’at adalah wajib dan menyalahinya
adalah kesesatan.

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara

58
orang-orang Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik, Allah ridha terhadap mereka dan mereka ridha kepada Allah.
Allah menyediakan bagi mereka Surga-Surga yang mengalir sungai-sungai di
dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan
yang besar.” [At-Taubah: 100]

Ayat tersebut sebagai hujjah bahwa manhaj para Sahabat Radhiyallahu


anhum adalah benar. Orang yang mengikuti mereka akan mendapatkan
keridhaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan disediakan bagi mereka Surga.
Mengikuti manhaj mereka adalah wajib atas setiap Mukmin. Kalau mereka tidak
mau mengikuti maka mereka akan mendapatkan hukuman dan tidak
mendapatkan keridhaan Allah Azza wa Jalla. Hal ini harus diperhatikan.

2. Dalil - dalil dari As-Sunnah


‘Abdullah bin Mas‘ud Radhiyallahu anhu berkata :“Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat garis dengan tangannya kemudian
bersabda: ‘Ini jalan Allah yang lurus.’ Lalu beliau membuat garis-garis di kanan
kirinya, kemudian bersabda: ‘Ini adalah jalan-jalan yang bercerai-berai (sesat)
tidak satupun dari jalan-jalan ini kecuali di dalamnya terdapat syaithan yang
menyeru kepadanya.’ Selanjutnya beliau membaca firman Allah Azza wa Jalla:
‘Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka
ikutilah dia, janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain) karena jalan-jalan
itu mencerai-berai-kan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan
oleh Allah kepadamu agar kamu bertaqwa.’” [Al-An’aam: 153]

Dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah


Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Sebaik-baik manusia adalah pada
masaku ini (yaitu masa para Sahabat), kemudian yang sesudahnya, kemudian
yang sesudahnya. Setelah itu akan datang suatu kaum yang persaksian salah
seorang dari mereka mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului
persaksiannya.’”

Dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

59
mengisyaratkan tentang kebaikan dan keutamaan mereka, yang merupakan
sebaik-baik manusia. Sedangkan perkataan ‘sebaik-baik manusia’ yaitu tentang
‘aqidahnya, manhajnya, akhlaknya, dakwahnya dan lain-lainnya. Oleh karena
itu mereka dikatakan sebaik-baik manusia. Dalam riwayat lain disebutkan
dengan kata (‫ْر ُك ْم‬ َ ‘sebaik-baik kalian’ dan dalam riwayat yang lain disebutkan
ُ ‫)خي‬
ْ ‫ْر أُ َّمت‬
(‫ِي‬ َ
ُ ‫‘)خي‬sebaik-baik ummatku.’

Sahabat Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata: “Sesungguhnya Allah


melihat hati hamba-hamba-Nya dan Allah mendapati hati Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebaik-baik hati manusia, maka Allah pilih
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai utusan-Nya dan Allah
memberikan risalah kepadanya, kemudian Allah melihat dari seluruh hati
hamba-hamba-Nya setelah Nabi-Nya, maka didapati bahwa hati para Sahabat
merupakan hati yang paling baik sesudahnya, maka Allah jadikan mereka
sebagai pendamping Nabi-Nya yang mereka berperang untuk agama-Nya. Apa
yang dipandang kaum Mus-limin (para Sahabat Rasul) itu baik, maka itu baik
pula di sisi Allah dan apa yang mereka (para Sahabat Rasul) pandang buruk,
maka di sisi Allah hal itu adalah buruk.”

Dalam hadits lain pun disebutkan tentang kewajiban kita mengikuti manhaj
Salafush Shalih (para Sahabat), yaitu hadits yang terkenal dengan hadits
‘Irbadh bin Sariyah, hadits ini terdapat pula dalam al-Arba’in an-Nawawiyyah
(no. 28):
Berkata al-‘Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu anhu : “Suatu hari
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat bersama kami kemudian
beliau menghadap kepada kami dan memberikan nasihat kepada kami dengan
nasihat yang menjadikan air mata berlinang dan membuat hati bergetar, maka
seseorang berkata: ‘Wahai Rasulullah nasihat ini seakan-akan nasihat dari
orang yang akan berpisah, maka berikanlah kami wasiat.’ Maka Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Aku wasiatkan kepada kalian agar tetap
bertaqwa kepada Allah, tetaplah mendengar dan taat, walaupun yang
memerintah kalian adalah seorang budak dari Habasyah. Sungguh, orang yang
masih hidup di antara kalian setelahku akan melihat perselisihan yang banyak,
maka wajib atas kalian berpegang teguh kepada Sunnahku dan Sunnah
Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Peganglah erat-erat dan gigitlah

60
dia dengan gigi gerahammu. Dan jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang
baru (dalam agama), karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu adalah
bid‘ah. Dan setiap bid‘ah itu adalah sesat.”

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan tentang akan terjadinya


perpecahan dan perselisihan pada ummatnya, kemudian Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam memberikan jalan keluar untuk selamat dunia dan akhirat,
yaitu dengan mengikuti Sunnahnya dan Sunnah para Sahabatnya Radhiyallahu
anhum. Hal ini menunjukkan tentang wajibnya mengikuti Sunnahnya (Sunnah
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan Sunnah para Sahabatnya Radhiyallahu
anhum. Kemudian dalam hadits yang lain, ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam menyebutkan tentang hadits iftiraq (akan terpecahnya umat ini
menjadi 73 golongan), beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari Ahlul Kitab telah


berpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan. Sesungguhnya (ummat)
agama ini (Islam) akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, tujuh
puluh dua golongan tempatnya di dalam Neraka dan hanya satu golongan di
dalam Surga, yaitu al-Jama’ah.”

Dalam riwayat lain disebutkan:


“Semua golongan tersebut tempatnya di Neraka, kecuali satu (yaitu) yang aku
dan para Sahabatku berjalan di atasnya.”

Hadits iftiraq tersebut juga menunjukkan bahwa umat Islam akan


terpecah menjadi 73 golongan, semua binasa kecuali satu golongan, yaitu yang
mengikuti apa yang telah dilaksanakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan para Sahabatnya Radhiyallahu anhum. Jadi, jalan selamat itu hanya
satu, yaitu mengikuti Al-Qur-an dan As-Sunnah menurut pemahaman Salafush
Shalih (para Sahabat).
Hadits di atas menunjukkan bahwa setiap orang yang mengikuti Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya adalah termasuk ke dalam
al-Firqatun Naajiyah (golongan yang selamat).

Sedangkan yang menyelisihi (tidak mengikuti) para Sahabat, maka

61
mereka adalah golongan yang binasa dan akan mendapat ancaman dengan
masuk ke dalam Neraka.

3. Dalil-dali dari Penjelasan dari Para Ulama


Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata: “Hendaklah kalian
mengikuti dan janganlah kalian berbuat bid’ah. Sungguh kalian telah dicukupi
dengan Islam ini, dan setiap bid’ah adalah sesat.”
Kembali ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu mengatakan:
“Barangsiapa di antara kalian yang ingin meneladani, hendaklah meneladani
para Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena sesungguhnya
mereka adalah ummat yang paling baik hatinya, paling dalam ilmunya, paling
sedikit bebannya, dan paling lurus petunjuknya, serta paling baik keadaannya.
Suatu kaum yang Allah telah memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya, untuk
menegakkan agama-Nya, maka kenalilah keutamaan mereka serta ikutilah
atsar-atsarnya, karena mereka berada di jalan yang lurus.”

Imam al-Auza’i (wafat tahun 157 H) rahimahullah mengatakan:


“Bersabarlah dirimu di atas Sunnah, tetaplah tegak sebagaimana para Sahabat
tegak di atasnya. Katakanlah sebagaimana yang mereka katakan, tahanlah
dirimu dari apa-apa yang mereka menahan diri darinya. Dan ikutilah jalan
Salafush Shalih karena ia akan mencukupimu apa saja yang mencukupi
mereka.”
Beliau rahimahullah juga berkata: “Mereka mengatakan: ‘Jika ada
seseorang berada di atas atsar (Sunnah), maka sesungguhnya ia berada di
atas jalan yang lurus.’ ”

Imam Ahmad (wafat tahun 241 H) rahimahullah berkata: “Prinsip Ahlus


Sunnah adalah berpegang dengan apa yang dilaksanakan oleh para Sahabat
Radhiyallahu anhum dan mengikuti jejak mereka, meninggalkan bid’ah dan
setiap bid’ah adalah sesat.”

Jadi dari penjelasan tersebut di atas dapat dikatakan bahwa Ahlus


Sunnah meyakini bahwa kema’shuman dan keselamatan hanya ada pada
manhaj Salaf. Bahwasanya seluruh manhaj yang tidak berlandaskan kepada
Al-Qur-an dan As-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih adalah

62
menyimpang dari ash-Shirath al-Mustaqiim, penyimpangan itu sesuai dengan
kadar jauhnya mereka dari manhaj Salaf. Kebenaran yang ada pada mereka
juga sesuai dengan kadar kedekatan mereka dengan manhaj Salaf. Sekiranya
para pengikut manhaj-manhaj menyimpang itu mengikuti pedoman manhaj
mereka, niscaya mereka tidak akan dapat mewujudkan hakekat penghambaan
diri kepada Allah Azza wa Jalla sebagaimana mestinya selama mereka jauh
dari manhaj Salaf. Sekiranya mereka berhasil meraih tampuk kekuasaan tidak
berdasarkan pada manhaj yang lurus ini, maka janganlah terpedaya dengan
hasil yang mereka peroleh itu. Karena kekuasaan hakiki yang dijanjikan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah bagi orang-orang yang
berada di atas manhaj Salaf ini. Janganlah kita merasa terasing karena
sedikitnya orang-orang yang mengikuti kebenaran dan jangan pula kita
terpedaya karena banyaknya orang-orang yang tersesat.
Ahlus Sunnah meyakini bahwa generasi akhir ummat ini hanya akan
menjadi baik dengan apa yang menjadikan baik generasi awalnya. Alangkah
meruginya orang-orang yang terpedaya dengan manhaj (metode) baru yang
menyelisihi syari’at dan melupakan jerih payah Salafush Shalih. Manhaj
(metode) baru itu semestinya dilihat dengan kacamata syari’at bukan
sebaliknya.

Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata: “Ikutilah jalan-jalan petunjuk


(Sunnah), tidak membahayakanmu sedikitnya orang yang menempuh jalan
tersebut. Jauhkan dirimu dari jalan-jalan kesesatan dan janganlah engkau
tertipu dengan banyaknya orang yang menempuh jalan kebinasaan.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Barangsiapa


yang berpaling dari madzhab Sahabat dan Tabi’in dan penafsiran mereka
kepada yang menyelisihinya, maka ia telah salah bahkan (disebut) Ahlul Bid’ah.
Jika ia sebagai mujtahid, maka kesalahannya akan diampuni. Kita mengetahui
bahwa Al-Qur-an telah dibaca oleh para Sahabat, Tabi’in dan yang mengikuti
mereka, dan sungguh mereka lebih mengetahui tentang penafsiran Al-Qur-an
dan makna-maknanya, sebagaimana mereka lebih mengetahui tentang
kebenaran yang dengannya Allah mengutus Rasul-Nya.”

63
4.3 Perhatian para Ulama Terhadap Aqidah Salafussoleh
Sesungguhnya para ulama mempunyai perhatian yang sangat besar terhadap
‘aqidah Salafush Shalih. Mereka menulis kitab-kitab yang banyak sekali untuk
menjelaskan dan menerangkan ‘aqidah Salaf ini, serta membantah orang-orang
yang menentang dan menyalahi ‘aqidah ini dari berbagai macam firqah dan
golongan yang sesat. Karena sesungguhnya ‘aqidah dan manhaj Salaf ini dikenal
dengan riwayat bersambung yang sampai kepada imam-imam Ahlus Sunnah dan
ditulis dengan penjelasan yang benar dan akurat.

Adapun untuk mengetahui ‘aqidah dan manhaj Salaf ini, maka kita bisa melihat:
Pertama, penyebutan lafazh-lafazh tentang ‘aqidah dan manhaj Salaf yang
diriwayatkan oleh para Imam Ahlul Hadits dengan sanad-sanad yang shahih.
Kedua, yang meriwayatkan ‘aqidah dan manhaj Salaf adalah seluruh ulama kaum
Muslimin dari berbagai macam disiplin ilmu: Ahlul Ushul, Ahlul Fiqh, Ahlul Hadits,
Ahlut Tafsir, dan yang lainnya
Sehingga ‘aqidah dan manhaj Salaf ini diriwayatkan oleh para ulama dari
berbagai disiplin ilmu secara mutawatir.

Penulisan dan pembukuan masalah ‘aqidah dan manhaj Salaf (seiring) bersamaan
dengan penulisan dan pembukuan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Pentingnya ‘aqidah Salaf ini di antara ‘aqidah-‘aqidah yang lainnya, yaitu
antara lain:
1. Bahwa dengan ‘aqidah Salaf ini, seorang Muslim akan meng-agungkan Al-
Qur-an dan As-Sunnah, adapun ‘aqidah yang lain karena mashdarnya
(sumbernya) hawa nafsu, maka mereka akan mempermainkan dalil,
sedang dalil dan tafsirnya mengikuti hawa nafsu.
2. Bahwa dengan ‘aqidah Salaf ini akan mengikat seorang Muslim dengan
generasi yang pertama, yaitu para Sahabat Radhiyallahu anhum yang
mereka itu adalah sebaik-baik manusia dan ummat.
3. Bahwa dengan ‘aqidah Salaf ini, kaum Muslimin dan da’i-da’inya akan
bersatu, sehingga dapat mencapai kemuliaan serta menjadi sebaik-baik
ummat. Hal ini karena ‘aqidah Salaf ini berdasarkan Al-Qur-an dan As-
Sunnah menurut pemahaman para Sahabat. Adapun ‘aqidah selain ‘aqidah
Salaf ini, maka dengannya tidak akan tercapai persatuan bahkan yang
akan terjadi adalah perpecahan dan kehancuran.

64
Imam Malik rahimahullah berkata: “Tidak akan dapat memperbaiki ummat ini
melainkan dengan apa yang telah membuat baik generasi pertama ummat ini
(Sahabat)”

4. ‘Aqidah Salaf ini jelas, mudah dan jauh dari ta’wil, ta’thil dan tasybih.[24]
Oleh karena itu, dengan kemudahan ini setiap Muslim akan
mengagungkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan akan merasa tenang
dengan qadha’ dan qadar Allah Subhanahu wa Ta’ala.
5. ‘Aqidah Salaf ini adalah aqidah yang selamat, karena Salafus Shalih lebih
selamat, lebih tahu dan lebih bijaksana (aslam, a’lam, ahkam). Dengan
‘aqidah Salaf ini akan membawa kepada keselamatan di dunia dan akhirat.
Oleh karena itu berpegang pada ‘aqidah Salaf ini hukumnya wajib.

65
BAB V
Ajaran Tentang Berbagi serta Keadilan Penegakan Hukum

5.1 Ajaran Tentang Berbagi dalam Islam


1. Latar Belakang
Islam adalah agama yang sempurna. Kesempurnaan itu salah satunya
dapat dilihat dari ajaannya yang bersifat komprensif. Tak hanya mengatur
hubungan manusia dengan Allah (habluminallah) tetapi juga mengatur
hubungan manusia dengan sesama manusia (habluminanas), yang harus
dilakukan secara baik, benar dan seimbang. Semua itu dimaksudkan agar
manusia dapat meraih kebahagiaan hidup di dunia dan akherat, sebagaimana
doa yang senantiasa dipanjatkan oleh setiap kaum muslimin.
Salah satu ajaran Islam yang diperintahkan Allah kepada umatnya
adalah peduli dan berbagi. Ajaran itu tak hanya menjadi sebuah kebaikan,
tetapi melekat dalam salah satu rukun Islam, yang wajib untuk dilaksanakan.
Untuk bisa berbagi dan peduli, tak cukup hanya landasan teologi saja yang
menjadi basisnya tetapi juga landasan hukum yang jelas dan tegas, untuk
dilaksanakan. Termasuk reward bagi yang melaksanakan dan punishment bagi
yang melanggarnya. Allah SWT Berfirman:

“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik
(menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan
pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah
menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu
dikembalikan”.[ al-Baqarah (2) : 245].

66
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan
hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan
tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran)
bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha
Mengetahui”.[ al-Baqarah (2) : 261].

Dalam Hadist Juga disebutkan Bahwa:


Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Nabi saw. bersabda, “Ketika seorang hamba
berada pada waktu pagi, dua malaikat akan turun kepadanya, lalu salah satu
berkata, ‘Ya Allah, berilah pahala kepada orang yang menginfakkan hartanya.’
Kemudian malaikat yang satu berkata, ‘Ya Allah, binasakanlah orang-orang
yang bakhil.” (Muttafaq ‘Alaih).

Hal itu dimaksudkan agar tegaknya ajaran Islam bagi para pemeluk -
pemeluknya. Sehingga, ada kebanggaan, kepuasan dan kebahagian jika telah
melaksanakan ajaran tersebut, serta ada perasaan bersalah dan berdosa jika
meninggalkannya. Ketaatan yang demikian sering disebut dengan taqwa, yang
secara sederhana, sebagaimana disampaikan oleh para khatib Jumat, adalah
menjalankan segala perintahperintah Allah dan menjauh segala larangan-
laranganNya.
Perintah untuk peduli dan berbagi ini, dilaksanakan dalam bentuk zakat,
infak, sedekah, hibah, wasiat dan juga wakaf. Kesemuanya itu merupakan
perintah yang harus dilaksanakan oleh kaum Muslimin. Tentu ada prasyarat-
prasyarat khusus yang harus dipenuhi, sehingga menjadi tidak wajib bagi yang
belum memenuhinya. Namun demikian, ada opsi lain yang bersifat sunah, yakni
anjuran untuk berbuat kebaikan, sekalipun tidak harus dalam bentuk harta atau
materi, seperti senyum, menghilangkan duri di jalan, dan sebagainya.
Sehingga, dengan berbagi dan peduli itu, kebahagiaan tidak hanya menjadi
milik yang menerima tetapi juga bagi yang memberikan, termasuk juga
lingkungan di sekitarnya.

67
"Mereka bertanya kepada engkau tentang apa yang mereka infakkan,
Jawablah! Apa sahaja harta yang kamu infakkan hendaklah diberikan kepada
ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang
yang sedang dalam perjalanan. Dan apa sahaja kebajikan yang kamu buat,
maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui". [ al-Baqarah (2) : 215].

Kebahagiaan itu terpancar dengan jelas dari wajah-wajah yang ikhlas dalam
memberi dan menerima, karena mengharapkan adanya balasan yang setimpal,
doa tulus serta dari keridhoan Allah Swt. Jika hal itu dilakukan dengan baik,
benar dan rutin, maka kesejangan ekonomi, penyakit iri dan dengki, secara
perlahan akan terkikis dengan sendirinya.

2. Pengertian Shadaqah, Zakat dan Infaq


a. Shadaqah
Shadaqah berasal dari kata shadaqa yang berarti benar. Orang yang
suka bersedekah adalah orang yang benar pengakuan imannya. Adapun
secara terminologi syariat shadaqah makna asalnya adalah tahqiqu syai’in
bisyai’i, atau menetapkan/menerapkan sesuatu pada sesuatu. Sikapnya
sukarela dan tidak terikat pada syarat-syarat tertentu dalam pengeluarannya
baik mengenai jumlah, waktu dan kadarnya. Atau pemberian sukarela yang
dilakukan oleh seseorang kepada orang lain, terutama kepada orang-orang
miskin setiap kesempatan terbuka yang tidak ditentukan jenis, jumlah
maupun waktunya, sedekah tidak terbatas pada pemberian yang bersifat
material saja tetapi juga dapat berupa jasa yang bermanfaat bagi orang lain.
Bahkan senyum yang dilakukan dengan ikhlas untuk menyenangkan orang
lain termasuk kategori sedekah. Shadaqoh mempunyai cakupan yang
sangat luas dan digunakan Al-Qur’an untuk mencakup segala jenis
sumbangan. Shadaqah ialah segala bentuk nilai kebajikan yang tidak terikat
oleh jumlah, waktu dan juga yang tidak terbatas pada materi tetapi juga
dapat dalam bentuk non materi, misalnya menyingkirkan rintangan di jalan,
menuntun orang yang buta, memberikan senyuman dan wajah yang manis
kepada saudaranya.
Sedekah berarti memberi derma, termasuk memberikan derma untuk
mematuhi hukum dimana kata zakat digunakan didalam Al-Qur’an dan
Sunnah. Zakat telah disebut pula sedekah karena zakat merupakan sejenis
derma yang diwajibkan sedangkan sedekah adalah sukarela, zakat

68
dikumpulkan oleh pemerintah sebagai suatu pengutan wajib, sedegkan
sedekah lainnya dibayarkan secara sukarela. Jumlah dan nisab zakat di
tentukan, sedangkan jumlah sedekah yang lainya sepenuhnya tergantung
keinginan yang menyumbang. Pengertian sedekah sama dengan pengertian
infaq, termasuk juga hukum dan ketentuan-ketentuannya. Hanya saja
shadaqoh mempunyai makna yang lebih luas lagi dibanding infaq. Jika infaq
berkaitan dengan materi, sedekah memiliki arti lebih luas, menyangkut juga
hal yang bersifat nonmateriil.
Hadits riwayat Imam Muslim dari Abu Dzar, Rasulullah menyatakan :
“jika tidak mampu bersedekah dengan harta, maka membaca tasbih, takbir,
tahmid, tahlil, berhubungan suami-istri, atau melakukan kegiatan amar
ma’ruf nahi munkar adakah sedekah”.

Dalam hadist Rasulullah memberi jawaban kepada orang-orang miskin


yang cemburu terhadap orang kaya yang banyak bershadaqah dengan
hartanya, beliau bersabda : “Setiap tasbih adalah shadaqah, setiap takbir
shadaqah, setiap tahmid shadaqah, setiap amar ma’ruf adalah shadaqah,
nahi munkar shadaqah dan menyalurkan syahwatnya kepada istri
shadaqah”. (HR. Muslim)

b. Zakat
Zakat secara bahasa (lughat), berarti : tumbuh, berkembang dan berkah
(HR. At-Tirmidzi) atau dapat pula berarti membersihkan atau mensucikan.
Seorang yang membayar zakat karena keimanannya nicaya akan
memperoleh kebaikan yang banyak. Allah SWT berfirman :

“Pungutlah zakat dari sebagian kekayaan mereka dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka”. (QS : At-Taubah : 103)

Sedangkan menurut terminologi syari’ah (istilah syara’) zakat berarti


kewajiban atas harta atau kewajiban atas sejumlah harta tertentu untuk
kelompok tertentu dalam waktu tertentu.

69
Zakat juga berarti derma yang telah ditetapkan jenis, jumlah dan waktu
suatu kekayaan atau harta yang wajib diserahkan dan pendayagunaannya
pun ditentukan pula, yaitu dari umat Islam untuk umat Islam. Atau Zakat
adalah nama dari sejumlah harta tertentu yang telah mencapai syarat
tertentu (nishab) yang diwajibkan Allah SWT untuk dikeluarkan dan diberikan
kepada yang berhak menerimanya dengan persyaratan tertentu pula
(QS. 9:103 dan QS. 30:39)

“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar harta manusia
bertambah, maka tidak bertambah dalam pandangan Allah. Dan apa yang
kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk memperoleh
keridhaan Allah, maka itulah orang-orang yang melipatgandakan
(pahalanya)”. (QS. Ar-Rum Ayat 39)

Ulama’ Hanafiyyah mendefinisikan zakat dengan menjadikan hak milik


bagian harta tertentu dan harta tertentu untuk orang tertentu yang telah
ditentukan oleh Syari’ karena Allah.
Demikian halnya menurut mazhab Imam Syafi’i zakat adalah sebuah
ungkapan keluarnya harta atau tubuh sesuai dengan secara khusus.
Sedangkian menurut mazhab Imam Hambali, zakat ialah hak yang wajib
dikeluarkan dari harta yang khusus untuk kelompok yang khusus pula, yaitu
kelompok yang disyaratkan dalam Al-Qur’an. Zakat mempunyai fungsi yang
jelas untuk menyucikan atau membersihkan harta dan jiwa pemberinya.

c. Infaq
Infaq berasal dari kata anfaqa yang berarti mengeluarkan sesuatu
(harta) untuk kepentingan sesuatu. Menurut terminologi syariat, infaq berarti
mengeluarkan sebagian dari harta atau pendapatan/penghasilan untuk suatu
kepentingan yang diperintahkan Islam. Jika zakat ada nishabnya, infaq tidak
mengenal nishab.

70
Infaq dikeluarkan setiap orang yang beriman, baik yang berpenghasilan
tinggi maupun rendah, apakah ia di saat lapang maupun sempit. Allah SWT
Berfirman:

“(yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan
orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang
lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan,”
(QS. Ali-Imran 3:134)

Jika zakat harus diberikan pada mustahik tertentu (8 asnaf), maka infaq
boleh diberikan kepada siapapun. Misalnya, untuk kedua orang tua, anak-
yatim, dan sebagainya

"Mereka bertanya kepada engkau tentang apa yang mereka infakkan,


Jawablah! Apa sahaja harta yang kamu infakkan hendaklah diberikan
kepada ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan
orang-orang yang sedang dalam perjalanan. Dan apa sahaja kebajikan yang
kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui".
[ al-Baqarah (2) : 215].

Infaq adalah pengeluaran sukarela yang di lakukan seseorang, setiap kali ia


memperoleh rizki, sebanyak yang ia kehendakinya. Allah memberi
kebebasan kepada pemiliknya untuk menentukan jenis harta, berapa jumlah
yang yang sebaiknya diserahkan.

71
Terkait dengan infak ini Rasulullah SAW bersabda : ada malaikat yang
senantiasa berdo’a setiap pagi dan sore : “Ya Allah SWT berilah orang yang
berinfak, gantinya. Dan berkata yang lain : “Ya Allah jadikanlah orang yang
menahan infak, kehancuran”. (HR. Bukhori

3. Keutamaan Berbagi Dalam Islam


Ada banyak sekali manfaat yang bisa dihasilkan dari sedekah, baik itu
bagi penerima maupun pemberi. Terlebih jika aktivitas berbagi dilakukan di
bulan Ramadhan. Sedekah menjadi amal yang mampu menambah dari
kekurangan yang dimiliki seseorang. Kekurangan itu bisa terisi dan menjadi
tercukupi. Dengan sedekah, kita bisameringankan beban yang dimiliki
seseorang hingga membuatnya tersenyum.
Sedekah tidak hanya berpatok pada harta benda saja, sehingga
membuat sebagian dari kita berpikir ulang melakukan amal baik ini. Hal-hal non
materi pun bisa saja dikatakan sebagai sedekah. Seperti, menolong orang lain
baik dengan tenaga maupun pikiran, memberi nafkah keluarga atau istri,
menyingkirkan batu, duri dan tulang dari tengah jalan pun masuk ke dalam
sedekah.

Sampai dengan hal yang paling sederhana sepertimurah senyum kepada orang
lainpun, adalah sedekah. Seperti yang Rasulullah sampaikan, “Senyummu
kepada saudaramu adalah sedekah”.(HR. At-Tirmidzi).

Melihat ada banyaknya cara untuk berbuat baik dengan sedekah ini. Rasanya,
tidak ada lagi alasan untuk berkata tidak melakukannya. Apalagi, jika
mengetahui banyaknya manfaat dan keutamaan dari bersedekah. Bagiyang
belum mengetahui, sekiranya ada 5 keutamaan bersedekah sebagaimana yang
sudah disebutkan di dalam Al-Qur’an maupun hadits.

a. Ganjaran Harta Maupun Pahala yang Berlipat Ganda


Salah satu hal istimewa dari bersedekah adalah limpahanpahala yang
bisa diraih. Hal ini sesuai dengan janji Allah perihal keutamaan bersedekah
itu sendiri yang tercantum dalam Al-Quran.

72
“Sesungguhnya orang-orang yang bersedekah baik laki-laki maupun
perempuan dan meminjamkan kepada Allah dengan pinjaman yang baik,
niscaya akan dilipatgandakan (pahala) kepada mereka dan bagi mereka
pahala yang banyak.” (QS. Al-Hadid: 18).

Bahkan, dengan sedekah jariyah, seseorang bisa saja terus


mendapatkan pahala walau ia telah mati. Amalan ini yang biasa kita kenal
dengan shodaqoh jariyah. Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwasannya
Rasulullah SAW bersabda,

“Apabila anak cucu Adam itu mati, maka terputuslah semua amalnya kecuali
tiga perkara: Shodaqoh jariyah, anak sholeh yang memohon ampunan
untuknya (ibu dan bapaknya) dan ilmu yang bermanfaat setelahnya.”

Patut digaris bawahi adalah denagn sedekah tidaklah membuat harta benda
berkurang atau membuat seseorang jatuh miskin. Justru Allah Swt telah
berjanji akan melipatgandakannya,

“Perumpaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir


biji yang menumbuhkan tujuh tangkai. Pada tiap tangkai ada seratu biji. Allah
melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Mahaluas, Maha
Mengetahui.”(QS. Al Baqarah: 261).

b. Sedekah Dapat Memanjangkan Usiadan Mencegah Kematian Buruk


Salah satu keutamaan dari bersedekah ini adalah mampu
memperpanjang usia. Tapi, yang dimaksud dalam usiaini adalah amalan
kebaikan dari orang yang bersedekah ini akan terus dikenang melebihi umur
hidup di dunia ini. Dengan sedekah, seseorang dijauhkan dari kematian yang
buruk. Hal ini seperti yang disebutkan dalam sabda Rasulullah SAW :

“Sesungguhnya sedekahnya orang muslim itu dapat menambah umurnya,


dapat mencegah kematian yang buruk, Allah akan menghilangkan darinya
sifat sombong, kefakiran dan sifat bangga pada diri sendiri.”(HR. Thabrani).

73
c. Sedekah Sebagai Penghapus Dosa, Seperti Air Memandakan Api
Orang yang banyak bersedekah maka ia seperti air yang memadamkan
api. Dosa-dosa kita dihapuskan dengan pahala kebaikan yang berlimpah
dari amalan sedekah. Dengan sedekah, Allah SWTakan menghapus dosa-
dosa hamba-Nya. Oleh sebab itu, jangan pernah ragu dan menolak untuk
bersedekah.Kita juga tidak pernah tahu, berapa besar dosa-dosa yang kita
miliki. Untuk itulah, sedekah bisa menjadi salah satu amalan yang harus
konsisten kita lakukan.
Rasulullah SAW bersabda : “Sedekah itu dapat menghapus dosa
sebagaimana air itu memadamkan api.” (HR. At-Tirmidzi).

d. Sedekah Dapat Menjauhkan Diri dari Api Neraka


Sebagaimana disebutkan sebelumnya, dengan sedekah mampu menghapus
dosa-dosa kita. Maka, dengan sedekah pulalah kita bisa terhindar dari api
neraka. Mengingat pahala berlipat ganda yang didapat serta dihapusnya
dosa-dosa, maka kita pun bisa menjauhkan diri kita agar tidak masuk ke
dalam neraka jahanam. Hal ini sebagai sabda Rasulullah SAW :

“Jauhkan dirimu dari api neraka walaupun hanya dengan (sedekah) sebutir
kurma.”(Muttafaqun ‘alaih).

e. Mendapatkan Naungan di Hari Kiamat Karena Sedekah


Dijelaskan oleh Allah dalam ayat-ayat Al-Quran, pada hari kiamat nanti
manusia akan dibangkitkan dan dikumpulkan di Padang Mahsyar.
Disebutkanjuga, pada saat itu jarak matahari akan sangat dekat dengan
kepala setiap orang sehingga akan terasa sangat panas.
Untuk melindungi diri dari panasnya sinar matahari inilah, Rasulullah
SAW telah memberitahukan kabar baik kepada umatnya mengenaiamalan
apa yang dapat menjadikan naungan dari panasnya matahari kelak.
Nantinya, saat di Padang Mahsyar setiap manusia akan menunggu giliran
untuk diadili dari timbangan amal baik dan buruknya. Bisa dibayangkan
berapa lama manusia akan menunggu dan merasakan panasnya terik
matahari yang sangat dekat dengan kepala.
Maka, dijelaskanlah oleh dari hadits Rasulullah SAW bahwasannya yang
menjadikan naungan umat manusia di hari kiamat nanti adalah amalan
sedekahnya.

74
“Setiap orang berada di bawah naungan sedekahnya (pada hari kiamat)
hingga diputuskan di antara manusia atau ia berkata: “Ditetapkan hukuman
di antara manusia.” Yazid berkata: “Abul Khair tidak pernah melewati satu
haripun melainkan ia bersedekah padanya dengan sesuatu, walaupun hanya
sepotong kue atau bawang merah atau seperti ini.” (HR. Al-Baihqi, Al-Hakim
dan Ibnu Khuzaimah).
Dan dijelaskan pula dalam riwayat lainnya, bahwasannya Rasulullah
Saw bersabda: “Naungan orang beriman di hari Kiamat adalah sedekahnya”.
(HR Ahmad).

4. Knowledge Sharing atau Berbagi Ilmu dalam Islam


Berbagi bukan hanya dalam bentuk material saja melainkan Ilmu
pengetahuan juga merupakan sesuatu yang bisa kita bagikan. Menurut Lee
(2001) knowledge sharing merupakan suatu aktifitas memindahkan atau
menyebarkan pengetahuan dari seseorang, organisasi atau kelompok kepada
pihak yang lain. Knowledge sharing dapat diartikan sebagai suatu perilaku
untuk menyebarkan pengetahuan dari satu anggota terhadap anggota lainnya
dalam suatu organisasi.
Islam sangat mendorong dan memotivasi perilaku Knowledge sharing
sebagai mana yang tercantum dalam Firman Allah SWT :

“Dan Kami tidak mengutus sebelum engkau (Muhammad), melainkan orang


laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada
orang yang mempunyai ilmu pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”. [QS.
An-Nahl : 43]

Hadist Rasulullah yang menggambarkan pentingnya berbagi ilmu atau


knowledge sharing yang berbunyi : “Semoga Allah memuliakan seseorang yang
mendengar sesuatu dari kami lalu dia menyampaikannya (kepada yang lain)
sebagaimana yang dia dengar, maka kadangkadang orang yang disampaikan
ilmu lebih memahami dari pada orang yang mendengarnya”. (HR. At-Tirmidzy).

75
Islam sangat menekankan pentingnya berbagi ilmu atau knowledge sharing
supaya orang lain pun memiliki pengetahuan atau paham dan Allah SWT
memuliakan pribadi yang mau membagi ilmu kepada orang lain.
Rasulullah SAW merupakan suri tauladan bagi perilaku knowledge
sharing, perjuangan Rasulullah menyebarkan ilmu yaitu ajaran Islam yang
penuh dengan makna hidup yang membawa umat manusia dari jaman Jahiliyah
ke zaman terang benderang merupakan contoh yang tepat untuk perilaku
knowledge sharing. Rasulullah dalam menyebarkan agama Islam yang sarat
dengan ilmu pengetahuan merupakan sebuah perjuangan yang iklash karena
mengharapkan balasan dari Allah, Rasulullah tidak mengharapkan pamrih
harta, pangkat dan segala yang berbau dunia. Demikian pula dengan sahabat-
sahabat Rasuslullah yang melanjutkan penyebaran ajaran Islam sehingga bisa
berkembang juga menunjukkan adanya perilaku knowledge sharing, sahabat-
sahabat Rasulullah yang hijrah ke negara-negara lain untuk menyebarkan ilmu
agama.
Indvidu yang membudayakan perilaku knowledge sharing dijanjikan oleh
Allah pahala sebanyak pahala orang-orang yang diberi ilmu tersebut, seperti
yang disampaikan oleh Rasulullah dalam hadits beliau yang berbunyi : “Barang
siapa yang menyeru kepada petunjuk, maka ia akan mendapatkan pahala
sebanyak pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi sedikitpun dari
pahala mereka. Barang siapa yang menyeru kepada kesesatan, maka ia akan
menanggung dosa sebanyak dosa orang yang mengikutinya itu menganggung
dosa sebanyak dosa orang yang mengikutinya itu tanpa mengurangi sedikit pun
fari dosa mereka”.(HR. Muslim)
Rasulullah SAW memberikan contoh kepada kita bahwa Beliau adalah
peribadi yang mulia yang tiada putus-putusnya membagi ilmu kepada umatnya,
dengan sangat ikhlash memberikan waktu dan hidupnya karena mengharapkan
pahala dari Allah SAW padahal Beliau adalah kekasih Allah yang sudah
dijanjikan surga baginya, namun Beliau tetap gigih tiada putus asa
menyampaikan ilmu kepada umatnya dengan sangat iklash tidak
mengharapkan balasan apapun dari manusia dengan satu tujuan yang mulia
untuk memberikan manfaat bagi umatnya.

76
5.2 Ajaran Tentang Keadilan dan Penegakan Hukum Dalam Islam
1. Latar Belakang
Keadilan merupakan harapan dan dambaan setiap orang dalam tatanan
kehidupan sosial. Setiap negara maupun lembaga-lembaga dan organisasi di
manapun mempunyai visi dan misi yang sama terhadap keadilan, walaupun
persepsi dan konsepsi mereka bisa saja berbeda. Karena dalam pemahaman
mereka keadilan sebagai konsep yang relatif dan tolok ukur yang sangat
beragam antara satu negara dengan negara lain, dan masing-masing ukuran
keadilan itu didefinisikan dan ditetapkan oleh masyarakat sesuai dengan
tatanan sosial masyarakat yang bersangkutan. Menurut Majid Khadduri,
sumber keadilan itu ada dua: keadilan positif dan keadilan revelasional.
Keadilan
positif adalah konsep-konsep produk manusia yang dirumuskan
berdasarkan kepentingan-kepentingan individual maupun kepentingan kolektif
mereka. Skala keadilan berkembang melalui persetujuan-persetujuan diam-
diam maupun tindakan formal, sebagai produk interaksi antara harapan-
harapan dan kondisi yang ada. Sedangkan keadilan revelasional adalah
bersumber dari Tuhan yang disebut dengan keadilan Ilahi. Keadilan ini
dianggap berlaku bagi seluruh manusia, terutama bagi pemeluk agama yang
taat.
Dalam Islam, keadilan disebutkan dengan kata-kata al-Adl, al-Qisth dan
al-Mizan. Dalam Ayat Al-Qur`an menurut Muhammad Fuad Abd al-Baqi, untuk
menyebut “keadilan” dengan kata al-Adl, dalam berbagai bentuk katanya
disebut sebanyak 28 kali, kata al-Qisth dalam berbagai shighahnya disebut
sebanyak 27 kali, dan kata al-Mizan yang mengandung makna yang relevan
dengan keduanya disebut 23 kali. Banyaknya ayat Al-Qur`an yang
membicarakan keadilan menunjukkan bahwa Allah Swt. adalah sumber
keadilan dan memerintahkan menegakkan keadilan di dunia ini kepada para
rasul dan seluruh hambaNya. Walaupun tidak ada satupun ayat Al-Qur`an yang
secara eksplisit menunjukkan bahwa al-‘Adl merupakan sifat Allah, namun
banyak ayat yang menerangkan keadilanNya. Oleh karena itu, dalam kajian al-
Asma al-Husna, al-Adl merupakan salah satu asma Allah, tepatnya asma yang
ke- 30 dari 99 al-Asma al-Husna itu.

77
Melalui sifat keadilan ini Allah menyuruh untuk lebih meyakini dan
mendekatkan diri kepadaNya dan mendorong manusia berakhlak dengan sifat
adil Allah itu, dan juga mendorong mereka dengan sungguh-sungguh untuk
meraih sifat adil itu, menghiasi diri, dan berakhlak dengan keadilan itu .
Al-Qur`an, memerintahkan agar menegakkan keadilan kepada para Rasul,
yang terdapat pada surat al-Hadid (57).

"Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti-


bukti yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca
(keadilan) agar manusia dapat menegakkan keadilan…".
(Q.S. Al-Hadid [57]: 25).

Allah SWT juga memerintahkan orang-orang mukmin untuk


menegakkan keadilan, dan termasuk ke dalam amal shalih serta orang mukmin
yang menegakkan keadilan dapat dikategorikan sebagai orang yang telah
berupaya meningkatkan kualitas ketakwaan dirinya. Dengan istilah lain, dapat
dikatakan bahwa keadilan itu sebagai salah satu indikator yang paling nyata
dan dekat dengan ketakwaan. Firman Allah tersebut adalah:

78
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu
untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat dengan
takwa dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan. Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang
beriman dan beramal salih, bahwa untuk mereka ampunan dan pahala yang
besar”. (Q.S. Al-Maidah [5]: 8 dan 9).

Ayat ini memerintahklan orang mukmin menegakkan keadilan di bidang


hukum, baik sebagai hakim maupun saksi. Dalam ayat al-An’am (6) ayat 152,
Allah juga memerintahkan untuk menegakkan keadilan dalam bentuk ucapan
walaupun kepada kaum kerabat:

“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih
bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan
timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada sesorang
melainkan sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka
hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah
janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu
ingat."(Q.S. Al-An’am [6]: 152).

Pada hakikatnya, perintah keadilan itu meliputi aspek-aspek kehidupan


manusia. Majid Khadduri, mengklasifikasikan keadilan ke dalam 8 aspek yang
sangat luas: keadilan politik, keadilan teologis, keadilan fillosofis, keadilan etis,
keadilan legal, keadilan di antara bangsa-bangsa, dan keadilan sosial. Oleh
karena itu, pakar muslim pada umumnya melakukan kajian secara spesifik,
seperti Murtadha Muttahari mengkaji keadilan Allah. Para teorilisi politik Islam
memasukkan kajian keadilan ke dalam sub kajian politik. M. Dhiauddin Rais

79
yang menulis buku Teori Politik Islam masukkan kajian keadilan ke dalam
Prinsip dasar Negara, dan Muhammad Abdul Qadir Abu Fariz, dalam bukunya
Sistem Politik Islam, mengistilahkan keadilan sebagai salah satu dari pilar
politik Islam, yang empat; yakni kedaulatan Milik Allah, Keadilan dan
Persamaan, Ketaatan kepada Pemerintah, dan Syura (musyawarah).
Sementara itu, M. Quraisy Shihab dalam buku “Wawasan Islam” juga
membahas Keadilan dan Kesejahteraan sebagai salah satu tema kajiannya.
Kajian dalam makalah ini tidak mencakup seluruh aspek keadilan tersebut,
hanya diarahkan ke dalam bidang keadilan hukum. Tujuan yang hendak dicapai
adalah mengungkapkan bagaimana keadilan hukum itu dalam ajaran Islam.

2. Hakekat Keadilan
Kata “adil” dalam Bahasa Indonesia, berarti ”tidak berat sebelah, tidak
memihak, berpihak kepada yang benar, berpegang kepada kebenaran,
sepatutnya, dan tidak sewenang-wenang” (Depdikbud, 1990: 6-7). Dalam
bahasa Arab, keadilan berarti kesamaan, berasal dari kata kerja (fi’il) dan
mashdarnya adalah al-‘adl dan al-idl. Al-‘adl untuk menunjukkan sesuatu yang
hanya ditangkap oleh bashirah (akal fikiran), dan al-‘idl untuk menunjukkan
keadilan yang bisa ditangkap oleh panca indera. Contoh yang pertama adalah
keadilan di bidang hukum, dan contoh yang kedua antara lain: keadilan dalam
timbangan, ukuran, dan hitungan (al-Asfahani, 1972: 336).

M. Quraisy Shihab mengatakan bahwa keadilan yang berarti kesamaan


memberi kesan adanya dua pihak atau lebih, karena kalau hanya satu pihak,
tidak akan terjadi adanya persamaan. Makanya kata al-‘adl, diungkapkan oleh
Al-Qur`an antara lain dengan kata al-‘adl, al-qisth, dan al-mizan. Sementara itu,
Majid Khadduri menyebutkan, sinonim kata al-‘adl; al-qisth, al-qashd, al-
istiqamah, al-wasath, al-nashib, dan al-hishsha. Kata adil itu mengandung arti:
pertama; meluruskan atau duduk lurus, mengamandemen atau mengubah,
kedua; melarikan diri, berangkat atau mengelak dari satu jalan yang keliru
menuju jalan lain yang benar, ketiga sama atau sepadan atau menyamakan,
dan keempat; menyeimbangkan atau mengimbangi, sebanding atau berada
dalam suatu keadaan yang seimbang.
Para pakar agama Islam, umumnya, merumuskan keadilan menjadi
empat makna:

80
a. Adil dalam arti sama. Dengan pengertian, adil, artinya memperlakukan
sama antara orang yang satu dengan orang lain. Maksud persamaan di sini
adalah persamaan dalam hak. Dalam surat an-Nisa (4): 58 dinyatakan:

"Apabila kamu sekalian memutuskan perkara di antara manusia, maka


kamu sekalian harus memutuskan secara adil". (Q.S. An-Nisa [4]: 58).

Al-adl pada ayat ini, menurut Quraisy Shihab berarti persamaan, dalam
arti bahwa seorang hakim harus memperlakukan sama antara orang-orang
yang berperkara, karena perlakuan sama antara para pihak yang
berperkara itu merupakan hak mereka. Murtadha Muthahari, dalam
pengertian yang sama, mengatakan bahwa keadilan dalam arti persamaan
ini bukan berarti menafikan keragaman kalau dikaitkan dengan hak
kepemilikan. Persamaan itu harus diberikan kepada orang-orang yang
mempunyai hak kepemilikan yang sama. Jika persamaan itu diberikan
kepada orang-orang yang mempunyai hak kepemilikan yang berbeda, yang
terjadi bukan persamaan tapi kezaliman.

Al-Qur`an mengisahkan dua orang berperkara yang datang kepada


Nabi Dawud AS untuk mencari keadilan. Orang pertama memiliki sembilan
puluh sembilan ekor kambing betina, sedang orang ke dua memiliki seekor.
Orang pertama mendesak agar ia diberi pula yang seekor itu agar genap
menjadi seratus ekor. Keputusan Nabi Dawud AS, bukan membagi
kambing itu dengan jumlah yang sama, tapi menyatakan bahwa pihak
pertama telah berlaku aniaya terhadap pihak yang kedua.

b. Adil dalam arti seimbang yang identik dengan kesesuaian/ proporsional.


Keseimbangan tidak mengharuskan persamaan kadar dan sarat bagi
semua bagian unit agar seimbang. Petunjuk Al-Qur`an yang membedakan
antara yang satu dengan yang lain, seperti pembedaan laki-laki dan

81
perempuan pada beberapa hak warisan dan persaksian–apabila ditinjau
dari sudut pandang keadilan-harus dipahami dalam arti keseimbangan,
bukan persamaan.
Adil dalam arti seimbang yang identik dengan kesesuaian/ proporsional.
Keseimbangan tidak mengharuskan persamaan kadar dan sarat bagi
semua bagian unit agar seimbang. Petunjuk Al-Qur`an yang membedakan
antara yang satu dengan yang lain, seperti pembedaan laki-laki dan
perempuan pada beberapa hak warisan dan persaksian–apabila ditinjau
dari sudut pandang keadilan-harus dipahami dalam arti keseimbangan,
bukan persamaan.

“Dan Allah telah meninggikan langit dan ia menegakkan neraca (keadilan)".


(Q.S. Al-Rahman [55]: 7).

Keadilan di sini mengandung pengertian keseimbangan sunnatullah yang


berlaku di seluruh langit.

c. Adil dalam arti “perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-
hak itu kepada para pemiliknya”. Lawan keadilan dalam pengertian ini
adalah kezaliman. Murtadha Muthahhari (1992: 56) menamakan keadilan
ini dengan keadilan sosial. Agar Individu-individu dalam masyarakat dapat
meraih kebahagian dalam bentuk yang lebih baik, maka hak-hak dan
preferensi-preferensi individu itu, mesti dipelihara dan diwujudkan.
Keadilan, dalam hal ini, bukan berarti mempersamakan semua anggota
masyarakat, melainkan mempersamakan mereka dalam kesempatan
mengukir prestasi.

d. adil yang dinisbahkan kepada Ilahi. Adil di sini berarti memelihara


kewajiban atas berlanjutnya eksistensi, tidak mencegah kelanjutan
eksistensi dan perolehan rahmat sewaktu terdapat banyak kemungkinan
untuk itu. Keadilan Allah swt pada dasarnya merupakan rahmat dan
kebaikannya. Firman Allah swt yang terdapat pada surat Hud (11) ayat 6
menegaskan:

82
"Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi ini melainkan Allah-
lah yang memberi rizkinya …” Binatang melata, pada ayat ini, berarti
segenap mahluk Allah yang bernyawa...(Q.S. Hud [11]: 6).

Ayat lain yang menunjukkan hal yang sama adalah surat


Fushilat (41) ayat 46:

"Siapa yang beramal shaleh, maka akan dia terima untuk dirinya dan
siapa yang berbuat jahatm, dia akan terima balasannya. Dan Tuhanmu
tidak berlaku aniaya kepada hamba-hambanya”. (Q.S. Fussilat [41]: 46).

Menurut Murtadha Muttahari (1992: 63), keadilan ilahi, merupakan persoalan


yang menarik semua orang, melibatkan orang-orang desa yang buta aksara
dan para filosuf yang pemikir. Oleh karena itu, keadilan Tuhan memiliki urgensi
khusus, dan merupakan persoalan yang tiada taranya. Para teolog muslim tidak
kunjung selesai memperbincangkan masalah tersebut. Syi’ah dan Mu’tazilah
memandang keadilan sebagai prinsip ke dua di dalam ushuluddin (pokok-pokok
agama).

3. Perwujudan Keadilan Hukum Menurut Islam


Sebagai hasil dari bahasan ini bahwa hukum adalah himpunan petunjuk
hidup (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengatur tata tertib
dalam sesuatu masyarakat, dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat
yang bersangkutan, oleh karena pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat
menimbulkan tindakan dari pihak pemerintah masyarakat itu.

83
Menurut Siti Musdah Mulia, hukum adalah aturan-aturan normatif yang
mengatur pola perilaku manusia. Hukum tidak tumbuh di ruang vakum
(kosong), melainkan tumbuh dari kesadaran masyarakat yang membutuhkan
adanya suatu aturan bersama. Hukum Islam oleh TM. Hasbi Ash Shiddieqy
sebagaimana dikutip oleh Ismail Muhammad Syah (1992: 19) dirumuskan
sebagai koleksi daya upaya para ahli hukum untuk menerapkan syari’at atas
kebutuhan masyarakat.
Dalam kaitannya dengan aspek hukum, maka keadilan hukum Islam
bersumber dari Tuhan yang Maha Adil, karena pada hakikatnya Allah-lah yang
menegakkan keadilan (qaiman bilqisth). Karenanya, harus diyakini bahwa Allah
tidak berlaku aniaya (zalim) kepada hamba-hambaNya (Q.S. 10/Yunus: 449),
setiap perbuatan manusia akan dipertanggung-jawabkan kepada-Nya pada hari
keadilan (Q.S. 4/al-Nisa: 110).
Adil secara hukum dalam pengertian persamaan (equality), yaitu
persamaan dalam hak, tanpa membedakan siapa; dari mana orang yang akan
diberikan sesuatu keputusan oleh orang yang diserahkan menegakkan
keadilan, sebagaimana dimaksud firman Allah Q.S. 4/al-Nisaa': 58:

“Dan Apabila kamu memutuskan perkara di antara manusia, maka hendaklah


engkau putuskan dengan adil”. (Q.S. An-Nisa [4]: 58).

Ketegasan prinsip keadilan tersebut dijelaskan oleh ayat Al-Qur`an (Q.S. 57/
al-Hadid: 25) yang berbunyi:

84
“Sungguh, Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan bukti-bukti yang nyata
dan kami turunkan bersama mereka kitab dan neraca (keadilan) agar manusia
dapat berlaku adil. Dan Kami menciptakan besi yang mempunyai kekuatan,
hebat dan banyak manfaat bagi manusia, dan agar Allah mengetahui siapa
yang menolong (agama)-Nya dan rasul-rasul-Nya walaupun (Allah) tidak
dilihatnya. Sesungguhnya Allah Mahakuat, Mahaperkasa.”
(Q.S. Al-Hadid [57] : 25)

Kata mizan (keadilan) dengan hadid (besi). Besi adalah suatu benda
yang keras, dan dijadikan sebagai senjata. Demikian pula halnya hukum dan
keadilan harus ditegakkan dengan cara apapun, jika perlu dengan paksa dan
dengan kekerasan, agar yang bersalah atau yang batil harus menerima
akibatnya berupa sanksi atau kenistaan, sedangkan yang benar atau yang hak
dapat menerima haknya.
Dalam prinsip keadilan hukum, Nabi SAW menegaskan adanya
persamaan mutlak (egalitarisme absolut, al-musawah al-muthlaqah) di hadapan
hukum-hukum syariat, tidak membedakan status sosial seseorang, apakah ia
kaya atau miskin, pejabat atau rakyat jelata, dan tidak pula karena perbedaan
warna kulit serta perbedaan bangsa dan agama. Di hadapan hukum semuanya
sama. Konsep persamaan yang terkandung dalam keadilan tidak pula menutup
kemungkinan adanya pengakuan tentang kelebihan dalam beberapa aspek,
yang dapat melebihkan seseorang karena prestasi yang dimilikinya. Akan tetapi
kelebihan tersebut tidaklah akan membawa perbedaan perlakuan hukum atas
dirinya.
Pengakuan adanya persamaan, bahkan dalam Al-Qur`an dinyatakan
sebagai "pemberian" Allah yang mempunyai implikasi terhadap tingkah laku
manusia, adalah bagian dari sifat kemuliaan manusia (al-karamah al-insaniyah),
yang juga bagian dari ketetapan Tuhan (Q.S. 17/al-Isra: 70), yang berbunyi:

85
“Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut
mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik
dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan
makhluk yang telah Kami ciptakan”. (Q.S. Al-Isra [17]: 70).

Martabat dan harkat manusia dalam pandangan Al-Qur`an adalah


sebagai anugerah Allah SWT,. Oleh karena itu tidak ada satu kekuatan apapun
yang dapat merusakkan dan menghancurkannya. Pengakuan ini memperkuat
adanya kewajiban dan tanggung jawab manusia yang seimbang dalam
kehidupan ini. Karenanya, keadilan hukum berarti pula adanya keseimbangan
dalam hukuman terhadap kejahatan atau pelanggaran, hukuman seimbang
atau setimpal dengan kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan. Penegakan
hukum secara adil dan merata tanpa pilih bulu adalah menjadi keharusan
utama dalam bidang peradilan, walaupun berkaitan dengan diri sendiri,
keluarga dekat, atau orang-orang yang memiliki pengaruh atau kekuasaan.
Sebagaimana dikemukakan di dalam surat an-Nisa ayat 135.

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu para penegak keadilan,


menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap
kedua orangtua dan kaum kerabatmu. Jika dia (yang terdakwa) kaya ataupun
miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan (untuk kebaikannya). Maka
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari
kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan untuk
menjadi saksi, maka ketahuilah bahwa Allah Mahateliti terhadap segala sesuatu
yang kamu kerjakan”. (Q.S. An-Nisa [4]: 135).

86
Dalam praktek ajaran Islam, suatu peristiwa setelah penaklukan kota
Mekah, ada seorang perempuan keturunan suku Quraisy dari Bani Makhzum
melakukan pencurian. Menurut ketentuan Islam, hukuman yang harus
dijatuhkan terhadap pencuri adalah potong tangan. Mengetahui betapa
beratnya hukuman tersebut, maka salah seorang pemuka Quraisy menemui
Usamah bin Zaid meminta agar Usamah menemui Nabi SAW untuk
menyampaikan permohonan suku Makhzum ini kepada Nabi agar wanita
tersebut diberi dispensasi, dibebaskan dari hukuman pidana tersebut.
Mendengar permintaan Usamah ini, Nabi SAW. balik bertanya kepada Usamah,
apakah mereka ini meminta syafa'at bagi seseorang dalam kejahatan yang
telah jelas hukumannya dari Allah. Kemudian serta merta Nabi SAW. berdiri
seraya memberikan penjelasan singkat: “Sesungguhnya kebinasaan umat
sebelummu bahwa jika terjadi pencurian yang dilakukan orang dari golongan
bangsawan, mereka dibebaskan tidak dihukum, tetapi jika pencurian dilakukan
oleh orang lemah (rakyat biasa) mereka melaksanakan hukumannya, maka
Nabi SAW mengucapkan sumpah, Demi Allah jika Fatimah anak Muhammad
mencuri, niscaya aku potong tangannya.
Keadilan hukum dalam Islam tidak menyamakan hukuman di antara
orang kuat dan orang lemah, tetapi memiliki persepsi lain yang belum pernah
ada sebelumnya, dan tidak dapat disamakan dengan sistem hukum manapun
sekarang ini, bahwa hukuman bisa menjadi lebih berat bila pelakunya orang
besar, dan hukuman sesuai dengan tindakan pidana, maka haruslah hukuman
itu menjadi lebih berat sesuai dengan kelas pelaku tindak pidana tersebut.
Keadilan dalam hukum Islam membawa suatu prinsip yang belum pernah
dikenal sebelumnya. Sebagian negara-negara di dunia sekarang tidak
memberikan hukuman terhadap tindakan pidana yang dilakukan seorang
kepala negara, karena hukum itu tidak mengandaikan terjadinya tindakan
pidana dari seorang kepala negara. Para pembuat undang-undang
menganggap pribadi kepala negara sebagai orang yang dilindungi dan tidak
dapat disentuh oleh hukum. Para fuqaha telah sepakat bahwa para penguasa
dan pemimpin tertinggi negara tetap bisa dikenakan hukum seperti halnya
kebanyakan orang, tanpa perbedaan apapun. Jadi, tidak ada perbedaan antara
pimpinan besar yang menjadi kepala negara dan orang biasa dalam perlakuan
hukum. Kedudukannya sebagai kepala negara tidak dapat menyelamatkan dari
ancaman hukuman bila terbukti bersalah.

87
Ilustrasi berikut dapat diungkap sebagai konsep/model konstitusi Islam
ideal yang mengatur hak dan kewajiban berdasarkan keadilan. Di antara isi
konsep institusi itu adalah :
a. setiap orang berhak mendapat perlindungan bagi kebebasan pribadinya.
b. setiap orang berhak memperoleh makanan, perumahan, pakaian
pendidikan dan perawatan medis. Negara harus mengambil semua
langkah yang diperlukan untuk menyediakan fasilitas untuk itu sesuai
dengan kemampuan.
c. setiap orang berhak mempunyai pikiran, mengemukakan pendapat dan
kepercayaan selama ia masih berada dalam batas-batas yang ditetapkan
oleh hukum.
d. semua orang sama kedudukannya dalam hukum.
e. semua orang dengan kemampuan yang sama berhak atas kesempatan
yang sama, dan penghasilan yang sama atas pekerjaan yang sama, tanpa
membedakan agama, etnis, asal-usul dan sebagainya
f. setiap orang dianggap tidak bersalah sampai akhirnya dinyatakan bersalah
oleh pengadilan, dan beberapa hak dan kewajiban yang menyangkut
beberapa aspek sosial, politik, ekonomi, pertahanan keamanan dan
sebagainya.
Keadilan hukum menempatkan secara formal semua orang sama di hadapan
hukum. Martabat dan kehormatan manusia dalam pandangan Al-Qur`an adalah
anugerah Allah SWT. Oleh karena itu, tidak ada satu kekuatan pun yang dapat
merusakkan dan menghancurkannya, kecuali sesuai dengan ketentuan yang
telah diberikan Allah.

88
DAFTAR PUSAKA

http://kita-mahasiswa.blogspot.com/2016/05/tugas-makalah-konsep-ketuhanan-
dalam.html

http://ilmukomunic.blogspot.com/2015/09/dalil-dalil-tentang-adanya-allah.html
dalam.html

http://kita-mahasiswa.blogspot.com/2016/05/tugas-makalah-konsep-ketuhanan-
dalam.html

https://sites.google.com/site/ujppai/materi-kuliah/materi-03 dalam.html

http://agusnotes.blogspot.com/2008/09/bab-v-marifatul-mabda-pengetahuan.html
dalam.html

https://tafsirq.com/
dalam.html

http://tafsiralquranofficial.blogspot.com/
dalam.html

https://kalam.sindonews.com/surah/
dalam html

https://quranfirst.wordpress.com/2011/06/15/panduan-memahami-ayat-ayat-sains/
dalam.html

www.keajaibanalquran.com/astronomy_origin_universe.html
dalam.html

https://qurandansunnah.wordpress.com/2009/07/29/tiga-generasi-terbaik-umat-
manusia/
dalam.html

http://semuamakalahpembelajaran.blogspot.com/2017/06/makalah-sahabat-tabiin-dan-
tabiit-tabiin.html
dalam.html

https://contohmakalah222.blogspot.com/2017/07/sahabat-tabiin-dan-atba-tabiin.html
dalam.html

https://almanhaj.or.id/3428-definisi-salaf-definisi-ahlus-sunnah-wal-jamaah.html
dalam.html

https://muslim.or.id/18935-siapakah-salafus-shalih.html
dalam.html

https://almanhaj.or.id/3422-kewajiban-ittiba-mengikuti-jejak-salafush-shalih-dan-
menetapkan-manhajnya.html
dalam.html

iv
https://almanhaj.or.id/3422-kewajiban-ittiba-mengikuti-jejak-salafush-shalih-dan-
menetapkan-manhajnya.html
dalam.html

https://www.lazaba.or.id/perbedaan-dan-pengertian-zakat-infaq-shodaqoh/
dalam.html

https://www.dompetdhuafa.org/id/berita/detail/keutamaan-sedekah
dalam.html

https://media.neliti.com/media/publications/284864-perilaku-berbagi-ilmu-menurut-
pandangan-12c0eb63.pdf
dalam.html

Jamal Fakhri. (2010). SAINS DAN TEKNOLOGI DALAM AL-QUR’AN DAN


IMPLIKASINYA DALAM PEMBELAJARAN. Jurnal Ta'dib Edisi Juni 2010
Vol. XV No. 01 : 123-133

Zulkifli.(2018) TUNTUTAN KEADILAN PERSPEKTIF HUKUM ISLAM. Jurnal Ilmiah


Syari‘ah Vol.XVII, No.01 : 138-145

Weni Wulandari, Dkk. 2012 MENGKAJI KEILMIAHAN AYAT-AYAT SAINS DALAM


AL-QUR’AN TERHADAP ILMU PENGETAHUAN MODERN. Makalah

Yahya, Harun. 2004. “Al Qur’an dan Sains”. Bandung: Dzikra

AL-URBAN: Jurnal Ekonomi Syariah dan Filantropi Islam


Vol. 1, No. 1, Juni 2017
http://journal.uhamka.ac.id/index.php/al-urban
p-ISSN: 2580-3360 e-ISSN: 2581-2874
DOI: 10.22236/alurban_vol1/is1pp1-14
Hal 1-14

iv

Anda mungkin juga menyukai