Dosen Pengampu :
Sarwanto, MSh
Disusun Oleh :
An Nisaa Ananda (M21010009)
Ummi Fadhia Amalia (M21010015)
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Puji
dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya kepada penulis. Berkat rahmat dan karunia-Nya pula penulis dapat
menyelesaikan Makalah Pendidikan Agama Islam yang berjudul “Sumber-Sumber
Hukum Islam” ini tepat pada waktunya.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ustad Sarwanto selaku dosen
pembimbing mata kuliah Pendidikan Agama Islam, yang telah memberikan arahan
terkait dengan tugas makalah ini. Tanpa bimbingan dari beliau penulis tidak dapat
menyelesaikan tugas ini dengan format yang telah ditentukan. Dan juga, kepada
orang tua yang telah mendukung penulis sehingga dapat menyelesaikan tugas ini.
Penulis sadar bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna, oleh karena itu
penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca agar dapat memperbaiki
kesalahan untuk menjadi acuan bagi penulis untuk menjadi lebih baik lagi.
Semoga makalah ini dapat menambah wawasan para pembaca dan dapat
bermanfaat untuk perkembangan dan peningkatan ilmu pengetahuan.
Penulis
II
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................................................II
DAFTAR ISI.........................................................................................................................III
BAB I......................................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................................1
1.1. Latar Belakang........................................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah..................................................................................................1
1.3. Tujuan Penulisan....................................................................................................1
BAB II.....................................................................................................................................2
PEMBAHASAN.....................................................................................................................2
2.1. Alquran sebagai Sumber Hukum Islam................................................................2
2.1.1. Pengertian Alquran........................................................................................2
2.1.2. Isi Alquran......................................................................................................3
2.1.3. Periode Turunnya Alquran...........................................................................3
2.1.4. Kandungan dan Penjelasan dalam Alquran.................................................4
2.1.5. Fungsi Alquran...............................................................................................5
2.1.6. Keistimewaan Alquran...................................................................................6
2.2. Hadis sebagai Sumber Hukum Islam....................................................................8
2.2.1. Pengertian.......................................................................................................8
2.2.2. Kedudukan Hadis...........................................................................................9
2.2.3. Fungsi Hadis...................................................................................................9
2.2.4. Klasifikasi Hadis...........................................................................................12
2.2.5. Posisi Hadis terhadap Alquran....................................................................16
2.3. Ijtihad sebagai Metode Penetapan Hukum Islam..............................................17
2.3.1. D.....................................................................................................................17
BAB III.................................................................................................................................19
PENUTUP.............................................................................................................................19
3.1. Kesimpulan............................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................20
III
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
PEMBAHASAN
Sumber hukum Islam yang utama adalah Alquran dan Sunah (hadis). Selain
itu juga terdapat ijtihad yang merupakan sumber hukum sebagai alat bantu untuk
sampai kepada hukum-hukum yang terkandung dalam Alquran dan Sunah (hadis)
(Sudrajat & dkk, 2016).
2
dipahami baru kemudian diamalkan dan menjadi penentu langkah
dalam hidup.
3
ayyuhalladzina
amanu
Isi Pembangunan dasar- Pembangunan
dasar ajaran Islam masyarakat Islam,
yang mencakup meliputi masalah
keimanan dan hukum, jihad,
prinsip-prinsip ahlul kitab, dan
5.
tauhid, pahala dan orang-orang
ancaman, kisah- munafik.
kisah umat
terdahulu, dan budi
pekerti
4
sehingga bisa merelevansikan kandungan ayat Alquran
dengan kehidupan modern.
c. Terdapat penghapusan berita atau ketentuan yang berasal dari
masa sebelumnya. Keberadaan syariat terdahulu bisa
digunakan hanya bila ada penjelasan dari Alquran dan Hadis.
d. Pemahaman komprehensif terhadap hukum yang ditetapkan
secara bertahap.
5
k. Mushaddiq, membenarkan isi kitab-kitab yang datang
sebelumya (Q.S.Al-Maidah, 5: 48)
l. Muhaimin, penguji bagi kitab-kitab sebelumnya (Q.S. Al-
Maidah,5: 48) (Sudrajat, 1998: 51)
6
selaku utusan Allah yang membawa misi universal, risalah
akhir dan syariah yang sempurna bagi manusia. Ia menjadi
dalil atau argumentasi yang mampu melemahkan segala
argumen dan mematahkan segala dalil yang dibuat manusia
untuk mengingkari kebenaran Muhammad ﷺ. Di samping itu
dijadikannya Alquran sebagai mukijizat terbesar dari Nabi
Muhammad, karena setiap mukjizat yang diturunkan kepada
39 para Rasul-Nya sesuai dengan tuntutan zaman. Susunan
bahasa Alquran yang tinggi jauh melebihi karya sastra (syair)
masyarakat Arab jahiliyah saat itu.
d. Terpelihara Keasliannya sampai Akhir Zaman
Dalam Alquran Allah menjelaskan bahwa “Kamilah
yang menurunkan Az-Zikra (Alquran), dan Kami juga lah
yang memeliharanya”. Dalam ayat tersebut Allah SWT
menggunakan kata “Kami”, yang berarti umat Islam juga
harus ikut berpartisipasi dan berupaya melestarikan Alquran
dan menjaganya dari penyelewengan, baik bahasa maupun
maknanya.
e. Dinilai Ibadah jika Membacanya
Setiap huruf yang dibaca dari Alquran, Allah janjikan
pahala yang berlipat ganda.
صلى هللا- ِ ع َْن َعبْد هَّللا ِ ْبنَ َم ْسعُو ٍد رضى هللا عنه يَقُو ُل قَا َل َرسُو ُل هَّللا
َب هَّللا ِ فَلَهُ بِ ِه َح َسنَةٌ َو ْال َح َسنَةُ بِ َع ْش ِر َأ ْمثَالِهَا ال
ِ « َم ْن قَ َرَأ َحرْ فًا ِم ْن ِكتَا-عليه وسلم
ٌ ْف َوالَ ٌم َحر
ٌ ْف َو ِمي ٌم َحر
ف ٌ ِف َولَ ِك ْن َأل
ٌ ْف َحر ٌ ْ» َأقُو ُل الم حر.
Artinya :Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa
yang membaca satu huruf dari Al Quran maka baginya satu
kebaikan dengan bacaan tersebut, satu kebaikan dilipatkan
menjadi 10 kebaikan semisalnya dan aku tidak mengatakan الم
satu huruf akan tetapi Alif satu huruf, Laam satu huruf dan
7
Miim satu huruf.” (HR. Tirmidzi dan dishahihkan di dalam
kitab Shahih Al Jami’, no. 6469
8
2.2.2. Kedudukan Hadis
Hadis mempunyai kedudukan sebagai sumber hukum kedua
setelah Alquran. Hal ini sebagai konsekuensi bahwa Nabi
Muhammad saw. adalah penafsir utama dan pertama dari Alquran.
Sebagai the second source, keberadaan hadis sangat bergantung
kepada Alquran. Hadis mempunyai posisi sebagai penjelas Alquran.
Oleh karena itu, kandungan hadis tidak boleh bertentangan dengan
Alquran.
2.2.3. Fungsi Hadis
Para ulama, terutama ulama ushul (Khallaf, 1978: 39-40),
membagi fungsi hadis terhadap Alquran adalah sebagai berikut.
a. Bayan Tafsir yaitu menjelaskan apa yang terkandung dalam
Alquran. Penjelasan tersebut terbagi menjadi tiga, yaitu:
1. Bayan tafshil (memerinci yang mujmal) yaitu hadis
berfungsi menjelaskan rincian ketentuan Alquran yang
singkat. Ayat yang mujmal kandungannya belum
operasional, sehingga memerlukan petunjuk lain untuk
menerapkannya. Sebagai contoh adalah ayat di bawah
ini.
۟ صلَ ٰوةَ فَ ْٱذ ُكر
ُوا ٱهَّلل َ قِ ٰيَ ًما َوقُعُودًا َو َعلَ ٰى ُجنُوبِ ُك ْم ۚ فَِإ َذا َّ ض ْيتُ ُم ٱل
َ َفَِإ َذا ق
َت َعلَى ْٱل ُمْؤ ِمنِينَ ِك ٰتَبًا َّموْ قُوتًا ۟ ٱطمْأنَنتُ ْم فََأقِي ُم
ْ صلَ ٰوةَ َكان َّ صلَ ٰوةَ ۚ ِإ َّن ٱلَّ وا ٱل َْ
Artinya : Maka dirikanlah salat itu (sebagaimana
biasa). Sesungguhnya salat itu adalah kewajiban yang
ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman
(Q.S. An-Nisa, 4: 103).
Tata cara dan rincian salat dijelaskan dalam
hadis sebagai berikut :
َ صلُّوا َك َما َرَأيتُ ُمنِي ُأ
صلِي َ
9
Artinya : Salatlah kalian sebagaimana kalian melihat
aku salat. (H.R. Al-Bukhari hadis no. 628, 7246, dan
Muslim hadis no. 1533).
2. Bayan Taqyid, memberikan batasan bagi ketentuan
Allah Swt. yang bersifat mutlak. Misalnya ayat
berikut ini.
ُ َّارقَةُ فَٱ ْقطَع ُٓو ۟ا َأ ْي ِديَهُ َما َجزَ ٓا ۢ ًء بِ َما َك َسبَا نَ ٰ َكاًل ِّمنَ ٱهَّلل ِ ۗ َوٱهَّلل ُ َّار
ِ ق َوٱلس ِ َوٱلس
َزي ٌز َح ِكي ٌم
ِ ع
Artinya : “Laki-laki yang mencuri dan perempuan
yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan
sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana” (Q.S. Al-Maidah, 5: 38).
Hukuman potong tangan bagi pencuri tidak
mempunyai hukum yang mutlak dengan memahami
hadis berikut ini.
10
Ayat tersebut bersifat umum, namun
keumumannya dikhususkan dengan hadis Nabi berikut
ini.
َج َو ٰلَ ِكن ي ُِري ُد لِيُطَهِّ َر ُك ْم َولِيُتِ َّم نِ ْع َمتَهۥُ َعلَ ْي ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُكرُون ٍ َح َر
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan
tanganmu sampai siku, dan usaplah kepalamu dan basuh
kakimu sampai kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka
mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau
kembali dari tempat buang air besar atau menyentuh
perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka
bertayamumlah dengan tanah yang bersih, usaplah mukamu
dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak
menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu
dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu supaya kamu
bersyukur” (Q.S. Al-Maidah, 5: 6).
Ayat tersebut dikuatkan dengan hadis sebagai berikut :
ضَأ َ صالَةُ َأ َح ِد ُك ْم ِإ َذا َأحْ د
َّ َث َحتَّى يَت ََو َ اَ تُ ْقبَ ُل
11
Artinya : “Tidak diterima salat orang yang berhadas sampai
dia berwudu” (H.R. Al-Bukhari).
c. Bayan Tasyri’, dalam hal ini hadis menetapkan hukum baru
yang belum ditetapkan dalam Alquran. Misalnya ayat
Alquran di bawah ini.
ير َو َمٓا ُأ ِه َّل لِ َغي ِْر ٱهَّلل ِ بِ ِه ِ ت َعلَ ْي ُك ُم ْٱل َم ْيتَةُ َوٱل َّد ُم َولَحْ ُم ْٱل ِخ
ِ نز ْ حُرِّ َم
Artinya : “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah,
daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama
selain Allah.” (Q.S. Al-Maidah, 5: 3).
Dalam hadis riwayat Muslim, ada penetapan hukum
baru yaitu pengharaman terhadap binatang buas bercakar,
berkuku tajam, dan bertaring.
12
perbuatanperbuatan itu tergantung kepada niat, dan
setiap orang hanya akan memperoleh apa yang
diniatkannya” (H.R. alBukhari dan Muslim).
2. Sunnah fi’liyah adalah perbuatan Nabi saw. yang
dilihat para sahabat kemudian disampaikan kepada
orang lain dengan ucapan mereka. Contoh: Sahabat
Jarir berkata: “Konon Rasulullah saw. bersembahyang
di atas kendaraan (dengan menghadap kiblat) menurut
kendaraan itu menghadap. Apabila beliau hendak
sembahyang fardu, beliau turun lalu menghadap
kiblat” (H.R. al-Bukhari).
3. Sunnah taqririyah adalah perbuatan sahabat atau
ucapannya yang dilakukan di depan Nabi saw. yang
dibiarkan begitu saja oleh Nabi, tanpa dilarang atau
disuruh. Umpamanya Nabi saw. pernah melihat
seorang sahabat memakan daging dlab (sejenis
biawak) di hadapannya, namun Nabi tidak memberi
komentar tentang perbuatan sahabat tersebut. Jadi,
setiap sahabat melakukan suatu perbuatan atau
mengucapkan sesuatu di hadapan Nabi dan Nabi
membiarkannya tanpa memberi komentar. Hal ini
berarti mendapat pengakuan Nabi.
b. Dilihat dari segi jumlah sanad atau perawi yang terlibat dalam
periwayatannya, hadis dibagi tiga macam, yaitu:
1. Hadis mutawatir adalah hadis yang disampaikan
secara berkesinambungan yang diriwayatkan oleh
sejumlah besar perawi yang menurut kebiasaan
mustahil mereka bersepakat untuk dusta. Para ulama
sepakat untuk menjadikan semua hadis mutawatir
sebagai hujjah dan harus dijadikan sumber hukum.
13
Tingkat keotentikan hadis mutawatir merupakan
tingkatan tertinggi dalam sunnah dan berada satu
tingkat di bawah Alquran.
2. Hadis masyhur adalah hadis yang diriwayatkan oleh
sejumlah sahabat yang tidak mencapai batasan
mutawatir dan menjadi mutawatir pada generasi
setelah sahabat. Menurut Ibnu Hajar, hadis masyhur
adalah hadis yang diriwayatkan lebih dari dua perawi
yang belum mencapai batasan mutawatir (al-Khathib,
1989: 302). Tingkat keotentikan hadis masyhur berada
di bawah hadis mutawatir.
3. Hadis ahad adalah hadis yang diriwayatkan oleh
seorang perawi, dua orang perawi, atau lebih yang
tidak memenuhi persyaratan sunnah mutawatir. Hadis
ahad harus diamalkan selama memenuhi persyaratan
untuk diterima (al-Khathib, 1989: 302). Tingkat
keotentikan hadis ahad berada di bawah hadis
masyhur, atau berada pada tingkat yang paling bawah
c. Ditinjau dari segi kualitasnya (diterima atau ditolaknya),
hadis dibagi tiga, yaitu:
1. Hadis shahih adalah hadis yang memiliki lima
persyaratan, yaitu, (1) sanadnya bersambung, (2)
diriwayatkan oleh perawi yang adil (istiqamah
agamanya, baik akhlaknya, dan terhindar dari
kefasikan dan yang mengganggu kehormatannya), (3)
perawinya dlabit (kuat hafalannya), (4) hadisnya tidak
janggal, dan (5) hadisnya terhindar dari ‘illat (cacat)
(al-Khathib, 1989: 305). Contoh hadis shahih adalah
hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim
14
dalam kedua kitabnya Shahih al-Bukhari dan Shahih
Muslim.
2. Hadis hasan adalah hadis yang memiliki semua
persyaratan hadis shahih, kecuali para perawinya,
seluruhnya atau sebagiannya, kurang kuat hafalannya
(al-Khathib, 1989: 332). Contoh hadis hasan ini bisa
dilihat dalam kitab-kitab hadis yang ditulis al-Nasa’i,
alTirmidzi, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad bin
Hanbal. Kualitas hadis hasan ini di bawah hadis
shahih, namun masih termasuk hadis yang maqbul
(dapat diterima sebagai hujjah).
3. Hadis dla’if adalah hadis yang tidak memiliki sifat-
sifat untuk dapat diterima, atau hadis yang tidak
memiliki sifat hadis shahih dan hasan (al-Khathib,
1989: 337). Fathurrahman (1985: 140)
mendefinisikannya sebagai hadis yang kehilangan satu
syarat atau lebih dari syarat-syarat hadis shahih dan
hasan. Hadis dla’if tidak bisa dijadikan sebagai hujjah
(mardud). Hadis ini banyak macamnya dan
mempunyai perbedaan derajat satu sama lain,
disebabkan oleh banyak atau sedikitnya persyaratan
hadis shahih atau hasan yang tidak terpenuhi.
4. Hadis maudlu’ adalah hadis yang dinasabkan kepada
Rasulullah saw. dengan cara dibuat-buat dan
didustakan dari apa yang dikatakan, dikerjakan, dan
ditetapkan beliau (al-Khathib, 1989: 415). Jadi, hadis
maudlu’ ini sebenarnya bukan hadis, namun karena
oleh pembuatnya dikatakan sebagai hadis maka hadis
maudlu’ ini dikategorikan sebagai hadis.
15
Dari beberapa jenis hadis di atas, mayoritas ulama
fikih berpendapat bahwa yang dapat dijadikan sebagai sumber
hukum adalah hadis mutawatir, hadis shahih dan hadis hasan.
Hadis dla’if tidak bisa digunakan sebagai rujukan hukum.
Namun, sebagian ulama ada yang membolehkan hadis dla’if
digunakan sebagai dalil, dengan syarat ke-dla’if-annya tidak
terlalu lemah, memiliki beberapa jalur sanad dan tidak
menentukan masalahmasalah yang pokok, hanya sampai
kepada hukum sunah atau makruh saja. Ulama yang
membolehkan tersebut antara lain adalah Imam Ahmad bin
Hanbal dan Ibnu Hajar Al-Asqallani (Sodiqin, 2012: 78).
16
mendirikan salat, mengeluarkan zakat, berhaji ke baitullah,
dan puasa Ramadhan.”(HR. Bukhari dan Muslim).
b. Bayan atau memberi penjelasan terhadap hukum yang
terdapat dalam al-Quran. Penjelasan tersebut dapat berupa:
Menjelaskan arti yang masih samar,
Merinci hal-hal yang disebutkan al-Quran secara garis
besar,
Membatasi hal-hal umum yang disebutkan al-Quran
Memperluas hukum yang disebut dalam al-Quran.
c. Itsbat dan insya’ yaitu menetapkan sebuah hukum yang tidak
disebutkan secara jelas dalam al-Quran (Syarifuddin, 2008:
92-96). Allah mengharamkan beberapa jenis makanan pada
QS al-Maidah/5: 3, berupa bangkai, darah, daging babi, yang
disembelih bukan atas nama Allah, yang mati karena tercekik,
terpukul, jatuh, ditanduk, dan diterkam binatang buas.
Sementara itu, pengharaman binatang buas sendiri terdapat
dalam Hadis.
17
2.3. Ijtihad sebagai Metode Penetapan Hukum Islam
2.3.1. Pengertian Ijtihad
Secara etimologis, kata ijtihad berasal dari kata ijtihadayajtahidu yang berarti
bersungguh-sungguh dalam menggunakan tenaga, baik fisik maupun pikiran.
Adapun secara terminologis, ulama ushul mendefinisikan ijtihad sebagai
mencurahkan kesanggupan dalam mengeluarkan hukum syara yang bersifat
‘amaliyah dari dalil-dalilnya yang terperinci baik dalam Alquran maupun
sunnah.
18
dihadapi oleh umat manusia. Begitu juga, banyaknya lafaz atau dalil yang
belum jelas dalam Alquran dan Sunnah menuntut dilakukannya ijtihad untuk
menjelaskannya, meskipun tidak jarang hasil ijtihad para ulama berbeda-beda
dari lafaz atau dalil yang sama.
19
yang masih diperselisihkan adalah istihsan, istishab, fatwa shahabi, maslahah
mursalah, ‘urf dan saddudz dzari’ah.
A. Ijma’ (consensus), mayoritas ulama mendefinisikannya
sebagai kesepakatan seluruh mujtahid pada suatu masa terhadap
suatu hukum syara setelah wafatnya Rasulullah saw. Secara historis
ijma merupakan suatu proses alamiah bagi penyelesaian persoalan
melalui pembentukan pendapat mayoritas umat secara bertahap. Ijma
bermula dari pendapat pribadi dan berpuncak pada penerimaan
universal oleh ummat dalam jangka panjang. Para ulama berbeda
pendapat dalam menyikapi ijma sebagai sumber hukum. Imam
Syafi’i, Hanbali, dan Zahiri berpendapat bahwa ijma’ hanya terjadi
pada masa sahabat. Sementara Imam Malik menganggap bahwa
praktik penduduk Madinah merupakan ijma’. Menurut kelompok
Syi’ah, ijma’ adalah kesepakatan para anggota keluarga Rasul (ahlul
bait). Sedangkan ulama kontemporer seperti Muhammad Abduh dan
Muhammad Iqbal, mendefinisikan bahwa ijma’ adalah mufakat dari
orang atau lembaga yang berwenang (ulil amri), dan dapat dibatalkan
oleh generasi berikutnya. Dari dua pendapat tersebut ada dua
perbedaan tentang ijma’ yakni pendapat ulama klasik menempatkan
ijma’ sebagai produk masa lalu yang bersifat qath’i, tidak mungkin
salah dan tidak bisa diijtihadkan lagi. Sementara ulama kontemporer
berpendapat lebih dinamis, dengan menempatkan ijma sebagai
metode yang bisa diterapkan sepanjang zaman dan berorientasi masa
depan, dan berfungsi sebagai pemersatu umat dalam memecahkan
masalah
B. Qiyas (analogical reasoning), adalah menganalogikan suatu masalah
yang belum ada ketetapan hukumnya dengan masalah yang sudah ada
ketetapan hukumnya karena adanya persamaan ‘illah. Menganalogikan
adalah mempersamakan dua persoalan hukum sekaligus status hukum
keduanya. Illat adalah sebab atau hikmah yang menjadi dasar
20
penetapan hukum tersebut. Penggunaan metode ini harus memenuhi
rukun rukun sebagai berikut.
1. Ashl (maqis ‘alaihi) yaitu masalah yang sudah ada ketentuan
hukumnya dalam nash Alquran maupun hadis. Contohnya
adalah pengharaman minum khamr (Q.S. An-Nisa’, 5: 90-91).
2. Furu’ (maqis), yaitu masalah yang sedang dicari ketetapan
hukumnya. Contohnya adalah narkoba.
3. Hukum ashl, yaitu hukum masalah yang sudah ditetapkan oleh
nash. Contohnya adalah hukum asal minum khamr adalah
haram.
4. ‘Illah, sifat yang terdapat dalam ashl. Contohnya adalah sifat
dalam khamr adalah merusak dan memabukkan, sehingga
antara narkoba dan khamr mempunyai kesamaan sifat yaitu
merusak dan memabukkan. Dari sini bisa disimpulkan bahwa
narkoba adalah haram sebagaimana keharaman khamr.
Mayoritas ulama menerima metode ini, kecuali kelompok
Syi’ah dan Mazhab Az-Zhahiri.
21
Pada masa ini juga sudah dimulai proses pengeluaran tinja yang terjadi
dalam waktu 24 jam yang di dalamnya terdapat mekonium, kemudian
dilanjutkan dengan proses defekasi. Frekuensi defekasi berkisar antara 3-5
kali dalam seminggu tergantung pada kondisi bayi dan susu yang dikonsumsi,
apakah ASI atau formula.
22
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Pertumbuhan dan perkembangan adalah dua hal yang berbeda.
Pertumbuhan berdampak pada perubahan fisik sedangkan perkembangan
berdampak pada tingkat kematangan anak. Namun demikian proses
pertumbuhan dan perkembangan secara normal selalu berjalan beriringan.
Pada anak sehat, seiring bertambahnya umur maka bertambah pula tinggi dan
berat badannya begitu pun kepandaiannya. Pertumbuhan dan perkembangan
anak juga dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu internal dan eksternal yang
saling berkaitan dan mempengaruhi. Setiap tahap usia anak mempunyai
karakteristik tersendiri dalam pencapaian tumbuh kembangnya, tetapi yang
pasti semakin bertambah usia anak maka kemampuannya akan semakin
meningkat.
23
DAFTAR PUSTAKA
Sudrajat, A., & dkk. (2016). Dinul Islam Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi
Umum. In Dinul Islam. unypress.yogyakarta@gmail.com
24