Oleh kelompok 1:
Ahmad Sa’dan Khalqi
M Zaini al Madhani Khan
M Syarif
Muhammad Berkatullah Amin
Puji syukur kehadirat Allah swt, shalawat dan salam semoga selalu
tercurah keharibaan junjungan Nabi besar Muhammad saw. Beserta seluruh
keluarganya, sahabat dan para pengikutnya sampai akhir zaman.
Alhamdulillah, dengan segala rahmat dan inayah-Nya makalah yang
berjudul “KERAGUAN ORANG-ORANG YANG INGKAR TERHADAP WAHYU”
sebagai salah satu tugas pada mata kuliah Ulumul Quran program studi
Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah Sekolah Tinggi Ilmu Al-Quran (STIQ)
Amutai dapat diselesaikan.
Penulis sangat menyadari, dalam penulisan makalah ini banyak sekali
menerima bantuan, baik tenaga maupun pikiran. Oleh karena itu, penulis
menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya
kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan tersebut, terutama kepada
Muallim H. hamli, M.Pd.I yang telah banyak memberikan bimbingan dan
petunjuk serta koreksi dalam penulisan makalah ini serta semua pihak yang telah
memberi bantuan, fasilitas, informasi, meminjamkan buku-buku dan literatur-
literatur yang penulis perlukan, sehingga makalah ini bisa diselasaikan.
Atas bantuan dan dukungan yang tak ternilai harganya tersebut penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-
tingginya teriring do’a yang tulus semoga Allah swt membari ganjaran yang
berlipat ganda. Amin.
Akhirnya penulis berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua dan
mendapat taufik serta inayah dari Allah swt.
Amuntai, tanggal
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah ini telah dikenal kalangan ilmuan muslim dengan istilah qadhiyah
al-husn'qabh masalah baik dan buruk yang biasa di bahas dalam teologi islam.
Secara langsung ataupun dikaitkan dengan masalah-masalah lain seperti pada
qadhiyah an-nazhar wal-ma'rif' masalah penglihatan dan pengetahuan qadhiyatut-
ta'dil wat-tajwir masalah hukum perbuatan Allah antara yang wajib dan yang jaiz
yang semua itu di bahas dalam teologi islam dalam pembahasan hukum syariat.
Pembahasan ini bertolak tentang kepercayaan ketuhanan tentang bukti
kesempurnaannya. Apakah kesempurnaan itu tidak akan tercapai kecuali
kemutlakan iradahnya? Lalu, hal itu menjadi satu dasar bagi metode kekhalifahan
manusia, yaitu wahyu mempunyai hak mutlak dalam menetapkan kewajiban serta
larangan bagi manusia. Ataukah kesempurnaan itu terjadi karna Allah
menciptakan manusia beserta akal? Dengan akal, manusia mampu menyikapi
perbuatannya antara mengejarkan atau meninggalkan. Akan tetapi, masalah-
masalah ini telah becampur dengan "teologi luar" yang mempruncing perdebatan
seru antara mazhab yang satu dan mazhab yang lainnya, hingga menimbulkan
perpecahan, ditambah pengaruh hawa nafsu yang jahh dari kebenaran.1
B. Rumusan masalah
1. Apa yang di maksud dengan wahyu ?
2. Bagaimana keadaan orang jahiliah yang ingkar terhadap wahyu ?
3. Bagaimana mengantisipasi orang-orang yang ingkar terhadap wahyu ?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahu tentang pengertian wahyu.
2. Untuk mengetahui penyebab keraguan orang-orang terhadap wahyu.
3. Untuk mengetahui keadaan orang jahiliah yang ingkar terhadap wahyu.
1
Abdul Majid An Najjar, TINJAUAN WAHYU DAN AKAL, Agustus 1999 (Jakarta: Gema Inani Press,
t.t.), h.83-84.
1
4. Untuk mengantisipasi orang-orang yang ingkar terhadap wahyu ?
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian wahyu
Pengertian wahyu secara bahasa. Dikatakan wahaitu ilaib dan auhaitu bila
kita berbicara kepadanya agar tidak diketahui orang lain. Wahyu adalah isyarat
yang cepat. Itu terjadi melalui pembicaraan yang berupa rumus dan lambang, dan
terkadang melalui suara semata, dan terkadang pula melalui isyarat dengan
sebagian anggota badan.
Al-wahy atau wahyu adalah kata masdar (infinitif), dan materi kata itu
menunjukkan dua pengertian dasar, yaitu:tersembunyi dan cepat. Oleh sebab itu,
maka dikatakan bahwa wahyu adalah : pemberi tahuan secara tersembunyi dan
cepat dan khusus di tunjukkan kepada orang yang diberitahukan tanpa di ketahui
orang lain.
Pengertian wahyu dalam istilah syar'i. Secara istilah wahyu didefinisikan
sebagai kalam Allah yang di turunkan kepada seorang nabi. Definisi ini
menggunakan pengertian maf'ul yaitu al-muha (yang di wahyukan).
Muhammad Abduh membedakan antara wahyu dengan ilham. Ilham itu
intuisi yang diyakini jiwa sehingga terdorong untuk mengikuti apa yang di minta,
tanpa mengetahui dari mana datangnya. Hal seperti itu serupa dengan rasa lapar,
haus sedih dan senang.2
3
mendukung kekuasaannya, tidak perlu beliau menisbahkan semua itu kepada
pihak lain. Dapat saja menisbatkan Al-Quran kepada dirinya langsung, karena
hal itu cukup mengangkat kedudukan nya dan menjadikan manusia tunduk kepada
kekuasaannya. Sebab, kenyataannya semua orang Arab dengan segala kefasihan
bahasanya, tidak mampu memjawab tantangan itu. Bahkan ini lebih mendorang
mereka untuk menerima kekuasaannya, karena dua juga salah seorang dari
mereka yang dapat mendatangkan apa yang mereka sanggupi.
2. Orang-orang jahiliah, dahulu dan sekarang, menyangka bahea
rasulullah memiliki ketajaman akal, penglihatan yang dalam, firasat yang kuat,
kecerdikan yang hebat, kejernihan jiwa renungkan yang benar, yang
menjadikannya mampu menimbang ukuran-ukuran yang baik dan buruk, benar
dan salah memilih ilham, mengenali perkara-perkara yang rumit melalui kasaf,
sehinggal Al-Quran itu tidak lain dari pada hasil penalaran intelektual dan
pemahaman yang di ungkapkan oleh Muhammad dengan gaya bahasa dan
retoriknya yang hebat.
Sisi berita yang merupakan bagian yang terbesar dalam Al-Quran tidak
diragukan oleh orang yang berakal bahwa apa yang diterimanya hanya didasarkan
pada penerimaan dan pengajaran. Al-Quran telah berita berita tentang umat
terdahulu, puak-puak dan pristiwa pristiwa sejarah dengan benar dan cermat,
seperti yang disebutkan oleh saksi mata, seklipun masa yang di lewati itu sudah
sangat lama, bahkan masalah kejadian tang pertama alam ini pun diberitakannya.
3. Orang-orang jahiliyah klasik dan moderen berasumsi bahwa
Muhammad telah meneima ilmu-ilmu Al-Quran dari seorang guru. Itu tidak
salah, akan tetapi guru yang menyampaikan Al-Quran itu ialah malaikat
pembawa wahyu, bukan guru yang berasal dari kaumnya sendiri atau kaum
lainnya.
Nabi Muhammad SAW tumbuh dan hidup dalam keadaan buta huruf dan
tak seorang pun di antara mereka yang membawa simbol ilmu dan pengajaran. Ini
adalah kenyataan yang di saksikan oleh sejarah, dan tidak dapat diragukan,
bukan mempunyai dari pada masyrakat sendiri.3
3
Syaikh Manna Al-Qatan, Pengantar Studi islam (Jakarta timur: Pustaka Al-Kautsar, t.t.), h.46-54.
4
C. Cara mengantisipasi orang-orang yang ingkar terhadap wahyu
Allah SWT berfirman: Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan
ayat-ayat Kami, mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.(Al
Baqarah ayat 39)
Tilawah insan profetis harus balance antara tilawh lafdziah yaitu membaca
dan mengulang bacaan harian, bisa satu juz sehari, dan juga tilawah maknawiyah
yaitu merenungi dan memahami isi Al-Qur’an sebagai jalan penerang hidup kita.
5
yang mereka ingkar akan kebenaran walau hanya satu dari sekian banyak
kebenaran maka termasuk kafir, walau tidak dapat dijudgment.
Sehingga orang yang tidak bersyukur bisa disebut kufur nikmat, karena
ingkar akan segala nikmat yang Allah SWT berikan kepadanya.Dalam ayat ini
kata kufur dikaitkan dengan ayat-ayat ALLAH SWT, yang secara khusus adalah
Al Qur’an. Mereka yang ingkar akan Al Qur’an, isinya dan amalnya maka akan
mengalami kesengsaraan.Mengapa?Karena Al Qur’an jalan kebahagiaan, Al
Qur’an berisi arah mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Seperti orang yang
berjalan salah jalan maka dia akan tersesat dan susah selalu. Tak akan sampai
pada tujuan.
Jika seorang ahli hukum maka dia buka Al Qur’an dan memahami
bagaimana Allah memberikan arah akan hukum yang baik dan benar, jika dia
politisi maka dia buka Al Qur’an dan mengaji bagaimana Al Qur’an mengarahkan
politik yang penuh Khidmah.
Efek tidak percaya, bahkan ragu dengan Al Qur’an, dengan konsepsi hidup
Al Qur’an, akan membawa kesengsaraan abadi, dunia dan akhirat.Jika ada yang
bertanya, orang yang sama sekali tidak faham Al Qur’an, dia hidup bahagia, kaya
sejahtera, itu hanyalah tampak luarnya saja di dunia. Kita tidak perlu membahas
bagaimana di akhirat, karena sudah jelas siksa neraka sebagai puncak
kesengsaraan.Neraka adalah simbol ilahiah sebagai puncak kesengsaraan akhirat,
6
sesungguhnya semua yang jauh dari Al Qur’an akan mengalami kesengsaraan
Ruhani, walau dunia mereka miliki.Betapa banyak mereka bunuh diri walau
bergelimang harta, mereka harus hidup dengan gaya Ibis di tengah pulau, di
gunung demi mencari kebahagiaan.
4
Dr. M. Samson Fajar, M.Sos.I., Seri Bahagia dengan Al-Qur’an (Dosen FAI UM Metro,
t.t.).
7
BAB III
PENUTUP
A. Sub-Bab
Text text text text text text text text text text text text text text text text text
text text text text text text text text text text text text text text text text text text text
text text text text text text text text text text text text text text text text text text text
text text text text text text text text text text text text text text text text text text text
text text text text text text text text text text text text text text text text text text text
text text text text text text text text text text text text text text text text text text text
text text text text text text text text text text text text text text text text text text text
text text text text text text text text text text text text text text text text text text text
text text text text text text text text text text text text text text text text text text text
text text text text text text text text text text text text text text text text text text text
text text text text text text text text text text text text text.
Text text text text text text text text text text text text text text text text text
text text text text text text text text text text text text text text text text text text text
text text text text text text text text text text text text text text text text text text text
text text text text text text text text text text text text text text text text text text text
text text text text text text text text text text text text text text.
B. Sub-Bab
Text text text text text text text text text text text text text text text text text
text text text text text text text text text text text text text text text text text text text
text text text text text text text text text text text text text text text text text text text
text text text text text text text text text text text text text text text text text text text
text text text text text text text text text text text text text text text text text text text
text text text text text text text text text text text text text text text text text text text
text text text text text text text text text text text text text text text text text text text
text text text text text text text text text text text text text text text text text text text
text text text text text text text text text text text text text text text text text text text
8
text text text text text text text text text text text text text text text text text text text
text text text text text text text text text text text text text.
Text text text text text text text text text text text text text text text text text
text text text text text text text text text text text text text text text text text text text
text text text text text text text text text text text text text text text text text text text
text text text text text text text text text text text text text text text text text text text
text text text text text text text text text text text text text text.
9
DAFTAR PUSTAKA
An Najjar, Abdul Majid. TINJAUAN WAHYU DAN AKAL. Agustus 1999. Jakarta:
Gema Inani Press, t.t.
Fajar, M.Sos.I., Dr. M. Samson. Seri Bahagia dengan Al-Qur’an. Dosen FAI UM
Metro, t.t.
Manna Al-Qatan, Syaikh. Pengantar Studi islam. Jakarta timur: Pustaka Al-
Kautsar, t.t.
Suhada, Suhada. Ulumul Quran. 2016 ed. Tanngerang, t.t.
10