Anda di halaman 1dari 14

AKAL DAN WAHYU, KOLEKTIVISME DAN

INDIVIDUALISME

DI
S
U
S
U
N
OLEH:
KELOMPOK 6
NAMA : DANDI
: JUMAILA SARI
: NONI SRI RAHAYU
: RISKA ANANDA

SEM :5
UNIT :4
PRODI : HES

SEKOLAH TINGGI ILMU SYARI’AH (STIS)


AL HILAL SIGLI
2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr. wb

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah


memberikan nikmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini dengan judul: “AKAL DAN WAHYU,
KOLEKTIVISME DAN INDIVIDUALISME”. Shalawat dan salam kita panjatkan
kehadirpat Nabi Muhammad SAW yang telah membawa manusia dari alam
kegelapan ke alam yang penuh ilmu pengetahuan.
Dalam menyelesaikan makalah ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih sebanyak-
banyaknya kepada Dosen Pembimbing, atas bimbingan kepada penulis sehingga
tersusunnya makalah ini semoga makalah ini dapat bermanfaat bagai semua pihak.
Penulis menyadari, dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan
dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kritikan dan saran yang sifatnya
membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan di masa akan datang.

Sigli, November 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................ i


DAFTAR ISI .............................................................................................................. ii
BAB I ......................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ..................................................................................................... 1
A. Latar Belakang .......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 1
BAB II ........................................................................................................................ 2
PEMBAHASAN ........................................................................................................ 2
A. Akal dan W ahyu ....................................................................................... 2
B. Kolektivisme dan Individualisme............................................................. 8
BAB III .................................................................................................................... 10
PENUTUP ................................................................................................................ 10
A. Kesimpulan .............................................................................................. 10
B. Saran ......................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 11

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kedudukan akal dan wahyu dalam Islam menempati posisi yang sangat
terhormat, melebihi agama-agama lain. karena Akal dan wahyu adalah suatu yang
sangat urgen untuk manusia, dialah yang memberikan perbedaan manusia untuk
mencapai derajat ketaqwaan kepada sang kholiq, akal pun harus dibina dengan
ilmu-ilmu sehingga mnghasilkan budi pekrti yang sangat mulia yang menjadi dasar
sumber kehidupan dan juga tujuan dari baginda rasulullah SAW. Tidak hanaya itu
dengan akal juga manusia bisa menjadi ciptaan pilihan yang allah amanatkan untuk
menjadi pemimpin di muka bumi ini, begitu juga dengan wahyu yang dimana
wahyu adalah pemberian allah yang sangat luar biasa untuk membimbing manusia
pada jalan yang lurus.
Namun dalam menggunakan akal terbatas akan hal-hal bersifat tauhid,
karena ketauhitan sang pencipta tak akan terukur dalam menemukan titik ahir,
begitu pula dengan wahyu sang Esa, karena wahyu diberikan kepada orang-orang
terpilih dan semata-mata untuk menunjukkan kebesaran Allah. Maka dalam
menangani anatara wahyu dana akal harus slalu mengingat bahwa semua itu karna
allah semata. Dan tidak akan terjadi jika allah tak mengijinkannya. Hal tersebut
dilakukan untuk mencegah kemusyrikan terhadap allah karena kesombongannya.

B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1. Bagaimanakah konsep akal dan wahyu ?
2. Bagaimanakah konsep kolektivisme dan individualism?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Akal dan W ahyu


1. Definisi Akal dan Wahyu
Kata akal yang sudah menjadi kata Indonesia, berasal dari kata Arab al-
aql yang dalam bentuk kata benda, berlainan dengan al-wahy, tidak terdapat dalam
Al-Quran. Al-Quran hanya membawa bentuk kata kerjanya ‘aqaluh dalam 1
ayat, ta’qilun 24 ayat, na’qil 1 ayat, ya’qiluha 1 ayat dan ya’qilun 22 ayat. Kata-
kata itu datang dalam arti faham dan mengerti.
Kamus bahasa Arab Lisan Al-‘Arab menjelaskan bahwa al-‘aql berarti al-
hijr menahan dan al-‘aqil ialah orang yang menahan diri dan mengekang hawa
nafsu. Seterusnya diterangkan pula bahwa al-‘aql mengandung arti
kebijaksanaan, al-nuha, lawan dari lemah pikiran, al-humq. Selanjutnya disebut
bahwa al-‘aql juga mengandung arti kalbu, al-qalb.
Arti asli dari kata ‘aqala kelihatannya adalah mengikat dan menahan dan
orang yang ‘aqil di jaman jahiliah, yang dikenal dengan hamiyyah atau darah
panasnya, adalah orang yang dapat menahan amarahnya dan oleh karenanya dapat
mengambil sikap dan tindakan yang berisi kebijaksanaan dalam mengatasi masalah
yang dihadapinya.1
Dalam pemahaman Profesor Izutsu (Harun Nasution, 1986), kata ‘aql di
jaman jahiliah dipakai dalam arti kecerdasan praktis (practical intelligence) yang
dalam istilah psikologi mpdern disebut kecakapan memecahkan masalah (problem-
solving capacity). Orang berakal, menurut pendapatnya adalah, orang yang
mempunyai kecakapan untuk menyelesaikan masalah, setiap kali ia dihadapkan
dengan problema dan selanjutnya dapat melepaskan diri dari bahaya yang ia hadapi.
Kebijaksanaan praktis serupa ini amat dihargai oleh orang Arab jaman jahiliah.2

1
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia,
1986, hlm 5-6.
2
Toshihiko Izutsu, Litt. D., God and Man in the Quran, Tokio, Keio University, 1964, hlm.
65.

2
Wahyu sendiri berasal dari kata Arab al-wahy, dan al-wahy adalah kata asli
Arab dan bukan kata pinjaman dari bahasa asing. Kata itu berarti suara, api dan
kecepatan. Di samping itu ia juga mengandung arti bisikan, isyarat, tulisan dan
kitab. Al-Wahy selanjutnya mengandung arti pemberitahuan secara tersembunyi dan
dengan cepat. Tetapi kata itu lebih dikenal dalam arti “apa yang disampaikan Tuhan
kepada nabi-nabi”.
Dalam kata wahyu dengan demikian terkandung arti penyampaian sabda
Tuhan kepada orang pilihanNya agar diteruskan kepada umat manusia dalam
perjalanan hidupnya baik di dunia ini maupun di akhirat nanti. Dalam Islam wahyu
atau sabda Tuhan yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW terkumpul
semuanya dalam Al-Quran.3
2. Kedudukan Akal dan Wahyu dalam Teologi Islam
Teologi sebagai ilmu yang membahas soal ketuhanan dan kewajiban-
kewajiban manusia terhadap tuhan, memakai akal dan wahyu dalam memperoleh
pengetahuan tentang kedua hal tersebut. Akal, sebagai daya berpikir yang ada
dalam diri manusia, berusaha keras untuk sampai kepada diri Tuhan, dan wahyu
sebagai pengkhabaran dari alam metafisika turun kepada manusia dengan
keterangan-keterangan tentang Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap
Tuhan.
Banyak terdapat dalam buku-buku klasik tentang ilmu kalam yang
membahas persoalan akal dan wahyu, keduanya terkait dengan dua masalah pokok
yang masing-masing bercabang dua. Masalah pertama ialah soal mengetahui Tuhan
dan masalah kedua soal baik dan jahat. Masalah pertama bercabang menjadi
mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan yang dalam istilah Arab
disebut husnul ma’rifah Allah dan wujud ma’rifah Allah.4 Kedua cabang dari
masalah kedua ialah: mengetahui baik dan jahat, dan kewajiban mengerjakan

3
Ibid, hlm. 15
4
Lihat al-Syahrastani, Kitab Nihayah al-Iqdam fi ‘Ilm al-Kalam (selanjutnya
disebut Nihayah) London, 1934, hlm.371.

3
perbuatan baik dan kewajiban menjauhi perbuatan jahat atau ma’rifah i’tinaq al-
hasan wa ijtinab al-qabih, yang disebut al-tahsin wa al-taqbih.5
Sederhananya seperti ini:
1. Dapatkah akal mengetahui adanya Tuhan?
2. Kalau ya, dapatkah akal mengetahui kewajiban berterimakasih kepada
Tuhan?
3. Dapatkah akal mengetahui apa yang baik dan apa yang jahat?
4. Kalau ya, dapatkah akal mengetahui bahwa wajib bagi manusia berbuat baik
dan wajib baginya menjauhi perbuatan jahat?
Polemik yang terjadi antara aliran-aliran teologi Islam yang bersangkutan
ialah: yang manakah di antara keempat masalah itu yang dapat diperoleh melalui
akal dan mana melalui wahyu? Masing-masing aliran memberikan jawaban-
jawaban yang berlainan.
Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa ke-empat masalah tersebut dapat
diketahui akal, golongan Asy’ariah mengatakan bahwa akal dapat mengetahui
hanya satu dari ke-empat masalah itu, yaitu adanya Tuhan. Menurut penjelasan Al-
Asy’ari sendiri, semua kewajiban dapat diketahui hanya melalui wahyu. Akal tak
dapat menentukan Sesuatu menjadi wajib dan dengan demikian tak dapat
mengetahui bahwa mengerjakan perbuatan baik dan menjauhi perbuatan jahat
adalah wajib. Selanjutnya ia mengatakan bahwa akal dapat mengetahui adanya
Tuhan, tetapi mengetahui tentang kewajiban terhadap Tuhan diperoleh hanya
melalui wahyu.
Jelas bahwa antara Mu’tazilah dan Asy’ariyah terdapat perbedaan besar
mengenai kesanggupan akal manusia. Kalau bagi aliran pertama daya fikir manusia
adalah kuat, bagi aliran kedua akal adalah lemah.
Kamu Maturidiah Samarkand memberi jawaban yang lain terhadap ke-
empat pertanyaan di atas. Bagi mereka hanya satu, yaitu kewajiban berbuat baik dan
menjauhi perbuatan jahat, yang tidak dapat diketahui oleh akal. Akal dapat

5
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia, 1986. Hlm 81-82

4
mengetahui adanya Tuhan, wajibnya manusia berterima kasih kepada Tuhan dan
kebaikan serta kejahatan.
Kaum Maturidiah Bukhara tidak sefaham dengan Samarkand dalam hal ini.
Bagi Bukhara hanya pengetahuan-pengetahuan yang dapat diperoleh akal. Adapun
kewajiban-kewajiban, itu wahyulah yang menentukannya. Jadi yang dapat diketahui
akal hanya dua dari ke-empat masalah di atas, yaitu adanya Tuhan dan kebaikan
serta kejahatan.
Jika diadakan perbandingan antara ke-empat golongan ini akan dijumpai
bahwa dua aliran memberi daya kuat kepada akal, aliran Mu’tazilah dan aliran
Maturidiah Samarkand dan dua aliran memandang akal manusia lemah, aliran
Maturidiah Bukhara dan Asy’ariah. Dan jika diperinci lebih lanjut lagi Mu’tazilah
memberi angka 4 kepada akal, Maturidiah Samarkand memberi angka 3, Maturidiah
Bukhara memberi angka 2, dan Asy’ariah memberi angka 1. Uraian di atas
menunjukkan bahwa akal mempunyai kedudukan terkuat dalam pendapat
Mu’tazilah dan terlemah dalam pendapat Asy’ariah.
Kalau demikian peranan akal dalam soal keagamaan, timbul pertanyaan: apa
jadinya fungsi wahyu? Pertanyaan ini terutama dihadapkan kepada golongan
Mu’tazilah dan maturidiah Samarkand yang memberikan daya kuat kepada akal
manusia.
Akal dalam pendapat Mu’tazilah dapat mengetahui hanya garis-garis besar
dari ke-empat masalah di atas. Akal, kata Al Qadi ‘Abd Al-Jabbar, seorang pemuka
Mu’tazilah dapat mengetahui kewajiban-kewajiban secara umum, tetapi tidak
sanggup mengetahui perinciannya, baik mengenai hidup manusia di akhirat nanti,
maupun mengenai hidup manusia di dunia sekarang. Wahyu datang untuk
menjelaskan perincian dari garis-garis besar itu. Umpamanya akal dapat mengetahui
kewajiban manusia berterima kasih kepada Tuhan, tetapi tidak dapat mengetahui
cara dan perinciannya. Wahyulah yang menjelaskan cara dan perincian kewajiban
tersebut yaitu dalam bentuk salat lima kali sehari. Zakat sekali setahun, puasa
sebbulan setahun dan haji sekali seumur hidup.
Selanjutnya tidak semua kebaikan dan kejahatan dapat diketahui akal. Akal,
kata Ibnu Abi Hasyim, seorang tokoh Mu’tazilah lain, mengetahui kewajiban

5
menjauhi perbuatan-perbuatan yang membawa kemudaratan, tetapi ada perbuatan-
perbuatan yang tak dapat diketahui akal apakah membawa kebaikan atau kejahatan.
Dalam hal demikian wahyulah yang menentukan buruk atau baiknya perbuatan
bersangkutan. Umpamanya akal mengatakan bahwa meotong binatang adalah
perbuatan tidak baik. Tetapi wahyu turun menjelaskan bahwa menyembelih
binatang untuk keperluan-keperluan tertentu, seperti memperingati peristiwa
keagamaan bersejarah, memperkuat tali persahabatan dengan tetangga dan
menunjukkan rasa kasih sayang kepada fakir miskin, adalah baik.
Sejalan dengan pendapat ini kaum Mu’tazilah mengadakan perbedaan
antara qaba’ih aqliyah serta manakir ‘aqliyah perbuatan-perbuatan yang tidak baik
menurut pendapat akal dan qabaih syar’iyah serta manakir syar’iyah, perbuatan-
perbuatan yang tidak baik menurut wahyu. Juga mereka perbedakan antara wajibat
‘aqliyah serta taklif ‘aqli kewajiban yang ditentukan akal, dan wajibat
syar’iyah serta taklif sam’i wajibat syar’iyah kewajiban yang ditentukan wahyu.
Wahyu turun, di samping untuk hal-hal di atas, juga untuk memberi
penjelasan tentang perincian hukuman dan upah untuk memberi penjelasan tentang
perincian hukuman dan upah yang akan diterima manusia kelak di akhirat. Al-Qadi
‘Abd Al-Jabbar menegaskan bahwa akal tidak dapat mengetahui besar kecilnya
pahala di surge dan hukuman di neraka nanti. Menurut Al-Jubba’I wahyulah yang
menjelaskan semua itu.
Jelas kiranya bahwa kaum Mu’tazilah, sungguhpun mereka memberi daya
yang kuat kepada akal, tidak membelakangkan wahyu, tetapi tetap berpegang dan
berhajat pada wahyu. Demikian pula kaum Maturidiah Samarkand. Adapun
Maturidiah Bukhara dan kaum Asy’ariah, bagi kedua aliran ini fungsi wahyu lebih
banyak dari padabegi kedua aliran di atas.
Bagi mereka hanya wahyulah yang dapat menentukan wajibnya bagi
manusia sebagai makhluk untuk berterimakasih kepada sang Pencipta, hanya
wahyulah yang dapat menentukan perbuatan mana yang baik dan mana yang buruk
dan hanya wahyulah yang dapat mewajibkan orang berbuat baik dan
mewajibkannya menjauhi perbuatan jahat. Akal tidak mempunyai peranan dalam
hal-hal ini. Bagi Asy’ariah bahkan akal tidak dapat mengetahui kebaikan dan

6
kejahatan. Sekiranya tidak ada wahyu, manusia tidak akan dapat membedakan
antara apa yang baik dan apa yang buruk. Dalam hubungan ini Al-Asy’ari
menjelaskan bahwa berdusta adalah perbuatan jahat karena wahyu menentukan
demikian; sekiranya wahyu mengatakan berdusta adalah perbuatan baik, maka itu
mesti baik, dan jika berdusta diwajibkan Tuhan, maka ia mesti bersifat wajib.
Pandangan berbeda-beda terhadap akal dan wahyu sebagai diuraikan di atas
membawa perbedaan pula dalam pendapat-pendapat teologi dari aliran itu.
Akal melambangkan kekuatan manusia. Karena akalnyalah maka manusia
mempunyai kesanggupan untuk menaklukkan kekuatan makhluk lain di sekitarnya.
Bertambah tinggi akal manusia bertambah tinggi kesanggupannya untuk
mengalahkan kekuatan-kekuatan makhluk lain itu. bertambah lemah kekuatan akal
manusia bertambah rendah kesanggupannya menghadapai kekuatan-kekuatan lain
tersebut.
Sejalan dengan uraian ini, maka manusia dalam pandangan Mu’tazilah dan
Maturidiah Samarkand merupakan manusia yang kuat sedang dalam pandangan
Asy’ariah dan Maturidiah Bukhara manusia merupakan makhluk lemah.
Diungkapkan dengan kata-kata lain, kalau dalam paham aliran pertama manusia
merupakan dewasa dan dapat berdiri sendiri, dalam paham kedua aliran lainnya
manuia merupakan anak yang belum dewasa dan masih banyak bergantung pada
bimbingan orang lain.
Dalam perbandingan teologi memang dikenal bahwa Mu’tazilah dan
Maturidiah Samarkand termasuk dalam aliran yang mengatakan bahwa manusia
mempunyai kebebasan dalam menentukan kemauan dan perbuatannya (qadariah-
free will and free act) sedang kedua lainnya termasuk dalam aliran yang
berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan dalam kemauan dan
perbuatannya (jabariah-predestination).6

6
Harun Nasution, Teologi Islam, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986. Hlm. 97-
111

7
B. Kolektivisme dan Individualisme
Individualisme merupakan salah-satu pemikiran filsafat yang
mengedepankan paham kebenaran individu melebihi kebenaran kelompok.
Pemikiran Individualisme pertama kali muncul di era Renaisans, paham ini muncul
pada masa peralihan pandangan kebenaran para filsuf di masa kegelapan. Paham ini
menghasilkan individu yang dapat berpikir mandiri, serta dapat bertanggung jawab
atas dirinya sendiri tanpa adanya kolaborasi sesame individu. Pada umumnya
penganut paham ini tidak mau menerima intervensi oleh pihak manapun sehingga
mudah terjadi benturan disegala aspek kehidupan. Pada perkembangannya paham
ini juga yang mendasari paham liberalisme. Paham ini juga dapat dikatakan bahwa
dimana seorang manusia mengenal dirinya sebagai sebuah kekuatan untuk
membuka peluang kekuatan yang hanya dimiliki manusia itu. Contoh kasus yang
mudah meskipun tidak terlalu nampak terlihat pada masyarakat perkotaan atau
masyarakat modern saat ini. Di Indonesia paham gotong royong sudah mulai
tergerus oleh individualisme, penyebabnya karena dari perkembangan manusia itu
sendiri. Perkembangan pola pikir serta kemampuan menjadikan seorang individu
merasa lebih unggul dari individu lain. Dengan kata lain dimana ada peradaban
dengan individu yang unggul disana pula tempat penganut Individualisme berada.
Di sisi lain paham yang bertentangan dengan paham individualisme yang
muncul pada masa itu adalah paham kolektivisme, Kolektivisme memandang
bahwa individu pada dasarnya tidak memiliki hak atas dirinya sendiri. Tingkah
laku, keputusan dan sebagainya diatur serta ditentukan oleh kelompok. Demi
kelompoknya pengorbanan individu dipandang sebagai sebuah kewajaran dan
bahkan kewajiban. Karena itu jika individu dalam masyarakat penganut paham
kolektivisme mencoba melakukan terobosan, menempuh cara berbeda maka dengan
cepat dan mudah dirinya akan dianggap sebagai pemberontak. Individu tidak
memiliki hak untuk menikmati sesuatu kecuali apabila kelompok atau masyarakat
dimana ia berada menganggap kenikmatan tersebut layak dinikmatinya. Demikian
pula individu tidak diperkenankan melakukan pencapaian-pencapaian tertentu
dengan cara-cara tertentu menurut dirinya sendiri kecuali sudah disetujui oleh

8
kelompoknya. Paham ini pada perkembanganya merupakan hal yang mendasari
munculnya sosialisme dan komunisme.
Individualisme dan kolektivisme merupakan sebuah pemikiran yang saling
bertolak belakang. Kedua pemikiran ini memiliki beberapa kelebihan dan
kekurangan. Kelebihan dan kekurangan dapat dilihat dari sudut padang berbeda.
Apabila dilihat dari sudut pandang manusia sebagai individu, pemikiran
individualisme dapat menjadikan manusia sebagai individu yang memiliki pendirian
yang kuat dan konsistensi yang baik. Apabila pemikiran ini dilihat dari sudut
pandang manusia sebagai makhluk sosial maka pemikiran kolektivisme dapat
menjadikan manusia memiliki jiwa sosial. Dalam sebuah kasus diatas bahwa di
Indonesia gotong royong akan tetap ada jika memiliki pemikiran kolektivisme.
Akan tetapi Indonesia tidak menganut ideologi komunisme, maupun sosialisme
tetapi menganut demokrasi pancasila maka seharusnya rakyat diberi kan kebebasan
yang diatur oleh pancasila guna memenuhi hak dan kewajiban sebagai individu

9
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

‘Aql di jaman jahiliah dipakai dalam arti kecerdasan praktis (practical

intelligence) yang dalam istilah psikologi mpdern disebut kecakapan memecahkan

masalah (problem-solving capacity).

Wahyu dengan demikian terkandung arti penyampaian sabda Tuhan kepada

orang pilihanNya agar diteruskan kepada umat manusia dalam perjalanan hidupnya

baik di dunia ini maupun di akhirat nanti. Dalam Islam wahyu atau sabda Tuhan

yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW terkumpul semuanya dalam Al-

Quran.

Individualisme merupakan salah-satu pemikiran filsafat yang

mengedepankan paham kebenaran individu melebihi kebenaran kelompok.

Sedangkan Kolektivisme memandang bahwa individu pada dasarnya tidak memiliki

hak atas dirinya sendiri. Tingkah laku, keputusan dan sebagainya diatur serta

ditentukan oleh kelompok.

B. Saran

Melalui makalah yang singkat ini penulis menyarankan kepada segenap

pembaca agar merujuk kepada sumber-sumber lain yang relevan untuk

mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif.

10
DAFTAR PUSTAKA

Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia, 1986,
Toshihiko Izutsu, Litt. D., God and Man in the Quran, Tokio, Keio University,
1964,
al-Syahrastani, Kitab Nihayah al-Iqdam fi ‘Ilm al-Kalam (selanjutnya
disebut Nihayah) London, 1934,
Harun Nasution, Teologi Islam, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986.

11

Anda mungkin juga menyukai