B. Tujuan
Terapi Realita bertujuan membantu individu mendapatkan cara yang lebih
efektif untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang menjadi suatu bagian
kekuasaan, kebebasan, kesenangan, dan keberhasilan. Konselor dalam prosedur
konseling berusaha membantu konseli menemukan pemenuhan kebutuhan
dasarnya dengan Right, Responsibility dan Reality. Dalam hal ini Konseli belajar
keterampilan umum, keterampilan kognitif atau intelektual, dan keterampilan
menghadapi masalah kehidupannya.Pengalaman konseli yang diperlukan untuk
mencapai tujuan itu adalah pengalaman memusatkan pada tingkah laku, membuat
rencana, mengevaluasi tingkah laku sendiri, belajar kecanduan positif (positive
addiction) sebagai puncak pengalaman.
Tujuan umum konseling realita dan sudut pandang konselor menurut
Burks (1979) menekankan bahwa konseling realita merupakan bentuk mengajar
dan latihan individual secara khusus. Secara luas, konseling ini membantu konseli
dalam mengembangkan sistem atau cara hidup yang kaya akan keberhasilan.
Adapun tujuan terapi konseling realitas, sebagai berikut:
1. Menolong individu agar mampu mengurus dirinya sendiri, supaya
dapat menentukan dan melaksanakan perilaku dalam bentuk nyata.
2. Mendorong konseli agar berani bertanggung jawab serta memikul
segala resiko yang ada, sesuai dengan kemampuan dan keinginannya
dalam perkembangan dan pertumbuhannya.
3. Mengembangkan rencana-rencana nyata dan realistik dalam mencapai
tujuan yang telah ditetapkan.
4. Perilaku yang sukses dapat dihubungkan dengan pencapaian
kepribadian yang sukses, yang dicapai dengan menanamkan nilai-nilai
adanya keinginan individu untuk mengubahnya sendiri.
5. Terapi ditekankan pada disiplin dan tanggung jawab atas kesadaran
sendiri.
C. Proses
1. Proses Konseling/Tahapan
Tahapan kegiatan konseling menurut Thompson, et.Al (2004:115-120)
mengemukakan delapan tahap dalam konseling realita, yaitu :
a. Tahap pertama : Konselor menunjukan keterlibatan dengan Konseli (Be
Friend)
Pada tahap ini, konselor mengawali pertemuan dengan bersikap otentik,
hangat, dan menaruh perhatian pada hubungan yang sedang di bangun,
konselor harus dapat melibatkan diri pada konseli dengan
memperlihatkan sikap hangat dan ramah, menunjukan keterlibatan
dengan konseli dapat ditunjukan dengan perilaku attending serta
menunjukan sikap bersahabat.
b. Tahap kedua : Fokus pada perilaku sekarang
Setelah konseli dapat melibatkan diri pada konselor, maka konselor
menanyakan pada konseli apa yang akan dilakukannya sekarang. Tahap
kedua ini merupakan eksplorasi diri bagi konseli. Konseli
mengungkapkan ketidaknyamanan yang ia rasakan dalam menghadapi
permasalahannya. Lalu konselor meminta konseli mendeskripsikan hal
apa saja yang telah dilakukan dalam menghadapi kondisi tersebut, dalam
tahap ini adanya keinginan yang disampaikan oleh konseli.
c. Tahap ketiga : mengeksplorasi total behavior konseli
Menanyakan apa yang dilakukan konseli (doing), yaitu konselor
menanyakan secara spesifik apa saja yang dilakukan konseli; cara
pandang dalam konseling realita; akar permasalahan konseli bersumber
pada perilakunya (doing), bukan pada perasaannya.
d. Tahap keempat : Konseli menilai diri sendiri atau melakukan evaluasi
Memasuki tahap keempat, konselor menanyakan kepada konseli apakah
pilihan perilakunya tidak untuk menilai benar atau salah perilaku konseli,
tetapi membimbing konseli untuk menilai perilakunya saat ini. Beri
kesempatan kepada konseli untuk mengevaluasi (Evaluating), apakah ia
cukup terbantu dengan pilihannya tersebut.
e. Tahap kelima : Merencanakan tindakan yang bertanggung jawab
Tahap ketika konseli mulai menyadari bahwa perilakunya tidak
menyelesaikan masalah, dan tidak cukup menolong keadaan dirinya,
dilanjutkan dengan membuat perencanaan (Planning) tindakan yang
lebih bertanggung jawab. Rencana yang disusun sifatnya spesifik dan
konkret.
f. Tahap keenam : membuat komitmen
Konselor mendorong konseli untuk merealisasikan rencana yang telah
disusunnya bersama konselor sesuai dengan jangka waktu yang
ditetapkan.
g. Tahap ketujuh : tidak menerima perminta maaf atau alasan konseli
Konseli akan bertemu kembali dengan konselor pada batas waktu yang
telah disepakati bersama. Pada tahap ini, konselor menanyakan
perkembangan perubahan perilaku konseli. Apabila konseli tidak atau
belum berhasil melakukan apa yang telah direncanakannya, perminta
maaf konseli atas kegagalannya tidak untuk dipenuhi konselor.
Sebaliknya konselor mengajak konseli untuk melihat kembali rencana
tersebut dan mengevaluasinya mengapa konseli tidak berhasil. Konselor
selanjutnya membantu konseli merencanakan kembali hal-hal yang
belum berhasil Ia lakukan.
h. Tahap kedelapan : tindak lanjut
Merupakan tahap terakhir dalam konseling. Konselor dan konseli
mengevaluasi perkembangan yang dicapai, konseling dapat berakhir atau
dilanjutkan jika tujuan yang telah ditetapkan belum tercapai.
2. Fungsi & Peran Konselor
Konselor mempunyai tugas dasar yaitu melibatkan dirinya dengan
klien dan kemudian membuatnya menghadapi kenyataan. Konselor tidak
membuat pertimbangan-pertimbangan nilai dan putusan-putusan bagi para
klien, sebab tindakan demikian akan menyingkirkan tanggung jawab yang
mereka miliki. Adapun fungsi konselor realitas adalah sebagai guru
pembimbing untuk kliennya, dan sebagai role model yang baik. Terapis
realitas harus menekankan bahwa yang dicari dalam terapi ini bukanlah
hanya semata mata kebahagiaan saja, tetapi juga mampu menerima tanggung
jawab. Oleh karena itu, terapis realitas diharapkan memberikan pujian saat
klien bertindak secara bertanggung jawab dan menunjukkan
ketidaksetujuannya saat klien bertindak tidak tanggung jawab.
Peran terapis realitas yang lainnya dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Melibatkan diri dengan klien dan kemudian membuatnya
menghadapi kenyataan.
b. Memasang batas-batas terapeutik (berkaitan dengan terapi).
c. Terapis realitas harus aktif, mendidik, membimbing, mendorong
dan menantang klien untuk dapat bertanggung jawab pada
tingkah lakunya. Dan membuat klien dapat menilai tingkah
lakunya secara realistis.
3. Pengalaman Konseling
Para konseli dalam konseling realitas bukanlah orang-orang yang telah
belajar menjalani kehidupan secara bertanggung jawab, melainkan orang-
orang yang termasuk tidak bertanggung jawab. Meskipun tingkah lakunya
tidak layak, tidak realistis, dan tidak bertanggung jawab, tingkah laku para
klien itu masih merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan- kebutuhan
dasar mereka akan cinta dan rasa berguna. Tingkah laku mereka itu pun
merupakan upaya untuk memperoleh identitas meskipun boleh jadi "identitas
kegagalan". Perhatian konselor diberikan kepada orang yang belum belajar
atau kehilangan kemampuan untuk menjalani kehidupan yang bertanggung
jawab.
Para konseli diharapkan berfokus kepada tingkah laku mereka
sekarang alih-alih kepada perasaan-perasaan dan sikap-sikap mereka.
Konselor menantang para konseli untuk memandang secara kritis apa yang
mereka perbuat dengan kehidupan mereka dan kemudian membuat
pertimbangan-pertimbangan nilai yang menyangkut keefektifan tingkah laku
mereka dalam mencapai tujuan- tujuan. Karena para konseli bisa
mengendalikan tingkah lakunya lebih mudah daripada mengendalikan
perasaan-perasaan dan pikirannya, maka tingkah laku mereka itu menjadi
fokus terapi. Jika seorang konseli mengeluh bahwa dirinya merasa cemas,
konselor bisa bertanya kepada klien, "Apa yang Anda lakukan untuk
membuat diri sendiri tidak cemas?" Fokusnya bukanlah perasaan cemas,
melainkan membantu konseli agar memperoleh kesadaran atas apa yang
dilakukannya sekarang yang menjadikan dirinya cemas. Pemeriksaan dan
evaluasi atas apa yang dilakukan oleh konseli secara berkesinambungan
dilakukan selama terapi.
Setelah para konseli membuat penilaian tertentu tentang tingkah
lakunya sendiri serta memutuskan bahwa mereka ingin berubah, mereka
diharapkan membuat rencana-rencana yang spesifik guna mengubah tingkah
laku yang gagal menjadi tingkah laku yang berhasil. Para konseli harus
membuat suatu komitmen untuk melaksanakan rencana-rencana ini; tindakan
menjadi keharusan. Mereka tidak bisa menghindari komitmen dengan
mempersalahkan, menerangkan, atau memberikan dalih. Mereka harus
terlibat aktif dalam pelaksanaan kontrak-kontrak terapi mereka sendiri secara
bertanggung jawab apabila ingin mencapai kemajuan.
Berikut merpakan contoh kasusnya. Roro akhir-akhir ini sangat malas
untuk belajar. Dia lebih memilih untuk bermain games daripada belajar.
Ketika konselor sedamg mengadakan konseling realitas, konselor
mendapatkan informasi bahwa Roro sangat ingin mengikuti olimpiade
biologi. Dia menyukai mata pelajaran biologi, namun nilainya hanya pas-pas
an. Bukan semangat mengejar/ mengikuti seleksi olimpiade, Roro malah
menjadi malas untuk belajar dan memilih games.
Konselor lalu menanyakan Want (keinginan) Roro, yaitu mengikuti
olimpiade biologi. Lalu digali lebih jauh ke Doing (perilaku). Apa yang
sudah dilakukan Roro, apakah itu efektif atau tidak untuk mencapai
keinginannya. Kemudian dilanjutkan dengan evaluation (evaluasi) yang
berisi evaluasi perilaku, apakah benar ataukah salah. Kemudian digali lebih
jauh lagi untuk menentukan planning (rencana). Dalam tahap ini konseli
memikirkan perilaku apa yang bisa membuat keinginannya tercapai. Seperti
lebih giat rajin, kapan mulai belajar, bagaimana memanage waktu belajar dan
bermain, dan sebagainya.
4. Hubungan Konselor & Konseling
a) Konselor
Tugas utama konselor adalah menjadi terlibat dengan konselinya
dan kemudian menghadapi konseli dengan mengusahakan agar konseli
mengambil keputusan. Konselor bertugas melayani sebagai pembimbing
untuk membantu konseli menaksir tingkah laku mereka secara realistis.
Konselor diharapkan memberi hadiah bila konseli berbuat dalam
cara yang bertanggungjawab dan tidak menerima setiap penghindaran
atas kenyataan atau tidak mengarahkan konseli menyalahkan setiap hal
atau setiap orang. Beberapa kualitas pribadi yang harus dimiliki konselor
adalah kemampuan untuk sensitif, untuk mencapai kebutuhan mereka
secara terbuka, tidak untuk menerima ampunan, menunjukkan dukungan
yang terus menerus dalam membantu konseli, untuk memahami dan
memberikan empati konseli, dan untuk terlibat dengan tulus hati.
b) Konseli
Dalam konseling realita, pengalaman yang perlu dimiliki oleh
konseli adalah peran konseli memusatkan pada tingkah laku dalam
proses konseling (konseli diharapkan memusatkan pada tingkah laku
mereka sebagai ganti dari perasaan dan sikap-sikapnya), konseli
membuat dan menyepakati rencana (ketika konseli memutuskn untuk
bagaimana mereka ingin berubah, mereka diharapkan untuk
mengembangkan rencana khusus untuk mengubah tingkah laku gagal ke
tingkah laku berhasil), konseli mengevaluasi tingkah lakunya sendiri,
dan konseli belajar kecanduan positif (dalam hal ini Glasser
mengungkapkan pentingnya belajar tanpa kritik dari orang lain dalam
setiap usaha kita).
c) Situasi Hubungan
Konseling realita didasarkan pada hubungan pribadi dan
keterlibatan antara konseli dan konselor. Konselor dengan kehangatan,
pengertian, penerimaan dan kepercayaan pada kapasitas orang untuk
mengembangkan identitas berhasil, harus mengkomunikasikan dirinya
kepada konseli bahwa dirinya membantu. Melalui keterlibatan ini,
konseli belajar mengenai hidup daripada memusatkan pada mengungkap
kegagalan dan tingkah laku yang tidak bertanggungjawab. Kunci
konseling realita adanya kesepakatan / komitmen dalam membuat
rencana dan melaksanakannya. Perencanaan yang telah dilakukan oleh
konseli dinilai positif jika ditulis dalam kontrak. Dalam konseling realita
ditekankan tidak adanya ampunan / no excuses ketika konseli tidak
melaksanakan rencananya
D. Teknik
Pelaksanaan Konseling realita, menurut Corey (1982), terdapat beberapa teknik
yang dapat dilaksanakan yaitu :
1. Melakukan main peran dengan klien.
2. Menggunakan humor
3. Mengkonfrontasi klien dengan tidak memberikan ampunan atau tidak
menerima dalih.
4. Membantu klien merumuskan rencana perubahan.
5. Melayani klien sebagai model peranan dan guru.
6. Menentukan batas-batas dan struktur konseling yang tepat dan jelas.
7. Menggunakan verbal shock atau sarkasme yang tepat untuk menentang klien
dengan tingkah lakunya yang tidak realistis.
8. Terlibat dengan klien dalam mencari hidup yang lebih efektif.
Adapun teknik-teknik yang digunakan dalam proses konseling realita adalah
sebagai berikut.
1. Memperkuat tingkah laku
2. Shaping adalah metode mengajarkan tingkah laku dengan terus menerus
melakukan aproksimasi dan membuat rantai hubungan.
3. Behavioral contract, syarat mutlak untuk memantapkan kontrak behavioral
adalah batasan yang cermat mengenai masalah konseli, situasi dimana hal itu
diekspresikan dan kesediaan konseli untuk mencoba prosedur itu.
4. Assertive training, dapat diterapkan pada situasi-situasi interpersonal dimana
individu yang mempunyai kesulitan perasaan sesuai atau tepat untuk
menyatakannya.
5. Modeling, digunakan untuk tujuan: mempelajari tingkah laku baru,
memperlemah atau memperkuat tingkah laku yang siap dipelajari, dan
memperlancar respon.
6. Proses mediasi, proses mediasi melibatkan atensi, retensi, reproduksi motorik
dan insentif.
7. Live model dan symbolic model. Live model artinya model hidup, dan symbolic
model artinya tingkah laku model ditunjukkan melalui film, video dan media
rekaman lain.
8. Behavior rehearsal, dilakukan dalam suasana yang mirip dengan lingkungan
nyata konseli.
9. Cognitive restructuring. Proses menemukan dan menilai kognisi seseorang,
memahami dampak negatif pemikiran tertentu terhadap tingkah laku dan
belajar mengganti kognisi tersebut dengan pemikiran yang lebih realistic dan
cocok.
10. Covert reinforcement, yaitu memakai imaji untuk menghadiahi diri sendiri.
11. Metaphor, Konselor menggunakan teknik ini seperti senyuman, imej, analogi,
dan anekdot untuk memberi konseli suatu pesan penting dalam cara yang
efektif. Konselor juga mendengarkan dan menggunakan metaphor yang
ditampilkan diri konseli.
12. Hubungan, Menggunakan hubungan sebagai bagian yang asensial dalam
proses terapoutik. Hubungan ini harus memperlihatkan upaya menuju
perubahan, menyenangkan, positif, tidak menilai, dan mendorong kesadaran
konseli.
13. Pertanyaan, Konselor menekankan evaluasi dalam perilaku total, asesmen
harus berasal dari konseli sendiri. Konselor tidak mengatakan apa yang harus
dilakukan konseli, tetapi menggunakan pertanyaan yang terstruktur dengan
baik untuk membantu konseli menilai hidupnya dan kemudian merumuskan
perilaku-perilaku yang perlu dan tidak perlu diubah.
14. Intervensi paradoks, Terinspirasi oleh Frankl (pendiri konseling Gestalt),
Glasser menggunakan paradoks untuk mendorong konseli menerima
tanggung jawab bagi perilakunya sendiri. Intervensi paradoksikal ini
memiliki dua bentuk rerabel atau reframe dan paradoxical prescription.
15. Pengembangan keterampilan. Konselor perlu membantu konseli
mengembangkan keterampilan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan-
keinginannya dalam cara yang bertanggung jawab. Konselor dapat mengajar
konseli tentang berbagai keterampilan seperti perilaku asertif, berpikir
rasional, dan membuat rencana.
16. Adiksi positif. Menurut Glasser, merupakan teknik yang digunakan untuk
menurunkan berbagai bentuk perilaku negatif dengan cara memberikan
kesiapan atau kekuatan mental, kreatifitas, energi dan keyakinan. Contoh :
mendorong olahraga yang teratur, menulis jurnal, bermain musik, yoga, dan
meditasi
17. Penggunakan kata kerja. Dimaksudkan untuk membantu konseli agar mampu
mengendalikan hidup mereka sendiri dan membuat pilihan perilaku total
yang positif. Daripada mendeskripsikan konseli dengan kata-kata: marah,
depresi, fobia, atau cemas konselor perlu menggunakan kata memarahi,
mendepresikan, memfobiakan, atau mencemaskan. Ini mengimplikasikan
bahwa emosi-emosi tersebut bukan merupakan keadaan yang mati tetapi
bentuk tindakan yang dapat diubah.
18. Konsekuensi natural. Konselor harus memiliki keyakinan bahwa konseli
dapat bertanggung jawab dan karena itu dapat menerima konsekuensi dari
perilakunya. Konselor tidak perlu menerima permintaan maaf ketika konseli
membuat kesalahan, tetapi juga tidak memberikan sanksi. Alih-alih konselor
lebih memusatkan pada perilaku salah atau perilaku lain yang bisa membuat
perbedaan sehingga konseli tidak perlu mengalami konsekuensi negatif dari
perilakunya yang tidak bertanggung jawab.
Daftar Pustaka
Daud, A. (2019). Penanganan Masalah Konseli Melalui Konseling Realitas. Jurnal
Al-Taujih: Bingkai Bimbingan Dan Konseling Islami, 5(1), 80-91.
Gerald Corey, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, Hal. 274-277.
Glasser, W. (1990). Reality therapy.A new approach to psychiatry. Halaman 5 21.1st
ed.
Harper & Row. New York-Wubbolding, R.E. (2002). Choice Theory, Encyclopedia
of Psychotherapy, volume 2, halaman 489-494. Elsevier Science, Philadelphia
-https://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/07/14/terapi-realitas/
Potabuga, Y. F. (2020). PENDEKATAN REALITAS DAN SOLUTION FOCUSED
BRIEF THERAPY DALAM BIMBINGAN KONSELING ISLAM. Al-
Tazkiah: Jurnal Bimbingan dan Konseling Islam, 9(1), 40-55.