Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH FILSAFAT PENDIDIKAN

“HAKIKAT MANUSIA”

Dosen Pengampu : Mohammad Wahyudin, M. Pd.I

Disusun Oleh :

1. M. Syafiq
2. Annisa Rizki Ardiyanti
3. Nur Sakinatun Baity

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAM ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM BAKTI NEGARA TEGAL

TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

.‫السالم علبكم ورحمة هللا وبركاته‬

‫وله‬66‫الحمد هلل على اإحسانه والشكر له على توفيقه وامتنانه وأشهد ان ال االه إال هللا تعظيما لشأنه وأشهد أن محمدا عبده وس‬
‫ أما بعد‬،‫الداعي إلى رضوانه صلوات ربي وسالمه عليه وعلى آله وأصحابه إلى يوم لقاء ربه‬

Pertama-tama kami panjatkan puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini
untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam.

Sholawat serta salam juga tak lupa kita haturkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW.
Semoga kita mendapat syafaat beliau di Yaumul Mahsyar. Amin ya Rabbal ‘Alamin

Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Mohammad Wahyudin, M.Pd.I
selaku dosen pengampu mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam. Kami juga mengucapkan
terima kasih kepada teman-teman yang sudah membantu memberikan semangat untuk kami
dalam menyusun makalah.

Kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam makalah ini yang belum kami
ketahui. Maka dari itu kami mohon saran & kritik dari teman-teman maupun dosen. Semoga
makalah ini bermanfaat bagi penulis dan pembacanya.

Tegal, 5 Oktober 2023

Kelompok 3
DAFTAR ISI

MAKALAH FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM..................................................................

KATA PENGANTAR.....................................................................................................................

BAB I...............................................................................................................................................

PENDAHULUAN...........................................................................................................................

A. Latar Belakang......................................................................................................................

B. Rumusan Masalah.................................................................................................................

C. Tujuan Penulisan..................................................................................................................

BAB II.............................................................................................................................................

PEMBAHASAN..............................................................................................................................

2.2 Hakikat Manusia……………………………………………………………………………6

B. Proses, Tujuan, Dan Fungsi Penciptaan Manusia...........................................................

BAB III..........................................................................................................................................

PENUTUP.....................................................................................................................................

A. Kesimpulan........................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia dalam pendidikan menempati posisi sentral, karena manusia disamping dipandang
sebagai subjek, ia jiga dilihat sebagai objek pendidikan itu sendiri. Sebagai subjek, manusia
menentukan coarak dan arah pendidikan, manusia khususnya manusia dewasa bertanggung jawab
dalam menyelenggarakan pendididikan dan secara moral berkewajiban atas perkembangan pribadi
peserta didik.

Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna, karena manusia dibekali
dengan berbagai kelebihan disbanding dengan makhluk lain, yaitu nafsu (sifat dasar iblis),
taat/patuh/tunduk (sifat dasar malaikat) dan akal (sifat keistimewaan manusia). Ketiga hal tersebut
membuat manusia memiliki kedudukan yang tinggi di hadapan-Nya. Dengan adanya akal membuat
manusia selalu ingin tahu tentang apapun yang terjadi dalam kehidupan.

Kajian dan telaah keilmuan tentang manusia ternyata masih “terganjal” oleh kemampuan
rasio atau akal manusia. Konsep dan teori yang dihasilkan sudah cukup banyak, namun belum satupun
yang mengarah kepada pengakuan terhadap eksistensi sebagai makhluk ciptaan. Beda dengan
pendekatan filsafat Pendidikan Islam yang meletakan posisi manusia pada statusnya sebagai makhluk
ciptaan Allah SWT. Atas dasar sudut pandang ini, maka telaah terhadap hakikat manusia harus
ditelusuri dari informasi yang bersumber dari Sang Pencipta yaitu kitab suci.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana konsep manusia dengan sebutan al-nas, al-bashar, dan bani adam dalam
pandangan filsafat Pendidikan?
2. Bagaimana proses, tujuan, dan fungsi penciptaan manusia?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui konsep manusia dengan sebutan al-nas, al-bashar, dan bani adam dalam
pandangan filsafat Pendidikan
2. Mengetahui proses, tujuan dan fungsi penciptaan manusia.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Hakikat Manusia

1. Al-Nas

Kata An-nas (‫ )الناس‬dalam al-Qur’an disebutkan sebanyak 241 kali dan tersebar dalam
55 surat[1]. Dalam Al-Qur’an kata ini menjelaskan tentang eksistensi manusia sebagai
makhluk hidup dan makhluk sosial secara keseluruhan tanpa melihat status keimanan dan
kekafirannya, atau menunjukan kepada keterangan yang jelas tentang keturunan nabi adam.

١٣ ‫ر‬ٞ‫َٰٓيَأُّيَها ٱلَّناُس ِإَّنا َخ َلۡق َٰن ُك م ِّم ن َذ َك ٖر َو ُأنَثٰى َو َجَع ۡل َٰن ُك ۡم ُش ُع وٗب ا َو َقَبٓاِئَل ِلَتَع اَر ُفٓو ْۚا ِإَّن َأۡك َر َم ُك ۡم ِع نَد ٱِهَّلل َأۡت َقٰى ُك ۚۡم ِإَّن ٱَهَّلل َع ِليٌم َخ ِبي‬

Artinya: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi
Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Mengenal( Q.S Al-Hujarat 49:13). Hakikatnya manusia cenderung hidup menetap
dalam komunitas. Mulai dari unit sosial terkecil, yakni keluarga hingga ke bentuk komunitas
yang lebih besar seperti masyarakat dan bangsa[2].

Kehidupan sosial hanya akan jadi baik bila hubungan antar warganya berjalan secara
harmonis. Untuk itu, perlu adanya semacam aturan yang dapat dijadikan norma dan
kesepakatan dalam tatanan kehidupan bersama. Al-Qur’an Menginformasikan: “ Manusia
adalah umat ya3ng satu (setelah timbul perselisihan) maka Allah mengutus para Nabi,
sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan dan Allah menurunkan bersama
mereka Kitab yang benar untuk memberi keputusan di antara manusia tentang masalah yang
mereka perselisihkan.” (QS 2: 213).

Penjelasan Kitab Suci ini menggambarkan bahwa silang sengketa antar manusia (Al-
Nas) sepenuhnya disebabkan oleh ulah manusia itu sendiri. Gagal berpedoman ke prinsip
asal-usul yang satu dan untuk saling mengenal antar sesama. Melupakan pedoman dan
ketentuan aturan dari Sang Maha Pencipta. Enggan mematuhi pesan-pesan para Rasul utusan
Allah. Pesan Rasul SAW: " Manusia (Al-Nas) yang paling baik adalah manusia (Al-Nas)
yang paling banyak memberi manfaat bagi manusia lainnya.

Sebagai (Al-Nas) makhluk sosial manusia mustahil dapat hidup sendiri dan mau hidup
menyendiri, apalagi hidup mandiri. Segala apa yang ia miliki dan manfaatkan untuk dirinya
adalah ‘“sumbangan” dari hasil karya dan kreativitas manusia lainnya. Dalam kehidupan, kita
adalah makhluk sosial. Butuh dukungan, interaksi, komunikasi, kerjasama, membutuhkan dan

1 Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Al-Mu’jam al-Mufahras li alfadz al-Qur’an al-Karim, (Beirut: Darul Fikri , 1992),
hlm. 895
2 Prof. Dr. H. Jalaluddin. Filsafat Pendidikan Islam dari Zaman ke Zaman (Jakarta: RajaGrafindo Persada. 2017)
hlm 85-86

3
dibutuhkan oleh orang lain (Leila Mona Ganiem, Republika 23 Maret 2016). Sepasang
Sepatu yang dikenakan di kakinya sudah merupakan hasil kerja sama dari sejumlah manusia
lainnya. Demikian baju makanan ataupun kendaraan yang digunakannya.

2. Al-Bashar

Basyar disebutkan di dalam Al-Qur’an sebanyak 36 kali dalam 26 surat. Secara


harfiah, bani basyr dapat diartikan sebagai keturunan manusia. Hal ini juga berarti bahwa
manusia bukan keturunan makhluk seperti jin malaikat ataupun hewan. Selain itu Al-Basyr
merupakan konsep yang lebih dititikberatkan pada pendekatan biologi. Manusia dilihat dari
sudut pandang struktur dan komposisi tubuhnya secara biologis.

Sebagai makhluk biologis berarti manusia terdiri dari unsur materi, yakni dalam
tampilan bentuk fisik material (Hasan Langgulung, 1987: 289). 4Manusia sebagai basyr, tulis
Aisyah bintu Syati adalah makhluk fisik Yang suka makan, minum dan berjalan ke pasar.
selanjutnya dikemukakannya bahwa aspek fisik itulah yang membuat pengertian basyr
mencakup anak turunan Adam secara keseluruhan. kata basyr yang mengacu kepada makna
seperti itu dikemukakan dalam Al-Quran dalam 35 tempat dan 25 diantaranya menyangkut
sisi kemanusiaan pada Rasul dan Nabi (Aisyah bintu Syati: 1-2).

Al-Basyr juga mengisyaratkan ketelanjangan. Secara fisik tubuh manusia yang


dilapisi kulit itu masih dianggap “telanjang”. Untuk itu manusia masih memerlukan penutup,
yakni pakaian. Lebih jauh M. Quraish Shihab memahami basyr berasal dari akar katanya.
Kata basyr sebenarnya memberi gambaran akan kemuliaan itu, yakni dalam makna
penampakan sesuatu dengan baik dan indah. Dalam ayat Al-Quran dinyatakan: “Dan
diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah, kemudian
tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak.” (QS 30: 2)

Selanjutnya dikemukakan oleh M. Quraish Shihab, dalam ayat tersebut kata basyr
dirangkaikan dengan “bertebaran” yang dapat diartikan dengan berkembang biak dan mencari
rezeki. Kedua hal ini hanya mungkin dilakukan manusia yang dewasa dan bertanggung
jawab. Dengan demikian terlihat basyr dikaitkan dengan kedewasaan dalam kehidupan
manusia yang menjadikan ia bertanggung jawab (M. Quraish Shihab, 1996: 279).[5]

Sebagai makhluk biologis, manusia memiliki dorongan kodrati yang primer yakni
makan minum dan seksual. Islam sebagai agama fitrah mengatur penyaluran dorongan
tersebut. Al-Quran memberikan pedoman: “Hai manusia makanlah yang halal lagi baik apa
yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan karena
sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” QS 2: 167). Dan makanlah
makanan yang halal lagi baik dari apa yang telah Allah karuniakan kepadamu dan
bertakwalah kepada-Nya (QS 5:88).

Dalam statusnya sebagai bani basyr manusia disadarkan bahwa seluruh makanan dan
minuman yang diperolehnya bersumber dari Allah. Apa yang diperolehnya adalah nikmat
4 Langgulung, Hasan. Asas – Asas Pendidikan Islam. (Jakarta: Al-Husna. 1987
5 Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’I atas Berbagai Persoalan Umat. (Bandung: Mizan).
1996
Allah sehingga wajib disyukuri. peringatan yang demikian itu menjadi perlu, agar manusia
jangan sampai lupa akan sumber rezeki yang ia nikmati. Sebab, tak jarang manusia
menganggap bahwa rezeki yang ia nikmati sebab Tak jarang manusia menganggap bahwa
rezeki yang ia miliki adalah hasil usaha dirinya. Sebagai hasil kerja keras atau kepiawaian
yang ia miliki sama sekali menafikan anugerah Allah. Manusia menjadi sombong[6].

Sikap dan perilaku seperti ini sangat tercela. Agar rasa syukur tetap terpelihara, maka
Rasul Saw mengajarkan kaum muslimin untuk menyatakan rasa syukur tersebut dalam doa.
Beliau menyatakan “Makanlah dengan menyebut nama Allah. Dan apabila seorang diantara
kamu makan, maka hendaklah ia menyebut nama Allah Ta'ala. Dan apabila ia lupa, maka
hendaklah ia membaca ‘Bi ism Allah awwaluhu wa akhiruhu’ “dengan menyebut nama
Allah pada permulaan dan sehabis makan.” (Riyadlus Shalihin I: 584)

Demikian pula kebutuhan manusia akan pakaian. Dalam hal ini Al-Quran
menggambarkan hubungan antara aspek jasmani, rohani maupun mental spiritual.
Dinyatakan: Hai anak Adam (manusia), sesungguhnya kami telah menurunkan kepadamu
untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk persiapan. Dan pakaian Takwa itulah yang
paling baik”. (QS 7: 26). Pernyataan ini menjelaskan bahwa manusia dalam kedudukannya
sebagai bani basyr memang membutuhkan penutup tubuh, yakni pakaian. Namun bagi bani
basyr ini tidaklah cukup hanya melengkapi diri dengan penutup tubuh kasar (fisiknya) saja
masih ada penutup tubuh yang dinilai paling utama, yakni pakaian batin. Itulah Takwa.

3. Bani Adam

Umumnya dalam pendekatan antropologi fisik, manusia terbagi menjadi tiga ras
induk, yakni kaukasoid, Negroid, dan Mongolid. Pembagian ini agaknya didasarkan pada
tampilan fisik. Dicirikan oleh kesamaan dan perbedaan secara fisik. Ras kaukasoid dicirikan
oleh tubuh tinggi, kulit putih, hidung mancung, bola mata biru dan rambut pirang. Ras
Negroid bertubuh tinggi, kulit hitam pekat, hidung pesek, bola mata hitam, dan berambut
keriting. Mongolid memiliki tubuh sedang, kulit kuning, hidung sedang, bermata sipit, dan
rambut lurus.

Menurut Sayyid Abd Al-Hamid Al-Zahrawie, berdasarkan pendekatan sejarah


pembagian ras manusia adalah ras Sam, Arya dan Atturania[ 7]. Namun yang jelas, menurut
Al-Quran pada hakikatnya manusia berasal dari nenek moyang yang sama yakni, Adam As
dan Siti Hawa. Adam As adalah manusia pertama yang diciptakan Allah SWT. “Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: “Sesungguhnya aku hendak menjadikan
seorang khalifah di muka bumi.” (QS 2:30). Ayat ini mengisyaratkan bahwa seluruh umat
manusia adalah keturunan Adam As.

Berdasarkan asal usul yang sama ini berarti manusia masih memiliki hubungan darah
serta pertalian kekerabatan dari ras manapun dia berasal. Atas kesamaan ini sudah semestinya
manusia mampu menempatkan dirinya dalam komunitas persaudaraan umat sejagat.

6 Prof. Dr. H. Jalaluddin. Filsafat Pendidikan Islam dari Zaman ke Zaman. (Jakarta: Rajagrafindo Persada) hlm 80
7 Sayyid Abdul Hamid. Tokoh Wanita Sebelum dan Sesudah Islam terj. Ali Ahmad Zen dkk (Bandung: Al-
Ma’arif), 1979
Persaudaraan antar sesama manusia (Ukhuwah basyariyah) dengan merujuk kepada
kesamaan asal usul dan keturunan. Berasal dari nenek moyang yang sama, yakni pasangan
Adam dan Siti Hawa.

Dalam posisinya sebagai makhluk manusia tidak seharusnya dibedakan atas dasar
belakang ras, suku, bangsa, maupun faktor sosiokultural. Juga tidak dibedakan atas
pertimbangan tampilan lahiriah dalam wujud bentuk fisik ataupun kekayaan materi. Penilaian
seperti ini hanya hasil rekayasa manusia. Penilaian manusia oleh manusia. Kecenderungan
yang demikian ini akan memberi peluang terjadinya penghambaan manusia terhadap sesama
manusia. Dengan demikian prinsip kesetaraan antar sesama manusia akan ternoda.

Untuk menghilangkan kasus kemanusiaan yang rumit ini, Al-Quran telah


menyodorkan konsep tepat guna dan tepat sasaran. Al-Quran menyadarkan manusia agar
dapat mengingat kembali status dirinya, yakni sebagai hamba Allah. Dengan demikian yang
paling berhak menilai dirinya adalah Sang Pencipta.

Adapun rujukan satu-satunya dari penilaian tersebut adalah Al-Quran. Kitab suci ini
dengan tegas menyatakan: ”Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya manusia yang paling mulia di
antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.” (QS 49: 13).
Pernyataan ini sekaligus menjelaskan asal-usul manusia, hubungan antar manusia, serta tolak
ukur kemuliaan yang diidentikkan dengan ketakwaan kepada Allah. Jadi bukan didasarkan
pada latar belakang keturunan, kekerabatan, status sosial ataupun kekayaan.[8]

2.2 Proses, Tujuan, Dan Fungsi Penciptaan Manusia

Pada hakikatnya manusia terdiri dari dua unsur yakni jasad (materi) dan ruh
(immateri). Dari kedua unsur yang tidak dapat dipisahkan itu diberi berbagai potensi, seperti
indera (pendengaran, penglihatan, penciuman, dan lain-lain), akal, hati dan lain-lain. Dengan
memberdayakan potensi-potensi tersebut ke jalan Tuhanlah, manusia dikatakan sebagai
sebaik-baik makhluk ciptaaNya dan insan kamil (manusia sempurna).
A. Proses Penciptaan Manusia
Tuhan menciptakan manusia terdiri dari dari unsur ruh (jiwa, roh, ruhNInyawa) dan
jasad. Proses penciptaanyapun rumit dan penuh misteri sebanding dengan jati dirinya yang
unik, misteri dan tak terduga (garaib wa ‘ajaib). Ruhani, dan jasad, adalah dua unsur yang
tidak bisa dipisah satu sama lain dan keduanya merupakan satu kesatuandan saling
menyempurnakan dalam pemebentukan manusia. Setelah ruhani atau jiwa dan jasad bersatu,
disebut insan (manusia) sebagai keseluruhan baik lahir maupun batin. Ruhani tersebut terdiri
dari unsur akal, (kekuatan berrfikir), kalbu (kekuatan merasa dan bartuhan), dan nafs
(kakuatan keinginan). Manusia itu diberi potensi-potensi atau daya-daya (fitrah) yang

8 Prof. Dr. H. Jalaluddin. Filsafat Pendidikan Islam dari Zaman ke Zaman. (Jakarta: Rajagrafindo Persada) hlm 78
bermacam-macam agar ia mampu melaksanakan tugasnya di muka bumi sebagai hamba yang
beribadah dan sebagai khalifah [9].
Dalam membahas hakikat manusia, parah ahli banyak banyak mengutip ayat yang
menjelaskan proses penciptaan manusia, di antaranya:
Artinya : dan sesunggunya kami telah menciptakan manusia dari suatu
saripati(berasal) dari tanah. Kemudian kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan)
dalam tempat yang kokoh(rahim). Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah lalu
segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu kami jadikan
tulang belulang, lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan daging, kemudian kami
jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka maha suci Allah, pencipta yang paling
baik. (Q.S. al-Mu’minun/23:12-14).
Proses jasadiyah manusia mulai dari saripati tanah sampai dari sempurna secara
jasmani jelas termaktub pada ayat diatas. Namun jasad itu ditiupkan roh kedalamnya,
sehingga ia menjadi manusia. Dalam doktrin islam Adam dan Hawa adalah manusia pertama.
Sebelum Adam dijadikan terjadi dialog antara Malaikat dan Tuhan. Ketika Tuhan berfirman
kepada malaikat “ Aku akan menjadikan di atas bumi ini khalifah, lantas malaikat menjawab
“Apakah kamu (Tuhan) akan menjadikan di atas bumi ini orang (manusia) yang hanya akan
menumpahkan darah serta merusaknya?” Allah menjawab:Aku lebih tahu dari apa yang tidak
kau ketahuai.” Setelah Adam di jadikan senbagai manusia Allah mengajarkan semua nama-
nama barang (Q.S. 30-31). [10]
Dan ayat-ayat tersebut di atas maka dapat diambil diskripsi bahwa Adam adalah
manusia pertama, dan dari sejak Adamlah terdapat simbol-simbol (nama-nama) yang
menunjukan terbentuknya suatu unsur kebudayaan yakni bahasa dan ilmu pengetahuan.
Asal usul manusia terbagi kepada dua yakni (1) Adam sebagai nenek moyang
manusia dan (2) manusia pada umumnya sebagai keturunan Adam. Penyebutan asal usul
penciptaan
Adam beragam dalam Alquran. Alquran memaknai istilah fin, turab,
salsal seperti fakhkhar, dan salsal yang berasal dari hama masnun. Berikut uraian satu
persatu:
1. Kata Tin
Kata tin antara lain terdapat pada Q.S. Al-Mukminun(23):12. Pada umumnya para
mufassir mengartikan kata tin dengan sari pati tanah lumpur atau tanah liat.
2. Kata turab antara lain terdapat pada Q.S. Al. Kahf (18): 37; Al-Hajj (22):5; Ali Imran
(3;59); Ar-Rum ((30):20;Fatir (35):11. Muhmaad Jawwad membagi asal-usul penciptaan
manusia menjadi dua yakni (1) langsung dari sari patih tanah tanpa perantara yakni Adam

9 Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam Menuju Pembentukan Karakter Manghadapi Arus


Global, Yogyakarta: Kurnia Alam Semesta, 2016. hlm. 61
10 T. Jacob, dkk. Evolusi Manusia Dan Konsepsi Islam Dimana Letak ADAM Dalam Teori
Evolusi. Bandung:Gema Risalah Press, 1992. hlm. 3.
dan (2) tidak langsung dari tanah seperti menciptakan Bani Adam berasal dari nutfah (mani)
dan darah, yang keduannya berasal dari berbagai macam makanan.
3. Salsal seperti fakhkhar yang berasal dari hama’ masnun
Kata salsal terdapat pada Q.S. Al-Rahman (55):14;Al-Hijr (15): 26 dan 28 dan 33.
Menurut Fachrur Razy (tth), dimaksud dengan salsal ialah tanah kering yang bersuara dan
belum di masak. Salsal sudah dimasak jadilah dia (fakhhar) sebagai komponen penciptaan
Adam. Sedangkan kata salsal yang bersal dari hama’ masnun, menurut al-Maraghi (1974)
ialah tanah kering, keras, bersuara, yang dapat berukir, warna hitam yang dpat diubah-ubah,
yang tuangkan dalam cetakan agar menjadi kering. Seperti barang-barang permata yang
dicairkan dan dituangkan dalam cetakan. [11]
4. Peniupan ruh
Setelah pembentukan fisik mendekati sempurna yakni adanya persenyawaan antara
komponen tin (tanah liat yang berasal dari tanah lumpur yang bersih), turab (saripati tanh),
dan salsal seperti fakhkhar bersal dari hama’ masnun (dari lumpur hitam yang dicetak dan
diberi bentuk), lalu Allah meniupakan Roh-Nya kepada Adam dan sejak itu dia benar-benar
menjadi makhluk yang sesunggunya (jasmani dan ruh) yang sempurna sehingga para
malaikat pun diperintahkan oleh Allah agar tunduk dan bersujud kepada Adam.

B. Tujuan Penciptaan Manusia

Keberadaan manusia di muka bumi ini bukanlah untuk main-main, senda gurau, hidup tanpa
arah atau tidak tahu dari mana datangnya dan mau kemana tujuannya. Manusia yang merupakan
bagian dari alam semesta inipun diciptakan untuk suatu tujuan. Allah menegaskan bahwa penciptaan
manusia dalam firman-Nya surat adz-Dzariyat : 56

‫َو َم ا َخ َلْقُت ٱْلِج َّن َو ٱِإْل نَس ِإاَّل ِلَيْعُبُدوِن‬


Artinya “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengababdi kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat : 56) Dari ayat tersebut dapat diambil
pemahaman bahwa, kedudukan manusia dalam sistem penciptaannya adalah sebagai hamba
Allah. Kedudukan ini berhubungan dengan hak dan kewajiban manusia di hadapan Allah
sebagai penciptanya. Dan tujuan penciptaan manusia adalah untuk menyembah kepada Allah
SWT. Penyembahan manusia kepada Allah lebih mencerminkan kebutuhan manusia terhadap
terhadap terwujudnya sesuatu kehidupan dengan tatanan yang baik dan adil. Karena manusia
yang diciptakan Allah sebagai makhluk yang paling canggih, mampu menggunakan potensi
yang dimilikinya dengan baik, yaitu mengaktualisasikan potensi iman kepada Allah,
menguasai ilmu pengetahuan, dan melakukan aktivitas amal saleh, maka manusia akan
menjadi makhluk yang paling mulia dan makhluk yang berkualitas di muka bumi ini sesuai
dengan fitrahnya masing-masing. [12]
Allah swt memeberikan keutamaan lebih kepada manusia dari pada makhluk yang
lain. Manusia dilantik menjadi Abdullah dan Khalifatullah dimuka bumi ini untuk

11 Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam Menuju Pembentukan Karakter Manghadapi Arus


Global, Yogyakarta: Kurnia Alam Semesta, 2016. hlm. 63-64
12 Tafsir, Ahmad, 2006. Filsafat Pendidikan Islam, Remaja Rosadakarya, Bandung
memakmurkannya. Oleh karena itu dibebenkan kepada manusia amanah Attaklif, dan
diberikankan pula kebebasan dan tanggung jawab memiliki serta memelihara nilai-nilai
kemuliaan. Kemuliaan yang diberikan bukanlah karena bangsanya, warna kulitnya,
kecancikannya, perawakannya, harta, derajatnya, akan tetapi semata-mata karena iman dan
dan taqwanya kepada Allah swt.
Semua itu dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 21 : ‘Hai manusia,
sembahlah Tuhanmu yang Telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar
kamu bertakwa”.
Dan ayat 30
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau
hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui."
Allah swt juga menjelaskan hakikat ciptaan manusia dalam surat az-zariyat ayat 56
yang artinya “ Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah
kepada-Ku ”
C. Fungsi Penciptaan Manusia

Dalam al-Qur’an, manusia berulang kali diangkat derajatnya karena aktualisasi


jiwanya secara positif. Al-Qur’an mengatakan bahwa manusia itu pada prinsipnya condong
kepada kebenaran sebagai fitrah dasar manusia. Allah menciptakan manusia dengan potensi
kecendrungan, yaitu cendrung kepada kebenaran, cendrung kepada kebaikan, cendrung
kepada keindahan, cendrung kepada kemulian dan cendrung kepada kesucian. Firman Allah
dalam al- Qur’an surah ar-Ruum: 30

‫َفَأِقْم َو ْج َهَك ِللِّديِن َح ِنيًفاۚ ِفْطَر َت ٱِهَّلل ٱَّلِتى َفَطَر ٱلَّناَس َع َلْيَهاۚ اَل َتْبِد يَل ِلَخ ْلِق ٱِهَّللۚ َٰذ ِلَك ٱلِّديُن ٱْلَقِّيُم َو َٰل ِكَّن َأْك َثَر ٱلَّناِس اَل َيْع َلُم وَن‬

Artinya : “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), tetaplah atas
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada
fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. ar-
Ruum: 30)

Manusia juga diciptakan sebagai makhluk yang memiliki tiga unsur padanya, yaitu
unsur perasaan, unsur akal dan unsur jasmani. Ketiga unsur ini berjalan seimbang dan saling
terkait antara satu unsur dengan unsur yang lain. William Stren, mengatakan bahwa manusia
adalah Unitas yaitu jiwa dan raga merupakan suatu kesatuan yang tak terpisahkan dalam
bentuk dan perbuatan, jika jiwa terpisah dari raga, maka sebutan manusia tidak dapat dipakai
dalam arti manusia hidup. Jika manusia berbuat, bukan hanya raganya saja yang berbuat atau
jiwanya saja melainkan keduanya sekaligus. Secara lahiriyah memang raganya yang berbuat
yang tampak melakukan perbuatan, tetapi perbuatan raga ini didorong dan dikendalikan oleh
jiwa.[13]

Jadi unsur yang terdapat dalam diri manusia yaitu rasa, akal dan badan harus
seimbang, apabila tidak maka manusia akan berjalan pincang. Sebagai contoh; apabila

13 Shihab, M.Qurasih, 1996. Wawasan al-Qur’an, Mizan, Bandung,


manusia yang hanya menitik beratkan pada memenuhi perasaannya saja, maka ia akan
terjerumus dan tenggelam dalam kehidupan spiritual saja, fungsi akal dan kepentingan
jasmani menjadi tidak penting. Apabila manusia menitik beratkan pada fungsi akal saja, akan
terjerumus dan tenggelam dalam kehidupan yang rasionalistis, yaitu hanya hal-hal yang tidak
dapat diterima oleh akal itulah yang akan dapat diterima kebenaranya. Hal-hal yang tidak
dapat diterima oleh akal, merupakan hal yang tidak benar. Sedangkan pengalaman-
pengalaman kejiwaan yang irasional hanya dapat dinilai sebagai hasil lamunan semata-mata.
Selain perhatian yang terlalu dikonsentrasikan pada hal-hal atau kebutuhan jasmani atau
badaniah, cendrung kearah kehidupan yang materilistis dan positivistis. Maka al-Qur’an
memberikan hudan kepada manusia, yaitu mengajarkan agar adanya keseimbangan antara
unsur-unsur tersebut, yaitu unsur perasaan terpenuhi kebutuhannya, unsur akal juga terpenuhi
kebutuhannya, demikian juga unsure jasmani terpenuhi kebutuhannya (Ahmad Azhar asyir,
1984: 8). [14]

14 Basyir, Ahmad Azhar, 1984. Falsafah Ibadah Dalam Islam. Yogyakarta : Perpustakaan Pusat UII
DAFTAR PUSTAKA

Mughniyah, Muhammad Jawad. 2001. “Fiqh Lima Mazhab, Tarj. Masykur, dkk”. Jakarta: Lentera

Tafsir, Ahmad, 2006. Filsafat Pendidikan Islam, Remaja Rosadakarya, Bandung

Basyir, Ahmad Azhar, 1984. Falsafah Ibadah Dalam Islam. Yogyakarta : Perpustakaan Pusat UII

Quraish Shihab. 1966. Wawasan al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas Berbagai Persoalan Umat.
Bandung : Mizan

Ramayulis dan Nizar. 2009. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia

Anda mungkin juga menyukai