Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

HAKIKAT MANUSIA DAN PROBLEMATIKANYA MENURUT AL-


QUR’AN

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Bimbingan dan Konseling Islam
Dosen Pengampu : Sya’ban Maghfur, M. Pd.

Disusun oleh :
1. Henrik 23080190021
2. Yuni Wulandari 23080210067
3. Tazkiya Rahmadita 23080210075
4. Ana Setyaningrum 23080210054

BIMBINGAN DAN KONSELING PENDIDIKAN ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
2022
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Segala puji bagi Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunianya berupa nikmat sehat wal-afiat
serta telah memberikan kemudahan dalam penyusunan makalah ini, sehingga makalah ini dapat
terselesaikan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentu penyusun tidak akan sanggup untuk
menyelesaikan makalah guna memenuhi tugas mata kuliah Bimbingan dan Konseling Islam yang
berjudul ”Hakikat Manusia dan Problematikanya Menurut Al-Qur’an”. Tidak lupa juga sebagai
penyusun makalah ini, mengucapkan terimakasih kepada Bapak Dosen yang telah membagikan
ilmunya serta memberikan tugas ini, sehingga dapat menambah pengetahuan terkait tema dalam
makalah ini.

Penyusun juga menyadari bahwasanya makalah ini masih jauh dari kata sempurna, serta
masih banyak kesalahan dan kekurangan didalamnya. Sebab, seperti yang kita ketahui bahwa
hakikatnya kesempurnaan hanya milik Allah semata. Namun, tugas makalah ini telah disusun
dengan maksimal diambil dari beberapa referensi buku, jurnal, maupun internet. Oleh karena itu,
penyusun berharap agar pembaca dapat memberikan kritik dan sarannya yang membangun agar
makalah ini menjadi lebih baik lagi nantinya. Apabila ada kesalahan mohon maaf sebesar-
besarnya. Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Salatiga, Maret 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................................................i

DAFTAR ISI..............................................................................................................................................1

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................................2

A. Latar Belakang.................................................................................................................................2

B. Rumusan Masalah............................................................................................................................3

C. Tujuan..............................................................................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................................4

A. Hakikat Manusia..............................................................................................................................4

B. Potensi Manusia...............................................................................................................................7

C. Problematika Manusia Menurut al-Qur’an....................................................................................12

BAB III PENUTUP.................................................................................................................................16

A. Kesimpulan....................................................................................................................................16

B. Saran..............................................................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................................17

1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mengapa manusia dijadikan makhluk termulia disisi Allah swt? dalam melengkapi
keragaman makhluk ciptaan Allah swt maka diciptakan Adam, ada dialog yang menarik
antara Allah swt dengan malaikat dan iblis sebagai makhluk senior sebelum Adam
didalam surga, yaitu ketika Allah swt menetapkan Adam sebagai Khalifah di Bumi. Allah
swt berfirman, “wahai para malaikat, sesungguhnya Aku akan jadikan Adam sebagai
khalifah di Bumi”, kemudian malaikat memohon untuk mengetahui lebih jauh tetang
siapa Adam sebenarnya, dan setelah diadakan penelitian, para malaikat menemukan dua
sifat dasar dalam diri Adam yaitu Syahwat/nafsu dan Ghadab/emosi, dan ketika dua sifat
ini bertemu maka yang terjadi adalah kerusakan.
Setelah malaikat menyampaikan temuannya dihadapan Allah swt maka malaikat
mengajukan diri untuk menjadi khalifah, karena menurut asumsi mereka bahwa malaikat
adalah makhluk yang suci dengan selalu bertasbih dan makhluk yang bersih dengan
selalu bersyukur dan bertahmid serta puji-pujian mulia terhadap Allah swt. Dan
menganggap bahwa Adam belum layak untuk menjadi khalifah di bumi. Namun Allah
swt menghendaki Adam menjadi khalifah dikarenakan dalam diri Adam ada potensi lebih
yang tidah dimiliki oleh malaikat yaitu Ilmu, Adam dirasa bisa bertaqdis, bertahmid dan
bertasbih seperti halnya malaikat dan pula bisa mengetahui dan memahami atas ayat-ayat
Allah swt sehingga kelebihan inilah yang menjadikan Adam lebih layak untuk menjadi
khalifah.
Bumi yang menjadi tempat tinggal ummat manusia adalah gambaran kecil dari
kondisi gambaran surga yang sebenarnya, di bumi terdapat pepohonan, gunung-gunung,
sungai dan lautan, bangunan rumah yang beraneka ragam bentuk, ada budaya masing-
masing kelompok ummat manusia dan lain sebagainya yang ada dalam kehidupan di
bumi ini. Ummat manusia juga demikian adanya, ada ragam suku, tradisi dan budaya
yang terbentang diseluruh hamparan bumi dari timur ke barat.
Mengenai penciptaan manusia, tentunya secara teori biologis kita semua tahu,
bahwa manusia diciptakan dari hasil sel sperma yang membuahi sel telur atau dalam kata
lain yaitu bertemunya sel sperma dengan sel telur sehingga terjadilah pembuahan. Tetapi

2
dalam teori ini tidak disebutkan bagaimana proses peniupan ruh oleh Allah SWT.
Berbeda dengan teori yang ada dalam agama Islam. Pembahasan mengenai manusia ini
sangat luas sekali, banyaknya sudut pandang yang mencoba memahami mengenai awal
mula pencipaan manusia.

B. Rumusan Masalah
1. Seperti apa pengertian hakikat manusia?
2. Apa saja potensi yang dimiliki manusia sebagai makhluk hidup di dunia?
3. Problematika seperti apa yang dihadapi manusia menurut al-Qur’an?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian hakikat manusia.
2. Untuk mengetahui berbagai potensi yang dimiliki manusia sebaga makhluk hidup.
3. Untuk mengetahui berbagai problematika yang dihadapi manusia menurut al-Qur’an.

3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakikat Manusia
Ada berbagai cara untuk memahami hakikat manusia. Dalam pandangan Musa Asy’ari
(2002: 214-216), ada tiga cara atau pendekatan yang dapat ditempuh untuk memahami
hakikat manusia, yaitu melalui pendekatan bahasa, melalui cara manusia menunjukkan
eksistensinya di hadapan makhluk lain, dan melalui hasil karyanya. Dalam tinjauan
bahasa, manusia dapat dipahami dengan melihat makna-makna dari istilah-istilah yang
digunakan untuk menyebut manusia dalam suasana kultur asalnya. Dalam Alquran
(bahasa Arab) kata yang digunakan untuk menyebut manusia ada beberapa kata, yaitu
insan, ins, unas, nas, basyar, bani Adam, dan dzurriyyati Adam.
Kata insan, ins, unas, dan nas memiliki akar kata yang sama yakni hamzah/alif,
nun, dan sin (a-na-sa/‫)أﻧﺲ‬. Kata-kata ini memiliki arti jinak, harmonis, dan tampak.
Menurut Quraish Shihab (1996: 280) pendapat ini, jika ditinjau dari sudut pandang Al-
quran, lebih tepat dari yang berpendapat bahwa kata insan terambil dan kata nasiya yang
berarti lupa, atau nasa-yanusu yang berarti berguncang. Kata ins dan insan meskipun
berasal dari akar kata yang sama tetapi dalam penggunaannya memiliki makna yang
berbeda. Dalam Al-quran kata ins dijumpai sebanyak 18 kali dalam 9 surat. Kata ins
digunakan untuk dihadapkan (berlawanan) dengan kata jinn yang berarti jin atau makhluk
halus, atau dihadapkan dengan kata jaan yang juga bermakna jin. Penyebutan kata ins
yang berlawanan dengan jinn atau jaan ini memberikan konotasi bahwa kedua makhluk
Allah ini memiliki dua unsur yang berbeda, yakni manusia dapat diindera dan jin tidak
dapat diindera, manusia tidak liar sedang jin liar (Mukhtar, 2001:106-107).
Kata insan dijumpai dalam Al-quran sebanyak 65 kali. Penekanan kata insan ini
adalah lebih mengacu pada peningkatan manusia ke derajat yang dapat memberinya
potensi dan kemampuan untuk memangku jabatan khalifah dan memikul tanggung jawab
dan amanat manusia di muka bumi, karena sebagai khalifah manusia dibekali dengan
berbagai potensi seperti ilmu, persepsi, akal, dan nurani. Dengan potensi-potensi ini
manusia siap dan mampu menghadapi segala permasalahan sekaligus mengantisipasinya.

4
Di samping itu, manusia juga dapat mengaktualisasikan dirinya sebagai makhluk yang
mulia dan memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari makhluk lain dengan berbekal
potensi-potensi tadi (Mukhtar, 2001:107). Dengan demikian, kata insan digunakan Al-
quran untuk menyebut manusia dengan segala totalitasnya, jiwa dan raganya. Manusia
dapat diidentifikasi perbedaannya, seseorang dengan lainnya, akibat perbedaan fisik,
mental, kecerdasan, dan sifat-sifat yang dimiliknya.
Kata nas merupakan bentuk jamak dari kata insan yang tentau saja memiliki
makna yang sama. Al-quran menyebutkan kata nas sebanyak 240 kali. Penyebutan
manusia dengan nas lebih menonjolkan bahwa manusia merupakan makhluk sosial yang
tidak dapat hidup tanpa bantuan dan bersama-sama manusia lainnya. Al-quran
menginformasikan bahwa penciptaan manusia menjadi berbagai suku dan bangsa
bertujuan untuk bergaul dan berhubungan antarsesamanya (ta’aruf) (Q.S. al-Hujurat [49]:
13), saling membantu dalam melaksanakan kebajikan (Q.S. al-Maidah [5]: 2), saling
menasihati agar selalu dalam kebenaran dan kesabaran (Q.S. al-‘Ashr [103]: 3), dan
menanamkan kesadaran bahwa kebahagiaan manusia hanya mungkin terwujud bila
mereka mampu membina hubungan antarsesamanya (Q.S. Ali Imran [3]: 112).
Sedangkan kata basyar yang secara etimologis berasal dari kata ba’, syin, dan ra’
(ba-sya-ra/‫)ﺑﺸﺮ‬ berarti sesuatu yang tampak baik dan indah, bergembira,
menggembirakan, menguliti/mngupas (buah), atau memperhatikan dan mengurus suatu.
Menurut al-Raghib al-Ashfahani, manusia disebut basyar karena manusia memiliki kulit
yang permukaannya ditumbuhi rambut dan berbeda dengan kulit hewan yang ditumbuhi
bulu. Kata ini dalam Alquran digunakan dalam makna yang khusus untuk
menggambarkan sosok tubuh lahiriah manusia (Mukhtar, 2001: 104-105). Al-quran
menggunakan kata ini sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan sekali dalam bentuk
mutsanna (dual) untuk menunjuk manusia dari sudut lahiriahnya serta persamaannya
dengan manusia seluruhnya. Karena itulah, Nabi Muhammad saw. diperintahkan untuk
mengatakan: ” Aku adalah basyar (manusia) seperti kamu yang diberi wahyu (Q.S. Al-
Kahfi [18]: 110) (Shihab, 1996: 279).
Kata basyar digunakan Al-quran untuk menyebut manusia dari sudut lahiriah
serta persamaannya dengan manusia seluruhnya. Kata basyar juga selalu dihubungkan
dengan sifat-sifat biologis manusia, seperti asalnya dari tanah, yang selanjutnya dari

5
sperma dan berkembang menjadi manusia utuh (Q.S. al-Mu’minun [23]: 12-14), manusia
makan dan minum (Q.S. al-Mu’minun [23]: 33; Q.S. al-Furqan [25]: 20), dan seterusnya.
Karena itulah, Nabi Muhammad saw. diperintahkan untuk menyampaikan bahwa beliau
sama seperti manusia lainnya. Yang membedakannya hanyalah beliau diberi wahyu (Q.S.
al-Kahfi [18): 110). Kata basyar ini disebutkan Alquran sebanyak 36 kali (Shihab, 1996:
279). Allah Swt. berfirman dalam QS. al-Kahfi: “Katakanlah: Sesungguhnya aku ini
manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan
kamu itu adalah Tuhan yang Esa". (Q.S. al-Kahfi [18]: 110).
Adapun kata bani Adam atau dzurriyati Adam maksudnya adalah anak cucu atau
keturunan Adam. Kedua istilah itu digunakan untuk menyebut manusia karena dikaitkan
dengan kata Adam, yakni sebagai bapak manusia atau manusia pertama yang diciptakan
Allah dan mendapatkan penghormatan dari makhluk lainnya selain iblis (Q.S. al-
Baqarah [2]: 34). Secara umum kedua istilah ini menunjukkan arti keturunan yang
berasal dari Adam, atau dengan kata lain bahwa secara historis asal usul manusia adalah
satu, yakni dari Nabi Adam (Mukhtar, 2001: 109). Dengan demikian, kata bani Adam dan
dzurriyati Adam digunakan untuk menyebut manusia dalam konteks historis. Secara
historis semua manusia di dunia ini sama, yakni keturunan Adam yang lahir melalui
proses secara biologis (Q.S. al-Sajdah [32]: 8). Kata bani Adam disebutkan Alquran
sebanyak 7 kali, di antaranya dalam surat al-A’raf (7): 26, 27, 31, dan 35. Dalam QS. al-
A’raf (7): 31 Allah Swt. berfirman: “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di
setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Q.S. al- A’raf
[7]: 31). Sedang kata dzurriyati Adam hanya disebut sekali, yakni dalam Q.S. Maryam
(19): 58.
Itulah beberapa hakikat manusia ditinjau dari segi bahasa yang memberikan
gambaran yang beragam tentang manusia yang terkait dengan aspek-aspek tertentu yang
lekat dengan eksistensi manusia yang sebenarnya. Asy’ari menambahkan bahwa
pendekatan bahasa juga mengambil makna terhadap pemakaian kata manusia dalam
berbagai proses hubungan dan kegiatan komunikasi antar manusia, bagaimana kata itu
dipakai dalam konteks budaya yang ada, serta dalam konteks apa dan situasi yang

6
bagaimana kata itu biasa digunakan yang membedakannya dengan kata yang lain, seperti
binatang, malaikat, atau yang lainnya (Asy’ari, 2002: 214-215).
Pendekatan kedua adalah melalui cara keberadaan manusia yang sekaligus
membedakannya secara nyata dengan makhluk lainnya, seperti kenyataan sebagai
makhluk yang berjalan di atas dua kaki dan juga kemampuannya berpikir yang hanya
dimiliki manusia sehingga dengan berpikir ini hakikat manusia ditentukan. Berpikir
inilah yang menjadikan manusia berbeda dengan makhluk lain seperti yang dikaji oleh
banyak ahli, terutama filosof (Asy’ari, 2002: 215).
Adapun pendekatan ketiga adalah melalui karya yang dihasilkan manusia.
Manusia menyatakan kualitas dirinya melalui karya yang dihasilkannya. Semakin
berkualitas diri manusia ini, maka akan semakin berkualitas pula karya yang
dihasilkannya. Pendekatan ini membawa pada pemahaman terhadap setting kehidupan
manusia yang kompleks dan termasuk di dalamnya antara lain melalui setting sejarah,
yaitu kapan dan di mana seseorang itu melahirkan karyanya serta setting psikologis yang
menegaskan bagaimana situasi emosional dan intelektual yang melatarbelakangi hasil
karyanya itu. Dengan demikian, hakikat manusia dapat ditentukan dengan sejumlah karya
yang dihasilkannya (Asy’ari, 2002: 216).
Di samping tiga pendekatan yang dikemukakan oleh Musa Asy’ari di atas tentu
masih banyak dijumpai penjelasan tentang hakikat manusia oleh para ahli yang lain.
Dalam perspektif Alquran dapat ditemukan berbagai penjelasan tentang hakikat manusia
dalam berbagai aspek dan konteks yang melingkupinya.
B. Potensi Manusia
Allah menciptakan manusia sebagai makhluk paling sempurna di muka bumi ini jika
dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain. Karena itulah, Allah menjadikan manusia
sebagai khalifah di muka bumi (lihat Q.S. al-Baqarah [2]: 30, Q.S. Yunus [10]: 14, Q.S.
al-An’am [6]: 165, dan Q.S. Fathir [35]: 39). Keunggulan manusia atas makhluk-
makhluk lain terletak pada wujud kejadiannya sebagai ahsani taqwim atau sebaik-baik
ciptaan (Q.S. al-Tin [95]: 4), baik dalam keindahan, kesempurnaan bentuk
perawakannya, maupun dalam kemampuan maknawinya, baik intelektual maupun
spiritual. Semua ini tidak serta merta menjadi keunggulan manusia atas makhluk lain,

7
tetapi harus diikuti oleh pemaksimalan potensi spiritual atau moral yang dimiliki manusia
sehingga menjadi akhlak atau karakter mulia dalam kehidupannya sehari-hari.
Al-quran memberikan berbagai penjelasan tentang penciptaan manusia dalam
berbagai proses yang beragam. Ketika Allah menciptakan Adam (manusia pertama),
Alquran memberikan penjelasan yang cukup singkat, yakni Allah menjadikannya dari
tanah (turab) dengan satu ungkapan “kun fayakun” yang berarti “jadilah!, maka jadilah
Adam” (lihat Q.S. Ali Imran [3]: 59), juga dari shalshal atau tanah liat kering (Q.S. al-
Hijr [15]: 26, 28, 33, dan Q.S. al-Rahman [55]: 14). Pada proses penciptaan manusia
selain Adam Al-quran menjelaskannya dengan berbagai variasi kejadian, yaitu sebagai
berikut:
1. Ada yang menjelaskan penciptaan manusia dari thin/sulalah min thin atau tanah liat
(Q.S. al- An’am [6]: 2, Q.S. al-A’raf [7]: 12, Q.S. al-Isra’ [17]: 61, Q.S. al-
Mu’minun [23]: 12, Q.S. Fathir [35]: 11, Q.S. al-Shaffat [37]: 11, dan Q.S. Shad
[38]: 71 dan 76).
2. Ada yang menjelaskan penciptaan manusia dari nuthfah atau air mani (Q.S. al-Kahfi
[18]: 37, Q.S. al-Mu’minun [23]: 13, Q.S. al-Hajj [22]: 5, Q.S. al-Mu’min [40]: 67).
3. Ada juga yang dijelaskan dengan istilah lain, yakni ma’in mahin atau air yang hina
(Q.S. al-Sajdah [32]: 8) dan ma’in dafiq atau air yang memancar (Q.S. al-Thariq [86]:
6).
4. Ada juga yang menjelaskan penciptaan manusia dari alaq atau segumpal darah
(Q.S. al-Hajj [22]: 5, Q.S. al-Mu’min [40]: 67, Q.S. al-Mu’minun [23]: 13, dan Q.S.
al-Alaq [96]: 2).
Variasi penjelasan tentang penciptaan manusia seperti itu bukan menunjukkan
ketidakpastian mengenai asal kejadian manusia, tetapi lebih menunjukkan bahwa
manusia memiliki berbagai sifat dan karakteristik yang dapat dijelaskan dengan berbagai
asal kejadiannya untuk memberikan pembelajaran dan penyadaran akan eksistensi dirinya
baik dalam hal kelebihan maupun kekurangannya.
Terkait dengan potensi yang dimiliki oleh manusia, Al-quran juga memberikan
penjelasan yang beragam. Dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 31, misalnya, diisyaratkan bahwa
Allah memberikan pembelajaran kepada Adam (manusia) yang dalam waktu singkat
Adam dapat menyebutkan semua nama yang ada di surga. Hal tersebut mengindikasikan

8
bahwa Adam, sebagai manusia pertama, memiliki kecerdasan yang lebih dibandingkan
malaikat dan iblis yang ternyata tidak mampu menyebutkan semua nama yang ada di
surga. Kecerdasan Adam (manusia) ini merupakan potensi yang dapat berkembang dan
juga sebaliknya. Potensi itu akan berkembang, dengan maksimal atau tidak, sangat
tergantung pada pengalaman manusia, terutama dalam menempuh pendidikannya.
Semakin baik pengalaman atau pendidikan manusia maka akan semakin baik tingkat
kecerdasannya. Sebaliknya, semakin buruk pengalaman atau pendidikannya maka akan
semakin buruk pula tingkat kecerdasannya. Untuk mendukung kecerdasan manusia ini,
Allah membekali manusia dengan potensi dasar berupa ruh (nyawa), pendengaran,
penglihatan, dan hati (akal dan nurani) (Q.S. al-Sajdah [32]: 9).
Di atas telah dijelaskan bahwa hakikat manusia terdiri dari unsur jiwa dan raga
(fisik). Jiwa dalam pandangan al-Ashfahani (2007: 72) merupakan unsur manusia yang
sangat pokok dan menentukan eksistensi manusia. Dengan jiwanya, manusia dapat
berpikir, melakukan pekerjaan, mencari ilmu, merasa, membedakan sesuatu, dan lain
sebagainya. Begitu juga, fisik manusia menjadi sehat dan baik juga karena jiwanya.
Senada dengan al-Ashfahani, Fakhruddin al-Razi (w. 1209 M), salah seorang
pemikir etika Islam terkemuka, dalam salah satu bukunya, Kitab al-Nas wa al-Ruh (Kitab
tentang Jiwa dan Ruh), menempatkan manusia pada posisi tertinggi di samping tiga
entitas lainnya, yakni malaikat, binatang, dan benda tak berjiwa. Ia menegaskan, malaikat
memiliki akal tetapi tidak memiliki watak fisik (thabi’ah) dan nafsu. Binatang yang
menurutnya lebih rendah kedudukannya ketimbang malaikat, memiliki watak fisik dan
nafsu, akan tetapi sama sekali tidak memiliki akal. Sedangkan benda tak berjiwa tidak
memiliki akal, watak fisik, dan nafsu. Adapun manusia, menurutnya, menduduki tempat
tertinggi karena memiliki akal, watak fisik, dan nafsu (Fakhry, 1996: 115).
Al-Razi juga menegaskan bahwa manusia memiliki dua unsur pokok, yaitu tubuh
dan jiwa. Ditegaskan, meskipun tubuh dan jiwa manusia menyatu, namun jiwa
merupakan suatu yang lain daripada tubuh baik berdasarkan dalil aqli (rasional) maupun
naqli (kitab suci). Pengetahuan tentang tubuh atau bagian-bagiannya jelas berbeda
dengan pengetahuan tentang jiwa seperti yang diberikan dalam kesadaran diri. Oleh
karena itu, kesadaran diri terlepas dari tubuh dan tetap tak berubah sekalipun perubahan-
perubahan terjadi pada tubuh manusia. Untuk mendukung pendapatnya ini, al-Razi

9
mengemukakan beberapa ayat Alquran, di antaranya adalah Q.S. Ali Imran (3): 169 yang
artinya: “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu
mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki.” Dalam Q.S.
Nuh (71): 25 yang menegaskan bahwa jiwa yang lemah akan dilemparkan ke neraka.
Dalam Q.S. al-Mu’minun (23): 12, 13, dan 14 dinyatakan bahwa penciptaan jiwa lebih
dulu daripada penciptaan tubuh manusia, bahkan dalam Q.S. al-Isra’ (17): 85 dikatakan
bahwa jiwa merupakan kata perintah (amr) daripada penciptaan yang dimiliki oleh tubuh
(Fakhry, 1996: 117).
Al-Razi menambahkan, jiwa dihubungkan dengan tubuh melalui hati (qalb) dan
merupakan pusat pemahaman dan pertimbangan. Pandangan ini sebelumnya telah
dikemukakan oleh Aristoteles dan para pengikutnya. Oleh al-Razi hal ini dikemukakan
kembali dengan menyertakan beberapa ayat Alquran dan serangkaian hadis Nabi untuk
memperkuatnya. Dalam Q.S. al-Baqarah (2): 97, Q.S. al-A’raf (7): 179, Q.S. al-Hajj (22):
46, dan Q.S. al-Zumar (39): 21 dinyatakan bahwa hati adalah penerima ilham atau
perintah Tuhan. Sebagian ahli, misalnya Galen sebagai pengikut Plato, berpendapat yang
sebaliknya, yakni otaklah yang dipandang sebagai pusat pemahaman dan pertimbangan,
sedang hati adalah pusat amarah. Al-Razi tidak setuju dengan pendapat Galen dengan
mengemukakan berbagai argumen logisnya (Fakhry, 1996: 118).
Terkait dengan potensi jiwa yang dimiliki manusia, al-Ashfahani membaginya ke
dalam tiga macam daya, yaitu daya berpikir (al-quwwah al-mufakkarah), daya syahwat
(al-quwwah al-syahwiyyah), dan daya marah (al-quwwah al-hammiyah). Pada daya yang
pertama, yakni daya al-mufakkarah, akan memainkan peran yang sangat penting, bahkan
peran semua muatan yang ada pada daya ini dan daya-daya jiwa lainnya tertumpu pada
peran akal. Karena itu, dapat dikatakan bahwa akal merupakan pusat aktivitas daya al-
mufakkarah. Eksistensi akal sebagai daya al-mufakkarah benar-benar ditampilkan untuk
mengatur dan mengendalikan dua daya jiwa lainnya, bahkan terhadap daya al-
syahwiyyah akal ditempatkan pada bentuk yang bertentangan sebagaimana yang lazim
dilakukan oleh para filosof muslim lainnya pada masa itu. Akal sebagai daya al-
mufakkarah penuh dengan muatan moral, sehingga dengan daya ini pula manusia tidak
saja berbeda dengan binatang dan tumbuh-tumbuhan, akan tetapi juga berbeda dengan
sesama manusia. Akal dengan segala potensinya yang dapat membawa manusia pada

10
tingkat kehidupan terbaik pada akhirnya juga dapat membawa manusia terjerumus pada
tingkat kehinaannya, apabila daya al-syahwiyyah telah menguasai daya-daya jiwa
lainnya, termasuk akalnya (Amril, 2002:153).
Daya jiwa kedua, daya al-syahwiyyah (syahwat) dapat dimaknai sebagai gelora
jiwa untuk meraih segala sesuatu yang diinginkan, sehingga dengan makna ini dapat
dipahami bahwa syahwat dan kelezatan adalah identik. Di mana ada syahwat, maka di
situ ada kelezatan, dan begitu sebaliknya. Dengan pemahaman ini pula dapat dipahami
jika al-Ashfahani mengidentifikasi bahwa kelezatan tidak hanya terdapat dalam makan,
minum, dan hubungan seksual sebagai kelezatan badaniyah saja, tetapi kelezatan terdapat
pula dalam hal ilmu dan hikmah (kebijaksanaan) sebagai kelezatan rasional (‘aqliyyah)
yang dinilainya sebagai kelezatan yang paling mulia (Amril, 2002: 154). Menurut al-
Ashfahani, pertentangan yang tajam antara daya akal dan syahwat telah dimulai dari dua
unsur yang membentuk manusia, yaitu unsur kemalaikatan (malakiyyan) dan unsur
kehewanan (bahimiyyah), sehingga menempatkan manusia pada posisi antara dua unsur
yang saling bertentangan ini. Bila manusia berhasil memberdayakan daya al-mufakkarah
dengan muatannya dan konsekuensi yang dihasilkannya serta mampu pula
mengendalikan daya al-syahwiyyah dengan muatannya, maka manusia akan dapat meraih
tingkat tertinggi malakiyyan rabbaniyyan (kemalaikatan dan ketuhanan). Sebaliknya
kegagalan manusia menguasai daya al- syahwiyyah ini menjadikan manusia akan turun
ke tingkat yang terendah, yakni bahimiyyah (kehewanan) (Amril, 2002: 158).
Daya jiwa yang terakhir, daya al-hamiyyah (gejolak marah), oleh al-Ashfahani
dimaknai sebagai daya ghadlab (marah). Daya ini merupakan daya marah yang terwujud
dalam sikap bertindak karena adanya tekanan dari luar dirinya. Di samping itu,
munculnya daya ghadlab ini juga berkaitan dengan sifat-sifat yang ada pada diri manusia,
seperti sifat ‘ujub (bangga diri), iftikhar (sombong), dan mura’ (hidup berpura-pura).
Sikap ini ada kalanya tampak dalam bentuk sedih, marah, atau bimbang. Daya ini juga
bisa tampil dalam bentuk perubahan wajah, seperti wajah berwarna merah dan
membengkaknya urat leher, atau wajah berwarna hitam. Ada kalnya pula wajah berwarna
pucat jika ditekan oleh rasa cemas. Daya al-hamiyyah dapat dipahami sebagai daya
emosional yang muncul bila ada tekanan-tekanan dari luar. Tampilannya terlihat dalam
sikap dengan rentang yang tertinggi adalah marah, terendah adalah sedih, dan yang

11
pertengahan adalah marah dan dendam. Tampilannya juga terlihat dalam perubahan rona
wajah seperti memerah, memucat, dan menghitam (Amril, 2002: 161).
Tiga daya jiwa manusia di atas sangat menentukan sikap dan perilaku manusia
yang pada akhirnya akan menentukan tingkatan manusia di hadapan makhluk lain atau di
hadapan sesama manusia. Daya al-mufakkarah (daya nalar) sangat berperan dalam
menentukan arah sikap dan perilaku manusia. Kekuatan daya ini mampu meredam
gejolak daya al-syahwiyyah (syahwat) dan daya al-hamiyyah (marah). Sebaliknya, jika
daya al-mufakkarah lemah, maka dua daya yang lain akan menguasai sikap dan perilaku
manusia, sehingga kedua daya itulah yang mengarahkan manusia bersikap dan
berperilaku.
Potensi manusia yang lain seperti yang dinyatakan oleh Al-quran adalah bahwa
setiap manusia dibekali oleh Allah Swt. dengan potensi tauhid (agama). Hal ini
diisyaratkan oleh Alquran dengan persaksian yang diberikan oleh Allah kepada jiwa (ruh)
yang ada pada setiap calon bayi yang masih dalam kandungan sang ibu. Semua jiwa itu
mempersaksikan bahwa Allah sebagai Tuhannya. Demikian firman Allah Swt. dalam
Q.S. al-A’raf (7): 172 yang artinya: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan
keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap
jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab:
"Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu)
agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah
orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)".
C. Problematika Manusia Menurut al-Qur’an
Di dalam al-Qur’an, banyak ayat yang mencela manusia. Dalam hal ini berarti manusia
benar-benar telah berada dalam problematika atau bermasalah. Ayat-ayat tersebut
diantaranya adalah :
1. “…Sesungguhnya manusia itu sangatlah dzalim dan amat bodoh” (QS. Al-Ahzab
(33). 72).
2. “Manusia benar-benar sangat mengingkari nikmat” (QS. Al-Hajj (22). 66).
3. “Ketahuilah, sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena melihat
dirinya serba cukup” (QS. Al-’alaq (96). 6-7).
4. “… Adalah manusia bersifat tergesa-gesa (QS. Al-Isra’ (17). 11).

12
5. “Apabila manusia ditimpa bahaya, dia berdoa kepada Kami dalam keadaan
berbaring atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahanya, dia (kembali) melalui
(jalan yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk
(menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya (QS. Yunus (10). 12).
6. “… Adalah manusia itu sangat kikir (Al-Isra’ (17). 100).
7. “… Manusia adalah makhluk yang paling pandai membantah” (QS. Al-Kahfi (18).
54).
8. “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir, apabila ditimpa
kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila mendapat kebahagiaan ia amat kikir” (QS.
Al-Ma’arij (70). 19-21).
Dari ayat-ayat diatas nampak jelas, bahwa perangai manusia digambarkan oleh al-
Qur’an adakalanya baik dan adakalanya tidak baik, kadang dipuji dan kadang dicaci.
Manusia memiliki kesempurnaan yang potensial dan mereka harus mengarahkan diri
mereka kepada “kesempurnaan positif”, dan tidak sebaliknya. Modal untuk
malaksanakannya telah diberikan oleh Dzat yang menciptakannya, yaitu, fitrah,
nafsu,hati/qold, ruh dan akal. Itulah sedikit gambaran bahwa manusia itu benar-benar
dalam keadaan bermasalah.
Berdasarkan konsep konseling, pribadi tidak sehat (problematika yang dihadapi
manusia) adalah pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan
diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan. Ayat-ayat Al Qur’an di samping
menerangkan tentang pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya
dengan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan, juga menerangkan pribadi yang tidak
mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan Allah Swt.
1. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Diri Sendiri
Al Qur’an menerangkan pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya
dengan diri sendiri adalah pribadi yang akal dan kalbunya tidak berfungsi dengan
baik dalam mengendalikan nafsu, sehingga nafsu berbuat sekehendaknya, penuh
emosi, tidak terkendali dan tidak bermoral. Seperti yang diterangkan dalam firman
Allah SWT dalam Q.S Yusuf (53):
“Dan Aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), Karena Sesungguhnya nafsu
itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh

13
Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha penyanyang.” (Qs.
Yusuf: 53)
2. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Orang Lain
Menurut konsep konseling seperti yang dikemukakan dalam Terapi Adler, Terapi
Behavioral, Transaksional, dan Terapi realita, bahwa pribadi yang tidak mampu
mengatur diri dalam hubungannya dengan orang lain memiliki ciri-ciri kepribadian
pokok:
a. Egois dan tidak mau menyumbang dan lebih suka menerima,
b. Memandang diri sendiri benar sedang orang lain tidak (jelek),
c. Tidak konstruktif, dan
d. Memenuhi kebutuhan sendiri dengan tidak peduli (merampas) hak orang lain.
Bakhil dalam arti egois dan tidak mau menyumbang atau membelanjakan hartanya di
jalan kebajikan. Salah satunya seperti yang disampaikan dalam Q.S Ali-Imran (175):
“Sesungguhnya mereka hanyalah setan yang menakut-nakuti (kamu) dengan teman-
teman setianya, karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah
kepadaKu, jika kamu (memang benar-benar beriman).” (Qs. Ali-Imran: 175)
3. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Lingkungan.
Konsep konseling seperti dikemukakan dalam Terapi Adeler dan Terapi Behavioral,
bahwa pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan
lingkungan adalah pribadi yang tidak mampu berinteraksi dan mengelola
lingkungannya secara baik, sehingga bisa melakukan hal-hal yang membuat
lingkungan menjadi rusak.
Senada dengan konsep konseling di atas, Al Qur’an menerangkan bahwa pribadi
yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan lingkungan adalah
pribadi yang tidak mampu berinteraksi denganlingkungannya secara baik, sehingga ia
tidak peduli dengan kerusakan lingkungan, atau ikut berbuat sesuatu yang bisa
merusak lingkungannya, sekaligus tidak mampu membuat lingkungannya menjadi
kondusif bagi kehidupan Al Qur’an mengungkapkan bahwa terjadinya kerusakan di
bumi ini adalah karena perbuatan manusia. Seperti yang diterangkan pada ayat Ar-
Ruum (41) yang artinya:

14
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan
manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat)
perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (Q.S Ar-rum 41)
4. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Allah Swt.
Konsep konseling tidak ada menerangkan hal ini. Menurut Al Qur’an, pribadi yang
tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan Allah antara lain adalah
pribadi yang kufur dan syirik.
Pribadi kufur adalah pribadi yang tidak beriman dan enggan menjalankan syari’at
Allah (hukum-hukum Allah), termasuk juga sebagai kufur orang yang dengan sengaja
tidak mau menjalankan ibadah kepada Allah Swt., dan tidak menerima dengan syukur
atas segala nikmat yang diberikan Allah (kufur nikmat). Dalam melakukan muamalah
orang yang memiliki kepribadian kufur cenderung berlaku zhalim, mementingkan diri
sendiri tanpa memperhatikan hak orang lain. Dijelaskan dalam Q.S al-Baqarag (6)
yang artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang bersikeras/ngotot dalam mengingkari risalahmu
wahai Muhammad, serta mengingkari juga ayat-ayat yang jelas yang engkau bawa
padahal kebenaran bagi mereka sudah jelas disamping tidak adanya
syubhat/kesamar-samaran serta keyakinan mereka bahwa engkau adalah orang yang
jujur ; (namun begitu) peringatanmu kepada mereka tidak akan bermanfaat sama
sekali bagi mereka karena mereka hanya mengikuti hawa nafsu mereka belaka.” (QS.
A-Baqarah: 6)
Di samping kekufuran, kesalahan yang sangat fatal terhadap Allah Swt. adalah
syirik, yaitu “menyekutukan Tuhan”. Orang yang kena penyakit syirik ini meyakini
bahwa Allah Swt adalah Tuhannya, namun amal perbuatannya diorientasikan bukan
untuk Allah, melainkan untuk sesuatu yang lain, seperti kepada roh halus, atau
semata-mata untuk manusia, baik dalam melakukan ibadah maupun dalam
bermuamalah. Disebutkan dalam Q.S An-Nisa’ ayat 48 yang artinya:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni
segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.
Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa
yang besar.” (QS. An-Nisa’: 48)

15
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Manusia memiliki derajat yang mulia bila dibandingkan dengan ciptaan Allah SWT yang
lain. Keistimewaan ini memberikan manusia kesempatan untuk mengembangkan dirinya
dan merawat kehidupannya di dunia secara mandiri. Sebagai makhluk ciptaan yang
diberikan derajat yang mulia, manusia juga diberikan berbagai potensi dengan tujuan
untuk menjadi sebaik-baiknya khalifah Allah di bumi ini.
Dalam perjalanannya sebagai khalifah di bumi ini, manusia senantiasa bertemu
dengan berbagai masalah. Dalam agama Islam sendiri, masalah-masalah ini identik
dengan ujian atau cobaan yang diberikan oleh Allah SWT. Semua potensi yang dimiliki
manusia harus digunakan semaksimal mungkin untuk menyelesaikan setiap masalah.
Karena setiap ujian atau cobaan yang diberikan akan disesuaikan dengan kemampuan
yang dimilikinya. Namun, bukan berarti hal itu menjadikan manusia pasrah dan tidak
mau berusaha.
B. Saran
Dalam hemat penulis, penulis menyarankan agar para pembaca lebih memperhatikan
keberadaannya di bumi ini. Ada tujuan dari setiap penciptaan yang Allah SWT lakukan.
Jangan sampai para pembaca tidak memiliki tujuan atau bahkan tidak mengetahui tjuan
atas dirinya sendiri. Salah satu kebahagiaan yang ada dalam diri kita sebagai manusia
16
adalah dapat mencapai tujuan. Sehingga sangat penting bagi para pembaca dan penulis
untuk sadar dan berusaha melakukan segala secara maksimal.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Ashfahani, al-Raghib. 2007. Kitab al-Dzari’ah ila Makarim al-Syari’ah. Tahqiq oleh
Abu al Yazid Abu Zaid al-‘Ajami. Kairo: Dar al-Salam li al-Thiba’ah wa al-Nasyr wa
al-Tauzi’ wa al-Tarjamah.

Asy’ari, Musa. 2002. Filsafat Islam: Sunnah Nabi dalam Berpikir. Yogyakarta: Penerbit
LESFI. Cet. III.

Mukhtar, Aflatun. 2001. Tunduk kepada Allah: Fungsi dan Peran Agama dalam Kehidupan
Manusia. Jakarta: Paramadina, Cet. I.

Shihab, M. Quraish. 1996. Wawasan Alquran. Bandung: Mizan. Cet. III.

17

Anda mungkin juga menyukai