Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

PANDANGAN ISLAM TERHADAP MANUSIA

Di susun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Pendidikan Islam


Dosen Pengampu:
Dr. Khairuddin Lubis, M.Pd, MA

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK I

HUSNIYAH 2201010019
ASNAIDA 2201010014
WINDA ANAZUA 2201010172

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS AL-WASHLIYAH MEDAN
T.A. 2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga tugas makalah mata kuliah Ilmu
Pendidikan Islam yang membahas tentang Pandangan Islam Terhadap Manusia
dapat diselesaikan dengan baik dan tepat waktu.

Dalam penyusunan makalah ini, ditulis berdasarkan informasi dari buku,.


Kami menyadari bahwa makalah ini masih kurang sempurna. Untuk itu
diharapkan berbagai masukan yang bersifat membangun demi kesempurnaannya.

Akhir kata, semoga makalah ini dapat membawa manfaat untuk


pembaca.

Medan,12 Oktober 2023

Kelompok 1

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................2
DAFTAR ISI............................................................................................................3
Bab I.........................................................................................................................4
PEMBAHASAN......................................................................................................4
PANDANGAN ISLAM TERHADAP MANUSIA................................................4
HAKEKAT MANUSIA...........................................................................................4
KEDUDUKAN MANUSIA...................................................................................11
HUBUNGAN KEDUDUKAN MANUSIA DENGAN PENDIDIKAN ISLAM . 16

BAB II....................................................................................................................18
ANALISIS KELOMPOK......................................................................................18

BAB III..................................................................................................................20

KATA PENUTUP
KESIMPULAN......................................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................21

3
Bab I

PEMBAHASAN

PANDANGAN ISLAM TERHADAP MANUSIA

A. HAKEKAT MANUSIA
Pengetahuan tentang hakekat dan kedudukan manusia merupakan bagian
amat esensial, karena dengan pengetahuan tersebut dapat diketahui tentang
hakekat manusia, kedudukan dan peranannya di alam semesta ini.
Pengetahuan ini sangat penting karena dalam proses pendidikan manusia
bukan saja objek tetapi juga sebagai subjek, sehingga pendekatan yang harus
dilakukan dan aspek yang diperlukan dapat direncanakan secara matang.
Para ahli dalam berbagai bidang memberikan penafsiran tentang hakekat
manusia. Sastraprateja, mengatakan bahwa manusia adalah milik makhluk
historis. Hakekat manusia sendiri adalah sejarah, suatu peristiwa yang bukan
semata mata datum. Hakekat manusia hanya dapat dilihat dalam perjalanan
sejarah dalam sejarah bangsa manusia. Sastraprateja lebih lanjut mengatakan,
bahwa apa yang kita peroleh dari pengamatan kita atas pengalaman manusia
adalah suatu rangkaian anthropological constants yang dapat ditarik dari
pengalaman sejarah umat manusia yaitu :
1) Relasi manusia dengan kejasmanian, alam dan lingkungan ekologis
2) Ketertiban dengan sesama
3) Keterikatan dengan struktur sosial dan institusional
4) Ketergantungan masyarakat dan kebudayaan pada waktu dan tempat
5) Hubungan timbal balik antara teori dan praktek
6) Kesadaran religius dan para pemeluk agama

4
Keenam anthropological constants ini merupakan satu sitentis dan masing-
masing saling berpengaruh satu dengan lainnya.1
Kalangan pemikir di abad modern, juga membahas tentang hakekat
manusia yang dapat dijumpai. Alexis Carrel misalnya (seorang peletak dasar-
dasar humaniora di Barat), misalnya mengatakan bahwa manusia adalah
makhluk yang misterius, karena derajat keterpisahan manusia dari dirinya
berbanding terbalik dengan perhatian yang demikian tinggi terhadap dunia
yang ada di luar dirinya.
Dalam pada itu Ibn „Arabi melukiskan hakekat manusia dengan
mengatakan bahwa, tak ada makhluk Allah yang lebih bagus dari pada
manusia. Allah SWT membuatnya hidup, mengetahui, berkuasa,
berkehendak, berbicara, mendengar, melihat, dan memutuskan, dan ini adalah
merupakan sifat-sifat rahbaniyah.2
Murthada Mutahhari melukiskan gambaran al-Qur‟an tentang manusia
sebagai berikut :
Al-Qur‟an menggambarkan manusia sebagai suatu makhluk pilihan Tuhan,
sebagai khalifah-Nya di bumi, serta sebagai makhluk yang semi samawai dan
semi duniawi yang dalam dirinya di tanamkan sifat mengakui Tuhan, bebas
terpercaya, rasa tanggung jawab terhadap dirinya maupun alam semesta, serta
dikarunia keunggulan untuk menguasai alam semesta, langit dan bumi.
Manusia dipusakai kearah kecenderungan kepada kebaikan dan kejahatan.
Kemajuan mereka diawali dengan kelemahan dan ketidakmampuan yang
kemudian bergerak kearah kekuatan, tetapi itu tidak akan menghapuskan
kegelisahan mereka, kecuali kalau mereka dekat dengan Tuhan dan
mengingat-Nya. Kapasitas mereka tidak terbatas baik dalam kemampuan
belajar maupun dalam menerapkan ilmu. Mereka memiliki keluhuran dan
bermartabat naluriah. Motivasi dan pendorong mereka dalam banyak hal,
tidak besifat keberadaan. Akhirnya mereka dapat secara leluasa

1
M. Sastraprateja (ed.), Manusia Multideminsional: Sebuah Renungan Filsafat, (Jakarta:
Gramedia, 1982), cet. Ke-I, h. ix-x.
2
Ibn ‘Arabi, dalam Jalaluddin Rahmat, Budhy Munawar-Rachman, (ed), Kontekstualisasi Doktrin
Islam dalam Sejarah, (Jakarta: PT. Temprint, 1995), h. 774

5
memanfaatkan nikmat dan karunia yang dilimpahkan Allah kepada mereka
namun pada saat yang sama, mereka menunaikan kewajiban mereka kepada
Tuhan.
Tetapi dengan kedudukan yang demikian, manusia sering melupakan
hakikat dirinya sebagai hamba Allah. Manusia sring bertindak sewenang-
wenang tidak mematuhi aturan yang mengikat dirinya, dan sering merasah
congkak dan takabur terhadap Allah SWT.3
Dalam rangka menyadarkan manusia akan kedudukan sebagai hamba
Allah, dalam al-Qur‟an terdapat pernyataan agar manusia mau berfikir
tentang asal kejadiannya.
Berdasarkan pandangan para ahli di atas terlihat betapa sulitnya untuk
mencari definisi yang representatif dalam mengenal manusia, setidaknya
disebabkan berbedanya sudut pandang dan kepentingan manusia, serta
pemahaman religius yang dianut oleh manusia. Kacaunya pengetahuan
mengenal hakekat manusia, akhirnya menyebabkan gagalnya usaha-usaha
ilmiah, ideologi dan tatanan sosial untuk memberikan kebahagiaan kepada
manusia di zaman modern ini. Semua itu disebabkan karena ketidaktahuan
manusia mengenal dirinya, atau terlupakannya bagian-bagian tertentu dari
seluruh totalitas manusia sebagai makhluk yang misterius yang tak mampu
untuk menjelajahi seluruh dimensi dari manusia.4
Dengan demikian, manusia sadar akan ketidakmampuan dan
keterbatasannya dalam mengenal dirinya sendiri, dan fenomena alam lainnya.
Pada saat itulah manusia sadar akan kekurangan dan ketidak berdayaannya
dan menyerahkan diri pada kemahakuasaan Allah sebagai zat yang menguasai
alam semesta. Disini manusia memiliki suatu perasaan keagamaan yang patuh
pada kekuataan supranatural, yang dalam bahasa agama islam disebut Allah
SWT. Dari sini pula akhirnya para agamawan mendefinisikan manusia
sebagai makhluk yang beragama. Meskipun demikian definis itu belum bisa

3
Murtadha Mutahhari, Perspektif al-Qur’an tentang Manusia dan Agama, Terjemahan
Jalaluddin Rahmat, (Bandung : Mizan, 1984), h. 121-122
4
Alexis Carrel, Misteri Manusia, terj. Karnia Roesli, (Bandung: CV. Remaja Karya, 1/1987), h. 42-
43.

6
meewakili pengertian hakekat manusia secarah utuh. Untuk itu harus pula
dilihat pengertian manusia dari segi kata yang digunakan :
1. Ditinjau dari segi kata (istilah) yang digunakan
Selanjutnya bagaimana hakekat manusia, untuk itu al-Qur‟an
memperkenalkan tiga kata (istilah) yang bisa digunakan untuk menunjuk
pengertian manusia. Ketiga kata tersebut adalah al-basyar, al-insan, dan
al Nas. Meskipun kenyataannya menunjukan arti pada manusia, akan
tetapi secara khusus memiliki pengertian yang berbeda :
a. Al-Insan terbentuk dari kata nasiya berarti lupa. Kata al-insan
dinyatakan dalam al-Qur‟an sebanyak 73 kali yang disebut dalam 43
surat. Penggunaan kata al-insan pada umumnya digunakan
menggambarkan pada keistimewaan manusia penyandang predikat
khalifah di muka bumi, sekaligus di hubungkan dengan proses
penciptaannya. Keistimewaan tersebut karena manusia merupakan
mahkluk psikis disamping makhluk pisik yang memiliki potensi dasar,
yaitu fitrah akal dan kalbu. Potensi ini menempatkan manusia sebagai
makhluk Allah yang mulia dan tertinggi dibanding makhluk-Nya yang
lain. Nilai psikisnya sebagai al-Insan al-bayan5 yang dipadu wahyu
Ilahiyah akan membantu manusia dalam membentuk dirinya sesuai
dengan nilai-nilai insaniah yang terwujud dalam perpaduan iman dan
amalnya.6 Dengan pengembangan nilai-nilai tersebut, akhirnya
manusia baik proses penciptaan Adam 7 maupun proses manusia Pasca
Adam di alam rahim8 yang berlangsung secara utuh dan berproses.
Bila proses penciptaan manusia sebagai mana di maksud di atas
dianalisa lebih dalam, maka penggunaan kata al-insan pada ayat di
atas mengandung dua dimensi. Pertama, dimensi tubuh (dengan

5
Kata al-insan al-bayan ditafsirkan al-Syaukani kepada manusia yang memiliki kemampuan
berbicara, mengetahui halal dan haram, kemampuan mengembangkan ilmu pengetahuan dan
lain sebagainya. Muhammad Ibnu Ali al-Syaukani, fath al-qadir. (Kairo: Mustafa at-Babi al-Halabi.
1964). H. 465
6
Lihat QS. 95.6
7
Lihat QS. 38:71-72
8
Lihat QS. 23:12-13

7
berbagai unsurnya). Kedua dimensi spritual (ditiupkan-Nya roh-Nya
kepada manusia).9
Dengan demikian kedua dimensi tersebut, memberikan suatu
penegasan, bahwa kata al-Insan mengandung makna akan ke unikan
manusia. Sebab, disamping memiliki kelebihan dan keistimewaan, ia
juga memiliki sifat-sifat keterbatasan, seperti tergesa-gesa, kikir, suka
membantah, resah dan gelisah dan lain sebagainya. 10 Untuk itu, agar
manusia hidup sesuai dengan nilai-nilai Ilahiyah, maka hendaklah
manusia senantiasa tetap menggunakan akal dan seluruh potensi yang
dimilikinya secara optimal, dengan tetap berpedoman kepada ajaran
ilahi dengan tetap mengacu pada nilai-nilai inilah, manusia dapat
mewujudkan dirinya sebagai mahkluk Allah yang mulia. Jika tidak,
manusia akan tergelincir dan terjerumus pada kehinaan, bahkan lebih
hina dari binatang.
b. Kata al-Basyr dinyatakan dalam al-Qur‟an sebanyak 36 kali yang
tersebar dalam 26 surat.11 Secara etimologi al-Basyar merupakan
bentuk jamak dan kata al-Basyar yang berarti kulit kepala, wajah Dan
tubuh menjadi tempat tumbuhnya rambut. Pemaknaan manusia dengan
al-Basyar memberikan pengertian bahwa manusia adalah makhluk
biologis serta memiliki sifat-sifat yang ada di dalamnya, seperti
makan, minum, perlu hiburan, seks dan lain sebagainya. Kata al-
Basyar ditunjukkan kepada seluruh manusia tanpa terkecuali. Ini
berarti Nabi dan Rasul pun memiliki dimensi al-Basyar seperti yang
diungkapkan firman Allah SWT dalam al-Qur'an
Katakanlah : "Sesungguhnya Aku (Muhammad) hanyalah seorang
manusia seperti kamu " (QS. 18: 10)
Ayat tersebut mengisyaratkan kepada kita, bahwa Nabi pun memiliki
sifat basyariah. Penggunaan kata al-basyar mempunyai makna bahwa

9
Lihat Abuddin Nata, et-al, Tema-tema Pokok al-Qur’an, bagian I, (Jakarta: Biro Bintal Spritual
DKI Jakarta, 1993), h. 46
10
Lebih lanjut lihat QS. 17:11, 21:37. 18:54. 77. dan 70-21.
11
Lihat QS. 2:8, 165 dan 204

8
manusia secara umum mempunyai persamaan dengan ciri pokok dari
makhluk Allah lainnya secara umum seperti hewan dan tumbuh-
tumbuhan umpamanya. Ciri pokok yang umum tersebut diantaranya
adalah persamaan, dalam dunia ini memerlukan ruang dan waktu, serta
tunduk terhadap sunnatullah. Secara biologis manusia memiliki
ketergantungan yang sama dengan hewan dan tumbuhtumbuhan
terhadap alam, seperti makan, minum dan lain sebagainya. Dengan
demikian penggunaan kata al-Basyar pada manusia hanya
menunjukkan persamaan dengan makhluk Allah SWT lainnya pada
aspek material atau dimensi alamiahnya saja.
Selanjutnya al-Ghazali12 menyatakan, bahwa manusia
merupakan ciptaan Allah SWT yang terdiri atas dan unsur jasmani dan
rohani. Namun jika manusia ingin hidup sesuai dengan fitrahnya,
sehingga akan membedakan dirinya dengan makhluk Allah lainnya,
maka hendaklah ia mempergunakan unsur psikisnya secara dominan.
Jika tidak, manusia akan kehilangan esensinya sebagai manusia.
c. Kata al-Nas. Kata ini dinyatakan dalam al Qur'an sebanyak 240 kali
yang terbesar dalam 53 surat.13 Kata al-Nas menunjukkan pada
hakekat 131 manusia sebagai makhluk sosial14 dan ditunjukkan kepada
seluruh manusia secara umum15 tanpa melihat statusnya apakah
beriman atau kafir. Penggunaan kata ini lebih bersifat umum dalam
mendefinisikan hakikat manusia, dibanding dengan kata al-Insan.
Selain pengertian di atas, kata al-Nas juga dipakaikan dalam Al
Qur'an untuk menunjukkan bahwa karaktenstik manusia senantiasa
berada dalam keadaan labil. Meskipun telah dianugerahkan Allah
SWT dengan berbagai potensi yang bisa digunakan untuk mengenal
12
Lihat, al-Ghazali dalam Geffery Parinder ( ed ), Man and Hits Gods Eneyelopedia of the World’s
Relegion ( London The Hamlyn Publishing Group Ltd, 1974), h 12.
13
Al-Raghib al- Ishfahany, op. cit. h 28-29
14
Lihat Nurchalish Madjid. Islam Kemoderen dan keinndonesiaan. ( Bandung Mizan 1991 ), h 63
Bandung Muhammad Yusuf Musa, Islam. Suatu Kajian Komprehensif. Terj. A Malik Any ( Jakarta
Raja Wali Press. 1988), h 6
15
Lihat Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Quran terj. Areas Mhyuddin, ( Bandung Pustaka. 1983). h
15

9
Tuhannya, namun hanya sebagian manusia yang mau
mempergunakannya sesuai dengan ajaran Tuhannya. Sedangkan
sebagian yang lain tidak menggunakan potensi tersebut bahkan ada
yang mempergunakan untuk menentang ke- Mahakuasaan Tuhan16
Penunjukkan sifat ini dikatakan Allah SWT ) dengan menggunakan
kata wa min al-Nas . Dengan ber pijak pada pemaknaan tersebut,
dapat dikategorikan manusia sebagai makhluk yang berdimensi ganda,
yaitu sebagai makhluk yang mulia dan tercela. Kata al-Nas juga
dipergunakan al-Qura‟an yaitu untuk penunjukan kepada makna
lawan dari binatang buas17 la diasumsikan sebagai makhluk yang
senantiasa tunduk pada alam dimana ia berada. Kata al- Ins, selalu
dipertentangkan dengan kata al jin yang diartikan kepada makhluk
yang senantiasa melakukan mafsadah di muka bumi.
Pendefinisian yang dinyatakan Allah SWT dalam al-Qur'an
dengan menyebut manusia dengan istilah al-Basyar, Al-Insan dan al-
Nas, memberikan gambaran akan keunikan serta kesempurnaan
manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT. Referensi ini
memperlihatkan bahwa manusia merupakan satu kesatuan yang utuh,
antara aspek ma- terial (fisik) im materil (psikis) yang dipandu oleh
ruh Ilahiah. Antara aspek fisik dan aspek psikis saling berhubungan.
Dan seluruh uraian tersebut di atas kiranya dapat diperoleh
gambaran yang jelas bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki
kelengkapan fisik dan psikis. Dengan kelengkapan fisik, ia dapat
melaksanakan tugas- tugas yang memerlukan dukungan fisik dan
dengan kelengkapan psikis ia dapat melaksanakan tugas-tugas yang
memerlukan dukungan mental. Selanjutnya agar kedua unsur tersebut
dapat berfungsi dengan baik dan produktif, maka perlu dibina dan
diberikan pendidikan yang seimbang, harmonis dan integral.

16
Lebih lanjutt bandingkan, Muhammad Yusuf Musa, Loc. cit
17
Ibn Manzhur, Qamus Lisan al-Arab, juz, 4, (Beirut: Dar al-Mishriyyah, 1992), h. 172

1
B. KEDUDUKAN MANUSIA
Kesatuan wujud manusia antara pisik dan psikis serta didukung oleh
potensi-potensi yang ada membuktikan bahwa manusia sebagai ahsan al-
taqwin dan menempatkan manusia pada posisi yang strategis yaitu:
1) Sebagai Hamba Allah ('abd Allah) dan
2) Khalifah Allah (khalifah Alah fi al-ardhi)
1. Manusia Sebagai Hamba Allah ('abd Allah )

Musa Asy'arie18, mengatakan bahwa esensi abd adalah ketaatan,


ketundukan dan kepatuhan yang kesemuanya itu hanya layak diberikan
kepada Tuhan. Ketundukan dan ketaatan pada kodrat alamiah yang senantiasa
berlaku baginya. Ia terikat oleh hukum-hukum Tuhan yang menjadi kodrat
pada setiap ciptaannya, manusia menjadi bagian dari setiap ciptaan-Nya, ia
bergantung pada sesamanya, hidup dan matinya menjadi bagian dari segala
yang hidup dan mati. Sebagai hamba Allah manusia tidak bisa terlepas dari
kekuasaannya, karena manusia mempunyai fitrah (potensi) untuk beragama.
Mulai dan manusia purba sampai kepada manusia modern sekarang, mengakui
bahwa di luar dirinya ada kekuasaan transendental (Allah).
Hal ini disebabkan karena manusia adalah makhluk yang memiliki
hipotensi untuk beragama sesuai dengan fitrahnya. Pada masa purba, manusia
mengasumsikannya lewat mitos yang melahirkan agama animisme dan
dinamisme. Meskipun dengan pikiran dan kondisi yang cukup sederhana,
manusia dahulu telah mengakui bahwa di luar dirinya ada zat yang lebih
berkuasa dan menguasai seluruh kehidupannya. Namun mereka tidak
mengetahui hakikat zat yang berkuasa. Mereka aplikasikan apa yang mereka
yakini dengan berbagai bentuk upacara ritual seperti pemujaan terhadap batu
besar, gunung, matahari dan roh nenek moyang mereka. Kesemuanya itu
menjadi bukti, bahwa ia adalah makhluk yang memiliki potensi untuk
beragama. Allah SWT berfirman:
Artinya :

18
Musa Asyarie (ed), Islam Kebebasan dan pembaharuan Sosial. Sebuah Bunga Rampai Filsafat.
(Jakarta Sinar Harapan, 1984), h

1
Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama (Allah), tetaplah pada fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah (agama) itu tidak ada
perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui. (QS. 30:30).
Berdasarkan ayat di atas, jelaslah bahwa bagaimanapun primitifnya suatu
suku bangsa manusia, mereka akan mengakui adanya Zat Yang Maha Kuasa
di luar dirinya. Selanjutnya Allah SWT berfirman :
Artinya :
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah-Ku (QS. 51: 56).
Berdasarkan ayat tersebut terlihat bahwa seluruh tugas manusia dalam
hidup ini berakumulasi pada tanggung jawab mengabdi (beribadah) kepada-
Nya.
Pengakuan manusia akan adanya Tuhan secara naluriah menurut informasi
al-Quran disebabkan telah terjadinya dialog antara Allah dan roh manusia tak
kala ia berada di alam arwah. Firman Allah SWT :
Artinya :
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak
Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa
mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu ?" Mereka (anak-
anak Adam menjawab: "Betul (Engkau Tuhan Kami) Kami menjadi saksi
(QS. 7:172).
Dengan demikian kepercayaan dan ketergantungan manusia dengan
Tuhannya, tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia itu sendiri. Karena
manusia telah berikrar sejak alam Mitsak bahwa Allah SWT adalah
Tuhannya.
Menurut Realisme Instinktif kepercayaan manusia kepada Zat Maha
Agung yang ada di luar dirinya diiringi tunduk dan patuh kepada-Nya.
Kepatuhan tersebut kemudian dimanifestaksikannya lewat peribadatan-
peribadatan ritual sehingga manusia memiliki beban dan tugas sebagai
makhluk pengabdi kepada Tuhannya. Dengan demikian, rasa tunduk dan

1
kepatuhan manusia kepada Zat Yang Maha Agung, merupakan tabiat asli
(fitrah) manusia yang dimiliki oleh setiap manusia sebagai nilai ubudiyuh
kepada-Nya.19 Pengenalan dan pengabdian yang dilakukan manusia sebagai
199 realisasi kepatuhan kepada Tuhannya pada mulanya mereka lakukan
sesua dengan keterbatasan akainya. Allah tidak ingin manusia berada selalu
dalam kesesatan. Untuk itu. Allah SWT memperkenalkan kepada manusia 20,
tentang dirinya melalui wahyu-Nya. Sehingga manusia dapat melaksanakan
pengabdiannya sesuai aturan yang dikehendaki Allah.
Dalam konsep animistic,misalnya manusia merasakan ketidak
mampuannya,dan manusia ingin mendapatkan perlindungan dan pertolongan
kepada zat yang maha agung tersebut.namun karena keterbatasan akalnya ia
tidak bisa menemukannya.akhirnya manusia mengkulturkan benda-benda
alam yang dianggapnya mempunyai kekuatan gaib (mana),dan selanjutnya ia
lakukan penyembahan kepada benda-benda tersebut.
Untuk itulah allah mengutus para rasul-Nya sebagai pemberi petunjuk
kepada manusia, mana yang harus mereka sembah sebenarnya. Lewat
instingtif pengakuan akan adanya Zat yang menguasainya, akal, bimbingan,
wahyu (ajaran agama) yang disampaikan dengan perantaraan Rasul, manusia
diharapkan mampu mengenal khaliqnya lewat pengabdian yang
ditunjukkannya dalam kehidupan.
2. Manusia sebagai Khalifah fi al-Ardh

Bila ditinjau,kata khalifah berasal dari fi‟il madli khalafa ( khalafa) yang
berarti “mengganti dan melanjutkan”. Bila pengertian tersebut ditarik pada
pengertian khalifah, maka dalam konteks ini artinya lebih cenderung kepada
pengertian mengganti yaitu proses penggantian antara satu individu dengan
individu yang lain.
Menurut Quraish shihab istilah khalifah dalam bentuk mufrad (tunggal)
yang berarti penguasa politik hanya digunakan untuk nabi-nabi yang dalam

19
Fakir al-Din Muhammad al-Razi, Tafsi al-Fakhir al-Razi. ( Bairut: Dar al-Fikr, 1995 ), cet. Ke-3,
jilid 2. h 180
20
Quraish Shihab, Membumikan al-Quran. ( Bandung Mizan, 1992 ), cet. Ke-2 h

1
hal ini nabi adam as. Dan tidak digunakan untuk manusia biasa digunakan
khala’if yang didalamnya mengetahui arti yang lebih luas, yaitu bukan hanya
sebagai penguasa politik tapi juga penguasa dalam berbagai bidang
kehidupan. Dalam hubungan pembicaraan dalam kehidupan manusia dalam
alam ini, nampaknya lebih cocok digunakan istilah khala’if dari kata khalifah.
Namun demikian yang terjadi dalam penggunaan sehari-hari adalah bahwa
manusia sebagai khalifah di muka bumi. Pendapat yang demikian memang
tidak ada salahnya karena dalam istilah khala’if sudah terkandung makna
istilah khalifah. Sebagai seorang khalifah ia berfungsi menggantikan orang
lain dan menempati tempat serta kedudukkan-Nya. Ia menggantikan orang
lain menggantikan kedudukan kepemimpinannya atau kekuasaannya.
Untuk lebih menegaskan fungsi kekhalifahan manusia di alam ini, dapat
dilihat misalnya ayat-ayat di bawah ini :
Artinya:
Dan dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan dia
meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat
(Qs.al-An‟am,6 :165)
Artinya:
Dialah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi.barang
siapa yang kafir,maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri.
(Qs.Fathir,35:39)
Artinya :
Dan ingatlah oleh kamu sekalian di waktu Allah menjadikan kamu sebagai
pengganti-pengganti (yang berkuasa)sesudah lenyapnya Nuh,dan tuhan telah
melebihkan kekuatan tubuh dan perawakanmu (dari pada kaum nuh ini).
(Qs.Al-A‟raf,7:69)
Ayat-ayat tersebut disamping menjelaskan kedudukan manusia di alam
raya ini sebagai khalifah dalam arti yang lain juga memberi isyarat tentang
perlunya sikap dan moral atau etika yang harus ditegakkan dalam
melaksanakan fungsi sebagai kekhalifahannya itu. Quraish Shihab,
mengatakan bahwa hubungan antara manusia dengan alam atau hubungan

1
manusia dengan sesamanya, bukan merupakan hubungan antara penakluk
dengan ditaklukkan, atau antara tuan dengan hamba, tetapi hubungan
kebersamaan dalam ketundukan kepada Allah swt karena kalaupun manusia
mampu mengelola (menguasai), namun hal tersebut bukan akibat kekuatan
yang dimilikinya, tetapi akibat tuhan menundukkannya untuk manusia.
Oleh karena itu manusia dalam visi kekhalifahannya,bukan saja sekedar
menggantikan,namun dengan arti yang luas ia harus senantiasa mengikuti
perintah yang digantikan (Allah).
Untuk melaksanakan tugasnya sebagai khalifah, Allah telah memberikan
kepada manusia seperangkat potensi (fitrah) berupa aql, qalb, dan nafs.
Namun demikian, aktualisasi fitrah itu tidaklah otomatis berkembang,
melainkan tergantung pada manusia itu sendiri.untuk itu, Allah menurunkan
wahyu-Nya kepada para nabi, agar menjadi pedoman bagi manusia untuk
mengaktualisasikan fitrahnya secara utuh selaras degan tujuan pencptaannya,
sehingga manusia dapat tampil sebagai makhluk allah yang tinggi
martabatnya. Jika tidak, manusia tidak akan berbeda esensinya dengan
hewan.
Dengan kedudukan dan fungsi, serta kelebihan yang diberikan oleh Allah
SWT. Kepadanya melebihi makhluk lain,memiliki konsekuensi nilai moral
religius. Manusia harus mempertanggungjawabkan semua aktifitas
perbuatannya di hadapan khaliknya. Rasulullah SAW bersabda :
Artinya, Dan Ibn ra berkata : Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda :
tiap-tiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan diminta
pertanggung jawaban terhadap apa yang dipimpinnya.(HR.Muttafaq alaih)
Selanjutnya Ahmad hasan firhat, membedakan kedudukan kekhalifahan
manusia pada dua bentuk yaitu : pertama, khalifah kauniyah: dimensi ini
mencakup wewenang manusia secara umum yang telah dianugrahkan Allah
SWT, untuk mengatur dan memanfaatkan alam semesta beserta isinya bagi
kelangsungan kehidupan umat manusia di muka bumi. Pemberian wewenang
dari Allah SWT. kepada manusia dalam konteks ini, meliputi pemaknaan
yang bersifat umum, tanpa dibatasi oleh agama apa yang mereka yakini.

1
Artinya, label kekhalifahan yang dimaksud diberikan kepada semua manusia
sebagai penguasa alam semesta.
Bila dimensi ini dijadikan standard dalam melihat predikat manusia
sebagai khalifah Allah fi-al-ardh,maka akan berdampak negatif bagi
kelangsungan kehidupan manusia dan alam semesta.manusia dengan
kekuatannta akan mempergunakan alam semesta sebagai konsekuensi
kekhalifahannya tanpa kontrol dan melakukan penyimpangan-penyimpangan
dari nilai ilahiyah.akibatnya keberadaannya di muka bumi,bukan lagi sebagai
pembawa kemakmuran,namun cenderung berbuat kerusakan dan merugikan
makhluk Allah lainnya.ketiadaan nilai kontrol inilah yang dikhawatirkan
malaikat tatkala Allah mengutarakan keinginan-Nya menciptakan makhluk
yang bernama manusia.
Kedua,khalifah syar‟iyat.dimensi ini wewenang Allah yang diberikan
kepada manusia untuk memakmurkan alam semesta.hanya saja,untuk
melaksanakan tugas dan tanggung jawab ini,predikat khalifah,secara khusus
ditujukan kepada orang-orang mukmin.hal ini dimaksudkan,agar dengan
keimanan yang dimilikinya,mampu menjadi pilar dan kontrol dalam
mengatur mekanisme alam semesta,sesuai dengan nilai-nilai ilahiyah yang
telah digariskan Allah lewat ajaran-Nya.dengan prinsip ini,manusia akan
senantiasa berbuat kebaikan dan memanfaatkan alam semesta demi
kemaslahatan umat manusia.

C. HUBUNGAN KEDUDUKAN MANUSIA DENGAN


PENDIDIKAN ISLAM
Bila dimensi ini dikembangkan dalam kajian pendidikan,maka dalam
proses mempersiapkan generasi penerus estafet kekhalifahan yang sesuai
dengan nilai-nilai ilahiyah,maka pendidikan yang ditawarkan harus mempu
memberikan dan membentuk pribadi peserta didiknya dengan acuan nilai-
nilai ilahiyah.
Dengan penanaman ini,akan menjadikan panduannya baginya dalam
melaksanakan amanat Allah di muka bumi.kekosongan akan nilai-nilai
ilahiyah,akan mengakibatkan manusia akan bebas kendali dan berbuat

1
sekehendaknya.sikap yang demikian akan berimplikasi timbulnya nilai
egoistic yang bermuara kepada tumbuhnya sikap angkuh dan smbong pada
diri manusia.sikap ini akan berbias kepada tumbuhnya sikap memandang
rendah orang lain.
Berdasarkan uraian di atas,jelaslah bahwa untuk merealisasikan tugas dan
kedudukan manusia tersebut dapat ditempuh manusia lewat
pendidikan.dengan media ini,diharapkan manusia mampu mengembangkan
potensi yang diberikan olleh Allah SWT.,secara optimal,untuk merealisasikan
kedudukan,tugas,dan fungsinya.
Namun tidak semua pendidikan dapat mengemban tugas dan fungsi
manusia tersebut.oleh karena itu,diperukan penataan ulang konsep
pendidikan yang ditawarkan sehingga lebih berperan bagi pengembangan
manusia yang berkualitas,tanpa menghilangkan nilai-nilai fitra yang
dimilikinya.
Dan nampaknya satu-satunya konsep pendidikan yang dapat
dikembangkan adalah konsep penndidikan islam.dengan pendidikan islam
manusia sebagai khalifah tidak akan berbuat sesuatu yang mencerminkan
kemungkaran keada Allah,dan bahkan ia berusaha agar segala aktifitasnya
sebagai khalifah harus dilaksanakan dalam rangka ubudiyah kepada Allah
SWT.

1
BAB II

ANALISIS KELOMPOK

Analisis kami berfokus pada pemahaman tentang hakekat dan kedudukan


manusia. Buku ini menjelaskan bahwa pengetahuan tentang hal tersebut sangat
penting dalam pendidikan manusia, karena manusia bukan hanya sebagai objek
tetapi juga subjek dalam proses pendidikan dan juga menyebutkan bahwa ahli
dalam berbagai bidang memberikan penafsiran tentang hakekat manusia.
Misalnya , Pendapat dari Sastraprateja bahwa manusia adalah makhluk historis
mengungkapkan bahwa hakekat manusia terlihat dalam perjalanan sejarah dan
bukan hanya sebagai data tunggal. Ahli ini juga menekankan bahwa pengalaman
manusia dalam sejarah merupakan rangkaian konstanta antropologis yang dapat
dipetik dari pengalaman umat manusia.
Analisis kami, berfokus pada kedudukan manusia dalam konteks kehidupan yaitu
menjelaskan bahwa kedudukan manusia memiliki dua aspek penting, yaitu
sebagai Hamba Allah dan Khalifah Allah.
Sebagai Hamba Allah, manusia dijelaskan sebagai makhluk yang patuh dan
tunduk kepada Tuhan. Ketundukan ini merujuk pada ketaatan pada hukum-hukum
Tuhan yang mengatur alam semesta dan semua ciptaan-Nya. Manusia dianggap
sebagai bagian integral dari ciptaan Tuhan dan bergantung pada sesama manusia
serta terikat pada siklus hidup dan mati yang berlaku untuk semua makhluk hidup.
Fitrah manusia untuk beragama juga ditekankan, dimulai dari manusia purba
hingga manusia modern.
Sebagai Khalifah Allah, manusia ditempatkan dalam posisi strategis dan memiliki
potensi dan tanggung jawab untuk mengelola dan merawat bumi dan segala isinya
sesuai dengan kehendak Allah. Peran sebagai Khalifah Allah mengimplikasikan
bahwa manusia memiliki tanggung jawab moral dan etis terhadap alam dan
makhluk lainnya.

1
Analisis kami, berfokus pada pemahaman tentang peran manusia sebagai
Khalifah fi al-Ardh atau pengganti di bumi yang menjelaskan bahwa kata
"khalifah" memiliki arti menggantikan atau melanjutkan dalam konteks
penggantian individu dengan individu yang lain.
Menurut Quraish Shihab, istilah "khalifah" dalam bentuk tunggal hanya
digunakan untuk para nabi, seperti Nabi Adam. Namun, untuk manusia biasa,
istilah yang lebih luas seperti "khala'if" digunakan, yang mencakup berbagai
bidang kehidupan bukan hanya penguasaan politik. Dalam konteks percakapan
tentang kehidupan manusia di dunia ini, lebih tepat menggunakan istilah "khala'if"
daripada "khalifah".
Namun demikian, dalam penggunaan sehari-hari, manusia sering disebut sebagai
"khalifah" di muka bumi. Hal ini menunjukkan bahwa manusia memiliki
tanggung jawab sebagai pengganti atau perpanjangan dari peran Allah di dunia
ini. Peran sebagai Khalifah mengimplikasikan adanya tanggung jawab untuk
menjaga dan mengelola bumi serta semua isinya.
Analisis kami berfokus pada hubungan antara kedudukan manusia dan
pendidikan Islam yang menjelaskan bahwa dalam mempersiapkan generasi
penerus yang sesuai dengan nilai-nilai ilahiyah (nilai-nilai yang berasal dari
Tuhan), pendidikan yang disediakan harus mampu memberikan dan membentuk
peserta didik dengan acuan nilai-nilai ilahiyah tersebut.
Melalui pendidikan yang mengajarkan dan menerapkan nilai-nilai ilahiyah,
peserta didik akan memiliki pedoman dalam melaksanakan amanat Allah di dunia
ini. Ketiadaan nilai-nilai ilahiyah dapat mengakibatkan manusia kehilangan
kendali dan bertindak semaunya sendiri. Sikap seperti ini akan berdampak pada
munculnya sikap egoistik yang dapat menyebabkan sifat angkuh dan sombong
pada diri manusia. Sikap ini juga dapat berujung pada pandangan merendahkan
orang lain

1
BAB III

KESIMPULAN
Pengetahuan tentang hakekat dan kedudukan manusia merupakan bagian yang
sangat esensial, karena dapat diketahui tentang hakekat manusia, kedudukan dan
peranannya di alam semesta ini. Pengetahuan ini berbedakan karena dalam proses
pendidikan manusia bukan objek tetapi juga sebagai subjek, sehingga pendekatan
yang harus dilakukan dan aspek yang diperlukan dapat direncanakan secara
matang.
Para ahli dalam berbagai bidang memberikan penafsiran tentang hakekat manusia.
Sastraprateja mengatakan bahwa manusia adalah milikmakhluk sejarah, sejarah,
sejarah, dan ekologis. Konstanta antropologi Keenam ini merupakan situs dan
masing-masing saling mempengaruhi satu sama lain.
Kalangan pemikir di abad modern membahas tentang hakekat manusia yang dapat
dijumpai. Alexis Carrel mengatakan hakekat manusia dengan keterpisahan
manusia dari dirinya yang berbanding terbalik dengan perhatian yang begitu
tinggi terhadap dunia. Ibnu 'Arabi melukiskan hakekat manusia dengan
mengatakan bahwa Allah yang lebih baik dari pada manusia. Muthahhari
melukiskan gambaran al-Qur'an tentang manusia sebagai berikut.
Berdasarkan pandangan para ahli di atas terlihat betapa sulitnya untuk mencari
definisi yang representatif dalam mengenal manusia, setidaknya disebabkan oleh
berbedanya sudut pandang dan kepentingan manusia, serta pemahaman
keagamaan yang dianut oleh manusia. Kacaunya pengetahuan yang mengenal
hakekat manusia, akhirnya menyebabkan usaha-usaha ilmiah, ideologi dan tatanan
sosial untuk memberikan kebahagiaan kepada manusia di zaman modern ini.

2
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
H.Ramayulis, Ilmu pendidikan Islam, Jakarta : Kalam Mulia, 2002.

Anda mungkin juga menyukai