Anda di halaman 1dari 30

ULASAN TEMA KEISLAMAN:

1. KEISTIMEWAAN DAN KEBENARAN KONSEP KETUHANAN DALAM ISLAM


2. SAINS DAN TEKNOLOGI DALAM AL-QUR’AN DAN AL-HADITS
3. GENERASI TERBAIK MENURUT AL-HADITS
4. PENGERTIAN dan JEJAK SALAFUSSOLEH (REFERENSI HADITS)
5. ISLAM, AJARAN TENTANG BERBAGI SERTA KEADILAN PENEGAKAN HUKUM
Disusun sebagai tugas terstruktur Mata Kuliah: Pendidikan Agama Islam
Dosen Pengampuh:
Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos

Disusun Oleh:
Nama : Debby Nuradelia
NIM : E1A020015
Semester : 1 (satu)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MATARAM
T.A. 2020/2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah penulis haturkan kepada ALLAH SWT atas selesainya tugas
ini yaitu artikel pembelajaran tentang keislaman.

Sholawat dan Salam semoga ALLAH limpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW
atas rahmat dan kekuatan-Nya sehingga artikel ini dapat di selesaikan.

Terima kasih saya sampaikan atas bimbingan Bapak Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I.,
M.Sos sebagai dosen pengampuh mata Kuliah Pendidkan Agama Islam yang telah
memberi kami masukan yang sangat bermanfaat selama proses pengerjaan sampai
terselesaikannya artikel ini. Terima kasih pula saya sampaikan kepada teman-teman
seperjuangan yang telah mendukung dan memberi semangat sehingga saya dapat
menyelesaikan tugas ini.

Besar harapan saya artikel ini akan memberi manfaat bagi banyak orang dan menjadi
pendamping dan pendukung kegiatan belajar untuk meningkatkan ilmu pengetahuan
serta dapat menambah wawasan bagi para pembaca tentunya dalam hal keislaman.

Penyusun, Mataram, 16 Oktober 2020

Nama : Debby Nuradelia


NIM : E1A020015

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN COVER....................................................................................... i
KATA PENGANTAR...................................................................................... ii
DAFTAR IS ................................................................................................... iii
BAB I. Keistimewaan dan Kebenaran Konsep Ketuhanan dalam Islam......... 1
BAB II. Sains dan Teknologi dan Al-Qur’an dan Al-Hadit............................... 10
BAB III. 3 Generasi Terbaik Menurut Al-Hadits ............................................. 15
BAB IV. Pengertian dan Jejak Salafussaleh (Referensi Al-Hadits)............... 17
BAB V. Berbagi Penegakan serta Keadilan Hukum dalam Islam ................. 23

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 27


LAMPIRAN ................................................................................................... 27

iii
BAB 1
DAN KEBENARAN KONSEP KETUHANAN DALAM ISLAM “TAUHID & AQIDAH”

A. Filsafat Ketuhanan dalam Islam


1. Siapakah Tuhan itu ?
Perkataan yang selalu diterjemahkan “Tuhan”, dalam Al-Qur’an dipakai untuk
menyatakan berbagai objek yang dibesarkan atau dipentingkan manusia, misalnya
dalam QS al-Jatsiiyah ayat 23:
Artinya : Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya
sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya[1384] dan Allah
Telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas
penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah
(membiarkannya sesat). Maka Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?
Dalam surat Al-Qashash ayat, perkataan illah dipakai oleh fir`aun untuk dirinya sendiri :

“Dan Fir‟aun berkata : wahai para pembesar aku tidak menyangka bahwa kalian
masih mempunyai ilah selain diriku“.
Contoh ayat diatas tersebut menunjukkan bahwa perkataan ilah bisa mengundang
berbagai arti benda, baik abstrak (nafsu atau keinginan pribadi) maupun benda nyata
(fira`un atau penguasa yang dipatuhi dan dipuja). Perkataan illah juga dalam bentuk
tunggal (mufrad ilaahun , ganda (mutsanna ilaahaini) dan banyak (jama‟aalihatun).
Ber-Tuhan nol dalam arti kata tidak bertuhan atau atheisme tidak mungkin. Untuk
dapat mengerti defenisi Tuhan atau ilah yang tepat, berdasarkan logika Al- Quran
sebagai berikut:
Tuhan (ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh manusia
sedemikin rupa sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai oleh-Nya. Perkataan
dipentingkan hendaklah diartikan secara luas. Tercakup didalamnya yang dipuja,
dicintai, diagungkan, diharap-harapkan dapat memberi kemaslahataan atau
kegembiraan dan termasuk pula sesuatu yang ditakuti akan mendatangkan bahaya
atau kerugian.
Menurut Ibnu Taimiyah adalah yang dipuja dengan penuh kecintaan hati, tunduk
kepada-Nya merendahkan diri dihadapinya, takut dan mengharapkannya, kepadanya
umat tempat berpasrah ketika berada dalam kesulitan, berdoa dan bertawakal kepada-

1
Nya dan menimbulkan ketenangan disaat mengingatnya dan terpautnya cinta
kepadanya.

2. Pemikiran Umat Islam


Sehubungan pemikiran Umat Islam terhadap Tuhan melibatkan beberapa kensepsi ke-
esaan Tuhan, diantaranya konsepsi Aqidah dan konsepsi Tauhid.
a. Konsepsi Aqidah.
Dalam kamus Al-Munawir secara etimologis, aqidah berakar dari kata “aqada-ya’qidu-
aqdan” aqidatan yang berarti simpul, ikatan perjanjian dan kokoh. Setelah terbentuk
menjadi aqidah yang berarti keyakinan relevensi antara arti kata aqdan dan aqidah
adalah keyakinan itu tersimpul kokoh dalam hati, bersifat mengikat dan mengundang
perjanjian.
Secara terminologis terdapat beberapa definisi aqidah antara lain:
Menurut Hasan al-Bana dalam kitab majmu’ah ar-rasa, il’Aqaid (bentuk jamak dari
aqidah) adalah beberapa perkara wajib diyakini kebenarannya oleh hati dan
mendatangkan ketentraman jiwa menjadi keyakinan yang tidak bercambur sedikit pun
dengan keragu-raguan.

a) Istilah Aqidah Dalam Al-Quran


Di dalam al-Quran tidak terdapat satu ayat pun yang secara literal menunjuk pada
istilah aqidah. Namun demikian kita dapat menjumpai istilah ini dalam akar kata yang
sama („aqada) yaitu; „aqadat, kata ini tercantum pada ayat:
“Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib
kerabat, kami jadikan pewaris-pewarisnya dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah
bersumpah setia dengan mereka, maka beri kepada mereka bahagiannya,
sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu“ (Q.S An-Nisa; 33)
Kata „aqadum terdapat dalam QS. al-Maidah; 89

“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud


(untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang
kamu sengaja…..”

2
b) Ruang Lingkup Pembahasan Aqidah.
Meminjam sistematika Hasan al-Banna ruang lingkup pembahasan aqidah meliputi:
1. Iyat yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan
(Tuhan/Allah), seperti wujud Allah, nama-nama dan sifat-sifat Allah, perbuatan dan
lain-lain.

2. Nubuwat yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan


Nabi dan Rasul, termasuk pembicaraan mengenai Kitab-Kitab Allah, Mukjizat, keramat
dan sebagainya.

3. Ruhaniyat yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan


alam metafisik seperti Malaikat, Jin, Iblis, setan, Roh dan lain sebagainya.

4. Sam‟iyyat yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang hanya bisa diketahui
lewat sam‟iy yakni dalil naqli berupa al-Quran dan as-sunah, seperti alam barzakh,
akhirat, azab kubur, tanda-tanda kiamat, surga neraka dan seterusnya.
c) Sumber Aqidah Islam
Sumber aqidah Islam adalah al-Quran dan as-Sunnah artinya apa saja yang
disampaikan oleh Allah dalam al-Quran dan Rasulullah dalam Sunnahnya wajib di
imani, diyakini dan diamalkan.

Akal pikiran sama sekali bukan smber aqidah, tetapi merupakan instrument yang
berfungsi untuk memahami nash-nash yang terdapat dalam kedua sumber tersebut
dan mencoba kalau diperlukan membuktikan secara ilmiah kebenaran yang
disampaikan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah. Itupun harus didasari oleh suatu
kesadaran penuh bahwa kemampuan akal sangat terbatas, sesuai dengan terbatasnya
kemampuan kemampuan makhluk Allah. Akal tidak dapat menjangkau masa’il
ghabiyah (maslah-masalah ghaib), bahkan akal tidak akan sanggup menjangkau
sesuati yang terikat oleh ruang dan waktu. Misalnya akal tak akan mampu menunjukan
jawaban atas pertanyaan kekekalan itu sampai kapan berakhir? Atau akal tidak
sanggup menunjukan tempat yang tidak ada didarat dilaut atau diudara dan tidak ada
dimana-mana. Karena kedua hal tersebut tidak terikat oleh ruang dan waktu. Akal
hanya perlu membuktikan jujurkah atau bisakah kejujuran si pembawa risalah tentang
hal-hal ghaib itu bisa dibuktikan secara ilmiah oleh akal pikiran.

3
1. Cara Menetapkan Aqidah
Allah Swt. telah memutuskan dan menetapkan untuk memberikan keterangan-
keterangan disekitar masalah-masalah yang wajib diimani antara lain yang terkandung
dalam rukun Iman. Allah telah menggariskan persoalan tersebut dengan jelas dan
menuntut agar manusia mempercayainya. Iman yang dimaksud itu adalah I‟tiqad
dengan kebulatan hati yang sesuai dengan keadaan yang sebenarnya serta
berlandaskan dalil atau alasan. I‟tiqad semacam itu tentunya tidak dapat diperoleh
dengan dalil-dalil sembarangan, melainkan dengan dalil-dalil yang pasti dan tampa
dicampuri keraguan.
Oleh karena itu Ulama sepakat untuk menetapkan aqidah berdasarkan tiga macam
dalil.
1. Dalil Aqli, dalil ini dapat diterima apabila hasil keputusannya dipandang masuk akal
atau logis dan sesuai dengan perasaan, tentunya yang dapat menimbulkan adanya
keyakinan dan dapat memastikan iman yang dimaksudkan. Dengan menggunakan
akal manusia merenungkan dirinya sendiri dan alam semesta, yang dengannya ia
dapat melihat bahwa dibalik semua itu terdapat bukti adanya Tuhan Pencipta yang
satu.

2. Dalil Naqli, dalil naqli yang tidak menimbulkan keyakinan dan tidak dapat
menciptakan keimanan sebagai yang dimaksud, dengan sendirinya dalil ini tidak dapat
digunakan untuk menetapkan aqidah. Oleh sebab itu Syekh Mahmud Syaltut
mengajukan dua syarat yang harus dipenuhi oleh dalil naqli tersebut dapat
menanamkan keyakinan dan menetapkan Aqidah.Pertama; dalil naqli itu pasti
kebenarannya. Kedua; pasti atau tegas tujuannya. Ini berarti bahwa dalil itu harus
dapat dipastikan benar-benar datang dari Rasulullah tanpa ada keraguan sedikitpun.

3. Dalil Fitrah adalah hakekat mendasari kejadian manusia. Fitrah ini merupakan
perasaan keagamaan yang ada dalam jiwa dan merupakan bisikan batin yang paling
dalam. Dan kesucian ini akan tetap terpelihara manakala manusia selalu
membersihkan jiwanya dari tekanan kekuatan pengaruh nafsu. Bila manusia
membiarkan fitrah dan naluri berbicara, maka dia akan mendapatkan dirinya
berhadapan dengan kekuatan tertinggi diatas kekuatan manusia dan alam. Ia akan
berdoa baik dalam suka maupun duka. Lebih-lebih disaat-saat seperti itulah dia
menghadapkan diri secara ikhlas kepada Tuhannya.

b. Konsepsi Tauhid

4
Tauhid (bahasa Arab: ‫ )توحيد‬merupakan dasar agama Islam yang secara persis
diungkapkan dalam frasa “Lā ilāha illallāh” (Tidak ada yang berhak disembah selain
Allah). Menurut bahasa, tauhid adalah bentuk masdar dari fi'il wahhada-yuwahhidu
yang artinya menjadikan sesuatu jadi satu saja. Sedangkan Syaikh Muhammad bin
Shalih Al Utsaimin menambahkan bahwa makna ini akan sempurna jika ditambahkan
penafikan segala sesuatu selain yang dijadikan satu tersebut Dalam konsep Islam
tauhid adalah konsep dalam akidah Islam yang menyatakan keesaan Allah. Islam
mengajarkan bahwa Allah esa (satu) tidak dari segi bilangan. Melainkan dari segi
bahwa Allah tidak mempunyai sekutu atau serupa. Allah satu dari segi Dzatnya,
dengan makna bahwa tidak ada dzat yang serupa dengan Dzat Allah. Karena Dzat
Allah bukanlah benda dan tidak disifati dengan sifat-sifat benda, karena Allah-lah yang
menciptakan seluruh benda beserta segenap sifat-sifatnya. Allah sudah ada sebelum
seluruh ciptaan ini ada. Allah tidak dapat dibayangkan karena bayangan benak
manusia hanya bisa menjangkau hal-hal yang biasa dijumpai, dilihat, didengar, atau
dirasakannya dengan panca indera. Dan Allah tidaklah serupa dengan hal-hal
demikian. Mengamalkan tauhid dan menjauhi syirik merupakan konsekuensi dari
kalimat syahadat yang telah diikrarkan oleh seorang muslim.
Tauhid sebagai ajaran pokok Islam, adalah menjadi sebuah pendorong bagi umat
Islam dalam melakukan aktivitasnya. Menurut Ali al-Syubki (1961: 16), ajaran tauhid
yang mendasari sikap seorang Muslim, terdiri dari aqliyah (metode berpikir),
khuluqiyah (kepribadian), jismiyah (penampilan), dan iradiyah (kemauan). Sedangkan
menurut Daud Rasyid (2003: 3), ajaran tauhid sebagai sebuah konsep, merupakan
landasan atau prinsip yang khas, mendasari sikap, gerak, dan pola pikir.

1. Tauhid sebagai poros Aqidah Islam.


Ajaran Islam tidak hanya memfokuskan iman kepada wujud Allah sebagai suatu
keharusan fitrah manusia, namun lebih dari itu memfokuskan aqidah tauhid yang
merupakan dasar aqidah dan jiwa keberadaan Islam. Islam datang disaat kemusyrikan
sedang merajalela disegala penjuru dunia. Tak ada yang menyembah Allah kecuali
segelintir umat manusia dari golongan Hunafa, (pengikut nabi Ibrahim as) dan sisa-sisa
penganut ahli kitab yang selamat dari pengaruh tahayul animisme maupun paganisme
yang telah menodai agama Allah. Sebagai contoh bangsa arab jahiliyah telah
tenggelam jauh kedalam paganisme, sehingga Ka‟bah yang dibangun untuk
peribadatan kepada Allah telah dikelilingi oleh 360 berhala dan bahkan setiap rumah
penduduk makkah ditemukan berhala sesembahan penghuninya.

5
2. Pentingnya Tauhid
Tauhid sebagai intisari Islam adalah esensi peradaban Islam dan esensi tersebut
adalah pengesaan Tuhan, tindakan yang mengesakan Allah sebagai yang Esa,
pencipta yang mutlak dan penguasa segala yang ada. Keterangan ini merupakan bukti,
tak dapat diragukan lagi bahwa Islam, kebudayaan dan peradaban memiliki suatu
esensi pengetahuan yaitu tauhid.

3. Tingkatan Tauhid
Tauhid menurut Islam ialah tauhid I,tiqadi-„ilmi (keyakinan teoritis) dan Tauhid amali-
suluki (tingkahlaku praktis). Dengan kata lain ketauhidan antara ketauhidan teoritis dan
ketauhidan praktis tak dapat dipisahkan satu dari yang lain; yakni tauhid bentuk
makrifat (pengetahuan), itsbat (pernyataan), I‟tiqad (keyakinan), qasd (tujuan) dan
iradah (kehendak). Dan semua itu tercermin dalam empat tingkatan atau tahapan
tauhid yaitu;
a. Tauhid Rububiyah
Secara etimologis kata Rububiyah berasal dari akar kata rabb. Kata rabb ini
sebenarnya mempunyai banyak arti antara lain menumbuhkan, mengembangkan,
mencipta, memelihara, memperbaiki, mengelola, memiliki dan lain-lain. Secara
Terminolgis Tauhid Rububiyah ialah keyakinan bahwa Allah Swt adalah Tuhan
pencipta semua mahluk dan alam semesta. Dia-lah yang memelihara makhluk-Nya
dan memberikan hidup serta mengendalikan segala urusan. Dia yang memberikan
manfaat, penganugerahan kemuliaan dan kehinaan. Tauhid Rububiyah ini tergambar
dalam ayat al-Quran antara lain QS. al-Baqarah 21-22:

“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang
sebelum kamu, agar kamu bertakwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan
bagimu dan langit sebagai atap dan dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia

6
menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu, karena
itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah padahal kamu mengetahui.

“Katakanlah : Aku berlindung kepada rabb manusia “ (QS.an-nas: 1)


b. Tauhid Mulkiyah
Kata mulkiyah berasal dari kata malaka. Isim fa‟ilnya dapat dibaca dengan dua macam
cara: Pertama, malik dengan huruf mim dibaca panjang; berarti yang memiliki, kedua,
malik dengan huruf mim dibaca pendek; berarti, yang menguasai.
Secara terminologis Tauhid Mulkiyah adalah suatu keyakinan bahwa Allah swt., adalah
satu-satunya Tuhan yang memiliki dan menguasai seluruh mahluk dan alam semesta.
Keyakinan Tauhid Mulkiyah ini tersurat dalam ayat-ayat al-Quran seperti berikut ini:

“ Yang menguasai hari pembalasan “ (QS. al-Fatihah ; 4)

“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada dalamnya, dan Dia
Maha Kuasa atas segala sesuatu “ ( QS. al-Maidah ; 120 )

c. Tauhid Uluhiyah
Kata Uluhiyah adalah masdar dari kata alaha yang mempunyai arti tentram, tenang,
lindungan, cinta dan sembah. Namun makna yang paling mendasar adalah abada,
yang berarti hamba sahaya („abdun), patuh dan tunduk („ibadah), yang mulia dan
agung (al-ma‟bad), selalu mengikutinya („abada bih).
Tauhid Uluhiyah merupakan keyakinan bahwa Allah swt., adalah satu-satunya Tuhan
yang patut dijadikan yang harus dipatuhi, ditaati, digungkan dan dimuliakan. Hal ini
tersurat dalam QS. Thaha: 14

7
“ Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah
Aku dan dirikanlah sholat untuk mengingat-Ku “
d. Tauhid Ubudiyah
Kata „ubudiyah berasal dari akar kata abada yang berarti menyembah, mengabdi,
menjadi hamba sahaya, taat dan patuh, memuja, yang diagungkan (al-ma‟bud.) Dari
akar kata diatas, maka diketahui bahwa Tauhid Ubudiyah adalah suatu keyakinan
bahwasanya Allah Swt. Merupakan Tuhan yang patut disembah, ditaati, dipuja dan
diagungkan. Tiada sesembahan yang berhak dipuja manusia melainkan Allah semata.
Tauhid Ubudiyah tercermin dalam ayat dibawah ini:

“Hanya kepada Engkaulah kami beribadah dan hanya kepada Engkau ( pula ) kami
mohon pertolongan”
Pemikiran terhadap tuhan melahirkan Ilmu Tauhid, Ilmu Kalam atau Ilmu Ushuludin
dikalangan umat Islam, timbul sejak wafatnya Nabi Muhamad saw.,. Secara garis
besar ada aliran bersifat liberal, tradisional dan ada pula bersifat diantaranya. Kedua
corak pemikiran ini telah mewarnai sejarah pemikiran ilmu ketuhanan dalam islam.
Aliran-aliran tersebut adalah :
1) Mu‟tazilah
Mu‟tazilah merupakan kaum rasionalis dikalangan Muslim. Dalam menganalisis
ketuhanan, mereka memakai bantuan ilmu logika yunani, yaitu sistem Teologi untuk
mempertahankan kedudukan keimanan. Hasil dari paham Mu‟tazilah yang bercorak
rasional adalah munculnya abad kemajuan ilmu pengetahuan dalam islam. Namun
kemajuan ilmu pengetahuan akhirnya menurun dengan kalahnya mereka dalam
perselisihan dengan kaum ortodoks.
2) Qadariah
Qadariah berpandapat bahwa manusia mempunyai kebebasan berkehendak dan
berbuat. Manusia sendiri yang menghendaki apakah ia akan kafir atau mukmin dan hal
itu menyebabkan manusia harus bertanggung jawab atas perbuatannya.
3) Jabariah
Yang merupakan pecahan dari murjiah berteori bahwa manusia tidak mempunyai
kemerdekaan dalam berkehendak dan berbuat. Semua tingkah laku manusia
ditentukan dan dipaksa oleh Tuhan.
4) Asy‟ariyah dan Maturidiyah.

8
Asy‟ariyah yaitu mentangkut Tuhan dan sifat-Nya, Al-Qur’an, perbuatan manusia,
antropomorfisme, keadilaaan Tuhan, pelaku dosa besar dan juga tentang melihat
tuhan di akhirat. Sedangkan Maturidiyah antara fungsi akal dan wahyu, Tuhan dan
sifat-Nya, keqadiman Al-Qur’an, perbuatan dan kehendak manusia, janji dan ancaman
Allah, kekuasaan dan kehendak Tuhan, keadilan Tuhan, perbuatan Tuhan dan tentang
melihat Tuhan di akhirat.

9
BAB II
SAINS&TEKNOLOGI DALAM AL-QUR’AN DAN AL-HADITS
A. Al-Qur’an sebagai Sumber Ilmu Sains
Di zaman sekarang, bila kita amati banyak orang yang mencoba menafsirkan
beberapa ayat Al-Qur’an dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan modern. Tujuan
utamanya adalah untuk menunjukkan mukjizat Al-Qur’an sebagai sumber dalam
segala ilmu, dan untuk menumbuhkan rasa bangga kaum muslimin karena telah
memiliki kitab yang sempurna ini.
Tetapi, pandangan yang menganggap bahwa Al-Qur’an sebuah sumber seluruh ilmu
pengetahuan ini bukanlah sesuatu yang baru, sebab kita mendapati banyak ulama
besar kaum muslim terdahulu pun berpandangan demikian.
Diantaranya adalah Imam al-Ghazali.
Dalam bukunya ,Ihya, Ulum al-Din, beliau mengutip kata-kata Ibnu Mas’ud : “ jika
seseorang ingin memiliki pengetahuan masa lampau dan pengetahuan modern,
selayaknya dia merenungkan Al-Qur’an.” Selanjutnya beliau menambahkan:
“Ringkasnya seluruh ilmu tercakup di dalam karya-karya dan sifat-sifat Allah, dan Al-
Qur’an esensi, sifat-sifat, dan perbuatan-Nya.
Tidak ada batasan terhadap ilmu-ilmu ini, dan di dalam Al-Qur’an terdapat indikasi
pertemuannya (Al-Qur’an dan ilmu-ilmu).
Bahkan pada sebuah sumber yang dikutip oleh penulis, dijelaskan bahwa mukjizat
Islam yang paling utama ialah hubungannya dengan ilmu pengetahuan. Surah pertama
(al-Alaq, ayat 1-5) yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW ialah nilai tauhid,
keutamaan pendidikan, dan cara untuk mendapatkan ilmu pengetahuan diberikan
penekanan yang mendalam. Firman Allah SWT (Al-alaq 1-5):
Artinya : “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia Telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha
pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar
kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”

B. Pandangan Islam Tentang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

1. BIOLOGI dalam AL QUR’AN


Perhatikan firman Allah dalam QS 39:6

10
Dia menciptakan kamu dari seorang diri kemudian Dia jadikan daripadanya isterinya
dan Dia menurunkan untuk kamu delapan ekor yang berpasangan dari binatang
ternak. Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga
kegelapan[1306]. Yang (berbuat) demikian itu adalah Allah, Tuhan kamu, Tuhan Yang
mempunyai kerajaan. Tidak ada Tuhan selain Dia; maka bagaimana kamu dapat
dipalingkan?
Dalam tafsir dijelaskan dijelaskan bahwa tiga kegelapan itu ialah kegelapan dalam
perut, kegelapan dalam rahim, dan kegelapan dalam selaput yang menutup anak
dalam rahim. Dalam Biologi dijelaskan bahwa sebenarnya embrio dalam rahin
mengalami tiga fase perkembangan yang disebut dengan fase morula, blastula,
gastrula.
2. FISIKA dalan AL QUR’AN
Perhatikan firman Allah dalam QS 6:125

Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya


Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang
dikehendaki Allah kesesatannya[503], niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi
sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa
kepada orang-orang yang tidak beriman.
Secara Fisika, semakin ke atas (ruang angkasa) maka kandungan oksigen semakin
berkurang
3. FISIKA, BIOLOGI, dan KIMIA dalam AL QUR’AN
Perhatikan QS 21:30

11
Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu
keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya.
Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada
juga beriman?
4. MATEMATIKA dalam AL QUR’AN
Matematika dalam Al Qur‟an meliputi :
a. Bilangan (Bulat dan Pecahan)
Al-Qur‟an juga berbicara tentang bilangan, misalnya satu (waahid atau ahad), tiga
(tsalaatsah), tujuh (sab‟ah), sepuluh („asyarah), seribu (alf), dan limu puluh ribu
(khamsiina alf). Selain itu, masih banyak bilangan-bilangan yang disebutkan dalam Al-
Quran termasuk bilangan rasional (pecahan).
b. Operasi Bilangan (Operasi Hitung Dasar)
Allah SWT berfirman dalam surat Al Ankabuut ayat 14. (QS 29:14)

“ Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal di
antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. Maka mereka ditimpa banjir
besar, dan mereka adalah orang-orang yang zalim.”
dan dalam surat Al Kahfi ayat 25. (QS 18:25)

Dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun
(lagi). Pada ayat pertama, untuk menyebut 950, Al Qur‟an menggunakan 1000 – 50.
Pada ayat kedua, untuk menyebut 309, Al Qur‟an menggunakan 300 + 9.
c. Bilangan 19
Di antara bilangan-bilangan yang disebutkan dalam Al-Qur‟an, bilangan 19 menempati
posisi yang istimewa. Keistimewaan bilangan 19 ditegaskan oleh Allah SWT dalam
surat Al Muddatstsir ayat 30 dan 31.
Berdasarkan ayat tersebut, terungkap bahwa bilangan 19 mempunyai tiga fungsi
utama, yaitu (1) menjadi cobaan (fitnah) bagi orang kafir dan orang yang mempunyai

12
penyakit di hatinya, (2) memantapkan keyakinan orang-orang yang diberi Al-Kitab
(sebelum turunnya Al Qur‟an), dan (3) menambah keimanan orang-orang mukmin.
Suatu pertanyaan yang muncul adalah dengan cara bagaimana bilangan 19 dapat
menambah keimanan dalam hati orang mukmin.

C. Hubungan IPTEK dan Al-Qur’an penciptaan manusia menurut Al-Qur’an.


Manusia adalah makhluk ciptaan Allah SWT yang diciptakan dalam bentuk yang
sebaik-baiknya. Sebagaimana dalam firman-Nya QS.At-Tin ayat 4:
Artinya :³Sesungguhnya kami telahmenciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-
baiknya”.
Manusia juga adalah makhluk yang paling mulia dibandingkan makhlukmakhluknya
yang dari kemurahan Tuhanmu. Dan kemurahan Tuhanmu tidak dapat dihalangi.´ (Al-
Isra: 20).

D. Ilmu Pengetahuan dalam Hadits


Hadits-hadits Nabi juga sangat banyak yang mendorong dan menekankan, bahkan
mewajibkan kepada umatnya untuk menuntut ilmu (Alavi, 2003). Sebagaimana Sabda
Rasulullah SAW:
Artinya: “Menuntut ilmu itu suatu kewajiban kepada setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah)
Hadits di atas memberikan dorongan yang sangat kuat bagi kaum muslimin untuk
belajar mencari ilmu sebanyak-banyaknya, baik ilmu-ilmu agama maupun ilmu-ilmu
umum, karena suatu perintah kewajiban tentunya harus dilaksanakan, dan berdosa
hukumnya jika tidak dikerjakan. Lebih batasi usia, ruang, waktu dan tempat
sebagaimana sabdanya “Tuntutlah ilmu dari buayan sampai liang lahat” dan “Tuntutlah
ilmu sekalipun ke negeri Cina”.
Dalam Media Islamika (2007), dorongan dari Alquran dan perintah dari Rasulullah
tersebut telah dipraktikkan oleh generasi Islam pada masa abad pertengahan (abad ke
7-13 M). Hal ini terbukti dengan banyaknya ilmuan-ilmuan Muslim tampil kepentas
dunia ilmu pengetahuan, sains dan teknologi, seperti Al-Farabi, Al-Kindi, Ibnu Sina,
Ikhwanusshafa, Ibn Miskwaih, Nasiruddin al-Thusi, Ibn rusyd, Imam al-Ghazali, Al-
Biruni, Fakhrudin ar-Razy, Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Hambali dan
lain-lain. Ilmu yang mereka kembangkanpun berbagai macam disiplin ilmu, bahkan
meliputi segala cabang ilmu yang berkembang pada masa itu, antara lain: ilmu Filsafat,
Fisika, Astronomi, Astrologi, Alkemi, Kedokteran, Optik, Farmasi, Tasauf, Fiqih, Tafsir,
Ilmu Kalam dan sebagainya.

13
Pada masa itu kejayaan, kemakmuran, kekuasaan dan politik berada di bawah kendali
umat Islam, karena mereka meguasai sains, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Rasululullah SAW pernah bersabda: “Umatku akan jaya dengan ilmu dan harta”.
Banyak lagi hadits-hadits beliau yang memberikan anjuran dan motivasi kepada
umatnya untuk belajar menuntut ilmu, namun dalam kesempatan ini tentunya tidak
dapat disebutkan semuanya.

14
BAB III
3 GENERASI TERBAIK MENURUT AL-HADITS

Umat Rasulullah merupakan umat terbaik dari seluruh umat-umat para Nabi yang
diutus sebelum beliau. Meskipun umat Rasulullah datang sebagai yang terakhir
diantara umat-umat lainnya, tetapi di akhirat kelak umat Rasulullah-lah yang akan
terlebih dahulu terlebih dahulu di bandingkan dengan umat-umat lainnya.

Allah telah memberikan pujian kepada umat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
dalam firman-Nya:

“Kamu adalah umat terbaik yang membangun untuk manusia, memerintahkan kepada
yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah ..” (QS. Ali
Imran: 110)

Tetapi diantara umat Rasulullah, terdapat beberapa generasi terbaik, beliau sebutkan
dalam sebuah hadits mutawatir, beliau bersabda:

“Sebaik-baik manusia adalah pada generasiku (yakni sahabat), kemudian orang-orang


yang mengiringinya (yakni tabi'in), kemudian orang-orang yang mengiringinya (yakni
menciptakan tabi'ut tabi'in).” (mutawatir. HR. Bukhari dan yang lainnya).

Inilah beberapa generasi terbaik yang beliau sebutkan dalam hadits tersebut:

1. Sahabat
Sahabat adalah orang-orang yang bertemu dan melihat Rasulullah secara langsung
serta membantu perjuangan beliau. Menurut Imam Ahmad, siapa saja diantara orang
beriman yang bertemu dan melihat Rasulullah, baik sebulan, sepekan, sehari atau
bahkan hanya sewaktu-waktu maka ia dikatakan sebagai sahabat. Derajatnya masing-
masing ditentukan dengan lama apa pun ia menyertai Rasulullah.

Para sahabat merupakan orang-orang yang mewariskan ilmu dari Rasulullah


shallallahu alaihi wa sallam. Diantara sahabat yang terbaik adalah para Khulafaur
Rasyidin, kemudian 10 orang sahabat yang terisi oleh Rasulullah yang mendapatkan
jaminan surga.

15
2. Tabi'in
Tabi'in adalah orang-orang beriman yang hidup pada masa Rasulullah atau setelah
beliau wafat tetapi tidak bertemu dengan Rasulullah dan bertemu serta melihat para
sahabat. Tabi'in merupakan orang-orang yang belajar dan mewariskan ilmu dari para
sahabat Rasulullah.

Salah seorang terbaik dari generasi Tabi'in adalah Uwais Al Qarn, yang pernah
mendatangi rumah Rasulullah untuk mendapatkan kemuliaan menjadi sahabat, tetapi
tidak berhasil bertemu dengan beliau. Uwais Al Qarn, pernah mengajar secara
langsung melalui lisan Rasulullah sebagai orang yang asing di bumi tapi terkenal di
langit. Bahkan Rasulullah memerintahkan sahabatnya, Umar dan Ali, untuk mencari
Uwais dan meminta permintaan untuk di doakan, karena ia merupakan orang yang
memiliki doa yang diijabah oleh Allah.

Adapun diantara orang-orang yang tergolong menciptakan tabi'in lainnya yakni Umar
bin Abdul Aziz, Urwah bin Zubair, Ali Zainal Abidin bin Al Husein, Muhammad bin Al
Hanafiyah, Hasan Al Bashri dan yang lainnya.

3. Tabi'ut Tabi'in
Tabi'ut tabi'in adalah orang beriman yang hidup pada masa sahabat atau setelah
mereka wafat tetapi tidak bertemu dengan sahabat dan bertemu dengan generasi
tabi'in. tabi'ut tabi'in merupakan orang-orang yang belajar dan mewariskan ilmu dari
para tabi'in.

Diantara orang-orang yang termasuk dalam generasi ini adalah Imam Malik bin Anas,
Sufyan bin Uyainah, Sufyan Ats-Tsauri, Al Auza'i, Al Laits bin Saad dan yang lainnya.
Merekalah generasi terbaik umat ini, maka selayaknya kita sebagai umat Muslim yang
datang belakangan untuk mencontoh dan mengambil ilmu dari kitab-kitab yang telah
mereka tuliskan.

16
BAB IV
PENGERTIAN dan JEJAK SALAFUSSOLEH

A. Pengertian Salaf

1. Secara Istilah
Istilah salafu al-sholeh terdiri dari dua kata yaitu salaf dan shaleh. Kata salaf diambil
dari akar katasalafa-yaslufu-salafun, artinya telah lalu.1Kata Salaf juga berarti orang
yang mendahului kita, baik dari bapak maupun orang-orang terdekat (kerabat) yang
lebih tua umurnya dan lebih utama. Karenanya generasi pertama dari umat ini dari
kalangan para Tabi'in disebut dengan sebutanas-Salafush Shalih.2Termasuk juga
dalam pengertian secara bahasa, yaitu sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
kepada anaknya, Fathimah az- Zahra radhiyallahu 'anha: "Sesungguhnya sebaik-baik
Salaf (pendahulu) bagimu adalah aku." (HR. Muslim dan Ahmad).

2. Etimologi (secara bahasa):


Ibnul Faris berkata, “Huruf sin, lam, dan fa’ adalah pokok yang menunjukkan ‘makna
terdahulu’. Termasuk salaf dalam hal ini adalah ‘orang-orang yang telah lampau’, dan
arti dari ‘al-qoumu as-salaafu’ artinya mereka yang telah terdahulu.” (Mu’jam
Maqayisil Lughah: 3/95)

3. Terminologi (secara istilah)

Ada beberapa pendapat dari para ulama dalam mengartikan istilah “Salaf” dan
terhadap siapa kata itu sesuai untuk diberikan. Pendapat tersebut terbagi menjadi 4
perkataan :

1. Di antara para ulama ada yang membatasi makna Salaf yaitu hanya para
Sahabat Nabi saja.
2. Di antara mereka ada juga yang berpendapat bahwa Salaf adalah para
Sahabat Nabi dan Tabi’in (orang yang berguru kepada Sahabat).
3. Dan di antara mereka ada juga yang berkata bahwa Salaf adalah mereka
adalah para Sahabat Nabi, Tabi’in, dan Tabi’ut Tabi’in. (Luzumul
Jama’ah (hal: 276-277)). Dan pendapat yang benar dan masyhur, yang mana
sebagian besar ulama ahlussunnah berpendapat adalah pendapat ketiga ini.

17
4. Yang dimaksud Salaf dari sisi waktu adalah masa utama selama tiga kurun
waktu/periode yang telah diberi persaksian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam dalam hadits beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka itulah yang
berada di tiga kurun/periode, yaitu para sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

َ ‫[ ُث َّم الَّذ‬،‫اس َق[[رْ نِي‬


«[،‫ِين َيلُ[[و َن ُه ْم‬ [ِ ‫َخ ْي[ ُر ال َّن‬
‫ِين َيلُو َن ُه ْ[م‬ ُ
َ ‫»ث َّم الَّذ‬

Artinya,“Sebaik-baik manusia adalah yang hidup pada masaku, kemudian manusia


yang hidup pada masa berikutnya, kemudian manusia yang hidup pada masa
berikutnya.”  (HR. Bukhari (2652), Muslim (2533))

Maka dari itu, setiap orang yang mengikuti jalan mereka, dan menempuh sesuai
manhaj/metode mereka, maka dia termasuk salafi, karena
menisbahkan/menyandarkan kepada mereka.

B. Dalil-dalil Yang Menunjukkan Wajibnya Mengikuti Salafush Shalih

1. Dalil Dari Al Qur’anul Karim

َ ‫يل ْالم ُْؤ ِمن‬


[ْ ‫ِين ُن َولِّ ِه َما[ َت َولَّى َو ُنصْ لِ ِه َج َه َّن َ[م َو َسا َء‬
‫ت مَصِ يرً ا‬ ِ ‫َو َمنْ ُي َشاق ِ[ِق الرَّ سُو َل م ْ[ِن َبعْ ِد َما[ َت َبي ََّن لَ ُه ْال ُه َدى[ َو َي َّت ِبعْ َغي َْر َس ِب‬

Artinya, “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran bainya
dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin. Kami biarkan ia leluasa
terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam
Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” [An-Nisa : 115]

Dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman,

[ٍ ‫ض[وا َع ْن[ ُه َوأَ َع[ َّد لَ ُه ْ[م َج َّنا‬


‫ت‬ ُ ‫ض[ َي هَّللا ُ[ َع ْن ُه ْم َو َر‬ َ ‫ار َوالَّذ‬
[ٍ [‫ِين ا َّت َب ُع[[و ُه ْم ِبإِحْ َس‬
ِ ‫ان َر‬ َ ‫ين َواأل ْن‬
ِ [‫ص‬ ِ ‫[ون م َِن ْال ُم َه[[ا‬
[َ ‫ج ِر‬ َ [ُ‫ون األوَّ ل‬
َ ُ‫َوال َّس ِابق‬
‫ك ْال َف ْو ُز ْال َعظِ ي ُم‬ َ ِ‫ِين فِي َها[ أَ َب ًدا َذل‬
َ ‫َتجْ ِري َتحْ َت َها األ ْن َها ُ[ر َخالِد‬

Artinya, “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di


antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka

18
dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan
Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di
dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang
besar.”  [QS. At-Taubah : 100]

Allah mengancam dengan siksaaan neraka jahannam bagi siapa yang mengikuti
jalan selain jalan Salafush Shalih, dan Allah berjanji dengan surga dan keridhaan-
Nya bagi siapa yang mengikuti jalan mereka.

2. Dalil Dari As-Sunnah

a. Hadits Dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi


wasallam telah bersabda,

،‫[ون‬َ [‫[ون َوالَ ي ُْؤ َت َم ُن‬ [َ ‫[ ُث َّم إِنَّ َبعْ َد ُك ْ[م َق ْو ًما[ َي ْش َهد‬،‫ِين َيلُو َن ُه ْم‬
َ ‫ُون َوالَ يُسْ َت ْش َهد‬
َ [‫ َو َي ُخو ُن‬، ‫ُون‬ َ ‫ ُث َّم الَّذ‬،‫َخ ْي ُر أ ُ َّمتِي َقرْ نِي‬
َ ‫ ُث َّم الَّذ‬،‫ِين َيلُو َن ُه ْم‬
ِ ‫ َو َي ْظ َه ُر ف‬،‫ون‬
‫ِيه ُم[ ال ِّس َم ُ[ن‬ َ ‫َو َي ْن ُذر‬
َ ُ‫ُون َوالَ َيف‬

“Sebaik-baik manusia adalah yang hidup pada masaku, kemudian manusia yang
hidup pada masa berikutnya, kemudian manusia yang hidup pada masa berikutnya,
kemudian akan datang suatu kaum persaksian salah seorang dari mereka
mendahului sumpahnya, dan sumpahnya mendahului persaksiannya.” (HR Bukhari
(3650), Muslim (2533))

b. Kemudian dalam hadits yang lain, ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi


wasallam menyebutkan tentang hadits iftiraq (akan terpecahnya umat ini menjadi 73
golongan), beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

‫ ثنت[[ان‬،‫[ وإن ه[[ذه المل[[ة س[[تفترق على ثالث[ وس[[بعين‬،‫أال إن من قبلكم من أه[[ل الكت[[اب[ اف[[ترقوا على ثن[[تين وس[[بعين مل[[ة‬
[‫ وهي الجماعة‬،‫ وواحدة في الجنة‬،‫وسبعون في النار‬

Artinya, “Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari Ahlul Kitab telah
berpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan. Sesungguhnya (ummat) agama
ini (Islam) akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, tujuh puluh dua
golongan tempatnya di dalam Neraka dan hanya satu golongan di dalam Surga, yaitu
al-Jama’ah.”

19
[Shahih, HR. Abu Dawud (no. 4597), Ahmad (IV/102), al-Hakim (I/128), ad-Darimi
(II/241), al-Ajurri dalam asy-Syarii’ah, al-Lalikai dalam as-Sunnah (I/113 no. 150).
Dishahihkan oleh al-Hakim dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi dari Mu’a-wiyah
bin Abi Sufyan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan hadits ini shahih
masyhur. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani. Lihat Silsilatul Ahaadiits ash-
Shahiihah (no. 203-204)]

Dalam riwayat lain disebutkan:

Artinya, “Semua golongan tersebut tempatnya di Neraka, kecuali satu (yaitu) yang
aku dan para Sahabatku berjalan di atasnya.” [Hasan, HR. At-Tirmidzi (no. 2641) dan
al-Hakim (I/129) dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr, dan dihasankan oleh Syaikh al-
Albani dalam Shahiihul Jaami’ (no. 5343)]

Hadits iftiraq tersebut juga menunjukkan bahwa umat Islam akan terpecah menjadi
73 golongan, semua binasa kecuali satu golongan, yaitu yang mengikuti apa yang
telah dilaksanakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
Sahabatnya Radhiyallahu anhum. Jadi, jalan selamat itu hanya satu, yaitu mengikuti
Al-Qur-an dan As-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih (para Sahabat).

c. Hadits panjang dari Irbad bin Sariyah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu


Alaihi Wasallam bersabda,

‫ َوإِيَّا ُك ْ[م‬،ِ‫ج[ ذ‬
ِ ‫ُض[وا َعلَ ْي َه[[ا ِبال َّن َوا‬ َ ‫ِين ْال َم ْه ِدي‬
ُّ ‫ِّين ع‬ َ ‫ َف َعلَ ْي ُك ْ[م ِب ُس َّنتِي َو ُس َّن ِة ْال ُخلَ َفا ِ[ء الرَّ اشِ د‬،‫اختِاَل ًفا[ َكثِيرً ا‬
ْ [‫َفإِ َّن ُ[ه َمنْ َيعِشْ ِم ْن ُك ْ[م َف َس َي َرى‬
‫ضاَل لَ ٌة‬ ُ [ِ ‫»ومُحْ َد َثا‬
َ ‫ُور َفإِ َّ[ن ُك َّل ِب ْد َع ٍة‬ ِ ‫ت اأْل م‬ َ

Artinya:

“Barang siapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku maka ia akan melihat
perselisihan yang banyak, oleh sebab itu wajib bagi kalian berpegang dengan
sunnahku dan Sunnah Khulafaaur Rasyidin (para khalifah) yang mendapat petunjuk
sepeninggalku, pegang teguh Sunnah itu, dan gigitlah dia dengan geraham-
geraham, dan hendaklah kalian hati-hati dari perkara-perkara baru (dalam agama)
karena sesungguhnya setiap perkara baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah
sesat” [Shahih, HR. Abu Daud (4607), Tirmidzi (2676), dishahihkan oleh Syeikh Al-
Albani dalam Shahihul Jami’ (1184, 2549)]

20
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan kepada ummat agar mengikuti
sunnah beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam dan sunnah para Khualafaur Rasyidin
yang hidup sepeninggal beliau disaat terjadi perpecahan dan perselisihan.

3. Dari perkataan Salafush Shalih

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu, ia berkata,

“‫” ِا َّتبِعُوا َواَل َت ْب َت ِدعُوا َف َق ْد ُكفِي ُت ْم‬

Artinya, “Ikutilah dan janganlah berbuat bid’ah, sungguh kalian telah dicukupi.”  (Al-
Bida’ Wan Nahyu Anha (hal. 13))

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu, juga pernah berkata,

[،‫ص[لَّى هَّللا ُ َعلَ ْي[ ِ[ه َو َس[لَّ َم‬


َ ‫اب م َُح َّم ٍ[د‬ [ُ ‫ص[ َح‬ َ [ِ‫ أُولَئ‬،‫[ َفإِنَّ ْال َحيَّ اَل ُت ْؤ َمنُ َعلَ ْي[ ِه ْالفِ ْت َن[ ُة‬، َ‫ان ِم ْن ُك ْ[م مُسْ َت ًّنا[ َف ْل َيسْ َتنَّ ِب َمنْ َق ْد َمات‬
ْ َ‫ك أ‬ َ ‫َمنْ َك‬
‫[ َف[[اعْ َرفُوا لَ ُه ْ[م‬،‫ار ُه ُم هَّللا ُ لِصُحْ َب ِ[ة َنبِ ِّي ِه َوإِ َقا َم[ ِ[ة دِينِ [ ِه‬ ْ ‫ َق ْو ٌم‬،‫[ َوأَعْ َم َق َها[ ِع ْل ًما[ َوأَ َقلَّ َها َت َكلُّ ًفا‬،‫[ أَبَرَّ َها قُلُوبًا‬،‫ض َل َه ِذ ِه اأْل ُ َّم ِة‬
َ ‫اخ َت‬ َ ‫َكا ُنوا أَ ْف‬
[ِ ‫[ َفإِ َّن ُه ْ[م َكا ُنوا َعلَى ْال َه ْديِ ْالمُسْ َتق‬،‫ َو َت َم َّس ُكوا ِب َما[ اسْ َت َطعْ ُت ْم مِنْ أَ ْخاَل ق ِِه ْ[م َودِين ِِه ْم‬،‫ار ِه ْم‬
‫ِيم‬ ِ ‫[ َوا َّت ِبعُو ُه ْم فِي آ َث‬،‫ َفضْ لَ ُه ْم‬.

Artinya, “Barang siapa di antara kalian ingin mncontoh, maka hendaklah mencontoh


orang yang telah wafat, yaitu para Shahabat Rasulullah, karena orang yang masih
hidup tidak akan aman dari fitnah, Adapun mereka yang telah wafat, merekalah para
Sahabat Rasulullah, mereka adalah ummat yang terbaik saat itu, mereka paling baik
hatinya, paling dalam ilmunya, paling baik keadaannya. Mereka adalah kaum yang
dipilih Allah untuk menemani NabiNya, dan menegakkan agamaNya, maka kenalilah
keutamaan mereka, dan ikutilah jejak mereka, karena sesungguhnya mereka berada
di atas jalan yang lurus.”  (Jami’ul Bayan Al-ilmi Wa Fadhlihi (2/97))

Imam Al Auza’i rahimahullah berkata,

“‫[ فما[ كان غير ذلك فليس[ بعلم‬،‫”العلم ما جاء[ عن أصحاب[ محمد[ صلى هللا عليه وسلم‬

Artinya, “Sebarkan dirimu di atas sunnah, dan berhentilah engkau dimana kaum itu
berhenti (yaitu para Shahabat Nabi), dan katakanlah dengan apa yang dikatakan
mereka, dan tahanlah (dirimu) dari apa yang mereka menahan diri darinya, dan
tempuhlah jalan Salafush Shalihmu (para pendahulumu yang shalih), karena

21
sesungguhnya apa yang engkau leluasa (melakukannya) leluasa pula bagi
mereka.”  (Jami’ul Bayan Al-ilmi Wa Fadhlihi (2/29))

Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala senantiasa membimbing kita untuk mengikuti


manhaj salaf di dalam memahami dienul Islam ini, mengamalkannya dan berteguh
diri di atasnya, sehingga bertemu dengan-Nya dalam keadaan husnul khatimah.
Amin yaa Rabbal ‘Alamin.

22
BAB V
ISLAM, AJARAN TENTANG BERBAGI
SERTA KEADILAN PENEGAKAN HUKUM

A.Keadilan

Doktrin Keadilan dalam Alquran dan Sunnah


Kata keadilan dalam Alquran banyak disebutkan dengan pelbagai macam term
(istilah). Ada yang menggunakan kata ‘ adlun, qistun, dan wasathan. Kata ‘adlun
diartikan mâ qâma fi al-nufûs annahu mustaqîmi (apa yang tegak lurus dalam jiwa
manusia).2 Dalam pengertian ini dapat dipahami bahwa adil adalah sikap lurus yang
tidak condong kepada salah satu yang ditunggangi hawa nafsu. Alqistu artinya sesuatu
yang dijadikan bagian-bagian, atau hutang yang telah dijadikan bagian-bagian untuk
dikembalikan pada waktu tertentu.3 Sedangkan al-wasath menurut al-Asfahani adalah
tengah, seimbang, tidak terlalu ke kanan (ifrâth) dan tidak terlalu ke kiri` (tafrîth). Di
dalamnya terkandung makna keadilan, keistiqamahan, kebaikan dan kekuatan.

Tiga istilah keadilan itu dapat didefinisikan secara fungsional. Al-adlu adalah sebuah
sikap adil yang lebih ditekankan pada fungsi hati (psikologis), sedangkan al-qist lebih
ditekankan pada fungsi pembagiannya (pragmatis), dan al-wasath lebih pada sifat
keadilan itu sendiri yang seimbang. Sehingga keadilan adalah sebuah sikap seimbang
yang meliputi aspek psikis ataupun fisik materialis yang harus ditegakkan dalam
kehidupan manusia. Hal inilah yang menyebabkan kenapa simbol peradilan adalah
gambar neraca yang dipegang oleh ratu yang matanya tertutup. Hal ini dimaksudkan
dalam peradilan hendaknya tidak terpengaruh dengan sesuatupun yang
mengakibatkan neracanya tidak seimbang.

Dalam mewujudkan keadilan merata, Wahbah al-Zuhaylî dalam bukunya


“Nadhiriyah al-Dlarûriyah al-Syarîyah” me -nyata kan bahwa Islam dibangun atas asas
menghilangkan kesukaran dan kesulitan, memelihara ke maslahatan manusia secara
keseluruhan, dan yang terpenting adalah mewujudkan keadilan dan mencegah peng
aniayaan antar manusia. Operasionalitas keadilan harus diterapkan dalam semua
aspek kehidupan tanpa me nafikan tradisi yang berlaku, bahwa syariah itu berupa

23
hokum taklîf yang diterapkan atas dasar keadilan (al-wasth, al-i’dâl). Muhammad Abû
Zahrah dalam bukunya ”al-Mujtama’ al-Insânî fi Dlilli al-Islâm” menyebutkan 3 kriteria
keadilan, yaitu:
a). Keadilan hukum. Sistem hukum yang berlaku harus univikasi (seragam) untuk
seluruh warga negara tanpa adanya diskriminasi.
b). Keadilan sosial. Memberi kesempatan yang sama untuk bekerja menurut
kemampuan dan keahlian yang dimiliki. Jika ia masih lemah maka perlu dibantu.
c). Keadilan pemerintahan. Semua warga mempunyai kedudukan sama dalam
pemerintahan tanpa memperdulikan suku, bangsa, bahasa dan budaya.
d). Dalam leksiologi Alquran term keadilan dapat diucapkan dengan al-‘adâlah dan al-
wasth. Term tersebut merupakan rangkaian makna bahwa untuk menciptakan
al-‘adâlah harus ditopang oleh al-wasath yakni tengahtengah/ perpaduan antara
semua bentuk keadilan. Dalam perspektif Plato, keadilan berarti kebaikan yang tidak
dapat dijelaskan dengan argumentasi rasional, dan menjaga diri dalam batasbatas
yang ditentukan. Sedangkan bagi Ariestoteles memandang keadilan dapat berarti
distribusi yang mendudukkan manusia pada tempatnya, dan berarti pula korektif yang
dapat memberikan ganti rugi pada kesalahan atau kejahatan hukum, antara keadilan
distributif dan korektif menuntut adanya perlakuan yang sama dalam pengadilan.
e). Keadilan bagi Plato menekankan aspek moralitas sedangkan bagi Aristoteles me
nekankan pada aspek kepentingan hukum. Namun keadilan bagi Islam adalah
keadilan yang wasath: mampu memadukan keadilan hukum dan keadialn moralitas.
Jadi keadilan Islam merupakan keadilan yang mutlak dan universal, karena ditopang
oleh wahyu dan prinsipprinsip hukum yang fudamental.

B. Penegakan Hukum
Terdapat beberapa faktor yang dapat mendukung tegaknya hukum di suatu Negara
antara lain: Kaidah hukum, Penegak hukum, Fasilitas dan Kesadaran hukum warga
Negara. Dalam pelaksanaannya masih tergantung pada sistem politik Negara yang
bersangkutan. Jika sistem politik Negara itu otoriter maka sangat tergantung penguasa
bagaimana kaidah hukum, penegak hukum dan fasilitas yang ada. Adapun warga
Negara ikut saja kehendak penguasa (lihat synopsis). Pada sistem politik demokratis
juga tidak semulus yang kita bayangkan. Meski warga Negara berdaulat, jika sistem
pemerintahannya masih berat pada eksekutif (Executive heavy) dan birokrasi
pemerintahan belum direformasi, birokratnya masih “kegemukan” dan bermental

24
mumpung, maka penegakan hukum masih mengalami kepincangan dan kelambanan
(kasus “hotel bintang” di Lapas).
Belum lagi kaidah hukum dalam hal perundang-undangan yang simpang siur
penerapannya (kasus Prita). Agar suatu kaidah hukum berfungsi maka bila kaidah itu
berlaku secara yuridis, maka kemungkinan besar kaidah tersebut merupakan kaidah
mati (dode regel), kalau secara sosiologis (teori kekuasaan), maka kaidah tersebut
menjadi aturan pemaksa (dwang maat regel). Jika berlaku secara filosofi, maka
kemungkinannya hanya hukum yang dicita-citakan yaitu ius constituendum.4 Kaidah
hukum atau peraturan itu sendiri, apakah cukup sistematis, cukup sinkron, secara
kualitatif dan kuantitatif apakah sudah cukup mengatur bidang kehidupan tertentu.
Dalam hal penegakan hukum mungkin sekali para petugas itu menghadapi masalah
seperti sejauh mana dia terikat oleh peraturan yang ada, sebatas mana petugas
diperkenankan memberi kebijaksanaan. Kemudian teladan macam apa yang diberikan
petugas kepada masyarakat. Selain selalu timbul masalah jika peraturannya baik tetapi
petugasnya malah kurang baik. Demikian pula jika peraturannya buruk, maka kualitas
petugas baik.
Fasilitas merupakan sarana dalam proses penegakan hukum. Jika sarana tidak cukup
memadai, maka penegakan hukum pun jauh dari optimal. Mengenai warga negara
atau warga masyarakat dalam hal ini tentang derajat kepatuhan kepada peraturan.
Indikator berfungsinya hukum adalah kepatuhan warga. Jika derajat kepatuhan rendah,
hal itu lebih disebabkan oleh keteladanan dari petugas hukum.

C. Hukum dan Keadilan Dalam Islam


Menurut M. Natsir (demokrasi dibawah hukum cet.III, 2002) adalah suatu penegasan,
ada undang-undang yang disebut Sunnatullah yang nyata-nyata berlaku dalam
kehidupan manusia pada umumnya. Perikehidupan manusia hanya dapat berkembang
maju dalam berjama’ah (Society).
Man is born as a social being. Hidup perorangan dan hidup bermasyarakat berjalin,
yang satu bergantung pada yang lain. Kita mahluk sosial harus berhadapan dengan
berbagai macam persoalan hidup, dari persoalan rumah tangga, hidup bermasyarakat,
berbangsa, bernegara, berantara negara, berantar agama dan sebagainya, semuanya
problematika hidup duniawi yang bidangnya amat luas. Maka risalah Muhammad Saw,
meletakkan beberapa kaidah yang memberi ketentuan-ketentuan pokok guna
memecahkan persoalan-persoalan.

25
Kestabilan Hidup bermasyarakat memerlukan tegaknya keadilan lanjut M. Natsir. Tiap-
tiap sesuatu yang melukai rasa keadilan terhadap sebagian masyarakat, maka bisa
merusak kestabilan secara keseluruhan. Menegakkan keadilan di tengah-tengah
masyarakat dan bangsa diawali dengan kedaulatan hukum yang ditegakkan. Semua
anggota masyarakat berkedudukan sama di hadapan hukum. Jadi di hadapan hukum
semuanya sama, mulai dari masyarakat yang paling lemah sampai pimpinan tertinggi
dalam Negara.
“Dan janganlah rasa benci kamu kepada suatu golongan menyebabkan kamu tidak
berlaku adil. Berlaku adilah, karena itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah
kepada Allah karena sesungguhnya Allah amat mengetahui apa yang kamu
kerjakan”(QS.5:8).
“Dengarlah dan taatilah sekalipun andaikata yang menjalankan hukum atasmu
seseorang budak Habsyi yang kepalanya seperti kismis selama dijalankannya hukum
Allah Swt”. (H.R.Buchori dari Anas).

26
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahim, Muhammad, Imaduddin, Kuliah Tauhid, (Jakarta: Yayasan Sari Insan,


1989), h. 16-21, 54-56.
Jurnal Lemlit Unswagati 2013
Wikipedia Ensiklopedia Bebas : https://id.wikipedia.org/wiki/Tauhid.
https://www.academia.edu/37721851/Makalah_Asyariyyah_dan_Maturidiyyah_Faisal_
Hilmi
Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi Vol.17 No.3 Tahun 2017
Al-Indunisi, A. N. A. S. (2008). Ensiklopedia Imam Syafi’i. Jakarta: Hikmah.
SAINS DAN TEKNOLOGI DALAM AL QUR’AN 1) Oleh Abdussakir 2)
https://umma.id/article/share/id/1002/272772
Jurnal Pemikiran Islam
Modernisme dan Tajdidudin. Wacana Lazuardi Amanah, Bekasi, 1995. Hal. 10-
11
Sumber-Sumber Ilmu Pengetahuan ….. (Sayid Qutub)
Jurnal Ilmu Syariah. Volume 1 No 2 Desember 2013. ISSN: 2089-032X - 144
Mu’taqad Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah Fi Tauhidil Asma’ Was Sifat karya Syaikh
Muhammad bin Khalifah At-Tamimi, dengan beberapa perubahan redaksi.

LAMPIRAN

27

Anda mungkin juga menyukai