Anda di halaman 1dari 40

ARTIKEL KEISLAMAN:

1. KEISTIMEWAAN DAN KEBENARAN KONSEP KETUHANAN DALAM ISLAM


2. SAINS&TEKNOLOGI DALAM AL-QUR’AN DAN AL-HADITS
3. GENERASI TERBAIK MENURUT AL-HADITS
4. PENGERTIAN SALAF (REFERENSI HADITS)
5. ISLAM, AJARAN TENTANG BERBAGI SERTA KEADILAN PENEGAKAN
HUKUM

Disusun sebagai tugas terstruktur Mata Kuliah: Pendidikan Agama Islam

Dosen Pengampuh:

Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos

Disusun Oleh:

Nama : Tamsil Risaldi


NIM : F1C020141
Fakultas&Prodi : Teknik Mesin
Semester : 1

PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS MATARAM
T.A. 2020/2021

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmatdan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan artikel keislaman.

Sholawat dan Salam semoga ALLAH limpahkan kepada Rasulullah Muhammad


SAW yang telah membawa umatnya sehingga bisa membedakan mana yanh hak dan
mana yang bathil.

Terima kasih saya sampaikan atas bimbingan Bapak Dr. Taufiq Ramdani,
S.Th.I., M.Sos sebagai dosen pengampuh mata Kuliah Pendidkan Agama Islam.

Penyusunan artikel ini untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Agama.
Kami berharap dapat menambah wawasan dan pengetahuankhususnya dalam bidang
agama. Menyadari banyaknya kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Kami
sangat mengharapkan kritikan dan saran dari para pembaca untuk melengkapi segala
kekurangandan kesalahan dari makalah ini.

Mataram, 23 Oktober 2020

Penyusun,

Nama : Tamsil Risaldi


NIM : F1C020141

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN COVER i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI
iii
I. Keistimewaan dan Kebenaran Konsep Ketuhanan dalam Islam 1
II. Sains dan Teknologi dan Al-Qur’an dan Al-Hadits 13
III. Generasi Terbaik Menurut Al-Hadits 26
IV. Pengertian Salaf Menurut Al-Hadits 31
V. Islam: Ajaran Tentang Berbagi serta Keadilan Penegakan Hukum 32

DAFTAR PUSTAKA 36
LAMPIRAN

iii
1. KEISTIMEWAAN DAN KEBENARAN KONSEP KETUHANAN DALAM
ISLAM

A. KONSEP KETUHANAN DALAM ISLAM

Istilah Tuhan dalam sebutan Al-Quran digunakan kata ilaahun,


yaitu setiap yang menjadipenggerak atau motivator, sehingga dikagumi
dan dipatuhi oleh manusia. Orang yangmematuhinya di sebut abdun
(hamba). Kata ilaah (tuhan) di dalam Al-Quran konotasinya adadua
kemungkinan, yaitu Allah, dan selain Allah. Subjektif (hawa nafsu) dapat
menjadi ilah(tuhan). Benda-benda seperti : patung, pohon, binatang,
dan lain-lain dapat pula berperansebagai ilah. Demikianlah seperti
dikemukakan pada surat Al-Baqarah (2) : 165, sebagaiberikut:

Sebelum turun Al-Quran dikalangan masyarakat Arab telah


menganut konsep tauhid(monoteisme). Allah sebagai Tuhan mereka.
Hal ini diketahui dari ungkapan-ungkapan yang mereka cetuskan, baik
dalam do‘a maupun acara-acara ritual. Abu Thalib, ketika
memberikankhutbah nikah Nabi Muhammad dengan Khadijah (sekitar
15 tahun sebelum turunya Al-Quran) ia mengungkapkan kata-kata
Alhamdulillah. (Lihat Al-Wasith,hal 29). Adanya namaAbdullah (hamba
Allah) telah lazim dipakai di kalangan masyarakat Arab sebelum
turunnyaAl-Quran. Keyakinan akan adanya Allah, kemaha besaran
Allah, kekuasaan Allah dan lain-lain, telah mantap. Dari kenyataan
tersebut timbul pertanyaan apakah konsep ketuhanan yangdibawakan
Nabi Muhammad? Pertanyaan ini muncul karena Nabi Muhammad
dalammendakwahkan konsep ilahiyah mendapat tantangan keras dari
kalangan masyarakat. Jikakonsep ketuhanan yang dibawa Muhammad
sama dengan konsep ketuhanan yang merekayakini tentu tidak
demikian kejadiannya.
Pengakuan mereka bahwa Allah sebagai pencipta semesta alam
dikemukakan dalamAl-Quran surat Al-Ankabut (29) ayat 61 sebagai
berikut;

1
Jika kepada mereka ditanyakan, “Siapa yang menciptakan lagit dan
bumi, dan menundukkanmatahari dan bulan?” Mereka pasti akan
menjawab Allah.
Dengan demikian seseorang yang mempercayai adanya Allah,
belum tentu berartiorang itu beriman dan bertaqwa kepada-Nya.
Seseorang baru laik dinyatakan bertuhankepada Allah jika ia telah
memenuhi segala yang dimaui oleh Allah. Atas dasar itu intikonsep
ketuhanan Yang Maha Esa dalam Islam adalah memerankan ajaran
Allah yaitu Al-Quran dalam kehidupan sehari-hari. Tuhan berperan
bukan sekedar Pencipta, melainkan jugapengatur alam
semesta.Pernyataan lugas dan sederhana cermin manusia bertuhan
Allah sebagaimanadinyatakan dalam surat Al-Ikhlas. Kalimat syahadat
adalah pernyataan lain sebagai jawabanatas perintah yang dijaukan
pada surat Al-Ikhlas tersebut. Ringkasnya jika Allah yang
harusterbayang dalam kesadaran manusia yang bertuhan Allah adalah
disamping Allah sebagaiZat, juga Al-Quran sebagai ajaran serta
Rasullullah sebagai Uswah hasanah.

B. FILSAFAT KETUHANAN ISLAM


 
Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata Philo yang berarti
cinta, dan kata Sophosyang berarti ilmu atau hikmah. Dengan demikian,
filsafat berarti cinta terhadap ilmu atauhikmah. Terhadap pengertian
seperti ini al-Syaibani mengatakan bahwa filsafat bukanlahhikmah itu
sendiri, melainkan cinta terhadap hikmah dan berusaha
mendapatkannya,memusatkan perhatian padanya dan menciptakan
sikap positif terhadapnya. Selanjutnya iamenambahkan bahwa filsafat
dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkansebab
dan akibat, dan berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman
manusia. (AhmadHanafi, Pengantar Filsafat Islam, Cet. IV, Bulan
Bintang, Jakarta, 1990, Hlm. 45)
Sementara itu, A. Hanafi, M.A. mengatakan bahwa pengertian
filsafat telahmengalami perubahan-perubahan sepanjang masanya.

2
Pitagoras (481-411 SM), yang dikenalsebagai orang yang pertama yang
menggunakan perkataan tersebut. Dari beberapa kutipan diatas dapat
diketahui bahwa pengertian filsafat dari segi kebahasan atau semantik
adalah cintaterhadap pengetahuan atau kebijaksanaan. Dengan
demikian filsafat adalah suatu kegiatan atau aktivitas yang
menempatkan pengetahuan atau kebikasanaan sebagai sasaran
utamanya.Keimanan dalam Islam merupakan aspek ajaran yang
fundamental, kajian ini harusdilaksanakan secara intensif.
Keimanan kepada Allah SWT, kecintaan, pengharapan,
ikhlas,kekhawatiran, tidak dalam ridho-Nya, tawakkal nilai yang harus
ditumbuhkan secara suburdalam pribadi muslim yang tidak
terpisah dengan aspek pokok ajaran yang lain dalam Islam.
Muslim yang baik memiliki kecerdasan intelektual sekaligus
kecerdasan spiritual (QS.Ali Imran: 190-191) sehingga sikap
keberagamaannya tidak hanya pada ranah emosi tetapididukung
kecerdasan pikir atau ulul albab. Terpadunya dua hal tersebut insya
Allah menujudan berada pada agama yang fitrah. (QS.Ar-Rum: 30).
 
Jadi, filsafat Ketuhanan dalam Islam bisa diartikan juga yaitu
kebijaksanaan Islamuntuk menentukan Tuhan, dimana Ia sebagai dasar
kepercayaan umat Muslim.Siapakah Tuhan itu?Perkataan ilah, yang
diterjemahkan―Tuhan‖, dalam Al-Quran dipakai untukmenyatakan
berbagai obyek yang dibesarkan atau dipentingkan manusia, misalnya
dalam QS: 45 (Al-Jatsiiyah) : 23, yaitu:

“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa


nafsunya sebagai Tuhannyadan Allah membiarkannya berdasarkan
ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan
meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yangakan
memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka
mengapa kamutidak mengambil pelajaran?
Dalam QS : 28 (Al-Qashash) : 38, perkataan ilah dipakai oleh
Fir‘aun untuk dirinya sendiri

3
dan berkata Fir'aun: "Hai pembesar kaumku, aku tidak
mengetahui Tuhan bagimu selainaku. Maka bakarlah Hai Haman
untukku tanah liat kemudian buatkanlah untukku bangunan yang Tinggi
supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan Sesungguhnya aku
benar-benar yakin bahwa Dia Termasuk orang-orang pendusta".

Contoh ayat-ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa


perkataan ilah bisa mengandungarti berbagai benda, baik abstrak
(nafsu atau keinginan pribadi) maupun benda nyata (Fir‘aun atau
penguasa yang dipatuhi dan dipuja). Perkataan ilah dalam Al-Quran
juga dipakai dalambentuk tunggal (mufrad: ilaahun), ganda (mutsanna:
ilaahaini), dan banyak (jama‘: aalihatun).Derifasi makna dari kata ilah
tersebut mengandung makna bahwa‗bertuhan nol‘ atau atheisme
adalah tidak mungkin. Untuk dapat mengerti dengan definisi Tuhan atau
Ilah yangtepat, berdasarkan logika Al-Quran sebagai berikut:

Tuhan (Ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting)


oleh manusiasedemikian rupa, sehingga manusia merelakan dirinya
dikuasai oleh-Nya. Perkataandipentingkan hendaklah diartikan secara
luas. Tercakup di dalamnya yang dipuja, dicintai,diagungkan, diharap-
harapkan dapat memberikan kemaslahatan atau kegembiraan,
dantermasuk pula sesuatu yang ditakuti akan mendatangkan bahaya
atau kerugian.

Ibnu Taimiyah memberikan definisi al-Ilah sebagai berikut:


Al-Ilah ialah: yang dipuja dengan penuh kecintaan hati, tunduk
kepadanya, merendahkan diridi hadapannya, takut, dan
mengharapkannya, kepadanya tempat berpasrah ketika berada
dalam kesulitan, berdoa, dan bertawakal kepadanya untuk
kemaslahatan diri, memintaperlindungan dari padanya, dan
menimbulkan ketenangan di saat mengingatnya dan terpautcinta
kepadanya (M. Imaduddin, 1989 : 56)

4
 
Atas dasar definisi ini, tuhan bisa berbentuk apa saja, yang
dipentingkan manusia. Yangpasti, manusia tidak mungkin atheis, tidak
mungkin tidak ber-tuhan. Berdasarkan logika Al-Quran, setiap manusia
pasti ada sesuatu yang dipertuhankannya. Dengan begitu, orang-
orangkomunis pada hakikatnya ber-tuhan juga. Adapun tuhan mereka
ialah ideologi atau angan-angan (utopia) mereka. Dalam ajaran Islam
diajarkan kalimat―laailaaha illa Allah‖. Susunan kalimat tersebutdimulai
dengan peniadaan, yaitu―tidak ada Tuhan‖, kemudian baru
diikuti dengan penegasan―melainkan Allah‖. Hal itu berarti bahwa
seorang muslim harus membersihkan diri darisegala macam Tuhan
terlebih dahulu, sehingga yang ada dalam hatinya hanya ada
satuTuhan, yaitu Allah SWT.
 
Untuk lebih jelas memahami tentang siapakah Allah, DR. M.
Yusuf Musa menjelaskandalam makalahnya yang berjudul “Al Ilahiyyat
Baina Ibnu Sina wa Ibnu Rusyd” yang telahdi edit oleh DR. Ahmad
Daudy, MA dalam bukuSegi-segi Pemikiran Falsafi dalam Islam.
Beliau mengatakan : Dalam ajaran Islam, Allah SWT adalah
pencipta segala sesuatu ;tidak ada sesuatu yang terjadi tanpa
kehendak-Nya, serta tidak ada sesuatu yang kekal tanpapemeliharaan-
Nya. Allah SWT mengetahui segala sesuatu yang paling kecil dan paling
halussekali pun. Ia yang menciptakan alam ini, dari tidak ada kepada
ada, tanpa perantara darisiapa pun. Ia memiliki berbagai sifat yang
maha indah dan agung.

C. SEJARAH PEMIKIRAN MANUSIA TENTANG TUHAN

1. PEMIKIRAN BARAT
 
Yang dimaksud konsep Ketuhanan menurut pemikiran manusia
adalah konsep yangdidasarkan atas hasil pemikiran baik melalui
pengalaman lahiriah maupun batiniah, baik yangbersifat penelitian
rasional maupun pengalaman batin. Dalam literatur sejarah agama,
dikenalteori evolusionisme, yaitu teori yang menyatakan adanya proses

5
dari kepercayaan yang amatsederhana, lama kelamaan meningkat
menjadi sempurna. Teori tersebut mula-muladikemukakan oleh Max
Muller, kemudian dikemukakan oleh EB Taylor, Robertson
Smith,Lubbock dan Javens. Proses perkembangan pemikiran tentang
Tuhan menurut teorievolusionisme adalah sebagai berikut:
 
a. Dinamisme
 
Menurut paham ini, manusia sejak zaman primitif telah mengakui
adanya kekuatanyang berpengaruh dalam kehidupan. Mula-mula
sesuatu yang berpengaruh tersebut ditujukanpada benda. Setiap benda
mempunyai pengaruh pada manusia, ada yang berpengaruh positifdan
ada pula yang berpengaruh negatif. Kekuatan yang ada pada benda
disebut dengan namayang berbeda-beda, seperti mana (Melanesia),
tuah (Melayu), dan syakti (India).
 
b. Animisme
 
Oleh masyarakat primitif, roh dipercayai sebagai sesuatu yang
aktif sekalipun bendanyatelah mati. Oleh karena itu, roh dianggap
sebagai sesuatu yang selalu hidup, mempunyai rasasenang apabila
kebutuhannya dipenuhi. Menurut kepercayaan ini, agar manusia tidak
terkenaefek negatif dari roh-roh tersebut, manusia harus menyediakan
kebutuhan roh. Saji-sajianyang sesuai dengan saran dukun adalah
salah satu usaha untuk memenuhi kebutuhan roh.
 
c. Politeisme
 
Kepercayaan dinamisme dan animisme lama-lama tidak
memberikan kepuasan, karenaterlalu banyak yang menjadi sanjungan
dan pujaan. Roh yang lebih dari yang lain kemudiandisebut dewa. Dewa
mempunyai tugas dan kekuasaan tertentu sesuai dengan bidangnya.
Adadewa yang bertanggung jawab terhadap cahaya, ada yang
membidangi masalah air, ada yangmembidangi angin dan
lain sebagainya.

6
 
d. Henoteisme
 
Politeisme tidak memberikan kepuasan, terutama terhadap kaum
cendekiawan. Olehkarena itu dari dewa-dewa yang diakui diadakan
seleksi, karena tidak mungkin mempunyaikekuatan yang sama. Lama-
kelamaan kepercayaan manusia meningkat menjadi lebih
definitif(tertentu). Satu bangsa hanya mengakui satu dewa yang disebut
dengan Tuhan, namunmanusia masih mengakui tuhan (ilah) bangsa
lain. Kepercayaan satu tuhan untuk satu bangsadisebut dengan
Henoteisme (Tuhan Tingkat Nasional).
 
e. Monoteisme
 
Kepercayaan dalam bentuk Henoteisme melangkah menjadi
Monoteisme. DalamMonoteisme hanya mengakui satu Tuhan untuk
seluruh bangsa dan bersifat internasional.Bentuk Monoteisme ditinjau
dari filsafat Ketuhanan terbagi dalam tiga paham, yaitu:
deisme,panteisme, dan teisme.
 
Evolusionisme dalam kepercayaan terhadap Tuhan
sebagaimana dinyatakan oleh MaxMuller dan EB. Taylor
(1877), ditentang oleh Andrew Lang (1898) yang menekankan
adanyamonoteisme dalam masyarakat primitif. Dia mengemukakan
bahwa orang-orang yangberbudaya rendah juga sama monoteismenya
dengan orang-orang Kristen. Merekamempunyai kepercayaan pada
wujud yang agung dan sifat-sifat yang khas terhadap tuhanmereka,
yang tidak mereka berikan kepada wujud yang lain.
 
Dengan lahirnya pendapat Andrew Lang, maka berangsur-
angsur golonganevolusionisme menjadi reda dan sebaliknya sarjana-
sarjana agama terutama di Eropa Baratmulai menantang evolusionisme
dan memperkenalkan teori baru untuk memahami sejarahagama.
Mereka menyatakan bahwa ide tentang Tuhan tidak datang secara
evolusi, tetapidengan relevansi atau wahyu. Kesimpulan tersebut

7
diambil berdasarkan pada penyelidikanbermacam-macam kepercayaan
yang dimiliki oleh kebanyakan masyarakat primitif. Dalampenyelidikan
didapatkan bukti-bukti bahwa asal-usul kepercayaan masyarakat
primitif adalahmonoteisme dan monoteisme adalah berasal dari ajaran
wahyu Tuhan (Zaglul Yusuf, 1993 :26-27).

2. Pemikiran Umat Islam
 
Pemikiran terhadap Tuhan yang melahirkan Ilmu Tauhid, Ilmu
Kalam, atau IlmuUshuluddin di kalangan umat Islam, timbul beberapa
periode setelah wafatnya NabiMuhammad SAW. Yakni pada saat
terjadinya peristiwa tahkim antara kelompok Ali bin AbiThalib dengan
kelompok Mu‘awiyyah.
 Secara garis besar, ada aliran yang bersifat liberal,tradisional,
dan ada pula yang bersifat di antara keduanya. Sebab timbulnya aliran
tersebutadalah karena adanya perbedaan metodologi dalam memahami
Al-Quran dan Hadis denganpendekatan kontekstual sehingga
lahir aliran yang bersifat tradisional. Sedang sebagian umatIslam yang
lain memahami dengan pendekatan antara kontektual dengan tektual
sehinggalahir aliran yang bersifat antara liberal dengan tradisional.
Aliran-aliran tersebut yaitu :
 
a. Mu‘tazilah
 
Merupakan kaum rasionalis di kalangan muslim, serta
menekankan pemakaian akalpikiran dalam memahami semua ajaran
dan keimanan dalam Islam. Dalam menganalisisketuhanan, mereka
memakai bantuan ilmu logika Yunani, satu sistem teologi
untukmempertahankan kedudukan keimanan. Mu‘tazilah lahir sebagai
pecahan dari kelompokQadariah, sedang Qadariah adalah pecahan dari
Khawarij.
 

b. Qodariah
 

8
Berpendapat bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam
berkehendak dan berbuat.Manusia sendiri yang menghendaki apakah ia
akan kafir atau mukmin dan hal itu yangmenyebabkan manusia harus
bertanggung jawab atas perbuatannya.
 
c. Jabariah
 
Berteori bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam
berkehendak danberbuat. Semua tingkah laku manusia ditentukan dan
dipaksa oleh Tuhan. Aliran inimerupakan pecahan dari Murji‘ah
 
d. Asy‘ariyah dan Maturidiyah
 
Hampir semua pendapat dari kedua aliran ini berada di antara
aliran Qadariah danJabariah. Semua aliran itu mewarnai kehidupan
pemikiran ketuhanan dalam kalangan umatIslam periode masa lalu.
Pada prinsipnya aliran-aliran tersebut di atas tidak bertentangandengan
ajaran dasar Islam. Oleh karena itu umat Islam yang memilih aliran
mana sajadiantara aliran-aliran tersebut sebagai teologi mana yang
dianutnya, tidak menyebabkan iakeluar dari Islam. Menghadapi situasi
dan perkembangan ilmu pengetahuan sekarang ini,umat Islam perlu
mengadakan koreksi ilmu berlandaskan al-Quran dan Sunnah Rasul,
tanpadipengaruhi oleh kepentingan politik tertentu.

D. DALIL PEMBUKTIAN ADANYA TUHAN

1.
 
Dalil OntologisTuhan ada dalam pikiran manusia. Karena
mereka berfikir, tak ada manusia yangsempurna, yang sempurna
hanyalah Tuhan. Atas dasar itu , Bapak menasehati ―Jika
kamumembenci seseorang, cintai dia alakadarnya. ―
 2.
 

9
Dalil Kosmologis/ Kausalitas/ Sebab-AkibatTuhan ada karena
ada bukti penciptaanNya.
3.
 
Dalil Teleologis ( pendekatan tentang keteraturan)Alam ini
sangat teratur. Logikanya, jika sesuatu tercipta karena kebetulan, maka
tidakakan ada keteraturan. Alaam ini dibuat teratur untuk menjadi
sarana bagi manusia.
4.
 
Dalil MoralManusia tidak mungkin memberikan kode moral
sebaik- baiknya, seadli adlinya,susuai fitrah manusia, dan bersifat
absolut —  untuk manusia lainnya – kecuali datangnya
dariAllah.contoh : anak tidak boleh menikahi ibunya. Sebab, sebelum Al
Quran turun, istri seorang priaitu akan diwariskan kepada anak laki
lakinya.
5.
 
Dalil Al- QuranAl Ankabut(29): 61 Dan jika engkau bertanya
kepada mereka ‖ Siapakah yangmenciptakan langit dan bumi dan
menundukan matahari dan bulan?‖ Pasti mereka akanmenjawab
―Allah‖. Maka mengapa mereka bisa dipalingkan (dari kebenaran) Al
Kahfi(18): 84 Sungguh, Kami telah memberi kedudukan kepadanya di
bumi, danKami telah Memberikan jalan kepadanya (untuk mencapai)
segala sesuatu.Ath Thur(52) : 35 Atau apakah mereka tercipta tanpa
asal usul ataukah mereka yagnmenceptakan (diri mereka sendiri)?Al
Hijr (15): 21 Dan tidak ada sesuatu pun, melainkan pada sisi Kami-
lahkhazanahnya; Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran
tertentu.
6.
 
Dalil Cosmologi.Bukti-bukti adanya Tuhan dapat diketahui
dengan menggunakan dasar-dasar cosmologi, sebagaimana
diisayaratkan Al-Qur‘an. Al-Qur‘an surat Al-Baqarah;164 Tuhan
menyuruh manusia mempelajari cosmos dan kekuatannya yang

10
merupakankumpulan alam semesta yang menggambarkan adanya
kesatuan di balik penampilan yangberagam sehingga dapat
dipergunakan sebai-baiknya dalam menyimpulkan adanya TuhanYang
Maha Pencipta dan Maha Pengatur. Untuk memudahkan manusia
menarik kesimpulan,maka Al-Qur‘an mengungkapkannya dengan
cara yang komunikatif dan dialogis. Perhatikan QS.Asy-syura;23-24
dan an-naml;60Al-Qur‘an memberikan dasar -dasar dan membimbing
dasar-dasar dan membimbingmetode berpikir. Dalam usaha berpikir
untuk mendapatkan kepastian kebenaran Tuhan,
khusunya di bidang cosmologi adalah menyelediki sebab (causa)
terjadinya kosmos yangmengharuskan akal kita mengambil keputusan,
bahwa pasti ada penyebab yang menyebabkanterjadinya cosmos itu.
7.
 
Dalil AstronomiTuhan memperkenalkan diri-Nya bahwa Dia ada
dengan cara menunjuk planet-planetyang terdiri atas bintang, bulan dan
matahari yang masing-masing beredar tetap pada garisorbitnya. Tidak
mungkin yang satu akan melampui yang lainnya dan tidak akan keluar
puladari garis ukuran yang telah ditentukan untuknya. Semua itu
sebagai bukti adanyaperhitungan yang sangat rapi.Sebagaimana
ditemukan Taufiq al-Hakim (intelektual terkemuka) tentang teori al-
Ta‘adduliyah (keserasian), bahwa ‖bumi merupakan bola (globe)
yang hidup denganseimbang dan tawazun dengan bola terbesar di alam
ini, yaitu matahari‖ (Yusuf
Qardlawi,1995,143). Fenomena tersebut sebagai hasil dan
kecermatan ciptaan-Nya. DalamQS Ath-tahriq;1-3 dan asy-syams;1 dan
2 Allah menegaskan:Semua penegasan tersebut mendapat jawaban
yang jelas dan selaras dengan teori-teori ilmupengetahuan dan prinsip-
prinsip kebenaran yang berdasarkan pada logika yaitu bahwa alamyang
luas dan indah ini pasti ada pengaturnya yang memiliki kepandaian
agung, danpenjaganya mestilah Maha Kuat dan Maha Kuasa yang
memiliki sifat-sifat kesempurnaan.

8.

11
 
Dalil antropologiKeistimewaan manusia sebagai khalifah di muka
bumi adalah terletak pada akal, ilmupengetahuan dan ruhnya. Bukti
antropologi ini dibuktikan dalam Al-
Qur‘an surat at
-thariq;5-7 dan ar-rum;20 berikut ini:Manusia itu sebagai makhluk
berkemauan, karena Allah menghendakinya. Inilah realisasidari makna
la- haula walaa quwwata illa billah, atau, manusia itu mempunyai daya
dankekuatan untuk mengambil manfaat dan menolak bahaya. Namun
daya dan kekuatannya itubukan dari diri dan dengan dirinya sendiri,
melainkan dengan dan dari Allah (YusufQardlawi, 1995;63)
9.
 
Dalil PsikologiDibandingkan makhluk lain , manusia memiliki dua
keistimewaan. Pertama, bentuktubuh yang indah, sempurna dan praktis
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kedua, jiwayang memiliki
perasaan dan kepandaian, untuk menyelesaikan persoalan yang
dihadapkankepadanya dengan berpikir dan memelihara ketahanan
mental (sabar). QS.Ar-Rum;2.

Berdasarkan uraian di atas, dapat menyimpulkan bahwa konsep


Ketuhanan dapat diartikan sebagai kecintaan, pemujaan atau sesuatu
yang dianggap penting oleh manusiaterhadap sesuatu hal (baik abstrak
maupun konkret). Filsafat Ketuhanan dalam Islammerupakan aspek
ajaran yang fundamental, kajian ini harus dilaksanakan secara
intensif.Tuhan (ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting)
oleh manusiasedemikian rupa, sehingga manusia merelakan dirinya
dikuasai oleh-Nya. Dalam ajaran Islamdiajarkan kalimat―la illaha illa
Allah‖. Susunan kalimat tersebut dimulai dengan
peniadaan.Yaitu―tidak ada Tuhan‖, kemudian baru diikuti dengan
penegasan―melainkan Allah‖. Hal ini berarti bahwa seorang muslim
harus membersihkan diri dari segala macam Tuhan terlebihdahulu,
sehingga yang ada dalam hatinya hanya ada satu Tuhan yaitu Allah.

12
2. SAINS &TEKNOLOGI DALAM AL-QUR’AN DAN AL-HADITS

A. Dimensi Sains dan Teknologi dalam al-Qur’an


Kata sains dan teknologi ibarat dua sisi mata uang yang sulit
dipisahkan satu sama lain. Sains, menurut Baiquni, adalah himpunan
pengetahuan manusia tentang alam yang diperoleh sebagai konsensus
para pakar, melalui penyimpulan secara rasional mengenai hasil-hasil
analisis yang kritis terhadap data pengukuran yang diperoleh dari
observasi pada gejala-gejala alam. Sedangkan teknologi adalah
himpunan pengetahuan manusia tentang proses-proses pemanfaatan
alam yang diperoleh dari penerapan sains, dalam kerangka kegiatan
yang produktif ekonomis (Baiquni, 1995: 58-60).
Al-Qur’an, sebagai kalam Allah, diturunkan bukan untuk tujuan-
tujuan yang bersifat praktis. Oleh sebab itu, secara obyektif, al-Qur’an
bukanlah ensiklopedi sains dan teknologi apalagi al-Qur’an tidak
menyatakan hal itu secara gamblang.
Akan tetapi, dalam kapasitasnya sebagai huda li al-nas, al-Qur’an
memberikan informasi stimulan mengenai fenomena alam dalam porsi
yang cukup banyak, sekitar tujuh ratus lima puluh ayat (Ghulsyani,
1993: 78). Bahkan, pesan (wahyu) paling awal yang diterima Nabi SAW
mengandung indikasi pentingnya proses investigasi (penyelidikan).
Informasi alQur’an tentang fenomena alam ini, menurut Ghulsyani,
dimaksudkan untuk menarik perhatian manusia kepada Pencipta alam
Yang Maha Mulia dan Maha Bijaksana dengan mempertanyakan dan
merenungkan wujud-wujud alam serta mendorong manusia agar
berjuang mendekat kepada-Nya (Ghulsyani, 1993). Dalam visi al-
Qur’an, fenomena alam adalah tanda-tanda kekuasaan Allah. Oleh
sebab itu, pemahaman terhadap alam itu akan membawa manusia lebih
dekat kepada Tuhannya.
Pandangan al-Qur’an tentang sains dan teknologi dapat
ditelusuri dari pandangan al-Qur’an tentang ilmu. Al-Qur’an telah
meletakkan posisi ilmu pada tingkatan yang hampir sama dengan iman
seperti tercermin dalam surat al-Mujadalah ayat 11: “… niscaya Allah
akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”

13
Ayat-ayat al-Qur’an yang memerintahkan manusia mencari ilmu atau
menjadi ilmuwan begitu banyak. Al-Qur’an menggunakan berbagai
istilah yang berkaitan dengan hal ini. Misalnya, mengajak melihat,
memperhatikan, dan mengamati kejadian-kejadian (Fathir: 27; al-Hajj: 5;
Luqman: 20; alGhasyiyah: 17-20; Yunus: 101; al-Anbiya’: 30), membaca
(al‘Alaq: 1-5) supaya mengetahui suatu kejadian (al-An’am: 97; Yunus:
5), supaya mendapat jalan (al-Nahl: 15), menjadi yang berpikir atau
yang menalar berbagai fenomena (al-Nahl: 11; Yunus: 101; al-Ra’d: 4;
al-Baqarah: 164; al-Rum: 24; al-Jatsiyah: 5, 13), menjadi ulu al-albab
(Ali ‘Imran: 7; 190-191; al-Zumar: 18), dan mengambil pelajaran
(Yunus:3).
Sedangkan pandangan al-Qur’an tentang sains dan teknologi, dapat
diketahui dari wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad saw.:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah
Yang Maha Pemurah. Yang Mengajar (manusia) dengan perantaraan
kalam (tulis baca). Dia Mengajarkan manusia apa yang tidak
diketahuinya.” (QS al-‘Alaq: 1-5)
Kata iqra’, menurut Quraish Shihab, diambil dari akar kata yang berarti
menghimpun. Dari menghimpun lahir aneka makna seperti
menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri
sesuatu, dan membaca baik yang tertulis maupun tidak. Sedangkan dari
segi obyeknya, perintah iqra’ itu mencakup segala sesuatu yang dapat
dijangkau oleh manusia. (Shihab, 1996:433)
Atas dasar itu, sebenarnya tidak ada alasan untuk membuat dikotomi
ilmu agama dan ilmu non agama. Sebab, sebagai agama yang
memandang dirinya paling lengkap tidak mungkin memisahkan diri dari
persoalan-persoalan yang bereperan penting dalam meningkatkan
kesejahteraan umatnya. Berkaitan dengan hal ini, Ghulsyani
mengajukan beberapa alasan untuk menolak dikotomi ilmu agama dan
ilmu non agama sebagai berikut:
1. Dalam sebagian besar ayat al-Qur’an, konsep ilmu secara mutlak
muncul dalam maknanya yang umum, seperti pada ayat 9 surat al-
Zumar:

14
“Katakanlah: adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan
orang-orang yang tidak mengetahui.”
Beberapa ayat lain yang senada di antaranya QS 2:31; QS 12:76; QS
16: 70.
2. Beberapa ayat al-Qur’an secara eksplisit menunjukkan bahwa ilmu
itu tidak hanya berupa prinsip-prinsip dan hukum-hukum agama
saja. Misalnya, firman Allah pada surat Fathir ayat 27-28:
“Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari
langit lalu Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang
beraneka ragam jenisnya. Dan di antara gunung-gunung itu ada
garis-garis putih dan merah yang beraneka ragam warnanya dan
ada (pula) yang hitam pekat. Dan demikian (pula) di antara manusia,
binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang
bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang
takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah “ulama”.
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun."
Dengan jelas kata ulama (pemilik pengetahuan) pada ayat di atas
dihubungkan dengan orang yang menyadari sunnatullah (dalam
bahasa sains: “hukum-hukum alam”) dan misteri-misteri penciptaan,
serta merasa rendah diri di hadapan Allah Yang Maha Mulia.
3. Di dalam al-Qur’an terdapat rujukan pada kisah Qarun. “Qarun
berkata: Sesungguhnya aku diberi harta itu karena ilmu yang ada
padaku.” (QS al-Qashash: 78) (Ghulsyani, 1993: 44-45).
Di samping itu, subyek yang dituntut oleh wahyu pertama
(al-‘Alaq: 1-5) adalah manusia, karena potensi ke arah itu hanya
diberikan oleh Allah swt. kepada jenis makhluk ini. Pemberian
potensi ini tentunya tidak terlepas dari fungsi dan tanggung jawab
manusia sebagai khalifah Allah di atas muka bumi. Sedangkan bumi
dan langit beserta isinya telah ‘ditundukkan’ bagi kepentingan
manusia. Mari perhatikan firman Allah di dalam surat al-Jatsiyah
ayat 13:
“Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa
yang ada di bumi semuanya (sebagai rahmat dari-Nya).
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-
tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir.”

15
Kata sakhkhara (menundukkan) pada ayat di atas atau kata yang
semakna dengan itu banyak ditemukan di dalam alQur’an yang
menegaskan bahwa Allah swt. menundukkan semua ciptaan-Nya
sesuai dengan peraturan-peraturan (sunnatullah) Nya, sehingga
manusia dapat mengambil manfaat sepanjang manusia mau
menggunakan akal dan pikirannya serta mengikuti langkah dan
prosedur yang sesuai dengan sunnatullah itu. Misalnya, menurut
Baiquni, (1997: 1516 ) tertiupnya sehelai daun yang kering dan pipih
oleh angin yang membawanya membumbung tinggi ke atas adalah
karena aliran udara di sekitarnya. Orang yang melakukan
pengamatan dan penelitian untuk menemukan jawaban atas
pertanyaan: “bagaimana daun itu diterbangkan?”, niscaya akan
sampai kepada sunnatullah yang menyebabkan daun itu bertingkah
laku seperti yang tampak dalam pengamatannya. Pada dasarnya,
sebuah benda yang bentuknya seperti daun itu, yang panjang dan
bagian pinggir dan lebarnya melengkung ke bawah, akan
mengganggu aliran udara karena pada bagian yang melengkung itu
aliran udara tidak selancar di tempat lain. Akibatnya, tekanan udara
di lengkungan itu lebih tinggi dari pada bagian lainnya sehingga
benda itu terangkat. Orang yang melakukan pengamatan dan
penelitian itu menemukan sunnatullah yang dalam ilmu pengetahuan
disebut aerodinamika. Dengan pengetahuan yang lengkap dalam
bidang aerodinamika dan pengetahuan tentang sifat-sifat material
tertentu manusia mampu menerapkan ilmunya itu untuk membuat
pesawat terbang yang dapat melaju dengan kecepatan tertentu.
Untuk dapat memahami sunnatullah yang beraturan di alam semesta
ini, manusia telah dibekali oleh Allah SWT dua potensi penting, yaitu
potensi fitriyah (di dalam diri manusia) dan potensi sumber daya alam
(di luar diri manusia). Di samping itu, al-Qur’an juga memberikan
tuntunan praktis bagi manusia berupa langkah-langkah penting
bagaimana memahami alam agar dicapai manfaat yang maksimal.
Suatu cara penghampiran yang sederhana dalam mempelajari ilmu
pengetahuan ditunjukkan al-Qur’an dalam surat al-Mulk ayat 3-4 yang
intinya mencakup proses kagum, mengamati, dan memahami. Dalam

16
konteks sains, al-Qur’an mengembangkan beberapa langkah/proses
sebagai berikut.
Pertama, al-Qur’an memerintahkan kepada manusia untuk mengenali
secara seksama alam sekitarnya seraya mengetahui sifat-sifat dan
proses-proses alamiah yang terjadi di dalamnya. Perintah ini, misalnya,
ditegaskan di dalam surat Yunus ayat 101. “Katakanlah (wahai
Muhammad): Perhatikan (dengan nazhor) apa yang ada di langit dan di
bumi….”
Dalam kata unzhuru (perhatikan), Baiquni
memahaminya tidak sekedar memperhatikan dengan pikiran kosong,
melainkan dengan perhatian yang seksama terhadap kebesaran Allah
SWT dan makna dari gejala alam yang diamati (Baiquni, 1997:20).
Perintah ini tampak lebih jelas lagi di dalam firman Allah di surat al-
Ghasyiyah ayat 17-20:
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan (dengan nazhor) onta
bagaimana ia diciptakan. Dan langit bagaimana ia diangkat. Dan
gunung-gunung bagaimana mereka ditegakkan. Dan bumi bagaimana ia
dibentangkan.”
Kedua, al-Qur’an mengajarkan kepada manusia untuk mengadakan
pengukuran terhadap gejala-gejala alam. Hal ini diisyaratkan di dalam
surat al-Qamar ayat 149.
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan ukuran.”
Ketiga, al-Qur’an menekankan pentingnya analisis yang mendalam
terhadap fenomena alam melalui proses penalaran yang kritis dan sehat
untuk mencapai kesimpulan yang rasional. Persoalan ini dinyatakan
dalam surat al-Nahl ayat 1112.
“Dia menumbuhkan bagimu, dengan air hujan itu, tanamantanaman
zaitun, korma, anggur, dan segala macam buahbuahan. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan
Allah bagi mereka yang mau berpikir. Dan Dia menundukkan malam
dan siang, matahari dan bulan untukmu; dan bintang-bintang itu
ditundukkan (bagimu) dengan perintah-Nya. Sebenarnya pada yang
demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang
menalar.”

17
Tiga langkah yang dikembangkan oleh al-Qur’an itulah yang
sesungguhnya yang dijalankan oleh sains hingga saat ini, yaitu
observasi (pengamatan), pengukuran-pengukuran, lalu menarik
kesimpulan (hukum-hukum) berdasarkan observasi dan pengukuran itu.
Meskipun demikian, dalam perspektif al-Qur’an, kesimpulan-kesimpulan
ilmiah rasional bukanlah tujuan akhir dan kebenaran mutlak dari proses
penyelidikan terhadap gejala-gejala alamiah di alam semesta. Sebab,
seperti pada penghujung ayat yang menjelaskan gejala-gejala alamiah,
kesadaran adanya Allah dengan sifat-sifat-Nya Yang Maha Sempurna
menjadi tujuan hakiki di balik fakta-fakta alamiah yang dinampakkan.
Memahami tanda-tanda kekuasaan Pencipta hanya mungkin dilakukan
oleh orang-orang yang terdidik dan bijak yang berusaha menggali
rahasia-rahasia alam serta memiliki ilmu (keahlian) dalam bidang
tertentu. Ilmu-ilmu kealaman seperti matematika, fisika, kimia,
astronomi, biologi, geologi dan lainnya merupakan perangkat yang
dapat digunakan untuk memahami fenomena alam semesta secara
tepat. Dengan bantuan ilmu-ilmu serta didorong oleh semangat dan
sikap rasional, maka sunnatullah dalam wujud keteraturan tatanan
(order) di alam ini tersingkap.

B. Prinsip-Prinsip Dasar Kegiatan Ilmiah dalam al-Qur’an

Atas dasar pandangan al-Qur’an tentang ilmu pengetahuan


(sains dan teknologi), dapat dirumuskan beberapa prinsip dasar yang
menopang dan memantapkan kegiatan ilmiah manusia sebagai berikut.

1. Prinsip Istikhlaf
Prinsip istikhlaf merupakan salah satu prinsip dasar yang digariskan
oleh al-Qur’an dalam mendukung dan memantapkan kegiatan
imiah. Konsep istikhlaf ini berkaitan erat dengan fungsi kekhalifahan
manusia. Dalam Islam, konsep kekhalifahan memiliki sifat yang multi
dimensional.
Pertama, konsep kekhalifahan telah menempatkan manusia sebagai
pengatur dunia ini dengan segenap kemampuan yang dimilikinya. Untuk
itu, imanusia dibekali dengan dua kekuatan pokok, wahyu Allah dan

18
kemampuan berpikir (akal). Apabila dua kekuatan itu dipergunakan
sebagaimana mestinya, maka manusia akan meraih keberhasilan dalam
kehidupan kini dan kehidupan nanti.
Kedua, sebagai khalifah Allah, manusia adalah makhluk yang paling
bertanggung jawab terhadap Allah dibandingkan makhluk-makhluk
lainnya. Tanggung jawab ini merupakan konsekuensi logis dari
anugerah kemampuan dan kekuatan yang dimilikinya.
Ketiga, sebagai khalifah Allah, manusia adalah makhluk yang memiliki
peranan penting untuk mengolah potensipotensi alam semesta.
Manusia paling berperan dalam mengelola seluruh aspek kehidupan,
baik aspek fisik, sosial, dan spiritual yang didasarkan pada hukum-
hukum Allah.
Sungguhpun demikian, karena pusat kehidupan alam semesta ini
adalah Allah (Dia yang menciptakan, menggerakkan segala sesuatu,
dan mengawasinya), bukan manusia, maka manusia memiliki
kemampuan terbatas.

2. Prinsip Keseimbangan
Prinsip dasar lainnya yang digariskan oleh al-Qur’an adalah
keseimbangan antara kebutuhan-kebutuhan dasar manusia, spiritual
dan material. Prinsip ini dibahas secara luas dan mendalam di dalam al-
Qur’an dengan mengambi berbagai bentuk ungkapan. Manusia disusun
oleh Allah dengan susunan dan ukuran tertentu, lalu diperuntukkan
bumi ini dengan kehendak-Nya untuk memenuhi kebutuhan susunan
yang membentuk manusia itu.
Dengan demikian, al-Qur’an menghendaki terwujudnya keseimbangan
yang adil antara dua sisi kejadian manusia (spiritual dan material)
sehingga manusia mampu berbuat, berubah dan bergerak secara
seimbang.

3. Prinsip Taskhir
Taskhir juga merupakan prinsip dasar yang membentuk pandangan al-
Qur’an tentang alam semesta (kosmos). Dan, tidak dapat dipungkiri,
manifestasi prinsip ini ke dalam kehidupan riil manusia harus ditopang
oleh ilmu pengetahuan.

19
Alam semesta ini (langit, bumi, dan seisinya) telah dijadikan oleh Allah
untuk tunduk kepada manusia. Allah telah menentukan dimensi, ukuran,
dan sunnah-sunnah-Nya yang sesuai dengan fungsi dan kemampuan
manusia dalam mengelola alam semesta secara positif dan aktif. Tetapi,
bersamaan dengan itu, al-Qur’an juga meletakkan nilai-nilai dan norma-
norma yang mengatur hubungan antara manusia dan alam semesta.
Oleh sebab itu, al-Qur’an sangat mengecam ekspoitasi yang melampaui
batas.
Prinsip taskhir yang ditopang oleh penguasaan ilmu pengetahuan dan
metodologinya merupakan faktor kondusif bagi manusia dalam
membangun bentuk-bentuk peradaban yang sesuai dengan cita-cita
manusia dan kemanusiaan.

4. Prinsip Keterkaitan antara Makhluk dengan Khalik


Prinsip penting lainnya adalah keterkaitan antara sistem penciptaan
yang mengagumkan dengan Sang Pencipta Yang Maha Agung. Ilmu
pengetahuan adalah alat yang mutlak untuk memberikan penjelasan
dan mengungkapkan keterkaitan itu.
Ilmuwan-ilmuwan Muslim klasik telah menghabiskan sebagian besar
umurnya untuk mengadakan pengamatan dan penelitian terhadap
fenomena alam dan akhirnya mereka sampai kepada kesimpulan yang
pasti dan tidak dapat dipungkiri bahwa sesungguhnya di balik semua
realitas yang diciptakan (makhluk) pasti ada yang menciptakan. Proses
penciptaan yang berada pada tingkat sistem yang begitu rapih, teliti,
serasi, tujuannya telah ditentukan, dan keterikatannya terarah, pastilah
bersumber dari kehendak Yang Maha Tinggi, Maha Kuasa, dan Maha
Mengatur.
Berdasarkan empat prinsip di atas, maka jelaslah bahwa ilmu
pengetahuan (sains dan teknologi) merupakan kebutuhan dasar
manusia yang Islami selama manusia melakukannya dalam rangka
menemukan rahasia alam dan kehidupan serta mengarahkannya
kepada Pencipta alam dan kehidupan tersebut dengan cara-cara yang
benar dan memuaskan.

20
C. Sains dan Teknologi Modern: Pertimbangan Epistemologis

Berdasarkan prinsip-prinsip al-Qur’an di atas, beberapa isu penting di


seputar epistemologi sains dan teknologi modern patut
dipertimbangkan.
Persoalan apakah sains dan teknologi itu netral ataukan sarat nilai
menjadi perhatian dan polemik di kalangan ilmuwan Barat sejak
Spengler menerbitkan bukunya The Decline of the West setelah Perang
Dunia I.
Argumen bahwa sains itu netral – bahwa sains bisa digunakan untuk
kepentingan yang baik atau buruk; bahwa pengetahuan yang mendalam
tentang atom bisa digunakan untuk menciptakan bom nuklir dan juga
bisa menyembuhkan penyakit kanker; bahwa ilmu genetika bisa
dipergunakan untuk mengembangkan teknoogi pertanian dan juga bisa
dipergunakan untuk “menyaingi Tuhan” (ingat rekayasa genetika) –
semua tampak amat meyakinkan. Tetapi, benarkah sains dapat
dipisahkan dari penerapannya (teknologi)? Padahal, sejak masa
renaissance (masa kelahiran sains modern) tujuan sains adalah untuk
diterapkan dengan menempatkan manusia sebagai penguasa alam dan
memberinya kebebasan untuk mengeksploitasi alam untuk kepentingan
manusia sendiri, apapun akibat yang ditimbulkannya.
Dampak-dampak fisis dari penerapan sains ini tentunya sudah
dirasakan dalam realitas kehidupan dahulu dan saat ini. Dengan
demikian, pada hakekatnya sains tidak dapat dipisahkan dari
penerapannya, baik atau buruk, sehingga sains tidak netral. Pernyataan
ini, sudah barang tentu, mengundang pertanyaan: “sistem nilai siapa
yang mempengaruhi sains?”
Berdasarkan penelitian Shaharir, (1992: 20) ada indikasi kuat bahwa
sains banyak dipengaruhi oleh sistem nilai yang dianut komunitas ahli
sains yang terkait, yang setengahnya tidak serasi dengan nilai Islam.
Oleh sebab itu, nilai-nilai yang menyertai sains modern harus
diantisipasi secara cermat agar kita tidak terperangkap dalam nilai-nilai
yang tidak Islami itu.

21
Di sisi lain, sejak awal kemunculannya, sains telah mengembangkan
suatu pola di mana rasionalisme dan empirisme menjadi pilar utama
metode keilmuan (scientific method). Pola berpikir sains ini ternyata
telah berpengaruh luas pada pola pikir manusia di hampir semua bidang
kehidupannya. Sehingga, penilaian manusia atas realitasrealitas – baik
realitas sosial, individual, bahkan juga keagamaan – diukur berdasarkan
kesadaran obyektif di mana eksperimen, pengalaman empiris, dan
abstraksi kuantitatif adalah cara-cara yang paling bisa dipercaya.
Akibatnya, seperti pengalaman AB Shah (1987) (ilmuwan India) yang
ingin memanfaatkan sains untuk memajukan masyarakat India, sains
telah memungkinkan manusia untuk memandang setiap persoalan
secara obyektif dan membebaskan manusia dari ikatan-ikatan takhayul.
Akan tetapi, sayangnya, sains juga membebaskan manusia dari
agamanya. Tampaknya, menurut AB Shah, dunia pengalaman kita
sudah semakin sempit. Yang nyata adalah yang empiris, rasional.
Selain itu, termasuk agama, adalah mitos, obsesi dan khayalan.
Di samping itu, sains juga membawa nilai-nilai sekularisme. Sains
memisahkan secara jelas antara dunia material dengan spiritual, antara
pengamat dengan yang diamati, antara subyek dengan obyek, antara
manusia dengan alam. Akibatnya, karena sains hanya mengamati fakta
dan aspek yang dapat diukur, sifat ruhaniah dari alam dan bendabenda
yang ada di dalamnya dihilangkan. Inilah yang disebut
sekularisme oleh Naquib al-Attas. (1991)
Belum diketahui secara persis sejauh mana dampak nilai-nilai yang
menyertai perkembangan sains itu terhadap masyarakat Muslim. Akan
tetapi, apa yang dikemukan di atas (bahkan mungkin lebih dari itu)
bukanlah rekaan dan mengada-ada. Inilah ancaman serius bagi
generasi sekarang dan generasi mendatang, yang oleh Ziauddin Sardar
(1987: 86) digambarkan sebagai imperialisme epistemologis. Dalam
ungkapannya:“Epistemologi peradaban Barat kini telah menjadi suatu
cara pemikiran dan pencarian yang dominan dengan mengesampingkan
cara-cara pengetahuan alternatif lainnya. Jadi, semua masyarakat
Muslim, dan bahkan sesungguhnya seluruh planet ini, dibentuk dengan
citra manusia Barat.”

22
Perangkap epistemoogi peradaban (termasuk di dalamnya sains dan
teknologi) Barat demikian kuatnya yang, tampaknya, tidak
memungkinkan bagi siapapun untuk menghindar darinya. Bagi umat
Muslim, sungguhpun belum mampu menciptakan epistemologi alternatif
sebagai tandingan, dalam kapasitas kemampuan masing-masing umat
harus kembali kepada al-Qur’an seraya mencermati pesan-pesan
ilahiyah yang terkandung dalam fenomena alam semesta.
Harus diyakini sepenuhnya bahwa semua yang diciptakan oleh Allah
memiliki kerangka tujuan ilahiyah. Berpijak pada ajaran Tauhid – di
mana Allah adalah Pencipta alam semesta, segala sesuatu berasal dari-
Nya dan kembali kepada-Nya – seyogyanya setiap langkah yang
diambil ditujukan untuk memperoleh keridlaan-Nya dan untuk
mendekatkan diri kepada-Nya. Penyelidikan untuk menyingkap rahasia
alam semesta tanpa terkecuali terkait dengan kerangka tujuan ini.
Al-Qur’an tidak menghendaki penyelidikan terhadap alam semesta
hanya untuk pemuasan keinginan (science for science), seperti yang
berlaku di Barat. Menurut al-Qur’an, sains hanyalah alat untuk mencapai
tujuan akhir. Pemahaman seseorang terhadap alam harus mampu
membawa kesadarannya kepada Allah Yang Maha Sempurna dan
Maha Tak Terbatas. Dalam perspektif inilah al-Qur’an menampakkan
dimensi spiritual dalam kisah Nabi Ibrahim a.s. di dalam surat al-An’am:
76-79.
Keyakinan Tauhid yang kokoh akan membuka cakrawala peneliti
kepada pandangan alam yang lebih komprehensif. Ia tidak lagi melihat
alam secara parsial dan sebagai bagian yang terpisah dari dirinya,
melainkan kesalinghubungan dalam kesatuan di balik keragaman. Inilah
yang diisyaratkan al-Qur’an bahwa setiap benda yang diciptakan oleh
Allah berada dalam satu kerangka tujuan, sehingga benda terkecilpun
memiliki nilai.
Ajaran Tauhid juga dapat membimbing manusia kepada kesadaran
adanya realitas supranatural di luar realitas eksternal yang dapat
diindera. Oleh sebab itu, ada banyak hal yang tidak bisa diraih lewat
indera dan dengan demikian tumbuh suatu kesadaran bahwa pada
hakekatnya pengetahuan manusia itu sangat terbatas.

23
D. Implikasi Pandangan al-Quran tentang Sain dalam Proses
Pembelajaran

Merujuk kepada pandangan Barbour tentang relasi agama dan


sains, secara umum ada empat pola yang menggambarkan hubungan
tersebut. Keempat hubungan itu adalah berupa konflik, independensi,
dialog, dan integrasi. Hubungan yang bersifat konflik menempatkan
agama dan sains dalam dua sisi yang terpisah dan saling bertentangan.
Pandangan ini menyebabkan agama menjadi terkesan menegasi
kebenaran-kebenaran yang diungkap dunia sains dan sebagainya.
Persepsi yang menggambarkan hubungan keduanya sebagai
interdependensi menganggap adanya distribusi wilayah kekuasaan
agama yang berbeda dari wilayah sains. Keduanya tidak saling
menegasi. Ilmu pengetahuan bertugas memberi jawaban tentang
proses kerja sebuah penciptaan dengan mengandalkan data publik
yang obyektif. Sementara agama berkuasa atas nilai-nilai dan kerangka
makna yang lebih besar bagi kehidupan seseorang.
Yang ketiga adalah persepsi yang menempatkan sains dan agama
bertautan dalam model dialog. Model ini menggambarkan sains dan
agama itu memiliki dimensi irisan yang bisa diperbandingkan satu sama
lain. Pertanyaan sains bisa dipecahkan melalui kajian-kajian agama dan
sebaliknya.
Keempat, hubungan antara sains dan agama itu dinyatakan sebagai
hubungan terintegrasi. Integrasi ini bisa digambarkan dalam dua bentuk
yakni teologi natural (natural theology) yang memandang bahwa
temuan-temuan ilmiah itu merupakan sarana mencapai Tuhan, dan
teologi alam (theology of nature) yang menganggap bahwa pertemuan
dengan Tuhan harus senantiasa di-up grade sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan (Barbour, 2005).
Sejak pertama kali diturunkan, al-Quran telah mengisyaratkan
pentingnya ilmu pengetahuan dan menjadikan proses pencariannya
sebagai ibadah. Di samping itu, al-Quran juga menegaskan bahwa satu-
satunya sumber ilmu pengetahuan adalah Allah SWT. Hal ini
mengindikasikan bahwa sebenarnya tidak ada dikotomi ilmu dalam
pandangan al-Quran. Tidak ada satu ayat pun di dalam al-Quran, yang

24
secara tegas maupun samar, yang memberi petunjuk bahwa agama
dan sain merupakan dua sisi yang berbeda. Dengan demikian, dalam
pandangan al-Quran, sains dan agama merupakan dua hal yang
terintegrasi.
Proses pembelajaran pada hakikatnya adalah proses mengamati,
menemukan, memahami, dan menghayati sunnatullah, yang berupa
fenomena alamiah maupun sosial, kemudian mengaplikasikan
pemahaman tersebut bagi kemaslahatan hidup manusia dan
lingkungannya serta menjadikan kesadaran adanya Allah dengan sifat-
sifat-Nya Yang Maha Sempurna sebagai tujuan hakiki dari kegiatan
pembelajaran. Tujuan ini akan membimbing peserta belajar kepada
kesadaran adanya realitas supranatural di luar realitas eksternal yang
dapat ia indera Oleh sebab itu, prinsip-prinsip dasar kegiatan ilmiah
yang digariskan al-Quran, (istikhlaf, keseimbangan, taskhir, dan
keterkaitan antara makhluk dengan Khalik) harus dijadikan titik tolak
dalam mempelajari subyek apapun.
Pada tataran praktis, proses pembelajaran di lembagalembaga
pendidikan formal, dari jenjang tingkat dasar hingga perguruan tinggi,
masih menghadapi perosalan serius yang bermuara pada dikotomi
pandidikan. Ada beberapa persoalan yang signifikansi dampak dari
dikotomi pendidikan ini, yaitu: 1) munculnya ambivalensi orientasi
pendidikan yang berdampak pada munculnya split personality dalam diri
peserta didik; 2) kesenjangan antara sistem pendidikan dengan ajaran
Islam berimplikasi pada out put pendidikan yang jauh dari citacita
pendidikan Islam.
Untuk meretas persoalan dikotomi tersebut, maka perlu dilakukan upaya
integrasi dalam pendidikan, sebagaimana yang telah di lakukan
sekelompok ahli pendidikan atau cendekiawan Muslim yang peduli pada
persoalan tesebut. Ada tiga tahapan upaya kerja integrasi yang telah di
kembangkan yaitu: 1) integrasi kurikulum, 2) integrasi pembelajaran, 3)
integrasi ilmu (Islamisasi ilmu).
Integrasi kurikulum mencakup pengintegrasian nilainilai ilahiyah dalam
keseluruhan materi pelajaran, mulai dari perumusan standar kompetensi
sampai dengan evaluasi pembelajaran. Integrasi pembelajaran yang
dimaksud adalah menanamkan motivasi dan pandangan al-Quran

25
tentang sains kepada peserta didik di saat proses pembelajran
berlangsung. Dua langkah awal (integrasi kurikulum dan integrasi
pembelajaran) merupakan langkah strategis ke arah integrasi ilmu.
Kalaupun upaya integrasi di atas belum bisa dilakukan, setidaknya,
pembelajaran sains (kealaman maupun sosial) harus mampu
menghantarkan peserta didik kepada kesadaran yang permanen
tentang keberadaan Allah. Sementara pembelajaran agama harus
mampu memotivasi peserta didik untuk melakukan kegiatan ilmiah
secara terus-menerus. Inilah yang sesungguhnya yang menjadi inti
pandangan al-Quran tentang sains.

3. GENERASI TERBAIK MENURUT AL-HADITS

Siapakah generasi terbaik dari umat Muhammad? Hadis shahih


dibawah ini memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut, mari kita
simak dan baca dengan seksama hadis berikut ini :

Artinya : Dari Imran bin Hushain radliallahu ‘anhuma berkata; Nabi


shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sebaik-baik kalian adalah yang
hidup pada zamanku (generasiku) kemudian orang-orang yang datang
setelah mereka kemudian orang-orang yang datang setelah mereka”.
(HR. Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, an-Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad)

Penjelasan Hadis 

Berdasarkan hadis Nabi diatas, generasi terbaik dari ummat Islam


secara umum ada 3 generasi. Pertama ; generasi para sahabat yang
hidup sezaman dengan Nabi dalam keadaan beriman dan wafat juga
dalam keadaan beriman, kedua ; generasi tabi’in mereka yang bertemu
dengan para sahabat dalam keadaan beriman dan meninggal dalam
keadaan beriman juga, ketiga ; generasi tābiu at-tābi’īn, yang pernah
bertemu dengan tābi’īn dan hidup sezaman dengan mereka dalam
keadaan beriman.

26
Sahabat yang Wafat Paling Akhir

Tahukah antum siapakah sahabat yang paling akhir meninggal dunia?


Beliau adalah Abu at-Thufail Āmir bin Wātsilah al-Laitsiy, meninggal
pada tahun ke-100 hijriyah, menurut versi riwayat lain, ada juga yang
mengatakan beliau wafat pada tahun 110 hijriyah.

Batasan Zaman Hidupnya Tābi’u at-Tābi’īn

Siapakah golongan Tābiu at-Tābi’īn yang perkataannya bisa kita terima


dan termasuk yang hidup digenerasi terbaik terakhir atau yang ketiga?
Mereka adalah orang yang hidup sebelum tahun 220 hijriyah, demikian
menurut informasi dari al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab
Fathul Bari.

Sumber informasi ini bisa kita baca dalam kitab Syarh al-Aqīdah al-
Wāshitiyyah karya Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimīn.

Kedudukan 4 Imam Mazhab

Apakah Imam mazhab yang empat, Imam Abu Hanifah, Imam Malik,
Imam as-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal termasuk dalam golongan
3 generasi terbaik seperti dijelaskan diatas?

Imam Abu Hanifah (80-150 H)

Abu Hanifah nama aslinya adalah an-Nu’man bin Tsabit bin Zhuthā lahir
pada tahun 80 Hijriyah dan wafat pada tahun 150 Hijriyah, ada yang
mengatakan beliau termasuk golongan tabi’in, karena hidup dimasa
masih ada 4 orang sahabat Nabi yang masih hidup, yaitu Anas bin
Malik, Abdullah bin Abi Aufa, Sahal bin Sa’ad, dan Abu Thufail Amir bin
Watsilah al-Laitsiy, meskipun demikian tidak ada satupun riwayat dari
Abu Hanifah yang diambil langsung dari salah satu keempat sahabat
tersebut. Lihat kitab al-Madkhal ilā Dirāsati al-Mazāhib al-
Fiqhiyyah halaman 95 karya Ali Jum’ah Muhammad.

27
Diantara perkataan populer dari Abu Hanifah yang patut kita jadikan

“Jika aku mengatakan sesuatu yang menyelisih kitab Allah dan khabar
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah
perkataanku”

Terkait pernyataan populer dari para Imam Mazhab yang empat ini
semuanya diambil dari kitab Shahih Fiqhus Sunnah wa Adillatuhu wa
Taudhīhu Mazāhibi al-Aimmah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid
Sālim.

Imam Malik (93-179 H)

Imam Malik, kunyahnya Abu Abdillah, nama aslinya Malik bin Anas bin
Malik bin Abi ‘Āmir bin Amru bin al-Harits bin Ghaiman, beliau termasuk
generasi tābiut ta’bi’īn, hidup pada masanya beberapa ulama dari
generasi tabi’in, bahkan Imam Malik merasakan belajar langsung dari
para ulama tabi’in seperti Nafi’ pelayannya Umar bin al-Khattab,
Muhammad bin al-Mukandir, Abu az-Zubair, az-Zuhri, Abdullah bin
Dinar dan Abu Hazim.

Imam Malik lahir di Madinah pada tahun 93 Hijriyah, beliau berguru


pertama kali kepada Abdurrahman bin Hurmuz dalam kurun waktu
cukup lama. Sejak lahir sampai wafat, Imam Malik tinggal di Madinah,
banyak orang dari berbagai negeri berguru kepada beliau, hingga beliau
wafat pada tahun 179 Hijriyah. (Lih. Kitab Tarīkh at-Tasyrī’ al-Islāmiy,
halaman 160-162, karya Syeikh Muhammad al-Khudriy Bik)

Perkataan populer dari Imam Malik yang patut dijadikan pegangan


diantaranya adalah pernyataan berikut ini ;

28
“Tidak seorangpun setelah Nabi shallallahu alaihi wa sallam, kecuali
perkataan mereka itu bisa diambil atau bisa ditinggalkan, kecuali
perkataan Nabi shallallahu alaihi wa sallam”

Imam As-Syafi’i (150-204 H)

Imam as-Syafi’iy, kunyahnya Abu Abdillah, nama aslinya Muhammad


bin Idris bin al-Abbas bin Utsman bin Syāfi’ as-Syāfi’i. Lahir di Ghaza
pada tahun wafatnya Abu Hanifah yaitu tahun 150 Hijriyah. Imam as-
Syafi’iy wafat di Mesir pada tahun 204 Hijriyah. (Lih. Kitab Manhaj al-
Imam as-Syāfi’i Fī Itsbāti al-Aqīdah, halaman 19-44)

Pernah berguru langsung kepada Imam Malik, saat mempelajari kitab


karya Imam Malik sendiri, yaitu kitab al-Muwaththa’. Imam as-Syafi’i
termasuk generasi tābiu at-Tābi’īn, sebagaimana halnya Imam Malik.

Diantara pernyataan penting dari Imam as-Syafi’i yang menujukkan


kuatnya berpegang teguh kepada sunnah Nabi shallallahu alaihi wa
sallam adalah pernyataan berikut ini ;

“Setiap hadis dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam ada (rujukan)


perkataanku, meskipun kalian tidak pernah mendengarnya dariku” (lih.
Kitab Shahīh Fiqhus Sunnah, halaman 41, karya Abu Malik Kamal bin
Sayyid Sālim).

Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H)

Imam Ahmad bin Hanbal, nama Aslinya Ahmad bin Hanbal bin Hilal adz-
Dzuhliy as-Syaibāniy al-Marwaziy, lahir di Baghdad pada tahun 164
Hijriyah, wafat pada tahun 241 Hijriyah, dan beliau termasuk golongan
generasi terbaik umat ini, yaitu generasi tābiu at-tābi’īn.

Pernah berguru kepada Imam as-Syafi’i saat beliau berada di Baghdad,


bahkan Imam Ahmad termasuk murid senior Imam As-Syafi’i, kemudian
beliau mempunyai pandangan-pandangan hasil ijtihadnya sendiri yang
tidak sedikit berbeda dengan pandangan Imam As-Syafi’i. Imam Ahmad
temasuk ulama Mujtahid dari kalangan Ahli Hadis, yang mendahulukan

29
perkataan para sahabat diatas qiyas. Kemudian menyusun kitab al-
Musnad yang berisi lebih dari 40.000 hadis didalamnya. (Lih. Kitab
Tarīkh at-Tasyrī’ al-Islāmiy, karya Syeikh Muhammad al-Khudriy Bik)

Diantara perkataan Imam Ahmad yang populer adalah pernyataan


beliau berikut ini ;

“Janganlah kalian bertaqlid kepadaku, juga jangan taqlid kepada Malik,


as-Syafi’i, al-Auzā’iy dan at-Tsauriy, (tetapi) ambilah dari (sumber)
dimana mereka mengambil”

Ulama Hadis Penyusun Kutub at-Tis’ah

Selain Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hambal, yang termasuk
penyusun kutub at-Tis’ah atau 9 kitab hadis yang kitabnya dianggap
sebagai kitab hadis mu’tabar dan banyak dijadikan rujukan para ulama
adalah Imam Bukhari (194-256 H), Imam Muslim (204-261 H), Abu
Dawud (202-275 H), at-Tirmidzi (209-279 H), An-Nasai (215-303 H),
Ibnu Majah (209-273 H), dan Imam ad-Dārimiy (181-255 H).

Jika mengikuti pembatasan masa hidup ulama yang masuk dalam


kategori tābiu at-tābi’īn berdasarkan catatan Ibnu Hajar al-Asqalaniy
seperti dijelaskan diatas, maka seluruh penulis atau penyusun kitab
hadis kutub at-tis’ah, nampaknya masuk dalam kategori generasi tābi’u
at-tābi’īn, generasi akhir terbaik dari umat islam, seperti yang
disabdakan oleh baginda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pada
hadis diatas.

Dengan demikian bisa diambil kesimpulan bahwa para ulama Imam


mazhab yang empat dan para penyusun kutub at-tis’ah mereka adalah
orang-orang yang lahir dan hidup pada zaman keemasan Islam, yang
oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam disebut khairukum atau sebaik-
baik dari kalian kaum muslimin, adalah mereka yang hidup sezaman
dengan Nabi, kemudian yang hidup setelahnya, kemudian yang hidup

30
setelahnya. Mereka adalah para sahabat, tābi’īn dan tåbi’u at-tābi’īn,
yang berakhir pada batas waktu sebelum tahun 220 Hijriyah.

4. PENGERTIAN SALAF (REFERENSI HADITS)

“Salaf” dalam Al-Qur’an, Hadis, Bahasa dan Istilah

Dalam Al-Qur’an, kata salafa dalam bentuk kata kerja lampau


sederhana terulang sebanyak lima kali , yang bermakna telah lewat dan
berlalu. Dan di satu tempat kata salafan menjadi objek yang bermakna
pendahulu, ketika Al-Qur’an mengisahkan tentang Fir’aun. Juga ada
derivasi lain, yaitu kata aslafat11 dan aslaftum , yang berbentuk kata
kerja transitif. Sementara dalam literatur hadis, akar kata yang sama
digunakan dalam makna yang lebih ragam. Dalam salah satu hadis
riwayat sahabat Ibn ‘Abbas ra. ketika salah satu putri Nabi saw. wafat,
beliau saw. bersabda ”Susullah pendahulu kita (ilh}aqi bī salafina) yang
baik ‘Utsman bin Mazh’un”. Disalah satu bab kitab Shahihnya, al-
Bukhari mengutip pernyataan Rasyid bin Sa’d bahwa para pendahulu
menyukai kuda jantan (kāna al-salāf yastah} ibbūnal-fuh}ūlah).

Qasthalani menegaskan bahwa yang dimaksud al-salaf dalam


pernyataan diatas adalah para Sahabat dan orang-orang sesudahnya.
Contoh lainnya dapat ditemukan di bagian lain S}ah}īh} al-Bukhāri. Kata
salafa juga bermakna memesan, sebagaimana dalam sabda Rasulullah
SAW; ”Man salafa fī tamr fal yuslif fī kayl ma’lūm wa wazn ma’lūm”.
Dengan demikian dalam al-Qur’an dan kutipan-kutipan hadis diatas kata
salaf tidak bermakna golongan tertentu secara eksklusif. Kata ini lebih
bermakna pendahulu atau yang mendahului tanpa konotasi rujukan
pada golongan tertentu.

Secara bahasa, akar kata s-l-f bermakna mendahului (taqaddum


wa sabq), sedang kataal-salafbermakna orang-orang yang telah berlalu.
Dalam perkembangan ilmu fiqh kata al-salaf merupakan nama bagi
setiap orang yang diikuti pendapatnya dalam persoalan agama.

31
pada setiap madzhab. Misalnya, istilah al-salaf dalam madzhab
Hanafi digunakan untuk ulama yang hidup di antara masa Imam Abu
Hanifah dan Muhammad bin alHasan. Sedangkan dalam madzhab
Syafi’i ia merujuk pada ulama yang hidup sampai abad tiga hijriyah,
yang mencakup Sahabat, Tābi’īn (murid Sahabat) dan Tabī al-Tābi’īn
(murid Tabi’in). Secara istilah, dengan demikian, kata salaf dapat
memiliki makna yang berbeda dalam setiap madzhab hukum.

5. ISLAM, AJARAN TENTANG BERBAGI SERTA KEADILAN


PENEGAKAN HUKUM

Penegakan Hukum Terdapat beberapa faktor yang dapat


mendukung tegaknya hukum di suatu Negara antara lain: Kaidah
hukum, Penegak hukum, Fasilitas dan Kesadaran hukum warga
Negara. Dalam pelaksanaannya masih tergantung pada sistem politik
Negara yang bersangkutan. Jika sistem politik Negara itu otoriter maka
sangat tergantung penguasa bagaimana kaidah hukum, penegak
hukum dan fasilitas yang ada. Adapun warga Negara ikut saja kehendak
penguasa (lihat synopsis). Pada sistem politik demokratis juga tidak
semulus yang kita bayangkan. Meski warga Negara berdaulat, jika
sistem pemerintahannya masih berat pada eksekutif (Executive heavy)
dan birokrasi pemerintahan belum direformasi, birokratnya masih
“kegemukan” dan bermental mumpung, maka penegakan hukum masih
mengalami kepincangan dan kelambanan (kasus “hotel bintang” di
Lapas).

Belum lagi kaidah hukum dalam hal perundang-undangan yang


simpang siur penerapannya (kasus Prita). Agar suatu kaidah hukum
berfungsi maka bila kaidah itu berlaku secara yuridis, maka
kemungkinan besar kaidah tersebut merupakan kaidah mati (dode
regel), kalau secara sosiologis (teori kekuasaan), maka kaidah tersebut
menjadi aturan pemaksa (dwang maat regel). Jika berlaku secara
filosofi, maka kemungkinannya hanya hukum yang dicita-citakan yaitu
ius constituendum.

32
Kaidah hukum atau peraturan itu sendiri, apakah cukup
sistematis, cukup sinkron, secara kualitatif dan kuantitatif apakah sudah
cukup mengatur bidang kehidupan tertentu. Dalam hal penegakan
hukum mungkin sekali para petugas itu menghadapi masalah seperti
sejauh mana dia terikat oleh peraturan yang ada, sebatas mana
petugas diperkenankan memberi kebijaksanaan. Kemudian teladan
macam apa yang diberikan petugas kepada masyarakat. Selain selalu
timbul masalah jika peraturannya baik tetapi petugasnya malah kurang
baik. Demikian pula jika peraturannya buruk, maka kualitas petugas
baik. Fasilitas merupakan sarana dalam proses penegakan hukum. Jika
sarana tidak cukup memadai, maka penegakan hukum pun jauh dari
optimal. Mengenai warga negara atau warga masyarakat dalam hal ini
tentang derajat kepatuhan kepada peraturan. Indikator berfungsinya
hukum adalah kepatuhan warga. Jika derajat kepatuhan rendah, hal itu
lebih disebabkan oleh keteladanan dari petugas hukum. Keadilan
Pengertian keadilan dapat ditinjau dari dua segi yakni keadilan hukum
dan keadilan sosial. Adapun keadilan mengandung asas kesamaan
hukum artinya setiap orang harus diperlakukan sama di hadapan
hukum. Dengan kata lain hukum harus diterapkan secara adil. Keadilan
hukum ternyata sangat erat kaitannya dengan implementasi hukum di
tengah masyarakat. Untuk mencapai penerapan dan pelaksanaan
hukum secara adil diperlukan kesadaran hukum bagi para penegak
hukum. Dengan demikian guna mencapai keadilan hukum itu, maka
faktor manusia sangat penting. Keadilan hukum sangat didambakan
oleh siapa saja termasuk penjahat (pembunuh, pemerkosa, dan
koruptor). Jika dalam suatu negara ada yang cenderung bertindak tidak
adil secara hukum, termasuk hakim, maka pemerintah harus bertindak
mencegahnya. Pemerintah harus menegakkan keadilan hukum, bukan
malah berlaku zalim terhadap rakyatnya. Keadilan sosial terdapat dalam
kehidupan masyarakat, terdapat saling tolong-menolong sesamanya
dalam berbuat kebaikan. Terdapat naluri saling ketergantungan satu
dengan yang lain dalam kehidupan sosial (interdependensi). Keadilan
sosial itu diwujudkan dalam bentuk upah yang seimbang, untuk
mencegah diskriminasi ekonomi. Keadilan sosial adalah persamaan

33
kemanusiaan, suatu penyesuaian semua nilai, nilai-nilai yang termasuk
dalam pengertian keadilan. Kepemilikan atas harta seharusnya.

tidak bersifat mutlak. Perlu dilakukan pemerataan, distribusi


kekayaan anggota masyarakat. Bagaimana pemilik harta seharusnya
menggunakan hartanya. Penimbunan atau konsentrasi kekayaan,
sehingga tidak dimanfaatkan dalam sirkulasi dan distribusi akan
merugikan kepentingan umum. Sebaiknya harta kekayaan itu digunakan
sebaik mungkin dan memberikan manfaat bagi pemiliknya maupun bagi
masyarakat.

Hukum dan Keadilan Dalam Islam

Menurut M. Natsir (demokrasi dibawah hukum cet.III, 2002) adalah


suatu penegasan, ada undang-undang yang disebut Sunnatullah yang
nyatanyata berlaku dalam kehidupan manusia pada umumnya.
Perikehidupan manusia hanya dapat berkembang maju dalam
berjama’ah (Society). Man is born as a social being. Hidup perorangan
dan hidup bermasyarakat berjalin, yang satu bergantung pada yang lain.
Kita mahluk sosial harus berhadapan dengan berbagai macam
persoalan hidup, dari persoalan rumah tangga, hidup bermasyarakat,
berbangsa, bernegara, berantara negara, berantar agama dan
sebagainya, semuanya problematika hidup duniawi yang bidangnya
amat luas. Maka risalah Muhammad Saw, meletakkan beberapa kaidah
yang memberi ketentuan-ketentuan pokok guna memecahkan
persoalan-persoalan. Kestabilan Hidup bermasyarakat memerlukan
tegaknya keadilan lanjut M. Natsir. Tiap-tiap sesuatu yang melukai rasa
keadilan terhadap sebagian masyarakat, maka bisa merusak kestabilan
secara keseluruhan. Menegakkan keadilan di tengah-tengah
masyarakat dan bangsa diawali dengan kedaulatan hukum yang
ditegakkan. Semua anggota masyarakat berkedudukan sama di
hadapan hukum. Jadi di hadapan hukum semuanya sama, mulai dari
masyarakat yang paling lemah sampai pimpinan tertinggi dalam Negara.
“Dan janganlah rasa benci kamu kepada suatu golongan menyebabkan
kamu tidak berlaku adil. Berlaku adilah, karena itu lebih dekat kepada
taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah karena sesungguhnya Allah amat
mengetahui apa yang kamu kerjakan”(QS.5:8). “Dengarlah dan taatilah

34
sekalipun andaikata yang menjalankan hukum atasmu seseorang budak
Habsyi yang kepalanya seperti kismis selama dijalankannya hukum
Allah Swt”. (H.R.Buchori dari Anas).

Tidak mungkin hukum dan keadilan dapat tegak berdiri keadilan


dapat tegak berdiri kokoh apabila konsep persamaan itu diabaikan.
Implementasi keadilan hukum di masyarakat dewasa ini banyak ditemui
sandungan yang menyolok atas pandangan lebih terhadap orang yang
punya kedudukan tinggi, yang punya kekayaan melimpah, sehingga
rakyat banyak telah menyimpan imej bertahun-tahun bahwa di negeri ini
keadilan itu dapat dibeli. Lebih jauh kesamaan itu dijabarkan Rachman
di bukunya Political Science and Government dalam Ramly Hutabarat di
bukunya Hukum dan Demokrasi (1999) yaitu, yakni: a. Manusia secara
alamiah dilahirkan sama (Natural Equality) b. Setiap masyarakat
memiliki kesamaan hak sipil c. Semua warga negara memiliki hak yang
sama mendapatkan lapangan pekerjaan d. Semua warga Negara sama
kedudukannya dalam politik. QS.4:135.”Wahai orang-orang yang
beriman jadilah kamu orang yang tegak menegakkan keadilan, menjadi
saksi kebenaran karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu
bapakmu atau kerabatmu”.

35
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahim, Muhammad, Imaduddin, Kuliah Tauhid, (Jakarta: Yayasan Sari


Insan, 1989), h. 16-21, 54-56.

Al-Ghazali, Muhammad selalu Melibatkan Allah, (Jakarta PT. Serambi Ilmu


Semesta, 2001), h. 28-39. .

Baiquni, Achmad (a). 1995. Al-Qur’an, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi,


Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf. .

Barbour, Ian G. 2005. Menemukan Tuhan dalam Sains Kontemporer dan


Agama, Bandung: Mizan.

Dzahabi, al-. 1961. al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid II, Kairo: Daar al-Kutub al-
Haditsah.

Ghulsyani, Mahdi. 1993. Filsafat Sains Menurut al-Qur’an, Bandung: Mizan.

Zain, Shaharir bin Mohamad. 1992. “Islam dan Pembangunan Sains dan
Teknologi” , Makalah, disampaikan dalam Konggres “Menjelang Abad 21: Islam
dan Wawasan 2020, di Kuala Lumpur tahun 1992

Al-Afghani, al-Syams al-Salafi. ‘Adā’ al-Matūridiyah lī al-Aqīdah al-Salāfiyah al-


Matūridiyah wa Mawqifuhum min Tawh}īd al-Asmā’ wa al-S}ifāt. (alThaif:
Maktabah al-Shiddiq, 1998)

Al-Andalusi, Abu Umar Yusuf bin Abdul Barr. Al-Intiqā’ fī Fadhāil alAimmah al-
Tsalātsah al-Fuqahā’. ed. Abd al-Fattah Abu Ghuddah, (Aleppo-Beirut: Maktab
al-Mathbu’at al-Islamiyah-Dar al-Basyair al-Islamiyah, 1997).

36
Al-‘As’as, Ibrahim. Al-Salaf wa al-Salafiyūn: Ru’yah min al-Dakhīl. (T.Tp: Dar al-
Bayariq, T.Th).

Al-‘Asqalani, Ahmad bin Ali bin Hajar. Fath} al-Bāri Syarh}S}ah}īh} al-Bukhāri.
(Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1379).

37

Anda mungkin juga menyukai