Anda di halaman 1dari 44

ARTIKEL KEISLAMAN:

1. KEISTIMEWAAN DAN KEBENARAN KONSEP KETUHANAN DALAM ISLAM


2. SAINS&TEKNOLOGI DALAM AL-QUR‟AN DAN AL-HADITS
3. GENERASI TERBAIK MENURUT AL-HADITS
4. PENGERTIAN SALAF (REFERENSI HADITS)
5. ISLAM, AJARAN TENTANG BERBAGI SERTA KEADILAN PENEGAKAN
HUKUM

Disusun sebagai tugas terstruktur Mata Kuliah: Pendidikan Agama Islam

Dosen Pengampuh:

Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos

Disusun Oleh:

Nama : Uswatun Hasanah


NIM : G1D020063
Fakultas&Prodi : MIPA/Matematika
Semester : 1(Satu)

PROGRAM STUDI MATEMATIKA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS MATARAM
T.A. 2020/2021

i
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,puji syukur
kita panjatkan kehadirat Allah SWT.yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga saya dapat merampungkan penyusunan artikel pendidikan agama islam ini
tepat pada waktunya.Penyusunan artikel semaksimal mungkin saya upayakan dan
didukung bantuan berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar dalam
penyusunannya

Terima kasih saya sampaikan atas bimbingan Bapak Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I.,
M.Sos sebagai dosen pengampuh mata Kuliah Pendidkan Agama Islam dan tidak lupa
saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu saya
dalam merampungkan makalah ini.

Namun tidak lepas dari semua itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat
kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya. Oleh karena itu,
dengan lapang dada saya membuka selebar-lebarnya pintu bagi para pembaca yang
ingin memberi saran maupun kritik demi memperbaiki artikel ini.

Akhirnya penyusun sangat mengharapkan semoga dari makalah sederhana ini dapat
diambil manfaatnya dan besar keinginan saya dapat menginspirasi para pembaca
untuk mengangkat permasalahan lain yang relevan pada makalah-makalah
selanjutnya.

Mataram, 23 Oktober 2020

Nama : Uswatun Hasanah

NIM : G1D020063

ii
DAFTAR ISI

Contents
KATA PENGANTAR ..................................................................................................... ii
BAB I KEISTIMEWAAN DAN KEBENARAN KONSEP KETUHANAN DALAM ISLAM . 1
A. Konsep Ketuhanan dan Perspektif Dalam Agama Islam ....................................... 1
B. KONSEP MANUSIA DALAM PERSPEKTIF AGAMA ISLAM ................................ 9
BAB II SAINS DAN TEKNOLOGI DALAM AL-QUR‟AN .............................................. 17
A. Sains dan Teknologi Dalam Al-Qur‟an dan Implikasi Dalam Pembelaaran .......... 17
B. Dimensi Sains dan Teknologi dalam al-Qur‟an .................................................... 18
C. Prinsip-Prinsip Dasar Kegiatan Ilmiah dalam al-Qur‟an ....................................... 21
D. Sains dan Teknologi Modern: Pertimbangan Epistemologis ............................... 23
E. Implikasi Pandangan al-Quran tentang Sain dalam Proses Pembelajaran .......... 24
BAB III GENERASI TERBAIK MENURUT AL-HADIS ................................................ 27
A. Sahabat............................................................................................................ 27
B. Tabi‟in .............................................................................................................. 29
C. Tabi‟ut Tabi‟in ............................................................................................... 31
BAB IV PENGERTIAN SALAF MENURUT HADIST .................................................. 32
A. Definisi Salaf ( ) .......................................................................................... 32
B. Definisi Ahlus Sunnah wal Jama‟ah.................................................................. 33
C. Sejarah Munculnya Istilah Ahlus Sunnah wal Jama‟ah ....................................... 35
BAB V Islam: Ajaran Tentang Berbagi serta Keadilan Penegakan Hukum .................. 37
A. Keadilan Dalam Islam ...................................................................................... 37
B. Kepemimpinan Dalam Islam ............................................................................... 39

iii
BAB I KEISTIMEWAAN DAN KEBENARAN KONSEP KETUHANAN
DALAM ISLAM

A. Konsep Ketuhanan dan Perspektif Dalam Agama Islam

Tuhan menurut Islam adalah Allah, Esa, Ahad, Dia adalah dirinya
sendiri, Tunggal dalam sifatnya maupaun Fa‟alnya. Dia unsur yang berdiri
sendiri tidak berbilang dan pada ayat kedua yaitu Allah tidak bergantung
pada siapa-siapa melainkan ciptaan-Nyalah yang bergantung pada-Nya
seperti malaikat, manusia, iblis, jin, hewan, benda mati, cair, gas, padat,
cahaya dan sebagainya adalah ciptaan. Dialah Sang pencipta Sang kholik,
semua makhluk berdo‟a meminta kepada-Nya, hidup matinya tergantung
kepada-Nya, tidak ada makhluk yang tidak tegantung kepada-Nya demikian
juga manusia sejak zaman Adam hingga Muhammad.

Ayat ketiga yaitu Allah tiak beranak dan tidak diberanakkan,


maksudnya Allah tidak beranak dan tidak mempunyai orang tua, ia
Tunggal, Esa. Dan ayat yang keempat yaitu tidak ada sesuatupun yang
setara dengan dia. Maksudnya Allah itu Maha sempurna dan tidak ada yang
menaningi kesempurnaannya dan dia tidak ada yang menyeratakan
dengannya walaupun nabi, malaikat atau makhluk gaib yang pintar pun
kalah dengannya. Dia Maha segalanya Allah itu Tunggal, Esa. Wujudnya
ya dirinya sendiri bukan Zdat lain. Atau menyatu dengan Zdat lain, dua menjadi satu
atau tiga menjadi satu seperti trimurti, trinitas, triparti.
Islam tidak mengenal politiesme Islam hanya mengenal monoteisme. Sang
Tunggal, Tunggal wujudnya, Tunggal dan kekal. Awal dan akhir sifatnya.1

Dalam keimanan Islam, diajarkan bahwa untuk mengenal Tuhannya


orang-orang Islam, kita harus mengenal ciptaan-Nya, pencipta dikenal
melalui ciptaan-Nya. Karena Tuhan Maha pencipta, maka untuk mengenal
Tuhan, kita harus mengenal ciptaan-Nya.2

Dalam tinjauan Islam, konsep ke-Tuhan-an tidak dapat dipisahkan


dari pengertian tentang Tuhan yang termuat dalam sumber-Nya. Yaitu AlQur‟an yang
oleh umat Islam diyakini sebagai wahyu, dan menurut AlQur‟an ajaran Islam yang
terpenting adalah perintah dan seruan kepada
manusia untuk menyembah hanya kepada Allah dan ini merupakan kredo
inti. Al-Qur‟an menyatakan bahwa yang Tuhan itu hanyalah Allah. Karena

1
Departmen Agama, Al-Qur’an dan TerjeMahannya, (Jakarta: Kumudasmoro Grafindo,
1994) hal. 1118
2
1118Yasin T. Al-Jibauri, Konsep Tuhan Menurut Islam, Lentera Basritama; Jakarta, 2005, hal
30-34

1
yang Tuhan hanyalah Allah maka manusia hanya benar kalau menyembah
Allah semesta.

Sehubungan dengan ke-Tuhan-an, Al-Qur‟an tidak hanya


menyebutkan tentang Tuhan saja, akan tetapi juga tentang sifat-sifatnya,
lewat sifat-sifat Allah dapat diketahui corak hubungan antara Allah selaku
pencipta alam sebagai ciptaan-Nya.Al-Qur‟an dengan tegas menyatakan
bahwa tidak ada sesuatu pun yang mampu menyamai dan menyertai Allah.
Dari sini juga dapat dipahami kata Allah itu adalah nama Tuhan bagi
kalangan muslim.

Konsep-konsep teologis yang pokok, yang diuraikan secara garis


besar dalam Al-Qur‟an, dalam banyak hal sama dengan yang terdapat
dalam agama yahudi dan Kristen konsep yang paling penting adalah Tuhan
dan manusia sebagaimana halnya dengan agama luhur lainnya, segala
sesuatu dalam Islam berpusat pada kenyataan utama, yaitu Tuhan atau
Allah. Pertama-tama, Allah itu bukan benda dan karena itu tidak terlihat.
Bagi orang arab hal ini tidak menimbulkan keraguan akan keberadaannya
karena mereka tidak pernah belajar seni, menganggap sesuatu tidak ada
kecuali apa yang dapat dilihat bagi kaum muslimin, monoteisme bukan
hanya sumbangan Islam kepada agama orang arab, tetapi kepada seluruh
agama manusia.

Patung-patung agama Hindu dianggap sebagai suatu bukti yang


nyata bahwa agama ini tidak pernah menganut pemujaan hanya kepada
Tuhan saja seperti halnya umat Kristen yang telah mengkompromikan
monoteismenya dengan memper-Tuhan-kan Yesus. Islam menghormati
Yesus sebagai seorang nabi Allah yang benar. Agama ini bahkan menerima
ajaran Kristen tentang kelahiran dari seorang perawan. 3Tetapi tentang
ajaran ingkarnasi dan tri Tunggal, Islam menarik garis besar yang tegas, dan
memandang hal itu sebagai suatu konsensi terhadap keinginan manusia
untuk mencari kompromi antara yang bersifat manusia dengan hal yang
bersifat ilahi.

Ia merupakan penguasa dari jagat raya adalah juga: yang suci, yang
Maha damai, yang Maha setia, selalu dekat yang cintanya kepada manusia
lebih lembut dari cinta induk burung kepada anak-anaknya. 4Karena rahmat
Tuhan, suasana Al-Qur‟an adalah suasana kegembiraan, walaupun
peringatan-Nya pada manusia yang tidak benar cukup keras. Seperti halnya
yang ditulis oleh seorang ahli filsafat muslim yang besar: “pusat
pengalaman berhingga yang sulit dijelaskan merupakan kenyataan universal
yang paling mendasar. Semua kehidupan bersifat individual: tidak ada apa

3
Djohan Effendi, Agama-Agama Manusia, (Jakarta; Yayasan Obor Indonesia (YOI) 1985),
hal. 270.
4
Ameer Ali, The Spirit Of Islam, (London; christophers, 1923), hal 150

2
yang disebut kehidupan universal itu. Karena Tuhan itu sendiri adalah suatu
individu: Ia merupakan individu yang paling unik.5

Bila dikaji dari sumber akar kata kalimat yang diberikan kepada
wujud yang Maha Tinggi dan Maha Kuasa di dalam berbagai bahasa adalah
diterima asal-usulnya sama, terutamanya dalam bahasa-bahasa Indo Eropa
seperti perkataan Deva, Theo, Dieu, Dos dan Do serta Khoda dan God.
Dalam bahasa-bahasa semantik seperti Ilah, El, dan Al; bahkan antara
Yahweh dalam bahasa Ibrani dan Ioa dalam bahasa Yunani Persian merujuk
kepada kesemua konsep tentang kewujudan Maha Tinggi, juga merujuk
kepada kemiripan bunyi sehingga boleh juga merupakan perkongsian
bersama seluruh manusia (cognate).6

Manakala perkataan ilah yang jamaknya alihah dan kata ilahah


yang jamaknya ilahat di dalam bahasa Arab memberi maksud yang sama
yaitu sesuatu yang disembah atau dipatuhi. Sekiranya alihah bermaksud
memper-Tuhan-kan atau men-Dewa-kan, maka perkataan ta‟lah pula
memberi makna menjadi Tuhan. Sebagai contoh, makhluk atau benda yang
disembah atas dasar kebebasan, kekuasaan dan bernilai untuk disembah,
untuk ditunduk dengan rasa kehinaan dan kepaTuhan. Namun, perlu diberi
perhatian, perkataan ilah ini adalah lebih umum atau luas penggunaannya
dari pada Allah kerana memasukkan apa saja aspek atau apa-apa makhluk
yang mempunyai kuasa yang hebat untuk dipatuhi oleh manusia,
dinamakan atau dipanggil ilah. Ilah atau Tuhan ialah tiap-tiap sesuatu yang
disembah oleh manusia, sama ada yang berhak disembah atau tidak,
merupakan Tuhan kepada orang itu. Jika penyembahan itu kepada yang
sepatutnya disembah, maka penyembahan itu adalah hak dan jika
penyembahan itu kepada yang tidak patut disembah, maka penyembahan itu
adalah tidak hak atau tidak benar.

Selanjutnya, konsep ilah juga memasukkan pemikiran kuasa yang


tidak berakhir, kuasa yang menakjubkan yang lain. Ia juga mendedahkan
pengertian bahwa yang lain adalah bergantung pada-Nya dan ia tidak
bergantung pada yang lain. Perkataan ilah juga mengandung makna
persembunyian (abstract) dan misteri. Oleh itu, ilah adalah being yang
tidak dapat dilihat. Pertembungan dengan perkataan Allah di dalam bahasa
Arab, sekali lagi perlu diteliti dan diperhalusi untuk mengelakkan
kekeliruan. Allah adalah nama khas atau personal bagi Tuhan dan tidak
diambil dari pada kata ilah yang bermaksud Tuhan walaupun Allah itu
Tuhan. Berdasarkan paradigma di atas dapat diambil kesimpulan bahwa
Allah dari sudut kefahamannya adalah salah satu di antara banyak-banyak
Tuhan yang diyakini dan disembah oleh manusia. Ini tidaklah

5
Muhammad Iqbal, The Secrets Of The Self, (Lahore: Muhammad Ashrat, 1920-1947),
hal. 888
6
Nurcholish Madjid, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah
Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992. hal 78.

3
mengherankan kerana jika ditinjau dari sejarah lampau di zaman Jahiliah
pun, ide tentang Allah ini sudah ada dan bukanlah sesuatu yang asing di
kalangan masyarakat Arab. Contohnya, dapat kita perolehi dari pada baitbait syair
sebelum Islam yang menghimpunkan nama-nama personal dan
inskripsi-inskripsi lama tulisan tangan. Allah bagi mereka adalah Tuhan
langit dan bumi begitu juga Ka„bah sebagaimana dalam Al-Qur‟an.7

{61}

Artinya:
“Dan Sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang
menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?" tentu
mereka akan menjawab: "Allah", Maka betapakah mereka (dapat)
dipalingkan (dari jalan yang benar)”.

Walau bagaimanapun kepada mereka, Allah adalah salah satu di


antara banyak-banyak Tuhan, di samping Allah merupakan yang tinggi.8
Tuhan Tinggi atau Tuhan Utama. Sedangkan dalam waktu yang sama juga
mereka percaya kepada Tuhan-Tuhan lain sebagai wujud yang bersifat
“divine” dalam taraf yang sedikit lebih rendah. Oleh yang demikian, pada
masa yang sama mereka mencari Tuhan-Tuhan lain sebagai perantara
(mediator) dalam peribadatan dan penyembahan mereka kepada Tuhan
Tertinggi (Allah). Ini amat jelas dapat kita lihat dalam Al-Qur‟an yang
mengatakan9:

{3}

Artinya:
“Ingatlah, Hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik).
dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami
tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami
kepada Allah dengan sedekat- dekatnya". Sesungguhnya Allah akan
memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih
padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta

7
Al-Qur’an, al-‘Ankabut, Ayat 61.
8
Muhammad Zafrullah Khan, Islam: Its Meaning for Modern Man, London, Routledge
and Kegan, Paul, 1980, hlm. 47

4
dan sangat ingkar”. Seterusnya mereka mengatakan Allah mempunyai anak-anak
perempuan. Dia Maha suci, Sedangkan bagi mereka pula, mereka
peruntukkan apa yang mereka sukai anak-anak lelaki.9

Ayat-ayat di atas memberi penekanan serius kepada kedudukan keEsa-an


Tuhan dan tidak ada tolak ukur langsung untuk mempersekutukanNya. Menyentuh
aspek ke-Tauhid-an atau ke-Esa-an Allah ini, Zakaria
Stapa mengkategorikannya kepada tiga ciri utama yang boleh disaringkan
seperti berikut: Ke-Tauhid-an Zdat Pengertiannya bahwa Allah adalah satu,
Esa secara mutlak. Al-Qur‟an berulang kali menegaskan Ide wahdaniyyah
Allah Tidak sekali-kali mempunyai anak, dan tidak ada sama sekali
sebarang Tuhan berserta-Nya; jika ada banyak Tuhan tentulah tiap-tiap
Tuhan itu akan menguasai dan menguruskan segala yang diciptakannya
dengan bersendirian, dan tentulah setengahnya akan bertindak mengalahkan
setengahnya yang lain, Maha suci Allah dari pada apa yang dikatakan oleh
mereka yang musyrik itu.10

Hujah di atas memperlihatkan bahwa Allah adalah satu pada hakikat


sebenarnya, Zdat Allah secara mutlaknya tidak ada kena-mengena dengan
apapun juga selain dari pada ke-Esa-an-Nya dan sebaliknya segala sesuatu
yang selain dari-Nya juga tidak ada kena-mengena dengan Zdat Allah.
Kelangsungan dari pada penegasan konsep keTunggalan Zdat Allah, maka
sebarang bentuk yang mengandaikan kepercayaan kepada polytheisme
terbatal dan tertolak seperti kepercayaan Kristian bahwa Allah adalah satu
dalam tiga atau konsep triniti, beberapa kepercayaan yang mendakwakan
bahwa Allah mempunyai anak lelaki dan perempuan seperti Yahudi dan
pegangan golongan Majusi bahwa Allah dan Iblis adalah dua saudara yang
bekerja sama dalam melaksanakan kerja-kerja mereka.
Banyak ayat Allah membentangkan dan mengkritik kesalahan
pegangan dan iktiqad kaum kafir membuktikan bahwa tauhid tidaklah
cukup dan tidaklah hanya berarti percaya kepada Allah saja, tetapi
mencakupi beberapa dimensi lain seperti pengertian sebenar tentang siapa
Allah yang diimani dan bagaimana kita bersikap kepada-Nya dan kepada
objek-objek lain selain dari pada Dia. Lantaran itu, percaya kepada Allah
tidaklah dengan sendirinya berarti tauhid dalam konteks sebenar maknanya
di atas alasan percaya kepada Allah itu masih mengandungi kemungkinan percaya
kepada yang lain sebagai rekan atau tandingan Allah dan keilahiannya.

Permasalahan ketidakmurnian kepercayaan manusia nyata di sini.


Ke-Tauhid-an dalam ibadah konsep ke-Esa-an dalam ibadah ini
merujuk kepada tauhid uluhiyyah.Tauhid ini bermaksud pengEsaan Allah
dalam ke-Tuhan-annya. Ke-Tauhid-an dibina atas dasar ikhlas kerana Allah

9
Al-Qur’an, al-Nahl, Ayat 57.
10
Al-Qur’an, al-Mu’minun, Ayat 91.

5
semata-mata, mempunyai kebulatan cinta, takut, mengharap, tawakkal,
gerun, hormat dan doanya kerena Allah yang Maha Esa.11

Hal-hal itu adalah dasar ikhlasnya ibadat keseluruhannya, baik lahir maupun
batinnya,hanyalah kerana Allah semata-mata.Dalam arti kata lain hanya Allah yang
wajib dan layak disembah dalam apa keadaan sekalipun sama ada senang atau
susah. Ini selari dengan firman Allah dalam Al-Qur‟an yang menyebutkan bahwa
“Engkaulah saja ya Allah yang kami sembah, dan kepada Engkaulah saja kami
memohon pertolongan”. Dan firman Allah yang maksudnya: Dan Allah jualah yang
mengetahui rahasia langit dan bumi dan kepada-Nyalah dikembalikan
segala urusan. Oleh itu, sembahlah akan Dia serta berserahlah kepada-Nya,
Tuhanmu tidak sekali-kali lalai akan apa yang kamu lakukan.
Dalam Surah Al-Fatihah di atas yang bermaksud, “Engkaulah saja
Ya Allah yang kami sembah”, memberi penjelasan terhadap konsep yang
dibicarakan ini. Pendekatan dalam bentuk penekanan khusus yang diberikan
oleh ayat di atas adalah secara langsungnya mengandungi konsep ke-Esa-an
dalam penyembahan. Hal ini adalah disebabkan ayat itu tidak hanya
menyatakan “Kami menyembah Engkau” tetapi sebaliknya secara cukup
spesifik, ayat ini mengutarakan kata “Engkaulah saja yang kami sembah”.14
Gaya ekspresi ini secara teguhnya menyatakan bahwa Allah sajalah yang
kami sembah dan Dia sajalah juga yang berhak disembah.15 Intisarinya
ialah, sepanjang lembaran ayat-ayat Al-Qur‟an menegaskan konsep ke-Esaan Allah
secara putus di dalam melaksanakan ibadat dan menolak sebarang
penyamataraan, perbandingan atau penyekutuan dengan- Nya dalam
penyembahan. Hakikat inilah yang sering dipaparkan pada ayat-ayat-Nya
apabila menolak misconception dan misunderstood masyarakat Arab
Jahiliah terhadap Allah seperti yang disimpulkan oleh Lutpi Ibrahim kepada
beberapa konsep:
1.Dialah pencipta alam
2. Dialah pemberi ujian
3. Dialah pengetua suatu sumpah (oath)
4. Dialah objek yang dikatakan fahaman ke-Esa-an Tuhan sementara
(temporary monotheism)
5. Dialah pemilik Ka„abah (the Lord of the Qa„abah)16
Ke-Tauhid-an sifat makna secara umumnya ialah iktiqad secara
putus (jazim) dan pasti bahwa Allah bersifat dengan semua sifat
kesempurnaan dan bersih dari pada segala sifat kekurangan. Dia berbeda
(bersendirian) dari segala makhluk-Nya.

Maksud mengithbatkan apa yang Allah ithbatkan untuk diri- Nya dan apa yang
Rasul nyatakan adalah merujuk kepada nama dan sifat yang termaktub di dalam Al-
Qur‟an dan alSunnah tanpa menyelewengkan lafaz atau maknanya, tanpa ta„til
(mazhab yang mengingkari sifat Tuhan) atau menafikan sebagian, tanpa mengetahui
bagaimana ciri-ciri hakikatnya, tanpa ditasbihkan dengan sifat makhluk.
Ulama menyatakan bahwa semua nama Allah itu dii„tibarkan sebagai sifat-sifat Allah

11
Sulaiman Abdullah dan Ja‘far Soedjarm 1986, hlm. 62.

6
kecuali satu saja, yaitu nama Allah sendiri, kerana ia diketahui di atas Zdat bukan sifat.
Inilah yang disebut nama-nama Allah yang Maha Indah (al-Asma al-Husna) yang
bilangan lengkapnya disebutkan oleh hadist sebanyak 99 dan ia juga boleh didapati
bertaburan di sana-sini dalam Al-Qur‟an. Firman Allah yang maksudnya: “Allah
mempunyai nama-nama yang baik (yang mulia), maka serulah (dan berdo„alah)
kepada-Nya dengan menyebut nama-nama itu.” dan Firman-Nya lagi yang maksudnya:
“Allah Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Dia, bagi-Nyalah segala
nama yang baik”.

Ide umum tentang ke-Tauhid-an sifat ini dapat


dikategorikan kepada tiga perkara:
1. MeMahasucikan atau membersihkan Allah dari pada penyerupaan
dengan makhluk
2. Beriman dengan nama-nama dan sifat-sifat yang tetap di dalam AlQur‟an dan al-
Sunnah tanpa mengurang kan atau menambah atau
menyelewengkan atau menafikannya.
3. Menghapuskan perasaan ingin tahu secara mendalam akan kaifiyah
sifat-sifat ini.

Pernyataan ke-Esa-an Tuhan adalah bertujuan untuk membebaskan


dan memperkembangkan intelek manusia dalam usaha mencari kebenaran.
Walau bagaimanapun dalam sejarah hidup manusia, penyembahan
dilakukan kepada bermacam-macam benda. Ada yang menyembah patung
dengan sesuatu kepercayaan yang ada di sebalik patung itu.
Ada yang menyembah pangkat, harta, keturunan dan hawa nafsu.
Ada orang yang menyembah Allah dan sebagainya. Allah menggambarkan
kedudukan seperti ini dengan firman-Nya yang bermaksud: “Dengan yang
demikian, bagaimana fikiranmu (wahai Muhammad) terhadap orang yang
menjadikan hawa nafsunya Tuhan yang dipatuhi, dan ia pula disEsatkan
oleh Allah kerana diketahui-Nya (bahwa ia tetap kufur ingkar, dan
dimeteraikan pula atas pendengarannya dan hatinya, serta diadakan lapisan
penutup atas penglihatannya. Maka siapakah lagi yang dapat memberi
hidayah petunjuk kepada-Nya sesudah llah (menjadikan dia berkeadaan
demikian).
Oleh itu, mengapa kamu (wahai orang-orang yang ingkar) tidak
mahu beringat dan insaf”.

Ayat di atas menerangkan bahwa ada di


kalangan manusia yang menjadikan nafsunya sebagai Tuhan yang dipatuhi.
Pada masa yang sama, terdapat banyak ayat Allah yang mengecam dan
menyerang kaum musyrikyang menurut jejak langkah bapa dan datuk nenek
mereka secara membuta-tuli, kritikan terhadap penganut agama Yahudi dan
Nasrani dan lain-lain lagi disebabkan penyelewengan dan penyesatan di
dalam konsep ke-Tuhan-an mereka yang sudah banyak dibincangkan dan
dibentangkan oleh ulama.

7
Berdasarkan keterangan di atas, dapat dinyatakan bahwa peribadatan
mereka kepada Allah hanya untuk mencapai matlamat tertentu sahaja
sedangkan jalannya tidak betul atau menyeleweng di mana mereka menyeru
nama-nama selain dari pada Allah sebagai sekutu kepada-Nya dalam
sesuatu upacara peribadatan dan penyembahan. Sebagai contoh, sewaktu
menanam anakanak perempuan mereka hidup-hidup atau dikala melakukan
upacara korban. Banyak ayat Al-Qur‟an mengisahkan sifat keji dan
bongkak kaum musyrik, yang hanya meraung dan menjerit memohon
pertolongan Allah dikala kesusahan dan kesempitan tetapi apabila
dihilangkan atau dilepaskan bala atau azab, mereka ini lupa daratan dan
kembali ingkar dan kufur serta mempercayai banyak Tuhan.
Terma Temporary Monotheisme untuk menggambarkan sikap kaum
musyrik yang hanya semata-mata mahu mendapatkan manfaat sementara
dari pada Allah, bukan sebagai puncak segala sesuatu yang mutlak benar
(al-haq) dan berpusat kepada-Nya segala urusan kehidupan manusia dan
alam.

Aspek ke-Tuhan-an yang paling penting di dalam Al-Qur‟an ialah keEsaan-


Nya, dimana penegasan mengenainya menjadi agenda utama doktrin
dan ajaran Islam. Ia dengan lebih tepat disebut tauhid. Tauhid adalah kata
yang maksudnya menjadikannya Esa atau Tunggal, berasal dari wahada.
Islam dinamakan agama tauhid disebabkan oleh pembinaan dan
pembentukannya di atas dasar bahwa Allah itu Esa dari segenap dimensi:
pemerintahan-Nya, kerajaan-Nya, perbuatan-Nya dan sifat-sifat-Nya.19
Pandangan menyeluruh dan merangkum dari sekecil-kecil isu dan
aspeknya sehinggalah kepada yang sebesar-besarnya diterokai dan diselami
oleh paradigma tauhid Islam.

Secara ringkasnya, perkara-perkara di atas


terangkum di dalam tiga jenis pembagian tauhid yang diutarakan oleh
ulama untuk memudahkan pemahaman terhadap konsep ke-Tuhan-an Islam
sebagai alternatif dari pada pembagian sifat-sifat Allah yang dua puluh.
Konsep tauhid ini ialah:
1. Tauhid Rububiyyah (penegasan bahwa Allah adalah Tuhan Maha Esa,
yang Satu secara mutlak dan transcendent).
2. Tawhid Uluhiyyah (penegasan bahwa yang boleh disembah hanyalah
Allah, satu-satunya tanpa sekutu dan perantara).
3. Tawhid Asma dan sifat (pernyataan ikrar bahwa sesungguhnya Allah
mempunyai nama dan sifat yang Maha Indah sama ada berbentuk Jamal
atau Jalal.

Kesemua wahyu Allah yang diturunkan menekankan konsep


keEsaan atau ke-Tauhid-an Allah ini. Allah yang Tunggal tiada bandingan
dan tandingan, rakan atau setara-Nya dan semua kepujian, kebesaran,
penyembahan, peribadatan, ketaatan ditujukan khas dan sepenuh untukNya. Tuhan-
Tuhan lain adalah palsu dan tidak ada apa-apa, hanya sekadar nama-nama yang

8
disebut saja. Tuhan di dalam Islam juga bukanlah seperti halnya pemahaman dan
tanggapan pemikir-pemikir moden Barat yang menghujahkan ia sebagai hasil ciptaan,
rekaan dan khayalan pemikiran manusia, akibat dari pada beberapa faktor terutama
kekurangan dan kelemahan diri manusia. Ide penolakan terhadap kesalahfahaman ini
bertujuan untuk memperjelaskan unsur-unsur kekeliruan yang terdapat di dalam
berbagai kepercayaan dan pemikiran cendekiawan yang akhirnya memurnikan ide
ke-Tuhan-an dari segala sesuatu dan juga jenis pencemaran, ilusi dan kepalsuan.

B. KONSEP MANUSIA DALAM PERSPEKTIF AGAMA ISLAM

1. Pengertian Manusia Menurut Al-Qur‟an


Menurut Islam, manusia adalah makhluk ciptaan Allah; Ia
tidaklah muncul dengan sendirinya atau berada oleh diri-Nya sendiri.Al-Qur‟an surat al-
'Alaq ayat 2 menjelaskan bahwa manusia itu diciptakan Tuhan dari segumpal darah;
Al-Quran surat al-Thariq ayat 5 menjelaskan bahwa manusia dijadikan oleh Allah; Al-
Quran surat alRahman ayat 3 menjelaskan bahwa Al-Rahman (Allah) itulah yang
menciptakan manusia. Masih banyak sekali ayat Al-Quran yang menjelaskan bahwa
yang menjadikan manusia adalah Tuhan. Jadi,manusia adalah makhluk ciptaan Allah.
Hakikat wujudnya yang lain ialah bahwa manusia adalah makhluk yang dipengaruhi
oleh pembawaan dan bahwa perkembangan seseorang hanya dipengaruhi oleh
pembawaan (nativisme). Sebagai lawannya berkembang pula teori yang mengatakan
bahwa perkembangan seseorang hanya ditentukan oleh lingkungannya
(empirisme). Sebagai sintesisnya dikembangkan teori ketiga yang
mengatakan bahwa perkembangan seseorang ditentukan oleh
pembawaan dan lingkungannya (konvergensi). Menurut Islam; kira-kira
konvergensi inilah yang mendekati kebenaran. Salah satu sabda
Rasulullah saw mengatakan: “Tiap orang dilahirkan membawa fitrah;
ayah dan ibunyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.
(Hadis riwayat Bukhari dan Muslim)”.
Menurut hadist ini manusia lahir membawa kemampuankemampuan; kemampuan
itulah yang disebut pembawaan. Fitrah yang
disebut di dalam hadis itu adalah potensi. Potensi adalah kemampuan;
jadi, fitrah yang dimaksud di sini adalah pembawaan. Ayah-ibu dalam
hadis ini adalah lingkungan sebagaimana yang dimaksud oleh para ahli
pendidikan. Kedua-duanya itulah, menurut hadis ini, yang menentukan
perkembangan seseorang.

Manusia adalah makhluk ciptaan Allah; ia berkembamg


dipengaruhi oleh pembawaan dan lingkungannya; ia berkecenderungan
beragama. Itulah antara lain hakikat wujud manusia yang lain ialah
bahwa manusia itu adalah makhluk utuh yang terdiri atas jasmani, akal,
dan rohani sebagai potensi pokok.
Dalam Al-Qur'an ada 3 kata yang digunakan untuk
menunjukan arti manusia, yaitu:

9
1. Insan / Ins / Annas
2. Basyar
3. Bani Adam / Dzurriyat Adam
Sedangkan yang paling banyak di jelaskan dalam alquran
adalah Basyar dan insan . kata Basyar menunjukan manusia dari sudut
lahiriyahnya ( fisik) serta persamaanya dengan manusia seluruhnya ,
sepeti firman Allah dalam surat Al-Anbiya : 34-35 yang artinya:
"kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum
kamu ( Muhamad ) maka apabila kamu mati apakah mereka akan kekal
? tiap - tiap yang berjiwa akan mati. kami akan menguji kamu dengan
kebaikan dan keburukan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya) dan
hanya kepada kami kamu dikembalikan " Kata insan digunakan untuk menunjuk
manusia dengan segala totalitasnya , fisik psikis, jasmani dan rohani. di dalam diri
manusia terdapat tiga kemampuan yang sangat potensial untuk
membentuk struktur kerohaniahan , yaitu nafsu , akal dan rasa. Nafsu
merupakan tenaga potensial yang berupa dorongan untuk berbuat kreatif
dan dinamis yang yang dapat berkembang kepada dua arah , yaitu kebaikan dan
kejahatan. sebagaimana Firman Allah dalam surat asSyam 8. "Maka allah
mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kesesatan dan ketakwaan".
Akal sebagai potensi intelegensi berfungsi sebagai filter yang menyeleksi mana yang
benar dan mana yang salah yang didorong
oleh nafsu akal akan membawa manusia untuk memahami , meneliti
dan menghayati alam dalam rangka memperoleh ilmu pengetahuan dan
kesejahteraan . " Akan Tetapi Orang - Orang Yang Dhalim Itu
Mengikuti Hawanafsunya Tanpa Ilmu Pengetahuan " (Qs. Arrum : 29)
sedangkan rasa merupakan potensi yang mengarah kepada
nilai - nilai etika, estetika dan agama. " Sesungguhnya orang yang
mengatakan : tuhan kami adalah Allah, kemudian mereka berIstiqomah
maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada pula
berduka" (Qs Al Ahqaf : 13)
Ketiga potensi Dasar diatas membentuk Struktur
kerohaniahan yang berada Di dalam diri manusia yang kemudian akan
membentuk manusia sebagai insan. Konsep basyar dan insan
merupakan konsep islam tentang manusia sebagai individu . Sedangkan
dalam Hubungan social Alqur‟an memberikan istilah Annas yang
merupakan jamak dari kata insane dan perwujudan kualitas keinsanian
manusia ini tidak terlepas dari konteks sosialnya dengan lingkungan.

2. Proses Kejadian Manusia


Di dalam Al-Qur‟an Proses kejadian Manusia dapat di jelaskan sebagai berikut :
1. Manusia diciptakan Allah Swt. Berasal dari saripati tanah, ( Qs Al Hijr :
28 )
2. Dari segumpal tanah lalu menjadi nutfah ( didalam rahim ), segumpal
perjanjian lama darah, segumpal daging, tulang dibungkus dengan
daging dan akhirnya menjadi makhluk yang paling sempurna (Qs

10
Almukminun ; 12-14 )
3. Ditiupakn Ruh (Qs Alhijr : 29 )
4. Sebelum ruh ditiupkan , ketika masih di alam ruh manusia telah berjanji
mentauhidkan Allah (Qs Al A‟raf : 172 )
Al-Quran menerangkan bahwa manusia berasal tanah dengan
mempergunakan bermacam-macam istilah, seperti : Turab, Thien, Shalshal, dan
Sualalah. Hal ini dapat diartikan bahwa jasad manusia
diciptakan Allah dari bermacam-macam unsure kimiawi yang terdapat
dari tanah. Adapun tahapan-tahapan dalam proses selanjutnya, AlQuran tidak
menjelaskan secara rinci. Manusia yang sekarang ini,
prosesnya dapat diamati meskipun secara bersusah payah. Berdasarkan
pengamatan yang mendalam dapat diketahui bahwa manusia dilahirkan
ibu dari rahimnya yang proses penciptaannya dimulai sejak pertemuan
antara permatozoa dengan ovum.
Ayat-ayat yang menyebutkan bahwa manusia diciptakan dari
tanah, umumnya dipahami secara lahiriah. Hal ini itu menimbulkan
pendapat bahwa manusia benar-benar dari tanah, dengan asumsi karena
Tuhan berkuasa , maka segala sesuatu dapat terjadi. Akan tetapi ada
sebagian umat islam yang berpendapat bahwa Adam bukan manusia
pertama. Pendapat tersebut didasarkan atas asumsi bahwa:
Ayat-ayat yang menerangkan manusia diciptakan dari tanah
tidak berarti bahwa semua unsur kimia yang ada dalam tanah ikut
mengalami reaksi kimia. Hal itu seperti pernyataan bahwa tumbuhtumbuhan bahan
makanannya dari tanah, karena tidak semua unsur
kimia yang ada dalam tanah ikut diserap oleh tumbuh-tumbuhan, tetapi
sebagian saja. Oleh karena itu bahan-bahan pembuk manusia yang
disebut dalam al-Quran hanya merupakan petunjuk manusia yang
disebut dalam al-Quran , hanya merupakan petunjuk dimana sebenarnya
bahan-bahan pembentuk manusia yaitu ammonia, menthe, dan air
terdapat, yaitu pada tanah, untuk kemudian bereaksi kimiawi. Jika
dinyatakan istilah “Lumpur hitam yang diberi bentuk” (mungkin yang
dimaksud adalah bahan-bahan yang terdapat pada Lumpur hitam yang
kemudian diolah dalam bentuk reaksi kimia). Sedangkan kalau
dikatakan sebagai tembikar yang dibakar , maka maksudnya adalah
bahwa proses kejadiannya melalui oksidasi pembakaran. Pada zaman
dahulu tenaga yang memungkinkan terjadinya sintesa cukup banyak dan
terdapat di mana-mana seperti panas dan sinar ultraviolet.
Ayat yang menyatakan ( zahir ayat ) bahwa jika Allah menghendaki
sesuatu jadi maka jadilah ( kun fayakun ), bukan ayat yang menjamin
bahwa setiap yang dikehendaki Allah pasti akan terwujud seketika.
Dalam hal ini harus dibedakan antara kalimat kun fayakun dengan kun
fa kana. Apa yang dikehendaki Allah pasti terwujud dan terwujudnya
mungkin saja melalui suatu proses. Hal ini dimungkinkan karena segala
sesuatu yang ada didunia juga mengalami prosi yang seperti dinyatakan
”Padahal dia Sesungguhnya Telah menciptakan kamu dalam beberapa
tingkatan kejadian”. surat al-A‟la 1-2 dan Nuh 14.

11
Jika diperhatikan surat Ali Imran 59 dimana Allah menyatakan bahwa penciptaan Isa
seperti proses penciptaan Isa seperti proses penciptaan Adam, maka dapat
menimbulkan pemikiran bahwa apabila isa lahir dari sesuatu yang hidup, yaitu
maryam, maka Adam lahir pula dari sesuatu yang hidup sebelumnya. Hal itu karena
kata “tsumma” yang berarti kemudian, dapat juga berarti suatu proses.
Perbedaan pendapat tentang apakah adam manusia pertama atau tidak, diciptakan
langsung atau melalui suatu proses tampaknya tidak akan ada ujungnya karena
masing-masing akan teguh pada pendiriannya. Jika polemik ini senantiasa
diperpanjang, jangan-jangan hanya akan menghabiskan waktu dan tidak sempat lagi
memikirkan tentang status dn tugas yang telah ditetapkan Allah pada manusia
AlQur‟an cukup lengkap dalam memberikan informasi tentang itu.

Untuk memahami informasi tersebut secara mendalam, ahliahli kimi, biologi,


dan lain-lainnya perlu dilibatkan, agar dalam memahami ayat-ayat tersebut tidak
secara harfiah. Yang perlu diingatkan sekarang adalah bahwa manusia oleh Allah,
diharapkan menjadi khalifah ( pemilih atau penerus ajaran Allah ). Status manusia
sebagai khalifah , dinyatakan dalam al-baqarah 30. kata khalifah berasal
dari kata khalafa yakhlifu khilafatan atau khalifatan yang berarti
meneruskan, sehingga kata khalifah dapat diartikan sebagai pemilih atau
penerus ajaran Allah. Kebanyakan umat Islam menerjemahkan dengan
pemimpin atau pengganti, yang biasanya dihubunkan dengan jabatan
pimpinan umat islam sesudah Nabi Muhammad saw wafat , baik
pimpinan yang termasuk khulafaurrasyidin maupun di masa Muawiyah-
„Abbasiah.Perlu diingat bahwa istilah khalifah pernah dimunculkan
Abu bakar pada waktu dipercaya untuk memimpin umat islam. Pada
waktu itu beliau mengucapkan inni khalifaur rasulillah, yang berarti aku
adalah pelanjut sunah rasulillah. Dalam pidatonya setelah diangkat oleh
umat islam, abu bakar antara lain menyatakan “selama saya menaati
Allah, maka ikutilah saya, tetapi apabila saya menyimpang , maka
luruskanlah saya”. Jika demikian pengertian khalifah, maka tidak setiap
manusia mampu menerima atau melaksanakan kekhalifahannya. Hal itu
karena kenyataan menunjukkan bahwa tidak semua orang mau memilih
ajaran Allah.
Dalam penciptaannya manusia dibekali dengan beberapa
unsure sebagai kelengkapan dalam menunjang tugasnya. Unsur-unsur
tersebut ialah : Jasad ( al-Anbiya‟ : 8, Shad : 34 ) Ruh (al-Hijr 29, As-Sajadah 9, Al-
anbiya‟ :91 dan lain-lain); Nafs (al-Baqarah 48, Ali Imran
185 dan lain-lain ) ; Aqal ( al-Baqarah 76, al-Anfal 22, al-Mulk 10 dan
lain-lain); dan Qolb ( Ali Imran 159, Al-Ara‟f 179, Shaffat 84 dan lainlain ). Jasad adalah
bentuk lahiriah manusia, Ruh adalah daya hidup,
Nafs adalah jiwa , Aqal adalah daya fakir, dan Qolb adalah daya rasa.
Di samping itu manusia juga disertai dengan sifat-sifat yang negatif
seperti lemah ( an-Nisa 28 ), suka berkeluh kesah ( al-Ma‟arif 19 ), suka
bernuat zalim dan ingkar ( ibrahim 34), suka membantah ( al-kahfi 54 ),
suka melampaui batas ( al-„Alaq 6 ) suka terburu nafsu ( al-Isra 11 ) dan
lain sebagainya. Hal itu semua merupakan produk dari nafs , sedang

12
yang dapat mengendalikan kecenderungan negatif adalah aqal dan qolb.
Tetapi jika hanya dengan aqal dan qolb, kecenderungan tersebut belum
sepenuhnya dapat terkendali, karena subyektif. Yang dapat
mengendalikan adalah wahyu, yaitu ilmu yang obyektif dari Allah.
Kemampuan seseorang untuk dapat menetralisasi kecenderungan
negatif tersebut ( karena tidak mungkin dihilangkan sama sekali )
ditentukan oleh kemauan dan kemampuan dalam menyerap dan
membudayakan wahyu.Berdasarkan ungkapan pada surat al-Baqarah 30 terlihat
suatu gambaran bahwa Adam bukanlah manusia pertama, tetapi ia
khalifah pertama. Dalam ayat tersebut, kata yang dipakai adalah jaa‟ilun
dan bukan khaaliqun. Kata khalaqa mengarah pada penciptaan sesuatu
yang baru, sedang kata ja‟ala mengarah pada sesuatu yang bukan
baru,dengan arti kata “ memberi bentuk baru”. Pemahaman seperti ini
konsisten dengan ungkapan malaikat yang menyatakan “ apakah engkau
akan menjadikan di bumi mereka yang merusak alam dan bertumpah
darah?” ungkapan malaikat tersebut memberi pengertian bahwa
sebelum adam diciptakan, malaikat melihat ada makhluk dan jenis
makhluk yang dilihat adalah jenis yang selalu merusak alam dan
bertumpah darah. Adanya pengertian seperti itu dimungkinkan, karena
malaikat tidak tahu apa yang akan terjadi pada masa depan, sebab yang
tahu apa yang akan terjadi dimasa depan hanya Allah.
Dengan demikian al-Quran tidak berbicara tentang proses
penciptaan manusia pertama. Yang dibicarakan secara terinci namun
dalam ungkapan yang tersebar adalah proses terciptanya manusia dari
tanah, saripati makanan, air yang kotor yang keluar dari tulang sulbi,
alaqah, berkembang menjadi mudgah, ditiupkannya ruh, kemudian lahir
ke dunia setelah berproses dalam rahim ibu. Ayat berserak, tetapi
dengan bantuan ilmu pengetahuan dapat dipahami urutannya.
Jadi pemahaman ayat Al-Qur‟an akan lebih sempurna jika
ditunjang dengan ilmu pengetahuan oleh karena Al-Qur‟an tidak bicara
tentang manusia pertama akan tetapi dengan adanya para saintis
berbicara tentang asal-usul manusia dengan usaha pembuktian yang
berdasarkan penemuan fosil maka, tiap penafsiran akan lebih signifikan.
Semua itu bersifat sekedar pengayaan saint untuk menambah wawasan
pendekatan diri pada Allah. Hasil pembuktian para saintis hanya bersifat
relatif dan pada suatu saat dapat disanggah kembali, jika ada penemuan
baru.

3. Persamaan Dan Perbedaan Manusia Dengan Makhluk Lain


Dibanding makhluk lainnya manusai mempunyai kelebihankelebihan.
Kelebihan-kelebihan itu membedakan manusia dengan
makhluk lainnya. Kelebihan manusia adalah kemampuan untuk
bergerak dalam ruang yang bagaimanapun, baik didarat, dilaut, maupun
diudara. Sedangkan binatang bergerak diruang yang terbatas. Walaupun
ada binatang yang bergerak didarat dan dilaut, namun tetap saja

13
mempunyai keterbatasan dan tidak bisa melampaui manusia. Mengenai
kelebihan manusia atas makhluk lain dijelaskan surat al-Isra‟ ayat 70.
Disamping itu, manusia diberi akal dan hati, sehingga dapat
memahami ilmu yang diturunkan Allah, berupa al-Quran menurut sunah
rasul. Dengan ilmu manusia mampu berbudaya. Allah menciptakan
manusia dalam keadaan sebaik-baiknya (at-Tiin : 95:4). Namun
demikian, manusia akan tetap bermartabat mulia kalau mereka sebagai
khalifah ( makhluk alternatif ) tetap hidup dengan ajaran Allah ( QS. AlAn‟am : 165 ).
Karena ilmunya itulah manusia dilebihkan ( bisa
dibedakan ) dengan makhluk lainnya.Jika manusia hidup dengan ilmu selain ilmu Allah,
manusia tidak bermartabat lagi. Dalam keadaan demikian manusia disamakan
dengan binatang, “mereka itu seperti binatang ( ulaaika kal an‟aam ),
bahkan lebih buruk dari binatang ( bal hum adhal ). Dalam keadaan
demikian manusia bermartabat rendah ( At-Tiin : 4 ).

4. Eksistensi Dan Martabat Manusia

- Tujuan Hidup Manusia


Sebagai makhluk yang paling sempurna yang telah
diciptakan oleh allah didunia, peranan manusia dalam kehidupan di
bumi tentulah sangat vital. oleh karena itu dalam hidup manusia
memiliki banyak sekali tujuan. Adapun tujuan tersebut dapat
dikelompokan menjadi dua
a) Dilihat dari arahnya, dibedakan menjadi dua antara lain:
 Tujuan Hidup vertikal yaitu mencari ridho Allah (QS AlBaqoroh: 207)
 Tujuan hidup horizontal yaitu bahagia di dunia dan akhirat
rahmat bagi semua manusia dan seluruh alam ( Al-anbiya' :
107)
b) Dilihat dari segi lingkunganya antara lain:
 Tujuan hidup pribadi ( albaqoroh 22)
 Tujuan hidup anggota keluarga ( Arrum : 21)
 Tujuan hidup anggota lingkungan ( Al a'rof : 96 )
 Tujuan hidup warga negara / Bangsa ( Saba' : 15 )
 Tujuan hidup warga dunia ( Al qashas : 77 )
 Tujuan hidup alam semesta ( al anbiya : 107)

5. Tanggung Jawab Manusia Sebagai Hamba Dan Khalifah


1) Tanggungjawab Manusia Sebagai Hamba.
Allah SWT dengan kehendak kebijaksanaanNya telah
mencipta makhluk-makhluk yang di tempatkan di alam
penciptaanNya. Manusia di antara makhluk Allah dan menjadi
hamba Allah SWT. Sebagai hamba Allah tanggungjawab manusia
adalah amat luas di dalam kehidupannya, meliputi semua keadaan
dan tugas yang ditentukan kepadanya.

14
Tanggungjawab manusia secara umum digambarkan oleh
Rasulullah SAW di dalam hadis berikut. Dari Ibnu Umar RA
katanya; “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda yang bermaksud:
“Semua orang dari engkau sekalian adalah pengembala dan
dipertanggungjawabkan terhadap apa yang digembalainya.
Seorang laki-laki adalah pengembala dalam keluarganya dan akan
ditanya tentang pengembalaannya. Seorang isteri adalah
pengembala di rumah suaminya dan akan ditanya tentang
pengembalaannya.Seorang khadam juga pengembala dalam harta
tuannya dan akan ditanya tentang pengembalaannya. Maka semua
orang dari kamu sekalian adalah pengembala dan akan ditanya
tentang pengembalaannya.” (Muttafaq „alaih) Allah menciptakan manusia ada tujuan-
tujuannya yang tertentu. Manusia diciptakan untuk dikembalikan semula kepada
Allah dan setiap manusia akan ditanya atas setiap usaha dan amal
yang dilakukan selama ia hidup di dunia. Apabila pengakuan
terhadap kenyataan dan hakikat wujudnya hari pembalasan telah
dibuat maka tugas yang diwajibkan ke atas dirinya perlu
dilaksanakan.

2) Manusia Sebagai Khalifah Allah.


Antara anugerah utama Allah kepada manusia ialah
pemilihan manusia untuk menjadi khalifah atau wakilNya di bumi.
Dengan ini manusia berkewajipan menegakkan kebenaran,
kebaikan, mewujudkan kedamaian, menghapuskan kemungkaran
serta penyelewengan dan penyimpangan dari jalan Allah. Firman
Allah SWT :

{30}
Artinya :
“Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat:
Sesungguhnya Aku jadikan di bumi seorang Khalifah. Berkata
Malaikat: Adakah Engkau hendak jadikan di muka bumi ini orang
yang melakukan kerusakan dan menumpahkan darah, sedangkan
kami sentiasa bertasbih dan bertaqdis dengan memuji Engkau?
Jawab Allah: Aku lebih mengetahui apa yang kamu tidak ketahui.”
(Al-Baqarah:30)
Di kalangan makhluk ciptaan Allah, manusia telah dipilih
oleh Allah melaksanakan tanggungjawab tersebut. Ini sudah tentu
kerana manusia merupakan makhluk yang paling istimewa. Firman
Allah SWT :

15
{72}

Artinya :
“Sesungguhnya Kami telah kemukakan tanggungjawab amanah
(Kami) kepada langit dan bumi serta gunung-ganang (untuk
memikulnya), maka mereka enggan memikulnya dan bimbang tidak
dapat menyempurnakannya (kerana tidak ada pada mereka
persediaan untuk memikulnya); dan (pada ketika itu) manusia
(dengan persediaan yang ada padanya) sanggup memikulnya.
(Ingatlah) sesungguhnya tabiat kebanyakan manusia adalah suka
melakukan kezaliman dan suka pula membuat perkara-perkara yang
tidak patut dikerjakan.” (Al-Ahzab: 72)

Jadi Sebagai makhluk yang dibekali dengan berbagai


kelebihan jika dibandingan denagn makhluk lain, sudah sepatutnya
manusia mensyukuri anugrah tersebut dengan berbagai cara,
diantaranya dengan memaksimalkan semua potensi yang ada pada
diri kita. Kita juga dituntut untuk terus mengembangkan potensi
tersebut dalam rangka mewujudkan tugas dan tanggung jawab
manusia sebagai makhluk dan khalifah di bumi.

16
BAB II SAINS DAN TEKNOLOGI DALAM AL-QUR’AN

A. Sains dan Teknologi Dalam Al-Qur’an dan Implikasi Dalam


Pembelaaran

Pendidikan Islam yang mengalami masa tunas pada masa Dinasti Bani
Umayyah mencapai puncaknya pada masa Dinasti Bani Abbasiyah. Kemajuan
pendidikan Islam pada masa ini dikarenakan penguasa dari Dinasti Bani Abbasiyah
mengambil kebijakan dengan mengangkat orang-orang Persia menjadi pejabat-pejabat
penting di istana, terutama dari keluarga Baramikah, sebuah keluarga yang telah
lamabersentuhan dengan filsafat dan ilmu pengetahuan Hellenisme yang
mempengaruhi umat Islam untuk belajar dan mengembangkan pemikiran Islam. Hal ini
semakin nyata setelah penguasa dari Dinasti ini memproklamirkan aliran Mu‟tazilah,
sebuah aliran teologi rasional sebagai mazhab resmi negara. Pada masa ini
pendidikan Islam mencapai zaman keemasannya. Filsafat Islam, ilmu pengetahuan,
sains dan pemikiran Islam mencapai kemajuan yang sangat pesat sehingga
menjadikan Islam sebagai pusat keilmuan yang tiada tandingnya di dunia dan filsafat
serta ilmu pengetahuannya menjadi kiblat dunia pada saat itu. Perseteruan antara
agama dan ilmu pengetahuan (sains) merupakan isu klasik yang sampai saat ini masih
berkembang di dunia Barat dalam wujud sekularisme. Tetapi, Islam tidak mendekati
persoalan sains ini dari perspektif tersebut karena al-Qur‟an dan al-Sunnah telah
memberikan sistem yang lengkap dan sempurna yang mencakup semua aspek
kehidupan manusia, termasuk kegiatan-kegiatan ilmiah atau penyelidikan-penyelidikan
ilmiah. Jadi, kegiatan ilmiah merupakan bagian yang integral dari keseluruhan sistem
Islam di mana masing-masing bagian memberikan sumbangan terhadap yang lainnya.
Al-Qur‟an sangat menekankan pentingnya membaca (baca: mengamati) gejala alam
dan merenungkannya. AlQur‟an mengambil contoh dari kosmologi, fisika, biologi, ilmu
kedokteran dan lainnya sebagai tanda kekuasaan Allah untuk dipikirkan oleh manusia.
Tidak kurang dari tujuh ratus lima puluh ayat – sekitar seperdelapan al-Qur‟an– yang
mendorong orang beriman untuk menelaah alam, merenungkan dan menyelidiki
dengan kemampuan akal budinya serta berusaha memperoleh pengetahuan dan
pemahaman alamiah sebagai bagian dari hidupnya. Kaum muslim zaman klasik
memperoleh ilham dan semangat untuk mengadakan penyelidikan ilmiah di bawah
sinar petunjuk al-Qur‟an, di samping dorongan lebih lanjut dari karya-karya Yunani dan
sampai batas-batas tertentu oleh terjemahan naskah-naskah Hindu dan Persia.
Dengan semangat ajaran al-Qur‟an, para ilmuwan muslim tampil dengan sangat
mengesankan dalam setiap bidang ilmu pengetahuan. Pengaruh al-Qur‟an ini tidak
saja diakui oleh kalangan ilmuwan muslim zaman dahulu, seperti al-Ghazali, (1983:45-

17
48 ) dan al-Suyuthi, ( Dhahabi, 1961: 420) bahkan sarjana Baratpun mengakuinya,
seperti R. Levy (1975:400) (1975: 400) dan George Sarton. (tt:23).

B. Dimensi Sains dan Teknologi dalam al-Qur’an


Kata sains dan teknologi ibarat dua sisi mata uang yang sulit dipisahkan satu
sama lain. Sains, menurut Baiquni, adalah himpunan pengetahuan manusia tentang
alam yang diperoleh sebagai konsensus para pakar, melalui penyimpulan secara
rasional mengenai hasil-hasil analisis yang kritis terhadap data pengukuran yang
diperoleh dari observasi pada gejala-gejala alam. Sedangkan teknologi adalah
himpunan pengetahuan manusia tentang proses-proses pemanfaatan alam yang
diperoleh dari penerapan sains, dalam kerangka kegiatan yang produktif ekonomis
(Baiquni, 1995: 58-60). Al-Qur‟an, sebagai kalam Allah, diturunkan bukan untuk tujuan-
tujuan yang bersifat praktis. Oleh sebab itu, secara obyektif, al-Qur‟an bukanlah
ensiklopedi sains dan teknologi apalagi al-Qur‟an tidak menyatakan hal itu secara
gamblang. Akan tetapi, dalam kapasitasnya sebagai huda li al-nas, al-Qur‟an
memberikan informasi stimulan mengenai fenomena alam dalam porsi yang cukup
banyak, sekitar tujuh ratus lima puluh ayat (Ghulsyani, 1993: 78). Bahkan, pesan
(wahyu) paling awal yang diterima Nabi SAW mengandung indikasi pentingnya proses
investigasi (penyelidikan). Informasi alQur‟an tentang fenomena alam ini, menurut
Ghulsyani, dimaksudkan untuk menarik perhatian manusia kepada Pencipta alam
Yang Maha Mulia dan Maha Bijaksana dengan mempertanyakan dan merenungkan
wujud-wujud alam serta mendorong manusia agar berjuang mendekat kepada-Nya
(Ghulsyani, 1993). Dalam visi al-Qur‟an, fenomena alam adalah tanda-tanda
kekuasaan Allah. Oleh sebab itu, pemahaman terhadap alam itu akan membawa
manusia lebih dekat kepada Tuhannya. Pandangan al-Qur‟an tentang sains dan
teknologi dapat ditelusuri dari pandangan al-Qur‟an tentang ilmu. Al-Qur‟an telah
meletakkan posisi ilmu pada tingkatan yang hampir sama dengan iman seperti
tercermin dalam surat al-Mujadalah ayat 11:
“… niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat.” Ayat-ayat al-Qur‟an yang memerintahkan manusia
mencari ilmu atau menjadi ilmuwan begitu banyak. Al-Qur‟an menggunakan berbagai
istilah yang berkaitan dengan hal ini. Misalnya, mengajak melihat, memperhatikan, dan
mengamati kejadian-kejadian (Fathir: 27; al-Hajj: 5; Luqman: 20; alGhasyiyah: 17-20;
Yunus: 101; al-Anbiya‟: 30), membaca (al- „Alaq: 1-5) supaya mengetahui suatu
kejadian (al-An‟am: 97; Yunus: 5), supaya mendapat jalan (al-Nahl: 15), menjadi yang
berpikir atau yang menalar berbagai fenomena (al-Nahl: 11; Yunus: 101; al-Ra‟d: 4; al-
Baqarah: 164; al-Rum: 24; al-Jatsiyah:menjadi ulu al-albab (Ali „Imran: 7; 190-191; al-
Zumar: 18), dan mengambil pelajaran (Yunus: 3). Sedangkan pandangan al-Qur‟an
tentang sains dan teknologi, dapat diketahui dari wahyu pertama yang diterima Nabi
Muhammad saw.:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang

18
Menciptakan. Dia menciptakan manusia dari segumpal darah.
Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang
Mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam (tulis baca).
Dia Mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS
al-„Alaq: 1-5) Kata iqra‟, menurut Quraish Shihab, diambil dari akar kata yang berarti
menghimpun. Dari menghimpun lahir aneka makna seperti menyampaikan, menelaah,
mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca baik yang tertulis maupun
tidak. Sedangkan dari segi obyeknya, perintah iqra‟ itu mencakup segala sesuatu yang
dapat dijangkau oleh manusia. (Shihab, 1996:433) Atas dasar itu, sebenarnya tidak
ada alasan untuk membuat dikotomi ilmu agama dan ilmu non agama. Sebab, sebagai
agama yang memandang dirinya paling lengkap tidak mungkin memisahkan diri dari
persoalan-persoalan yang bereperan penting dalam meningkatkan kesejahteraan
umatnya. Berkaitan dengan hal ini, Ghulsyani mengajukan beberapa alasan untuk
menolak dikotomi ilmu agama dan ilmu non agama sebagai berikut: 1. Dalam sebagian
besar ayat al-Qur‟an, konsep ilmu secara mutlak muncul dalam maknanya yang umum,
seperti pada ayat 9 surat al-Zumar:
“Katakanlah: adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan
orang-orang yang tidak mengetahui.” Beberapa ayat lain yang senada di antaranya QS
2:31; QS 12:76; QS 16: 70. 2. Beberapa ayat al-Qur‟an secara eksplisit menunjukkan
bahwa ilmu itu tidak hanya berupa prinsip-prinsip dan hukum-hukum agama saja.
Misalnya, firman Allah pada surat Fathir ayat 27-28:
“Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan
dari langit lalu Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan
yang beraneka ragam jenisnya. Dan di antara gunung-gunung
itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka ragam
warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat. Dan demikian
(pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan
binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam
warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada
Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah “ulama”.
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun." Dengan jelas kata ulama
(pemilik pengetahuan) pada ayat di atas dihubungkan dengan orang yang menyadari
sunnatullah (dalam bahasa sains: “hukum-hukum alam”) dan misteri-misteri
penciptaan, serta merasa rendah diri di hadapan Allah Yang Maha Mulia. 3. Di dalam
al-Qur‟an terdapat rujukan pada kisah Qarun.
“Qarun berkata: Sesungguhnya aku diberi harta itu karena ilmu
yang ada padaku.” (QS al-Qashash: 78) (Ghulsyani, 1993: 44- 45). Di samping itu,
subyek yang dituntut oleh wahyu pertama (al-„Alaq: 1-5) adalah manusia, karena
potensi ke arah itu hanya diberikan oleh Allah swt. kepada jenis makhluk ini.
Pemberian potensi ini tentunya tidak terlepas dari fungsi dan tanggung jawab manusia
sebagai khalifah Allah di atas muka bumi. Sedangkan bumi dan langit beserta isinya
telah „ditundukkan‟ bagi kepentingan manusia. Mari perhatikan firman Allah di dalam
surat al-Jatsiyah ayat 13:
“Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan
apa yang ada di bumi semuanya (sebagai rahmat dari-Nya).
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat

19
tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir.” Kata sakhkhara
(menundukkan) pada ayat di atas atau kata yang semakna dengan itu banyak
ditemukan di dalam alQur‟an yang menegaskan bahwa Allah swt. menundukkan
semua ciptaan-Nya sesuai dengan peraturan-peraturan (sunnatullah) Nya, sehingga
manusia dapat mengambil manfaat sepanjang manusia mau menggunakan akal dan
pikirannya serta mengikuti langkah dan prosedur yang sesuai dengan sunnatullah itu.
Misalnya, menurut Baiquni, (1997: 15- 16 ) tertiupnya sehelai daun yang kering dan
pipih oleh angin yang membawanya membumbung tinggi ke atas adalah karena aliran
udara di sekitarnya. Orang yang melakukan pengamatan dan penelitian untuk
menemukan jawaban atas pertanyaan: “bagaimana daun itu diterbangkan?”, niscaya
akan sampai kepada sunnatullah yang menyebabkan daun itu bertingkah laku seperti
yang tampak dalam pengamatannya. Pada dasarnya, sebuah benda yang bentuknya
seperti daun itu, yang panjang dan bagian pinggir dan lebarnya melengkung ke bawah,
akan mengganggu aliran udara karena pada bagian yang melengkung itu aliran udara
tidak selancar di tempat lain. Akibatnya, tekanan udara di lengkungan itu lebih tinggi
dari pada bagian lainnya sehingga benda itu terangkat. Orang yang melakukan
pengamatan dan penelitian itu menemukan sunnatullah yang dalam ilmu pengetahuan
disebut aerodinamika. Dengan pengetahuan yang lengkap dalam bidang aerodinamika
dan pengetahuan tentang sifat-sifat material tertentu manusia mampu menerapkan
ilmunya itu untuk membuat pesawat terbang yang dapat melaju dengan kecepatan
tertentu. Untuk dapat memahami sunnatullah yang beraturan di alam semesta ini,
manusia telah dibekali oleh Allah SWT dua potensi penting, yaitu potensi fitriyah (di
dalam diri manusia) dan potensi sumber daya alam (di luar diri manusia). Di samping
itu, al-Qur‟an juga memberikan tuntunan praktis bagi manusia berupa langkah-langkah
penting bagaimana memahami alam agar dicapai manfaat yang maksimal. Suatu cara
penghampiran yang sederhana dalam mempelajari ilmu pengetahuan ditunjukkan al-
Qur‟an dalam surat al-Mulk ayat 3-4 yang intinya mencakup proses kagum,
mengamati, dan memahami. Dalam konteks sains, al-Qur‟an mengembangkan
beberapa langkah/proses sebagai berikut.
1. Al-Qur‟an memerintahkan kepada manusia untuk mengenali secara seksama
alam sekitarnya seraya mengetahui sifat-sifat dan proses-proses alamiah yang terjadi
di dalamnya. Perintah ini, misalnya, ditegaskan di dalam surat Yunus ayat 101.
“Katakanlah (wahai Muhammad): Perhatikan (dengan nazhor)
apa yang ada di langit dan di bumi….” Dalam kata unzhuru (perhatikan), Baiquni
memahaminya tidak sekedar memperhatikan dengan pikiran kosong, melainkan
dengan perhatian yang seksama terhadap kebesaran Allah SWT dan makna dari
gejala alam yang diamati (Baiquni, 1997:20). Perintah ini tampak lebih jelas lagi di
dalam firman Allah di surat al-Ghasyiyah ayat 17-20:
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan (dengan nazhor)
onta bagaimana ia diciptakan. Dan langit bagaimana ia
diangkat. Dan gunung-gunung bagaimana mereka ditegakkan.
Dan bumi bagaimana ia dibentangkan.”
2. Al-Qur‟an mengajarkan kepada manusia untuk mengadakan pengukuran
terhadap gejala-gejala alam. Hal ini diisyaratkan di dalam surat al-Qamar ayat 149.
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan
ukuran.”

20
3. Al-Qur‟an menekankan pentingnya analisis yang mendalam terhadap
fenomena alam melalui proses penalaran yang kritis dan sehat untuk mencapai
kesimpulan yang rasional. Persoalan ini dinyatakan dalam surat al-Nahl ayat 11- 12.
“Dia menumbuhkan bagimu, dengan air hujan itu, tanamantanaman zaitun, korma,
anggur, dan segala macam buahbuahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar
terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi mereka yang mau
berpikir. Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari
dan bulan untukmu; dan bintang-bintang itu ditundukkan
(bagimu) dengan perintah-Nya. Sebenarnya pada yang
demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum
yang menalar.” Tiga langkah yang dikembangkan oleh al-Qur‟an itulah yang
sesungguhnya yang dijalankan oleh sains hingga saat ini, yaitu observasi
(pengamatan), pengukuran-pengukuran, lalu menarik kesimpulan (hukum-hukum)
berdasarkan observasi dan pengukuran itu. Meskipun demikian, dalam perspektif al-
Qur‟an, kesimpulan-kesimpulan ilmiah rasional bukanlah tujuan akhir dan kebenaran
mutlak dari proses penyelidikan terhadap gejala-gejala alamiah di alam semesta.
Sebab, seperti pada penghujung ayat yang menjelaskan gejala-gejala alamiah,
kesadaran adanya Allah dengan sifat-sifat-Nya Yang Maha Sempurna menjadi tujuan
hakiki di balik fakta-fakta alamiah yang dinampakkan. Memahami tanda-tanda
kekuasaan Pencipta hanya mungkin dilakukan oleh orang-orang yang terdidik dan
bijak yang berusaha menggali rahasia-rahasia alam serta memiliki ilmu (keahlian)
dalam bidang tertentu. Ilmu-ilmu kealaman seperti matematika, fisika, kimia, astronomi,
biologi, geologi dan lainnya merupakan perangkat yang dapat digunakan untuk
memahami fenomena alam semesta secara tepat. Dengan bantuan ilmu-ilmu serta
didorong oleh semangat dan sikap rasional, maka sunnatullah dalam wujud
keteraturan tatanan (order) di alam ini tersingkap.

C. Prinsip-Prinsip Dasar Kegiatan Ilmiah dalam al-Qur’an


Atas dasar pandangan al-Qur‟an tentang ilmu pengetahuan (sains dan
teknologi), dapat dirumuskan beberapa prinsip dasar yang menopang dan
memantapkan kegiatan ilmiah manusia sebagai berikut.
1. Prinsip Istikhlaf Prinsip istikhlaf merupakan salah satu prinsip dasar yang digariskan
oleh al-Qur‟an dalam mendukung dan memantapkan kegiatan imiah. Konsep istikhlaf
ini berkaitan erat dengan fungsi kekhalifahan manusia. Dalam Islam, konsep
kekhalifahan memiliki sifat yang multi dimensional.
Pertama, konsep kekhalifahan telah menempatkan manusia sebagai pengatur dunia ini
dengan segenap kemampuan yang dimilikinya. Untuk itu, imanusia dibekali dengan
dua kekuatan pokok, wahyu Allah dan kemampuan berpikir (akal). Apabila dua
kekuatan itu dipergunakan sebagaimana mestinya, maka manusia akan meraih
keberhasilan dalam kehidupan kini dan kehidupan nanti.
Kedua, sebagai khalifah Allah, manusia adalah makhluk yang paling bertanggung
jawab terhadap Allah dibandingkan makhluk-makhluk lainnya. Tanggung jawab ini
merupakan konsekuensi logis dari anugerah kemampuan dan kekuatan yang

21
dimilikinya.
Ketiga, sebagai khalifah Allah, manusia adalah makhluk yang memiliki peranan penting
untuk mengolah potensipotensi alam semesta. Manusia paling berperan dalam
mengelola seluruh aspek kehidupan, baik aspek fisik, sosial, dan spiritual yang
didasarkan pada hukum-hukum Allah. Sungguhpun demikian, karena pusat kehidupan
alam semesta ini adalah Allah (Dia yang menciptakan, menggerakkan segala sesuatu,
dan mengawasinya), bukan manusia, maka manusia memiliki kemampuan terbatas.

2. Prinsip Keseimbangan
Prinsip dasar lainnya yang digariskan oleh al-Qur‟an adalah keseimbangan antara
kebutuhan-kebutuhan dasar manusia, spiritual dan material. Prinsip ini dibahas secara
luas dan mendalam di dalam al-Qur‟an dengan mengambi berbagai bentuk ungkapan.
Manusia disusun oleh Allah dengan susunan dan ukuran tertentu, lalu diperuntukkan
bumi ini dengan kehendak-Nya untuk memenuhi kebutuhan susunan yang membentuk
manusia itu. Dengan demikian, al-Qur‟an menghendaki terwujudnya keseimbangan
yang adil antara dua sisi kejadian manusia (spiritual dan material) sehingga manusia
mampu berbuat, berubah dan bergerak secara seimbang.
3. Prinsip Taskhir
Taskhir juga merupakan prinsip dasar yang membentuk pandangan al-Qur‟an tentang
alam semesta (kosmos). Dan, tidak dapat dipungkiri, manifestasi prinsip ini ke dalam
kehidupan riil manusia harus ditopang oleh ilmu pengetahuan. Alam semesta ini
(langit, bumi, dan seisinya) telah dijadikan oleh Allah untuk tunduk kepada manusia.
Allah telah menentukan dimensi, ukuran, dan sunnah-sunnah-Nya yang sesuai dengan
fungsi dan kemampuan manusia dalam mengelola alam semesta secara positif dan
aktif. Tetapi, bersamaan dengan itu, al-Qur‟an juga meletakkan nilai-nilai dan norma-
norma yang mengatur hubungan antara manusia dan alam semesta. Oleh sebab itu,
al-Qur‟an sangat mengecam ekspoitasi yang melampaui batas. Prinsip taskhir yang
ditopang oleh penguasaan ilmu pengetahuan dan metodologinya merupakan faktor
kondusif bagi manusia dalam membangun bentuk-bentuk peradaban yang sesuai
dengan cita-cita manusia dan kemanusiaan. 4. Prinsip Keterkaitan antara Makhluk
dengan Khalik Prinsip penting lainnya adalah keterkaitan antara sistem penciptaan
yang mengagumkan dengan Sang Pencipta Yang Maha Agung. Ilmu pengetahuan
adalah alat yang mutlak untuk memberikan penjelasan dan mengungkapkan
keterkaitan itu. Ilmuwan-ilmuwan Muslim klasik telah menghabiskan sebagian besar
umurnya untuk mengadakan pengamatan dan penelitian terhadap fenomena alam dan
akhirnya mereka sampai kepada kesimpulan yang pasti dan tidak dapat dipungkiri
bahwa sesungguhnya di balik semua realitas yang diciptakan (makhluk) pasti ada yang
menciptakan. Proses penciptaan yang berada pada tingkat sistem yang begitu rapih,
teliti, serasi, tujuannya telah ditentukan, dan keterikatannya terarah, pastilah
bersumber dari kehendak Yang Maha Tinggi, Maha Kuasa, dan Maha Mengatur.
Berdasarkan empat prinsip di atas, maka jelaslah bahwa ilmu pengetahuan (sains dan
teknologi) merupakan kebutuhan dasar manusia yang Islami selama manusia
melakukannya dalam rangka menemukan rahasia alam dan kehidupan serta
mengarahkannya kepada Pencipta alam dan kehidupan tersebut dengan cara-cara
yang benar dan memuaskan.

22
D. Sains dan Teknologi Modern: Pertimbangan
Epistemologis
Berdasarkan prinsip-prinsip al-Qur‟an di atas, beberapa isu penting di seputar
epistemologi sains dan teknologi modern patut dipertimbangkan. Persoalan apakah
sains dan teknologi itu netral ataukan sarat nilai menjadi perhatian dan polemik di
kalangan ilmuwan Barat sejak Spengler menerbitkan bukunya The Decline of the
West setelah Perang Dunia I. Argumen bahwa sains itu netral – bahwa sains bisa
digunakan untuk kepentingan yang baik atau buruk; bahwa pengetahuan yang
mendalam tentang atom bisa digunakan untuk menciptakan bom nuklir dan juga bisa
menyembuhkan penyakit kanker; bahwa ilmu genetika bisa dipergunakan untuk
mengembangkan teknoogi pertanian dan juga bisa dipergunakan untuk “menyaingi
Tuhan” (ingat rekayasa genetika) – semua tampak amat meyakinkan. Tetapi, benarkah
sains dapat dipisahkan dari penerapannya (teknologi)? Padahal, sejak masa
renaissance (masa kelahiran sains modern) tujuan sains adalah untuk diterapkan
dengan menempatkan manusia sebagai penguasa alam dan memberinya kebebasan
untuk mengeksploitasi alam untuk kepentingan manusia sendiri, apapun akibat yang
ditimbulkannya. Dampak-dampak fisis dari penerapan sains ini tentunya sudah
dirasakan dalam realitas kehidupan dahulu dan saat ini. Dengan demikian, pada
hakekatnya sains tidak dapat dipisahkan dari penerapannya, baik atau buruk, sehingga
sains tidak netral. Pernyataan ini, sudah barang tentu, mengundang pertanyaan:
“sistem nilai siapa yang mempengaruhi sains?” Berdasarkan penelitian Shaharir,
(1992: 20) ada indikasi kuat bahwa sains banyak dipengaruhi oleh sistem nilai yang
dianut komunitas ahli sains yang terkait, yang setengahnya tidak serasi dengan nilai
Islam. Oleh sebab itu, nilai-nilai yang menyertai sains modern harus diantisipasi secara
cermat agar kita tidak terperangkap dalam nilai-nilai yang tidak Islami itu. Di sisi lain,
sejak awal kemunculannya, sains telah mengembangkan suatu pola di mana
rasionalisme dan empirisme menjadi pilar utama metode keilmuan (scientific
method). Pola berpikir sains ini ternyata telah berpengaruh luas pada pola pikir
manusia di hampir semua bidang kehidupannya. Sehingga, penilaian manusia atas
realitasrealitas – baik realitas sosial, individual, bahkan juga keagamaan – diukur
berdasarkan kesadaran obyektif di mana eksperimen, pengalaman empiris, dan
abstraksi kuantitatif adalah cara-cara yang paling bisa dipercaya. Akibatnya, seperti
pengalaman AB Shah (1987) (ilmuwan India) yang ingin memanfaatkan sains untuk
memajukan masyarakat India, sains telah memungkinkan manusia untuk memandang
setiap persoalan secara obyektif dan membebaskan manusia dari ikatan-ikatan
takhayul. Akan tetapi, sayangnya, sains juga membebaskan manusia dari agamanya.
Tampaknya, menurut AB Shah, dunia pengalaman kita sudah semakin sempit. Yang
nyata adalah yang empiris, rasional. Selain itu, termasuk agama, adalah mitos, obsesi
dan khayalan. Di samping itu, sains juga membawa nilai-nilai sekularisme. Sains
memisahkan secara jelas antara dunia material dengan spiritual, antara pengamat

23
dengan yang diamati, antara subyek dengan obyek, antara manusia dengan alam.
Akibatnya, karena sains hanya mengamati fakta dan aspek yang dapat diukur, sifat
ruhaniah dari alam dan bendabenda yang ada di dalamnya dihilangkan. Inilah yang
disebut sekularisme oleh Naquib al-Attas. (1991) Belum diketahui secara persis sejauh
mana dampak nilai-nilai yang menyertai perkembangan sains itu terhadap masyarakat
Muslim. Akan tetapi, apa yang dikemukan di atas (bahkan mungkin lebih dari itu)
bukanlah rekaan dan mengada-ada. Inilah ancaman serius bagi generasi sekarang
dan generasi mendatang, yang oleh Ziauddin Sardar (1987: 86) digambarkan sebagai
imperialisme epistemologis. Dalam ungkapannya:“Epistemologi peradaban Barat kini
telah menjadi suatu cara pemikiran dan pencarian yang dominan dengan
mengesampingkan cara-cara pengetahuan alternatif lainnya. Jadi, semua masyarakat
Muslim, dan bahkan sesungguhnya seluruh planet ini, dibentuk dengan citra manusia
Barat.” Perangkap epistemoogi peradaban (termasuk di dalamnya sains dan teknologi)
Barat demikian kuatnya yang, tampaknya, tidak memungkinkan bagi siapapun untuk
menghindar darinya. Bagi umat Muslim, sungguhpun belum mampu menciptakan
epistemologi alternatif sebagai tandingan, dalam kapasitas kemampuan masing-
masing umat harus kembali kepada al-Qur‟an seraya mencermati pesan-pesan
ilahiyah yang terkandung dalam fenomena alam semesta. Harus diyakini sepenuhnya
bahwa semua yang diciptakan oleh Allah memiliki kerangka tujuan ilahiyah. Berpijak
pada ajaran Tauhid – di mana Allah adalah Pencipta alam semesta, segala sesuatu
berasal dari-Nya dan kembali kepada-Nya – seyogyanya setiap langkah yang diambil
ditujukan untuk memperoleh keridlaan-Nya dan untuk mendekatkan diri kepada-Nya.
Penyelidikan untuk menyingkap rahasia alam semesta tanpa terkecuali terkait dengan
kerangka tujuan ini. Al-Qur‟an tidak menghendaki penyelidikan terhadap alam semesta
hanya untuk pemuasan keinginan (science for
science), seperti yang berlaku di Barat. Menurut al-Qur‟an, sains hanyalah alat untuk
mencapai tujuan akhir. Pemahaman seseorang terhadap alam harus mampu
membawa kesadarannya kepada Allah Yang Maha Sempurna dan Maha Tak
Terbatas. Dalam perspektif inilah al-Qur‟an menampakkan dimensi spiritual dalam
kisah Nabi Ibrahim a.s. di dalam surat al-An‟am: 76-79. Keyakinan Tauhid yang kokoh
akan membuka cakrawala peneliti kepada pandangan alam yang lebih komprehensif.
Ia tidak lagi melihat alam secara parsial dan bagian yang terpisah dari dirinya,
melainkan kesalinghubungan dalam kesatuan di balik keragaman. Inilah yang
diisyaratkan al-Qur‟an bahwa setiap benda yang diciptakan oleh Allah berada dalam
satu kerangka tujuan, sehingga benda terkecilpun memiliki nilai. Ajaran Tauhid juga
dapat membimbing manusia kepada kesadaran adanya realitas supranatural di luar
realitas eksternal yang dapat diindera. Oleh sebab itu, ada banyak hal yang tidak bisa
diraih lewat indera dan dengan demikian tumbuh suatu kesadaran bahwa pada
hakekatnya pengetahuan manusia itu sangat terbatas.

E. Implikasi Pandangan al-Quran tentang Sain dalam


Proses Pembelajaran
Merujuk kepada pandangan Barbour tentang relasi agama dan sains, secara
umum ada empat pola yang menggambarkan hubungan tersebut. Keempat hubungan

24
itu adalah berupa konflik, independensi, dialog, dan integrasi. Hubungan yang bersifat
konflik menempatkan agama dan sains dalam dua sisi yang terpisah dan saling
bertentangan. Pandangan ini menyebabkan agama menjadi terkesan menegasi
kebenaran-kebenaran yang diungkap dunia sains dan sebagainya. Persepsi yang
menggambarkan hubungan keduanya sebagai interdependensi menganggap adanya
distribusi wilayah kekuasaan agama yang berbeda dari wilayah sains. Keduanya tidak
saling menegasi. Ilmu pengetahuan bertugas memberi jawaban tentang proses kerja
sebuah penciptaan dengan mengandalkan data publik yang obyektif. Sementara
agama berkuasa atas nilai-nilai dan kerangka makna yang lebih besar bagi kehidupan
seseorang.Yang ketiga adalah persepsi yang menempatkan sains dan agama
bertautan dalam model dialog. Model ini menggambarkan sains dan agama itu memiliki
dimensi irisan yang bisa diperbandingkan satu sama lain. Pertanyaan sains bisa
dipecahkan melalui kajian-kajian agama dan sebaliknya. Keempat, hubungan antara
sains dan agama itu dinyatakan sebagai hubungan terintegrasi. Integrasi ini bisa
digambarkan dalam dua bentuk yakni teologi natural (natural
theology) yang memandang bahwa temuan-temuan ilmiah itu merupakan sarana
mencapai Tuhan, dan teologi alam (theology
of nature) yang menganggap bahwa pertemuan dengan Tuhan harus senantiasa di-up
grade sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan (Barbour, 2005). Sejak
pertama kali diturunkan, al-Quran telah mengisyaratkan pentingnya ilmu pengetahuan
dan menjadikan proses pencariannya sebagai ibadah. Di samping itu, al-Quran juga
menegaskan bahwa satu-satunya sumber ilmu pengetahuan adalah Allah SWT. Hal ini
mengindikasikan bahwa sebenarnya tidak ada dikotomi ilmu dalam pandangan al-
Quran. Tidak ada satu ayat pun di dalam al-Quran, yang secara tegas maupun samar,
yang memberi petunjuk bahwa agama dan sain merupakan dua sisi yang berbeda.
Dengan demikian, dalam pandangan al-Quran, sains dan agama merupakan dua hal
yang terintegrasi. Proses pembelajaran pada hakikatnya adalah proses mengamati,
menemukan, memahami, dan menghayati sunnatullah, yang berupa fenomena
alamiah maupun sosial, kemudian mengaplikasikan pemahaman tersebut bagi
kemaslahatan hidup manusia dan lingkungannya serta menjadikan kesadaran adanya
Allah dengan sifat-sifat-Nya Yang Maha Sempurna sebagai tujuan hakiki dari kegiatan
pembelajaran. Tujuan ini akan membimbing peserta belajar kepada kesadaran adanya
realitas supranatural di luar realitas eksternal yang dapat ia indera Oleh sebab itu,
prinsip-prinsip dasar kegiatan ilmiah yang digariskan al-Quran, (istikhlaf,
keseimbangan, taskhir, dan keterkaitan antara makhluk dengan Khalik) harus dijadikan
titik tolak dalam mempelajari subyek apapun. Pada tataran praktis, proses
pembelajaran di lembagalembaga pendidikan formal, dari jenjang tingkat dasar hingga
perguruan tinggi, masih menghadapi perosalan serius yang bermuara pada dikotomi
pandidikan. Ada beberapa persoalan yang signifikansi dampak dari dikotomi
pendidikan ini, yaitu: 1) munculnya ambivalensi orientasi pendidikan yang berdampak
pada munculnya split personality dalam diri peserta didik; 2) kesenjangan antara
sistem pendidikan dengan ajaran Islam berimplikasi pada out put pendidikan yang jauh
dari citacita pendidikan Islam. Untuk meretas persoalan dikotomi tersebut, maka perlu
dilakukan upaya integrasi dalam pendidikan, sebagaimana yang telah di lakukan
sekelompok ahli pendidikan atau cendekiawan Muslim yang peduli pada persoalan
tesebut. Ada tiga tahapan upaya kerja integrasi yang telah di kembangkan yaitu: 1)

25
integrasi kurikulum, 2) integrasi pembelajaran, 3) integrasi ilmu (Islamisasi ilmu).
Integrasi kurikulum mencakup pengintegrasian nilainilai ilahiyah dalam keseluruhan
materi pelajaran, mulai dari perumusan standar kompetensi sampai dengan evaluasi
pembelajaran. Integrasi pembelajaran yang dimaksud adalah menanamkan motivasi
dan pandangan al-Quran tentang sains kepada peserta didik di saat proses
pembelajran berlangsung. Dua langkah awal (integrasi kurikulum dan integrasi
pembelajaran) merupakan langkah strategis ke arah integrasi ilmu. Kalaupun upaya
integrasi di atas belum bisa dilakukan, setidaknya, pembelajaran sains (kealaman
maupun sosial) harus mampu menghantarkan peserta didik kepada kesadaran yang
permanen tentang keberadaan Allah. Sementara pembelajaran agama harus mampu
memotivasi peserta didik untuk melakukan kegiatan ilmiah secara terus-menerus.
Inilah yang sesungguhnya yang menjadi inti pandangan al-Quran tentang sains.

26
BAB III GENERASI TERBAIK MENURUT AL-HADIS

Umat Rasulullah merupakan umat terbaik dari seluruh umat-umat para Nabi
yang diutus sebelum beliau. Meskipun umat Rasulullah datang sebagai yang terakhir
diantara umat-umat lainnya, tetapi di akhirat kelak umat Rasulullah-lah yang akan
memasuki Surga terlebih dahulu di bandingkan dengan umat-umat lainnya.

Allah telah memberikan pujian kepada umat Rasulullah shallallahu alaihi wa


sallam, dalam firman-Nya :

{110}

“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada
yang ma‟ruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah..” (QS. Ali
Imran : 110)

Tetapi diantara umat Rasulullah, terdapat beberapa generasi terbaik,


sebagaimana beliau sebutkan dalam sebuah hadits mutawatir, beliau bersabda :
“Sebaik-baik manusia adalah pada generasiku (yakni sahabat), kemudian orang-orang
yang mengiringinya (yakni tabi‟in), kemudian orang-orang yang mengiringinya (yakni
generasi tabi‟ut tabi‟in).” (mutawatir. HR. Bukhari dan yang lainnya)

A. Sahabat

Sahabat adalah orang-orang beriman yang bertemu dan melihat Rasulullah


shallallahu alaihi wa sallam secara langsung serta membantu perjuangan beliau.
Menurut Imam Ahmad, siapa saja diantara orang beriman yang bertemu dan melihat
Rasulullah, baik sebulan, sepekan, sehari atau bahkan cuma sesaat maka ia dikatakan
sebagai sahabat. Derajatnya masing-masing ditentukan dengan seberapa lama ia
menyertai Rasulullah.

27
Dalam Mu‟jamul-Wasîth (I/507) disebutkan, “Shâhabahu, ialah râfaqahu
(menemaninya), istashhaba syai‟an artinya lâzamahu (menyertainya). Ash-Shâhib,
ialah al-murâfiq (teman), pemilik sesuatu, pelaksana suatu pekerjaan. Dipakai juga
untuk orang yang menganut sebuah madzhab atau pendapat tertentu. (ash-
Shahâbi) ialah orang yang bertemu Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam , beriman
kepadanya, dan meninggal (wafat) dalam keadaan muslim. Dalam kitab al-Ifshâh fil-
Lughah, halaman 708 disebutkan: “Ash-shuhbah, artinya (al-mu‟âsyarah,
pergaulan)”. Tidak ada penjelasan dari pakar bahasa yang mensyaratkan penyertaan
tersebut harus dalam jangka waktu tertentu atau menyebutkan batasan tertentu selain
penyertaan secara mutlak, untuk jangka waktu yang lama maupun singkat. Oleh sebab
itu, Ibnu Fâris t menyebutkan bahwa asal kata ash-shuhbah, maknanya penyertaan
dan kedekatan. Ibnu Taimiyyah t mengatakan dalam Majmu‟ Fatâwâ (IV/464): “
Shuhbah ialah istilah yang digunakan untuk orang-orang yang menyertai Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam dalam jangka waktu yang lama maupun singkat. Akan
tetapi, kedudukan setiap sahabat ditentukan oleh jangka waktu ia menyertai Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam . Ada yang menyertai beliau setahun, sebulan, sehari,
sesaat, atau melihat beliau sekilas lalu beriman.

Derajat masing-masing ditentukan sesuai jangka waktunya dalam menyertai


Rasulullah”. Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Siapa saja yang menyertai
Rasulullah setahun, sebulan, sehari, atau sesaat, atau melihat beliau, maka ia
termasuk sahabat Nabi. Derajat masing-masing ditentukan menurut jangka waktunya
menyertai Rasulullah”. Imam al-Bukhâri mengatakan dalam kitab Shahîh-nya (II/5):
“Siapa saja dari kalangan kaum muslimin, yang pernah menyertai dan melihat
Rasulullah, maka ia terhitung sahabat nabi”.

Abu Muhammad bin Hazm rahimahullah dalam al-Ihkâm (V/89) berkata: “(Yang
disebut) sahabat, ialah semua orang yang telah duduk bersama Rasulullah Shallallahu
„alaihi wa sallam meski hanya sesaat dan mendengar perkataan beliau meski hanya
satu kalimat atau lebih, atau menyaksikan beliau secara langsung dan tidak termasuk
kaum munafik yang sudah dikenal kemunafikannya dan mati dalam keadaan munafik.
Dan tidak termasuk orang-orang yang diusir oleh Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam karena alasan yang patut, misalnya kaum banci dan orang-orang semacam itu.
Siapa saja yang telah memenuhi kriteria tersebutm, maka ia berhak disebut sahabat.
Semua sahabat termasuk (sebagai) imam panutan, insan utama dan diridhai. Kita
wajib menghormati mereka, mengagungkan mereka, memohon ampunan bagi mereka
dan mencintai mereka. Sebiji kurma yang mereka sedekahkan lebih utama daripada
seluruh harta yang disedekahkan oleh selain mereka. Kedudukan mereka di sisi
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam lebih utama daripada ibadah kita seumur
hidup; baik yang masih kanak-kanak maupun yang sudah baligh.

An-Nu‟mân bin Basyîr, „Abdullah bin az-Zubair, al-Hasan dan al-Hushain bin
„Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhum masih berusia sekitar sepuluh tahun ketika
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam wafat. Adapun al-Hushain, ketika Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam wafat ia masih berusia enam tahun. Mahmûd bin ar-Rabî‟
berusia lima tahun ketika Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam wafat, ia masih ingat
semburan Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam ke wajahnya dengan air yang

28
diambil dari sumur mereka. Mereka semua termasuk sahabat terbaik, riwayat-riwayat
mereka dari Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam diterima sepenuhnya, baik dari
kalangan pria, wanita, budak maupun orang merdeka”. Walaupun diselingi dengan
kemurtadan, kemudian kembali kepada Islam, ia tetap disebut sahabat. Ibnu Hazm
rahimahullah melanjutkan penjelasannya dalam kitab yang sama: “Adapun yang
murtad dari Islam sepeninggal Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam , atau setelah ia
bertemu beliau kemudian kembali masuk Islam dan bagus keislamannya, seperti al-
„Asyats bin Qais, „Amru bin Ma‟dikarib dan selainnya, maka tanpa diragukan lagi,
mereka masih termasuk sahabat, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam: (engkau telah masuk Islam dengan membawa kebaikan
yang dahulu engkau kerjakan) Mereka semua shalih, memiliki keutamaan dan
termasuk penduduk surga.”

Para sahabat merupakan orang-orang yang mewariskan ilmu dari Rasulullah


shallallahu alaihi wa sallam. Diantara sahabat yang terbaik adalah para Khulafaur
Rasyidin, kemudian 10 orang sahabat yang namanya disebutkan oleh Rasulullah yang
mendapatkan jaminan surga.

B. Tabi’in

Tabi‟in adalah orang-orang beriman yang hidup pada masa Rasulullah atau
setelah beliau wafat tetapi tidak bertemu dengan Rasulullah dan bertemu serta melihat
para sahabat. Tabi‟in merupakan orang-orang yang belajar dan mewariskan ilmu dari
para sahabat Rasulullah.

Generasi Tabi' in merupakan generasi yang hidup sesudah kewafatan Nabi dan
sesudah berakhirnya masa generasi sahabat. Realitas menyebutkan bahwa pada
masa itu periwayatan hadis mulai melenceng dari kode etik ilmu-ilmu hadis (tidak
menyertakan rentetan sanad secara lengkap), kisah-kisah Israiliyat mulai masuk dalam
khazanah tafsir dan hadis serta mulai muncul kontroversi penafsiran atas ayatayat
yang berkenaan dengan akidah. Realitas tersebut menjadikan munculnya perbedaan
pendapat di kalangan ulama pasca generasi tabi'in mengenai kedudukan qaul tabi'in
yang secara tidak langsung menyangkal akan posisi penafsiran tabi'in sebagai
penafsiran yang menggunakan bentuk bi al-ma‟sur, walaupun pada dasarnya tabi'in
menggunakan Kitabullah, sunah Nabi dan penafsiran sahabat sebagai sumber dalam
penafsirannya. Oleh karena itu, perlu ditetapkan bentuk penafsiran tabi'in secara lebih
tegas dengan melalui suatu penelitian ilmiah akademis. Kenyataan bahwa tabi'in hidup
di berbagai wilayah dan mendapatkan riwayat tafsir dari tokoh sahabat yang berbeda-
beda memunculkan teori bahwa terdapat perbedaan yang khas antara tabi'in dalam
satu wilayah dengan tabi'in di wilayah yang lain. Adapun kebenaran dari teori tersebut
patut kiranya diadakan penelitian lebih lanjut. Penelitian yang berjudul " Generasi Tabi'
in merupakan generasi yang hidup sesudah kewafatan Nabi dan sesudah berakhirnya
masa generasi sahabat.

29
Realitas menyebutkan bahwa pada masa itu periwayatan hadis mulai
melenceng dari kode etik ilmu-ilmu hadis (tidak menyertakan rentetan sanad secara
lengkap), kisah-kisah /srailiyylit mulai masuk dalam khazanah tafsir dan hadis serta
mulai muncul kontroversi penafsiran atas ayatayat yang berkenaan dengan akidah.
Realitas tersebut menjadikan munculnya perbedaan pendapat di kalangan ulama
pasca generasi tabi'in mengenai kedudukan qaul tabi'in yang secara tidak langsung
menyangkal akan posisi penafsiran tabi'in sebagai penafsiran yang menggunakan
bentuk bi al-ma ";;•ur, walaupun pada dasarnya tabi'in menggunakan Kitabullah, sunah
Nabi dan penafsiran sahabat sebagai sumber dalam penafsirannya. Oleh karena itu,
perlu ditetapkan bentuk penafsiran tabi'in secara lebih tegas dengan melalui suatu
penelitian ilmiah akademis. Kenyataan bahwa tabi'in hidup di berbagai wilayah dan
mendapatkan riwayat tafsir dari tokoh sahabat yang berbeda-beda memunculkan teori
bahwa terdapat perbedaan yang khas antara tabi'in dalam satu wilayah dengan tabi'in
di wilayah yang lain. Adapun kebenaran dari teori tersebut patut kiranya diadakan
penelitian lebih lanjut. Penelitian yang berjudul "Bentuk Penafsiran Tabi 'in dalam Ki
tab Jami' al-Bayan fi Ta 'wll al-Qur 'iin (Studi Penafsiran Tabi 'in terhadap QS. al-
Baqarah: 221- 237)" mempunyai tujuan untuk mengetahui bentuk penafsiran tabi'in
serta verifikasi atas teori yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan antara
penafsiran yang dilakukan oleh Mufasir Tabi'in Hijaz dengan Mufasir Tabi'in Irak. QS.
al-Baqarah: 221-237 yang terdapat dalam Kitab Jami' al-Bayan fi Ta 'wil al-Qur 'an
dijadikan sebagai obyek penelitian.

Hal ini dilatarbelakangi oleh adanya pokok-pokok hukum syari'ah yang ada
didalamnya dan tidak menafikan pula adanya ijtihad tabi'in pada saat menafsirkan
ayat-ayat tersebut. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode historis dan komparatif. Metode historis digunakan untuk melacak konteks
penafsiran tabi'in - berupa keadaan sosio kultural di masa tabi'in, perkembangan tafsir
pada masa itu dan jati diri masing-masing tabi'in (Sa'id bin Jubair, Mujahid, 'Ikrimah,
Sa'ld bin Musayyab, Qatadah, Rabi' bin Anas dan hasan al-Basri) - serta melacak
sejarah dan perkembangan term "bentuk penafsiran" yang digagas oleh ulama 'ulum
al-Qur 'an. Sementara itu, metode komparatif digunakan untuk mengetahui ada
tidaknya perbedaan penafsiran antara tabi'in yang satu dengan yang lainnya. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa bentuk penafsiran tabi'in adalah bi al-ma‟sur.
Kesimpulan ini didasarkan atas penafsiran mereka yang masih berpijak pada
Kitabullah, hadis Nabi dan asar sahabat secara dominan dibanding penggunaan ijtihad
mereka sendiri. Selain itu tidak ditemukan adanya perbedaan yang signifikan antara
penafsiran Tabi'in Hijaz dengan Tabi'in Irak, walaupun dilihat secara geografis, sejarah,
budaya, tekanan politik dan biografi masing-masing tabi'in terdapat perbedaan. Hal ini
terjadi dikarenakan sating berinteraksinya tabi'in di satu daerah dengan daerah lain
dalam hal periwayatan.)" mempunyai tujuan untuk mengetahui bentuk penafsiran
tabi'in serta verifikasi atas teori yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan antara
penafsiran yang dilakukan oleh Mufasir Tabi'in Hijaz dengan Mufasir Tabi'in Irak. QS.
al-Baqarah: 221-237 yang terdapat dalam Kitab Jami' al-Bayan fi Ta 'wil al-Qur 'an
dijadikan sebagai obyek penelitian.

30
Hal ini dilatarbelakangi oleh adanya pokok-pokok hukum syari'ah yang ada
didalamnya dan tidak menafikan pula adanya ijtihad tabi'in pada saat menafsirkan
ayat-ayat tersebut. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode historis dan komparatif. Metode historis digunakan untuk melacak konteks
penafsiran tabi'in - berupa keadaan sosio kultural di masa tabi'in, perkembangan tafsir
pada masa itu dan jati diri masing-masing tabi'in (Sa'id bin Jubair, Mujahid, 'Ikrimah,
Sa'ld bin Musayyab, Qatadah, Rabi' bin Anas dan hasan al-Basri) - serta melacak
sejarah dan perkembangan term "bentuk penafsiran" yang digagas oleh ulama 'ulum
al-Qur 'an. Sementara itu, metode komparatif digunakan untuk mengetahui ada
tidaknya perbedaan penafsiran antara tabi'in yang satu dengan yang lainnya. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa bentuk penafsiran tabi'in adalah bi al-ma‟sur.
Kesimpulan ini didasarkan atas penafsiran mereka yang masih berpijak pada
Kitabullah, hadis Nabi dan asar sahabat secara dominan dibanding penggunaan ijtihad
mereka sendiri. Selain itu tidak ditemukan adanya perbedaan yang signifikan antara
penafsiran Tabi'in Hijaz dengan Tabi'in Irak, walaupun dilihat secara geografis, sejarah,
budaya, tekanan politik dan biografi masing-masing tabi'in terdapat perbedaan. Hal ini
terjadi dikarenakan sating berinteraksinya tabi'in di satu daerah dengan daerah lain
dalam hal periwayatan.

Salah seorang terbaik dari generasi Tabi‟in adalah Uwais Al Qarn, yang pernah
mendatangi rumah Rasulullah untuk mendapatkan kemuliaan menjadi sahabat, tetapi
tidak berhasil bertemu dengan beliau. Uwais Al Qarn, pernah disebutkan secara
langsung melalui lisan Rasulullah sebagai orang yang asing di bumi tapi terkenal di
langit. Bahkan Rasulullah memerintahkan sahabatnya, Umar dan Ali, untuk mencari
Uwais dan meminta untuk di doakan, karena ia merupakan orang yang memiliki doa
yang diijabah oleh Allah.

Adapun diantara orang-orang yang tergolong generasi tabi‟in lainnya yakni


Umar bin Abdul Aziz, Urwah bin Zubair, Ali Zainal Abidin bin Al Husein, Muhammad bin
Al Hanafiyah, Hasan Al Bashri dan yang lainnya.

C. Tabi’ut Tabi’in

Tabi‟ut tabi‟in adalah orang beriman yang hidup pada masa sahabat atau
setelah mereka wafat tetapi tidak bertemu dengan sahabat dan bertemu dengan
generasi tabi‟in. tabi‟ut tabi‟in merupakan orang-orang yang belajar dan mewariskan
ilmu dari para tabi‟in.

Diantara orang-orang yang termasuk dalam generasi ini adalah Imam Malik bin
Anas, Sufyan bin Uyainah, Sufyan Ats-Tsauri, Al Auza‟i, Al Laits bin Saad dan yang
lainnya.

Merekalah generasi terbaik umat ini, maka selayaknya kita sebagai umat
muslim yang datang belakangan untuk mencontoh dan mengambil ilmu dari kitab-kitab
yang telah mereka tuliskan. Semoga kita bisa mengikuti para generasi terbaik umat ini.

31
BAB IV PENGERTIAN SALAF MENURUT HADIST

A. Definisi Salaf ( )

Menurut bahasa (etimologi), Salaf ( ) artinya yang terdahulu (nenek


moyang), yang lebih tua dan lebih utama. Salaf berarti para pendahulu. Jika dikatakan
( ) salaf seseorang, maksudnya kedua orang tua yang telah mendahuluinya.
Menurut istilah (terminologi), kata Salaf berarti generasi pertama dan terbaik dari
ummat (Islam) ini, yang terdiri dari para Sahabat, Tabi‟in, Tabi‟ut Tabi‟in dan para
Imam pembawa petunjuk pada tiga kurun (generasi/masa) pertama yang dimuliakan
oleh Allah Subhanahu wa Ta‟ala, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam : . “Sebaik-baik manusia adalah pada masaku
ini (yaitu masa para Sahabat), kemudian yang sesudahnya (masa Tabi‟in), kemudian
yang sesudahnya (masa Tabi‟ut Tabi‟in).”

Menurut al-Qalsyani: “Salafush Shalih adalah generasi pertama dari ummat ini
yang pemahaman ilmunya sangat dalam, yang mengikuti petunjuk Nabi Shallallahu
„alaihi wa sallam dan menjaga Sunnahnya. Allah memilih mereka untuk menemani
Nabi-Nya Shallallahu „alaihi wa sallamdan menegak-kan agama-Nya…” Syaikh
Mahmud Ahmad Khafaji berkata di dalam kitabnya, al-„Aqiidatul Islamiyyah bainas
Salafiyyah wal Mu‟tazilah: “Penetapan istilah Salaf tidak cukup dengan hanya dibatasi
waktu saja, bahkan harus sesuai dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah menurut
pemahaman Salafush Shalih (tentang „aqidah, manhaj, akhlaq dan suluk-pent.).
Barangsiapa yang pendapatnya sesuai dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah mengenai
„aqidah, hukum dan suluknya menurut pemahaman Salaf, maka ia disebut Salafi
meskipun tempatnya jauh dan berbeda masanya. Sebaliknya, barangsiapa
pendapatnya menyalahi Al-Qur-an dan As-Sunnah, maka ia bukan seorang Salafi
meskipun ia hidup pada zaman Sahabat, Ta-bi‟in dan Tabi‟ut Tabi‟in.

Penisbatan kata Salaf atau as-Salafiyyuun bukanlah termasuk perkara bid‟ah,


akan tetapi penisbatan ini adalah penisbatan yang syar‟i karena menisbatkan diri
kepada generasi pertama dari ummat ini, yaitu para Sahabat, Tabi‟in dan Tabi‟ut
Tabi‟in. Ahlus Sunnah wal Jama‟ah dikatakan juga as-Salafiyyuun karena mereka
mengikuti manhaj Salafush Shalih dari Sahabat dan Tabi‟ut Tabi‟in. Kemudian setiap
orang yang mengikuti jejak mereka serta berjalan berdasarkan manhaj mereka -di
sepanjang masa-, mereka ini disebut Salafi, karena dinisbatkan kepada Salaf. Salaf
bukan kelompok atau golongan seperti yang difahami oleh sebagian orang, tetapi
merupakan manhaj (sistem hidup dalam ber-„aqidah, beribadah, berhukum, berakhlak
dan yang lainnya) yang wajib diikuti oleh setiap Muslim. Jadi, pengertian Salaf
dinisbatkan kepada orang yang menjaga keselamatan „aqidah dan manhaj menurut

32
apa yang dilaksanakan Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam dan para Sahabat
Radhiyallahu anhum sebelum terjadinya perselisihan dan perpecahan. Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat th. 728 H) berkata: “Bukanlah merupakan aib bagi
orang yang menampakkan manhaj Salaf dan menisbatkan dirinya kepada Salaf,
bahkan wajib menerima yang demikian itu karena manhaj Salaf tidak lain kecuali
kebenaran.”

B. Definisi Ahlus Sunnah wal Jama’ah


Ahlus Sunnah wal Jama‟ah adalah: Mereka yang menempuh seperti apa yang
pernah ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam dan para Sahabatnya
Radhiyallahu anhum. Disebut Ahlus Sunnah, karena kuatnya (mereka) berpegang dan
berittiba‟ (mengikuti) Sunnah Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam dan para Sahabatnya
Radhiyallahu anhum. As-Sunnah menurut bahasa (etimologi) adalah jalan/cara,
apakah jalan itu baik atau buruk.[9] Sedangkan menurut ulama „aqidah (terminologi),
As-Sunnah adalah petunjuk yang telah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam dan para Sahabatnya, baik tentang ilmu, i‟tiqad (keyakinan), perkataan maupun
perbuatan. Dan ini adalah As-Sunnah yang wajib diikuti, orang yang mengikutinya
akan dipuji dan orang yang menyalahinya akan dicela.

Pengertian As-Sunnah menurut Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah (wafat 795


H): “As-Sunnah ialah jalan yang ditempuh, mencakup di dalamnya berpegang teguh
kepada apa yang dilaksanakan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam dan para khalifahnya
yang terpimpin dan lurus berupa i‟tiqad (keyakinan), perkataan dan perbuatan. Itulah
As-Sunnah yang sempurna.

Oleh karena itu generasi Salaf terdahulu tidak menamakan As-Sunnah kecuali
kepada apa saja yang mencakup ketiga aspek tersebut. Hal ini diriwayatkan dari Imam
Hasan al-Bashri (wafat th. 110 H), Imam al-Auza‟i (wafat th. 157 H) dan Imam Fudhail
bin „Iyadh (wafat th. 187 H).”

Disebut al-Jama‟ah, karena mereka bersatu di atas kebenaran, tidak mau


berpecah-belah dalam urusan agama, berkumpul di bawah kepemimpinan para Imam
(yang berpegang kepada) al-haqq (kebenaran), tidak mau keluar dari jama‟ah mereka
dan mengikuti apa yang telah menjadi kesepakatan Salaful Ummah. Jama‟ah menurut
ulama „aqidah (terminologi) adalah generasi pertama dari ummat ini, yaitu kalangan
Sahabat, Tabi‟ut Tabi‟in serta orang-orang yang mengikuti dalam kebaikan hingga hari
Kiamat, karena berkumpul di atas kebenaran. Imam Abu Syammah asy-Syafi‟i
rahimahullah (wafat th. 665 H) berkata: “Perintah untuk berpegang kepada jama‟ah,
maksudnya adalah berpegang kepada kebenaran dan mengikutinya. Meskipun yang
melaksanakan Sunnah itu sedikit dan yang menyalahinya banyak. Karena kebenaran
itu apa yang dilaksanakan oleh jama‟ah yang pertama, yaitu yang dilaksanakan
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam dan para Sahabatnya tanpa melihat kepada
orang-orang yang menyimpang (melakukan kebathilan) sesudah mereka.”
Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mas‟ud Radhiyallahu anhu:
. “Al-Jama‟ah adalah yang mengikuti kebenaran walaupun engkau sendirian.”

33
Jadi, Ahlus Sunnah wal Jama‟ah adalah orang yang mempunyai sifat dan
karakter mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam dan menjauhi perkara-
perkara yang baru dan bid‟ah dalam agama. Karena mereka adalah orang-orang yang
ittiba‟ (mengikuti) kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam dan
mengikuti Atsar (jejak Salaful Ummah), maka mereka juga disebut Ahlul Hadits, Ahlul
Atsar dan Ahlul Ittiba‟. Di samping itu, mereka juga dikatakan sebagai ath-Thaa-ifatul
Manshuurah (golongan yang mendapatkan per-tolongan Allah), al-Firqatun Naajiyah
(golongan yang selamat), Ghurabaa‟ (orang asing). Tentang ath-Thaa-ifatul
Manshuurah, Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam ber-sabda:
. “Senantiasa ada segolongan dari
ummatku yang selalu menegakkan perintah Allah, tidak akan mencelakai mereka
orang yang tidak menolong mereka dan orang yang menyelisihi mereka sampai datang
perintah Allah dan mereka tetap di atas yang demikian itu.”

Tentang al-Ghurabaa‟, Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:


. “Islam awalnya asing, dan kelak akan kembali
asing sebagaimana awalnya, maka beruntunglah bagi al-Ghurabaa‟ (orang-orang
asing).” Sedangkan makna al-Ghurabaa‟ adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh
„Abdullah bin „Amr bin al-„Ash Radhiyallahu anhu ketika suatu hari Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam menerangkan tentang makna dari al-Ghurabaa‟, beliau
Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: .
“Orang-orang yang shalih yang berada di tengah banyaknya orang-orang yang jelek,
orang yang mendurhakai mereka lebih banyak daripada yang mentaati mereka.”[18]
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam juga bersabda mengenai makna al-Ghurabaa‟:
. “Yaitu, orang-orang yang senantiasa memperbaiki (ummat) di
tengah-tengah rusaknya manusia.”

Dalam riwayat yang lain disebutkan: … .


“Yaitu orang-orang yang memperbaiki Sunnahku (Sunnah Rasulullah Shallallahu „alaihi
wa sallam) sesudah dirusak oleh manusia.”Ahlus Sunnah, ath-Tha-ifah al-Manshurah
dan al-Firqatun Najiyah semuanya disebut juga Ahlul Hadits. Penyebutan Ahlus
Sunnah, ath-Thaifah al-Manshurah dan al-Firqatun Najiyah dengan Ahlul Hadits suatu
hal yang masyhur dan dikenal sejak generasi Salaf, karena penyebutan itu merupakan
tuntutan nash dan sesuai dengan kondisi dan realitas yang ada. Hal ini diriwayatkan
dengan sanad yang shahih dari para Imam seperti: „Abdullah Ibnul Mubarak: „Ali Ibnul
Madini, Ahmad bin Hanbal, al-Bukhari, Ahmad bin Sinan dan yang lainnya, . Imam asy-
Syafi‟i (wafat th. 204 H) rahimahullah berkata: “Apabila aku melihat seorang ahli hadits,
seolah-olah aku melihat seorang dari Sahabat Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam,
mudah-mudahan Allah memberikan ganjaran yang terbaik kepada mereka. Mereka
telah menjaga pokok-pokok agama untuk kita dan wajib atas kita berterima kasih atas
usaha mereka.” Imam Ibnu Hazm azh-Zhahiri (wafat th. 456 H) rahimahullah
menjelaskan mengenai Ahlus Sunnah: “Ahlus Sunnah yang kami sebutkan itu adalah
ahlul haqq, sedangkan selain mereka adalah Ahlul Bid‟ah. Karena sesungguhnya
Ahlus Sunnah itu adalah para Sahabat Radhiyallahu anhum dan setiap orang yang
mengikuti manhaj mereka dari para Tabi‟in yang terpilih, kemudian ashhaabul hadits

34
dan yang mengikuti mereka dari ahli fiqih dari setiap generasi sampai pada masa kita
ini serta orang-orang awam yang mengikuti mereka baik di timur maupun di barat.”

C. Sejarah Munculnya Istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah


Penamaan istilah Ahlus Sunnah ini sudah ada sejak generasi pertama Islam
pada kurun yang dimuliakan Allah, yaitu generasi Sahabat, Tabi‟in dan Tabiut Tabi‟in.
„Abdullah bin „Abbas Radhiyallahu anhuma berkata ketika menafsirkan firman Allah
Azza wa Jalla:
“Pada hari yang di waktu itu ada wajah yang putih berseri, dan ada pula wajah
yang hitam muram. Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka
dikatakan): „Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena itu rasakanlah adzab
disebabkan kekafiranmu itu.‟” [Ali „Imran: 106] “Adapun orang yang putih wajahnya
mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jama‟ah, adapun orang yang hitam wajahnya
mereka adalah Ahlul Bid‟ah dan sesat.”

Kemudian istilah Ahlus Sunnah ini diikuti oleh kebanyakan ulama Salaf
, di antaranya:

1. Ayyub as-Sikhtiyani rahimahullah (wafat th. 131 H), ia berkata: “Apabila aku
dikabarkan tentang meninggalnya seorang dari Ahlus Sunnah seolah-olah hilang salah
satu anggota tubuhku.”

2. Sufyan ats-Tsaury rahimahullah (wafat th. 161 H) berkata: “Aku wasiatkan


kalian untuk tetap berpegang kepada Ahlus Sunnah dengan baik, karena mereka
adalah al-ghurabaa‟. Alangkah sedikitnya Ahlus Sunnah wal Jama‟ah.”

3. Fudhail bin „Iyadh rahimahullah (wafat th. 187 H) berkata: “…Berkata Ahlus
Sunnah: Iman itu keyakinan, perkataan dan perbuatan.”

4. Abu „Ubaid al-Qasim bin Sallam rahimahullah (hidup th. 157-224 H) berkata
dalam muqaddimah kitabnya, al-Iimaan: “…Maka sesungguhnya apabila engkau
bertanya kepadaku tentang iman, perselisihan umat tentang kesempurnaan iman,
bertambah dan berkurangnya iman dan engkau menyebutkan seolah-olah engkau
berkeinginan sekali untuk mengetahui tentang iman menurut Ahlus Sunnah dari yang
demikian…”

5. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah (hidup th. 164-241 H), beliau berkata
dalam muqaddimah kitabnya, As-Sunnah: “Inilah madzhab ahlul „ilmi, ash-haabul atsar
dan Ahlus Sunnah, yang mereka dikenal sebagai pengikut Sunnah Rasul Shallallahu
„alaihi wa sallam dan para Sahabatnya, dari semenjak zaman para Sahabat
Radhiyallahu anhumg hingga pada masa sekarang ini…”

6. Imam Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah (wafat th. 310 H) berkata:


“…Adapun yang benar dari perkataan tentang keyakinan bahwa kaum Mukminin akan
melihat Allah pada hari Kiamat, maka itu merupakan agama yang kami beragama
dengannya, dan kami mengetahui bahwa Ahlus Sunnah wal Jama‟ah berpendapat

35
bahwa penghuni Surga akan melihat Allah sesuai dengan berita yang shahih dari
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam.”

7. Imam Abu Ja‟far Ahmad bin Muhammad ath-Thahawi rahimahullah (hidup th.
239-321 H). Beliau berkata dalam muqaddimah kitab „aqidahnya yang masyhur (al-
„Aqiidatuth Thahaawiyyah): “…Ini adalah penjelasan tentang „aqidah Ahlus Sunnah wal
Jama‟ah.”

Dengan penukilan tersebut, maka jelaslah bagi kita bahwa lafazh Ahlus
Sunnah sudah dikenal di kalangan Salaf (generasi awal ummat ini) dan para ulama
sesudahnya. Istilah Ahlus Sunnah merupakan istilah yang mutlak sebagai lawan kata
Ahlul Bid‟ah. Para ulama Ahlus Sunnah menulis penjelasan tentang „aqidah Ahlus
Sunnah agar ummat faham tentang „aqidah yang benar dan untuk membedakan antara
mereka dengan Ahlul Bid‟ah. Sebagaimana telah dilakukan oleh Imam Ahmad bin
Hanbal, Imam al-Barbahari, Imam ath-Thahawi serta yang lainnya. Dan ini juga
sebagai bantahan kepada orang yang berpendapat bahwa istilah Ahlus Sunnah
pertama kali dipakai oleh golongan Asy‟ariyyah, padahal Asy‟ariyyah timbul pada abad
ke-3 dan ke-4 Hijriyyah.

Pada hakikatnya, Asy‟ariyyah tidak dapat dinisbatkan kepada Ahlus Sunnah,


karena beberapa perbedaan prinsip yang mendasar, di antaranya: 1. Golongan
Asy‟ariyyah menta‟wil sifat-sifat Allah Ta‟ala, sedangkan Ahlus Sunnah menetapkan
sifat-sifat Allah sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, seperti
sifat istiwa‟ , wajah, tangan, Al-Qur-an Kalamullah, dan lainnya. 2. Golongan
Asy‟ariyyah menyibukkan diri mereka dengan ilmu kalam, sedangkan ulama Ahlus
Sunnah justru mencela ilmu kalam, sebagaimana penjelasan Imam asy-Syafi‟i
rahimahullah ketika mencela ilmu kalam. 3. Golongan Asy‟ariyyah menolak kabar-
kabar yang shahih tentang sifat-sifat Allah, mereka menolaknya dengan akal dan qiyas
(analogi) mereka.

36
BAB V Islam: Ajaran Tentang Berbagi serta Keadilan Penegakan
Hukum

A. Keadilan Dalam Islam

Allah SWT memerintahkan kita untuk menegakkan keadilan seperti termaktub


dalam firman-Nya. 'Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang melakukan perbuatan
keji, kemunkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu
dapat mengambil pelajaran' (QS An Nahl:90). Menegakkan keadilan dapat dilakukan
siapa saja, bukan saja oleh hakim di pengadilan, polisi, jaksa, atau pun pejabat negara.
Paling tidak, kita bisa dengan selalu berkata benar, memberitakan atau memberikan
keterangan dan kesaksian yang benar dalam suatu perkara. Jangan karena benci atau
terlalu senang dengan seseorang, kita berlaku tidak jujur, berkata tidak benar, dan
berbuat tidak adil, apalagi menjadi saksi di pengadilan untuk suatu perkara yang
dilakukan di bawah sumpah 'Demi Allah'. Sungguh besar dosanya jika memberikan
keterangan yang tidak benar. Alquran menggunakan beberapa kata yang berbeda
untuk makna keadilan, yaitu kata qist, mizan, haq, wasatha, dan adl. Kesemua kata
tersebut dalam makna yang berbeda dapat ditujukan pada makna adil atau keadilan.
Kata qist mengandung makna keadilan yang dikaitkan dengan kebenaran. Seperti
halnya juga kata haq, yaitu kebenaran yang juga dapat bermakna keadilan (lihat QS
7:159 dan 181).

Kata mizan mengandung makna keadilan berkaitan dengan timbangan


(keseimbangan), yaitu memperlakukan sesuatu secara seimbang. Seperti halnya
lambang keadilan berupa timbangan dalam tradisi hukum Eropa. Kata wasatha
mengandung makna keadilan dalam kaitan dengan sikap yang berada di tengah
(pertengahan) dan tidak memihak, yang dalam bahasa Indonesia disebut 'wasit'. Kata
adil dapat bermakna perlakuan sama atau perlakuan secara seimbang. Dengan
demikian, keadilan haruslah berdasarkan kebenaran, keseimbangan, perlakuan sama,
serta sikap tengah dan tidak memihak. Keadilan tidak bisa ditegakkan apabila
mengabaikan kebenaran.

Demikian juga sebaliknya, mengabaikan kebenaran sama dengan


mengorbankan keadilan. Menjadi saksi atau memberikan keterangan yang tidak benar
ialah mencederai keadilan. Sikap yang memihak dan berat sebelah serta tidak
memperlakukan secara seimbang dalam memutuskan suatu urusan (perkara), dalam
memberikan keterangan atau dalam menuliskan suatu berita, juga ialah sikap yang
mencederai keadilan. Ikuti jalan kebenaran Keadilan merupakan salah satu esensi dari
ajaran Islam. Ada lebih dari 53 kata adil atau mengandung kata adil dalam Alquran.

37
Sebagian ahli fikih memaknai keadilan, yaitu 'menempatkan sesuatu pada tempatnya'
yang artinya memberikan orang sesuai dengan porsi dan bagiannya yang sebenarnya.
Dalam banyak ayat, Alquran menerangkan bahwa salah satu bentuk keadilan ialah
keadilan terhadap Tuhan sebagai pencipta, yaitu dengan mengikuti jalan kebenaran
dari Allah SWT melalui wahyu-Nya yang diturunkan kepada para nabi dan rasul-Nya.
Allah SWT mengutus para nabi dan rasul dengan membawa bukti-bukti yang nyata.
Bersama mereka diturunkan kitab dan neraca (mizan) supaya manusia dapat
menegakkan keadilan (QS 57:25). Allah-lah yang menurunkan Alquran dengan
membawa kebenaran dan menurunkan keadilan (QS 42:17). Bagi manusia, Alquran
merupakan petunjuk dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda
antara yang hak dan yang batil (QS 2:185).

Jalan kebenaran dalam Alquran itu sama dengan jalan keadilan, yaitu adil
terhadap Tuhan Pencipta yang menciptakan manusia dengan sempurna (QS 7:29).
Menegakkan keadilan dalam hubungan antara sesama manusia harus dilakukan
dengan hati yang bening dan bersih. Janganlah karena kebencian atau ketidaksukaan
terhadap suatu kaum atau kelompok, kita berlaku tidak adil. Allah mengingatkan dalam
Alquran; 'Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil (qist). Dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum mendorong kamu untuk
berlaku tidak adil (adl). Berlaku adillah karena adil (adl) itu lebih dekat kepada takwa.
Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan' (QS Al Maidah:8).

Saksi yang adil Allah pun mengingatkan agar kita tetap menjadi saksi yang adil
dan berkata benar walaupun terhadap diri sendiri, ibu/bapak, atau keluarga dekat.
Janganlah karena demi membela diri sendiri, ibu/bapak, atau keluarga dekat, kita
berbuat tidak adil terhadap orang lain dengan memberikan kesaksian yang tidak benar.
Allah mengingatkan; 'Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang
benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap
dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak atau kaum kerabatmu, jika ia kaya atau miskin,
maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan kata-kata
karena tidak hendak menjadi saksi maka sesungguhnya Allah maha mengetahui
dengan segala apa yang kamu lakukan' (QS An Nisa:135). Allah SWT mengingatkan
bahwa tindakan demikian ialah tindakan yang hanya mengikuti hawa nafsu.
Sesungguhnya Allah maha mengetahui sekecil apa pun yang terpendam dalam hati
kecil kita.

Rasulullah telah mencontohkan bagaimana ketegasannya menegakkan


keadilan walaupun terhadap putrinya sendiri. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan
Imam Al-Bukhari dan Muslim, suatu ketika orang-orang Qurais sangat
mengkhawatirkan seorang wanita dari bani Makhzumiyyah yang tertangkap mencuri.
Lalu orang-orang Qurais berembuk, siapakah yang bisa melobi Rasulullah agar
kepada wanita tersebut diberikan pengampunan. Lalu dipercayakanlah Usamah bin
Zaid yang dianggap dekat dengan Rasulullah SAW dan menyampaikan hal itu kepada
beliau. Lalu Rasulullah bersabda, "Apakah kamu mau memintakan syafaat dalam

38
hukum di antara hukum-hukum Allah?" Kemudian Rasulullah berdiri berkhotbah dan
bersabda; "Sesungguhnya yang merusak/membinasakan orang-orang sebelum kalian
adalah bahwa mereka dahulu apabila orang mulia di antara mereka yang mencuri,
mereka membiarkannya, tetapi kalau orang lemah di antara mereka yang mencuri,
mereka menegakkan hukum atas orang tersebut. Demi Allah, seandainya Fatimah binti
Muhammad mencuri, niscaya aku akan memotong tangannya."

Ketajaman hukum Islam melarang keras hukum yang tajam ke bawah (yaitu
tajam dan berlaku penuh kepada orang-orang miskin dan kekurangan), tetapi tumpul
ke atas (yaitu tidak berlaku penuh kepada pejabat, pemegang kuasa, dan kaum kaya
raya). Sungguh, kalau sudah terjadi hukum yang demikian, Rasulullah telah
mengingatkan kepada kita semua bahwa tindakan demikianlah yang mengakibatkan
hancurnya umat-umat terdahulu. Tindakan yang demikianlah yang mengakibatkan
pemimpin jatuh dan tidak berharga. Tindakan demikian yang melahirkan air bah protes
dan ketidakpercayaan kepada pemimpin. Bahkan, dalam hubungan keperdataan di
antara sesama manusia dalam hal utang piutang dalam jangka tertentu, Allah
memerintahkan untuk menuliskannya dengan benar dan adil, sesuai dengan firman
Allah, 'Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengikat utang untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaknya seorang di antara kamu
menuliskannya dengan benar dan adil' (QS Al Baqarah:282). Karena jika tidak
dituliskan, akan mudah lupa dan menimbulkan sengketa yang dapat melahirkan
ketidakadilan dan tindakan zalim antara satu dan yang lainnya.

B. Kepemimpinan Dalam Islam

Tanggung jawab pemimpin Untuk keadilan dalam urusan pemerintahan, Allah


memerintahkan kepada para pejabat atau pemimpin untuk melaksanakan amanat dan
tanggung jawab mereka dan memutuskan suatu perkara hukum dengan adil. Allah
berfirman, "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah maha
mendengar lagi maha melihat." (QS An Nisa:58). Menyampaikan 'amanat' yang
dimaksud dalam ayat tersebut adalah melaksanakan jabatan yang dipercayakan
kepada para pemimpin sebaik-baiknya. Allah memerintahkan untuk melaksanakan
jabatan itu bagi kepentingan rakyat, dan kepentingan publik.

Memperlakukan secara sama terhadap semua penduduk yang dipimpinnya,


tidak mengutamakan sebagiannya dan meminggirkan yang lainnya. Dalam banyak
hadis, Rasulullah SAW mengingatkan kepada para pemimpin--siapa pun dan dalam
jabatan apa pun pemimpin itu--untuk melaksanakan dengan sebaik-baiknya, penuh
amanah dan tanggung jawab. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Al-
Bukhari, Rasulullah SAW bersabda, "Tidaklah seorang hamba yang Allah beri amanat
kepemimpinan, dan tidak melaksanakannya dengan baik, selain tak akan

39
mendapatkan bau surga." Dalam sabdanya yang lain Rasulullah mengingatkan,
"Tidaklah seorang pemimpin yang memimpin umat muslimin, lantas dia meninggal
dalam keadaan menipu mereka (menipu umatnya), kecuali Allah mengharamkan surga
baginya." (HR Al-Bukhari). Bila seorang hakim yang memutus suatu perkara tidak
secara benar, sungguh besar ancaman Allah. Rasulullah SAW mengingatkan, "Hakim
itu ada tiga, dua di neraka dan satu di surga. Seseorang yang menghukumi secara
tidak benar, padahal ia mengetahui mana yang benar maka ia di neraka. Seorang
hakim yang bodoh lalu menghancurkan hak-hak manusia maka ia di neraka dan
seorang hakim yang menghukumi dengan benar maka ia masuk surga. (HR At-
Tirmidzi; shahih lighairihi).

Demikianlah tuntunan Islam mengenai pentingnya untuk menegakkan keadilan.


Keadilan adalah salah satu fondasi untuk tegaknya kehidupan sosial yang baik dan
keadilan adalah salah satu ajaran universal Islam. Demikian pula pentingnya keadilan
dalam kehidupan kebangsaan kita di Indonesia. Kemerdekaan Indonesia
dilatarbelakangi ketidakadilan penjajah Belanda. Ketika itu, hukum sangat tajam buat
warga pribumi tapi tumpul bagi kaum penjajah dan para penguasa. Demikian juga
dalam masalah sosial ekonomi.

40
DAFTAR PUSTAKA

https://www.slideshare.net/hrlinasr/konsep-ketuhanan-dalam-islam-32436657

Ilmi, Zainal. "Islam Sebagai Landasan Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan


Teknologi." LENTERA 14.1 JUNI (2012).

Ilmi, Z. (2012). Islam Sebagai Landasan Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan


Teknologi. LENTERA, 14(1 JUNI).

: https://almanhaj.or.id/3448-keutamaan-sahabat-nabi.html
https://nasional.okezone.com/read/2018/10/24/337/1968200/konsep-keadilan-menurut-
perspektif-islam

https://almanhaj.or.id/3448-keutamaan-sahabat-nabi.html
https://nasional.okezone.com/read/2018/10/24/337/1968200/konsep-keadilan-menurut-
perspektif-islam

https://almanhaj.or.id/3428-definisi-salaf-definisi-ahlus-sunnah-wal-jamaah.html

https://mediaindonesia.com/read/detail/166818-kembali-ke-fitrah-keadilan-dalam-
perspektif-islam-dan-kebangsaan

Rangkuti, Afifa. "Konsep keadilan dalam perspektif Islam." TAZKIYA 6.1 (2017).

Rangkuti, A. (2017). Konsep keadilan dalam perspektif Islam. TAZKIYA, 6(1).

RANGKUTI, Afifa. Konsep keadilan dalam perspektif Islam. TAZKIYA, 2017, 6.1.

41

Anda mungkin juga menyukai