Anda di halaman 1dari 17

ARTIKEL KEISLAMAN:

1. KEISTIMEWAAN DAN KEBENARAN KONSEP KETUHANAN DALAM ISLAM


2. SAINS&TEKNOLOGI DALAM AL-QUR’AN DAN AL-HADITS
3. GENERASI TERBAIK MENURUT AL-HADITS
4. PENGERTIAN SALAF (REFERENSI HADITS)
5. ISLAM, AJARAN TENTANG BERBAGI SERTA KEADILAN PENEGAKAN HUKUM

Dosen Pengampuh:

Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos

Disusun Oleh :

Nama : Lalu Harisma Fachriyan

NIM : G1D020032
Fakultas&Prodi : MIPA Matematika

Semester : 1 (satu)

PROGRAM STUDI MATEMATIKA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS MATARAM
T.A. 2020/2021

i
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji
syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat,
Hidayah, dan Inayah-Nya sehingga saya sanggup menyelesaikan penyusunan
Artkel Keislaman Pendidikan Agama Islam dengan tepat pada waktunya. Tak lupa
pula kami kirimkan shalawat serta salam kepada junjungan Nabi Besar Muhammad
SAW. Beserta keluarganya, para sahabatnya, dan seluruh ummatnya yang
senantiasa istiqomah sampai tamat zaman.

Terima kasih saya sampaikan atas bimbingan Bapak Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I.,
M.Sos sebagai dosen pengampuh mata Kuliah Pendidkan Agama Islam

Besar harapan saya tugas ini akan memberi manfaat bagi pembaca artikel dan
saya sebagai penulis artikel ini menyadari bahwa artikel ini masih jauh dari
sempurna. Karena itu saya mengharapkan saran dan kritik konstruktif demi
perbaikan atrikel di masa mendatang.

Penyusun, Mataram 12 Oktober 2020

Lalu Harisma Fachriyan


G1D020032

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN COVER i

KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii

I. Keistimewaan dan Kebenaran Konsep Ketuhanan dalam Islam 1

II. Sains dan Teknologi dan Al-Qur’an dan Al-Hadits 2


III. Generasi Terbaik Menurut Al-Hadits 6
IV. Pengertian Salaf Menurut Al-Hadits 12
V. Islam: Ajaran Tentang Berbagi serta Keadilan Penegakan Hukum 13
DAFTAR PUSTAKA 14

LAMPIRAN

iii
1. Keistimewaan dan Kebenaran Konsep Ketuhanan dalam Islam

Sebagaimana dipaparkan dimuka bahwa manusia, sejak mula pertama sejarah


pemikiran, sudah mengenal adanya suatu kekuatan-kekuatan yang mengatasi
manusia, suatu yang dianggap mahakuasa, dapat mendatangkan kebaikan
ataupun kejahatan serta dapat mengabulkan doa dan keinginan. Hal tersebut
menunjukkan bahwa pengetahuan tentang Tuhan sudah sejak dini dimiliki oleh
manusia. Masyarakat manusia diberbagai tempat mengenal adanya kekuatan-
kekuatan supranatural, orang melanesia menyebutnya mana, orang Jepang
menyebutnya kami, orang India menyebutnya hari, orang Indian Amerika
menyebutnya wakan,orenda dan maniti. dan dalam bahasa Indonesia disebut
tuah6 yang mereka yakini kekuatan-kekuatan tersebut berada pada tempat-tempat
tertentu seperti batu, pohon besar, binatang, atau gunung. Perasaan dan
keyakinan adanya Yang Maha Kuasa yang lebih besar dan lebih tinggi, yang tidak
dapat dijangkau dan dikuasai manusia itu oleh Rudolf Otto disebut niminous, yang
merupakan dasar bagi setiap agama.
Kekuatan-kekuatan gaib yang dimaksud diatas, kecuali dalam agama-agama yang
masih primitif, disebut Tuhan. Konsep tentang Tuhan berbagai rupa antara lain
seperti orang yang percaya pada teisme, tetapi tidak pada deisme atau panteisme
tetapi tidak pada penenteisme. Paham-paham ini akan dipaparkan sebagai berikut
1. Aliran Teisme Teisme adalah aliran atau paham yang mengakui Tuhan sebagai
ada yang personal dan transenden, dan berpartispasi secara imanen dalam
penciptaan dunia dari ketiadaan melalui aktus pencipta-Nya yang bebas. Antara
Tuhan dan manusia dapat terjalin hubungan I-Thou.
2. Harun Nasution dalam bukunya “falsafat agama” mennjelaskan bahwa teisme
sepaham dengan deisme, berpendapat bahwa Tuhan adalah transenden,
menyatakan bahwa Tuhan, sungguhpun berada diluar alam, juga dekat pada
alam. Berlainan dengan deisme, teisme menyatakan bahwa alam setelah
diciptakan Tuhan, bukan tidak lagi berajat pada Tuhan, malahan tetap terdapat-
Nya. Tuhan adalah sebab bagi yang ada di alam ini. Segala-galanya bersandar
kepada sebab ini. Tuhan adalah dasar dari segala yang ada dan yang terjadi
dalam alam ini. Alam ini tidak bisa berwujud dan berdiri tampa Tuhan. Tuhanlah
yang terus menerus secara langsung mengatur alam ini.
Selanjutnya Harun Nasution menyatakan dalam faham teisme alam ini tidak
beredar menurut hukum-hukum dan peraturan-peraturan yang tak berubah,
tetapi beredar menurut kehendak mutlak Tuhan. Oleh karena ituteisme
mengakui adanya mu’jizat.

1
Aliran teisme dapat dibedakan dalam beberapa tipe antara lain dapat
dibedakan dalam hal kepercayaan tentang Tuhan dan hubungan-Nya dengan
alam. Menurut Amsal Bakhtiar sebagian besar penganut teisme percaya bahwa
materi alam adalah riil, sedangkan yang lain menyatakan abstrak, itu hanya
eksis dalam pikiran dan idea. Dari sebagaian besar mereka yakin bahwa Tuhan
tidak berubah, tetapi sebagian ada yang terpengaruh oleh panteisme, sehingga
mengatakan bahwa Tuhan berubah dalam beberapa hal. Sebagian teis
berpendapat bahwa Tuhan menciptakan alam dan selalu ada bersamanya,
sementara yang lain yakin bahwa alam harus memiliki suatu permulaan yang
berbeda. Perbedaan yang cukup menonjol dalam teisme adalah antara agama
Yahudi dan Islam disatu pihak dengan kristen Ortodoks dipihak lain. Dalam
keyakinan orang-orang Yahudi dan Islam Tuhan adalah Zat Yang Esa,
sedangkan dalam Kristen yakin bahwa Tuhan adalah tiga pribadi (trinitas).

2. Sains dan Teknologi dan Al-Qur’an dan Al-Hadits


Kata sains dan teknologi ibarat dua sisi mata uang yang sulit dipisahkan satu sama
lain. Sains, menurut Baiquni, adalah himpunan pengetahuan manusia tentang alam
yang diperoleh sebagai konsensus para pakar, melalui penyimpulan secara
rasional mengenai hasil-hasil analisis yang kritis terhadap data pengukuran yang
diperoleh dari observasi pada gejala-gejala alam. Sedangkan teknologi adalah
himpunan pengetahuan manusia tentang proses-proses pemanfaatan alam yang
diperoleh dari penerapan sains, dalam kerangka kegiatan yang produktif ekonomis
(Baiquni, 1995: 58-60). Al-Qur’an, sebagai kalam Allah, diturunkan bukan untuk
tujuan-tujuan yang bersifat praktis. Oleh sebab itu, secara obyektif, al-Qur’an
bukanlah ensiklopedi sains dan teknologi apalagi al-Qur’an tidak menyatakan hal
itu secara gamblang. Akan tetapi, dalam kapasitasnya sebagai huda li al-nas, al-
Qur’an memberikan informasi stimulan mengenai fenomena alam dalam porsi yang
cukup banyak, sekitar tujuh ratus lima puluh ayat (Ghulsyani, 1993: 78). Bahkan,
pesan (wahyu) paling awal yang diterima Nabi SAW mengandung indikasi
pentingnya proses investigasi (penyelidikan). Informasi al-Qur’an tentang fenomena
alam ini, menurut Ghulsyani, dimaksudkan untuk menarik perhatian manusia
kepada Pencipta alam Yang Maha Mulia dan Maha Bijaksana dengan
mempertanyakan dan merenungkan wujud-wujud alam serta mendorong manusia
agar berjuang mendekat kepada-Nya (Ghulsyani, 1993). Dalam visi al-Qur’an,
fenomena alam adalah tanda-tanda kekuasaan Allah. Oleh sebab itu, pemahaman
terhadap alam itu akan membawa manusia lebih dekat kepada Tuhannya.
Pandangan al-Qur’an tentang sains dan teknologi dapat ditelusuri dari pandangan
2
al-Qur’an tentang ilmu. Al-Qur’an telah meletakkan posisi ilmu pada tingkatan yang
hampir sama dengan iman seperti tercermin dalam surat al-Mujadalah ayat 11: “…
niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” Ayat-ayat al-Qur’an
yang memerintahkan manusia mencari ilmu atau menjadi ilmuwan begitu banyak.
Al-Qur’an menggunakan berbagai istilah yang berkaitan dengan hal ini. Misalnya,
mengajak melihat, memperhatikan, dan mengamati kejadian-kejadian (Fathir: 27;
al-Hajj: 5; Luqman: 20; alGhasyiyah: 17-20; Yunus: 101; al-Anbiya’: 30), membaca
(al- ‘Alaq: 1-5) supaya mengetahui suatu kejadian (al-An’am: 97; Yunus: 5), supaya
mendapat jalan (al-Nahl: 15), menjadi yang berpikir atau yang menalar berbagai
fenomena (al-Nahl: 11; Yunus: 101; al-Ra’d: 4; al-Baqarah: 164; al-Rum: 24; al-
Jatsiyah: 5, 13), menjadi ulu al-albab (Ali ‘Imran: 7; 190-191; al-Zumar: 18), dan
mengambil pelajaran (Yunus: 3). Sedangkan pandangan al-Qur’an tentang sains
dan teknologi, dapat diketahui dari wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad
saw.: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha
Pemurah. Yang Mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam (tulis baca). Dia
Mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS al-‘Alaq: 1-5).
Kata iqra’, menurut Quraish Shihab, diambil dari akar kata yang berarti
menghimpun. Dari menghimpun lahir aneka makna seperti menyampaikan,
menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca baik yang
tertulis maupun tidak. Sedangkan dari segi obyeknya, perintah iqra’ itu mencakup
segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh manusia. (Shihab, 1996:433).
Atas dasar itu, sebenarnya tidak ada alasan untuk membuat dikotomi ilmu
agama dan ilmu non agama. Sebab, sebagai agama yang memandang dirinya
paling lengkap tidak mungkin memisahkan diri dari persoalan-persoalan yang
bereperan penting dalam meningkatkan kesejahteraan umatnya. Berkaitan dengan
hal ini, Ghulsyani mengajukan beberapa alasan untuk menolak dikotomi ilmu
agama dan ilmu non agama sebagai berikut: 1. Dalam sebagian besar ayat al-
Qur’an, konsep ilmu secara mutlak muncul dalam maknanya yang umum, seperti
pada ayat 9 surat al-Zumar: TA’DIB, Vol. XV No. 01. Edisi, Juni 2010 126
“Katakanlah: adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang
yang tidak mengetahui.” Beberapa ayat lain yang senada di antaranya QS 2:31; QS
12:76; QS 16: 70. 2. Beberapa ayat al-Qur’an secara eksplisit menunjukkan bahwa
ilmu itu tidak hanya berupa prinsip-prinsip dan hukum-hukum agama saja.
Misalnya, firman Allah pada surat Fathir ayat 27-28:

3
“Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit
lalu Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka ragam jenisnya.
Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka
ragam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat. Dan demikian (pula) di antara
manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang
bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada
Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah “ulama”. Sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Pengampun." Dengan jelas kata ulama (pemilik pengetahuan)
pada ayat di atas dihubungkan dengan orang yang menyadari sunnatullah (dalam
bahasa sains: “hukum-hukum alam”) dan misteri-misteri penciptaan, serta merasa
rendah diri di hadapan Allah Yang Maha Mulia. 3. Di dalam al-Qur’an terdapat
rujukan pada kisah Qarun. “Qarun berkata: Sesungguhnya aku diberi harta itu
karena ilmu yang ada padaku.” (QS al-Qashash: 78) (Ghulsyani, 1993: 44- 45). Di
samping itu, subyek yang dituntut oleh wahyu pertama (al-‘Alaq: 1-5) adalah
manusia, karena potensi ke arah TA’DIB, Vol. XV No. 01. Edisi, Juni 2010 127 itu
hanya diberikan oleh Allah swt. kepada jenis makhluk ini. Pemberian potensi ini
tentunya tidak terlepas dari fungsi dan tanggung jawab manusia sebagai khalifah
Allah di atas muka bumi. Sedangkan bumi dan langit beserta isinya telah
‘ditundukkan’ bagi kepentingan manusia. Mari perhatikan firman Allah di dalam
surat al-Jatsiyah ayat 13:
“Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada
di bumi semuanya (sebagai rahmat dari-Nya). Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir.”
Kata sakhkhara (menundukkan) pada ayat di atas atau kata yang semakna
dengan itu banyak ditemukan di dalam alQur’an yang menegaskan bahwa Allah
swt. menundukkan semua ciptaan-Nya sesuai dengan peraturan-peraturan
(sunnatullah) Nya, sehingga manusia dapat mengambil manfaat sepanjang
manusia mau menggunakan akal dan pikirannya serta mengikuti langkah dan
prosedur yang sesuai dengan sunnatullah itu. Misalnya, menurut Baiquni, (1997:
15- 16 ) tertiupnya sehelai daun yang kering dan pipih oleh angin yang
membawanya membumbung tinggi ke atas adalah karena aliran udara di
sekitarnya. Orang yang melakukan pengamatan dan penelitian untuk menemukan
jawaban atas pertanyaan: “bagaimana daun itu diterbangkan?”, niscaya akan
sampai kepada sunnatullah yang menyebabkan daun itu bertingkah laku seperti
yang tampak dalam pengamatannya. Pada dasarnya, sebuah benda yang
bentuknya seperti daun itu, yang panjang dan bagian pinggir dan lebarnya
melengkung ke bawah, akan mengganggu aliran udara karena pada bagian yang
4
melengkung itu aliran udara tidak selancar di tempat lain. Akibatnya, tekanan udara
di lengkungan itu lebih tinggi dari pada bagian lainnya sehingga benda itu
terangkat. Orang yang melakukan pengamatan dan penelitian itu menemukan
sunnatullah yang dalam ilmu pengetahuan disebut aerodinamika. Dengan
pengetahuan yang lengkap dalam bidang aerodinamika dan pengetahuan tentang
sifat-sifat material tertentu manusia mampu menerapkan ilmunya itu untuk
membuat pesawat terbang yang dapat melaju dengan kecepatan tertentu. Untuk
dapat memahami sunnatullah yang beraturan di alam semesta ini, manusia telah
dibekali oleh Allah SWT dua potensi penting, yaitu potensi fitriyah (di dalam diri
manusia) dan potensi sumber daya alam (di luar diri manusia). Di samping itu, al-
Qur’an juga memberikan tuntunan praktis bagi manusia berupa langkah-langkah
penting bagaimana memahami alam agar dicapai manfaat yang maksimal. Suatu
cara penghampiran yang sederhana dalam mempelajari ilmu pengetahuan
ditunjukkan al-Qur’an dalam surat al-Mulk ayat 3-4 yang intinya mencakup proses
kagum, mengamati, dan memahami. Dalam konteks sains, al-Qur’an
mengembangkan beberapa langkah/proses sebagai berikut.
Pertama, al-Qur’an memerintahkan kepada manusia untuk mengenali secara
seksama alam sekitarnya seraya mengetahui sifat-sifat dan proses-proses alamiah
yang terjadi di dalamnya. Perintah ini, misalnya, ditegaskan di dalam surat Yunus
ayat 101.
“Katakanlah (wahai Muhammad): Perhatikan (dengan nazhor) apa
yang ada di langit dan di bumi….”
Dalam kata unzhuru (perhatikan), Baiquni memahaminya tidak sekedar
memperhatikan dengan pikiran kosong, melainkan dengan perhatian yang
seksama terhadap kebesaran Allah SWT dan makna dari gejala alam yang diamati
(Baiquni, 1997:20). Perintah ini tampak lebih jelas lagi di dalam firman Allah di surat
al-Ghasyiyah ayat 17-20:
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan (dengan nazhor) onta
bagaimana ia diciptakan. Dan langit bagaimana ia diangkat. Dan gunung-
gunung bagaimana mereka ditegakkan. Dan bumi bagaimana ia
dibentangkan.”
Kedua, al-Qur’an mengajarkan kepada manusia untuk mengadakan pengukuran
terhadap gejala-gejala alam. Hal ini diisyaratkan di dalam surat al-Qamar ayat 149.

“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan ukuran.”


Ketiga, al-Qur’an menekankan pentingnya analisis yang mendalam terhadap
fenomena alam melalui proses penalaran yang kritis dan sehat untuk mencapai

5
kesimpulan yang rasional. Persoalan ini dinyatakan dalam surat al-Nahl ayat 11-
12.
“Dia menumbuhkan bagimu, dengan air hujan itu, tanamantanaman zaitun,
korma, anggur, dan segala macam buahbuahan. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi mereka
yang mau berpikir. Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan
bulan untukmu; dan bintang-bintang itu ditundukkan (bagimu) dengan
perintah-Nya. Sebenarnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda
kekuasaan Allah bagi kaum yang menalar.”

3. Generasi Terbaik Menurut Al-Hadits

Generasi terbaik umat ini adalah para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Mereka adalah sebaik-baik manusia. Lantas disusul generasi berikutnya,
lalu generasi berikutnya. Tiga kurun ini merupakan kurun terbaik dari umat ini. Dari
Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhuma, bahwa dia mendengar Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
َ ‫َخي َْر أُ َّمتِـي َقرْ نِي ُث َّم الَّ ِذي َْن َيلُو َن ُه ْم ُث َّم الَّذ‬
‫ِين َيلُو َن ُه ْم‬
“Sebaik-baik umatku adalah pada masaku. Kemudian orang-orang yang setelah mereka
(generasi berikutnya), lalu orang-orang yang setelah mereka.” (Shahih Al-Bukhari, no. 3650)
Mereka adalah orang-orang yang paling baik, paling selamat dan paling
mengetahui dalam memahami Islam. Mereka adalah para pendahulu yang memiliki
keshalihan yang tertinggi (as-salafu ash-shalih).
Karenanya, sudah merupakan kemestian bila menghendaki pemahaman dan
pengamalan Islam yang benar merujuk kepada mereka (as-salafu ash-shalih).
Mereka adalah orang-orang yang telah mendapat keridhaan dari Allah Subhanahu
wa Ta’ala dan mereka pun ridha kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala:
‫ت َتجْـ ِري َتحْ َت َهــا‬ ٍ ‫ضـوا َع ْنـ ُه َوأَ َعـ َّد َل ُه ْم َج َّنا‬ُ ‫ضـ َي هللاُ َع ْن ُه ْم َو َر‬ َ ‫ار َوالَّذ‬
ٍ ‫ِين ا َّت َب ُعــو ُه ْم ِبإِحْ َسـ‬
ِ ‫ان َر‬ ِ ‫ص‬َ ‫ين َواأْل َ ْن‬ َ ُ‫ون اأْل َوَّ ل‬
َ ‫ون م َِن ْال ُم َها ِج ِر‬ َ ُ‫َّابق‬
ِ ‫َوالس‬
‫ِين فِي َها أَ َب ًدا َذل َِك ْال َف ْو ُز ْال َعظِ ي ُم‬َ ‫اأْل َ ْن َها ُر َخالِد‬
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang
Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha
kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka
surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-
lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah: 100)
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan untuk mengikuti para
sahabat. Berjalan di atas jalan yang mereka tempuh. Berperilaku selaras apa yang

6
telah mereka perbuat. Menapaki manhaj (cara pandang hidup) sesuai manhaj
mereka. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
َ ‫َوا َّت ِبعْ َس ِبي َل َمنْ أَ َن‬
َّ‫اب إِلَي‬
“Dan ikutilah jalan orang-orang yang kembali kepada-Ku.” (Luqman: 15)
Menukil ucapan Ibnul Qayyim rahimahullahu dalam I’lam Al-Muwaqqi’in,
terkait ayat di atas disebutkan bahwa setiap sahabat adalah orang yang kembali
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka, wajib mengikuti jalannya, perkataan-
perkataannya, dan keyakinan-keyakinan (i’tiqad) mereka. Dalil bahwa mereka adalah
orang-orang yang kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, (dikuatkan lagi)
dengan firman-Nya yang menunjukkan mereka adalah orang-orang yang telah diberi
Allah Subhanahu wa Ta’ala petunjuk. Firman-Nya:
ُ‫َو َي ْهدِي إِ َل ْي ِه َمنْ ُينِيب‬
“Dan (Allah) memberi petunjuk kepada (agama)-Nya, orang yang kembali (kepada-Nya).”
(Asy-Syura: 13) (Lihat Kun Salafiyan ‘alal Jaddah, Abdussalam bin Salim bin Raja’ As-
Suhaimi, hal. 14)
Maka, istilah as-salafu ash-shalih secara mutlak dilekatkan kepada tiga kurun
yang utama. Yaitu para sahabat, at-tabi’un, dan atba’u tabi’in (para pengikut
tabi’in). Siapapun yang mengikuti mereka dari aspek pemahaman, i’tiqad, perkataan
maupun amal, maka dia berada di atas manhaj as-salaf. Adanya ancaman yang
diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap orang-orang yang memilih jalan-jalan
selain jalan yang ditempuh as-salafu ash-shalih, menunjukkan wajibnya setiap
muslim berpegang dengan manhaj as-salaf. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
َ ‫يل ْالم ُْؤ ِمن‬
‫ِين ُن َولِّ ِه َما َت َولَّى َو ُنصْ ِل ِه َج َه َّن َم َو َسا َء ْـ‬
‫ت مَصِ يرً ا‬ ِ ‫َو َمنْ ُي َشاق ِِق الرَّ سُو َل مِنْ َبعْ ِد َما َت َبي ََّن َل ُه ْالهُدَى َو َي َّت ِبعْ َغي َْر َس ِب‬
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti
jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan
yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa’: 115)
Disebutkan oleh Asy-Syaikh Ubaid bin Abdillah bin Sulaiman Al-Jabiri
hafizhahullah, bahwa tidaklah orang yang berpemahaman khalaf (lawan dari salaf),
termasuk orang-orang yang tergabung dalam jamaah-jamaah dakwah sekarang ini,
kecuali dia akan membenci (dakwah) as-salafiyah. Karena, as-salafiyah tidak semata
pada hal yang terkait penisbahan (pengakuan). Tetapi as-salafiyah memurnikan
keikhlasan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dan memurnikan mutaba’ah (ikutan)
terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Manusia itu terbagi dalam dua kelompok
(salah satunya) yaitu hizbu Ar-Rahman, mereka adalah orang-orang Islam yang
keimanan mereka terpelihara, tidak menjadikan mereka keluar secara sempurna dari
agama. Jadi, hizbu Ar-Rahman adalah orang-orang yang tidak sesat dan

7
menyesatkan serta tidak mengabaikan al-huda (petunjuk) dan al-haq (kebenaran) di
setiap tempat dan zaman. (Ushul wa Qawa’id fi al-Manhaj As-Salafi, hal. 12-13)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdasar hadits dari Al-Mughirah bin Syu’bah
radhiyallahu ‘anhu, berkata:
ِ ‫الَ َي َزا ُل َطا ِئ َف ٌة مِنْ أ ُ َّمتِـي َظاه ِِري َْن َح َّتى َيأْ ِت َي ُه ْم أَ ْم ُر‬
َ ‫هللا َو ُه ْم َظا ِهر‬
‫ُون‬
“Akan selalu ada sekelompok orang dari umatku yang unggul/menang hingga tiba pada
mereka keputusan Allah, sedang mereka adalah orang-orang yang unggul/menang.”
(Shahih Al-Bukhari, no. 7311)
Menurut Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu,
bahwa yang dimaksud hadits tersebut adalah adanya sekelompok orang yang
berpegang teguh dengan apa yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
sahabat berada di atasnya. Mereka adalah orang-orang yang unggul/menang, tak
akan termudaratkan oleh orang-orang yang menelantarkannya dan orang-orang
yang menyelisihinya. (Syarhu Ash-Shahih Al-Bukhari, 10/104)
Bila menatap langit zaman, di setiap kurun, waktu, senantiasa didapati para
pembela al-haq. Mereka adalah bintang gemilang yang memberi petunjuk arah
dalam kehidupan umat. Mereka memancarkan berkas cahaya yang memandu umat
di tengah gelap gulita. Kala muncul bid’ah Khawarij dan Syi’ah, Allah Subhanahu wa
Ta’ala merobohkan makar mereka dengan memunculkan Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu ‘anhu dan Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Begitupun saat Al-
Qadariyah hadir, maka Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, dan Jabir bin
‘Abdillah radhiallahu ‘anhum dari kalangan sahabat yang utama melawan
pemahaman sesat tersebut. Washil bin ‘Atha’ dengan paham Mu’tazilahnya
dipatahkan Al-Hasan Al-Bashri, Ibnu Sirin, dan lain-lainnya dari kalangan utama
tabi’in. Merebak Syi’ah Rafidhah, maka Al-Imam Asy-Sya’bi, Al-Imam Syafi’i, dan
para imam Ahlus Sunnah lainnya menghadapi dan menangkal kesesatan Syi’ah
Rafidhah. Jahm bin Shafwan yang mengusung Jahmiyah juga diruntuhkan Al-Imam
Malik, Abdullah bin Mubarak, dan lainnya. Demikian pula tatkala menyebar
pemahaman dan keyakinan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk bukan Kalamullah.
Maka, Al-Imam Ahmad bin Hanbal tampil memerangi pemahaman dan keyakinan
sesat tersebut.
Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa memunculkan para pembela risalah-
Nya. Mereka terus berupaya menjaga as-sunnah, agar tidak redup diempas para ahli
bid’ah. Bermunculan para imam, seperti Al-Imam Al-Barbahari, Al-Imam Ibnu
Khuzaimah, Al-Imam Ibnu Baththah, Al-Imam Al-Lalika’i, Al-Imam Ibnu Mandah, dan
lainnya dari kalangan imam Ahlus Sunnah. Lantas pada kurun berikutnya, ketika
muncul bid’ah sufiyah, ahlu kalam dan filsafat, hadir di tengah umat para imam,
seperti Al-Imam Asy-Syathibi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah beserta murid-muridnya,

8
yaitu Ibnul Qayyim, Ibnu Abdilhadi, Ibnu Katsir, Adz-Dzahabi, dan lainnya
rahimahumullah.
Sosok Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sendiri bagi sebagian umat Islam bukan
lagi sosok yang asing. Kiprah dakwahnya begitu agung. Pengaruhnya sangat luas.
Kokoh dalam memegang sunnah. Sebab, menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,
sesungguhnya tidak ada kebahagiaan bagi para hamba, tidak ada pula keselamatan
di hari kembali nanti (hari kiamat) kecuali dengan ittiba’ (mengikuti) Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
‫هللا َو َر ُسـولَ ُه‬
َ ‫ص‬ ِ ْ‫ َو َمنْ َيع‬.‫ك ْال َفـ ْـو ُز ْال َعظِ ي ُم‬ َ ‫ت َتجْ ِري مِنْ َتحْ ِت َها اأْل َ ْن َها ُر َخا ِلد‬
َ ‫ِين فِي َهــا َو َذ ِلـ‬ ٍ ‫هللا َو َمنْ يُطِ ِع هَّللا َ َو َرسُولَ ُه ي ُْدخ ِْل ُه َج َّنا‬ َ ‫ت ِْل‬
ِ ‫ك ُحدُو ُد‬
ٌ‫َو َي َت َع َّد ُحدُو َدهُ ي ُْدخ ِْل ُه َنارً ا َخالِ ًدا فِي َها َو َل ُه َع َذابٌ م ُِهين‬
“(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat
kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir
di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan
yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar
ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia
kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.” (An-Nisa’: 13-14)
Maka, ketaatan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan poros
kebahagiaan yang seseorang berupaya mengitarinya, juga merupakan tempat
kembali yang selamat yang seseorang tak akan merasa bingung darinya.
Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menciptakan makhluk dalam rangka untuk
beribadah kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya:
‫ُون‬ َ ‫ت ْال ِجنَّ َواإْل ِ ْن‬
ِ ‫س إِاَّل لِ َيعْ ُبد‬ ُ ‫َو َما َخلَ ْق‬
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.”
(Adz-Dzariyat: 56)
Sesungguhnya peribadahan mereka dengan menaati-Nya dan taat terhadap
Rasul-Nya. Tidak ada ibadah kecuali atas sesuatu yang telah Dia (Allah Subhanahu
wa Ta’ala) wajibkan dan sunnahkan dalam agama Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Selain dari itu, maka yang ada hanyalah kesesatan dari jalan-Nya. Untuk hal ini
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‫ْس َع َل ْي ِه أَ ْمرُنا َ َفه َُو َر ٌّد‬
َ ‫َمنْ َع ِم َل َع َمالً َلي‬
“Barangsiapa melakukan satu amal yang tidak ada dasar perintah kami, maka tertolak.”
(Shahih Al-Bukhari no. 2697 dan Shahih Muslim, 1718)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pula dalam hadits Al-Irbadh bin Sariyah
radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan Ahlu Sunan dan dishahihkan At-Tirmidzi
rahimahullahu:
‫ضـوا َع َلي َهــا‬ َ ‫ِين ْالـ َم ْه ِدي‬
ُّ ‫ِّين مِنْ َبعْ دِي َت َم َّسـ ُكوا ِب َهــا َو َع‬ َ ‫اخ ِتاَل ًفا َكثِيرً ا َف َعلَ ْي ُك ْم ِب ُس َّنتِـي َو ُس َّن ِة ْالـ ُخلَ َفا ِء الرَّ اشِ د‬
ْ ‫إِ َّن ُه َمنْ َيعِشْ ِم ْن ُك ْم َبعْ دِي َف َس َي َرى‬
‫ضاَل لَ ٌة‬ ُ ِ ‫ َوإيَّا ُك ْم َومُحْ َد َثا‬،ِ‫بال َّن َواجذ‬
ِ ‫ت اأْل م‬
َ ‫ُور َفإِنَّ ُك َّل ِب ْد َع ٍة‬ ِ ِ ِ

9
“Sesungguhnya kalian akan hidup setelahku, kalian akan mendapati banyak perselisihan.
Maka, pegang teguh sunnahku dan sunnah khulafa ar-rasyidin yang mendapat petunjuk
setelahku. Pegang teguh sunnah dan gigit dengan gerahammu. Dan hati-hatilah dari
perkara yang diada-adakan, karena setiap bid’ah itu sesat.” (HR. At-Tirmidzi no. 2676) [Lihat
Majmu’ah Al-Fatawa,1/4]
Itulah manhaj (cara pandang) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu
dalam menetapi Islam. Cara pandang inilah yang telah hilang dari sebagian kaum
muslimin sehingga terjatuh pada perkara-perkara yang diada-adakan, yang perkara
tersebut tidak dicontohkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Perkara tersebut
mereka ada-adakan dengan mengatasnamakan Islam. Padahal Islam sendiri tak
mengajarkan semacam itu. Mereka terbelenggu bid’ah nan menyesatkan.
Kekokohan memegang teguh prinsip beragama oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullahu digambarkan oleh Al-Hafizh Al-Mizzi rahimahullahu. Kata Al-
Hafizh Al-Mizzi rahimahullahu, “Aku tak pernah melihat orang yang seperti beliau.
Tidak pula dia melihat orang yang seperti dirinya. Aku melihat, tidak ada seorangpun
yang lebih mengetahui dan sangat kuat mengikuti Al-Kitab dan sunnah Rasul-Nya
dibanding beliau. Pantaslah bila sosok Syaikhul Islam senantiasa membuat susah
para ahlu bid’ah. Disebutkan Al-Hafizh Ibnu Abdilhadi rahimahullahu, bahwa beliau
rahimahullahu adalah pedang terhunus bagi orang-orang yang menyelisihi (Al-Kitab
dan As-Sunnah). Menyusahkan orang-orang yang mengikuti hawa nafsu, yang suka
mengada-adakan ajaran (baru) dalam agama. (Al-Ushul Al-Fikriyah Lil-Manahij As-
Salafiyah ‘inda Syaikhil Islam, Asy-Syaikh Khalid bin Abdirrahman Al-‘Ik)
Kecemburuan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu terhadap harkat
martabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu besar. Itu bisa tergambar
melalui tulisan beliau rahimahullahu yang berjudul Ash-Sharimu Al-Maslul ‘ala
Syatimi Ar-Rasul (Pedang Terhunus terhadap Orang yang Mencaci Rasul Shallallahu
‘alaihi wa sallam). Tulisan ini merupakan sikap ilmiah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullahu dalam menyikapi orang yang mencaci-maki Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Mencaci Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri bukan
perkara ringan. Ini menyangkut nyawa manusia. Sikap tegas, ilmiah, dan selaras
akal sehat ini merupakan bentuk penjagaan beliau rahimahullahu terhadap
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan risalah yang dibawanya.
Bahkan tatkala beliau dipenjara pun, senantiasa menyebarkan kebaikan
kepada sesama penghuni penjara. Beliau rahimahullahu memberi bimbingan,
melakukan amar ma’ruf, dan mencegah kemungkaran. Dikisahkan Al-Hafizh Ibnu
Abdilhadi rahimahullahu, tatkala beliau masuk tahanan, didapati para penghuni
tahanan sibuk dengan beragam permainan yang sia-sia. Di antara mereka sibuk
dengan main catur, dadu, dan lainnya. Mereka sibuk dengan permainan tersebut

10
hingga melalaikan shalat. Lantas Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu
mencegah hal itu secara tegas. Beliau memerintahkan mereka untuk menetapi
shalat. Mengarahkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam setiap amal shalih.
Bertasbih, beristighfar, dan berdoa. Mengajari mereka tentang sunnah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sesuai yang mereka butuhkan. Beliau rahimahullahu
mendorong mereka untuk suka melakukan amal-amal kebaikan. Sehingga jadilah
tempat tahanan tersebut senantiasa dipenuhi kesibukan dengan ilmu dan agama.
Bilamana tiba waktu pembebasan, para narapidana tersebut lebih memilih hidup
bersama beliau. Banyak dari mereka yang lantas kembali ke tahanan. Akibatnya,
ruang tahanan itu pun penuh. (Al-Ushul Al-Fikriyah hal. 51)
Demikianlah kehidupan seorang alim. Keberadaannya senantiasa memberi
manfaat kepada umat. Dia menebar ilmu, menebar cahaya di tengah keterpurukan
manusia. Dia laksana rembulan purnama di tengah bertaburnya bintang gemilang.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi perumpamaan keutamaan antara
seorang alim dengan seorang abid (ahli ibadah). Dari Abud Darda’ radhiyallahu
‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‫ إِ َّن َمـا‬،‫ إِنَّ اأْل َ ْن ِب َيـا َء َلــ ْم ي َُورِّ ُثـوا ِد ْي َنـارً ا َوالَ دِرْ َهمًـا‬،‫ إِنَّ ْال ُع َل َما َء َو َر َث ُة اأْل َ ْن ِب َيا َء‬،ِ‫َو َفضْ ُل ْال َعال ِِم َعلَى ْال َع ِاب ِد َك َفضْ ِل ْال َق َم ِر َعلَى َسائ ِِر ْال َك َوا ِكب‬
‫َورَّ ُثوا ْالع ِْل َم َف َمنْ أَ َخ َذهُ أَ َخ َذ ِب َح ٍّظ َواف ٍِر‬
“Dan keutamaan seorang alim dibanding seorang ahli ibadah, bagai rembulan atas seluruh
bintang. Sesungguhnya ulama itu pewaris para nabi. Sesungguhnya para nabi tidaklah
mewariskan dinar dan dirham, (tetapi) mereka mewariskan ilmu. Barangsiapa mampu
mengambilnya, berarti dia telah mengambil keberuntungan yang banyak.” (Sunan At-
Tirmidzi, no. 2682, Sunan Abi Dawud no. 3641, Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-
Albani rahimahullahu menshahihkan hadits ini).

4. Pengertian Salaf Menurut Al-Hadits

Isilah Salafi atau Salafiyah menurut bahasa adalah telah lalu. Kata Salaf juga
bermakna seseorang yang telah mendahului (terdahulu) dalam ilmu, iman,
keutamaan dan kebaikan. Ibnu Manzhur mengatakan bahwa salaf berarti orang
yang mendahului anda, baik dari bapak maupun orang-orang terdekat (kerabat)
yang lebih tua umurnya dan lebih utama.
Adapun salaf menurut istilah adalah sifat yang khusus dimutlakkan kepada para
sahabat. Ketika disebutkan salaf, maka yang maksud pertama kali adalah para
sahabat. Adapun selain mereka itu ikut serta dalam makna salaf ini, yaitu orang–
orang yang mengikuti mereka. Artinya bila mereka mengikuti para sahabat, maka
disebut Salafiyyun (orang- orang yang mengikuti salafush shalih) (Yazid : 15). Allah
berfirman dalam al-Qur’an surat al-Taubah ayat 100 yang maksudnya bahwa:
"Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan
11
muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah
ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan
bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-
lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.”
Dari segi zaman, kata salaf digunakan untuk menunjukkan kepada sebaik-baik
kurun, dan yang lebih patut dicontoh dan diikuti yaitu tiga kurun yang pertama
(dalam Islam) yang diutamakan, yang disaksikan dan disifati dengan kebaikan
melalui lisan sebaik-baik manusia, yaitu Rasulullah. (Yazid : 18)
Apakah pembatasan dari segi zaman ini cukup untuk membatasi pengertian salaf,
sehingga setiap orang yang hidup pada tiga generasi awal adalah termasuk dalam
kriteria salaf. Tentu saja tidak demikian, sesungguhnya sudah banyak golongan
dan kelompok muncul pada masamasa tersebut. Terdahulu berdasarkan masa,
tidak cukup untuk menentukan itu salaf atau tidak. Harus ditambahkan syarat
dalam hal ini yatiu kesesuaian dengan al-Qur’an dan Sunnah, sehingga siapapun
yang akalnya menyelisihi kedua sumber tersebut bukanlah salafi, meskipun dia
hidup ditengah-tengah para sahabat dan tabi’in. (Abdussalam bin Salim al-Suhaimi
1429 H : 56). Ada beberapa hal di dalam memahami pengertian Salafi yaitu:
Al-salaf yaitu mereka tiga generasi pertama dan paling utama dari umat islam, yaitu
para sahabat (mereka yang hidup sebagai muslim pada masa Nabi, pernah
bertemu dengan beliau, serta wafat sebagai muslim), Tabi’in (mereka yang hidup di
masa sahabat dan wafat sebagai muslim), dan Tabi’ut Tabi’in (mereka yang hidup
di masa tabi’in dan wafat dalam keadaan muslim).

5. ISLAM, AJARAN TENTANG BERBAGI SERTA KEADILAN PENEGAKAN


HUKUM

Konsep keadilan melibatkan apa yang setimpal, setimbang, dan benar-benar


sepadan bagi tiap-tiap individu. Seluruh peristiwa terdapat maksud yang lebis besar
“yang bekerja di balik skenario” yang berkembang atas landasan spiritual untuk
kembali kepada Tuhan. Terdapat keadilan yang menyeluruh bagi semua. Hukum,
konstitusi, mahkamah agung, atau sistem keadilan buatan manusia tidak ada yang
dapat memberi keadilan semacam itu.156 Dalam Islam, keadilan merupakan salah
satu asas yang harus dijunjung. Allah sendiri mempunyai sifat Maha Adil (al-„Adlu)
yang harus dicontoh oleh hamba-Nya. Bagi kebanyakan manusia, keadilan sosial
adalah sebuah cita-cita luhur. Bahkan setiap negara sering mencantumkan secara
tegas tujuan berdirinya negara tersebut di antaranya untuk menegakkan keadilan.
Banyak ditemukan perintah untuk menegakkan keadilan157 karena Islam

12
menghendaki agar setiap orang menikmati hak-haknya sebagai manusia dengan
memperoleh pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasarnya yakni terjaminnya
keselamatan agamanya, keselamatan dirinya (jiwa, raga, dan kehormatannya),
keselamatan akalnya, keselamatan harta bendanya, dan keselamatan nasab
keturunannya. Sarana pokok yang menjamin terlaksananya hal-hal tersebut adalah
tegaknya keadilan (al-„adl) di dalam tatanan kehidupan masyarakat.
Keadilan memiliki makna umum dan mempunyai makna khusus, meliputi keadilan
dalam bermuamalah, keadilan dalam hukum, keadilan dalam keuangan, dan
keadilan dalam hak-hak manusia. Terdapat beberapa istilah untuk mengindikasikan
kata,beberapa sinonimnya adalah qisth, istiqamah.

DAFTAR PUSTAKA
https://currikicdn.s3-us-west-2.amazonaws.com/resourcedocs/54d3775e84d96.pdf
Muhammadin. 2013. “Manhaj Salafiyah” dalam JIA/Desember 2013/Th. XIV/Nomor
20/147-161
Almubarok, Fauzi. 2018. “Keadilan dalam Perspektif Islam” dalam Jurnal
ISTIGNHA, Vol 1,No.2 Juli 2018 P-ISSN 1979-2824
https://religidanbudaya.filsafat.ugm.ac.id/2017/10/23/pandangan-al-ghazali-tentang-
konsep-ketuhanan-dan-relevansinya-bagi-perwujudan-karakter-insan-kamil/
http://e-journal.metrouniv.ac.id/index.php/riayah/article/download/966/807
https://www.uin-malang.ac.id/r/131101/al-qu-an-dan-sains-modern.html
https://media.neliti.com/media/publications/167158-ID-sumber-sumber-ilmu-
pengetahuan-dalam-al.pdf
https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/islamfutura/article/view/3048
https://republika.co.id/berita/q955i1458/siapa-saja-manusia-terbaik-menurut-
rasulullah-saw
https://muslim.or.id/430-mari-mengenal-manhaj-salaf.html
https://almanhaj.or.id/3428-definisi-salaf-definisi-ahlus-sunnah-wal-jamaah.html

13
14

Anda mungkin juga menyukai