Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH TAUHID DALAM SAINTEK

Diajukan unuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Tauhid

Dosen Pengampu :
Haris Subhan S.Hi.,M.Si

DISUSUN OLEH :
MUHAMMAD ARYA WIRA PUTRA DARMAWAN

1208010124

ADMINISTRASI PUBLIK C 2020

JURUSAN ADMINISTRASI PUBLIK


UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
TAHUN 2020

i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT dengan berkat, rahmat
dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyusun makalah ini. Sholawat serta
salam semoga senantiasa dihaturkan kepada junjungan kita Nabi Besar
Muhammad SAW, para sahabat dan para pengikutnya sampai di hari kiamat.
Tentunya dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh
karena itu sangat diharapkan kritik dan saran dari pembaca yang bersifat
membangun.
Semoga dengan adanya kritik dan saran tersebut dapat bermanfaat dan
menjadi pedoman bagi penulis dalam penyusunan makalah ini pada khususnya dan
para pembaca pada umumnya, segala kelebihan hanya milik Allah dan segala
kekurangan milik hambanya.

Bogor, 12 Desember 2020

Muhammad Arya

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .................................................................................................... i


Daftar Isi .............................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................


A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................1
C. Tujuan...........................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN .........................................................................................
A. Definisi Tauhid dan Ilmu Sains....................................................................2
B. Konsep Tauhid dalam membangun Ilmu Sains............................................3
C. Klasifikasi dan Hierarki Ilmu Sains..............................................................4
D. Internalisasi Nilai Tauhid dalam Pembelajaran Sains..................................5
BAB III PENUTUP .................................................................................................
A. Kesimpulan...................................................................................................8
B. Saran..............................................................................................................8
Daftar Pustaka.......................................................................................................9
ii
BAB I PENDAHULAN

A. Latar Belakang
Pemikiran bahwa Tauhîd sebagai konsep yang berisikan nilai-nilai
fundamental yang harus dijadikan paradigma sains Islam merupakan
kebutuhan teologis filosofis. Sebab tauhid sebagai pandangan dunia Islam
menjadi dasar atau fundamen bangunan Islam.Oleh karena itu, sains dan
teknologi harus dibangun di atas landasan yang benar dari pandangan dunia
tauhid. Sains dan teknologi dalam pandangan tauhid adalah yang
berlandaskan nilai-nilai ilahiah (teologis) sebagai landasan etis normative dan
nilai-nilai insaniyah [antropo-sosiologis] dan alamiah [kosmologis] sebagai
basis praksisoperasional. Hubungan tauhid dengan sains dan teknologi secara
garis besar dapat dilihat berdasarkan tinjauan ideology [tauhid] yang
mendasari hubungan keduanya, ada tiga paradigma. Paradigma sekuler.
paradigma sosialis, Paradigma Islam, yaitu paradigma yang memandang
bahwa agama adalah dasar dan pengatur kehidupan. Paradigma yang dibawa
Rasulullah Saw yang meletakkan Tauhid Islam yang berasas Lậilậ illa Allậh
Muhammad Rasulullah sebagai asas ilmu pengetahuan. Tauhîd sebagai
landasan pijak pengembangan sains dapat dilacak pada terbentuknya
geneologinya konsepsi tentang Tuhan dalam pengertian yang spesifik. Bahwa
Tuhan adalah pengetahuan tentang alam semesta sebagai salah satu efek
tindak kreatif ilậhi. Pengetahuan tentang hubungan antara Tuhan dan dunia,
antara pencipta dan ciptaan, atau antara prinsip Ilahi dengan manifestasi
kosmik, merupakan basis paling fundamental darikesatuan antara sains dan
pengetahuan spiritual.

B. Rumusan Masalah
I. Peran ilmu tauhid terhadap ilmu sains
II. Realisasi ilmu tauhid di era modern
III. Penerapan ilmu tauhid dalam kehidupan manusia

C. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini untuk memperdalam ilmu tauhid di bidang
pengetahuan dan pembaca mampu memahami dan menerapkannya dalam
kehidupan sehari-hari.

1
BAB II PEMBAHASAN

A. Hubungan Islam dengan Sains dan Teknologi


Dalam dunia modern sekarang ini sains merupakan karunia tak
tertandingi sepanjang zaman bagi kehidupan manusia dalam menghadapi
segala tuntutan dan perkembangannya. Dan sudah menjadi kebutuhan
manusia yang ingin mencapai kemajuan dan kesejahteraan hidup, untuk
menguasai dan memanfaatkan sains sebagai prasyarat bagi kelangsungan
hidupnya. Namun, apakah kemajuan dan kesejahteraan hidup ini menjadi
tujuan tunggal atas penguasaan dan pemanfaatan sains. Pesatnya kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai hasil aplikasi sains tampak jelas
memberikan kesenangan bagi kehidupan lahiriah manusia secara luas. Dan
manusia telah mampu mengeksploitasi kekayaan-kekayaan dunia secara
besar-besaran. Yang menjadi permasalahan adalah pesatnya kemajuan itu
sering diikuti dengan merosotnya kehidupan beragama. Menurut Achmad
Baiquni mendefinisikan sains sebagai himpunan pengetahuan manusia
tentang alam yang diperoleh sebagai konsensus para pakar pada penyimpulan
secara rasional mengenai hasil-hasil analisis yang kritis terhadap data-data
pengukuran yang diperoleh dari observasi pada gejala-gejala alam. Melalui
proses pengkajian yang dapat diterima oleh akal, sains disusun atas dasar
intizhar pada gejala-gejala alamiah yang dapat diperiksa berulang-ulang atau
dapat diteliti ulang oleh orang lain dalam eksperimen laboratorium. Kata
intizhar (nazhara) dapat berarti mengumpulkan pengetahuan melalui
pengamatan atau observasi dan pengukuran atau pengumpulan data pada alam
sekitar kita, baik yang hidup maupun yang tak bernyawa.

B. Konsep Tauhid dalam membangun Ilmu Sains

Konsep integrasi keilmuan juga berangkat dari doktrin keesaan Allah


(tauhîd), sebagaimana dikemukakan oleh Seyyed Hossein Nasr, the arts and
sciences in Islam are based on the idea of unity, whichh is the heart of the Muslim
revelation. Doktrin keesaan Tuhan, atau iman dalam pandangan Isma'il Razi al
Faruqi, bukanlah semata-mata suatu kategori etika. Ia adalah suatu kategori
kognitif yang berhubungan dengan pengetahuan, dengan kebenaran proposisi-
proposisinya. Dan karena sifat dari kandungan proposisinya sama dengan sifat
dari prinsip pertama logika dan pengetahuan, metafisika, etika, dan estetika, maka
dengan sendirinya dalam diri subjek ia bertindak sebagai cahaya yang menyinari
segala sesuatu. Menurut al-Faruqi, mengakui Ketuhanan Tuhan dan keesaan

2
berarti mengakui kebenaran dan kesatupaduan. Pandangan al-Faruqi ini
memperkuat asumsi bahwa sumber kebenaran yang satu berarti tidak mungkin
terjadi adanya dua atau lebih sumber. kebenaran. Ini sekaligus menjadi bukti
bahwa integrasi keilmuan memiliki kesesuaian dengan prinsip al tauhîd.
Mengatakan bahwa kebenaran itu satu, karenanya tidak hanya sama dengan
menegaskan bahwa Tuhan itu satu, melainkan juga sama dengan menegaskan
bahwa tidak ada Tuhan lain kecuali Tuhan, yang merupakan gabungan dari
penafian dan penegasan yang dinyatakan oleh syahadat.

1. Iman Sebagai Landasan Ilmu Pengetahuan


Ilmu pengetahuan dalam Islam merupakan sesuatu yang sangat mendasar
dalam kehidupan Muslim, khusunya agama yang sangat menghargai Ilmu
pengetahuan. Dalam konsep Ilmu Pengetahuan, Islam menjadikan Iman
sebagai dasar utama yang melandasai ilmu, karenanya kaum Muslim
diwajikan beriman dan beramal dengan ilmu. Jika ilmunya salah maka iman
dan amalnya juga akan salah. Al-Faruqi menjelaskan bahwa iman dalam Islam
tidaklah sama dengan iman yang terdapat pada agama-agama selainnya,
karena iman Islam adalah kebenaran yang diberikan kepada pikiran, bukan
kepada perasaan manusia yang mudah mempercayai apa saja.
Kebenarankebenaran atau proposisi-proposisi dari iman bukanlah misteri-
misteri, hal-hal yang sulit dipahami, tidak dapat diketahui dan tidak masuk
akal, melainkan bersifat kritis dan rasional. Mengapa iman dijadikan landasan
ilmu pengetahuan? karena iman mengandung pernyataan syahadah yang
mencakup kebenaran tauhid, dan adapun kaitannya dengan ilmu sebagaimana
dijelaskan dalam al-Qur’an bagaimana tingginya derajat orang-orang berilmu
sehingga disejajarkan kedudukan mereka dengan malaikat, karena dengan
ilmunya, mereka mampu memahami “tidak ada Tuhan selain Allah”. Al-
Faruqi menyimpulkan bahwa iman bukanlah semata-mata suatu kategori etika,
karena sesungguhnya iman merupakan kategori kognitif yang memiliki
hubungan dengan pengetahuan dengan kebenaran dan prosisi-prosisinya. Dan
karena sifat dari kandungan proposisionalnya sama dengan sifat dari prinsip
pertama logika dan pengetahuan, metafisika, etika dan estetika, maka dengan
sendirinya dalam diri subyek ia bertindak sebagai cahaya yang menyinari
sesuatu. Seperti yang dipaparkan oleh al-Ghazali, iman adalah suatu visi yang
menempatkan semua data dan fakta dalam perspektif yang sesuai dan perlu
bagi pemahaman yang benar atas mereka. Maka tauhid dalam perspektif
epistemologi al-Faruqi memiliki kelebihan bahwa konsep tersebut menolak
sikap skeptisisme yang telah menjadi prinsip dominan dikalangan terpelajar
dan menjalar dikalangan orang awam. Bahkan melahirkan emperisme yang
memunculkan magisterium dalam kewenangan mengajarkan kebenaran.
Dalam hal mana kebenaran yang dicari melalui jalan empiris dengan
konfirmasi ultimatenya lewat pengamatan inderawi dapat dipatahkan oleh
sebuah keyakinan. Tauhid harus dijadikan dalam bentuk keyakinan (faith)

3
yang dapat menepis semua keraguan dalam kehidupan ini. Hal yang lebih
urgen dari pemikiran itu bahwa al-Faruqi menempatkan konsep dasar tauhid
sebagai dasar bagi penafsiran rasional atas semua fenomena alam semesta
sebagai prinsip utama dari akal yang tidak berada pada tataran non-rasional.
Karena prinsip ini bahwa pengakuan Allah sebagai kebenaran (alHaq) itu ada
dan bahwa Dia itu Esa merupakan kebenaran yang dapat diketahui sebagai
pernyataan yang dapat diuji kebenaran serta dapat diketahui oleh manusia. Hal
terpenting lainnya bahwa prinsip epistemologi tauhid dijadikan sebagai
kesatupaduan kebenaran dalam menempatkan tesis yang berseberangan
dengan pemahaman yang membutuhkan pengkajian ulang. Karenanya tauhid
menuntut kita untuk mengelaboras pemahan terhadap wahyu sesuai dengan
bukti akumulatif yang diketahui oleh akal pikiran.

2. Sumber Ilmu Pengetahuan


Disamping iman yang dijadikan sebagai dasar keilmuan, Islam menjadikan
Wahyu sebagai sumber utama ilmu. Sebagaimana wahyu pertama (Qs. Al-
‘Alaq: 1-5),“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan.
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan
Tuhanmulah yang Maha pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan
perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya.” Dalam menafsirkan kelima ayat di atas, Ibn Katsir menyoroti
pentingnya ilmu bagi manusia. Serta memberikan tekanan pada pembacaan
sebagai wahana penting dalam usaha keilmuan, dan pengukuhan kedudukan
Allah ‘azza wajalla sebagai sumber tertinggi ilmu pengetahuan manusia.
Selain itu ayat tersebut memilki arti khusus sebagai epistemologi yang secara
mendalam membahas proses yang terlihat dalam usaha manusia untuk
memperoleh ilmu. Oleh karena itu, penjelasan mengenai sumber-sumber ilmu
dalam Islam ditekankan kepada kalam Allah yang berupa Kitab Suci alQur’an.
Kedua, Nabi atau Rasulullah Sallallahu ‘Alaihiwasallam sebagai penerima
wahyu, dan merujuk pada Hadits

C. Klasifikasi dan Hierarki Ilmu Sains


Konsekuensinya, Islam tidak mengenal dikotomi ilmu, yang satu diakui
dan yang lainnya tidak. Yang logis-empiris dikategorikan ilmiah, sedangkan
yang berdasarkan pada wahyu tidak dikategorikan ilmiah. Semua jenis
pengetahuan, apakah itu yang logis-empiris, apalagi yang sifatnya wahyu
(revelational), diakui sebagai sesuatu yang ilmiah. Dalam khazanah pemikiran
Islam yang dikenal hanya klasifikasi (pembedaan) atau diferensasi
(perbedaan), bukan dikotomi seperti yang berlaku di Barat. Dalam pemikiran
al-Faruqi eksistensi sains tidak bisa dipisahkan dari identitas ajaran Islam itu
sendiri, atau katakanlah Islam telah mengidentifikasi diri dengan pengetahuan.
Karena Islam menganggap proses pencarian ilmu pengetahuan merupakan

4
bagian dari ibadah. Bagi al-Faruqi, perintah al-Qur’an maupun Hadits jelas
bahwa Muslim diwajibkan mencari ilmu pengetahuan dan
mengembangkannya baik secara metodelogis maupun praksis. Selanjutnya
alFaruqi menambahkan bahwa di kalangan Muslim terdapat beberapa ilmu
yang disebut dengan al-‘ulum as-syar’iyyah. Al-Faruqi menjelaskan bahwa
al‘ulum al-syar’iyyah adalah ilmu-ilmu yang berkaitan dengan aspek
keagamaan yang menjadi dasar dalam rangka memahami wahyu. Yang
termasuk dalam kategori ilmu ini adalah ilmu bahasa, ilmu al-Qur’an, ilmu
Hadits dan ilmu Syari’at. Ilmu bahasa merupakan kunci menuju data wahyu,
teks maupun makna. Ilmu al-Qur’an berkisar pada teks firman Allah yang
verba, tata bahasa, sintaks, dan leksikologinya. Ilmu ini juga berkisar pada
teks sejarah kontemporer sebagai konteks situasional wahyu, dan makna
tersurat atau tersirat teks. Sementara ilmu hadits berkenaan dengan sunnah
Nabi Muhammad Sallallahu’alaihi wasallam sebagai penjelas, teladan, dan
perwujudan makna al-Qur’an. Ilmu hadits juga membahas persoalan
menentukan keakuratan hadits dan teksnya. Dan ilmu syari’at berupaya
menentukan perintah-perintah Islam dan menerjemahkannya ke dalam
perundang-undangan. Ilmu syari’at menentukan institusi maupun metodologi
untuk pelaksanaan syari’at. Pemikiran mengenai pembagian ilmu sebagaimana
yang dikemukakan al-Faruqi, sesungguhnya merupakan fenomena intelektual
yang telah lama muncul dan berkembang dikalangan para ulama filosof
Muslim selama berabad-abad. Dalam berbagai ilmu dan perspektif intelektual
yang dikembangkan dalam Islam memang mempunyai suatu hierarki, artinya
pemilahan yang pokok dan utama, dan mana yang tidak pokok. Tetapi hierarki
tersebut akhirnya bermuara pada pengetahuan “yang maha Tunggal” sebagai
subtansi

D. Internalisasi Nilai Tauhid dalam Pembelajaran Sains


Dasar pemikiran adanya integrasi agama dan sains, hakikat tauhid, tauhid
dan sains. Secara etimologis, internalisasi menunjukkan suatu proses. Dalam
kaidah Bahasa Indonesia akhiran “isasi” mempunyai arti proses, sehingga
internalisasi dapat didefinisikan sebagai suatu proses (Ardiansyah, 2011: 40).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, internalisasi diartikan sebagai
penghayatan, pendalaman, penguasaan secara mendalam yang berlangsung
melalui binaan, bimbingan dan sebagainya (Kamus Besar Bahasa Indonesia,
1989). Sedangkan dalam kamus Oxford. “internal” berarti “of or in the inside”
( Hornby et all, 1986) yang berarti bagian dalam. Menurut Departemen P & K
(2004) internalisasi merupakan suatu proses yang dialami seseorang sepanjang
hidupnya, dalam hal menerima dan menjadikan bagian milik dirinya, berbagai
sikap, cara mengungkapkan perasaan atau emosi, pemenuhan hasrat,
keinginan, nafsu atau keyakinan, norma-norma an nilai-nilai sebagaimana
yang dimiliki oleh individu-individu lain dalam kelompoknya. Proses

5
terjadinya internalisasi dapat melalui berbagai tahap atau metode. Beberapa
pakar menyebutkan bahwa internalisasi merupakan potensi dunia afektif yang
terjadi setelah melalui tahap penerimaan, pemahaman, merespon, dan menilai.
Internalisasi nilai, sebagaimana mengajarkan nilai dapat dilakukan dengan
mengikuti tahap-tahap: orientasi/informasi, pemberian contoh dan non contoh,
latihan/pembiasaan atau drill, refleksi atau umpan balik dan tindak lanjut serta
penguatan. Menurut Muhaimin (Ardiansyah, 2011: 57), ada tiga tahap
terjadinya internalisasi yaitu: (1) tahap transformasi nilai, tahap ini merupakan
suatu proses yang dilakukan oleh pendidik dalam menginformasikan nilainilai
yang baik dan kurang baik. Pada tahap ini hanya terjadi komunikasi verbal
antara pendidik dan peserta didik atau anak asuh; (2) tahap transaksi nilai,
suatu tahap pendidikan nilai dengan jalan melakukan komunikasi dua arah,
atau interaksi antara peserta didik dengan pendidik yang bersifat interaksi
timbal-balik; (3) tahap transinternalisasi, tahap ini jauh lebih mendalam dari
tahap transaksi. Pada tahap ini bukan hanya dilakukan dengan komunikasi
verbal tapi juga sikap mental dan kepribadian. Jadi, pada tahap ini komunikasi
kepribadian yang berperan secara aktif. Ada beberapa metode atau strategi
internalisasi cara yang dapat dilakukan. Murdiono (2010) mengungkapkan,
bahwa strategi internalisasi nilai-nilai religius dalam pembelajaran meliputi
keteladanan, masalah aktual di masyarakat, penanaman nilai-nilai edukatif
secara kontekstual, dan penguatan nilai moral. Hal senada diungkapkan oleh
Simon, Howe, dan Kirschenbaum (Wahab, 2007), bahwa dalam internalisasi
nilai-nilai moral dapat dilakukan dengan empat pendekatan, yaitu pendekatan
penanaman moral, pendekatan transmisi nilai bebas, pendekatan teladan, dan
pendekatan klarifikasi nilai. Sedangkan menurut Fu’ad (dalam Jamaluddin,
2010) penanaman nilai tauhid/akidah dapat dilakukan dengan berbagai cara,
diantaranya: analogi, hikmah, melalui kisah, dan dialog melalui pendekatan
logika. Berdasarkan beberapa rujukan di atas maka dapat disimpulkan bahwa
internalisasi adalah suatu proses penanaman nilai-nilai secara mendalam
sehingga membentuk kepribadian, menjadi falsafah, keyakinan yang kuat dan
menjadi landasan untuk cara pandang, berfikir, bersikap dan bertindak.
Internalisasi terjadi melalui berbagai tahap dan dapat dilakukan dengan
berbagai pendekatan atau cara. Internalisasi nilai tauhid dalam materi sains,
diharapkan akan timbul keyakinan tentang segala sesuatu diciptakan Allah dan
tidak sia-sia, adanya keyakinan tentang ketundukkan, karakteristik dan
keteraturan dari bendabenda yang Allah ciptakan (sunatullah), sehingga
manusia dapat mempelajarinya. Semua ini akan memungkinkan tumbuhnya
sikap positif, takjub/kagum akan kebesaran, kekuasaan dan kasih sayang
Allah, menjadi motivasi untuk bersyukur, meningkatkan keimanan dan
ketaqwaan kepada Tuhan yang Maha Esa sebagaimana yang ditetapkan dalam
tujuan pendidikan nasional. Internalisasi nilai tauhid dalam materi sains berarti
menanamkan/ memasukkan nilai tauhid dalam materi sains, sehingga sains

6
yang tadinya hanya bersifat ilmiah yang hanya dapat mengembangkan potensi
kognitif menjadi sains yang dapat juga mengembangkan potensi afektif (hati
nurani). Hal ini dapat dilakukan dengan mengungkapkan nilai/hikmah/makna
atau pesan moral dari materi sain tersebut berdasarkan sudut pandang agama.
Sebagai contoh, ketika menjelaskan topik air, tidak cukup menjelaskan bahwa
air merupakan senyawa kimia dengan rumus molekul H2O, melainkan
dijelaskan pula bahwa air adalah anugerah yang diberikan oleh Allah kepada
manusia untuk dimanfaatkan sebagai sumber kehidupan bagi sekalian
makhluk-Nya baik manusia, tumbuhan dan hewan serta dijelaskan pula
tentang proses pengelolaan dan pengolahannya. Penyajian semacam ini akan
berdampak sangat positif pada hasil belajar siswa sehingga siswa memiliki
keinginan untuk melihat air sebagai sumber ekonomi (usaha) bahkan
memungkinkan siswa akan menghargai air dalam arti memelihara dan
menjaga kelestariannya. Sikap ini cukup bagus untuk mengingatkan peserta
didik tentang siapa yang menganugerahkan air tersebut. Dengan demikian
diharapkan bahwa manusia melalui pendidikan yang terpadu ini mendapatkan
kebaikan di dunia dan akhirat sesuai dengan tujuan luhur pendidikan nasional.
Kuncinya adalah materi sains tidak boleh dilepaskan dari agama.
Menghadirkan sudut pandang agama terhadap topik air melalui internalisasi
nilai tauhid, akan menghasilkan siswa yang memiliki sikap-sikap positif di
antaranya tidak sombong karena semua sama diciptakan dari air, takjub akan
kebesaran Allah, merasa diberi nikmat yang banyak, yang akhirnya malu
untuk mendurhakai Allah. Dari sikap ini akan tumbuh sikap bersyukur dan
hasrat untuk menggunakan pengetahuannya dengan pertimbangan mencari
ridlo Allah, berhasrat untuk melakukan perintah yang lainnya, bahkan
selanjutnya diharapkan akan meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada
Allah sebagai pencipta, pemelihara, pengasih dan penyayang. Dalam bagian
ini akan disajikan model internalisasi nilai tauhid dalam materi sains berupa
fakta, konsep atau hukum-hukum. Selanjutnya, akan dibahas pula contoh
dalam menerapkannya dengan memilih topik siklus air dan anomali air.
Sebelumnya akan disajikan beberapa kaidah, batasan yang melandasi
kerangka fikir penulis dalam menyajikan model internalisasi nilai tauhid
tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kesan memberikan
interpretasi yang sembarangan atau berlebih, sehingga jatuh kepada
kemadaratan yang lebih besar..

7
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan
Usaha al-Faruqi dalam mengintegrasikan tauhid dalam ilmu pengetahuan
sangatlah penting dalam menanamkan nilai-nilai kebenaran serta menjadi
sebuah kepastian untuk diketahui, bahkan kemungkinan untuk mencapainya
harus sudah ditanamkan sejak dini. Dalam menuntut ilmu Kaum Muslimin
harus terbebas dari virus skeptisme, sekularisme, relativisme dan positivisme
yang merupakan ancaman paling berbahaya bagi ilmu pengetahuan. Selain itu
kaum Muslimin untuk memperhatikan wahyu sebagai sumber utama ilmu.
Dalam bidang keilmuan, tauhid menurut al-Faruqi dapat dikatakan sebagai
penegasan terhadap Tuhan yang satu, kesatuan Tuhan yang bersifat mutlak
dan tidak ada lagi keraguan di dalamnya. Dan dengan itu, segala dimensi sudut
pandang manusia mengenai realitas dan alam semesta akan selalu kembali
kepada wacana Ketuhanan, karena disinilah letak orisinalitas dan urgensi
kebenarannya. Al- Faruqi ingin pemahaman umat Islam terhadap dasar
ideologisnya (tauhid) tidak sekedar mempunyai nilai ideal, tetapi lebih bersifat
fungsional dan mempunyai pengaruh riil dalam kehidupan. Pemahaman tauhid
bukan sekedar konsepsi ideal tentang Tuhan, tetapi lebih jauh dari itu adalah
terwujudnya kehidupan yang ideal bagi manusia. Dan lebih lanjut alFaruqi
berpendapat dalam ungkapan yang sederhana, bahwa tauhid adalah keyakinan
dan kesaksian “tiada Tuhan selain Allah” mengandung makna yang paling
agung dan kaya akan khazanah Islam. Maka secara tidak langsung rumusan-
rumusan al-Faruqi secara kongkrit telah menunjukkan sistematika bangunan
islamisasi ilmu pengetahuan yang bertumpu pada tauhid atau dimensi
ketuhanan yang transendental, semua basis keilmuan dan keilmiahan harus
dilihat dan diukur dari sudut pandang itu, sehingga keseluruhan menjadi islami
dan tidak bertentangan dengan kehendak Tuhan..

B. Saran
Melalui makalah ini saya berharap semoga pembahasan mengenai
penerapan ilmu tauhid dalam bidang sains, sedikit banyaknya dapat dipahami
oleh pembaca, selain itu Saya sebagai penulis mohon ma’af apabila masih
terdapat kesalahan-kesalahan dalam penyusunan makalah ini, untuk itu saya
mengharapkan kritikan dan saran dari pembaca, untuk kesempurnaan dari
makalah saya ini.

8
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik. 1995. Ensiklopedi Islam, Jilid I. Jakarta: Ikhtiar Baru Van
Hoeve.
Al Utsaimin, Muhammad bin Shalih. 2004. Syarh Tsalatsatil Ushul.
Al-Abhari, Athir al-Din. Tanzil al-Afkar fi Ta’dil al-Asrar. Ms. Laleli
2562 (tertanggal 686/1287), beg; Ms. Aya Sofya 2526, fol. 13 a.
Amir, Dja’far. 1986. Ilmu Tauhid. Cetakan ketiga. Jakarta : Ramadhani
Ardiansyah, M.A 2011. Proses Internalisasi Nilai. [on line]. Tersedia :
www.kabar-pendidikan.blogspot.com, www. kmp- malang.com
www.arminaperdana.blogspot.com [ 20 januari 2012]
Bagir, Z.A., Wahyudi, J., Anshori, A.(2005). Integrasi Ilmu dan Agama :
Interpretasi dan Aksi.
Bandung : Mizan
Departemen Agama. 1989. Al-Qur’an dan terjemahannya. Jakarta : Departemen
Agama RI

Anda mungkin juga menyukai