Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH ETIKA PENERAPAN DAN PENGEMBANGAN IPTEKS

DALAM PANDANGAN ISLAM

Disusun Oleh :
Aurora Sinta Sabila 122020030154
Dinda Aprilia Sukma N 122020030156
Dyah Ayu Kumala Sari 122020030155
Nurul Izzah Latifah 122020030152
Yesi Nur Faiqotun N 122020030153

PROGAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KUDUS
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang mana telah memberikan kami
semua kekuatan serta kelancaran dalam menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.

Salam dan Shalawat tak lupa kita haturkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad
SWA, seorang Nabi yang telah membawa kita dari jaman kegelapan menuju jaman yang terang
benderang seperti yang kita rasakan seperti saat – saat sekarang ini.

Ucapan terimakasih kami haturkan kepada Bapak/Ibu Dosen dan teman-teman yang
telah ikut serta dalam pembuatan makalah yang kami buat untuk memperdalam ilmu kita Etika
Penerapan dan Pengembangan IPTEKS dalam pandangan Islam.

Kami menyadari bahwa makalah yang telah kami susun dan kami kemas masih
memiliki banyak kelemahan serta kekurangan-kekurangan baik dari segi teknis maupun non-
teknis. Untuk itu penulis membuka pintu yang selebar-lebarnya kepada semua pihak agar dapat
memberikan saran dan kritik yang membangun demi penyempurnaan penulisan-penulisan
mendatang. Dan apabila di dalam makalah ini terdapat hal-hal yang dianggap tidak berkenan
di hati pembaca mohon dimaafkan.

Kudus, 27 September 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................................ i


DAFTAR ISI.......................................................................................................................................... ii
BAB I ...................................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ................................................................................................................................. 1
A. Latar Belakang .......................................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................................................... 1
D. Manfaat ...................................................................................................................................... 2
BAB II .................................................................................................................................................... 3
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................................................ 3
A. IPTEKS dan Pengintegrasiannya dengan Nilai dan Ajaran Islam ...................................... 3
B. Paradigma Ilmu Tidak Bebas Nilai ......................................................................................... 6
C. Paradigma Ilmu Bebas Nilai .................................................................................................... 7
D. Akhlaq Islam dalam Penerapan .............................................................................................. 9
BAB III................................................................................................................................................. 12
PENUTUP............................................................................................................................................ 12
A. Kesimpulan .............................................................................................................................. 12
B. Saran ........................................................................................................................................ 12
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................................... 13

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ilmu dalam prosesnya telah menciptakan peradaban bagi manusia, mengubah
wajah dunia, dan masuk ke setiap lini kehidupan sebagai sarana yang membantu
manusia dalam mencapai tujuan hidupnya. Sehingga manusia berhutang banyak
terhadap ilmu. Namun, ketika ilmu berbalik menjadi musibah bagi manusia, di saat
itulah dipertanyakan kembali untuk apa seharusnya ilmu itu digunakan. Dalam persoalan
ini, maka ilmuwan harus kembali pada persoalan nilai dan etika dalam bingkai ilmu agar
ilmu tidak bergerak ke arah yang membahayakan. Mengadapi kenyataan seperti ini, ilmu
yang pada hakikatnya mempelajari alam sebagaimana adanya, mulai mempertanyakan
untuk apa sebenarnya ilmu itu dipergunakan? Dimana batas wewenang penjelajahan
keilmuan dan ke arah mana perkembangan ilmu yang seharusnya. Pertanyaan yang
semacam ini jelas tidak merupakan urgensi bagi keilmuan. Namun pada abad ke-20 para
ilmuwan mencoba menjawab pertanyaan ini dengan berpaling pada hakikat moral.

Ilmu pengetahuan terdiri dari ontology, epistemology, dan aksiologi. Ontology


adalah asas dari ilmu pegetahuan yang terdiri dari ilmu kauniyah dan qauliyah. Ilmu
kauniyah, kajian pokoknya adalah alam semesta dan manusia dengan menghasilkan
ilmu-ilmu dasar matematika, fisika, kimia dan biologi. Yang berkembang menjadi
zoology, botani, farmasi, astronomi, dan sebagainya. Ilmu qauliyah memiliki objek
formal kajian Al-Quran dan Hadist dan menghasilkan disiplin ilmu Uhmul Qur’an,
Ummul Hadist yang berkembang menghasilkan produk ilmu fiqih, teologi, akidah dan
sebagainya. Sementara epistemology merupakan asas mengenai cara bagaimana materi
pengetahuan diperoleh baik secara empiric, bermenutik.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengembangan dan penerapan IPTEKS
2. Bagaimana arti dari paradigma ilmu bebas dan ilmu tidak bebas?
3. Apakah kita perlu akhlaq islami dalam penerapan IPTEKS?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengembangan dan penerapan IPTEKS

1
2. Mengetahui perbedaan dari paradigm bebas ilmu dan tidak bebas ilmu.
3. Mengetahui akhlaq islami dalam penerapan IPTEKS

D. Manfaat
1. Sebagai sarana pengetahuan yang luas tentang pengembangan dan penerapan
IPTEKS
2. Dapat mengaplikasikan akhlaq islami dalam penerapan IPTEKS.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. IPTEKS dan Pengintegrasiannya dengan Nilai dan Ajaran Islam


Untuk memahami ajaran islam secara komprehensif, maka harus mempelajari sumber
ajarannya yang teah ditetapkan oleh sang pencipta, yaitu ayat-ayat qouliyah dan ayat-ayat
kauliyah, yang merupakan satu kesatuan yang bersifat koheren dan tidak dapat dipisahkan.
Menurut Mehdi Golshani, dalam pandangan Islam, sains dan agam memiliki dasar
metafisika yang sama, dan tujuan pengetahuan yang diwahyukan maupun pengetahuan
yang diupayakan adalah mengungkapkan ayat-ayat Tuhan dan sifat-sifat-Nya kepada umat
manusia, sehingga bagi orang muslim kegiatan ilmiah adalah bagian dari perintah agama,
yang akan menyempurnakan pengetahuan akan sang Pencipta.
Sains dan agama apabila dipelajari, dikaji, difahami secara benar dan komprehensif,
maka manusia akan menemukan sebuah kebenaran hakiki dari ilahi. Apabila memahami
agama tanpa memahami sains, akan mendorong manusia kejumudan, statis dan fatalisme
dan sebaliknya apabila mempelajari sains tanpa dibentengi dengan agama, maka manusia
akan progresif, dinamis yang menjurus pada kapitalisme, matrealisme, dan menghalalkan
segala cara yang berujung pada kehancuran.
Albert Enstain, seorang ilmuan fenomenal beragama yahudi menyatakan “ilmu tanpa
agama seperti orang buta yang tidak tahu arah dan tujuan, sedangkan agama tanpa ilmu
seperti orang lumpuh yang tidak dapat berbuat apa-apa”. Begitu pula seorang peraih nobel
dalam bidang fisika yaitu Charles Townes menyatakan “Saya sendiri tidak membedakan
sains dan agama, tetapi memandang penjelajahan alam semesta sebagai bagian dari
pengalaman religious”.
Hakikat mempelajari sains dari hasil penciptaan Tuhan bagi seorang muslim adalah
upaya untuk mengenal sang pencipta, makin dalam dan luas pengetahuan seorang muslin
akan sains, maka akan makin yakin dan dekat dengan sang pencipta dengan syarat
mempelajari sains didasari dengan keimanan, karena tanpa keimanan hal tersebut tidak
akan terjadi, sebagaimana firmanNya :

3
Artinya : "Katakanlah, Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di Bumi! Tidaklah
bermanfaat tanda-tanda (kebesaran Allah) dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi
orang yang tidak beriman." (QS. Yunus 10: Ayat 101)

Pengintegrasian nilai dan ajaran islam dengan sains mencapai puncak keemasan pada
masa kekhalifahan dinasti Abbasiyah. Sehingga pada masa itu lahir dan bermunculan
ilmuwan-ilmuwan muslim yang hebat, yang menjadi inspirasi peradaban dunia , hal ini
dapat dibuktikan dengan melihat karya-karya yang dihasilkan seorang ilmuwan muslim,
seperti Ibnu Rusyd yang berhasil menghasilkan karya dibidamg fiqh , ushul fiqh, kalam,
astronomi , dan kedokteran . Begitupula ilmuwan lainnya seperti ibnu Sina, al-Farabi,
albiruni dan lainnya. Ada 3 saluran untuk memahami ilmu Allah yaitu : 1). Indra-indra
lahiriah, 2). Akal yang tidak dikotori kejahatan, dan 3). Wahyu (ilham)

Indera lahiriah dan akal, adalah alat utama dalam kegiatan ilmiah, tetapi manusia tidak
akan pernah sampai pada kebenaran hakiki terlebih berkaitan dengan hal-hal yang gaib
(metafisik) , sehingga Wahyu yang merupakan panduan ilahi menjadi sangat penting bagi
manusia untuk mencapai kebenaran hakiki. Hal ini dengan jelas tersirat dalam firmanNya
Q.S An-Nahl (16): 78; Q.S al-A'raf (7): 179; dan Q.S Al-Hajj (22) : 46.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

Artinya : "Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani,
agar kamu bersyukur." (QS. An-Nahl 16: Ayat 78)

4
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

Artinya : "Dan sungguh, akan Kami isi Neraka Jahanam banyak dari kalangan jin dan
manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat
Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-
tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya
untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat
lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah." (QS. Al-A'raf 7: Ayat 179)

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

Artinya : "Maka tidak pernahkah mereka berjalan di bumi, sehingga hati (akal) mereka
dapat memahami, telinga mereka dapat mendengar? Sebenarnya bukan mata itu yang buta,
tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada." (QS. Al-Hajj 22: Ayat 46)

Kejayaan dan kemajuan peradaban Islam hanya dapat diwujudkan apabila muslim
dapat mengintegrasikan IPTEKS dengan nilai da ajaran islam, maka bagi ajaran islam
dikotomi ilmu adalah sebuah kesalahan fatal dan penyimpangan pemikiran. Sebagai

5
contoh: Ketika Al-Qur'an menyatakan bahwa benda-benda di langit bergerak dan berputar
pada poros dengan penuh keteraturan , hal ini tidak dapat diungkap dengan jelas kalau
hanya mengandalkan pengetahuan dari Al-Qur'an dan hadits saja, tetapi perlu penguasaan
ilmu astronomi yang merupakan sains.

B. Paradigma Ilmu Tidak Bebas Nilai


Paradigma ilmu yang tidak bebas nilai (value bound) memandang bahwa ilmu itu selalu
terkait dengan nilai dan harus dikembangkan dengan mempertimbangkan aspek nilai.
Pengembangan ilmu jelas tidak mungkin bisa terlepas dari nilai-nilai, kepentingan-
kepentingan baik politis, ekonomis, sosial, religius, ekologis, dan nilai-nilai yang lainnya.
Filosof yang menganut teori value bound adalah Habermas berpendapat bahwa ilmu,
sekalipun ilmu alam tidak mungkin bebas nilai, karena setiap ilmu selau ada kepentingan-
kepentingan teknis (Habernas, 1990). Dia juga membedakan ilmu menjadi 3 macam, sesuai
kepentingan-kepentingan masing-masing, yaitu :

a. Pengetahuan yang pertama, berupa ilmu-ilmu alam yang bekerja secara empiris-
analitis. Ilmu ini menyelidiki gejala-gejala alam secara empiris dan menyajikan hasil
penyelidikan untuk kepentingan-kepentingan manusia. Dari ilmu ini pula disusun teori-
teori yang ilmiah agar dapat diturunkan pengetahuan-pengetahuan terapan yang besifat
teknis. Pengetahuan teknis ini menghasilkan teknologi sebagai upaya manusia untuk
mengelola dunia atau alamnya.
b. Pengetahuan yang kedua, berlawanan dengan pengetahuana yang pertama, karena tidak
menyelidiki sesuatu dan tidak menghasilkan sesuatu, melainkan memahami manusia
sebagai sesamanya, memperlancar hubungan sosial. Aspek kemasyarakatan yang
dibicarakan adalah hubungan sosial atau interaksi, sedangkan kepentingan yang dikejar
oleh pengetahuana ini adalah pemahaman makna.
c. Pengetahuan yang ketiga, teori kritis, yaitu membongkar penindasan dan
mendewasakan manusia pada otonomi dirinya sendiri. Sadar diri amat dipentingkan
disini. Aspek sosial yang mendasarinya adalah dominasi kekuasaan dan kepentingan
yang dikejar adalah pembebasan atau emansipasi manusia.

Dalam pandangan Habermas (1990) bahwa ilmu sendiri dikonstruksi untuk


kepentingan-kepentingan tertentu yakni nilai relasional antara manusia dan alam seperti
ilmu pengetahuan alam, manusia dan manusia seperti ilmu sosial, dan nilai penghormatan
terhadap manusia. Jika lahirnya ilmu saja terkait dengan nilai, maka ilmu itu sendiri tidak

6
mungkin bekerja lepas dari nilai. Penganut value bound ini bahkan ada yang mengatakan
bahwa nilai adalah ruhnya ilmu. Jadi, ilmu tanpa nilai diibaratkan seperti tubuh tanpa ruh
(mati) yang berarti tidak berguna. Ilmu yang tidak bebas nilai ini memandang bahwa ilmu
itu selalu terkait dengan nilai dan harus di kembangkan dengan mempertimbangkan nilai.
Ilmu jelas tidak mungkin bisa terlepas dari nilai-nilai kepentingan-kepentingan baik politik,
ekonomi, sosial, keagamaan, lingkungan dan sebagainya.

C. Paradigma Ilmu Bebas Nilai


Ilmu bebas nilai dalam bahasa Inggris sering disebut dengan value free, yang
menyatakan bahwa ilmu dan teknologi adalah bersifat otonom (Keraf, 2001). Bebas nilai
artinya setiap kegiatan ilmiah harus didasarkan pada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri.
Ilmu pengetahuan menolak campur tangan faktor eksternal yang tidak secara hakiki
menentukan ilmu pengetahuan itu sendiri. Penganut paradigma ini menginginkan bahwa
ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai, baik secara ontologis maupun aksiologis
(Suriasumantri, 2001). Situmorang (2012), menyatakan bahwa sekurang-kurangnya ada 3
faktor sebagai indikator bahwa ilmu itu bebas nilai, yaitu:

a. Ilmu harus bebas dari pengendalian-pengendalian nilai. Maksudnya adalah bahwa ilmu
harus bebas dari pengaruh eksternal seperti faktor ideologis, religious, cultural, dan
sosial.
b. Diperlukan adanya kebebasan usaha ilmiah agar otonom ilmu terjamin. Kebebasan di
sini menyangkut kemungkinan yang tersedia dan penentuan diri.
c. Penelitian ilmiah tidak luput dari pertimbangan etis yang sering dituding menghambat
kemajuan ilmu, karena nilai etis sendiri itu bersifat universal.

Paradigma ini mengikuti jejak yang dikembangkan oleh Copernicus, Galileo, dan filosof
seangkatannya yang netral nilai secara total. Mereka berpendapat bahwa objek ilmu tetap
sebagai objek ilmiah yang harus dihadapi sama, baik secara teoritis maupun secara
metodologis. Oleh karena itu, ilmuwan tidak boleh membedakan apakah objek yang
dihadapi ilmu itu merupakan bahan dari zat-zat kimia atau keseragaman peristiwa alam
(uniformity of natural) atau merupakan masalah yang ada hubungannya dengan
kemanusiaan. Manusia disamping sebagai subjek peneliti ilmu, juga sebagai objek yang
diteliti secara objektif dari luar, tanpa terpengaruh dengan apa yang menjiwainya (Mudlor,
2004).

7
Penganut pendapat ini ada yang lebih ekstrim menyatakan bahwa gejala-gejala
kemasyarakatan sama dengan gejala fisika, yaitu sama-sama bersifat alami. Pengertian-
pengertian seperti kehendak, rasa, motif, nilai dan jenis merupakan hal-hal yang berada di
luar dunia eksakta yang adanya hanya dalam dunia angan-angan yang tidak patut ditinjau
dari segi ilmiah.

Bebas nilai sesungguhnya adalah tuntutan yang ditujukan pada ilmu agar
keberadaannya dikembangkan dengan tidak memperhatikan nilai-nilai lain di luar ilmu itu
sendiri, artinya tuntutan dasar agar ilmu dikembangkan hanya demi ilmu itu sendiri tanpa
pertimbangan politik, agama maupun moral (Syafiie, 2004). Jadi, ilmu harus
dikembangkan hanya semata-mata berdasarkan pertimbangan ilmiah murni. Agaknya,
inilah yang menjadi patokan sekularisme yang bebas nilai. Tokoh sosiologi, Weber
menyatakan bahwa ilmu sosial harus bebas nilai, tetapi ilmu-ilmu sosial harus menjadi nilai
yang relevan. Weber tidak yakin ketika para ilmuwan sosial melakukan aktivitasnya seperti
mengajar dan menulis mengenai bidang ilmu sosial mereka tidak terpengaruh oleh
kepentingan tertentu. Nilai-nilai itu harus diimplikasikan oleh bagian-bagian praktis ilmu
sosial jika praktik itu mengandung tujuan atau rasional. Tanpa keinginan melayani
kepentingan segelintir orang, budaya, maka ilmuawan sosial tidak beralasan mengajarkan
atau menuliskan itu semua. Suatu sikap moral yang sedemikian itu tidak mempunyai
hubungan objektivitas ilmiah.

Dalam pandangan ilmu yang bebas nilai, eksplorasi alam tanpa batas dapat dibenarkan,
karena hal tersebut untuk kepentingan ilmu itu sendiri, yang terkadang hal tersebut dapat
merugikan lingkungan. Contoh untuk hal ini adalah teknologi air condition, yang ternyata
berpengaruh pada pemansan global dan lubang ozon semakin melebar, tetapi ilmu
pembuatan alat pendingin ruangan ini semata untuk pengembangan teknologi itu dengan
tanpa memperdulikan dampak yang ditimbulkan pada lingkungan sekitar. Sedangkan seni
misalnya, membuat patung-patung manusia telanjang, lukisan-lukisan erotis, fotografi
yang menonjolkan pornografi dan tarian-tarian tanpa busana sama sekali adalah bukan
masalah dan dibenarkan secara ilmu seni sepanjang untuk ekspresi seni itu sendiri.
Setidaknya, ada problem nilai ekologis dalam ilmu tersebut tetapi ilmu-ilmu yang bebas
nilai demi tujuan untuk ilmu itu sendiri barangkali menganggap kepentingan-kepentingan
ekologis tersebut bisa menghambat ilmu. Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa
penganut paradigma value free berpendirian bahwa ilmu tidak terikat oleh nilai, baik dalam

8
proses penemuannya maupun proses penerapannya karena petimbangan-pertimbangan
moral atau nilai hanya menghambat pertumbuhan dan perkembangan ilmu.

D. Akhlaq Islam dalam Penerapan


Pentingnya dimensi moral dalam pandangan Islam, lebih dititik beratkan pada dimensi
etika sains, yaitu meliputi :
1. Ilmu yang bermanfaat
Menurut ajaran Islam, ilmu disifati netral dan tidak dapat dijustifikasi baik atau
buruk, benar atau salah , selama ilmu itu belum digunakan. Ketika ilmu digunakan,
maka pada saat itulah muncul sebuah nilai yang menjadi dasar etika sains, yaitu
aspek kebermanfaatan bagi manusia. Dalam hal ini akhalak seorang muslim dalam
menerapkan IPTEKS, haruslah mempertimbangkan aspek manfaat dan mudharat
bagi kehidupan manusia. Rasulullah mengajarkan kepada umatnya untuk senantiasa
mencari ilmu yang bermanfaat dan berdoa seraya berlindung dari ilmu yang tidak
bermanfaat, sebagaimana sabdanya: "wahai Tuhanku, aku berlindung kepadamu
dari ilmu yang tidak bermanfaat". (as-Sayuthi:185). Menurut imam Shadiq,
sebagaimana dikutip Mehdi golshani bahwa, "setiap IPTEKS yang memenuhi
kebutuhan manusia atau yang bermanfaat bagi hamba-hamba Tuhan, dan
membantu mereka melangsungkan kehidupan serta memenuhi kebutuhan mereka,
diperkenankan untuk dipelajari dan diajarkan, sedangkan apa saja yang
mengganggu, membahayakan,merusak dan tidak bermanfaat bagi manusia adalah
terlarang untuk dipelajari, diajarkan dan disebarkan kepada yang lain ( golshani,
2004:100)
2. Keseimbangan dalam alam maupun umat manusia.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman :

Artinya : "Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan,serta tetumbuhan dan


pepohonan, keduanya tunduk (kepadanya). Dan langit telah ditinggalkan-nya dan

9
dia ciptakan keseimbangan, agar kamu jangan merusak keseimbangan ini".( Q.S
Ar Rahman (55) : 5-8)
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman :

Artinya : "Dan (termasuk hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih) orang-orang


yang apabila menginfakkan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir,
di antara keduanya secara wajar," (QS. Al-Furqan 25: Ayat 67)
Dua ayat tersebut menunjukkan bahwa kosmos diciptakan sang pencipta dalam
keadaan tertib dan seimbang, sehingga manusi tidak boleh melanggar
keseimbangan dalam hubungan dengan dirinya sendiri dan makhluk lainnya, tetapi
harus mengikuti hukum- hukum yang mengatur kosmos yang menjaga keserasian
dan keseimbangan. Islam adalah agama tawazun (pertengahan) atau lebih dikenal
dengan kata " moderat", karena dalam banyak hal Manusia dituntut untuk berlaku
wajar dan seimbang. Tidak kurang atau berlebihan. Oleh karena itu pengembangan
dan penerapan IPTEKS bebas tetapi di batasi dengan nilai keseimbangan dan
keserasian
3. Penyucian diri
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman :


Artinya : “Ya Tuhan kami, utuslah di tengah mereka seorang rasul dari kalangan
mereka sendiri, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat-Mu dan
mengajarkan Kitab dan Hikmah kepada mereka, dan menyucikan mereka. Sungguh,
Engkaulah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (Q.S Al-Baqarah ayat 129)

10
Ayat tersebut diatas menyatakan bahwa pengembangan dan penerapan IPTEKS
bukan semata-mata berorientasi kepentingan duniawi, atau pemenuhan kebutuhan
dan keinginan saja,tetapi berorientasi dalam rangka menyucikan diri, sehingga
memiliki kesadaran dan muncul pada dirinya nilai-nilai ketuhanan, yang merupakan
pengejawantahan niai dan norma agama Islam. Bagi seorang muslim sejati
pengembangan dan penerapan IPTEKS dalam kehidupannya, merupakan bukti
penghambaan dan ketaatannya dalam beragama , serta hidupnya selalu berorientasi
pada kebahagiaan dunia dan ukhrawi.
4. Menghindari penilaian yang tidak mendasar
Ajaran Islam mengajarkan kepadanya umatnya untuk tidak menerima atau menolak
sesuatu,tanpa mengetahui Daras yang jelas/ argumentatif. Beragama haruslah atas
dasar keyakinan dan dalil yang jelas, bukan atas dasar prasangka atau taklid
(mengetahui sesuatu tanpa mengetahui dasar dalil/argumentasi). Pengembangan
dan penerapan IPTEKS haruslah atas dasar yang jelas dan argumentatif, atau kalau
dikalangan akademisi lebih dikenal dengan istilah ilmiah dan dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya,l. Hal ini sejalan dengan firman-nya:

Artinya : "Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui . Karena
pendengaran, penglihatan,dan hati nurani, semua itu akan di minta
pertanggungjawabannya (Q.S. al-isra ayat 36).

11
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Integrasi IPTEKS dan ajaran Islam adalah keniscayaan, karena sumber ajaran Islam
adalah ayat-ayat Qouliyah dan Kauniyah, dan interkoneksi IPTEKS dengan wahyu
digambarkan sebagai berikut; (1) isi dan informasi Al-Qur-an bersifat ijmali (global),
diperinci oleh al-Hadits dan di buktikan dengan sains; (2) Al-Qur'an memberikan info
dan menjawab hal-hal metafisika; (3) sains memperkenalkan tentang sifat beberapa
dimensi alam semesta dan bukan totalitasnya; (4) sains tidak dapat menjawab
pertanyaan-pertanyaan ultimate dari kita: darimana datangnya alam semesta? Apa tugas
kita di dunia ini? Dan sebagainya. Ilmu tidak bebas nilai, ilmu itu selalu terkait dengan
nilai-nilai. Perkembangan ilmu selalu memperhatikan aspek nilai yang berlaku.
Perkembangan nilai tidak lepas dari dari nilai-nilai ekonomis, sosial, religius, dan nilai-
nilai yang lainnya. Sedangkan Ilmu bebas nilai mengemukakan bahwa antara ilmu dan
nilai tidak ada kaitannya, keduanya berdiri sendiri. Menurut pandangan ilmu bebas
nilai, dengan tujuan mengembangkan ilmu pengetahuan kita boleh mengeksplorasi
alam tanpa batas dan tdak harus memikirkan nilai-nilai yang ada, karena nilai hanya
akan menghambat perkembangan ilmu. Pentingnya dimensi moral Dalam penerapan
IPTEKS menurut pandangan Islam, lebih dititik beratkan pada dimensi etika sains,
yaitu meliputi: (1) ilmu yang bermanfaat; (2) keseimbangan dalam maupun umat
manusia; (3) penyucian diri; dan (4) menghindari penilaian yang tidak mendasar.
Kejayaan Islam akan kembali terwujud,apabila setiap umat Islam mampu
mengintegrasikan dan menginterkoneksikan ajaran Islam dengan IPTEKS.

B. Saran
Kita sebagai seorang muslim sekaligus penerus bangsa Indonesia ini haruslah
mendukung pengembangan dan penerapan IPTEKS di era modern ini. Dengan kita
yang menerapkan perilaku akhlaq yang memainkan peran dalam penerapan dan
pengembangan IPTEKS dalam pandangan Islam maka IPTEKS akan terus semakin
berkembang lebih dan lebih lagi.

12
DAFTAR PUSTAKA
1. Mu’adz. Puspita Handayani. Anita Puji Astutik Supriyadi. 2016. Islam dan Ilmu
Pengetahuan. Sidoarjo, Umsida Press.
2. Khomaeny, EFF. 2019. Islam dan IPTEKS. Tasikmalaya: Edu Pubusher.
3. A.Aslan. 2020. “Pengembangan Bahan Ajar Berbasis IMTAQ dan IPTEK di Era
Revolusi Industry 4.0 pada Mata Pelajaran Madrasah Ibtidaiyah” dalam TaLimuna:
Jurnal Pendidikan Islam 9 (1), 1-15.

13

Anda mungkin juga menyukai