Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

AL-ISLAM KEMUHAMMADIYAHAN (AIK) IV


TANGGUNG JAWAB ILMUAN MUSLIM DALAM BERBANGSA
DAN BERNEGARA

Disusun Oleh :
Alexsandra Cipta Kusumah Bangsa
231311007

PROGRAM STUDI PETERNAKAN


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH CIREBON
2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarrakatuh

Syukur Alhamdulillah kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang


telah melimpahkan rahmat dan segala bentuk kenikmatannya kepada kita semua sehingga
penulisan makalah ini dapat terselesaikan sesuai dengan waktu yang diharapkan. Makalah ini
merupakan bentuk kewajiban dan penyempurnaan nilai kami selaku mahasiswa di Universitas
Muhammadiyah Cirebon pada mata kuliah AL- Islam Kemuhamadiyahan dengan judul
“Tanggung Jawab Ilmuan Muslim Dalam Berbangsa Dan Bernegara”.
Kami mengucapkan terimah kasih kepada semua anggota kelompok yang telah ikut
serta dalam membantu menyelesaikan penyusunan makalah ini. Dan kami mengharapkan kritik
dan saran yang membangun sehingga makalah ini menjadi lebih sempurna.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................................1

DAFTAR ISI...................................................................................................................................2

BAB I...............................................................................................................................................3

PENDAHULUAN...........................................................................................................................3
A. Latar Belakang.....................................................................................................................3
B. Rumusan Masalah................................................................................................................4
C. Tujuan Penulisan.................................................................................................................4

BAB II.............................................................................................................................................5

PEMBAHASAN..............................................................................................................................5
A. Tanggung Jawab Ilmuwan Muslim Dalam Berbangsa Dan Bernegara...............................5
B. Kedudukan, Kewajiban Ilmuwan Dalam Masyarakat, Umat Dan Bangsa..........................8
C. Pengertian Ilmu, Iman dan Amal.........................................................................................9
1. Definisi Ilmu....................................................................................................................9
1. Definisi Iman.................................................................................................................10
2. Definisi Amal.................................................................................................................11
D. Iman, Ilmu Dan Amal Sebagai Pilar Peradaban................................................................13

BAB III..........................................................................................................................................17

PENUTUP.....................................................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................18
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Allah SWT menulis dengan jelas dalam surah Al- Mudattsir ayat 38, Artinya:
“Setiap orang bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya” (Qs. Al-
Mudatsir:38) Dari kontek ayat ini, kita tahu bahwa Allah SWT menciptakan manusia
dengan segala potensinya memiliki “tugas” untuk tunduk dan patuh terhadap hukum-
hukum Allah SWT dan suatu saat nanti pada saat yang ditentukan oleh Allah semua
manusia akan diminta pertanggung jawabannya sebagai bukti bahwa manusia sebagai
pengemban amanah Allah SWT. Dalam melakukan misinya, manusia diberi petunjuk
bahwa dalam hidup ada dua jalan yaitu, jalan baik dan jalan yang buruk. Artinya: “ kami
telah menunjukkan kepadanya dua jalan. ( kebaikan dan keburukan ) ”Q.S Al-Balad ( 90 )
ayat 10. Proses menerima petunjuk ini adalah bagaimana manusia mengembangkan
kemampuan potensi akal ( ratio ) nya dalam memahami “alam” yang telah diciptakan dan
disediakan oleh Allah SWT sebagai saran dan sumber belajar, kemudian ketika “ilmu”
sudah dimiliki diharapkan manusia dapat berkarya (beramal) dengan ilmunya untuk terus
membina hubungan vertical dan horizontal. Manusia yang mau mengembangkan potensi
akalnya dapat memanfaatkan pengetahuannya tersebut untuk pencerahan dirinya dan
memiliki tanggung jawab moral dan menyebarkan kepada sesama, mereka biasa disebut
ilmuwan, cendikiawan atau intelektual.
Tanggung jawab ilmuwan dalam pengembangan ilmu sekurang-kurangnya
berdimensi religious atau etis dan social. Pada intinya, dimensi religious atau etis seorang
ilmuwan hendaknya tidak melanggar kepatutan yang dituntut darinya berdasarkan etika
umum dan etika keilmuan yang ditekuninya. Sedangkan dimensi sosial pengembangan
ilmu mewajibkan ilmuwan berlaku jujur, mengakui keterbatasannya bahkan kegagalannya,
mengakui temuan orang lain, menjalani prosedur ilmiah tertentu yang sudah disepakati
dalam dunia keilmuan atau mengkomunikasikan hal baru dengan para sejawatnya atau
kajian pustaka yang sudah ada untuk mendapatkan konfirmasi, menjelaskan hasil-hasil
temuannya secara terbuka dan sebenar-benarnya sehingga dapat dimengerti orang lain
sebagaimana ia juga memperoleh bahan-bahan dari orang lain guna mendukung teori-teori
yang dikembangkannya. Karena tanggung jawab ilmuwan merupakan ikhtiar mulia
sehingga seorang ilmuwan tidak mudah tergoda, apalagi tergelincir untuk
menyalahgunakan ilmu.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang di atas, penulis mengangkat masalah yaitu (1)
Bagaimana tanggung jawab ilmuwan muslim dalam berbangsa dan bernegara?; (2)
Bagaimana kedudukan, kewajiban ilmuwan dalam masyarakat , umat dan bangsa ?; (3)
Apa peran Iman, ilmu dana mal sehingga menjadi pilar peradaban ?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan ini ialah untuk menambang wawasan berkaitan
dengan Islam Dan Ilmu Pengetahuan dan memberikan gambaran tentang tanggung jawab
ilmuan dalam berbangsa dan bernegara
BAB II

PEMBAHASAN

A. Tanggung Jawab Ilmuwan Muslim Dalam Berbangsa Dan Bernegara

Ilmuwan merupakan profesi, gelar atau capaian professional yang diberikan


masyarakat kepada seorang yang mengabdikan dirinya. Pada kegiatan penelitian ilmiah
dalam rangka mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif tentang alam semesta,
termasuk fenomena fisika, matematis dan kehidupan social. Istilah ilmuwan dipakai untuk
menyebut aktifitas seseorang untuk menggali permasalahan ilmuwan secara menyeluruh
dan mengeluarkan gagasan dalam bentuk ilmiah sebagai bukti hasil kerja mereka kepada
dunia dan juga untuk berbagi hasil penyelidikan tersebut kepada masyarakat awam, karena
mereka merasa bahwa tanggung jawab itu ada dipundaknya. Ilmuwan memiliki beberapa
ciri yang ditunjukkan oleh cara berfikir yang dianut serta dalam perilaku seorang ilmuwan.
Mereka memilih bidang keilmuan sebagai profesi. Untuk itu yang bersangkutan harus
tunduk dibawah wibawa ilmu. Karena ilmu merupakan alat yang paling mampu dalam
mencari dan mengetahui kebenaran.
Seorang ilmuwan tampaknya tidak cukup hanya memiliki daya kritis tinggi
atau pun pragmatis, kejujuran, jiwa terbuka dan tekad besar dalam mencari atau
menunjukkan kebenaran pada akhirnya, netral, tetapi lebih dari semua itu ialah
penghayatan terhadap etika serta moral ilmu dimana manusia dan kehidupan itu harus
menjadi pilihan juga sekaligus junjungan utama. Sebagai intektual, seorang ilmuwan
sosial dan tetap mempertahankan dialognya yang kontinyu dengan masyarakat sekitar dan
suatu keterlibatan yang intensif dan sensitif. Sebagai ilmuwan, dia akan berusaha
memperluas wawasan teoritis dan keterbukaannya kepada kemungkinan dan penemuan
baru dalam bidang keahliannya. Sebagai teknikus, dia tetap menjaga keterampilannya
memakai instrument yang tersedia dalam disiplin yang dikuasainya. Dua peran terakhir
memungkinkan dia menjaga martabat ilmunya, sedangkan peran pertama
mengharuskannya untuk turut menjaga martabat.
Banyak ilmuwan muslim (terutama dalam hal ini yang akan dibahas adalah
berkaitan dengan ilmuwan muslim di bidang sosial) yang tidak memiliki komitmen
terhadap agama Islam. Ilmuwan tersebut menghabiskan hari-harinya dan bahkan hidupnya
untuk mempelajari dan mengkaji ilmu yang disenangi, menarik hati dan mungkin pula
memperoleh ketenaran serta mendapatkan banyak uang, tapi tidak berminat atau kurang
sekali minatnya untuk mengkaji Islam (Al-Quran dan Sunnah) yang berkaitan dengan ilmu
yang digelutinya. Dalam sepekan belum tentu ada satu atau dua jam waktunya
diperuntukkan untuk menelaah Islam, yang seharusnya menjadi pedoman hidupnya.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan ketika mendapati ayat-ayat Al-Quran
atau Hadits yang tidak sesuai dengan jalan pikiran atau ilmu yang dikuasai, maka ayat dan
hadits tersebut ditolak atau paling tidak diragukan kebenarannya. Sebaliknya, paham atau
konsep yang jelas-jelas bertentangan dan tidak dapat dibandingkan dengan Islam seperti
feminisme, sekularisme, humanisme, liberalisme, postmodernisme, pluralisme dsb. malah
dicari-carikan pembenaran dan dukungan dari agama Islam.

Mereka memisahkan antara agama dan akhirat, antara ilmu dan perilaku, antara
ilmu dan etika, antara agama dan ilmu, antara individu dan masyarakat nantara agama
dengan sosial atau negara. Hal ini disebabkan karena mereka asal ikut saja terhadap
pendapat yang dikatakan oleh pakar dari barat. Akibatnya mereka tidak akan dapat
melebihi orang barat. Mereka akan selalu tergantung dengan barat serta pola berpikirnya.
Apa-apa yang tidak sesuai dengan cara berpikir orang barat akan dikritik, diragukan atau
bahkan ditolak.

Karena tidak paham sejarah barat, banyak ilmuwan yang terjebak cara berpikir
orang barat. Misalnya, banyak orang amat menyukai atau positivisme, reduksionisme,
behaviorisme. Sebaliknya ada juga yang amat tidak suka dengan positivisme, sebagai
gantinya mereka menganut hermeneutika atau kontruktivisme dll, sehingga semuanya
dianggap relatif, tidak ada kebenaran absolut, bahkan manusia tidak mungkin memahami
kebenaran atau kebenaran itu sendiri tidak ada. Namun mereka tidak paham mengapa
timbul aliran-aliran tersebut dan latar belakang aliran pemikiran tersebut. Paham seperti
humanisme, relativisme, dsb. telah menjadi anutan dan patokan mereka. Bahkan yang lebih
memprihatinkan lagi, sebagian ilmuwan muslim tidak menyadari pola pikirnya telah
terjebak dan tersumbat dengan paham-paham sesat dari barat tersebut.

Menurut metode pendidikan model barat, tidak layak seorang ilmuwan


memberikan penilaian benar atau salah terhadap apa yang dipelajarinya. Ilmuwan hanya
menjelaskan fenomena yang terjadi atau konsep dan teori yang ada atau melakukan
tinjauan kritis terhadapnya dan kemudian bila mampu, membangun pendapatnya sendiri.
Namun tentang standar mana yang benar atau salah tergantung darimana menentukannya.
Tidak ada kebenaran absolut. Apa yang dianggap benar dan baik pada suatu saat, dapat
dianggap salah dan tidak baik di saat yang lain. Oleh karena itu, ilmuwan muslim yang
mengikuti pola pikir ilmuwan barat tidak menyadari atau tidak mau mengakui bahwa
seharusnya mereka memberikan penilaian dengan menggunakan standar atau patokan
agama Islam, mana yang benar dan yang mana yang salah. Ilmuwan muslim harusnya
memberikan penerangan kepada semua orang tentang apa yang benar dan apa yang salah
dan selalu berusaha melakukan amar ma’ruf nahi munkar.

Ilmu menghasilkan teknologi yang akan diterapkan pada masyarakat.


Teknologi dalam penerapannya dapat menjadi berkah dan penyelamat bagi manusia, tetapi
juga bisa menjadi bencana bagi manusia. Disinilah pemanfaatan pengetahuan dan
teknologi harus diperhatikan sebaik – baiknya. Dalam filsafat penerapan teknologi
meninjaunya dari segi aksiologi keilmuan.

Adapun salah satu sendi masyarakat modern adalah ilmu dan teknlogi. Kaum
ilmuwan tidak boleh picik dan menganggap ilmu ilmu dan teknologi itu alpha dan omega
dari segala-galanya, masih terdapat banyak lagi sendi-sendi lain yang menyangga
peradaban manusia yang baik. Demikian juga masih terdapat kebenaran-kebenaran lain di
samping kebenaran kebenaran keilmuan yang melengkapi harkat kemanusiaan yang hakiki.
Namun bila kaum ilmuwan konsekuen dengan pandangan hidupnya, baik secara intelaktual
maupun secara moral, maka salah satu penyangga masyarakat modern itu kan berdiri
dengan kukuh. Berdirinya piral penyangga keilmuan ini merupakan tanggung jawab social
seorang ilmuan. Kita tidak bisa lari padanya sebab hal ini merupakan bagian dari hakikat
ilmu itu sendiri. Biar bagaimanapun kita tidak akan pernah bisa melarikan diri dari diri kita
sendiri.
B. Kedudukan, Kewajiban Ilmuwan Dalam Masyarakat, Umat Dan Bangsa

Keutamaan orang ‘alim (ilmuwan) dibanding lainnya diperkuat oleh hadist


Nabi dari Mu’adz; “Keutamaan orang ‘alim atas hamba (lainnya) adalah seperti
kelebihan bulan purnama atas bintang-bintang” H.R Abu Daud, Turmudzi, Nasa’i , dan
Ibn hibban. “ Tiga golongan orang yang ditolong di hari kiamat; yaitu para Nabi kemudian
‘Ulama kemudian syuhada”. (Ihya’: 17).
Penjelasan al Quran , Hadist maupun fakta di atas memberikan gambaran yang
jelas bahwa kedudukan ilmu dan ilmuwan begitu tinggi dan mulya di hadapan Alloh dan
hamba-hambaNya. Jika umat Islam menyadari dan memegang teguh ajaran agamanya
untuk menjunjung tingi ilmu pengetahuan , maka pasti dapat di raih kembali puncak
kejayaan Islam sebagaimana catatan sejarah di abad awal Hijrah hingga abad ke dua belas
Hijrah, dimana umat dan Negara- negara Islam menjadi pusat peradaban dunia.
Ilmu merupakan hasil karya seseorang yang dikomunikasikan dan dikaji secara
luas oleh masyarakat. Jika hasil karyanya itu memenuhi syarat-syarat keilmuan, maka
karya ilmiah itu, akan menjadi ilmu pengetahuan dan digunakan oleh masyarakat luas.
Maka jelaslah jika ilmuwan memiliki tanggung jawab yang besar, bukan saja karena ia
adalah warga masyarakat, tetapi karena ia juga memiliki fungsi tertentu dalam masyarakat.
Fungsinya selaku ilmuwan, tidak hanya sebatas penelitian bidang keilmuan, tetapi juga
bertanggung jawab atas hasil penelitiannya agar dapat digunakan oleh masyarakat, serta
bertanggung jawab dalam mengawal hasil penelitiannya agar tidak disalah gunakan.
Selain itu pula, dalam masyarakat seringkali terdapat berbagai masalah yang
belum diketahui pemecahannya. Maka ilmuwan sebagai seorang yang terpandang, dengan
daya analisisnya diharapkan mampu mendapatkan pemecahan dari masalah tersebut.
Seorang ilmuwan dengan kemampuan berpikirnya mampu mempengaruhi opini
masyarakat terhadap suatu masalah. Ilmuwan mempunyai kewajiban sosial untuk
menyampaikan kepada masyarakat dalam bahasa yang mudah dicerna. Tanggung jawab
sosial seorang ilmuwan adalah memberikan perspektif yang benar: untung dan rugi, baik
dan buruknya, sehingga penyelesaian yang objektif dapat dimungkinkan.
Tanggung jawab sosial lainnya dari seorang ilmuwan adalah dalam bidang
etika. Dalam bidang etika ilmuwan harus memposisikan dirinya sebagai pemberi contoh.
Seorang ilmuwan haruslah bersifat obyektif, terbuka, menerima kritik dan pendapat orang
lain, kukuh dalam pendiriannya, dan berani mengakui kesalahannya. Semua sifat ini
beserta sifat-sifat lainnya, merupakan implikasi etis dari berbagai proses penemuan ilmiah.
Seorang ilmuwan pada hakikatnya adalah manusia yang biasa berpikir dengan teratur dan
teliti. Seorang ilmuwan tidak menolak atau menerima sesuatu secara begitu saja tanpa
pemikiran yang cermat. Disinilah kelebihan seorang ilmuwan dibandingkan dengan cara
berpikir orang awam. Kelebihan seorang ilmuwan dalam berpikir secara teratur dan cermat
inilah yang menyebabkan dia mempunyai tanggung jawab sosial. Dia mesti berbicara
kepada masyarakat sekiranya ia mengetahui bahwa berpikir mereka keliru, dan apa yang
membikin mereka keliru, dan yang lebih penting lagi harga apa yang harus dibayar untuk
kekeliruan itu.Sudah seharusnya pula terdapat dalam diri seorang ilmuwan sebagai suri
tauladan dalam masyarakat.
Dengan kemampuan pengetahuannya seorang ilmuwan harus dapat
mempengaruhi opini masyarakat terhadap masalah-masalah yang seyogyanya mereka
sadari. Dalam hal ini, berbeda dengan menghadapi masyarakat, ilmuwan yang elitis dan
esoteric, dia harus berbicara dengan bahasa yang dapat dicerna oleh orang awam. Untuk itu
ilmuwan bukan saja mengandalkan pengetahuannya dan daya analisisnya namun juga
integritas kepribadiannya. Di bidang etika tanggungjawab sosial seseorang ilmuwan bukan
lagi memberi informasi namun memberi contoh. Dia harus tampil didepan bagaimana
caranya bersifat obyektif, terbuka, menerima kritikan, menerima pendapat orang lain,
kukuh dalam pendirian yang dianggap benar dan berani mengakui kesalahan. Tugas
seorang ilmuwan harus menjelaskan hasil penelitiannya sejernih mungkin atas dasar
rasionalitas dan metodologis yang tepat. Sebagai seorang yang bekerja dan mendalami
ilmu pengetahuan dengan tekun dan sungguh-sunggu, seorang ilmuwan memiliki tanggung
jawab sebagai penyeru ke jalan Allah SWT dan petunjuk ke jalan yang benar (amar ma’ruf
nahi mungkar).

C. Pengertian Ilmu, Iman dan Amal

1. Definisi Ilmu
Ilmu dari unsur etimologi didefinisikan sebagai tahayung kemudian
dijabarkan menjadi kata pengetahuan. Kata ilmu ini sendiri pertama kali berasal dari
bahasa arab yaitu “Alima-ya’lamu” yang artinya memperoleh hakikat ilmu,
mengetahui dan yakin.Selain ilmu yang berasal dari bahasa arab muncul pula istilah
sains atau science. Namun, pengertian ilmu secara umum adalah sekumpulan
pengetahuan yang diatur secara rapi dan sistematis. Kumpulan ini didasarkan dan
didapat dari hasil pengalaman, pengamatan serta penelitian yang kemudian dikaitkan
dengan pemikiran yang cermat dan teliti. Tentunya, hasil dari penelitian tersebut
harus bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan melalui metode yang telah di
susun.
Ilmu berarti memahami hakikat sesuatu, baik dengan memahami
esensinya atau memutuskan sesuatu atasnya. Baik yang bersifat teoritis maupun
praktis. Untuk ilmu yang bersifat teoritis, jika sudah diketahui, tuntaslah sebagai
mana kita mengetahui berbagai benda semesta. Namun, Ilmu yang praktis tidak
dikatakan tuntas sebelum ilmu tersebut diamalkan, seperti pengetahuan tentang
berbagai ibadah. Ilmu pun ada yang bersifat intelektual dan bersifat sam’iyah. Ilmu
yang bersifat intelektual ialah ilmuyang dapat dipahami melalui akal, sedangkan ilmu
sam’iyah adalah ilmu yang hanya dapat dipahami melalui wahyu. Menurut
pemahaman para sosiolog, ilmu merupakan pengetahuan yang saling
menyempurnakan serta kumpulan prinsip dan primis umum yang berkaitan dengan
hakikat fenomena tertentu. Ilmu memiliki unsur bermacam-macam diantaranya
logika, ilmu hitung, astronomi, psikologi dan yang lainnya. Dalam hal ini,
Berdasarkan konsep islam pun, Ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang saling
menyempurnakan dan merupakan prinsip-prinsip umum yang berkaitan dengan
kehidupan itu sendiri.

1. Definisi Iman

Perkataan Iman berarti ‘Membenarkan’ . Hal itu disebut dalam Al-


Qur’an, di antarannya dalam surah At-Taubah ayat 62 yang artinya “ Dia
( Muhammad ) itu membenarkan ( Mempercayai ) kepada Allah dan membenarkan
kepada orang yang beriman. Iman itu ditujukan kepada Allah , kitab-kitab dan rasul.
Definisi Iman berdasarkan hadist merupakan tambatan hati yang diucapkan dan
dilakukan merupakan satu kesatuan. Iman memiliki prinsip dasar segala isi hati,
ucapan dan perbuatan sama dalam satu keyakinan, maka orang-orang beriman adalah
mereka yang di dalam hatinya , disetiap ucapannya dan segala tindakannya sama,
maka orang beriman dapat juga disebut dengan orang yang jujur atau orang yang
memiliki prinsip atau pandangan dan sikap hidup. Para Imam dan Ulama telah
mendifinisikan istilah iman ini, antara lain, seperti diucapkan oleh Imam Ali bin Abi
Talib: “ Iman itu diucapkan dengan lidah dan kepercayaan yang benar dengan hati
dan perbuatan dengan anggota.” Aisyah r.a berkata “ Iman Kepada Allah itu
mengakui dengan lisan dan membenarkan dengan hati dan mengerjakan dengan
anggota.” Imam Al-Ghazali menguraikan makna iman : “pengakuan dengan lidah
( lisan ) membenarkan pengakuan itu dengan hati dan mengamalkan dengan rukun-
rukun (anggota-anggota).”

2. Definisi Amal

Kata Amal artinya pekerjaan.Dalam bahasa arab kata amal dipakai untuk
semua bentuk pekerjaan. Tidak seperti anggapan sebagian masyarakat Muslim, yang
mengembalikan kata amal dengan kata ibadah dan memahaminya sebatas kegiatan
ritual seperti pergi ke masjid, membaca al-quran, shalat , puasa, haji, zakat, sedekah
dan sebagainnya.Dalam Al-Qur’an, kata amal tebagi kepada ‘amalus-shalih
(pekerjaan baik) dan ‘amalun ghairus-shalih (pekerjaan yang tidak baik). ‘amalun
ghairus-shalih disebut pula dengan ‘amalus-sayyi-ah (amal salah),termasuk pula ke
dalam katagori ‘amalus-syaithan (pekerjaan setan) dan ‘amalus-mufsidin (pekerjaan
pelaku kebinasaan). Umat islam diperintahkan melakukan ‘amalus-shalih dan wajib
menjauhi ‘amalus-sayyi-ah.

Amal merupakan satu aplikasi yang hasil dari gabungan ilmu dan iman
kerana kebenaran iman dapat di lihat amal soleh seseorng .
"Demi masa. Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian. Kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, serta saling menasihati
untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran."(Surah Al-Asr : 1-3).
“Allah tidak menerima iman tanpa amal perbuatan dan tidak pula
menerima amal perbuatan tanpa iman”. [HR. Ath-Thabrani]
Berdasarkan bukti dan dalil di atas tidak sempurna iman dan ilmu
seseorang itu melainkan dengan disulami dengan amal yang terhasil kefahaman dari
ilmu ,dan penyatuan yang hadir dari hasil penyaksian bahwanya benar hasilnya ,
anggota badan itu yang bergerak demi merealisasikan ilmu dan iman dengan amal
nya .
Persoalan Ilmu, Iman dan Amal merupakan persoaalan inti dalam islam.
Bagi kaum muslimin , iman adalah panduan hidup untuk terus berhubungan dengan
Allah SWT. Ekspresi Iman dalam islam diwujudkan dalam berbagai amal praktis.
Satu diantaranya adalah melalui ekspresi sains. Di sini iman memberikan panduan
kepada manusia mengenai konsep realitas yang harus di imani, dan jalan untuk
memberikan panduan kepada manusia mengenani konsep realitas yang harus di
imani.
Dalam pandangan islam, antara agama, ilmu pengetahuan, teknologi dan
seni terdapat hubungan yang harmonis dan dinamis yang terintegrasi kedalam suatu
sistem yang disebut dinul islam. Di dalamnya terkandung tiga unsur pokok, yaitu
akidah, syari’ah dan akhlak, dengan kata lain Iman, Ilmu dan Amal. Sebagaimana
digambarkan dalam Al-Quran yang artinya :
“Tidakkah kamu perhatikan Allah telah membuat perumpamaan kalimat
yg baik (Dinul Islam) seperti sebatang pohon yg baik,akarnya kokoh(menghujam ke
bumi) dan cabangnya menjulang ke langit. Pohon itu mengeluarkan buahnya setiap
musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan – perumpamaan itu
agar manusia selalu ingat" ( QS : 14 ;24-25).
Ayat diatas mengindentikkan bahwa Iman adalah akar, Ilmu adalah
pohon yg mengeluarkan dahan dan cabang-cabang ilmu
pengetahuan.Sedangkan Amal ibarat buah dari pohon itu identik dengan teknologi
dan seni. Ipteks dikembangkan diatas nilai-nilai iman dan ilmu akan menghasilkan
amal saleh bukan kerusakan alam. Islam adalah agama wahyu yang mengatur sistem
kehidupan yang paripurna. Keparipurnaannya terletak pada tiga aspek yaitu : aspek
Aqidah, aspek ibadah dan aspek akhlak. Meskipun diakui aspek pertama sangat
menentukan,tanpaintegritas kedua aspek berikutnya dalam perilaku kehidupan
muslim, maka makna realitas kesempurnaan Islam menjadi kurang utuh, bahkan
diduga keras akan mengakibatkan degradasi keimanan pada diri muslim, sebab
eksistensi prilaku lahiriyah seseorang muslim adalah perlambang batinnya.
Keutuhan ketiga aspek tersebut dalam pribadi Muslim sekaligus
merealisasikan tujuan Islam sebagai agama pembawa kedamaian, ketentraman dan
keselamatan. Sebaliknya pengabaian salah satu aspek akan mengakibatkan kerusakan
dan kehancuran. Agama (Iman) berfungsi untuk memberikan arah bagi seorang
ilmuwan untuk mengamalkan Ilmunya. Dengan didasari oleh keimanan yang kuat,
pengembangan ilmu dan teknologi akan selalu dapat dikontrol beradapada jalur yang
benar. Sebaliknya, tampa dasar keimanan ilmu dan teknologi dapat disalahgunakan
sehingga mengakibatkan kehancuran orang lain dan lingkungan.

D. Iman, Ilmu Dan Amal Sebagai Pilar Peradaban

Sebelum membahas pilar-pilar peradaban Islam, perlu dijelaskan bahwa harus


dibedakan antara peradaban Islam dengan peradaban Arab. Arab sebagai bangsa, baik
bangsa Arab klasik, seperti Tsamud, ‘Ad dan Quraisy, atau bangsa Arab setelah Islam,
mempunyai peradaban tersendiri. Seperti halnya, barat sebagai bangsa, baik Barat pada
masa Romawi kuno, atau Barat modern, mempunyai peradaban tersendiri, mekipun agama
terkadang memberikan pengaruh terhadap peradaban mereka. Peradaban mereka, Arab,
Barat dan bangsa lain, mengalami jatuh-bangun dan jaya-surut. Jatuh-bangun peradaban
mereka tergantung sejauh mana mereka menjaga empat elemen peradaban, yang telah
disebutkan oleh Kâdzim Makki; peradaban mereka dibangun berdasarkan khazanah
kamanusiaan, pengetahuan, pengalaman, dan struktur geografis mereka.
Sementara peradaban Islam dibangun di atas nilai-nilai yang turun dari Allah
swt. Ketika sebuah bangsa dapat menyerap dan melaksanakan nilai-nilai itu, maka bangsa
itu membangun peradaban Islam. Peradaban yang dibangun tidak di atas nilai-nilai Ilâhi
dianggap sebagai peradaban jahiliyyah, meskipun maju dalam hal pengetahuan saintis-
empirisnya. Dengan demikian, adalah salah kaprah jika peradaban Islam dibandingkan
dengan perdaban Barat, sehingga muncul penilaian, Manakah di antara keduanya yang
lebih tinggi ?, karena perbedaan antara keduanya bersifat vertikal. Yang satu berlandaskan
nilai-nilai Ilâhi dan yang lain berlandaskan empat elemen tersebut. Menjadi tepat jika
perbandingan itu antara peradaban Barat dengan peradaban Arab atau negara Islam, yang
perbedaannya bersifat horisontal. Oleh karena sumber utama Islam adalah Qur’an dan
Hadis, maka untuk mengetahui apa saja nilai-nilai yang menjadi pilar peradaban Islam, kita
harus kembali ke dua sumber itu.
Sebuah peradaban tidak bisa dipisahkan dari pengetahuan. Pengetahuan adalah
syarat pertama dan utama bagi majunya sebuah bangsa. Tanpa pengetahuan sebuah bangsa
akan tertinggal, bahkan akan binasa. Menurut Muhammad Taqi Misbah dan Muhammad
Baqir Shadr bahwa berpengetahuan merupakan sesuatu yang aksioma (badîhî) dan tidak
perlu dipertanyakan lagi, apalagi diperdebatkan, karena ia bagian dari ciri yang paling
utama bagi manusia, atau menurut Muthahhari, berpengetahuan adalah bagian dari fitrah
manusia. Qur’an banyak mengajak manusia agar merenungi benda-benda yang ada di jagat
raya dan menantang manusia untuk menyibak rahasia-rahasia alam semesta. Misalnya ayat
yang berbunyi,” Hai kelompok jin dan manusia, jika kalian sanggup menembus lorong-
lorong langit dan bumi, maka tembuslah. Kalian tidak dapat menembusnya kecuali dengan
sulthan “.Sebagian ahli tafsir menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ‘sulthan ‘ dalam
ayat ini adalah ilmu pengetahuan.
Meskipun Nabi SAW menurut sebagian, seorang yang ummi (buta huruf),
tetapi beliau menyuruh para sahabatnya agar belajar baca-tulis, karena kemampuan
membaca dan menulis adalah syarat bagi majunya seseorang dan sebuah masyarakat.
Setelah perang Badar berakhir, dan kaum Muslimin menahan sejumlah orang Musyrik
Mekkah, beliau bersabda, “ Barangsiapa dari para tahanan ada yang mengajarkan baca-
tulis kepada sepuluh pemuda dan anak-anak Anshar, maka dia dibebaskan tanpa diminta
uang tebusan “. Pada masa beliau, para sahabat menjadi orang-orang yang pandai
membaca dan menulis. Itu merupakan prestasi tersendiri bagi bangsa Arab yang tidak
begitu memperhatikan masalah baca-tulis. Beliau juga sangat apresiatif terhadap
pengalaman dan eksperimen orang dan bangsa lain. Beliau mempraktekkan usulan Salman
al Farisi untuk membuat parit besar dalam perang Khandaq, sesuatu yang lazim dilakukan
oleh pasukan Persia ketika perang menghadapi musuh. Lebih dari itu, beliau menekankan
pentingnya belajar dari usia dini sampai akhir hayat, meski dengan menempuh jarak yang
sangat jauh. Perhatian terhadap pengetahuan dan penekanan yang kuat terhadap belajar
merupakan ciri yang paling menonjol dalam ajaran Islam. Hal itu menunjukkan betapa
Nabi saw. ingin membangun masyarakat yang cerdas dan pandai. Sejak memeluk Islam,
bangsa Arab berubah jati dirinya dari sebuah bangsa yang terbelakang dan tidak
dipertimbangkan oleh Romawi dan Persia menjadi bangsa yang disegani dan dihormati
karena ilmu pengetahuan.
Pilar peradaban Islam yang lain adalah tawhid dan iman. Dalam Qur’an
disebutkan, “Jika penduduk kota itu beriman dan betaqwa, niscaya Kami buka di atas
mereka berkat dari langit dan bumi“. Hakikat tauhid dan iman kepada Allah swt. adalah
membebaskan manusia dari belenggu-belenggu penghambaan kepada selain Allah. Dalam
ucapan “ Tiada tuhan selain Allah “ terdapat pesan yang jelas bahwa ketundukan dan
penghambaan hanya kepada Allah swt. Dalam pandangan orang yang beriman, selain
Allah swt. tidak punya hak untuk disembah dan ditunduki, dan ia memandang seluruh
keberadaan selainNya sama seperti dirinya sebagai hamba. Diriwayatkan bahwa Dihyah al
Kalbi, seorang sahabat Nabi, diperintahkan oleh Nabi saw.untuk membawa surat kepada
Kaisar Romawi. Pada waktu itu, setiap orang yang akan menghadapi Kaisar diharuskan
sujud dihadapannya. Dihyah dengan tegas menolak itu dan berkata,”Aku datang kepadamu
untuk membebaskan manusia dari menyembah selain Allah dan hanya menyembah Tuhan
segala tuhan”.
Islam tidak hanya membebaskan manusia dari segala kekuatan eksternal saja,
selain Allah, tetapi juga membebaskan manusia dari kekuatan internal, yaitu hawa
nafsu.Karena dalam banyak ayat dan hadis diterangkan bahwa hawa nafsu cenderung ke
keburukan dan kehancuran. Disinilah letak perbedaan antara peradaban Islam dengan
peradaban lainnya, termasuk peradaban Barat. Peradaban Barat secara khsusus dibangun di
atas pilar ilmu pengetahuan rasional-empiris yang notabene materialistik, sama dengan
peradaban yang pernah ada sebelumnya. Tidak terpikirkan dalam benak mereka, jika
mereka tidak bersentuhan dengan agama apapun, bahwa peradaban yang dibangun tanpa
tawhid dan iman, sehingga mengikuti hawa nafsu, justru akan menghancurkan nilai-nilai
kemanusiaan. Peradaban demikian biasanya tidak lepas dari kerakusan, kebebasan tanpa
kendali dan dekadensi moral. Dan pada akhirnya ia menuju ke kehancuran.
Pada dasarnya, Nabi Muhammad saw. dengan bimbingan Allah swt. merubah
peradaban yang bersifat jahiliyyah menjadi peradaban Islam yang tegak di atas ilmu
pengetahuan dan iman. Qur’an sendiri mengumpamakan,” orang-orang beriman seperti
tanaman yang mengeluarkan tunasnya, dan tunas itu menjadikan tanaman itu kuat,
kemudian besar dan tegak lurus di atas pokoknya, sehingga menyenangkan hati para
penanamnya”. Muthahhari dalam mengomentari ayat ini berkata, “Sungguh betapa agung
contoh yang digambarkan Allah tentang kaum Muslimin pada masa permulaan Islam.
Inilah contoh yang mengarah kepada perkembangan dan kesempurnaan. Inilah contoh bagi
orang-orang Mukmin yang senantiasa bergerak menuju kemajuan dan kesempurnaan”.
Sejarah Islam pada masa itu adalah saksi akan kehebatan peradaban Islam. Will Durant,
seperti yang dikutip oleh Muthahhari, berkata dalam bukunya, The Story of Civilization, “
Tidak ada peradaban yang lebih mengagumkan seperti perdaban Islam”.
BAB III

PENUTUP

Berdasar penjabaran yang telah disampaikan, bahwa keimanan manusia telah Allah
tulisakan dalam Al-Quran dan telah disebutkan pula As-Sunnah. Tingkat keimanan seseorang
berbeda-beda. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa keimanan seorang dapat berubah
menjadi lebih baik melalui beberapa tingkat, mulai dari dasar hingga tingkatan yang lebih tinggi.
Namun karena keimanan seseorang dari hati, terkadang iman ini dapat naik ataupun turun.
Tetapi, apabila masing-masing dari kita dapat beristiqomahinsyallah iman kita akan tetap terjaga.
Setiap orang bertanggung jawab atas apa yang dilakukan, begitupun seorang ilmuwan. Seorang
ilmuwan memiliki komitmen yang tinggi untuk membina dan membangun masyarakat. Sebagian
tanggung jawab moralnya terhadap keilmuan yang dimiliki serta tanggung jawab perannya
sebagai bagian dari masyarakat. Sebagai seorang yang bekerja dan mendalami ilmu pengetahuan
dengan tekun dan sungguh-sunggu, seorang ilmuwan memiliki tanggung jawab sebagai penyeru
ke jalan Allah SWT dan petunjuk ke jalan yang benar (amar ma’ruf nahi mungkar). Kewajiban
ilmuwan terhadap bangsa yaitu sebagai khalifah Allah SWT di bumi. Karena sebagai hamba
yang dipercayai oleh Allah SWT, maka seorang ilmuwan harus bertanggung jawab atas amanat
yang dipikulnya.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini banyak kekurangan terutama
mengenai tata bahasa dan juga refrensi. Juga kita sebagai mahasiswa semester awal menyadari
akan kekurangan itu. Maka, penulis berharap apabila terdapat kesalahan mohon dimaklumi dan
dimaafkan karena keterbatasan penulis. Juga kritik ataupun saran, sangat diharapkan agar di
kemudian hari dapat menghasilkan makalah maupun karya tulis yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA

Hadisaputra ihsan .1981.Anjuran untuk Menuntut Ilmu Pengetahuan Pendidikan dan


Pengalamannya . Surabaya ; Al – Ikhlas
Winarto, Joko. 2011. Tugas dan Tanggung Jawab Ilmuan.
Arif. 2011. Tanggung Jawab Ilmuwan Terhadap Alam.
Marsyah. 2015. Ideologi Tugas dan Tanggung Jawab.
http://www.referensimakalah.com/2012/07/pengertian-iman-menurut-bahasa-dan.html
http://ibnusalima2.blogspot.com/2013/01/sifat-sifat-orang-beriman.html
http://matasalman.com/keutamaan-orang-yang-berilmu/
http://id.wikipedia.org/wiki/Rukun_Iman
http://suhailafarisablog.blogspot.com/2013/01/keimanan-dalam-agama-islam.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Keimanan_dalam_agama_Islam
http://faizalahsan42.wordpress.com/2012/04/20/iman-dan-macam-macamnya/
http://nasrudiyanto.abatasa.co.id/post/detail/15721/makna--hakikat-iman.html

Anda mungkin juga menyukai