Anda di halaman 1dari 25

IPTEK DAN SENI

DALAM KONSEP ISLAM

AKADEMI TEKNIK INFORMATIKA


TUNAS BANGSA JAKARTA

UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH


Pendidikan Agama Islam
yang dibina oleh :
Bapak Saad Budiman Lubis, S.Pd.I., M.

KELOMPOK : 4 (Empat)
Muhamad Roy Aslah NIM : 22275505056
M habil Sulaiman NIM : 2227505046
Devina Eka Wulandari NIM: 2227505024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT Yang Maha Esa, yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-NYA, sehingga penulis dapat menyelesaikan
Makalah Pendidikan Agama Islam yang berjudul IPTEK dan Seni dalam
Konsep Islam makalah ini bertujuan untuk meningkatkan wawasan dan
pengetahuan serta dapat berpikir kritis tentang bagaimana ilmu, pengetahuan,
teknologi, dan seni yang berkaitan dengan Pendidikan Agama Islam terutama
IPTEK dan Seni dalam Konsep Islam.
Terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada dosen
pembimbing matakuliah Pendidikan Agama Islam Bapak Saad Budiman Lubis
S,Pdi,M . yangtelah membimbing kami sehingga dapat menyusun makalah ini.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberi balasan atas segala bantuan yang
diberikan, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Akhirnya, dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan kritik
dan saran demi kesempurnaan makalah ini. Harapan saya, semoga karya yang
sederhana ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, penulis khususnya dan
pembaca pada umumnya.
.

Jakarta, September 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR....................................................................................... i
DAFTAR ISI.....................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah............................................................................ 2
C. Tujuan...............................................................................................2
D. Manfaat.............................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN
A. Deinisi IPTEK dan Seni................................................................... 4
B. Jenis-jenis Metode Mengajar............................................................6
C. Paradikma Hubungan Agama dengan IPTEK..................................8
D. Integrasi Iman, IPTEK dan Seni.....................................................12
E. Seni yang Halal dan Seni yang Haram...........................................16

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan.....................................................................................20
B. Saran...............................................................................................21

DAFTAR RUJUKAN.....................................................................................22

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dizaman modern yang canggih seperti saat ini, kemajuan akan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) dan seni, sangatlah berpengaruh terhadap
segala aspek dalam kehidupan manusia. Tidak dapat dipungkiri, keberadaan
IPTEK dan seni tidak pernah lepas dengan keberadaan manusia. Manusia
sebagai subjek dari berkembangnya ilmu pengetahuan itu sendiri. Dengan
berkembangnya ilmu pengetahuan, maka berkembanglah pula teknologi dan
seni.
Peran Islam dalam perkembangan iptek pada dasarnya ada 2 (dua). Pertama,
menjadikan Aqidah Islam sebagai paradigma ilmu pengetahuan. Paradigma
inilah yang seharusnya dimiliki umat Islam, bukan paradigma sekuler seperti
yang ada sekarang. Paradigma Islam ini menyatakan bahwa Aqidah Islam wajib
dijadikan landasan pemikiran (qa’idah fikriyah) bagi seluruh ilmu pengetahuan.
Ini bukan berarti menjadi Aqidah Islam sebagai sumber segala macam ilmu
pengetahuan, melainkan menjadi standar bagi segala ilmu pengetahuan. Maka
ilmu pengetahuan yang sesuai dengan Aqidah Islam dapat diterima dan
diamalkan, sedang yang bertentangan dengannya, wajib ditolak dan tidak boleh
diamalkan. Kedua, menjadikan Syariah Islam (yang lahir dari Aqidah Islam)
sebagai standar bagi pemanfaatan iptek dalam kehidupan sehari-hari. Standar
atau kriteria inilah yang seharusnya yang digunakan umat Islam, bukan standar
manfaat (pragmatisme/utilitarianisme) seperti yang ada sekarang. Standar
syariah ini mengatur, bahwa boleh tidaknya pemanfaatan iptek, didasarkan pada
ketentuan halal-haram (hukum-hukum syariah Islam). Umat Islam boleh
memanfaatkan iptek jika telah dihalalkan oleh Syariah Islam. Sebaliknya jika
suatu aspek iptek dan telah diharamkan oleh Syariah, maka tidak boleh umat
Islam memanfaatkannya, walaupun ia menghasilkan manfaat sesaat untuk
memenuhi kebutuhan manusia.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dunia, yang kini dipimpin oleh
perdaban barat satu abad terakhir ini, mencengangkan banyak orang di berbagai

1
2

penjuru dunia. Kesejahteraan dan kemakmuran material (fisikal) yang


dihasilkan oleh perkembangan iptek modern membuat orang lalu mengagumi
dan meniru- niru gaya hidup peradaban barat tanpa dibarengi sikap kritis
trhadap segala dampak negatif yang diakibatkanya.
Pada dasarnya kita hidup di dunia ini tidak lain untuk beribadah kepada
Allah SWT. Ada banyak cara untuk beribadah kepada Allah SWT seperti sholat,
puasa, dan menuntut ilmu. Menuntut ilmu ini hukumnya wajib. Seperti sabda
Rasulullah SAW: “menuntut ilmu adalah sebuah kewajiban atas setiap muslim
laki-laki dan perempuan”. Ilmu adalah kehidupanya islam dan kehidupanya
keimanan.

B. Rumusan Masalah
Dengan latar belakang yang sudah dirumuskan, maka beberapa hal yang
ingin diketahui adalah:
1. Apakah definisi dari IPTEK dan seni?
2. Bagaimana seni dalam konsep islam?
3. Bagaimana paradigma hubungan agama dan IPTEK?
4. Bagaimana integrasi iman, IPTEK, dan seni?
5. Bagaimanakah seni yang halal dan seni yang haram?

C. Tujuan
Dari rumusan masalah di atas terdapat beberapa tujuan yang ingin dapatkan
di antaranya adalah:
1. Memahami bagaimana definisi dari IPTEK dan seni.
2. Memahami bagaimana seni dalam konsep islam.
3. Memahami bagaimana paradigma hubungan agama dan IPTEK.
4. Memahami bagaimana integrasi iman, IPTEK, dan seni.
5. Memahami bagaimana seni yang halal dan seni yang haram.
3

D. Manfaat
Dari tujuan di atas terdapat beberapa manfaat yang ingin didapatkan di
antaranya adalah:
1. Agar penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya dapat
memahami bagaimana definisi dari IPTEK dan seni.
2. Agar penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya dapat
memahami mengenai seni dalam konsep islam.
3. Agar penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya dapat
memahami mengenai bagaimana paradigma hubungan agama dan
IPTEK.
4. Agar penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya dapat
memahami mengenai bagaimana integrasi iman, IPTEK, dan seni.
5. . Agar penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya dapat
memahami mengenai bagaimana seni yang halal dan seni yang haram.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Deinisi IPTEK dan Seni


1. Definisi IPTEK
Dalam sudut pandang filsafat ilmu, pengetahuan dengan ilmu sangat
berbeda maknanya. Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui
manusia melalui tangkapan panca indra, intuisi dan firasat sedangkan, ilmu
adalah pengetahuan yang sudah diklasifikasi, diorganisasi, disistematisasi dan
diinterpretasi sehingga menghasilkan kebenaran obyektif, sudah diuji
kebenarannya dan dapat diuji ulang secara ilmiah. Secara etimologis kata ilmu
berarti kejelasan, oleh karena itu segala yang terbentuk dari akar katanya
mempunyai ciri kejelasan. Dalam Al-Qur’an, ilmu digunakan dalam arti
proses pencapaian pengetahuan dan obyek pengetahuan sehingga memperoleh
kejelasan. Dalam kajian filsafat, setiap ilmu membatasi diri pada salah satu
bidang kajian. Sebab itu seseorang yang memperdalam ilmu tertentu disebut
sebagai spesialis, sedangkan orang yang banyak tahu tetapi tidak mendalam
disebut generalis.
Pandangan Al-Qur’an tentang ilmu dan teknologi dapat diketahui prinsip-
prinsipnya dari analisis wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad
SAW. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia
telah menciptakan manusia dari segumpal darah, Bacalah, dan Tuhanmulah
Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam,
Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya (Q.S. Al-A’laq: 1-
5). Istilah teknologi merupakan produk ilmu pengetahuan. Dalam sudut
pandang budaya, teknologi merupakan salah satu unsur budaya sebagai hasil
penerapan praktis dari ilmu pengetahuan. Meskipun pada dasarnya teknologi
juga memiliki karakteristik obyektif dan netral. Dalam situasi tertentu
teknologi tidak netral lagi karena memiliki potensi untuk merusak dan potensi
kekuasaan. Disinilah letak perbedaan ilmu pengetahuan dengan teknologi.
Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), teknologi diartikan sebagai
“kemampuan teknik yang berlandaskan pengetahuan ilmu eksakta dan
berdasarkan proses teknis”.

4
5

Teknologi juga dapat membawa dampak positif berupa kemajuan dan


kesejahteraan bagi manusia juga sebaliknya dapat membawa dampak negative
berupa ketimpangan-ketimpangan dalam kehidupan manusia dan
lingkungannya yang berakibat kehancuran alam semesta. Dalam pemikiran
islam, ada dua sumber ilmu yaitu akal dan wahyu. Keduanya tidak boleh
dipertentangkan. Manusia diberi kebebasan dalam mengembangkan akal
budinya berdasarkan tuntunan Al-Qur’an dan sunah rasul. Atas dasar itu ilmu
dalam pemikiran islam ada yang bersifat abadi (mutlak) karena bersumber dari
allah. Ada pula ilmu yang bersifat perolehan (nisbi) karena bersumber dari
akal pikiran manusia.

2. Pengertian Seni
Dalam bahasa Sanskerta, kata seni disebut cilpa. Sebagai kata sifat, cilpa
berarti berwarna, dan kata jadiannya su-cilpa berarti dilengkapi dengan
bentuk-bentuk yang indak atau dihiasi dengan indah. Sebagai kata benda ia
berarti pewarnaan, yang kemudian berkembang menjadi segala macam
kekriaan yang artistik. Cilpacastra adalah buku atau pedoman bagi para cilpin,
yaitu tukang, termasuk didalamnya apa yang sekarang disebut seniman.
Memang dahulu belum ada perbedaan antara seniman dan tukang. Pemahaman
seni adalah yang merupakan ekspresi pribadi belum ada dan seni adalah
ekspresi keindahan masyarakat yang bersifat kolektif. Yang demikian ini
ternyate tidak hanya terdapat di India dan Indonesia. Juga terdapat di Barat
pada masa lampau.
Dalam bahasa Latin pada abad pertengahan, ada terdapat istilah-istilah ars,
artes, dan artista. Ars adalah teknik atau craftsmanship, yaitu ketangkasan dan
kemahiran dalam mengerjakan sesuatu; adapun artes berarti kelompok orang-
orang yang memiliki ketangkasan atau kemahiran; artista adalah anggota yang
ada didalam kelompok-kelompok itu. Ars inilah yang kemudian berkembang
menjadi I’arte (italia), I’art (Perancis), Elarte (Spanyol), dan Art (Inggris),
dan bersamaan dengan itu isinyapun berkembang sedikit demi sedikit kearah
pengertiaannya yang sekarang. Tetapi di Eropa ada juga istilah-istilah yang
lain, orang Jerman menyebut seni dengan Kunst dan orang Belanda dengan
Kunst, yang berasal dari kata lain walaupun dengan pengertian yang sama.
Bahasa Jerman juga menyebut dengan istilah die Art yang berarti cara, jalan,
6

atu modus, yang juga dapat dikembalikan pada asal mula pengertian dan
kegiatan seni, namun demikian die Kunst-lah yang di angkat untuk istilah
tersebut.
.
B. Seni Dalam Konsep Islam
Pandangan Islam tentang seni. Seni merupakan ekspresi keindahan. Dan
keindahan menjadi salah satu sifat yang dilekatkan Allah pada penciptaan
jagat raya ini. Allah melalui kalamnya di Al-Qur’an mengajak manusia
memandang seluruh jagat raya dengan segala keserasian dan keindahannya.
Allah berfirman: “Maka apakah mereka tidak melihat ke langit yang ada di
atas mereka, bagaimana Kami meninggikannya dan menghiasinya, dan tiada
baginya sedikit pun retak-retak?” [QS 50: 6].
Allah itu indah dan menyukai keindahan. Inilah prinsip yang didoktrinkan
Nabi Muhammad SAW kepada para sahabatnya. Ibnu Mas’ud meriwayatkan
bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Tidak masuk surga orang yang di dalam hatinya terbetik sifat sombong
seberat atom.” Ada orang berkata,” Sesungguhnya seseorang senang
berpakaian bagus dan bersandal bagus.” Nabi bersabda,” Sesungguhnya Allah
Maha Indah, menyukai keindahan. Sedangkan sombong adalah sikap menolak
kebenaran dan meremehkan orang lain.” (HR. Muslim).
Bahkan salah satu mukjizat Al-Qur’an adalah bahasanya yang sangat
indah, sehingga para sastrawan arab dan bangsa arab pada umumnya merasa
kalah berhadapan dengan keindahan sastranya, keunggulan pola redaksinya,
spesifikasi irama, serta alur bahasanya, hingga sebagian mereka menyebutnya
sebagai sihir. Dalam membacanya, kita dituntut untuk menggabungkan
keindahan suara dan akurasi bacaannya dengan irama tilawahnya sekaligus.
Rasulullah bersabda:
“Hiasilah Al-Qur’an dengan suaramu.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Nasa’I,
Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Darimi).
Maka manusia menyukai kesenian sebagai representasi dari fitrahnya
mencintai keindahan. Dan tak bisa dipisahkan lagi antara kesenian dengan
kehidupan manusia. Namun bagaimana dengan fenomena sekarang yang
ternyata dalam kehidupan sehari-hari nyanyian-nyanyian cinta ataupun
gambar-gambar seronok yang diklaim sebagai seni oleh sebagian orang
7

semakin marak menjadi konsumsi orang-orang bahkan anak-anak.Sebaiknya


di kembalikan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Bahwa dalam Al-Qur’an
disebutkan:
“Dan diantara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang
tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa
pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu sebagai olok-olokan. Mereka itu
memperoleh azab yang menghinakan.” (QS. Luqman: 6)
Jikalau kata-kata dalam nyanyian itu merupakan perkataan-perkataan yang
tidak berguna bahkan menyesatkan manusia dari jalan Allah, maka HARAM
nyanyian tersebut. Nyanyian-nyanyian yang membuat manusia terlena,
mengkhayalkan hal-hal yang tidak patut maka kesenian tersebut haram
hukumnya
Menurut Seyyed Hossein Nasr, seni Islam merupakan hasil dari
pengejawantahan Keesaan pada bidang keanekaragaman. Artinya seni Islam
sangat terkait dengan karakteristik-karakteristik tertentu dari tempat
penerimaan wahyu al-Qur’an yang dalam hal ini adalah masyarakat Arab. Jika
demikian, bisa jadi seni Islam adalah seni yang terungkap melalui ekspresi
budaya lokal yang senada dengan tujuan Islam. Sementara itu, bila kita
merujuk pada akar makna Islam yang berarti menyelamatkan ataupun
menyerahkan diri, maka bisa jadi yang namanya seni Islam adalah ungkapan
ekspresi jiwa setiap manusia yang termanifestasikan dalam segala macam
bentuknya, baik seni ruang maupun seni suara yang dapat membimbing
manusia kejalan atau pada nilai-nilai ajaran Islam.
Di sisi lain, dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan bahwa seni adalah
penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam jiwa manusia, dilahirkan
dengan perantaraan alat komunikasi kedalam bentuk yang dapat ditangkap
oleh indra pendengaran (seni suara), penglihatan (seni lukis dan ruang), atau
dilahirkan dengan perantaraan gerak (seni tari dan drama).
Dari difinisi yang kedua ini bisa jadi seni Islam adalah ekspresi jiwa kaum
muslim yang terungkap melalui bantuan alat instrumental baik berupa suara
maupun ruang. Hal ini juga bisa kita lihat dalam catatan sejarah bahwa dalam
perkembangannya baik seni suara maupun ruang termanifestasikan.
Dengan definisi demikian, maka setiap perkembangan seni baik pada masa
lampau maupun masa kini bisa dikatakan seni Islam asalkan memenuhi
8

kerangka dasar dari difinisi-difinisi di atas. Dengan kata lain, seni bisa kita
kategorikan seni Islam bukan terletak pada dimana dan kapan seni tersebut
termanifestasikan, melainkan pada esensi dari ajaran-ajaran Islam yang
terejahwantah dalam karya seni tersebut.

C. Paradikma Hubungan Agama dengan IPTEK


Manusia tidak hanya diminta tuhan untuk membaca atau mempelajari alam
tetapi juga manusia dan hubungan sosialnya bahkan juga dengan ilmu-ilmu
lainnya. Bahkan setelah kita membaca maka kita diperintahkan untuk merenng
kembali serta menyadari bahwa semua itu adalah bagian dari tuhan bukan
terpisah sebagai ilmu pengetahuan saja, semata-mata kemajuan teknologi, atau
material saja. Jika manusia tak mampu memberdayakan kemampuan nalar
(reasoning power) dalam dirinya, maka manusia dalam keadaan terputus (dari
mat rantai kehidupan) dan menjadi kehilangan arah.
Peran Islam dalam perkembangan iptek pada dasarnya ada 2 (dua),
diantaranya, adalah menjadikan Aqidah Islam sebagai paradigma ilmu
pengetahuan kemudian beikutnya menjadikan Syariah Islam (yang lahir dari
Aqidah Islam) sebagai standar bagi pemanfaatan iptek dalam kehidupan
sehari-hari. Berdasarkan tinjauan ideologi yang mendasari hubungan
keduanya, terdapat 3 (tiga) jenis paradigma :
Pertama, paradigma sekuler, yaitu paradigma yang memandang agama dan
iptek adalah terpisah satu sama lain. Sebab, dalam ideologi sekularisme Barat,
agama telah dipisahkan dari kehidupan. Agama tidak dinafikan eksistensinya,
tapi hanya dibatasi perannya dalam hubungan pribadi manusia dengan
tuhannya. Agama tidak mengatur kehidupan umum/publik. Paradigma ini
memandang agama dan iptek tidak bisa mencampuri dan mengintervensi yang
lainnya. Agama dan iptek sama sekali terpisah baik secara ontologis (berkaitan
dengan pengertian atau hakikat sesuatu hal), epistemologis (berkaitan dengan
cara memperoleh pengetahuan), dan aksiologis (berkaitan dengan cara
menerapkan pengetahuan).
Paradigma ini mencapai kematangan pada akhir abad XIX di Barat sebagai
jalan keluar dari kontradiksi ajaran Kristen (khususnya teks Bible) dengan
penemuan ilmu pengetahuan modern. Semula ajaran Kristen dijadikan standar
kebenaran ilmu pengetahuan. Tapi ternyata banyak ayat Bible yang
9

berkontradiksi dan tidak relevan dengan fakta ilmu pengetahuan. Contohnya,


menurut ajaran gereja yang resmi, bumi itu datar seperti halnya meja dengan
empat sudutnya. Padahal faktanya, bumi itu bulat berdasarkan penemuan ilmu
pengetahuan yang diperoleh dari hasil pelayaran Magellan. Kalau konsisten
dengan teks Bible, maka fakta sains bahwa bumi bulat tentu harus dikalahkan
oleh teks Bible. Ini tidak masuk akal dan problematis. Maka, agar tidak
problematis, ajaran Kristen dan ilmu pengetahuan akhirnya dipisah satu sama
lain dan tidak boleh saling intervensi.
Kedua, paradigma sosialis, yaitu paradigma dari ideologi sosialisme yang
menafikan eksistensi agama sama sekali. Agama itu tidak ada, dus, tidak ada
hubungan dan kaitan apa pun dengan iptek. Iptek bisa berjalan secara
independen dan lepas secara total dari agama. Paradigma ini mirip dengan
paradigma sekuler di atas, tapi lebih ekstrem. Dalam paradigma sekuler,
agama berfungsi secara sekularistik, yaitu tidak dinafikan keberadaannya, tapi
hanya dibatasi perannya dalam hubungan vertikal manusia-tuhan. Sedang
dalam paradigma sosialis, agama dipandang secara ateistik, yaitu dianggap
tidak ada (in-exist) dan dibuang sama sekali dari kehidupan.
Paradigma tersebut didasarkan pada pikiran Karl Marx (w. 1883) yang
ateis dan memandang agama (Kristen) sebagai candu masyarakat, karena
agama menurutnya membuat orang terbius dan lupa akan penindasan
kapitalisme yang kejam. Karl Marx mengatakan:
“Religion is the sigh of the oppressed creature, the heart of the heartless
world, just as it is the spirit of a spiritless situation. It is the opium of the
people.”
(Agama adalah keluh-kesah makhluk tertindas, jiwa dari suatu dunia yang tak
berjiwa, sebagaimana ia merupakan ruh/spirit dari situasi yang tanpa
ruh/spirit. Agama adalah candu bagi rakyat).
Berdasarkan paradigma sosialis ini, maka agama tidak ada sangkut
pautnya sama sekali dengan iptek. Seluruh bangunan ilmu pengetahuan dalam
paradigma sosialis didasarkan pada ide dasar materialisme, khususnya
Materialisme Dialektis. Paham Materialisme Dialektis adalah paham yang
memandang adanya keseluruhan proses perubahan yang terjadi terus menerus
melalui proses dialektika, yaitu melalui pertentangan-pertentangan yang ada
pada materi yang sudah mengandung benih perkembanganitu sendiri.
10

Ketiga, paradigma Islam, yaitu paradigma yang memandang bahwa agama


adalah dasar dan pengatur kehidupan. Aqidah Islam menjadi basis dari segala
ilmu pengetahuan. Aqidah Islam “yang terwujud dalam apa-apa yang ada
dalam al-Qur`an dan al-Hadits menjadi qaidah fikriyah (landasan pemikiran),
yaitu suatu asas yang di atasnya dibangun seluruh bangunan pemikiran dan
ilmu pengetahuan manusia. Paradigma ini memerintahkan manusia untuk
membangun segala pemikirannya berdasarkan Aqidah Islam, bukan lepas dari
aqidah itu. Ini bisa kita pahami dari ayat yang pertama kali turun, yang
artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan.”
(Qs. Al-Alaq: 1).
Ayat ini berarti manusia telah diperintahkan untuk membaca guna
memperoleh berbagai pemikiran dan pemahaman. Tetapi segala pemikirannya
itu tidak boleh lepas dari Aqidah Islam, karena iqra` haruslah dengan bismi
rabbika, yaitu tetap berdasarkan iman kepada Allah, yang merupakan asas
Aqidah Islam.
Paradigma Islam ini menyatakan bahwa, kata putus dalam ilmu
pengetahuan bukan berada pada pengetahuan atau filsafat manusia yang
sempit, melainkan berada pada ilmu Allah yang mencakup dan meliputi segala
sesuatu. Dalam firman Allah SWT :

“Dan adalah (pengetahuan) Allah Maha Meliputi segala sesuatu.” (Qs. an-
Nisaa`: 126).
Itulah paradigma yang dibawa Rasulullah Saw (w. 632 M) yang
meletakkan Aqidah Islam yang berasas Laa ilaaha illallah Muhammad
Rasulullah sebagai asas ilmu pengetahuan. Beliau mengajak memeluk Aqidah
Islam lebih dulu, lalu setelah itu menjadikan aqidah tersebut sebagai pondasi
dan standar bagi berbagai pengetahun. Ini dapat ditunjukkan misalnya dari
suatu peristiwa ketika di masa Rasulullah Saw terjadi gerhana matahari, yang
bertepatan dengan wafatnya putra beliau (Ibrahim). Orang-orang berkata,
“Gerhana matahari ini terjadi karena meninggalnya Ibrahim.” Maka
Rasulullah Saw segera menjelaskan:
11

“Sesungguhnya gerhana matahari dan bulan tidak terjadi karena kematian


atau kelahiran seseorang, akan tetapi keduanya termasuk tanda-tanda
kekuasaan Allah. Dengannya Allah memperingatkan hamba-hamba-Nya”
[HR. al-Bukhari dan an-Nasa`i]
Islam dilarang memepelajari ilmu astrologi yang disebutkan bahwa ilmu
itu tidak diperbolehkan karena mengandung unsur syirik. seperti yang
disebutkan juga dalam sebuah hadist yang mempelajari bintang-bintang.
Seperti hadist nabi sebagai yaitu berikut:
“Barang siapa yang mempelajari satu ilmu dari bintang-bintang (astrologi),
maka ia telah mempelajari satu bagian dari sihir. Sihirnya akan bertambah
dengan bertambahnya ilmu mereka” (HR. Abu Daud dan Ibn Majah melalui
Ibn Abbas)
Dengan jelas kita tahu bahwa Rasulullah Saw telah meletakkan Aqidah
Islam sebagai dasar ilmu pengetahuan, sebab beliau menjelaskan, bahwa
fenomena alam adalah tanda keberadaan dan kekuasaan Allah, tidak ada
hubungannya dengan nasib seseorang. Hal ini sesuai dengan aqidah muslim
yang tertera dalam al-Qur`an :

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya


malam dan siang terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang
yang berakal” (Qs. Al-Imran: 190).
Inilah paradigma Islam yang menjadikan Aqidah Islam sebagai dasar
segala pengetahuan seorang muslim. Paradigma inilah yang telah mencetak
muslim-muslim yang taat dan shaleh tapi sekaligus cerdas dalam iptek. Itulah
hasil dan prestasi cemerlang dari paradigma Islam ini yang dapat dilihat pada
masa kejayaan iptek Dunia Islam antara tahun 700 -1400 M. Pada masa inilah
dikenal nama Jabir bin Hayyan sebagai ahli kimia termasyhur, Al-Khawarzmi
sebagai ahli matematika dan astronomi, Al-Battani sebagai ahli astronomi dan
matematika, Al-Razi sebagai tokoh pakar kedokteran, ophtalmologi, dan
kimia, Tsabit bin Qurrah sebagai ahli kedokteran dan teknik, dan masih
banyak lagi.
12

D. Integrasi Iman, IPTEK dan Seni


Diakui bahwa iptek, disatu sisi telah memberikan “berkah” dan anugerah
yang luar biasa bagi kehidupan umat manusia. Namun disisi lain, iptek telah
mendatangkan “petaka” yang pada gilirannya mengancam nilai-nilai
kemanusiaan. Kemajuan dalam bidang iptek telah menimbulkan perubahan
sangat cepat dalam kehidupan uamt manusia. Perubahan ini, selain sangat
cepat memiliki daya jangkau yang amat luas. Hampir tidak ada segi-segi
kehidupan yang tidak tersentuh oleh perubahan. Perubahan ini pada
kenyataannya telah menimbulkan pergeseran nilai nilai dalam kehidupan
umat manusia, termasuk di dalamnya nilai-nilai agama, moral, dan
kemanusiaan.
Dalam pandangan islam, antara agama islam, ilmu pengetahuan, teknologi
dan sains terdapat hubungan yang harmonis dan dinamis yang terintegrasi
kedalam suatu system yang disebut Dinul Islam. Didalamnya terdapat tiga
unsur pokok, yaitu aqidah, syari’ah, dan akhlak dengan kata lain iman, ilmu
dan amal saleh. Didalam Al-Qur’an surat Ibrahim, Allah SWT telah
memberikan ilustrasi indah tentang integrasi antara iman, ilmu dan amal :

“Tidaklah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan


kalimat yang baik (Dinul Islam)seperti sebatang pohon yang baik, akarnya
kokoh menghujam ke bumi dan cabangnya menjulang kelangit. Pohon itu
mengeluarkan buahnya setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah
membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia agar mereka selalu
ingat.” (QS.Ibrahim; 24-25).
Secara lebih spesifik, integrasi Imtaq dan iptek ini diperlukan karena
empat alasan. Pertama, sebagaimana telah dikemukakan, iptek akan
memberikan berkah dan manfaat yang sangat besar bagi kesejahteraan hidup
umat manusia bila iptek disertai oleh asas iman dan takwa kepada Allah SWT.
Sebaliknya, tanpa asas Imtaq, iptek bisa disalahgunakan pada tujuan-tujuan
13

yang bersifat destruktif. Iptek dapat mengancam nilai-nilai kemanusiaan. Jika


demikian, iptek hanya absah secara metodologis, tetapi batil dan miskin secara
maknawi.
Kedua, pada kenyataannya, iptek yang menjadi dasar modernisme, telah
menimbulkan pola dan gaya hidup baru yang bersifat sekularistik,
materialistik, dan hedonistik, yang sangat berlawanan dengan nilai-nilai
budaya dan agama yang dianut oleh bangsa kita.
Ketiga, dalam hidupnya, manusia tidak hanya memerlukan sepotong roti
(kebutuhan jasmani), tetapi juga membutuhkan Imtaq dan nilai-nilai sorgawi
(kebutuhan spiritual). Oleh karena itu, penekanan pada salah satunya, hanya
akan menyebabkan kehidupan menjadi pincang dan berat sebelah, dan
menyalahi hikmat kebijaksanaan Tuhan yang telah menciptakan manusia
dalam kesatuan jiwa raga, lahir dan bathin, dunia dan akhirat.
Keempat, Imtaq menjadi landasan dan dasar paling kuat yang akan
mengantar manusia menggapai kebahagiaan hidup. Tanpa dasar Imtaq, segala
atribut duniawi, seperti harta, pangkat, iptek, dan keturunan, tidak akan
mampu alias gagal mengantar manusia meraih kebahagiaan. Kemajuan dalam
semua itu, tanpa iman dan upaya mencari ridha Tuhan, hanya akan
mengahsilkan fatamorgana yang tidak menjanjikan apa-apa selain bayangan
palsu.
“Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di
tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila
didatanginya air itu Dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. dan didapatinya
(ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan
amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya”.
(Q.S. An-Nur:39).
Maka integrasi Imtaq dan iptek harus diupayakan dalam format yang tepat
sehingga keduanya berjalan seimbang (hand in hand) dan dapat mengantar kita
meraih kebaikan dunia (hasanah fi al-Dunya) dan kebaikan akhirat (hasanah fi
al-akhirah) seperti do’a yang setiap saat kita panjatkan kepada Tuhan:
14

“Dan di antara mereka ada orang yang bendoa: “Ya Tuhan Kami, berilah
Kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah Kami dari
siksa neraka” (Q.S. Al-Baqarah :201).
Integrasi Imtaq dan iptek, berarti, kita harus membongkar filsafat ilmu
sekuler yang selama ini dianut. Kita harus membangun epistemologi islami
yang bersifat integralistik yang menegaskan kesatuan ilmu dan kesatuan Imtaq
dan iptek dilihat dari sumbernya, yaitu Allah SWT seperti banyak digagas oleh
tokoh-tokoh pendidikan Islam kontemporer. Selain pada pada aspek filsafat,
orientasi, tujuan, dan epistemologi pendidikan seperti telah diuraikan di atas,
integrasi Imtaq dan iptek itu perlu dilakukan dengan metode pembelajaran
yang tepat. Pendidikan Imtaq pada akhirnya harus berbicara tentang
pendidikan agama (Islam) di berbagai sekolah maupun perguruan tinggi.
Untuk mendukung integrasi pendidikan Imtaq dan iptek dalam sistem
pendidikan nasional kita, maka pendidikan agama Islam disemua jenjang
pendidikan tersebut harus dilakukan dengan pendekatan yang bersifat holistik,
integralistik dan fungsional.
Dengan pendekatan holistik, Islam harus dipahami secara utuh, tidak
parsial dan partikularistik. Pendidikan islam dapat mengikuti pola iman, Islam
dan Ihsan, atau pola iman, ibadah dan akhlakul karimah, tanpa terpisah satu
dengan yang lain, sehingga pendidikan Islam dan kajian Islam tidak hanya
melahirkan dan memparkaya pemikiran dan wacana keislaman, tetapi
sekaligus melahirkan kualitas moral (akhlaq al karimah) yang menjadi tujuan
dari agama itu sendiri. Pendidikan Islam dengan pendekatan ini harus
melahirkan budaya “berilmu amaliah dan beramal ilmiah”. Integrasi ilmu dan
amal, Imtaq dan iptek haruslah menjadi ciri dan sekaligus nilai tambah dari
pendidikan islam.
Secara pendekatan integralistik, pendidikan agama tidak boleh terpisah
dan dipisahkan dari pendidikan sains dan teknologi. Pendidikan iptek tidak
harus dikeluarkan dari pusat kesadaran keagamaan dan keislaman kita. Ini
berarti, belajar sains tidak berkurang dan lebih rendah nilainya dari belajar
agama. Belajar sains merupakan perintah Tuhan (Al -Quran), sama dan tidak
berbeda dengan belajar agama itu sendiri. Penghormatan Islam yang selama
ini hanya diberikan kepada ulama (pemuka agama) harus pula diberikan
kepada kaum ilmuan (Saintis) dan intelektual.
15

Secara fungsional, pendidikan agama harus berguna bagi kemaslahatan


umat dan mampu menjawab tantangan dan pekembangan zaman demi
kemuliaan Islam dan kaum muslim. Dalam perspektif Islam ilmu memang
tidak untuk ilmu dan pendidikan tidak untuk pendidikan semata. Pendidikan
dan pengembangan ilmu dilakukan untuk kemaslahatan umat manusia yang
seluas-luasnya dalam kerangka ibadah kepada Allah SWT.
Semetara dari segi metodologi, pendidikan dan pengajaran agama disemua
jenjang pendidikan tersebut, tidak cukup dengan metode rasional dengan
mengisi otak dan kecerdasan peserta didik semata-mata, sementara jiwa dan
spiritualitasnya dibiarkan kosong dan hampa. Pendidikan agama perlu
dilakukan dengan memberikan penekanan pada aspek afektif melalui praktik
dan pembiasaan, serta melalui pengalaman langsung dan keteladanan prilaku
dan amal sholeh. Dalam tradisi intelektual Islam klasik, pada saat mana Islam
mencapai puncak kejayaannya, aspek pemikiran teoritik (al aql al nazhari)
tidak pernah dipisahkan dari aspek pengalaman praksis (al aql al amali).
Pemikiran teoritis bertugas mencari dan menemukan kebenaran, sedangkan
pemikiran praksis bertugas mewujudkan kebenaran yang ditemukan itu dalam
kehidupan nyata sehingga tugas dan kerja intelektual pada hakekatnya tidak
pernah terpisah dari realitas kehidupan umat dan bangsa. Dalam paradigma
ini, ilmu dan pengembangan ilmu tidak pernah bebas nilai. Pengembangan
iptek harus diberi nilai rabbani (nilai ketuhanan dan nilai Imtaq), sejalan
dengan semangat wahyu pertama, iqra’ bismi rabbik. Ini berarti
pengembangan iptek tidak boleh dilepaskan dari Imtaq. Pengembangan iptek
harus dilakukan untuk kemaslahatan kemanusiaan yang sebesar-besarnya dan
dilakukan dalam kerangka ibadah kepada Allah SWT.
“Barang siapa ingin menguasai dunia dengan ilmu, barang siapa ingin
menguasai akhirat dengan ilmu, dan barang siapa ingin menguasai kedua-
duanya juga harus dengan ilmu” (Al-Hadist).
Penanaman kesadaran pentingnya nilai-nilai agama memberi jaminan
kepada siswa akan kebahagiaan dan keselamatan hidup, bukan saja selama di
dunia tapi juga kelak di akhirat. Jika hal itu dilakukan, tidak menutup
kemungkinan para siswa akan terhindar dari kemungkinan melakukan perilaku
menyimpang, yang justru akan merugikan masa depannya serta memperburuk
citra kepelajarannya. Untuk itu, komponen penting yang terlibat dalam
16

pembinaan keimanan dan ketakwaan (Imtaq) serta akhlak siswa di sekolah


adalah guru. Kendati faktor lain ikut mempengaruhi, tapi dalam pembinaan
siswa harus diakui guru faktor paling dominan. Ia ujung tombak dan garda
terdepan, yang memberi pengaruh kuat pada pembentukan karakter siswa.

E. Seni yang Halal dan Seni yang Haram


Dalam Ensiklopedi Indonesia seni adalah penjelmaan rasa indah yang
terkandung dalam jiwa manusia, yang dilahirkan dengan perantaraan alat
komunikasi ke dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh indera pendengar,
indera penglihatam, atau dilahirkan dengan perantaraan gerak.“Hukum asal
segala sesuatu adalah boleh”, dan “tidak ada hukum haram kecuali dengan
nash yang qath’i”. Nash yaitu dalil yang hanya memiliki satu indikasi makna
saja, sedangkan qath’i adalah pasti, yang biasanya harus memenuhi dua
persyaratan, baik itu wurudnya (sumbernya) yang berdasarkan Al-Qur’an dan
Hadits Mutawatir, dan qath’i dhalalah-nya (petunjuk lafazhnya), yaitu
muhkam (tidak ada kemungkinan multi penafsiran) dan sharih (jelas). Contoh
seni yang Islam cenderung membolehkan:
1. Seni Membaca Al – Qur’an (Tilawatil atau Qiro’atil Qur’an)
Sebagaimana Nabi Muhammad SAW melagukan Surat Al Fath ketika
Fathul Makkah atau sahabat Abu Musa Al Anshary yang paling bagus
bacaan Qur’annya. Dari Al-Barra’ bin ‘Azib RA, ia berkata: telah
bersabda Rasulullah SAW: “Hiasilah Al-Qur’an dengan suaramu”
(HR. Abu Dawud, An-Nasa’I dan lain-lainnya)
2. Seni Kaligrafi/Tulis
Kaligrafi adalah seni menulis sebuah tulisan, di Jepang menulis huruf
kanji dengan sebutan “Shodo”, “Seoye” di Korea dan di China disebut
dengan Shufa/Yi-shu. Sedangkan seni tulis arab sering disebut dengan
khat. Khusus kaligrafi yang baik dan sesuai dengan Islam adalah seni
kaligrafi yang isinya mengambil ayat-ayat Al-Quran. Bentuknya
bermacam-macam, tidak selalu pena diatas kertas, tetapi seringkali
juga ditatahkan di atas logam, bangunan, atau kulit.

3. Seni Arsitektur
17

Arsitektur selain sebagai ilmu dalam merancang bangunan, aritektur


juga adalah seni. Dalam artian yang lebih luas, arsitektur mencakup
merancang dan membangun keseluruhan lingkungan binaan, mulai dari
level makro yaitu perencanaan kota, perancangan perkotaan, arsitektur
lansekap, hingga ke level mikro yaitu desain bangunan, desain perabot
dan desain produk. Arsitektur juga merujuk kepada hasil-hasil proses
perancangan tersebut. Banyak manfaatnya dari seni arsitektur ini.
4. Seni Sastra
Seni sastra adalah semua jenis tulisan yang memiliki arti atau
keindahan tertentu. Al Qur’an termasuk seni sastra tertinggi yang
dimiliki oleh ummat Islam. Dengan seni sastra seseorang dapat
menyampaikan pikiran-pikiran atau ajaran ajaran tertentu dengan
indah.
5. Seni Kriya
Kriya adalah kegiatan seni yang menitik-beratkan kepada keterampilan
tangan dan fungsi untuk mengolah bahan baku yang sering ditemukan
di lingkungan menjadi benda-benda yang tidak hanya bernilai pakai,
tetapi juga bernilai estetis. Contohnya mengubah sampah ban bekas
menjadi kursi, sandal, ember, atau tempat sampah.

Adapun contoh seni yang cenderung tidak diperbolehkan oleh islam atara
lain, yakni:
1. Seni Rupa
Seni rupa adalah cabang seni yang membentuk karya seni dengan
media yang bisa ditangkap mata dan dirasakan dengan rabaan. Islam
membolehkan seni rupa selama tidak mengarah kepada maksiat dan
ingkar kepada Allah Tuhan semesta alam. Contoh seni rupa yang
dilarang adalah, menggambar manusia, apalagi ekspresi yang dapat
menimbulkan syahwat.
2. Menyanyi
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum menyanyi (al-
ghina’/at-taghanni). Sebagian mengharamkan nyanyian dan sebagian
lainnya menghalalkan. Masing-masing mempunyai dalilnya sendiri-
sendiri. Menyanyi yang diharamkan Islam karena:
18

a. “Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan


yang tidak berguna (lahwal hadits) untuk menyesatkan manusia
dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu
ejekan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.”
(Qs. Luqmân [31]: 6)
b. Hadits Aisyah ra Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya Allah
mengharamkan nyanyian-nyanyian (qoynah) dan
menjualbelikannya, mempelajarinya atau mendengar-kannya.”
Kemudian beliau membacakan ayat di atas. [HR. Ibnu Abi Dunya
dan Ibnu Mardawaih].
c. Hadits dari Ibnu Mas’ud ra, Rasulullah Saw bersabda: “Nyanyian
itu bisa menimbulkan nifaq, seperti air menumbuhkan kembang.”
[HR. Ibnu Abi Dunya dan al-Baihaqi, hadits mauquf].
d. Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Auf ra bahwa Rasulullah Saw
bersabda: “Sesungguhnya aku dilarang dari suara yang hina dan
sesat, yaitu: 1. Alunan suara nyanyian yang melalaikan dengan
iringan seruling syaitan (mazamirus syaithan). 2. Ratapan seorang
ketika mendapat musibah sehingga menampar wajahnya sendiri
dan merobek pakaiannya dengan ratapan syetan (rannatus
syaithan).”
3. Musik
Begitu juga dengan bermain musik, sebagian ulama berbeda pendapat
mengenai hukum bermain musik. Sebagian mengharamkannya dan
sebagian lainnya menghalalkannya. Hal ini berdasarkan pada hadits
dari Abu Malik Al-Asy’ari ra bahwa Rasulullah saw bersabda:
“Sesungguhnya akan ada di kalangan umatku golongan yang
menghalalkan zina, sutera, arak, dan alat-alat musik (al-ma’azif).”[HR.
Bukhari, Shahih Bukhari, hadits no. 5590].
4. Tarian
Tari adalah gerak tubuh secara berirama yang dilakukan di tempat dan
waktu tertentu untuk keperluan pergaulan, mengungkapkan perasaan,
maksud, dan pikiran. Bunyi-bunyian yang disebut musik pengiring tari
mengatur gerakan penari dan memperkuat maksud yang ingin
disampaikan. Gerakan tari berbeda dari gerakan sehari-hari seperti
19

berlari, berjalan, atau bersenam. Saat tarian tersebut mempertontonkan


aurat, dan mengundang nafsu birahi maka Islam melarang tarian
tersebut. Apalagi tarian yang ditujukan untuk memuja sesuatu dan
bersifat ritual syirik.
5. Seni Patung
Seni patung adalah cabang seni rupa yang hasil karyanya berwujud tiga
dimensi. Biasanya diciptakan dengan cara memahat, modeling
(misalnya dengan bahan tanah liat) atau kasting (dengan cetakan).
Islam melarang seni patung sebagaimana Hadist Rasulullah saw,
“Manusia yang paling pedih siksanya di hari kiamat ialah yang meniru
ciptaan Allah. Sedangkan para pelukis dan penggambar adalah orang-
orang yang meniru ciptaan Allah.” (Muttafaqun ‘alaih).
6. Seni Kontemporer
Seni Kontemporer adalah salah satu cabang seni yang terpengaruh
dampak modernisasi. Kontemporer itu artinya kekinian, modern atau
lebih tepatnya adalah sesuatu yang sama dengan kondisi waktu yang
sama atau saat ini; jadi seni kontemporer adalah seni yang tidak terikat
oleh aturan-aturan zaman dulu dan berkembang sesuai zaman
sekarang. Dari ‘Aisyah bahwasannya ia membeli bantal kecil yang ada
gambar-gambarnya. Ketika Rasulullah melihatnya beliau berdiri di
pintu tidak mau masuk. Maka ‘Aisyah mengetahui ada tanda kebencian
di muka Rasulullah. Lalu ia pun berkata: “Ya Rasulullah, aku bertaubat
kepada Allah dan Rasul-Nya, dosa apakah yang telah kuperbuat?”
Rasulullah menjawab: “Bagaimana halnya bantal itu?” ‘Aisyah
menjawab: “Saya membelinya agar engkau duduk dan bersandar di
atasnya.” Kata Rasulullah: “Sesungguhnya orang-orang yang membuat
gambar-gambar ini akan disiksa pada hari kiamat dan akan dikatakan
kepada mereka: “Hidupkanlah gambar-gambar yang kalian buat itu!”
Kemudian beliau bersabda: “Sesungguhnya rumah yang ada gambar-
gambar (yang bernyawa -pent) di dalamnya tidak akan dimasuki
malaikat.” (Muttafaqun ‘alaih)
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ilmu pengetahuan dalam Al-Quran adalah proses pencapaian segala sesuatu
yang diketahui manusia melalui tangkapan pancaindra sehingga memperoleh
kejelasan. Teknologi merupakan salah satu unsur budaya sebagai hasil
penerapan praktis dari ilmu pengetahuan yang obyektif. Seni adalah hasil
ungkapan akal budi serta ekspresi jiwa manusia dengan segala prosesnya. Seni
identik dengan keindahan dimana keindahan yang hakiki identik dengan
kebenaran. Apabila manusia berlaku adil dengan semua makhluk hidup dialam
ini, maka disinilah letak kebenaran norma moral yang baik karena manusia
hidup tidak hanya untuk beribadah kepada Allah. Dalam pandangan Islam,
antara iman, ilmu pengetahuan, teknologi danseni terdapat hubungan yang
harmonis dan dinamis yang terintegrasi dalam suatu sistem yang disebut Dienul
Islam.
Perkembangan iptek dan seni, adalah hasil dari segala langkah dan
pemikiran untuk memperluas, memperdalam, dan mengembangkan iptek dan
seni. Dari uraian di atas dapat dipahami, bahwa peran Islam yang utama dalam
perkembangan iptek dan seni setidaknya ada 2 (dua). Pertama, menjadikan
Aqidah Islam sebagai paradigma pemikiran dan ilmu pengetahuan. Kedua,
menjadikan syariah Islam sebagai standar penggunaan iptek dan seni. Jadi,
syariah Islam-lah, bukannya standar manfaat (utilitarianisme), yang seharusnya
dijadikan tolok ukur umat Islam dalam mengaplikasikan iptek dan seni.
Pengembangan IPTEKS yang lepas dari keimanan dan ketakwaan tidak
akan bernilai ibadah serta tidak akan menghasilkan manfaat bagi umat
manusiadan alam lingkungannya. Allah memberikan petunjuk berupa agama
sebagai alat bagi manusia untuk mengarahkan potensinya kepada keimanan dan
ketakwaan bukan pada kejahatan yang selalu didorong oleh nafsu dan amarah.
Karena pada dasarnya Manusia mendapat amanah dari Allah sebagai khalifah
untuk memelihara alam, agar terjaga kelestariannya dan potensinya untuk
kepentingan umat manusia. Oleh karena itu perlunya keimanan sebagai

20
21

pelengkap ilmu dalam penerapannya bukan hanya menghasilkan keuntungan


satu sisi saja.
Dari uraian tersebut dapat dipahami, bahwa peran Islam yang utama dalam
perkembangan iptek setidaknya ada 2 (dua). Pertama, menjadikan Aqidah Islam
sebagai paradigma pemikiran dan ilmu pengetahuan. Jadi, paradigma Islam, dan
bukannya paradigma sekuler, yang seharusnya diambil oleh umat Islam dalam
membangun struktur ilmu pengetahuan. Kedua, menjadikan syariah Islam
sebagai standar penggunaan iptek. Jadi, syariah Islam-lah, bukannya standar
manfaat (utilitarianisme), yang seharusnya dijadikan tolok ukur umat Islam
dalam mengaplikasikan iptek.
Jika dua peran ini dapat dimainkan oleh umat Islam dengan baik, insyaallah
akan ada berbagai berkah dari Allah kepada umat Islam dan juga seluruh umat
manusia. Mari kita simak firman-Nya:

“Kalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami


akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka
mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan
perbuatannya.” (Qs. al-A’raaf: 96).

B. Saran
Dengan adanya makalah ini diharapkan para pembaca memahami
bagaimana sebenarnya paradigma islam itu dalam menyaikapi Ilmu
pengetahuan, Teknologi dan seni tersebut. Selain itu, para pembaca juga
diharapkan mampu memahami bagaimana integrasi Imtaq (Iman dan Taqwa)
dalam Iptek dan seni tersebut.
Karena semakin berkembangnya zaman, keberadaan Iptek dan seni sangat
berpengaruh terhadap kepribadian hidup manusia. Untuk itu diperlukan
pegangan yang berfungsi sebagai pengendali akan adanya perubahan-
perubahan tersebut.
Akan tetapi makalah kami masih jauh dari sempurna sehingga kritik dan
saran dari pembaca sangat kami butuhkan guna pembuatan makalah kami
berikutnya yang lebih baik.
DAFTAR RUJUKAN

Abdul Wahhab ‘Azzam, Filsafat dan Puisi Iqbal, Bandung: Pustaka,


1985.

Al-Baghdadi, Abdurrahman. 1996. Sistem Pendidikan di Masa Khilafah


Islam. Bagil: Al-Izzah.

An-Nabhani, Taqiyuddin. 2001. Nizham Al-Islam. Tanpa Tempat


Penerbit: Hizbut Tahrir.

Bahreisj, Hossein. 1995. Menengok Kejayaan Islam. Surabaya: PT. Bina


Ilmu.

M.M. Syarif, (terj.) Iqbal Tentang Tuhan dan Keindahan, Bandung:


Mizan, 1984. Ismail Raji al-Faruqi, (terj.), Seni Tauhid: Esensi dan Ekspresi
Estetika Islam, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1999.

Samantho, Y.Ahmad. 2013. IPTEK dari Sudut Pandang Islam. From:


http://ahmadsamantho.wordpress.com.

Suyuti, Achmad. 2011. Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi


Islam Indonesia. From http://www.dakwahkeadilan.blogspot.com.

Taher, Tarmizi. 2014. Ummatan Wasathan. From www.republika.co.id

22

Anda mungkin juga menyukai