Disusun oleh:
Nama :Arif Rahman Deny Wibawono
NIM : 2220104012
Tim Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu dan pengetahuan merupakan hal yang penting untuk dimiliki setiap
individu. Ilmu dan pengetahuan dapat membantu manusia dalam
mengorientasikan diri untuk menyelesaikan problematika kehidupannya.
Dalam kehidupan sehari-hari definisi ilmu dan pengetahuan seringkali dipakai
secara rancu. Namun, apakah ilmu dan pengetahuan merupakan padanan
ataukah sebuah konsep yang berbeda?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “ilmu” didefinisikan sebagai (1)
pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut
metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di
bidang (pengetahuan) itu; (2) pengetahuan atau kepandaian (tentang soal
duniawi, akhirat, lahir, batin, dan sebagainya); dan (3) sifat mengetahui yang
wajib bagi Allah Swt. Sedangkan “pengetahuan” didefinisikan sebagai (1)
segala sesuatu yang diketahui; kepandaian; dan (2) segala sesuatu yang
diketahui berkenaan dengan hal (mata pelajaran). Merujuk pada definisi
tersebut, maka dapat dianalogikan bahwa ilmu ibarat sapu lidi dan pengetahuan
adalah helai demi helai lidinya.
Selama ini ada sebuah pepatah yang berkembang di dunia Islam dan
sangat diyakini kebenarannya bahwa agama Islam itu unggul dan tidak ada yang
lebih unggul darinya. Pernyataan ini telah dibuktikan oleh umat Islam dengan
membangun sebuah peradaban yang tidak tertandingi pada masanya, sekitar
tahun 750 M – 1250 M. Namun, kegemilangan peradaban umat Islam tersebut
pada saat ini hanya menjadi nostalgia keindahan sejarah. Revolusi industri di
Inggris dan revolusi sosial politik di Perancis pada abad ke-18 merupakan titik
awal pencerahan (renaissance) di Eropa menuju peradaban modern telah
berhasil mengantarkan bangsa-bangsa Barat mencapai sukses luar biasa dalam
pengembangan ilmu pengetahuan. Akibatnya, ilmu pengetahuan yang
1
berkembang dibentuk dari acuan pemikiran filsafat Barat yang dipengaruhi oleh
paham sekularisme, utilitarianisme, dan materialisme.
Merespons fenomena tersebut, pada saat konferensi dunia pertama
mengenai pendidikan Islam di Mekah pada tahun 1977, dua tokoh muslim
ternama yaitu Syed Naquib Al Attas dan Ismail Raji Al Faruqi mengemukakan
konsep islamisasi ilmu pengetahuan. Namun, pemikiran tersebut agaknya sulit
terwujud. Konsep islamisasi ilmu pengetahuan tidak sepenuhnya didukung oleh
tokoh dari kalangan umat Islam itu sendiri. Ada beberapa tokoh yang justru
menolak adanya usaha islamisasi ilmu pengetahuan, antara lain Fazlur Rahman
dan Bassam Tibi.
Pembahasan pada makalah ini akan berfokus pada pandangan-pandangan
Fazlur Rahman dan Bassam Tibi terkait islamisasi ilmu pengetahuan.
Komparasi pemikiran antara tokoh yang mengemukakan konsep islamisasi ilmu
pengetahuan dan yang kontra akan memberikan gambaran perlu tidaknya
gerakan islamisasi ilmu pengetahuan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam makalah ini adalah
untuk menjawab:
1. Apa hakikat ilmu dan pengetahuan?
2. Apa hakikat Islamisasi ilmu pengetahuan?
3. Bagaimana pemikiran yang kontra dengan Islamisasi ilmu pengetahuan
berdasarkan pendapat Fazzlur Rahman dan Bassam Tibi?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penulisan makalah ini adalah
untuk:
1. Mendeskripsikan hakikat ilmu dan pengetahuan.
2. Mendeskripsikan hakikat Islamisasi ilmu pengetahuan.
3. Menjabarkan pemikiran yang kontra dengan Islamisasi ilmu pengetahuan
berdasarkan pendapat Fazzlur Rahman dan Bassam Tibi.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
3) menjelaskan bahwa pengetahuan berlangsung dalam dua bentuk dasar yang
berbeda yang sulit ditentukan mana yang asli, paling berharga, dan paling
manusiawi. Model yang pertama ialah mengetahui hanya untuk sekadar tahu.
Yang kedua, pengetahuan yang digunakan dan diterapkan, seperti melindungi
diri, memperbaiki tempat tinggal, mempermudah pekerjaan, dan lain-lain.
Dari berbagai definisi tentang ilmu dan pengetahuan yang dijabarkan
sebelumnya, Mujib (2019: 46) memberikan analogi ilmu seperti sapu lidi, yakni
sebagian lidi yang sudah diraut dan dipotong ujung dan pangkalnya kemudian
diikat, sehingga menjadi sapu lidi. Sedangkan pengetahuan adalah lidi-lidi yang
masih berserakan di pohon kelapa, di pasar, dan tempat lainnya yang belum
tersusun dengan baik. Jadi, dari asumsi-asumsi, pendapat-pendapat yang telah
dikumpulkan, maka ilmu pengetahuan dapat didefinisikan sebagai seluruh
usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman
manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia.
4
(Anwar, 2020: 107).
Namun kegemilangan peradaban umat Islam tersebut pada saat ini
hanya menjadi artefak yang menyimpan nostalgia keindahan sejarah. Sedikit
demi sedikit umat Islam mulai mengalami kemunduran dan kelemahan di
berbagai bidang. Dimulai dengan terjadinya perpecahan di kalangan umat Islam
dan saling berebut kekuasaan di kalangan kerajaan yang mengakibatkan
merosotnya kekuasaan khalifah dan melemahnya posisi umat Islam sampai
akhirnya terjadi tragedi yang menjadi catatan hitam dalam sejarah, yaitu kota
Baghdad jatuh ke tangan Hulagu Khan yang diikuti dengan perusakan pusat-
pusat kegiatan ilmiah dan pembantaian secara besar-besaran terhadap para guru
dan ilmuwan. Hal ini mengakibatkan umat Islam kehilangan harmoni dan tidak
menentu arahnya. Kepahitan ini ditambah lagi dengan kekalahan umat Islam
dalam perang Salib III, sehingga konsekuensi yang harus diterima adalah
hancur dan hilangnya ruh peradaban. Umat Islam pun mengalami kemunduran
yang serius dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial, pendidikan dan
kebudayaan yang diikuti kekalahan dalam kehidupan intelektual, moral,
kultural, budaya dan ideologi.
Revolusi industri di Inggris dan revolusi sosial politik di Perancis pada
paruh kedua abad ke-18 merupakan titik awal pencerahan (renaissance) di
Eropa menuju peradaban modern telah berhasil mengantarkan bangsa-bangsa
Barat mencapai sukses luar biasa dalam pengembangan teknologi masa depan.
Sementara itu, dunia Islam dewasa ini merupakan kawasan bumi yang paling
terbelakang di antara penganut-penganut agama besar di dunia dikarenakan
begitu rendahnya kemajuan yang diraih dalam bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi. Umat Islam hanya menjadi penonton, bahkan “terbuai” oleh
kenikmatan semu yang disuguhkan oleh Barat dengan kecanggihan
teknologinya.
Melihat kenyataan tersebut, ide Islamisasi ilmu pengetahuan mulai
diperkenalkan lagi pada Konferensi Dunia Pendidikan Islam yang Pertama di
Makkah pada tahun 1977. Tokoh gerakan pemikiran Islamisasi ilmu
pengetahuan yang terkenal adalah Syed M. Naquib al-Attas dan Ismail Raji al-
5
Faruqi. Al-Attas menjelaskan bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan diharapkan
bisa membebaskan kaum muslim yang bertentangan dengan Islam bahkan
menjadikannya sekuler. Sehingga Al-Attas berfikir bagaimana bisa
mengembalikan kejayaan kaum muslim dan mengembalikan semuanya pada
fitrahnya. Fitrahnya disini diartikan sebagai pemusatan ilmu pengetahuan yang
berkembang ataupun yang sudah ada kembali pada peradaban Islam.
Sebagaimana puncak kejayaan yang sudah pernah diraih oleh kaum muslim.
Menurut Al-Faruqi, Islamisasi adalah usaha untuk mendefinisikan kembali,
menyusun ulang data, memikirkan kembali argumen dan rasionalisasi yang
berkaitan dengan data itu, menilai kembali kesimpulan dan tafsiran,
memproyeksikan kembali tujuan-tujuan dan melakukan semua itu sedemikian
rupa sehingga disiplin-disiplin ini memperkaya wawasan Islam dan bermanfaat
bagi cita-cita.
Secara umum, Islamisasi ilmu pengetahuan tersebut dimaksudkan untuk
memberikan respon positif terhadap realitas ilmu pengetahuan modern yang
sekularistik dalam model pengetahuan baru yang utuh dan integral tanpa
pemisahan di antaranya. Proses pengintegralan antara ilmu pengetahuan yang
berkembang di dunia Barat dengan konsep Islam dan ilmu pengetahuan
(Sholeh, 2017: 217-218).
Saude (2008: 172-173) menjelaskan Islamisasi ilmu pengetahuan, tidak
lain dari proses pengembalian atau pemurnian ilmu pengetahuan pada prinsip-
prinsip yang hakiki, yaitu tauhid, kesatuan makna kebenaran, dan kesatuan
sumber ilmu pengetahuan. Dari ketiga prinsip, yang disebut prinsip dasar ilmu
pengetahuan islami inilah, kemudian diturunkan aksiologi, epistemologi, dan
ontologi ilmu pengetahuan. Untuk mencapai maksud tersebut, menurut
Mulyanto dalam Saude, ada tiga prinsip yang perlu diperhatikan:
Pertama, ilmu pengetahuan tidaklah diabadikan melulu pada praksis,
tetapi dihambakan pada tujuan-tujuan memahami eksistensi hakiki alam dan
manusia. Ilmu pengetahuan tidaklah berkembang pada arah yang tak terkendali,
tetapi ia berkembang pada arah yang maknawi dan umat berkuasa untuk
mengendaliknnya. Kekuasaan manusia atas ilmu pengetahuan harus mendapat
6
tempat yang utuh eksistensi ilmu pengetahuan bukan melulu untuk mendesak
kemanusiaan, tetapi kekuasaanlah yang harus menggenggam ilmu pengetahuan
untuk kepentingan dirinnya dalam rangka penghambaan diri pada Sang
Pencipta Yang Agung. Ringkasnya, ilmu pengetahuan dikembangkan ke arah
di mana dicapai secara terus-menerus pengertian yang lebih baik, bahwa Allah
Yang Maha Esa-lah sumber dari segala sumber ilmu pengetahuan, yang dengan
itu, ilmu pengetahuan mengantarkan umat kepada peningkatan keimanan.
Mengabdikan ilmu pengetahuan pada tujuan-tujuan di atas, jelas akan
dipandang oleh kaum scientistme sebagai pemasungan ilmu pengetahuan secara
agamis. Oleh karena itu, umat harus siap menangkis tuduhan itu sebab tak ada
pilihan lain bagi kita daripada menerima keadaan terlumurinya ilmu
pengetahuan oleh paham sekularisme.
Kedua, membebaskan ilmu pengetahuan dari jeratan sekularisme.
Dengan demikian, tak ada lagi istilah kebenaran ilmiah dan kebenaran religius.
Yang ada hanyalah kebenaran tunggal, kebenaran ilmiah sekaligus kebenaran
religius. Melalui prinsip ini, kompromi yang terus-menerus antara hasil-hasil
ilmu dan hasil-hasil interpretasi manusia atas wahyu, menyatu dalam kebenaran
tunggal yang tidak memberikan pertentangan. Interpretasi wahyu mengenai
realitas, mendapat batu uji melalui hasil-hasil ilmu pengetahuan. Jadi, andai
interpretasi manusia atas realitas beradasarkan wahyu itu benar, maka ia pun
akan dibenarkan pernyataan ilmu pengetahuan; begitu pula sebaliknya,
pernyataan-pernyataan yang muncul dari ilmu pengetahuan, akan mendapat
batu uji dari wahyu, karena kita meyakini kebenaran tunggal yang datang dari
Allah semata.
Ketiga, menjadikan Alquran sebagai sumber ilmu pengetahuan. Dengan
demikian, kedua sumber ilmu pengetahuan, baik fenomena alam (ayat tak
tertulis), maupun Alquran memiliki kedudukan yang sama. Prinsip ini
menopang prinsip yang kedua karena ayat-ayat Allah selalu benar, tak akan ada
kontrdiksi di antara keduanya (wahyu dan alam). Dan bilamana memang belum
ada kesesuaian, maka kesalahan terletak pada manusia yang
menginterpretasikan dan mendeskripsikan ayat-ayat itu sendiri. Melalui
7
pemahaman terhadap ketiga prinsip di atas, yang satu sama lain saling
menopang, maka roda islamisasi pengetahuan digulirkan.
8
wajib meskipun harus diambil dari Barat. Hal yang strategis dan perlu dilakukan
adalah penguasaan ilmu pengetahuan oleh umat Islam sebagaimana dalam
sejarah kejayaan Islam klasik. Rahman dengan tegas mengatakan bahwa ilmu
tidak bisa diislamkan, hal ini karena tidak ada yang salah dengan ilmu tersebut.
Bahkan menurutnya kita tidak perlu bersusah payah mengupayakan Islamisasi
ilmu.
Rahman menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan tidak bisa diislamkan
karena ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang murni dan terlepas dari
kesalahan. Kesalahan yang terjadi adalah disebabkan oleh penggunanya, bukan
ilmunya (value free). Akan tetapi lanjut beliau, ilmu itu seperti senjata bermata
dua yang harus hati-hati dalam menggunakannya dan harus disertai tanggung
jawab dalam megamalkannya.
Rahman berkesimpulan bahwa kita tidak perlu bersusah payah membuat
rencana dan bagan bagaimana menciptakan ilmu pengetahuan Islami. Lebih
baik kita memanfaatkan waktu, energi, dan uang untuk berkreasi, karena
baginya ilmu pengetahuan itu memiliki dua kualitas, “seperti senjata dua sisi”
yang harus dipegang dengan hati-hati dan penuh tanggung jawab, ia sangat
penting digunakan dan didapatkan secara benar. Baik dan buruknya ilmu
pengetahuan bergantung pada kualitas moral pemakainya.
Pandangan Rahman ini ingin meneguhkan bahwa ilmu itu bebas nilai,
termasuk diberi label Islam sekalipun, karena ilmu sesungguhnya sudah Islam
dengan sendirinya. Bila ditelisik lebih jauh, latar belakang munculnya konsep
Islamisasi ilmu bukan tanpa alasan dan sebab musabab. Secara umum,
Islamisasi ilmu pengetahuan tersebut dimaksudkan untuk memberikan respon
positif terhadap realitas ilmu pengetahuan modern yang sekularistik dalam
model pengetahuan baru yang utuh dan integral tanpa pemisahan di antaranya.
Sebagian pemikir Muslim menyimpulkan bahwa Islamisasi pengetahuan pada
dasarnya adalah upaya pembebasan pengetahuan dari asumsi-asumsi Barat
terhadap realitas dan kemudian menggantikannya dengan pandangan Islam.
Begitu juga Bassam Tibi, seorang sarjana Islam di Jerman, berargumen
dengan halus untuk memperjuangkan keserasian Islam dan sekularisme. Tibi
9
menganggap bahwa Islamisasi merupakan suatu bentuk indegenisasi atau
pribumisasi (indegenization) yang berhubungan secara integral dengan strategi
kultural fundamentalisme Islam. Islamisasi dianggap sebagai penegasan
kembali ilmu pengetahuan lokal untuk menghadapi ilmu pengetahuan global
dan invansi kebudayaan yang berkaitan dengan itu, yaitu dewesternisasi
(Salafudin, 2013: 211).
Tibi dalam Isnawati (2020: 15-17) beranggapan bahwa usaha ini adalah
sebuah bentuk pelampiasan atas ketertinggalannya dengan pengetahuan barat.
Ilmu sejatinya sudah alami, bagaimanapun sumber pokok ilmu itu akan merujuk
pada Allah. Islamisasi ini dianggap sebagai usaha yang sia-sia dan membuang
waktu, karena bukan tidak mungkin, isu ini akan melemah dengan sendirinya
seiring dengan berjalannya waktu.
Tibi berpendapat bahwa Islam adalah keyakinan sedangkan Islamisme
disebut politik keagamaan yang mana keduanya memiliki makna dan perspektif
berbeda. Menurutnya, Islamisme bukan bagian dari Islam melainkan disebut
sebagai penjelasan yang bersangkutan dengan politik atas Islam. Islamisme
tidak sesederhana tentang masalah politik, dibuktikan dengan dasar dari
Islamisme yang tidak menjadikan Islam sebagai keyakinan, namun penerapan
ideologis atas agama pada ranah politik. Tibi mengaitkannya lebih jauh dengan
politik yang diagamaisasikan kemudian ditandai sebagai contoh popular dari
global phenomenon of religious fundamentalism.
Religionized politics merupakan bentuk dari sekelompok masyarakat
yang menunjukkan sistem politik yang diyakini sebagai kehendak dari Allah
SWT. Tibi menolak gerakan tersebut yang sudah menjalar hampir menyeluruh
di kancah dunia. Tibi menetapkan bahwa Islamisme bukan warisan Islam
melainkan pandangan teoritis terhadap politik masa kini atas Islam yang
berdasar pada penciptaan tradisi.
Tibi menyatakan bahwa fundamentalisme merupakan gejala ideologis
dari ide clash of civilizations. Oleh karena itu, Tibi tidak mencampuradukkan
antara Islam sebagai agama dan peradaban dengan Islam sebagai ideologi
politik. Tibi juga berpendapat bahwa Islam merupakan sistem budaya yang
10
perlu ditelaah proses politisasi sistem budaya tersebut untuk perubahan sosial.
Begitu pula dengan pentingnya mengamati proses ideologi politik yang
berdasar dari sistem budaya (Islam) menggunakan pendekatan gerakan
fundamentalis atau menegakkan kembali ajaran terdahulu dengan cara anarkis
serta menggunakan nama Islam.
Pandangan Bassam Tibi terhadap Islamisasi ilmu muatannya lebih
politis dan sosiologis. Disebabkan ummat Islam berada di dalam dunia
berkembang dan Barat adalah dunia maju, maka gagasan Islamisasi ilmu
merupakan gagasan lokal yang menentang gagasan global. Padahal, munculnya
Islamisasi ilmu pengetahuan disebabkan perbedaan pandangan-alam antara
Islam dan agama atau budaya lain berbeda. Islamisasi bukan saja mengkritik
budaya dan peradaban global Barat. Ia juga mentransformasi bentuk-bentuk
lokal, etnik supaya sesuai dengan pandangan-alam Islam. Islamisasi adalah
menguniversalkan bentuk-bentuk budaya, adat, tradisi dan lokalitas supaya
sesuai dengan agama Islam yang universal (Salafudin, 2013: 211-212).
11
BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Ilmu pengetahuan dapat didefinisikan sebagai seluruh usaha sadar untuk
menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari
berbagai segi kenyataan dalam alam manusia. Islamisasi ilmu pengetahuan
dimaksudkan untuk memberikan respon positif terhadap realitas ilmu
pengetahuan modern yang sekularistik dalam model pengetahuan baru yang
utuh dan integral tanpa pemisahan di antaranya. Proses pengintegralan antara
ilmu pengetahuan yang berkembang di dunia Barat dengan konsep Islam dan
ilmu pengetahuan.
Fazzlur Rahman menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan tidak bisa
diislamkan karena ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang murni dan terlepas
dari kesalahan. Kesalahan yang terjadi adalah disebabkan oleh penggunanya,
bukan ilmunya (value free). Sedangkan Bassam Tibi menganggap bahwa
Islamisasi merupakan suatu bentuk indegenisasi atau pribumisasi
(indegenization) yang berhubungan secara integral dengan strategi kultural
fundamentalisme Islam.
B. Saran
Dengan mengetahui hakikat Islamisasi ilmu pengetahuan dan beberapa
pendapat yang pro maupun kontra, kita sebagai insan cendekia seharusnya
dapat bijaksana dalam bersikap. Boleh jadi benar jika kita pro terhadap konsep
Islamisasi ilmu pengetahuan. Namun, barangkali juga tidak salah jika kita
kontra dengan konsep Islamisasi ilmu pengetahuan. Menurut hemat penulis,
yang lebih penting dari konsep Islamisasi ilmu pengetahuan adalah
memanfaatkan segala ilmu pengetahuan yang kita miliki untuk kemaslahatan
manusia.
12
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Heru Saiful dan Safiruddin Al Baqi. 2020. Isu Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Dalam Pemikiran Muhammad Mumtaz Ali. Ma’Alim: Jurnal Pendidikan
Islam Vol. 1, No. 2, Hal. 104-119.
Isnawati, Nurul Embun, dkk. 2020. Islamisasi Sains Syed Naquib Al-Attas dan
Penolakan Bassam Tibi. Cakrawala: Jurnal Studi Islam Vol. 15 No. 1, Hal.
12-18.
Makhmudah, Siti. 2018. Hakikat Ilmu Pengetahuan dalam Perspektif Modern dan
Islam. Al Murabbi Vol. 4, No. 2, Hal. 202-217.
Mu’minin, Himayatul. 2016. Islamisasi Ilmu Pengetahuan: Pro dan Kontra. An-
Nidhom: Jurnal Manajemen Pendidikan Islam Vol. 1 No. 1, Hal. 97-116.
Mujib, Abdul. 2019. Hakekat Ilmu Pengetahuan dalam Persfektif Islam. Ri’Ayah,
Vol. 4 No. 01, Hal. 44-59.
Salafudin. 2013. Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Forum Tarbiyah Vol. 11 No. 2, Hal.
194-216.
Saude. 2008. Sekularisasi dan Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Jurnal Hunafa Vol. 2
No. 2, Hal. 165-176.
Sholeh. 2017. Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Konsep Pemikiran Ismail Raji Al-
Faruqi dan Syed Muhammad Naquib Al-Attas). Jurnal Al-hikmah Vol. 14,
No. 2, Hal. 209-221.
Situmeang, Ivonne Ruth Vitamaya Oishi. 2021. Hakikat Filsafat Ilmu dan
Pendidikan dalam Kajian Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jurnal IKRA-ITH
Humaniora Vol. 5 No. 1, Hal. 76-92.
13
Ushuluddin Vol. 25 No. 2, Hal. 109-123.
14