Anda di halaman 1dari 26

Konstruk Pemikiran Tokoh Pendidikan di Indonesia

K.H. Ahmad Dahlan dan Ki Hadjar Dewantara

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu Pendidikan


Dosen Pengampu : Dr. Darodjat, M.Ag

Disusun oleh:

MURNIASIH (2220104005)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO

2022

1
Konstruk Pemikiran Tokoh Pendidikan di Indonesia

K.H. Ahmad Dahlan dan Ki Hadjar Dewantara

MURNIASIH
Mahasiswa Pascasarjana PBSI Universitas Muhammadiyah Purwokerto
e-mail: murniibunenadia@gmail.com

A. Pendahuluan
Kata ‘Pendidikan’ dan ‘Pengajaran’ itu seringkali dipakai bersama-sama.
Sebenarnya gabungan kedua kata itu dapat mengeruhkan pengertiannya yang
asli. Sebenarnya yang dinamakan ‘pengajaran’ (onderwijs) itu merupakan salah
satu bagian dari Pendidikan. Maksudnya, pengajaran itu tidak lain adalah
Pendidikan dengan cara memberi ilmu atau berfaedah buat hidup anak-anak,
baik lahir maupun batin.
Pendidikan mempunyai beragam jenis pengertian. Bisa dikatakan bahwa
tiap-tiap aliran hidup, baik aliran agama maupun aliran kemasyarakatan
mempunyai maksud yang berbeda. Tidak hanya maksud dan tujuannya yang
berbeda-beda, cara mendidiknya juga tidak sama. Walaupun bermacam-macam
maksud, tujuan, cara, bentuk, syarat-syarat dan alat-alat dalam soal Pendidikan,
Pendidikan yang berhubungan dengan aliran-aliran hidup yang beragam itu
memiliki dasar-dasar atau garis- garis yang sama.
Menurut pengertian umum, berdasarkan apa yang dapat kita saksikan
dalam beragam jenis Pendidikan itu, Pendidikan diartikan sebagai ‘tuntunan
dalam hidup tumbuhnya anak-anak’. Maksud Pendidikan yaitu: menuntun
segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai
keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia
maupun sebagai anggota masyarakat.
Pertama kali harus diingat, bahwa Pendidikan itu hanya suatu ‘tuntunan’
di dalam hidup tumbuhnya anak-anak kita. Artinya, bahwa hidup tumbuhnya
anak itu terletak di luar kecakapan atau kehendak kita kaum pendidik. Anak-

2
anak itu sebagai makhluk, manusia, dan benda hidup, sehingga mereka hidup
dan tumbuh menurut kodratnya sendiri. Seperti penjelasan sebelumnya, bahwa
‘kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu’ tiada lain ialah segala kekuatan
yang ada dalam hidup batin dan hidup lahir dari anak-anak itu karena
kekuasaan kodrat. Kita kaum pendidik hanya dapat menuntun tumbuh atau
hidupnya kekuatan-kekuatan itu, agar dapat memperbaiki lakunya (bukan
dasarnya) hidup dan tumbuhnya itu.
Dua tokoh pendidikan nasional; K.H. Ahmad Dahlan dan Ki Hadjar
Dewantara, menjadi contoh figur mulia yang patut disuritauladani. Dengan
menggali pemikiran-pemikiran mereka yang mewakili masa mereka dari pra
kemerdekaan hingga Indonesia pada masa modern sekarang ini, dan dengan
latar belakang kultur yang berbeda-beda pula, sebagai upaya mempertahankan
wajah asli bangsa ini untuk tidak mudah terkontaminasi oleh modernisasi
jaman dalam era globalisasi. Dengan menggali nilai-nilai filosofi luhur untuk
konstruksi filosofi pendidikan nasional yang bisa menformat secara dinamis
dan kontekstual dalam upaya pengembangan teori, sistem dan praktis
pendidikan Islam sebagai acuan pemecahan masalah-masalah pendidikan Islam
nasional yang berbasis multikultural.
Tulisan ini akan mengkaji bagaimana konstruksi filosofi pendidikan
Islam nasional, yang didasarkan pada penelitian kepustakaan dengan mengkaji
karya-karya dua tokoh pendidikan K.H. Ahmad Dahlan dan Ki Hadjar
Deantara.

B. Konstruk Pemikiran Tokoh Pendidikan KH.Ahmad Dahlan


a. Biografi K.H. Ahmad Dahlan
K.H.Ahmad Dahlan lahir di Kauman. Yogyakarta pada tahun
1868 M. Meninggal pada tahun 1923 di makamkan di Karangkajen
Yogyakarta. Penggerak kebangkitan Islam di Jawa yang pertama-tama
adalah perkumpulan Jamiat Khair yang berdiri di Jakarta pada tahun
1905. Dari perkumpulan inilah tokoh-tokoh baru Islam bermunculan
dan mendirikan berbagai perkumpulan misalnya, Persyarikatan

3
Ulama, di Majalengka tahun 1911, Organisasi Muhammadiyah
didirikan di Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 atas saran-saran
yang di ajukan oleh murid-muridnya dan beberapa anggota Budi Utomo
yang didirikan di Jakarta Tanggal 20 Mei 1908 oleh Dr. Wahidin
Sudirohusodo dan beberapa orang pelajar sekolah dokter untuk mendirikan
suatu lembaga pendidikan yang bersifat permanen. Oleh karena itu,
Pemerintah Republik Indonesia mengangkat K.H Ahmad Dahlan menjadi
Pahlawan Kemerdekaan Indonesia dengan SK . Nomer 657 tahun 1961
(Samsu, 1996: 303)

Muhammad Darwisy memperoleh pendidikan agama pertama kali


dari ayahnya sendiri. Pada saat berusia 8 tahun sudah lancar membaca
Al-Qur’an dan khatam 30 juz. Darwisy dikenal sebagai anak yang ulet
pandai memanfaatkan sesuatu, wasis atau pandai-cerdik-cerdas. Beliau
rajin dan selalu fokus, sehingga ngajinya cepat mengalami kemajuan.
Suka bertanya hal-hal yang belum diketahuinya (dregil) karena
selalu kreatif dan banyak akal untuk mengatasi berbagai kendala. (PP
Muh, 2014:2)Tanda-tanda kepemimpinan sudah tampak sejak dini atau
sejak masih kanak-kanak. Teman-temannya selalu lulut, mengikuti
Darwisy karena sifat kepemimpinanya. Darwisy adalah anak yang rajin,
jujur, serta suka menolong, oleh karena itu, banyak temannya.
Keterampilannya merupakan bakat dari kecil , pandai membuat barang –
barang , mainan, dan suka main layang-layang serta
gangsing.Menginjak masa remaja Darwisy mulai belajar fiqih dengan
K.H .M. Saleh dan belajar ilmu nahwu kepada Kyai Haji Muchsin,
Kedua gurunya adalah kebetulan kakak iparnya. Beliau belajar ilmu
falak kepada K.Raden Haji Dahlan (putera Kyai Pesantren Termas
Pacitan), belajar ilmu Hadist kepada Kyai Mahfudz dan Syaikh
Khayyat, belajar ilmu Qiraah Al-Qur’an kepada Syaikh Amien dan
Sayyid Bakri Syatha. Beliau juga belajar ilmu tentang bisa racun
binatang buas kepada Syaikh Hasan. Beberapa gurunya yang lain yakni

4
R. Ngabehi Sastrosugondo, R. Wedana Dwijosewoyo dan Syaikh
Muhammad Jamil Jambek dari Bukittinggi. Muhammaad Darwisy
menikah dengan Siti Walidah binti Kyai Penghulu Haji Fadhil pada
tahun 1889.Siti Walidah ini masih terhitung saudara sepupu .
Perkawinan ini kelak dikaruniai enam orang anak antara lain Djohanah
(1890), Siraj Dahlan (1897), Siti Busyro (1903), Siti Aisyah (1905),
Irfan Dahlan (1905), Siti Zuharoh (1908).Beberapa bulan setelah
menikah, beliau berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah
Haji sambil berniat mempermudah ilmu agama Islam disana dan akhirnya
tinggal disana selama 5 tahun dan selama itu beliau banyak membaca
tulisan-tulisan dari Jamaludin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan
Rashid Ridha. Kemudian setelah itu , beliaupun mendapat sertifikat
untuk berganti nama , dari Sayyid Bakri Syatha seorang syaikh/ guru di
Mekkah, dia mendapat nama baru Haji.Ahmad Dahlan. Lalu setelah
itu, kembali ke Indonesia dengan membawa banyak sekali buku
buku tebal. Sekembalinya dari Haji dan belajar agama kepada para
syekh di Mekkah, K.H. A. Dahlan membantu ayahnya mengajar
agama.

K.H. Ahmad Dahlan (Muhammad Darwis) Jurnal Ilmiah Sosiologi


Agama kepada murid-murid ayahnya di Masjid Besar Kauman.
Beliau mengajar pada waktu siang, bakda Dhuhur dan sesudah Maghrib
sampai Isya’ Bakda Ashar, ikut mengaji kepada ayahnya yang
memberi pelajaran kepada orang-orang tua. Jika ayahnya sedang
berhalangan hadir, yang menggantikan adalah K.H.Ahmad Dahlan,
sebagai sering di panggil dengan panggilan kyai oleh murid-murid,
anak-anak, dan orang tua , sejak saat itu, beliau di kenal sebagai Kyai Haji
Ahmad Dahlan (Majelis Pustaka dan Informasi PP
Muhammadiyah, 2014:3).

5
b. Pengertian Pendidikan Menurut K.H. Ahmad Dahlan
“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara.” Sehingga di dalam pendidikan terdapat banyak faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Adapun faktor tersebut dari faktor dalam maupun
faktor dari luar. Salah satu contoh faktor luar (eksterent) yang
mempengaruhi pendidikan yaitu konsep-konsep baru dalam pemikiran
yang dipengaruhi oleh orang Barat yang tidak sesuai dengan budaya
Timur. Hal tersebut dapat menimbulkan kerancuan konsep dalam berbagai
hal tidak terkecuali dalam pendidikan itu sendiri. Adapun faktor
pendidikan merupkan faktor yang teramat penting dalam membangun
peradaban bangsa. Sehingga dibalik bangsa yang sukses dan maju
dilatarbelakangi oleh pendidikanyang bagus juga. Tentunya pendidikan
yang dimaksud yaitu pendidikan dengan proses yang amat sangat panjang
sehingga dapat membangun peradaban bangsa yang gemilang. Indonesia
dalam membangun peradabannya dimulai dari pendidikan yang sangat
panjang. Tentunya dengan perjuangan seluruh rakyat dan dipengaruhi oleh
para tokoh-tokoh nasional. Adapun salah satunya yaitu Muhammad
Darwis atau yang lebih dikenal dengan K.H. Ahmad Dahlan. Beliau -
rahimahullah- merupakan salah satu tokoh pendidikan Islam di bumi
nusantara dan merupakan pendiri organisasi Islam bernama organisasi
Muhammadiyah.

c. Pandangan KH.Ahmad Dahlan tentang Konsep Pendidikan.


Pandangan KH. Ahmad Dahlan tentang konsep pendidikan Islam
dapat dilihat melalui usaha beliau yang menampilkan pendidikan Islam
sebagai suatu sistem pendidikan yang integral. KH. Ahmad Dahlan yang
ingin mengintegrasikan ilmu pengetahuan, bercorak intelektual, menjaga

6
keseimbangan, moral dan religius dapat terlihat pada aspek pandangan
KH. Ahmad Dahlan yang meliputi:

a) tujuan pendidikan Islam yaitu, beliau berpendapat bahwa


pendidikan Islam yang sempurna adalah dapatmelahirkan individu
yang utuh, dan dapat menguasai ilmu agama dan ilmu alam atau
material dan spiritual.

b) materi atau kurikulum pendidikan Islam yaitu, beliau melakukan


dua tindakan sekaligus dengan cara memberi pelajaran agama di
sekolah-sekolah Belanda yang sekuler, dan mendirikan sekolah-
sekolah sendiri di mana agama dan pengetahuan umum diajarkan
bersama-sama. Materi pendidikan Islam menurut pendapat KH.
Ahmad Dahlan itu meliputi pendidikan moral, pendidikan individu,
dan pendidikan bermasyarakat.

c) metode atau tehnik pengajaran yaitu, beliau banyak menganut


sistem pendidikan sekolah Barat yang sudah lebih maju
(Yuliasari:2014:61).

Pendidikan Islam merupakan suatu hal yang sangat penting


dikembangkan, mengingat pendidikan menjadi landasan utama untuk
membangun peradaban masyarakat dan kemajuan suatu bangsa. Maka
pandangan secara filosofis pendidikan Islam penting dikembangkan
untuk memberikan kemajuan pada dunia pendidikan kontemporer
(Sappe, 2020; Ogunnaike, 2020; Ritonga et al. 2021). Sebab, pendidikan
merupakan motor penggerak kehidupan dan kemajuan peradaban
manusia untuk kemajuan dan termasuk pada perkembangan
intelektualitas individu insani (Abdullah, 2017; Tolchah and Mu’ammar,
2019); Suyadi and Sutrisno, 2018). Jauh sebelum Negara ini merdeka,
beberapa tokoh pendidikan salah satunya K.H. Ahmad Dahlan telah
memberikan sumbangsih pemikiran tentang idealnya pendidikan Islam.

7
d. Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan tentang Pendidikan Islam.
Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan tentang pendidikan Islam saat itu,
menjadi hal yang sangat penting dan strategis bagi kemajuan bangsa.
K.H. Ahmad Dahlan menawarkan berbagai konsep bagi pengembangan
dan kemajuan pendidikan Islam (Ni’mah, 2014; Yuliasari, 2014; Putra,
2020). Banyak persoalan pendidikan Islam yang memang sudah pernah
disinggung dan bahkan sudah dikemukakan bagaimana idealnya
pendidikan Islam menurut KH. Ahmad Dahlan. Bertalian dengan hal itu
permasalahan saat ini ialah pendidikan Islam yang belum menyentuh
semua lapisan dalam tatanan teoritis dan praksis perkembangan zaman,
adanya dikotomi ilmu pendidikan yang menjadikan pendidikan Islam
sebagai ilmu kedua dari ilmu pengetahuan umum, serta pendekatan dan
metode yang digunakan belum secara komprehensif mengembangkan
kreativitas tinggi siswa, kepribadian tinggi, kemajuan peradaban dunia,
dan kesejahteraan umat (Awwaliyah and Baharun, 2016; Tolchah and
Mu’ammar, 2019; Llorent-Bedmar et al. 2020). Banyaknya masalah
pendidikan Islam di bangsa ini, membutuhkan pemikiran dan gerak
langkah untuk melakukan perubahan pada sistem pendidikan dan berikut
guru yang mengajar (Tambak and Sukenti, 2020; Alhashmi and Moussa-
Inaty, 2021; Suyadi and Widodo, 2019). Pendidikan Islam saat ini pada
realitasnya bersifat teoritis dan praktis dalam tatanan aplikasi. Tantangan
zaman harus dijawab agar keluar dari kejumudan berfikir, sehingga
pendidikan Islam harus berkembang mengikuti perekembangan zaman
(Saihu, 2020; Nursobah et al. 2018; Miskiah et al. 2019; Ahmad et al.
2018; Tambak and Sukenti, 2019).

e. Konsep K.H. Ahmad Dahlan tentang Pendidikan.


Konsep K.H. Ahmad Dahlan mengenai pendidikan sangat
revolusioner. Dia mengadakan modernisasi dalam bidang pendidikan
Islam, dari sistem pondok yang melulu diajar pelajaran pendidikan agama
Islam, dari sistem pondok yang melulu diajar secara perseorangan menjadi

8
secara kelas dan ditambah dengan pelajaran pengetahuan umum. Dalam
pandangan K.H. Ahmad Dahlan tujuan pendidikan yang harus dicapai
dalam dunia pendidikan Islam setidaknya mampu membentuk seorang
manusia muslim yang memiliki budi pekerti yang baik, menguasai
agama (alim), luas wawasan dan menguasai ilmu keduniawian (Putra
dan Dhian, 2020; Ramadhan, 2020; Setiawan, 2020). Jika melihat
keadaan saat ini, pendidikan Islam hanya berada pada suatu keadaan
untuk menggugurkan kewajiban. Apalagi output yang dirasakan itu
tidak terlalu tampak pada perkembangan pendidikan Islam itu sendiri.
Hal ini juga karena metode, tujuan serta kurikulum yang pada
pendidikan Islam belum mencapai realitas pekembangan zaman yang
sesungguhnya. Sehingga jika melihat tujuan yang di harapkan oleh
K.H. Ahmad Dahlan memiliki budi pekerti yang luhur, menguasai ilmu
agama dan keluasan pengetahuan merupakan hal yang mesti
diimplementasikan dalam perkembangan pendidikan Islam (Ali et al.
2016; Syarif, 2017; Mayarisa, 2018. Arofah and Jamu’in, 2015).

Konsep tujuan pendidikan menurut K.H. Ahmad Dahlan tidak


hanya menuntut untuk menguasai ilmu Islam saja, melainkan harus
menguasai pula ilmu pengetahuan umum. Merespon dualisme dalam
pendidikan yaitu sekular dan pendidikan agama, K.H. Ahmad Dahlan
menginginkan agar tujuan pendidikan itu mampu melahirkan individu
yang secara holistik menguasai ilmu agama dan ilmu umum
(Syaifuddin et al. 2019; Suswandari and Suwarno, 2018; Jamaluddin,
2018). Selain itu, metode pembelajaran yang digunakan harus relevan
pula dengan materi yang diajarkan dalam proses pembelajaran. K. H.
Ahmad Dahlan mencoba mencermati bahwa pembelajaran selama ini
berlangsung di lembaga Islam masih stagnan dan bersifat tradisional
sehingga sisiwa lama memahami materi yang disampaikan (Khayati,
2020; Lenggono, 2018; Hermawanti, 2018).

9
K.H. Ahmad Dahlan selalu mengajarkan agar siswa berfikir
secara kontekstual, ayat-ayat al-Qur’an dipahami secara kontekstual,
serta mengiintegrasikan pembelajaran dengan lingkungan sekitar, di
samping kesadaran pribadi peserta didik dalam berpikir kreatif
(Suhirman, 2021; Amelia and Hudaidah, 2021; Ni’mah, 2014). Oleh
karena itu filosofi pendidikan Islam yang dikonstruk oleh K.H.
Ahmad Dahlan bersifat visioner, dan fleksibelitas pendidikan Islam
dalam mengakomodasi perkembangan zaman (Ramadhan, 2020;
Irawan and Barkah, 2018; Syahroni, 2020; Putra, 2018).
K.H. Ahmad Dahlan sangat mementingkan tujuan pendidikan
yang integral dengan materi dan metode pembelajaran. Jika
diilustrasikan alur filosofi pemikiran K.H. Ahmad Dahlan tentang
pendidikan Islam bahwa K.H. Ahmad Dahlan mengintegrasikan
proses dan sistem pendidikan secara holistik. Materi pendidikan Islam
dalam pemikiran K.H. Ahmad Dahlan merupakan hal integral yang
mengakomodir tiga aspek dalam peserta didik yaitu materi akhlak,
materi individu (an-nafs) dan sosial kemasyarakatan (Putra, Dhian,
2020; Khayati, 2020; Sebastian and Stanley, 2020).
Materi pendidikan dalam filosofi K.H. Ahmad Dahlan yang
mengakomodir perkembangan ilmu pengetahun sains dan teknologi
juga harus bersinergi dengan ajaran Islam yang dikonstruk dari al-
Qur’an dan al-Hadits diajarkan kepada peserta didik. Hal itu juga
mesti diajarkan oleh guru yang profesional menguasai ilmu secara
komprehensif (Amelia and Hudaidah, 2021; Lenggono, 2018; Putra,
2018; Nuris, 2017; Fidayanti and Tukinah, 2020). Filosofi K.H.
Ahmad Dahlan tentang metode pembelajaran menekankan pada
penguasaan berbagai cara yang sangat baik dalam menyampaikan
materi pembelajaran.
Cara mengajar menekankan pada keteladanan seorang guru
dalam mengajarkan materi pembelajaran pada peserta didik (Putra,
Dhian, 2020). Di sini K.H. Ahmad Dahlan sangat memperhatikan dan

10
mengutamakan metode keteladanan dari seorang guru dalam
mengajar karena hal itu menjadi contoh yang akan diikuti oleh peserta
didik. Jika guru kehilangan teladan baik, maka murid akan
mengabaikan hal-hal yang diajarkan dalam pendidikan sekolah (Bayu
Suta Wardianto, 2020; Karim et al. 2019; Abbas, 2021). Maka aspek
yang utama dibina oleh K.H. Ahmad Dahlan adalah sifat atau karakter
yang baik harus dimilki oleh guru. Memberikan contoh yang baik,
perbuatan yang baik maka hasil yang didapatkan juga akan baik
(Irawan and Barkah, 2018; Putra, 2018). Maka selanjutnya adalah
menciptakan suasana pendidikan yang memiliki interaksi antara siswa
dan pendidik. Interaksiinilah yang kemudian akan membangkitkan
khazanah berfikir yang maju (Putra, 2018; Suhirman, 2021; Amelia
and Hudaidah, 2021). Sehingga diperlukan wawasan yang luas dari
pendidik agar mampu memberikan jawaban dari setiap pertanyaan
yang disampaikan oleh siswa (Ahmad and Tambak, 2018; Lahmar,
2020). Dengan demikian sebenarnya proses pendidikan Islam, yang
utama adalah adanya hubungan yang harmonis antara pendidik dan
peserta didik agar tercipta suasana belajar yang kondusif dan
menyenangkan. Selain itu, K.H. Ahmad Dahlan juga dalam
penyampaian materi tidak menyukai terlalu berteori sehingga dalam
catatan sejarah pernah seorang murid bertanya kepada beliau mengapa
setiap pertemuan mereka hanya mengulangulang materi itu saja
(Putra, 2018; Suhirman, 2021). K.H. Ahmad Dahlan langsung
menanyakan apakah dari materi itu sudah ada yang
mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. K.H. Ahmad Dahlan
menginginkan agar pelajaran agama jangan menggunakan metode
menghafal secara kognitif, melainkan harus diamalkan sesuai kondisi
dan situasi. Oleh sebab itu K.H. Ahmad Dahlan dijuluki dengan
sebutan man of action (Suhirman, 2021; Amelia and Hudaidah, 2021;
Suswandari and Suwarno, 2018).

11
C. Kontruk Pemikiran Tokoh Pendidikan Ki Hadjar Dewantara.
a. Biografi Singkat Ki Hadjar Dewantara
Ki Hadjar Dewantar memiliki nama kecil Raden Mas Soewardi
Soerjaningrat, kemudian pada tahun 1922 beliau mengganti namanya
menjadi Ki Hadjar Dewantara seperti yang kita kenal sekarang. Beliau
dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889 dari keluarga
bangsawan Yogyakarta beliau merupakan cucu Pakualam III. Ayah
Ki Hadjar dewantara bernama K.P.H. Suryaningrat dan Ibunya
bernama Raden Ayu Sandiyah. Pada masa lingkungan hidup Ki Hajar
Dewantara kecil sangat mempengaruhi jiwanya yang sangat peka dan
tertarik terhadap kesenian dan nilai-nilai kultur maupun keagamaan.
Setelah mengganti namanya menjadi Ki Hajar Dewantara, beliau
dapat leluasa bergaul dengan rakyat. Sehingga dengan demikian
perjuangan beliay menjadi lebih mudah diterima pada masa itu. Ki
Hadjar Dewantaara dan R.A. Soetartinah melangsungkan “Nikah
Gantung” tanggal 4 November 1907. Akhir Agustus 1913 tepatnya
beberapa hari sebelum berangkat ke tempat pengasingan di negeri
Belanda. Pernikahannya diresmikan secara sederhana di Puri
Suryaningratan Yogyakarta. Ki Hadjar Dewantara meninggal dunia
pada usia 69 tahun pada tanggal 26 Apri 1959, di rumahnya
Mujamuju Yogyakarta. Pada Tanggal 28 November 1959, Ki Hadjar
Dewantara ditetapkan sebagai “Pahlawan Nasional”. Tanggal 16
Desember 1959, pemerintah menetapkan tanggal 2 Mei sebagai “Hari
Pendidikan Nasional” yang merupakan tanggal lahir Ki Hadjar
Dewantara berdasarkan keputusan Presiden RI Nomor: 316 tahun
1959. Semasa hidupnya, Ki Hadjar Dewantara sangat kreatif, dinamis,
jujur, sederhana, konsisten, dan berani. Beliau memiliki wawasan
yang luas dan tidak gentar berjuang untuk bangsa hingga akhir
hayatnya. Perjuangan beliau dilandasi dengan rasa ikhlas, sertai
pengabdian dan pengorbanan yang tinggi dalam usaha merebut
kemerdekaan bangsanya.

12
Adapun profesi yang digelutinya adalah dunia jurnalisme yang
berkiprah di beberapa surat kabar dan majalah pada waktu itu:
Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem
Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara yang melontarkan kritik sosial-
politik kaum bumiputra kepada penjajah. Tulisannya komunikatif,
halus, mengena, tetapi keras. Jiwanya sebagai pendidik tertanam
dalam sanubarinya direalisasikan dengan mendirikan Perguruan
Taman Siswa (1922) guna mendidik masyarakat bumiputra.
Sebagai figur dari keluarga bangsawan Pakualaman SS
berkepribadian sangat sederhana dan sangat dekat dengan kawula
(rakyat). Jiwanya menyatu lewat pendidikan dan budaya lokal (Jawa)
guna menggapai kesetaraan sosial-politik dalam masyarakat kolonial.
Kekuatan-kekuatan inilah yang menjadi dasar SS dalam
memperjuangkan kesatuan dan persamaan lewat nasionalisme kultural
sampai dengan nasionalisme politik.
Keteguhan hatinya untuk memperjuangkan nasionalisme
Indonesia lewat pendidikan dilakukan dengan resistensi terhadap
Undang-undang Sekolah Liar (Wilde Scholen Ordonnantie, 1932).
Undang-undang yang membatasi gerak nasionalisme pendidikan
Indonesia akhirnya dihapus oleh pemerintah kolonial. Perjuangannya
di bidang politik dan pendidikan inilah kemudian pemerintah
Republik Indonesia menghormatinya dengan berbagai jabatan dalam
pemerintahan RI, mengangkat KHD sebagai Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan (1950). KHD mendapat gelar doktor honoris causa dari
Universitas Gadjah Mada (1959). Pemerintah RI mengangkat KHD
sebagai Pahlawan Nasional (1959). Meski perjuangannya belum
selesai untuk mendidik putra bangsa, jelas KHD memelopori lahirnya
pendidikan di Indonesia. KHD wafat pada 26 April 1959 dimakamkan
di pemakaman keluarga Taman Siswa Wijaya Brata, Yogyakarta.

13
b. Pengertian Pendidikan Menurut Ki Hadjar Dewantara
Pendidikan adalah usaha dasar untuk memberikan nilai-nilai
kebatinan dan kebudayaan yang ada dalam hidup masyarakat yang
memiliki kebudayaan pada setiap keturunan, tidak saja berupa
“pemeliharaan” tetapi juga bertujuan untuk memajukan dan
mengembangkan kebudayaan (Dewantara, 2011: 344). Dari
pengertian di atas banyak hal yang dapat dilakukan dalam proses
pendidikan salah satu contohnya: Permainan tradisional yang masih
dapat kita temukan di pedesaan yang bertujuan agar dapat melatih
ketangkasan, mendengar, melihat dan bertindak untuk melatih panca
indera. ndak untuk melatih panca indera. Pendidikan berarti proses
humanisasi atau lebih dikenal dengan istilah memanusiakan manusia,
oleh karena itu seharusnya kita dapat menghormati hak asasi manusia.
Para siswa atau peserta didik bukanlah robot yang dapat kita
atur sesuka hati, tetapi mereka adalah manusia yang harus kita bantu
dan perhatikan dalam setiap proses pendewasaannya agar dapat
menjadi manusia yang mandiri dan dapat berpikir kritis, jadi
pendidikan bukan hanya menjadikan manusia berbeda dengan mahluk
lainnya yang bisa makan dan minum, berpakaian dan mempunyai
tempat tinggal untuk hidup, hal ini dapat di sebut dengan istilah
memanusiakan manusia.

c. Konsep Pendidikan Ki Hadjar Dewantara


Konsep Pendidikan Ki Hadjar Dewantara Ki Hadjar
Dewantara dalam sistem among memiliki konsep dasarkan 2 sandi,
yaitu:
Pertama, kodrat alam. Kodrat alam merupakan batas
perkembangan potensi kodrati anak dalam proses perkembangan
kepribadian. Sejalan dengan konsep tersebut dalam filsafat pendidikan
progresivisme mengatakan berdasarkan pengetahuan dan kepercayaan
bahwasanya manusia itu memiliki kemampuan yang wajar dan dapat
mengatasi masalah mereka sendiri. Oleh sebab itu, Ki Hadjar

14
Dewantara dan filsafat progresivisme menentang pendidikan yang
otoriter, karena hal itu akan menyebabkan kesulitan dalam pencapaian
tujuan pendidikan.
Kedua, kemerdekaan yang mana kemerdekaan mengandung
arti hak untuk mengatur dirinya sendiri dengan syarat tertib damainya
hidup didalam bermasyarakat. Jiwa merdeka ini sangat diperlukan
sepanjang peradaban manusia agar bangsa kita tidak didikte oleh
bangsa lain. Konsep jiwa merdeka selaras dengan filsafat
progresivisme terhadap kebebasan untuk berpikir bagi anak didik,
karena merupakan penggerak dalam usahanya untuk mengalami
kemajuan secara progresif. Anak didik diberikan kebebasan berpikir
untuk mengembangkan pola pikir, kreatifitas, kemampuan, dan bakat
yang ada dalam dirinya tidak terhambat oleh orang lain.
Konsep Ki Hadjar Dewantara mengenai pendidikan sebagai
usaha kebudayaan selaras dengan filsafat progresivisme yang
mengatakan bahwa kemajuan menjadi inti perkataan progresivisme
maka beberapa ilmu pengetahuan yang mampu menumbuhkan
kemajuan merupakan bagian utama dari kebudayaan. Namun Antara
filsafat Ki Hajar dengan progresivisme terdapat perbedaan, dalam
progresivisme ilmu pengetahuan yang mampu menumbuhkan
kemajuan adalah ilmu hayat, antropologi, psikologi dan ilmu alam,
sedangkan menurut Ki Hadjar Dewantara di samping ilmu yang
umum, kesenian merupakan bagian yang penting dalam kurikulum
pendidikan. Tri Pusat Pendidikan Suparlan (2014:4) menuliskan
bahwa untuk mencapai tujuan pendidikan yang seutuhnya.
Ki Hadjar Dewantara mengajukan konsep tri pusat
pendidikan, antara lain: Pertama, pendidikan keluarga. Ki Hadjar
Dewantara (1957:36) mengatakan bahwa dalam sistem Taman Siswa,
keluarga mendapat tempat yang istimewa karena keluarga merupakan
lingkungan yang kecil, tetapi keluarga merupakan tempat yang suci
dan murni dalam dasar-dasar sosial, oleh karena itu keluarga

15
merupakan satu pusat pendidikan yang mulia. Dalam lingkungan
keluarga, seseorang dapat menerima segala kebiasaan mengenai hidup
bermasyarakat, keagamaan, kesenian, ilmu pengetahuan dan lain
sebagainya. Tauchid (1962:71-72) menjelaskan bahwa pentingnya
keluarga menjadi pusat pendidikan karena keluarga tidak hanya
menjadi ajang untuk melaksanakan pendidikan individual dan sosial
tetapi menjadi kesempatan bagi orang tua untuk menanamkan segala
benih nurani dalam jiwa anak-anaknya. Apabila keluarga menjadi
pusat pendidikan maka secara tidak langsung orang tua berperan
sebagai guru yang mendidik perilakunya dan sebagai pengajar yang
memberikan kecerdasan pikiran dan ilmu pengetahuan, serta menjadi
teladan dalam kehidupan sosial. Kedua, pendidikan dalam alam
perguruan. Ki Hadjar Dewantara menolak pandangan bahwa
pendidikan sosial merupakan tugas sekolah sepenuhnya. Bagi Ki
Hadjar Dewantara, selama sistem sekolah masih bertujuan untuk
pencarian dan pemberian ilmu pengetahuan dan kecerdasan pikiran
maka pengaruhnya tidak banyak bagi kehidupan. Pendidikan dalam
alam perguruan wajib untuk mengusahakan kecerdasan berpikir dan
pemberian ilmu pengetahuan. Apabila sekolah dan keluarga berpisah
maka pendidikan yang dihasilkan dalam ruang keluarga akan sia-sia,
karena pengaruh sekolah yang mengasah intelektual yang sangat kuat.
Sekolah tidak dapat berpisah dengan kehidupan keluarga. Sekolah dan
keluarga dapat saling mengisi dan melengkapi agar dapat mencapai
tujuan pendidikan. Ketiga, pendidikan dalam alam pemuda. Konsep
ini muncul dilatarbelakangi karena pergerakan pemuda pada waktu itu
yang sebagian meniru prilaku dan kebudayaan barat. Pada masa
pergerakan kemerdekaan, pergerakan pemuda tampak memisahkan
diri dari keluarganya. Ki Hadjar Dewantara melihat hal tersebut
sebagai sesuatu yang berbahaya,oleh sebab itu Ki Hadjar Dewantara
memasukkan pergerakan pemuda sebagai pusat pendidikan. Tauchid
dkk. (1962:74) menjelaskan bahwa pergerakan pemuda merupakan

16
dukungan yang sangat besar bagi pendidikan, baik untuk menuju pada
kecerdasan jiwa maupun akhlak, serta yang menuju pada perilaku
sosial, maka dipandang perlu untuk menjadikan pergerakan pemuda
sebagai pusat pendidikan dan memasukkannya dalam rencana
pendidikan. Pendidikan dalam alam pemuda sama halnya pada dasar
kemerdekaan yang memberikan kemerdekaan dalam batasan tertentu.
Dalam pergerakan pemuda, orang-orang tua hendaknya berperan
sebagai penasihat dan pengawas yang memberi kemerdekaan yang
terbatas kepada pemuda pemudi. Mungkin konsep ini bila diterapkan
pada masa kini dapat menolong dalam menghadapai berbagai masalah
kehidupan moral generasi muda bangsa Indonesia.
Sumbangan Pemikiran Ki Hadjar Dewantara untuk
Pendidikan Indonesia Sistem Paguron menurut pandangan Ki Hadjar
Dewantara adalah suatu sistem pendidikan nasional karena didalam
sistem pendidikan ini bertujuan pada nilai-nilai kultur, dalam hidup
bermasyarakat di Indonesia. Berdasarkan pengamatan langsung dalam
kehidupan bermasyarakat saat ini banyak kita jumpai pendidikan pada
pesantren modern yang berkembang di kota-kota besar maupun di
pedesaan di Indonesia. Penulis ingin menunjukkan bahwa konsep
pendidikan Ki Hadjar Dewantara yang dikenal dengan sistem paguron
ini benar-benar diterapkan dalam dunia pendidikan di luar Taman
Siswa.
Gagasan Ki Hadjar Dewantara dalam menciptakan pendidikan
yang berbentuk asrama terwujud secara fisik dalam pembangunan
SMA Taruna Nusantara di Magelang pada tahun 1990. Sistem pondok
ini merupakan kerjasama Taman Siswa dengan ABRI untuk
mendirikan SMA Taruna Nusantara. Tugas pokok dalam kerjasama
itu, adalah pihak ABRI mempersiapkan dan menyediakan perangkat
keras, sedangkan Taman Siswa bertanggung jawab terhadap persiapan
penyediaan perangkat lunaknya. Saat ini masyarakat masih belum
mengerti dan memahami apa yang ditanamkan sistem pendidikan

17
Taman Siswa pada era globalisasi.
Taman Siswa bukanlah sekedar sekolah, namun sebuah badan
perjuangan, kebudayaan, dan pembangunan masyarakat yang
berdasarkan pada kiprah pendidikan dalam arti luas. Taman Siswa
tidak pernah memisahkan pendidikan nasional dengan masalah-
masalah yang ada di dalam masalah kebangsaan. Sebagai badan
perjuangan, Taman Siswa sangat peduli dengan masalah yang dialami
rakyat dan masyarakat, serta selalu berpartisipasi secara efektif
membangun politik kenegaraan, ekonomi, budaya, dan pertahanan
keamanan masyarakat.

d. Kerangka Pemikiran Ki Hadjar Dewantara Tentang Pendidikan


Pemikiran (filosofi pendidikan) Ki Hadjar Dewantara (KHD)
mengenai pendidikan dan pengajaran adalah pengajaran (onderwijs)
bagian dari pendidikan dan pengajaran merupakan proses pendidikan
dalam memberi ilmu atau berfaedah untuk kecakapan hidup anak
secara lahir batin. Sedangkan pendidikan (0pveoding) memberi
tuntunan terhadap segala kekuatan kodrat yang dimiliki anak agar ia
mampu mencapai keselamatan dan kebahdiaan yang setinggi-
tingginya baik sebagai manusia atau sebagai anggota masyarakat. Jadi
pendidikan dan pengajaran merupakan usaha persiapan dan
persediaan untuk segala kepentingan hidup manusia baik dalam
bermasyarakat maupun hidup berbudaya dalam arti yang seluas-
luasnya.
Poses pembelajaran yang mencerminkan pemikiran Ki Hadjar
Dewantara, yaitu mendasari semua kegiatan pendidikan dan
pembelajaran dengan filosofi “Ing Ngarso sung Tulodho, Ing Madya
Mangun Karso dan Tut Wuri Handayani”. Dalam proses
pembelajaran sehari-hari :
Ing Ngarso Sung Tulodho mengandung arti Ketika kita berdiri
di depan sebagai guru berusaha menjadi teladan yang didengar
ucapannya dan ditiru perbuatannya. Bisa membimbing dan

18
mengarahkan peserta didik agar bisa mencapai kesuksesan.
Ing madyo mangun karso mengandyng arti ketika kita berada
di tengah-tengah berusaha menciptakan ide gagasan seperti
menciptakan stimulus agar peserta didik mampu dan berani
memunculkan ide dan pendapatnya.Selain stimulus berusaha bisa
memfasilitasi peserta didik saat pembelajaran dengan berbagai macam
metode juga strategi untuk mendukung tercapainya tujuan
pembelajaran dan potensi peserta didik dapat berkembang secara
optimal.
Tut Wuri Handayani mengandung sebagai pendidik selalu
memberikan dorongan, motivasi dan arahan yang dibutuhkan peserta
didik.

e. Dasar Pendidikan Ki Hadjar Dewantara


Ki Hadjar Dewantara (KHD) membedakan kata Pendidikan
dan Pengajaran dalam memahami arti dan tujuan Pendidikan.
Menurut KHD, pengajaran (onderwijs) adalah bagian dari Pendidikan.
Pengajaran merupakan proses Pendidikan dalam memberi ilmu atau
berfaedah untuk kecakapan hidup anak secara lahir dan batin.
Sedangkan Pendidikan (opvoeding) memberi tuntunan terhadap
segala kekuatan kodrat yang dimiliki anak agar ia mampu mencapai
keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai
seorang manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Jadi menurut
KHD (2009), “pendidikan dan pengajaran merupakan usaha persiapan
dan persediaan untuk segala kepentingan hidup manusia, baik dalam
hidup bermasyarakat maupun hidup berbudaya dalam arti yang
seluas-luasnya”
Pendidikan adalah tempat persemaian benih-benih kebudayaan
dalam masyarakat. KHD memiliki keyakinan bahwa untuk
menciptakan manusia Indonesia yang beradab maka pendidikan
menjadi salah satu kunci utama untuk mencapainya. Pendidikan dapat
menjadi ruang berlatih dan bertumbuhnya nilai-nilai kemanusiaan

19
yang dapat diteruskan atau diwariskan.
Maksud pengajaran dan pendidikan yang berguna untuk
perikehidupan bersama ialah memerdekakan manusia sebagai bagian
dari persatuan (rakyat). Manusia merdeka adalah manusia yang
hidupnya lahir atau batin tidak tergantung pada orang lain, akan tetapi
bersandar atas kekuatan sendiri. Pendidikan menciptakan ruang bagi
murid untuk bertumbuh secara utuh agar mampu memuliakan dirinya
dan orang lain (merdeka batin) dan menjadi mandiri (merdeka lahir).
Kekuatan diri (kodrat) yang dimiliki, menuntun murid menjadi cakap
mengatur hidupnya dengan tanpa terperintah oleh orang lain.

1. Dasar-Dasar Pendidikan yang Menuntun


KHD menjelaskan bahwa tujuan pendidikan yaitu: menuntun
segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai
keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai
manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Oleh sebab itu,
pendidik itu hanya dapat menuntun tumbuh atau hidupnya kekuatan
kodrat yang ada pada anak-anak, agar dapat memperbaiki lakunya
(bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya kekuatan kodrat anak.
Dalam menuntun laku dan pertumbuhan kodrat anak, KHD
mengibaratkan peran pendidik seperti seorang petani atau tukang
kebun. Anak-anak itu seperti biji tumbuhan yang disemai dan ditanam
oleh pak tani atau pak tukang kebun di lahan yang telah disediakan.
Anak-anak itu bagaikan bulir-bulir jagung yang ditanam. Bila biji
jagung ditempatkan di tanah yang subur dengan mendapatkan sinar
matahari dan pengairan yang baik maka meskipun biji jagung adalah
bibit jagung yang kurang baik (kurang berkualitas) dapat tumbuh
dengan baik karena perhatian dan perawatan dari pak tani. Demikian
sebaliknya, meskipun biji jagung itu disemai adalah bibit berkualitas
baik namun tumbuh di lahan yang gersang dan tidak mendapatkan
pengairan dan cahaya matahari serta ‘tangan dingin’ pak tani, maka

20
biji jagung itu mungkin tumbuh namun tidak akan optimal.
Dalam proses “menuntun”, anak diberi kebebasan namun
pendidik sebagai ‘pamong’ dalam memberi tuntunan dan arahan agar
anak tidak kehilangan arah dan membahayakan dirinya. Seorang
‘pamong’ dapat memberikan ‘tuntunan’ agar anak dapat menemukan
kemerdekaannya dalam belajar. Anak juga secara sadar memahami
bahwa kemerdekaan dirinya juga mempengaruhi kemerdekaan anak
lain. Oleh sebab itu, tuntutan seorang guru mampu mengelola dirinya
untuk hidup bersama dengan orang lain (menjadi manusia dan
anggota masyarakat)

2. Pendidik untuk Terbuka dan Tetap Waspada


KHD juga mengingatkan para pendidik untuk tetap terbuka
namun tetap waspada terhadap perubahan-perubahan yang terjadi,
“waspadalah, carilah barang-barang yang bermanfaat untuk kita, yang
dapat menambah kekayaan kita dalam hal kultur lahir atau batin.
Jangan hanya meniru. Hendaknya barang baru tersebut dilaraskan
lebih dahulu”. KHD menggunakan ‘barang-barang’ sebagai simbol
dari tersedianya hal-hal yang dapat kita tiru, namun selalu menjadi
pertimbangan bahwa Indonesia juga memiliki potensi-potensi kultural
yang dapat dijadikan sebagai sumber belajar.
Kekuatan sosio-kultural menjadi proses ‘menebalkan’
kekuatan kodrat anak yang masih samar-samar. Pendidikan bertujuan
untuk menuntun (memfasilitasi/membantu) anak untuk menebalkan
garis samar-samar agar dapat memperbaiki laku-nya untnuk menjadi
manusia seutuhnya. Jadi anak bukan kertas kosong yang bisa
digambar sesuai keinginan orang dewasa.

3. Kodrat Alam dan Kodrat Zaman


KHD menjelaskan bahwa dasar Pendidikan anak berhubungan
dengan kodrat alam dan kodrat zaman. Kodrat alam berkaitan dengan
“sifat” dan “bentuk” lingkungan di mana anak berada, sedangkan

21
kodrat zaman berkaitan dengan “isi” dan “irama”
KHD mengelaborasi Pendidikan terkait kodrat alam dan kodrat
zaman sebagai berikut: “Dalam melakukan pembaharuan yang
terpadu, hendaknya selalu diingat bahwa segala kepentingan anak-
anak didik, baik mengenai hidup diri pribadinya maupun hidup
kemasyarakatannya, jangan sampai meninggalkan segala kepentingan
yang berhubungan dengan kodrat keadaan, baik pada alam maupun
zaman. Sementara itu, segala bentuk, isi dan wirama (yakni cara
mewujudkannya) hidup dan penghidupannya seperti demikian,
hendaknya selalu disesuaikan dengan dasar-dasar dan asas-asas hidup
kebangsaan yang bernilai dan tidak bertentangan dengan sifat-sifat
kemanusiaan” (Ki Hadjar Dewantara, 2009, hal. 21)
KHD hendak mengingatkan pendidik bahwa pendidikan anak
sejatinya menuntut anak mencapai kekuatan kodratnya sesuai dengan
alam dan zaman. Bila melihat dari kodrat zaman, pendidikan saat ini
menekankan pada kemampuan anak untuk memiliki Keterampilan
Abad ke-21 sedangkan dalam memaknai kodrat alam maka konteks
lokal sosial budaya murid di Indonesia Barat tentu memiliki
karakteristik yang berbeda dengan murid di Indonesia Tengah atau
Indonesia Timur.
Mengenai Pendidikan dengan perspektif global, KHD
mengingatkan bahwa pengaruh dari luar tetap harus disaring dengan
tetap mengutamakan kearifan lokal sosial budaya Indonesia. Oleh
sebab itu, isi dan irama yang dimaksudkan oleh KHD adalah muatan
atau konten pengetahuan yang diadopsi sejatinya tidak bertentangan
dengan nilai-nilai kemanusiaan dan konteks sosial budaya yang ada di
Indonesia. Kekuatan sosial budaya Indonesia yang beragam dapat
menjadi kekuatan kodrat alam dan zaman dalam mendidik (menuntun
kekuatan kodrat anak).
KHD menegaskan juga bahwa didiklah anak-anak dengan cara
yang sesuai dengan tuntutan alam dan zamannya sendiri. Artinya, cara

22
belajar dan interaksi murid Abad ke-21, tentu sangat berbeda dengan
para murid di pertengahan dan akhir abad ke-20. Kodrat alam
Indonesia dengan memiliki 2 musim (musim hujan dan musim
kemarau) serta bentangan alam mulai dari pesisir pantai hingga
pegunungan memiliki keberagaman dalam memaknai dan menghayati
hidup. Demikian pula dengan zaman yang terus berkembang dinamis
mempengaruhi cara pendidik menuntun para murid.
4. Budi Pekerti
Menurut KHD, budi pekerti, atau watak atau karakter
merupakan perpaduan antara gerak pikiran, perasaan dan kehendak
atau kemauan sehingga menimbulkan tenaga. Budi pekerti juga dapat
diartikan sebagai perpaduan antara Cipta (kognitif), Karsa (afektif)
sehingga menciptakan Karya (psikomotor).
Lebih lanjut KHD menjelaskan, keluarga menjadi tempat yang
utama dan paling baik untuk melatih pendidikan sosial dan karakter
baik bagi seorang anak. Keluarga merupakan tempat bersemainya
pendidikan yang sempurna bagi anak untuk melatih kecerdasan budi-
pekerti (pembentukan watak individual). Keluarga juga merupakan
sebuah ekosistem kecil untuk mempersiapkan hidup anak dalam
bermasyarakat dibanding dengan institusi pendidikan lainnya.
Alam keluarga menjadi ruang bagi anak untuk mendapatkan
teladan, tuntunan, pengajaran dari orang tua. Keluarga juga dapat
menjadi tempat untuk berinteraksi sosial antara kakak dan adik
sehingga kemandirian dapat tercipta karena anak-anak saling belajar
antara satu dengan yang lain dalam menyelesaikan persoalan yang
mereka hadapi. Oleh sebab itu, peran orang tua sebagai guru,
penuntun, dan pemberi teladan menjadi sangat penting dalam
pertumbuhan karakter baik anak.
Budi Pekerti merupakan keselarasan (keseimbangan) hidup
antara cipta, rasa, karsa dan karya. Keselarasan hidup anak dilatih
melalui pemahaman kesadaran diri yang baik tentang kekuatan

23
dirinya kemudian dilatih mengelola diri agar mampu memiliki
kesadaran sosial bahwa ia tidak hidup sendiri dalam relasi sosialnya
sehingga ketika membuat sebuah keputusan yang bertanggungjawab
dalam kemerdekaan dirinya dan kemerdekaan orang lain. Budi Pekerti
melatih anak untuk memiliki kesadaran diri yang utuh untuk menjadi
dirinya (kemerdekaan diri) dan kemerdekaan orang lain.
Budi pekerti, watak, atau karakter merupakan hasil dari
bersatunya gerak pikiran, perasaan, dan kehendak atau kemauan
sehingga menimbulkan tenaga. Perlu diketahui bahwa budi berarti
pikiran-perasaan-kemauan, sedangkan pekerti artinya ‘tenaga’. Jadi
budi pekerti merupakan sifat jiwa manusia, mulai angan-angan hingga
menjelma sebagai tenaga.

D. Simpulan

Pandangan KH. Ahmad Dahlan tentang konsep pendidikan


Islam dapat dilihat melalui usaha beliau yang menampilkan
pendidikan Islam sebagai suatu sistem pendidikan yang integral. KH.
Ahmad Dahlan yang ingin mengintegrasikan ilmu pengetahuan,
bercorak intelektual, menjaga keseimbangan, moral dan religious.
Sedangkan menurut Ki Hadjar Dewantara pendidikan adalah
usaha dasar untuk memberikan nilai-nilai kebatinan dan kebudayaan
yang ada dalam hidup masyarakat yang memiliki kebudayaan pada
setiap keturunan, tidak saja berupa “pemeliharaan” tetapi juga
bertujuan untuk memajukan dan mengembangkan kebudayaan
(Dewantara, 2011: 344). Poses pembelajaran yang mencerminkan
pemikiran Ki Hadjar Dewantara, yaitu mendasari semua kegiatan
pendidikan dan pembelajaran dengan filosofi “Ing Ngarso sung
Tulodho, Ing Madya Mangun Karso dan Tut Wuri Handayani”.
Dalam proses pembelajaran sehari-hari.

24
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Nafillah. 2015. KH Ahmad Dahlan (Muhammad Darwis). Dialog:


Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama. No. 01, Januari-Juni 201

Dewantara, Ki Hadjar.1994.Kebudayaan, Majelis Luhur Persatuan Taman


Siswa. Yogyakarta. Muhadjir,1991, Metodologi Penelitian Kualitatif
Edisi 4 :183

Yanuarti Eka.2017.Pemikiran pendidikan Ki Hajar Dewantara dan


Relevansinya dengan Kurikulum 13.Jurnal Penelitian,Vol. 11, No.
2,.237-265

Yuliasari Putri.2014. Relevansi konsep Pendidikan Islam KH. Ahmad Dahlan


di abad 21. As-Salam,Vol. V, No. 1. 45

25
26

Anda mungkin juga menyukai