Anda di halaman 1dari 13

Konsep dan Implementasi Pendidikan

Ki Hadjar Dewantara

Dosen Pengampu : Drs. Kardimin, M. Hum.


Disusun oleh : Kelompok XII

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ISLAM SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2018
Daftar Isi
ABSTRAK.........................................................................................................................1
PENDAHULUAN.........................................................................................................2
A. Latar Belakang...................................................................................................2
B. Rumusan Masalah..............................................................................................3
BAB II...............................................................................................................................4
A. Biografi Ki Hadjar Dewantara............................................................................4
B. Pendirian Taman Siswa......................................................................................5
C. Pendidikan Nasional dalam Pandangan Taman Siswa........................................7
D. Trilogi dan Konsep Ki Hajar Dewantara............................................................8
E. Implementasi Trilogi Pendidikan Ki Hadjar Dewantara.....................................9
BAB III............................................................................................................................11
DAFTAR REFERENSI................................................................................................11
ABSTRAK

Keadilan dan kedamaian tumbuh dalam diri (hati) manusia. Suasana yang
dibutuhkan dalam dunia pendidikan adalah suasana yang berprinsip pada
kekeluargaan, kebaikan hati, empati, cintakasih dan penghargaan terhadap
masing-masing anggotanya. Maka hak setiap individu hendaknya dihormati;
pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk menjadi merdeka dan
independen secara fisik, mental dan spiritual. Dalam berbagai sumber tulisan
tentang pendidikan Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan harus dimulai dari
persamaan persepsi pemangku pendidikan tentang mendidik itu sendiri. Menurut
Kihajar Dewantara mendidik dalam arti yang sesungguhnya adalah proses
memanusiakan manusia (humanisasi), yakni pengangkatan manusia ke taraf 
insani. Di dalam mendidik ada pembelajaran yang merupakan komunikasi
eksistensi manusiawi yang otentik kepada manusia, untuk dimiliki, dilanjutkan
dan disempurnakan. Jadi sesungguhnya pendidikan adalah usaha bangsa ini
membawa manusia Indonesia keluar dari kebodohan, dengan membuka tabir
aktual-transenden dari sifat alami manusia (humanis). Menurut Ki Hajar
Dewantara tujuan pendidikan adalah penguasaan diri sebab di sinilah pendidikan
memanusiawikan manusia (humanisasi). Penguasaan diri merupakan langkah
yang harus dituju untuk tercapainya pendidikan yang mamanusiawikan manusia.
Ketika setiap peserta didik mampu menguasai dirinya, mereka akan mampu juga
menentukan sikapnya. Dengan demikian akan tumbuh sikap yang mandiri dan
dewasa. Dalam konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara ada 2 hal yang harus
dibedakan yaitu sistem Pengajaran dan Pendidikan yang harus bersinergis satu
sama lain. Pengajaran bersifat memerdekakan manusia dari aspek hidup lahiriah
(kemiskinan dan kebodohan). Sedangkan pendidikan lebih memerdekakan
manusia dari aspek hidup batin (otonomi berpikir dan mengambil keputusan,
martabat, mentalitas demokratik.

embelajaran yang merupakan komunikasi eksistensi manusiawi yang otentik kepada


manusia, untuk dimiliki, dilanjutkan dan disempurnakan. 

Jadi sesungguhnya pendidikan adalah usaha bangsa ini membawa manusia Indonesia
keluar dari kebodohan, dengan membuka tabir aktual-transenden dari sifat alami
manusia (humanis). Menurut Ki Hajar Dewantara tujuan pendidikan adalah penguasaan
diri sebab di sinilah pendidikan memanusiawikan manusia (humanisasi). Penguasaan diri
merupakan langkah yang harus dituju untuk tercapainya pendidikan yang
mamanusiawikan manusia. Ketika setiap peserta didik mampu menguasai dirinya,
mereka aka

II
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut Ki Hajar Dewantara, tokoh pendidikan nasional Indonesia,


pendidikan pada umumnya berarti daya upaya untuk memajukan budi pekerti
(kekuatan batin), pikiran (intelektual), dan jasmani peserta didik, selaras dengan
alam dan masyarakatnya.

Pendidikan tetap menjadi alternatif dalam pengembangan dan peningkatan


sumber daya manusia. Utamanya untuk mempersiapkan generasi yang akan
datang, agar mampu menjawab tantangan dan memanfaatkan peluang. Tidak
mudah menentukan pilihan, sistem dan model pendidikan yang kiranya dapat
mengantar putra-putri bangsa ini kepada cita-cita yang didambakan. Perputaran
zaman yang terus berjalan dan perkembangan yang tidak pernah berhenti
mendorong para tenaga kependidikan khususnya para guru untuk memutar otak,
mencari solusi, mana jalan yang harus ditempuh agar proses pembelajaran
senantiasa berkembang lebih baik dan lebih maju. Untuk itu seorang guru harus
berkompetensi untuk meningkatkan pola pembelajaran sehingga output yang
dihasilkan dapat dibanggakan.

Dalam Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS


disebutkan, “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi siswa
agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggungjawab.

II
Ki Hajar Dewantara sebagai tokoh pendidikan nasional yang pada hari
kelahirannya yaitu pada tanggal 2 Mei selalu diperingati sebagai Hari Pendidikan
Nasional mengemukakan sebuah semboyann dalam dunia pendidikan Indonesia
yang sangat terkenal, yaitu “ Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun
Karsa, Tut Wuri Handayani “ . Semboyan inilah yang menjadi pondasi
penyelenggaran pendidikan di Indonesia, khususnya bagi guru yang notabene
adalah pendidik bagi generasi masa depan Indonesia.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat diambil beberapa


rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana konsep pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara?


2. Bagaimana implementasi dari konsep pendidikan menurut Ki Hajar
Dewantara?
3.

II
BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi Ki Hadjar Dewantara

Ki Hadjar Dewantara lahir pada Kamis Legi tanggal 2 Puasa 1818


atau 2 Mei 1889. Ayahnya bernama Kanjeng Pangeran Harjo Surjaningrat
putra Kanjeng Gusti Pangeran Hadipati Surjosasraningrat yang bergelar Sri
Pakualam III. Sri Pakualam III sendiri menikahi permaisurinya sendiri yang
berasal dari kerabat Keraton Yogyakarta. Dengan demikian Soewardi
Surjaningrat (Ki Hadjar Dewantara) tergolong dari lingkungan kerabat
Keraton Yogyakarta juga. Saat genap berusia 40 tahn menurut perhitungan
tahun Caka ia berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Sejak itu ia tidak
menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan
agar ia bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya.
Ki Hadjar Dewantara menikah dengan R.A Sutartinah, puteri
G.P.H Sasraningrat, adik G.P.H Surjaningrat (Ayah Ki Hadjar Dewantara).
Dengan demikian Ki Hadjar dan Nyi Hadjar adalah saudara sepupu. Bagi Ki
Hadjar maupun Nyi Hadjar, keduanya dianugerahi saudara yang banyak
jumlahnya.
Sejak kecil Ki Hadjar Dewantara sudah dididik dalam suasana
religius dan dilatih untuk mendalami soal-soal kesastraan dan kesenian Jawa.
Sejak kecil pula dia dilatih untuk hidup sederhana. Keterbatasan materiil yang
dialami keluarganya, tidak menyurutkan semangat belajarnya. meskipun ia
hanya masuk ke Sekoah Dasar Belanda III (ELS), ia tetap bersemangat
menuntut ilmu. Ketika masih duduk dibangku Sekolah Dasar kehidupan Ki
Hadjar Dewantara tiak berbeda jauh dari kehidupan anak-anak lainnya. Dia
juga sering berkelahi dengan anak-anak sekolah dari keturunan Ambon dan
Ondo Belanda. Ia terpaksa berkelahi dengan rekan-rekan seperjuangannya itu
karna mereka menghina dirinya.
Setelah tamat Sekolah Dasar III Belanda pada tahun 1904, Ki Hadjar
Dewantara mengalami kebingungan untuk meneruskan sekolahnya. Ia tidak

II
hanya bingung karena masalah siapa yang membiayai sekloahnya, tapi juga
kemana ia harus meneruskan sekolahnya. Dikarenakan keluarganya tidak
cukup berada dibandingkan kerabat Pakualaman yang lain. Selain itu, ayah Ki
Hadjar Dewantara yang cacat netra sejak lahir juga merupakan suatu alasan
tersendiri bagi masalah pendidikannya. Ki Hadjar Dewantara memang sempat
masuk Sekolah Guru di Yogyakara, tapi tidak sampai tamat. Semasanya
menempuh Sekolah Guru, datanglah tawaran sekolah (beasiswa) untk
menjadi dokter jawa dari dokter Wahidin Sudiro Husodo. Pada waktu itu,
doker Wahidin sengaja bertandang ke Pakualaman. Ia menanyakan siapa
diantara putera-putera yang mau masuk sekolah dokter jawa. Kesempatan itu
dengan segera diterima Ki Hadjar Dewantara.
Ki Hadjar Dewantara menempuh sekolah dokter jawa (STOVIA)
selama kurang lebih 5 tahun (1905-1910). Namun, ia tidak berhasil
menamatkan sekolahnya karena sakit selama 4 bulan, akibatnya beasiswanya
dicabut. Kepandaiannya dalam bahasa belanda mendorong direktur
sekolahnya megeluarkan surat istimewa yang mejelaskan bakatnya iu.

B. Pendirian Taman Siswa


Pada tanggal 31 Juli 1922 Taman Siswa yang pertama didirikan di
Yogyakarta. Ketika itu adalah masanya keinginan bersekolah amat kuat,
dimana terbukti bahwa departemen pengajaran tidak dapat menguasainya.
Banyak anak-anak yang ingin masuk sekolah, terpaksa mengalami
kekecewaan. Bagi mereka itu tidak ada tempat, jumlah maksimum tidak
dilampaui. Terutama terhadap pengajaran Baratlah perhatiannya amat besar.
Banyak orang ingin belajar bahasa Belanda, inilah satu-satunya alat utuk
mendapat jabatan yang baik.
Bagi banyak guru-guru pensiunan waktu itu adalah waktu
keemasan. Kaum pertengahan Jawa, yang anak-anaknya tak mempunyai hak
untuk masuk sekolah Barat tidak boleh tidak harus membayar sepuluh gulden
(rupiah) tiap bulan untuk tiap anak. Maka beberapa orang Jawa berani
mendirikan sendiri sekolah-sekolah tanpa mendapat subsidi pemerintah.
Pada zaman yang berikutnya adalah zaman kesadaran nasional.
Pada zaman itu tugas dari pendidikan dan pengajaran, untuk mematangkan

II
dan mempersiapkan anak-anak buat masyarakatnya sendiri. Semboyannya
ialah ‘kembali kepada yang nasional’. Ini bukan berarti bahwa pengetahuan
dan metode barat lalu dibuang, yang memang tidak akan mungkin akan tetapi
jiwanya harus berorientasi kepada milik sendiri (nasional). Itulah
pertimbangan-pertimbangan yang memberikan keberanian kepada para
pendiri-pendiri Taman Siswa untuk mendirikan ‘lembaga pengajaran
nasional’ di Yogyakarta.
Taman Siswa bukan satu badan perkumpulan yang terdiri dari
anggota-anggota, juga bukan kepunyaan seseorang. Taman Siswa adalah satu
badan perguruan, yang sudah disamakan dengan kepentingan dan keperluan
rakyat, yang ditujukan untuk rakyat umum pula. Sedangkan untuk guru-
gurunya adalah golongan bangsa pribumi, yang dengan rela dan keikhlasan
hatinya sama bersedia dan menyerahkan diri untuk keperluan rakyat dalam
masalah pengajaran dan pendidikan. Dengan pendirian yang sedemikian itu,
maka Taman Siswa sudah dapat berkembang dan tersebar ke seluruh
Indonesia. Badan ‘Hoofdraad’ (Majelis Luhur) di Mataram, adalah yang
menjadi pusat persatuan Taman Siswa.
Dasar pendidikan di Taman Siswa yaitu dikenal dengan istilah
‘Panggulawentah’ (Jawa) yang bermaksud Momong, Among, dan Ngemong.
Dengan cara yang tidak memaksa, walaupun hanya sekedar memimpin
kadang-kadang juga tidak perlu untuk memimpin. Para guru hanya
diharuskan mencampuri kehidupan si anak kalau sudah ternyata si anak ada di
atas jalan yang salah. Adanya hukuman bagi siswa itu dimaksudkan untuk
mencegah terjadinya kejahatan, dan sebelum terjadi kesalahannya, aturan
hukumnya sudah tersedia. Ketertiban dalam pendidikan Barat jelaslah hanya
paksaan dan hukuman. Oleh karena itu dasar pendidikan Taman Siswa
menjadi orde en verde, tertib dan damai, inilah yang akan dapat menentukan
para siswa dengan sendirinya tanpa adanya paksaan. Dari semua itu
merupakan usaha untuk mendatangkan rakyat yang merdeka, dalam arti kata
yang sebenar-benarnya, yaitu lahirnya tidak ada lagi kata terperintah,
batinnya dapat memerintah sendiri dan dapat berdiri sendiri karena kekuatan
sendiri.

II
Dalam pidatonya Ki Hadjar Dewantara menyampaikan kepada
rakyat tiga macam fatwa:
1. Tetep, antep, dan mantep. Ketetapan pikiran dan batin itulah yang akan
menentukan kualitas seseorang. Dan jika tetep dan antep itu sudah ada,
maka mantep itu datang juga, yakni tiada dapat diundurkan lagi.
2. Ngandel, kandel, kendel, dan bandel. Artinya : Percaya akan
memberikan pendirian yang tegak. Maka kemudiannya kendel (berani)
dan bandel (tidak lekas ketakutan, tawakal) akan menyusul sendiri.
3. Neng, ning, nung, dan nang. Kesucian pikiran dan kebatinan, yang
dapat dengan ketenangan hati, itulah yang mendatangkan kekuasaan
dan kalau sudah ada tiga-tiganya itu, maka kemenangan akan jadi
kebahagian kita.

C. Pendidikan Nasional dalam Pandangan Taman Siswa


Pendidkan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan
bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelect) dan
tubuh anak, dalam pengertan Taman Siswa tidak boleh dipisahkan bagian-
bagian itu, agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan
dan penghidupan anak-anak yang kita didik selaras dengan dunianya.
Pendidikan Nasional menurut paham Taman Siswa ialah pendidikan
yang beralaskan garis-hidup bagi bangsanya (Cultureel-nationaal) dan
ditujukan untuk keperluan peri kehidupan (Maatschappelijk) yang dapat
mengangkat derajat negara dan rakyatnya, agar dapat bekerja bersama-sama
dengan lain-lain bangsa untuk kemuliaan segenap manusia ke seluruh dunia.
Pendidikan budi pekerti harus menggunakan syarat-syarat yang
selaras dengan jiwa kebangsaan menuju kepada kesucian, ketertiban, dan
kedamaian lahir batin, tidak saja syarat-syarat yang sudah ada, dan ternyata
baik, melainkan juga syarat-syarat jaman baru yang berfaedah dan sesuai
dengan maksud dan tujuan kita.
Pengajaran-pengetahuan yang bertujuan mendidik pikiran adalah
sebagian dari pendidikan yang terutama dijalankan untuk memperoleh alat-
alat penghidupan. Oleh karena itu, pendidikan dibangun setinggi-tingginya,
sedalam-dalamnya, dan seluas-luasnya, agar siswa dapat mewujudkan peri

II
kehidupannya dengan sebaik-baiknya. Tentang pengajaran-pengetahuan
haruslah ditujukan ke arah kecerdikan siswa, selalu bertambahnya ilmu yang
berfaedah, membiasakannya mencari pengetahuan sendiri, mempergunakan
pengetahuannya untuk keperluan umum.

D. Trilogi dan Konsep Ki Hajar Dewantara


Meskipun Ki Hajar Dewantara belajar ilmu pendidikan di Barat, dia
tidak mau menerapkan sistem pendidikan Barat di Indonesia. Sistem Barat
dipandangnya tidak cocok karena dasar-dasarnya adalah perintah, hukuman,
dan ketertiban yang bersifat paksaan.

Paksaan dan hukuman dalam proses pendidikan yang kadangkala


tidak setimpal dengan kesalahan anak didik bukannya memperkuat mentalitas
anak-anak, melainkan memperlemahnya di kemudian hari. Anak tidak
menjadi pribadi yang mandiri, tidak memiliki inisiatif, tidak kreatif. Dalam
kehidupan nyata, ia tidak dapat bekerja kalau tidak dipaksa dan diperintah.

Menurut Ki Hajar Dewantara metode pendidikan yang cocok dengan


karakter dan budaya orang Indonesia tidak memakai syarat paksaan. Orang
Indonesia termasuk bangsa Timur yang hidup dalam khasanah nilai-nilai
tradisional berupa kehausan rasa, hidup dalam kasih sayang, cinta akan
kedamaian, ketertiban, kejujuran, dan sopan dalam bertutur kata dan tindakan.

Berangkat dari keyakinan akan nilai-nilai tradisional itu, Ki Hajar


Dewantara yakin pendidikan yang khas Indonesia haruslah berdasarkan citra
nilai Indonesia juga. Maka ia menerapkan tiga semboyan pendidikan yang
menunjukkan kekhasan Indonesia, Pertama, Ing Ngarso Sung Tuladha,
artinya seorang guru adalah pendidik yang harus memberi teladan. Ia pantas
digugu dan ditiru dalam perkataan dan perbuatannya. Kedua, Ing Madya
Mangun Karso, artinya seorang guru adalah pendidik yang selalu berada di
tengah-tengah para muridnya dan terus-menerus membangun semangat dan
ide-ide mereka untuk berkarya. Ketiga, Tut Wuri Handayani, artinya seorang
guru adalah pendidik yang terus-menerus menuntun, menopang, dan
menunjuk arah yang benar bagi hidup dan karya anak-anak didiknya.

II
Senada dengan semboyan pendidikan di atas adalah metode
pendidikan yang dikembangkan, yang sepadan dengan makna “pedagogik”,
yakni Momong, Among, dan Ngemong, yang berarti bahwa pendidikan itu
berarti mengasuh. Mendidik adalah mengasuh anak dalam dunia nilai-nilai.
Praksis pendidikan dalam perspektif ini memang mementingkan ketertiban,
tapi pelaksanaannya bertolak dari adanya membangun kesadaran, bukan
berdasarkan paksaan yang bersifat hukuman.

E. Implementasi Trilogi Pendidikan Ki Hadjar Dewantara

Implementasi Ing Ngarso Sung Tuladha dapat dlihat dari seorang


kepala sekolah dengan visi yang utuh, tanggung jawab, keteladanan dan
mendengarkan orang lain. Kepala sekolah atau pamong sebagai orang yang
wajib digugu (dipatuhi) dan ditiru (diteladani) tidak diragukan
keberadaannya. Ki Hadjar Dewantara mengingatkan bahwa kepala sekolah
atau pamong harus menguasai diri sendiri serta mengatur hidupnya untuk
dapat dicontohkan oleh orang-orang yang ada di bawah pimpinannya. Hal ini
memberikan pengertian bahwa tingkah laku dan sikap yang dilakukan oleh
pemimpin lebih berarti dan lebih diperhatikan oleh bawahannya daripada
nasihat yang selalu diucapkankannya. Dalam prinsip pemberian contoh atau
teladan, secara tidak langsung sangat menuntun dan mengandalkan aspek
kepribadian kepala sekolah (pamong).
Implementasi Ing Madyo Mangun Karso yakni dengan
memberdayakan staf atau karyawan, memberi layanan prima, fokus pada
peserta didik, dan mengembangkan orang. Dalam suatu kepemimpinan,
masalah partisipasi setiap staff pada setiap usaha lembaga dipandang sebagai
kepentingan yang mutlak. Berhasilnya pemimpin dalam menimbulkan minat,
kemauan dan kesadaran, bertangggung jawab pada setiap staf akan
meningkatkan partisipasi mereka. Ki Hadjar Dewantara mengajarkan dengan
Tringa yaitu ngerti-ngrasa-nglakoni (mengerti, merasakan, dan melakukan).
Kepala sekolah harus mendorong keterlibatan semua pihak yang terkait dalam
setiap kegiatan sekolah.

II
Implementasi Tut Wuri Handayani terlihat dengan memberdayakan
sekolah dimana kepala sekolah menunjuk atau mendelegasikan tugas dan
wewenang kepada bawahannya. Kepala sekolah memberikan kebebasan pada
peserta didik untuk membuat keputusan sesuai keinginan atau kehendaknya
sepanjang hal itu masih sesuai dengan norma-norma yang wajar selama tidak
merugikan siapapun. Dengan demikan, kebebasan diri juga berarti dapat
memelihara kebebasan orang lain, tidak menyusahkan atau merepotkan
orang lain. Hal ini berart manusia bebas harus dapat mengendalikan diri, tepa
selira dan mengatur diri sendiri secara disiplin mematuhi segala peraturan.
Konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara bagus dan tetap memiliki
relevansi untuk pendidikan pada masa kini, juga konsep yang demikian bagus
untuk menghadapi tantangan yang serius dalam mengimplementasikannya,
yakni reduksi atas hakikat makna pendidikan menjadi sekadar pembelajaran
dan pengajaran.
Reduksi ini selain terjadi karena pergeseran pemaknaan konsep
pendidikan, juga karena perkembangan zaman yan turut mempengaruhi pola-
pola kehidupan setiap orang yang terlibat dalam proses pendidikan (orangtua,
guru, dan murid). Pergeseran pemaknaan konsep pendidikan dapat kita
temukan dalam cara berpikir setiap orang di Indonesia misalnya jika kita
berbicara tentang pendidikan, pada umumnya langsung terarah ke sekolah,
artinya orang-orang di Indonesia berpikir bahwa pendidikan itu terjadi di
sekolah, dari yang terendah sampai yang tertinggi.
Pemahaman atas pendidikan seperti di atas jelas berseberangan
dengan konsep Ki Hadjar Dewantara, yang meyakini pendidikan itu terjadi
dalam tiga lingkungan secara simultan, yakni keluarga, masyarakat, dan
sekolah. Proses pendidikan yang terjadi di sekolah adalah khas karena
kombinasi antara pendidikan dan pengajaran.

II
BAB III
DAFTAR REFERENSI

Azyumardi Azra, 2012. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah


Tantangan Milenium III. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Dewantara, Ki Hajar. 1997. Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian Pertama


Pendidikan. Yogyakarta : Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Hakim, Thursan. 2002. Belajar Secara Efektif. Jakarta : Puspawara.

Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003. Jakarta: Cemerlang.

II

Anda mungkin juga menyukai