Ki Hadjar Dewantara
Keadilan dan kedamaian tumbuh dalam diri (hati) manusia. Suasana yang
dibutuhkan dalam dunia pendidikan adalah suasana yang berprinsip pada
kekeluargaan, kebaikan hati, empati, cintakasih dan penghargaan terhadap
masing-masing anggotanya. Maka hak setiap individu hendaknya dihormati;
pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk menjadi merdeka dan
independen secara fisik, mental dan spiritual. Dalam berbagai sumber tulisan
tentang pendidikan Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan harus dimulai dari
persamaan persepsi pemangku pendidikan tentang mendidik itu sendiri. Menurut
Kihajar Dewantara mendidik dalam arti yang sesungguhnya adalah proses
memanusiakan manusia (humanisasi), yakni pengangkatan manusia ke taraf
insani. Di dalam mendidik ada pembelajaran yang merupakan komunikasi
eksistensi manusiawi yang otentik kepada manusia, untuk dimiliki, dilanjutkan
dan disempurnakan. Jadi sesungguhnya pendidikan adalah usaha bangsa ini
membawa manusia Indonesia keluar dari kebodohan, dengan membuka tabir
aktual-transenden dari sifat alami manusia (humanis). Menurut Ki Hajar
Dewantara tujuan pendidikan adalah penguasaan diri sebab di sinilah pendidikan
memanusiawikan manusia (humanisasi). Penguasaan diri merupakan langkah
yang harus dituju untuk tercapainya pendidikan yang mamanusiawikan manusia.
Ketika setiap peserta didik mampu menguasai dirinya, mereka akan mampu juga
menentukan sikapnya. Dengan demikian akan tumbuh sikap yang mandiri dan
dewasa. Dalam konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara ada 2 hal yang harus
dibedakan yaitu sistem Pengajaran dan Pendidikan yang harus bersinergis satu
sama lain. Pengajaran bersifat memerdekakan manusia dari aspek hidup lahiriah
(kemiskinan dan kebodohan). Sedangkan pendidikan lebih memerdekakan
manusia dari aspek hidup batin (otonomi berpikir dan mengambil keputusan,
martabat, mentalitas demokratik.
Jadi sesungguhnya pendidikan adalah usaha bangsa ini membawa manusia Indonesia
keluar dari kebodohan, dengan membuka tabir aktual-transenden dari sifat alami
manusia (humanis). Menurut Ki Hajar Dewantara tujuan pendidikan adalah penguasaan
diri sebab di sinilah pendidikan memanusiawikan manusia (humanisasi). Penguasaan diri
merupakan langkah yang harus dituju untuk tercapainya pendidikan yang
mamanusiawikan manusia. Ketika setiap peserta didik mampu menguasai dirinya,
mereka aka
II
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
II
Ki Hajar Dewantara sebagai tokoh pendidikan nasional yang pada hari
kelahirannya yaitu pada tanggal 2 Mei selalu diperingati sebagai Hari Pendidikan
Nasional mengemukakan sebuah semboyann dalam dunia pendidikan Indonesia
yang sangat terkenal, yaitu “ Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun
Karsa, Tut Wuri Handayani “ . Semboyan inilah yang menjadi pondasi
penyelenggaran pendidikan di Indonesia, khususnya bagi guru yang notabene
adalah pendidik bagi generasi masa depan Indonesia.
B. Rumusan Masalah
II
BAB II
PEMBAHASAN
II
hanya bingung karena masalah siapa yang membiayai sekloahnya, tapi juga
kemana ia harus meneruskan sekolahnya. Dikarenakan keluarganya tidak
cukup berada dibandingkan kerabat Pakualaman yang lain. Selain itu, ayah Ki
Hadjar Dewantara yang cacat netra sejak lahir juga merupakan suatu alasan
tersendiri bagi masalah pendidikannya. Ki Hadjar Dewantara memang sempat
masuk Sekolah Guru di Yogyakara, tapi tidak sampai tamat. Semasanya
menempuh Sekolah Guru, datanglah tawaran sekolah (beasiswa) untk
menjadi dokter jawa dari dokter Wahidin Sudiro Husodo. Pada waktu itu,
doker Wahidin sengaja bertandang ke Pakualaman. Ia menanyakan siapa
diantara putera-putera yang mau masuk sekolah dokter jawa. Kesempatan itu
dengan segera diterima Ki Hadjar Dewantara.
Ki Hadjar Dewantara menempuh sekolah dokter jawa (STOVIA)
selama kurang lebih 5 tahun (1905-1910). Namun, ia tidak berhasil
menamatkan sekolahnya karena sakit selama 4 bulan, akibatnya beasiswanya
dicabut. Kepandaiannya dalam bahasa belanda mendorong direktur
sekolahnya megeluarkan surat istimewa yang mejelaskan bakatnya iu.
II
dan mempersiapkan anak-anak buat masyarakatnya sendiri. Semboyannya
ialah ‘kembali kepada yang nasional’. Ini bukan berarti bahwa pengetahuan
dan metode barat lalu dibuang, yang memang tidak akan mungkin akan tetapi
jiwanya harus berorientasi kepada milik sendiri (nasional). Itulah
pertimbangan-pertimbangan yang memberikan keberanian kepada para
pendiri-pendiri Taman Siswa untuk mendirikan ‘lembaga pengajaran
nasional’ di Yogyakarta.
Taman Siswa bukan satu badan perkumpulan yang terdiri dari
anggota-anggota, juga bukan kepunyaan seseorang. Taman Siswa adalah satu
badan perguruan, yang sudah disamakan dengan kepentingan dan keperluan
rakyat, yang ditujukan untuk rakyat umum pula. Sedangkan untuk guru-
gurunya adalah golongan bangsa pribumi, yang dengan rela dan keikhlasan
hatinya sama bersedia dan menyerahkan diri untuk keperluan rakyat dalam
masalah pengajaran dan pendidikan. Dengan pendirian yang sedemikian itu,
maka Taman Siswa sudah dapat berkembang dan tersebar ke seluruh
Indonesia. Badan ‘Hoofdraad’ (Majelis Luhur) di Mataram, adalah yang
menjadi pusat persatuan Taman Siswa.
Dasar pendidikan di Taman Siswa yaitu dikenal dengan istilah
‘Panggulawentah’ (Jawa) yang bermaksud Momong, Among, dan Ngemong.
Dengan cara yang tidak memaksa, walaupun hanya sekedar memimpin
kadang-kadang juga tidak perlu untuk memimpin. Para guru hanya
diharuskan mencampuri kehidupan si anak kalau sudah ternyata si anak ada di
atas jalan yang salah. Adanya hukuman bagi siswa itu dimaksudkan untuk
mencegah terjadinya kejahatan, dan sebelum terjadi kesalahannya, aturan
hukumnya sudah tersedia. Ketertiban dalam pendidikan Barat jelaslah hanya
paksaan dan hukuman. Oleh karena itu dasar pendidikan Taman Siswa
menjadi orde en verde, tertib dan damai, inilah yang akan dapat menentukan
para siswa dengan sendirinya tanpa adanya paksaan. Dari semua itu
merupakan usaha untuk mendatangkan rakyat yang merdeka, dalam arti kata
yang sebenar-benarnya, yaitu lahirnya tidak ada lagi kata terperintah,
batinnya dapat memerintah sendiri dan dapat berdiri sendiri karena kekuatan
sendiri.
II
Dalam pidatonya Ki Hadjar Dewantara menyampaikan kepada
rakyat tiga macam fatwa:
1. Tetep, antep, dan mantep. Ketetapan pikiran dan batin itulah yang akan
menentukan kualitas seseorang. Dan jika tetep dan antep itu sudah ada,
maka mantep itu datang juga, yakni tiada dapat diundurkan lagi.
2. Ngandel, kandel, kendel, dan bandel. Artinya : Percaya akan
memberikan pendirian yang tegak. Maka kemudiannya kendel (berani)
dan bandel (tidak lekas ketakutan, tawakal) akan menyusul sendiri.
3. Neng, ning, nung, dan nang. Kesucian pikiran dan kebatinan, yang
dapat dengan ketenangan hati, itulah yang mendatangkan kekuasaan
dan kalau sudah ada tiga-tiganya itu, maka kemenangan akan jadi
kebahagian kita.
II
kehidupannya dengan sebaik-baiknya. Tentang pengajaran-pengetahuan
haruslah ditujukan ke arah kecerdikan siswa, selalu bertambahnya ilmu yang
berfaedah, membiasakannya mencari pengetahuan sendiri, mempergunakan
pengetahuannya untuk keperluan umum.
II
Senada dengan semboyan pendidikan di atas adalah metode
pendidikan yang dikembangkan, yang sepadan dengan makna “pedagogik”,
yakni Momong, Among, dan Ngemong, yang berarti bahwa pendidikan itu
berarti mengasuh. Mendidik adalah mengasuh anak dalam dunia nilai-nilai.
Praksis pendidikan dalam perspektif ini memang mementingkan ketertiban,
tapi pelaksanaannya bertolak dari adanya membangun kesadaran, bukan
berdasarkan paksaan yang bersifat hukuman.
II
Implementasi Tut Wuri Handayani terlihat dengan memberdayakan
sekolah dimana kepala sekolah menunjuk atau mendelegasikan tugas dan
wewenang kepada bawahannya. Kepala sekolah memberikan kebebasan pada
peserta didik untuk membuat keputusan sesuai keinginan atau kehendaknya
sepanjang hal itu masih sesuai dengan norma-norma yang wajar selama tidak
merugikan siapapun. Dengan demikan, kebebasan diri juga berarti dapat
memelihara kebebasan orang lain, tidak menyusahkan atau merepotkan
orang lain. Hal ini berart manusia bebas harus dapat mengendalikan diri, tepa
selira dan mengatur diri sendiri secara disiplin mematuhi segala peraturan.
Konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara bagus dan tetap memiliki
relevansi untuk pendidikan pada masa kini, juga konsep yang demikian bagus
untuk menghadapi tantangan yang serius dalam mengimplementasikannya,
yakni reduksi atas hakikat makna pendidikan menjadi sekadar pembelajaran
dan pengajaran.
Reduksi ini selain terjadi karena pergeseran pemaknaan konsep
pendidikan, juga karena perkembangan zaman yan turut mempengaruhi pola-
pola kehidupan setiap orang yang terlibat dalam proses pendidikan (orangtua,
guru, dan murid). Pergeseran pemaknaan konsep pendidikan dapat kita
temukan dalam cara berpikir setiap orang di Indonesia misalnya jika kita
berbicara tentang pendidikan, pada umumnya langsung terarah ke sekolah,
artinya orang-orang di Indonesia berpikir bahwa pendidikan itu terjadi di
sekolah, dari yang terendah sampai yang tertinggi.
Pemahaman atas pendidikan seperti di atas jelas berseberangan
dengan konsep Ki Hadjar Dewantara, yang meyakini pendidikan itu terjadi
dalam tiga lingkungan secara simultan, yakni keluarga, masyarakat, dan
sekolah. Proses pendidikan yang terjadi di sekolah adalah khas karena
kombinasi antara pendidikan dan pengajaran.
II
BAB III
DAFTAR REFERENSI
II