Mesir purba telah mengenal peradaban dan kebudayaan tinggi. Ini terbukti dengan telah
dikenalnya tulisan dengan huruf heiroglyph (tulisan suci), telah kenal kalender (penanggalan)
dengan pembagian 12 bulan tiap tahun, telah mengenal irigasi dan sebagainya.
Tujuan pendidikan agar manusia berbuat susila sesuai dengan ajaran agama. Materi
pelajaran yang diberikan ialah membaca, menulis, berhitung, bahasa dan ilmu mengukur
tanah serta astronomi. Meski telah memiliki pusat-pusat pendidikan yakni di kuil-kuil
(piramide) yang di dalamnya terdapat perpustakaan dan asrama bagi para guru dan murid-
muridnya.
INDIA
Hidup di India bukan ditentukan oleh kepercayaan kepada dewa, tetapi ditentukan oleh
tingkatan atau kasta tadi. Tujuan akhir hidup adalah mencapai Nirwana. Ciri-ciri pendidikan di
India adalah :
1. Pengajaran agama di nomor satukan.
2. Pendidikan diselenggarakan oleh kasta Brahmana.
3. Tujuan pendidikan; mencapai kebahagian abadi (Nirwana).
Penyelenggaraan peadidikan berlangsung di rumah (keluarga) dan sekolah. Materii pelajaran
yang diajarkan yaitu astronomi, matematik, pengetahuan tentang obat-obatan, hukum,
kesusasteraan, sejarah.
CINA
Cina memiliki keunikan dalam hal kebudayaan dan pendidikan. Artinya dibandingkan dengan
negara-negara timur lainnya. Cina memiliki sejarah tersendiri. Kebudayaan Cina adalab asli
Cina tidak terbaur atau tercampur dengan kebudayaan dari luar. Ciri-ciri pendidikannya
antara lain:
1. Persoalan pendidikan tidak ada kaitannya dengan agama.
2. Pendidikan diselenggarakan oleh keluarga dan negara.
3. Tujuan pendidikan adalah mendidik orang berhati mulia dan menghormati sesama.
Tokoh-tokoh pendidik dan filsuf terkenal pada saat itu ia LaoTse dengan ajaran Tao =jalan
Tuhan yang menjadi Taoisme sangat berpengaruh terhadap hidup dan perikehidupan Cina.
Tidak kalah juga pengaruhnya Kon Fu Tse (Konfusius) dengan ajaran Li (etiket, kewajiban).
Penyelenggaraan Pendidikan dilaksanakan di dalam keluarga dan sekolah, Pelajaran
pokoknya adalah menulis dan mempelajari lambang lambang kata kata yang jumlahnya
mencapai 50 000. Di Cina juga dikenal adanya pendidikan pegawai.
YUNANI
Yunani kuno terbagi menjadi Sparta dan Athena. Orang-orang Sparta mementingkan
pembentukan jiwa patriotik yang kuat dan gagah berani. Tujuan pendidikan Sparta adalah
membentuk warga negara yang siap membela negara (membentuk tentara yang gagah
berani)
.
Ciri-ciri pendidikannya adalah :
1. Pendikan diperuntukkan hanya bagi warga negara yang merdeka (hukan budak).
2. Anak-anak cacat atau lemah dimusnahkan.
3. Lebih mengutamakan pendidikan jasmani.
4. Anak-anak yang telah mencapai umur 7 tabun diasramakan.
Sedangkan Athena lebih mernentlngkan kesehatan jasmani dan rohani serta hidup harmonis.
ROMAWI
Pada mulanya tujuan pendidikan Rornawi adalab terbentuknya manusia-manusia yang siap
berkorban membela tanah air. Inti pelajaran adalah mempersiapkan warga negara menjadi
tentara.Penyelenggara pendidikan adalah di rumah-rumah keluarga bangsawan. Materi
pelajarannya meliputi mebaca, menulis, dan berhitung. Pada perkembangan selanjutnya
Romawi terbawa oleh arus aliran Epicurisme dan aliran Stoa. Aliran Epicurisme berpendapat
hahwa kebahagian akan terwujud manakala manusia menyatu dengan alam. Aliran Stoa
berpendapat bahwa tujuan hidup adalah mencapai kebajikan. Kebajikan itu akan terwujud
apabila manusia dapat menyesuai kan din dengan alamnya, karena manusia adalah bagian
dari alam. Sedangkan alam itu sendiri dikuasai oleb budi Ilahi.
Dengan munculnya dua faham tersebut cjta-cita atu tujuanRomawi beruhab dari rnembentuk
manusia sehat kuat untuk membela tanah air (kebajikan kepahlawanan) menjadi membentuk
manusia yang bijaksana dan berakal budi (kebajikan kemanusian).
Masa kelahiran (Rehaessance) ditandai dengan adanya usaha untuk mengkaji, menafsirkan,
merencanakan dan apabila perlu mengecam berlakunya kebudayaan klasik (kuno).
Manusia berada dan diciptakan dalam sejarah. Di satu sisi, manusia menentukan perjalanan
sejarah tetapi di sini lain, dalam arti khusus, manusia juga diciptakan oleh sejarah. Manusia
tidak bisa berada di luar dari sejarah, sebaliknya, ia selalu berada bersama dengan perjalanan
sejarah. Selain itu, ia juga menemukan dirinya sebagai “yang bereksistensi” dalam sejarah
dan bukan di luar sejarah. Agar perjalanan sejarah dapat bernilai maka, pertama-tama ia harus
membuat dirinya bernilai di dalam dan di hadapan sejarah.
Demi pencapaian tujuan inilah maka banyak orang dalam perjalanan sejarah telah terlibat
dalam memikirkan, bagaimana membuat diri manusia bernilai, bermoral dan baik sehingga
mengakibatkan dunia yang bernilai, bermoral dan baik. Munculah para ahli filsafat.
Pertanyaan tentang filsafat dari masa ke masa menimbulkan perkembangan dan pertumbuhan
yang sangat pesat, sampai menimbulkan muculnya ilmu-ilmu baru; mulai dari teologi dan
sampai kepada teknologi.
Salah satu ilmu yang cukup berkembang yaitu pedagogi atau yang sering disebut juga dengan
edukasi atau pendidikan. Perkembangan ilmu ini juga sebenarnya telah ada sejak manusia
memikirkan tentang dirinya di hadapan dirinyaa, alam, lingkungan dan bahkan Tuhan. Tetapi
secara perlahan, menjadi suatu ilmu yang berdiri sendiri, otonom.
Secara umum dapat kita kelompokkan perkembangan pedagogi menjadi 5 jaman: jaman
kuno, tua (antik), jaman Kekristenan Awal, jaman pertengahan, jaman moderen dan jaman
kontemporer. Di sini kita akan melihat sedikit perkembangan serta tokoh.tokoh yang telah
menyumbangkan pemikiran pedadoginya kepada dunia pendidikan.
(Dalam tulisan ini, kita hanya ingin melihat garis besar serta para tokoh pedagogi. Pada
kesempatan lain, kita akan melihat secara rinci, perjalanan pemikiran tentang pedagogi dalam
usaha mendidik manusia pada setiap jaman).
I. ABAD TUA – KUNO
A. Di Yunani dan Romawi
1. Pendidikan pada Masa Peradaban Kuno
Pada masa peradaban tua, tekanan utama pendidikan kepada manuasia ialah bagaimana cara
berusaha agar manusia tidak lupa akan segala norma yang berlaku secara lisan di tengah-
tengah masyarakat. Ini berlaku untuk semua peradaban tradisional sebelum manusia
mengenal alfabet (huruf-huruf). Dan cara yang paling ampuh untuk mengatasi kelupaan ialah
melalui cerita lisan yang diteruskan kepada anak atau cucu, tentang segala aturan dan norma
hidup, yang juga “ditetapkan” secara lisan. Begitulah dari generasi ke generasi, manusia
mendidik generasi berikutnya dengan cara bercerita.
8. Pendidikan pada Masa atau Peradaban Romawi dan abad pertama dari Republik Romawi
Pada masa ini paideia Yunani mulai berkembang dan mempengaruhi pendidikan di Romawi.
Tekanan utama pada paideia Romawi yang baru (yang tidak ada sebelumnya) ialah: peranan
penting tadisi dan keluarga dalam pendidikan. Pendidikan di Roma pada abad-abad sebelum
masehi ialah dibentuk melalui keluarga dengan cara menghormati apa yang disebut dengan
mos maiorum dan sistem pater familias. Materi dasar bagi pendidikan adalah seperti
mengutamakan kebaikan tanah air, la pietas (devosi), la fides (kesetiaan), la grafitas (kualitas
hidup) dan la constantia (stabilitas). Semua orang yang didik harus diarahkan kepada manusia
yang mempunyai keutamaan seperti 4 hal tersebu, dan ini harus dibentuk sejak orang berada
di dalam keluarga.
http://giuslay.wordpress.com/2009/01/30/sejarah-pendidikan-dari-yunani-kuno-sd-4-abad-
pertama-kekristenan/
http://artikelgratis-bmg.blogspot.com/2011/04/pendidikan-abad-pertengahan.html
Perkembangan pendidikan saat ini ini tidak bisa dilepaskan dari perkembangan pendidikan
yang terjadi dimasa lampau. Dimana pendidikan sisa-sisa zaman kolonial itu masih ada di
zaman sekarang. Perkembangan pendidikan dizaman pra kolonial dan ketika zaman kolonial
yang mampu melahirkan kaum Intelektual muda Indonesia yang menjadi tokoh sentral dalam
pergerakan kebangsaan Indonesia. adapun perkembangan sekolah pada zaman kolonial
sebagai berikut:
a. Zaman VOC
Pendidikan pada masa ini lebih kepada penyebaran agama Protestan, setelah sebelumnya
pada masa Portugis, Katholik yang disebarkan. Sehigga para guru yang mengajar merupakan
pendeta-pendeta. Tapi disisi lain, gereja dan sekolah katolik ditutup. Belanda mendirikan
sekolahnya pada umumnya di daerah yang terpengaruh oleh Katholik, walau dalam
perkembangannya tidak terbatas pada tempat-tempat itu saja.
Pada awal abad 18, mulai berkembang bahwa pendidikan dapat menimbulkan perbaikan
sosial dan maknawiah. Hal ini mendapatkan dukungan dari aliran emperisme, bahwa jiwa
manusia dibentuk oleh pengalaman bukan pembawaan.Pendidikan merupakan hal penting
bagi masyarakat, sehingga ilmu pengetahuan harus disebar. Didorong oleh revolusi Perancis,
1791 di hasilkan undang-undang pengajaran bagi semua warga negara. Aufklarung membuat
Eropa memasuki babak baru, dimana ilmu pengetahuan berkembang sangat pesat. Ini juga
berpengaruh ke negeri Belanda, sehingga memberikan dampak kepada daerah kolonialnya.
Sehingga pengajaran bukan sekedar agenda penyebaran Nasrani semata.
1808, perintah pendirian sekolah disetiap distrik. Namun, ini tidak berjalan karena 3 tahun
kemudian dikuasai oleh Inggris.
1809, pertamakalinya diselenggarakan pendidikan kebidanan. Pada tahun yang sama,
Deandels mendirikan sekolah ronggeng, dimana materi pengajarannya seputar tarian-tarian
daerah.
Usaha Raffles dalam bidang pengajaran. Raffles lebih berfokus untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan, ini ditujukan dalam bukunya yang berjudul “History of Java.” Dibidang
pengajaran, usaha Raffles tidak ada sama sekali, bahkan ambruknya sekolahan tidak
dihiraukannya sama sekali.
1. Anak-anak Belanda
2. Anak-anak Indonesa yang memeluk agama Nasrani.
Diangkatnya Van den Bosch yang terkenal dengan kebijakan tanam paksanya. Maka
pengajaran dilakukan untuk mendapatkan buruh-buruh murah dalam penyelenggaraan tanam
paksa
Sekolah Kelas Satu di khususkan bagi anak-anak kaum bangsawan, lamanya 5 tahun.
Kebanyakan sekolah kelas satu berada di Jawa. Kurikulumnya tak jauh beda dengan yang
sebelumnya, namun pada 1907 ditambahkannya Bahasa Belanda sebagai mata pelajaran.
Mulai tahun 1912 bahasa Belanda diajarkan sejak kelas 1 dan lama belajaranya diperpenjang
menjadi 7 tahun. Sekolah kelas satu sama dengan HCS, dan namanya diubah menjad HIS
(Holland Inlandse School, Sekolah Rendah Berbahasa Belanda untuk anak Indonesia.)
Sekolah kelas dua didirikan oleh Pemerintah Belada yang tidak mampu secara finansial untuk
memberikan pendidikan yang sama bagi semua anak Indonesa. Sekolah kelas dua
mempunyai kurikulum yang sederharana dan dijaga agar lebih rendah daripada sekolah kelas
satu. Pendidikan ditujukan untuk menegaskan perbedaan golongan. Bahasa pengantar yang
digunakan bukan bahasa Belanda sehingga sulit untuk melanujutkan pendididikan ke jenjang
lebih lanjut.
ELS (Eurospeesch Lagere School) sekolah dasar dengan lama studi sekitar 7 tahun. Sekolah
ini menggunakan sistem dan metode seperti sekolah di negeri Belanda. ELS menggunakan
Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantarnya dalam pelajaran. Awalnya hanya terbuka bagi
warga Belanda di Hindia Belanda, sejak tahun 1903 kesempatan belajar juga diberikan
kepada orang-orang pribumi yang mampu dan warga Tionghoa. Setelah beberapa tahun,
pemerintah Belanda beranggapan bahwa hal ini ternyata berdampak negatif pada tingkat
pendidikan di sekolah-sekolah ELS dan kembali dikhususkan bagi warga Belanda saja.
Sekolah khusus bagi warga pribumi kemudian dibuka pada tahun 1914 dengan nama
Hollandsch-Inlandsche School ( HIS ), sementara sekolah bagi warga Tionghoa, Hollandsch-
Chineesche School (HCS) dibuka pada tahun 1908
1737 didirikan untuk keturunan Cina yang miskin, tetapi sempat vakum karena peristiwa de
Chineezenmoord (pembunuhan Cina) tahun 1740. selanjutnya, sekolah ini berdiri kembali
secara swadaya dari masyarakat keturunan Cina sekitar tahun 1753 dan 1787. Pendirian HCS
menunjukkan dengan jelas bagaimana sekolahdigunakan sebagai alat politik untuk mencegah
orang Cina menjadi tak loyal terhapad pemerintahan Belanda. Sikap tak acuh akan
pendidikananak Cina tiba-tiba berubah menjadi minat yang besar akan pendidikan mereka,
dipaksa oleh perubahan konstelasi politik di Timur jauh. Rasa takut akan kehilangan loyalitas
Cina mendorong Belanda untuk menawarkan kesempatan belajar yang paling baik yang ada,
yakni HCSyang membuka kesempatan untuk memasuki MULO mupun HBS.
Alasan yang paling mendasar dari didirikannya HIS adalah keinginan yang kuat dari rakyat
Indonesia sendiri untuk mendapatkan pendidikan ala Barat. Hal itu merupakan akibat dari
perubahan kondisi sosial ekonomi di kawasan Timur Jauh yang telah diperkenalkan pada
masa Politik Etis yang diberlakukan kepada Indonesia. Selain itu juga diorong oleh
organisasi-organisasi yang telah berdiri di Indonesia pada waktu itu, seperti Budi Utomo dan
Sarekat Islam. Apalagi dengan didirikannya sekolah untuk orang-orang Cina di Indonesia
yaitu Hollands Chinese School (HCS).
Kurikulum yang dipakai HIS adalah sesuai yang tercantum dalam Statuta 1914 No. 764, yaitu
meliputi semua pelajaran ELS (Europese Lagere School). Di HIS diajarkan membaca dan
menulis bahasa daerah dalam aksara Latin dan Melayu dalam tulisan Arab dan Latin. Namun
disini, yang lebih ditekankan adalah pelajaran bahasa Belanda yang sampai memakan waktu
lebih dari enampuluh enam persen dari waktu belajar.
g. Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO)
Adalah Sekolah Menengah Pertama pada zaman kolonial Belanda di Indonesia. ELS
menggunakan Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Pada masa sekarang ini, MULO
setara dengan SMP (Sekolah Menengah Pertama). Meer Uitgebreid Lager Onderwijs berarti
“Pendidikan Dasar Lebih Luas”. MULO menggunakan Bahasa Belanda sebagai bahasa
pengantar. Pada akhir tahun 30-an, sekolah-sekolah MULO sudah ada hampir di setiap ibu
kota kabupaten di Jawa. Hanya beberapa kabupaten di luar Jawa yang mempunyai MULO.
HBS (singkatan dari bahasa Belanda: Hogere Burger School) adalah sekolah lanjutan tingkat
menengah pada zaman Hindia Belanda untuk orang Belanda, Eropa atau elite pribumi dengan
bahasa pengantar bahasa Belanda.HBS setara dengan MULO + AMS atau SMP + SMA,
namun hanya 5 tahun.
Pendidikan HBS selama 5 tahun setelah HIS atau ELS adalah lebih pendek dari pada melalui
jalur MULO (3 tahun) + AMS (3 tahun). Di sini dibutuhkan murid yang pandai, terutama
bahasa Belanda. Sukarno merupakan salah satu murid HBS di Surabaya sebelum beliau
masuk THS di Bandung. Pada waktu itu HBS hanya ada di kota Surabaya, Semarang,
Bandung, Jakarta, dan Medan, sedangkan AMS ada di kota Jakarta, Bandung, Medan,
Yogyakarta, dan Surabaya.
http://sejarah.info/2012/01/pendidikan-pada-zaman-kolonial-belanda.html
Aug
20
Pendidikan di Pesantren
Dimana murid-muridnya yang belajar diasramakan yang dinamakan pondok-pondok tersebut
dibiayai oleh guru yang bersangkutan ataupun atas biaya bersama dari masyarakat pemeluk
agama Islam. Para santri belajar pada bilik-bilik terpisah tetapi sebagian besar waktunya
digunakan untuk keluar ruangan baik untuk membersihkan ruangan maupun bercocok tanam.
Pendidikan Pada Abad Ke Dua Puluh Jaman Pemerintahan Hindia Belanda Dan Pendudukan
Di kalangan orang-orang Belanda timbul aliran-aliran untuk memberikan kepada pendudukan
asli bagian dari keuntungan yang diperoleh orang Eropa (Belanda) selama mereka menguasai
Indonesia. Aliran ini mempunyai pendapat bahwa kepada orang-orang Bumiputera harus
diperkenalkan kebudayaan dan pengetahuan barat yang telah menjadikan Belanda bangsa
yang besar. Aliran atau paham ini dikenal sebagai Politik Etis (Etische Politiek)
Gagasan tersebut dicetuskan semula olah Van Deventer pada tahun 1899 dengan mottonya
“Hutang Kehormatan” (de Eereschuld). Politik etis ini diarahkan untuk kepentingan
penduduk Bumiputera dengan cara memajukan penduduk asli secepat-cepatnya melalui
pendidikan secara Barat.
Dalam dua dasawarsa semenjak tahun 1900 pemerintah Hindia Belanda banyak mendirikan
sekolah-sekolah berorientasi Barat. Berbeda dengan Snouck Hurgronje yang mendukung
pemberian pendidikan kepada golongan aristokrat Bumiputera, maka Van Deventer
menganjurkan pemberian pendidikan Barat kepada orang-orang golongan bawah. Tokoh ini
tidak secara tegas menyatakan bahwa orang dari golongan rakyat biasa yang harus
didahulukan tetapi menganjurkan supaya rakyat biasa tidak terabaikan. Oleh karena itu
banyak didirikan sekolah-sekolah desa yang berbahasa pengantar bahasa daerah, disamping
sekolah-sekolah yang berorientasi dan berbahasa pengantar bahasa Belanda. Yang menjadi
landasan dari langkah-langkah dalam pendidikan di Hindia Belanda, maka pemerintah
mendasarkan kebijaksanaannya pada pokok-pokok pikiran sebagai berikut :
Pendidikan dan pengetahuan barat diterapkan sebanyak mungkin bagi golongan penduduk
Bumiputera untuk itu bahasa Belanda diharapkan dapat menjadi bahasa pengantar di sekolah-
sekolah
Atas dasar itu maka corak dan sistem pendidikan dan persekolahan di Hindia Belanda pada
abad ke-20 dapat ditempuh melalui 2 jalur tersebut. Di satu pihak melalui jalur pertama
diharapkan dapat terpenuhi kebutuhan akan unsur-unsur dari lapisan atas serta tenaga didik
bermutu tinggi bagi keperluan industri dan ekonomi dan di lain pihak terpenuhi kebutuhan
tenaga menengah dan rendah yang berpendidikan.
Tujuan pendidikan selama periode kolonial tidak pernah dinyatakan secara tegas. Tujuan
pendidikan antara lain adalah untuk memenuhi keperluan tenaga buruh untuk kepentingan
kaum modal Belanda. Dengan demikian penduduk setempat dididik untuk menjadi buruh-
buruh tingkat rendahan (buruh kasar). Ada juga sebagian yang dilatih dan dididik untuk
menjadi tenaga administrasi, tenaga teknik, tenaga pertanian dan lain-lainnya yang diangkat
sebagai pekerja-pekerja kelas dua atau tiga. Secara singkat tujuan pendidikan ialah untuk
memperoleh tenaga-tenaga kerja yang murah. Suatu fakta menurut hasil Komisi Pendidikan
Indonesia Belanda yang dibentuk pada tahun 1928 – 1929 menunjukkan bahwa 2 % dari
orang-orang Indonesia yang mendapat pendidikan barat berdiri sendiri dan lebih dari 83%
menjadi pekerja bayaran serta selebihnya menganggur. Diantara yang 83% itu 45% bekerja
sebagai pegawai negeri. Pada umumnya gaji pegawai negeri dan pekerja adalah jauh lebih
rendah dibandingkan dengan gaji-gaji Barat mengenai pekerjaan yang sama.
http://nesaci.com/sejarah-pendidikan-di-indonesia/
Ada sebuah hadist mengenai pendidikan, yang dalam bahasa Indonesia berbunyi: “Tuntutlah
ilmu sampai ke negeri Cina”. Dalam hadist ini muncul satu negara, yaitu negeri Cina. Dari
hadist ini timbul pertanyaan, ada apa dengan pendidikan cina sehingga dapat dijadikan
panutan untuk negeri lain. Dalam buku Muhammad Said dan Junimar Affan (1987: 119) yang
berjudul Mendidik Dari Zaman ke Zaman dikatakan bahwa: “Di negeri Cina pendidikan
mendapat tempat yang penting sekali dalam penghidupan”. Dengan mendapatkan peranan
yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat, membuat sistem pendidikan di Cina
meningkat.
Sikap orang Cina yang mementingkan pendidikan di dalam kehidupannya tela melahirkan
sebuah filofis orang Cina mengenai pendidikan dan pendidikan ini telah lama menjaga
kekuasaan Cina berapa lama, sampai pada masuknya bangsa asing ke Cina yang akan
merubah wajah sistem pendidikan kuno di Cina. Tetapi, pada kesempatan ini tidak
menjelaskan sampai masuknya bangsa asing ke Cina. Permulaan pendidikan Cina kuno
mencampai puncak dimulai pada Dinasti Han, dimana ajaran Kung fu Tse kembali lagi
diangkat dan diterapkan dalam kehidupan masyarakat Cina, yang sebelumnya ajaran ini
dibrangus oleh penguasa sebelumnya.
Masyarakat Cina yang menganggap pendidikan sejalan dengan filsafat, bahkan menjadi alat
bagi filsafat, yang mengutamakan etika (Muhammad Said dan Junimar Affan, 1987: 119).
Anggapan ini membuat pendidikan di Cina mengiringi kembalinya popularitas aliran filsafat
Kung Fu Tse di dalam masyarakat Cina.
Pada masa Dinasti Han banyak melahirkan para sarjana-sarjana yang kelak akan memimpin
negara dan telah membuat Dinasti Han sebagai salah satu dinasti yang besar dalam sejarah
Cina. Sistem pendidikan yang dikembangkan oleh bekas pengikut-pengikut Kung Fu Tse ini
telah melahirkan sebuah golongan yang terkenal dalam sejarah Cina dan menentukan
perjalanan kekuasaan Dinasti Han, yaitu Kaum Gentry.
Kaum gentry merupakan suatu komunitas orang-orang terpelajar yang telah menempuh
pendidikan dan sistem ujian negara (Rochiati Wiriaatmadja, 2000: 23). Kaum terpelajar ini
ditempa dengan pendidikan yang cukup keras dan sistem ujian negara yang cukup ketat. Pada
masa Dinasti Han kaum gentry mendapatkan tempat yang terhormat disamping keluarga
kerajaan dan para bangsawan (H.J. An Den Berg, Kroeskamp, dan J.P. Simandjoentak, 1951:
187). Keistimewaan kaum gentry ini digambarkan oleh Muh. Said dan Junimar Affan (1987:
126) yang mengatakan bahwa:
“Golongan sarjana sebagai golongan pegawai negeri yang tidak perlu mengotorkan
tangannya dengan pekerjaan tangan. Sebagai tanda orang yang tidak hidup dari hasil
pekerjaan tangannya, jari kuku “kaum terpelajar” panjang-panjang dan dipelihara dengan
baik. Tangan halus dan lembut!”.
Berdasarkan penjelasan di atas telah membuat tertarik untuk mengkaji lebih lanjut mengenai
sistem pendidikan Dinasti Han yang selanjutnya akan melahirkan sebuah kaum yang akan
menjadi tonggak dari berdirinya Dinasti Han ini.
BAB II
PEMBAHASAN
Dinasti Han tahun 206 SM – 220 M merupakan dinasti kekaisaran besar pertama didalam
perjalanan sejarah kekaisaran Cina. Pada masa ini banyak literature lama yang dikumpulkan
dan diperbaiki kembali. Hal tersebut dikarenakan pada masa pemerintahan sebelumnya
ajaran-ajaran kong hu cu diberantas habis. Pada masa ini Confusianisme menjadi falsafah
terkemuka dan menjadi inti bagi sistem pendidikan (Raymond Dawson, 1999: xv). Pada masa
Dinasti Han ini yang menjadi dasar masyarakat Tionghoa, ialah pengajaran counfusius (H.J.
An Den Berg, Kroeskamp, dan J.P. Simandjoentak, 1951: 186).
Pada negeri Cina pendidikan mendapat tempat yang penting sekali dalam penghidupan
(Muhammad Said dan Junimar Affan, 1987: 119). Hal tersebut dikarenakan masyarakat Cina
menganggap pendidikan sejalan dengan filsafat, bahkan menjadi alat bagi filsafat, yang
mengutamakan etika (Muhammad Said dan Junimar Affan, 1987: 119). Anggapan ini
membuat pendidikan di Cina mengiringi kembalinya popularitas aliran filsafat Kung Fu Tse
di dalam masyarakat Cina.
Anggapan tersebut muncul dari ajaran-ajaran Confusianisme yang mulai mendapatkan tempat
kembali di hati rakyat Cina, yang ditandai dengan munculnya Dinasti Han sebagai penguasa.
Ajaran-ajaran tersebut mengajarkan bahwa pendidikan tersebut penting.
Seperti yang ditanamakan Hsun Tzu, “Belajar terus sampai mati dan hanya kematianlah yang
menghentikannya” (H. 19). Belajar adalah pekerjaan sepanjang hayat, dan jabatan yang tinggi
mungkin merupakan ganjarannya. Cina telah memberikan status pada kegiatan belajar lebih
dari masyarakat mana pun (Raymond Dawson, 1999: 16)
Dalam membicarakan mengenai falsafah pendidikan Cina, tidak dapat dijauhkan dari
pembicaraan mengenai ajaran Confusianisme. Seperti yang diutarakan di atas, bahwa ajaran
confusianisme memberikan dasar-dasar dan sumbangan-sumbangan dalam sistem pendidikan
Cina, khususnya pada masa Dinasti Han ini. Dalam ajaran confusianisme, pendidikan adalah
mesin yang mengemudi dunia kebenaran… menuntut pendidikan dikejar secara terus
menerus sampai kematian.
Pernyataan-pernyataan yang dinilai mementingkan pendidikan tersebut dan diperkuat dengan
ajaran kong hu cu yang dianggap sebagai agama bagi masyarakat Cina, dimana masyarakat
Cina sangat kuat dalam memeluk ajaran tersebut, sehingga membuat pendidikan memiliki sisi
yang penting dalam kehidupan masyarakat Cina. anggapan pentingnya pendidikan tersebut
meberikan dampak yang sangat berpengaruh dalam sistem masyarakat Cina, sehingga segala
aspek yang berhubungan dengan pendidikan mendapatkan tempat-tempat istimewa.
Ajaran confusianisme yang mulai muncul kembali dan berkembang pesat pada masa dinasti
Han, serta ajaran ini menjadi dasar kepercayaan membuat pemerintahan tersebut menjalankan
ajaran-ajaran didalamnya secara benar. Ajaran yang sangat memberikan perhatian besar
terhadap pendidikan, membuat pemerintahan Dinasti Han membentuk sebuah system
pendidikan yang didasari atas pemikiran dari ajaran confusianisme.
C. Kaum Gentry
Kaum gentry merupakan kelompok feudal baru (New Feodal Class) yang menggantikan
kedudukan para bangsawan dari zaman dinasti Chou. Kelompok ini terbentuk secara alami.
Anggota dari kelompok ini berasal dari orang-orang yang lulus ujian sipil, secara bertahap
dan semakin banyaknya lulusan dari ujian tersebut, maka baru terbentuklah suatu kelas baru
dalam kehidupan masyarakat yang lazim disebut kaum literati-confucians atau para serjana
sastra-confuciabis (Rochiati Wiriaatmadja, A. Wildan, dan Dadan Wildan, 2003: 146).
Mereka yang diajarkan kitab-kitab konfuius dan pengikutnya dan dapat dikatan sangat dekat
dan memahami isi kitab tersebut menjadi pendukung dan pembina utama ideology
Confusinisme.
Lulusan ujian negara yang semakin banyak tersebut pada akhirnya membentuk kelas sendiri
dalam startifikasi masyarakat Cina, dimana mereka memonopoli jabatan-jabatan dalam
pemerintahan, yaitu golongan yang memiliki keahlian dalam tata administrasi pemerintahan
(Rochiati Wiriaatmadja, A. Wildan, dan Dadan Wildan, 2003: 147).
Kelas baru tersebut menggeser posisi bangsawan di dalam stratifikasi masyarakat Cina.
pergeseran tersebut dikarenakan kehormatan dan penghargaan yang diberikan oleh lulusan
ujian tersebut sangatlah tinggi. Penghargaan tersebut tidak saja datang dari masyarakat tetapi
juga datang dari kaisar sendiri. Dominasi kelompok ini juga tidak lepas dari kebijakan kaisar
yang tidak memberikan posisi jabatan-jabatan pemerintahan kepada bangsawan, atau pada
masa Sje Hwang-ti disebut penganut aliran undang-undang, melainkan kaisar mencari
pengikut-pengikut ajaran konfusius melalui system ujian yang dikeluarkan.
Keistimewaan yang diberikan kepada golongan ini juga membuat mereka dihargai dalam
masyarakat. Mereka mendapatkan keistimewaan-keistimewaan yang diberikan setiap mereka
melewati tahapan ujian yang diikuti. Selain itu, keistimewaan yang diberikan kepada kaum
gentry ini digambarkan oleh Muh. Said dan Junimar Affan (1987: 126) yang mengatakan
bahwa:
“Golongan sarjana sebagai golongan pegawai negeri yang tidak perlu mengotorkan
tangannya dengan pekerjaan tangan. Sebagai tanda orang yang tidak hidup dari hasil
pekerjaan tangannya, jari kuku “kaum terpelajar” panjang-panjang dan dipelihara dengan
baik. Tangan halus dan lembut!”.
Dari perubahan atau pergeseran dalam stratifikasi masyarakat ini berarti telah terjadi sebuah
perubahan dalam masyarakat Cina, dimana sebelumnya masyarakat memandang tinggi
seseorang dalam masyarakat didasari atas kepemilikan harta dan keturunan, pada maa Dinasti
Han hal tersebut berubah. Masyarakat tidak lagi sepenuhnya memandang sesorang
berdasarkan kepemilikan harta dan keturunannya, melainkan jenjang pendidikan yang telah
ditempuhnya.
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan mengenai system pendidikan
yang berlaku di masa Dinasti Han. Pemerintahan Dinasti Han telah membawa perubahan
besar, dengan membawa kembali ajaran-ajaran confusius dalam kehidupan masyarakat Cina.
Kebijakan tersebut membawa dampak perubahan ke arah yang baik dalam segala segi,
khususnya pendidikan.
Ajaran konfusius yang sangat mementingkan pendidikan dan masyarakat Cina yang sangat
erat dengan ajaran-ajaran konfusius dalam menjalankan kehidupn sehari-harinya, membuat
pendidikan mendapatkan peranan penting dalam kehidupan masyarakat Cina. ajaran
konfusius mengharuskan kepada pengikutnya untuk menuntut ilmu sampai kematian
menjemputnya. Hal tersebut membuat masyarakat Cina, khususnya pada masa Dinasti Han
sangat banyak yang menuntut ilmu, dan ditambah dengan keistimewaan-keistimewaan yang
ditawarkan pihak pemerintah terhadap lulusan dari system ujian yang diterapkan.
System pendidikan yang diterapkan oleh pihak pemerintahan pada saat itu pada awalnya
bertujuan untuk mencari calon-calon pejabat pemerintahan yang beraliran konfusius. Jenjang
pendidikan didasarkan atas tingkatan daerah administrative pemerintahan. Setiap distrik
memiliki sekolah-sekolah, sampai pada akademi di ibukota kerajaan. Setiap jenjang tersebut
diharuskan melewati system ujian yang terbagi ke dalam tiga tahapan. System ujian ini dinilai
sangat berat, dikarebakan dari banyak orang yang ikut ujian ini hanya beberapa yang berhasil
lulus. Kekaisaran dinasti han telah memberikan dasar-daar pada system ujian di daratan Cina,
walaupun selanjutnya ada perubahan dan penambahan.
System pendidikan ini juga membawa perubahan pada stratifikasi masyarakat dan pola
prestise dalam masyarakat. System pendidikan yang menghasilkan lulusan-lulusan pelajar
secara alami membentuk kelas baru, yang pada akhirnya menggeser posisi bangsawan dalam
stratifikasi masyarakat Cina. Dan pola prestise dalam masyarakat, dimana masyarakat tidak
lagi sepenuhnya memandang orang dari kepemilikan harta atau keturunananya, tetapi
masyarakat memandang seseorang dari jenjang pendidikan yang telah ditempunya.
Disamping itu, kaum gentry ini diberikan penghormatan dan penghargaan berupa hak-hak
istimewa dari pemerintahan dan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
I. Djumhur. . Sejarah Pendidikan. Jakarta: Djembatan
H.J. An Den Berg, Kroeskamp, dan J.P. Simandjoentak. 1951. Dari Panggung Peristiwa
Sedjarah Dunia I: India Tiongkok dan Djepang Indonesia. Jakarta: J.B. Wolters – Groningen
Muhammad Said dan Junimar Affan. 1987. Mendidik Dari Zaman ke Zaman. Bandung:
Jemmars
Raymond Dawson. 1999. Kong Hu Cu. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Rochiati Wiriaatmadja. 2000. Diktat C Sejarah Asia Timur. Bandung: Jurusan Pendidikan
Sejarah, FPIPS, UPI.
__________________. 2003. Sejarah Peradaban Cina: Analisis Filosofis Historis dan Sosio
Antropologis. Bandung: Humaniora.
Confucianism. Available at: [On Line]
http://staff.bcc.edu/philosophy/CONFUCIANISM.htm
http://juanfranklinsagrim.blogspot.com/2009/07/sejarah-pendidikan-china.html